• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA INDUSTRI (PRAKERIN) PROGRAM KEAHLIAN TEKNOLOGI KENDARAAN RINGAN SMK NEGERI 3 PACITAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA INDUSTRI (PRAKERIN) PROGRAM KEAHLIAN TEKNOLOGI KENDARAAN RINGAN SMK NEGERI 3 PACITAN."

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Pendidikan adalah proses yang tidak akan ada hentinya, sejak seseorang dilahirkan

hingga akhir hayatnya. Pendidikan merupakan elemen yang penting bagi berlangsungnya

hidup suatu bangsa. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan manusia yang sangat

penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan peranannya

dalam masyarakat. Pendidikan menjadi tolok ukur keberhasilan suatu bangsa.

Pembangunan akan maju apabila didukung dengan pendidikan yang bermutu. Pendidikan

dikatakan bermutu apabila proses pembelajaran berlangsung efektif dan peserta

memperoleh pengalaman yang bermakna bagi dirinya. Di dalam Undang–Undang Sistem

Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dikemukakan pengertian dari pendidikan yaitu:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Bangsa kita dituntut untuk dapat mempersiapkan diri khususnya dalam

mempersiapkan SDM yang unggul, padahal faktor utama yang menentukan mampu

tidaknya bersaing adalah SDM yang memiliki kompetensi, menguasai ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta mampu menghasilkan produk unggul. Karena itu, mempersiapkan

SDM harus dilaksanakan secara sungguh dan terencana dengan baik. Jenis pendidikan

yang dibutuhkan untuk situasi seperti sekarang adalah pendidikan yang dapat membekali

peserta didik, melalui ketramplian aplikatif yang dikemudian hari bisa dirasakan dalam

lingkungan masyarakat. Eksistensi pendidikan akan menentukan kualitas sumber daya

manusia. Indikasi sumber daya manusia yang berkualitas salah satunya adalah

(2)

satu lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga profesional adalah Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005

Tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan juga bahwa Standar kompetensi

lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan

kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup

mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Pendidikan profesionalisme tidak dapat sepenuhnya dapat dilakukan oleh sekolah.

Kegiatan profesional bisa dicapai salah satunya melalui kegiatan langsung melakukan

kegiatan sesungguhnya. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan

menggariskan bahwa arah pengembangan pendidikan kejuruan pada SMK akan

dibangun dan didorong sehingga mampu menuntaskan misinya dengan tujuan yang

terukur, yaitu : (1) menghasilkan lulusan yang memiliki bekal ketrampilan kompetensi

tertentu, (2) menghasilkan lulusan yang profesional untuk dapat mengisi keperluan

industrialisasi dan pembangunan nasional, dan (3) menghasilkan lulusan yang mampu

mengikuti perkembangan iptek dan mampu meningkatkan kualitas dirinya secara

berkelanjutan.

Pada sisi lain, keadaan pendidikan kejuruan yang ada saat ini cukup

memprihatinkan. Keadaan ini ditandai dengan adanya isu bahwa terdapat kesenjangan

antara pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki lulusan pendidikan kejuruan dengan

pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Hal ini sesuai dengan

pendapat Slamet (dalam Warseno, 1997) yang mengatakan bahwa penyiapan tenaga

kerja lewat jalur pendidikan kejuruan masih mengandung banyak kelemahan, baik

tingkat konsep maupun pada praktiknya.

Salah satu pembaharuan yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan

(3)

pembelajaran siswa diluar sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah dengan

dunia kerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan siswa dan sebagai kontribusi

nyata dunia kerja terhadap pengembangan program pendidikan di SMK. Pendidikan

Sistem Ganda merupakan salah satu model pendidikan yang dipandang mampu

menjembatani dan paling efektif untuk mendekati kesesuaian antara penyediaan dan

permintaan (supply and demand) ketenagakerjaan (Dit. Dikmenjur, 1993 : 3). Sistem ini

juga sesuai dengan kebijaksanaan Kementrian Pendidikan tentang keterkaiatan dan

kesepadanan (link and match) antara dunia pendidikan dan dunia industri. Pendidikan

Sistem Ganda memiliki tujuan-tujuan penting sehingga bisa membentuk lulusan yang

berkualitas diantaranya adalah memberikan gambaran awal tentang dunia kerja dan

memberikan wawasan baru yang tidak di dapat di bangku sekolah. Pendidikan Sistem

Ganda merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menyelaraskan atau

membandingkan ilmu yang sudah didapat di sekolah dengan yang ada di lapangan. Dalam

kegiatan Pendidikan Sistem Ganda ini para siswa dituntut untuk mampu hidup ditengah –

tengah masyarakat dan secara langsung mengidentifikasi serta menangani masalah –

masalah yang dihadapi. Oleh karena itu Pendidikan Sistem Ganda ini sangat penting bagi

para siswa, karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin

pesat serta lapangan pekerjaan yang semakin sulit. Maka diharapkan dengan adanya

Pendidikan Sistem Ganda ini para siswa mendapat pengalaman serta pengetahuan yang

lebih luas dalam dunia kerja yang nantinya setelah keluar sekolah dapat temotivasi untuk

memciptakan lapangan kerja sendiri. Saat ini salah satu program yang merupakan bagian

dari pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda adalah Praktek Kerja Industri atau lebih

dikenal denga Prakerin.

Sebagai gambaran penelitian ini mengambil SMK Negeri 3 Pacitan. Sekolah yang

(4)

N 3 Pacitan pada tanggal 08 Januari 2002 yang beralamat di Jl. Letjend Soeprapto No. 47

Pacitan Jawa Timur tersebut kini semakin maju dan semakin menjadi salah satu sekolah

kejuruan bidang teknologi yang diminati oleh lulusan siswa menengah pertama.

Mempunyai lima jurusan yaitu Teknik Mekanik Otomotif (Teknik Speda Motor dan

Teknik Kendaraan Ringan), Teknik Audio Video, Teknik Jasa Boga, Teknik Busana

Batik, dan Teknik Pengolahan Hasil Perikanan. Guna menunjang sarana belajar mengajar

di SMK, pihak sekolah telah menyediakan berbagai fasilitas pendukung. Adapun fasilitas

yang disediakan adalah Bengkel Otomotif + Unit Produksi, Bengkel Audio ,Video Lab

Tata Busana + Unit Produksi, Lab Restoran + Unit Produksi, Lab Pengolahan Hasil

Perikanan, lab Komputer, Hotspot Area, Radio Pendidikan MP3 FM, TV Edukasi, Bursa

Kerja Khusus (BKK), peralatan musik lengkap, lapangan olah raga, ruangan ekstra

kurikuler dan sarana umum lainnya.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap salah satu

anggota kelompok kerja prakerin di SMK Negeri 3 Pacitan pada tanggal 9 Januari 2013

diketahui bahwa dalam proses pengelolaan Prakerin dilaksanakan kurang lebih sama

dengan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Proses yang dilakukan meliputi

pembentukan panitia, penyebaran angket wali murid, pemetaan awal, pembentukan

pendamping Prakerin, pembekalan siswa, pelaksanaan, monitoring, pelaporan, dan

evaluasi. Dalam pelaksanaannya permasalahan yang sering dihadapi adalah

ketidakcocokan peserta dengan dunia usaha/industri, pembimbingan yang kurang optimal,

dan tidak dilaksanakannya uji kompetensi. Tentunya permasalahan seperti di atas perlu

ditindaklanjuti agar pelaksanaan program selanjutnya dapat berjalan sesuai dengan

(5)

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan

terhadap pelaksanaan Prakerin pada jurusan Teknologi Kendaraan Ringan SMKN 3

Pacitan Jawa Timur.

B. Identifikasi Masalah

Masalah–masalah yang dapat diidentifikasi dalam penyelenggaraan Prakerin antara

lain:

1. Pengelolaan Administrasi Prakerin

Kesiapan administrasi sangat diperlukan dalam menghadapi pelaksanaan

Prakerin. Dengan handalnya administrasi atau manajemen sekolah akan

memudahkan terjalinnya hubungan antara sekolah dan industri sebagai pasangannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Supardi (1996) menunjukkan bahwa tingkat kesiapan

administrasi Prakerin mencapai rata-rata 69,33 % termasuk dalam kategori sedang.

Aspek kesiapan perencanaan prosedur pelaksanaan Prakerin mencapai kategori

sedang (58,33 %) dan aspek kesiapan pengarahan kepada siswa dalam rangka

pembekalan baru mencapai tingkat sedang, yaitu 50 %. Dari gambaran tersebut

seharusnya sekolah yang sudah menyelenggarakan Prakerin sejak lama dalam

pengelolaan administrasi dapat optimal. Suharsimi Arikunto (1988:30)

mengemukakan menurut pengertian modern administrasi adalah suatu usaha bersama

sekelompok manusia untuk mencapai tujuan organisasi secara efektf dan efisien

menggunakan dana dan daya yang ada. Berdasarkan uraian tersebut seharusnya

kesiapan administrasi Prakerin merupakan ketersediaan usaha dan kegiatan yang

meliputi pengelolaan, pengaturan, dan manajemen untuk mencapai tujuan Prakerin

secara efektif dan efisien yang berhubungan dengan kegiatan kantor atau tata usaha,

(6)

pembentukan organisasi dan penujukan personel pengelola Prakerin, adanya

koordinasi pelaksanaan Prakerin, pelaksanaan pengarahan kepada siswa, dan

kesiapan dana atau biaya Prakerin.

2. Kesiapan Guru Pembimbing

Sebagai usaha untuk mencapai tujuan pendidikan dalam pelaksanaan sistem

ganda pada SMK, guru merupakan petugas yang sangat vital keberadaannya. Guru

pembimbing mempunyai tugas mempersiapkan, mengarahkan, memotivasi, melatih,

menilai, dan membimbing siswa peserta Prakerin dalam melaksanakan kegiatan

komponen pendidikan (Dit. Dikmenjur, 1995 : 3). Untuk meningkatkan kemampuan

pembimbing perlu kalangan industri membuka diri dan bersedia menerima dan

melibatkan guru SMK pada industri.

Penelitian yang dilakukan oleh Supardi (1996) menyimpulkan bahwa tingkat

kesiapan guru pembimbing siswa peserta Prakerin mencapai rata-rata 73,21 %, dan

belum ada aspek kesiapan yang mencapai 100%. Sedangkan menurut Wardiman

Djojonegoro (dalam Warseno, 1997) bahwa salah satu kurang hambatan yang

dialami pada pelaksanaan program Prakerin adalah kurangnya pengalaman dan

kemampuan guru pembimbing dalam membimbing siswa di industri. Jujur diakui

beberapa siswa SMK bahwa guru pembimbing Prakerin, kurang memberikan

bimbingan walaupun terdapat jadwal yang sudah ditentukan. Hal ini dikarenakan

kesibukan guru pembimbing di sekolah.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kesiapan guru pembimbing belum

sepenuhnya optimal dan belum dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.

Untuk dapat menjadi seorang guru pembimbing Prakerin, guru harus memenuhi

kualifikasi sesuai dengan ketentuan dari Depdikbud (Dit. Dikmenjur, 1995:3).

(7)

jenis, yaitu : menguasai bahan, mengelola program mengajar, menggunakan media

atau sumber, menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar

mengajar, menilai prestasi siswa, mengenal fungsi dan program bimbingan dan

penyuluhan, dan menafsirkan hasil-hasil penelitian guna keperluan pengajaran.

3. Pembiayaan

Pelaksananaan Prakerin tentunya juga memerlukan pembiayaan yang tidak

sedikit guna menunjang program tersebut. Irwanto (2004) Pembiayaan pelaksanaan

Prakerin meliputi operating cost dan capital cost. Operating cost merupakan biaya operasional pelaksanaan Prakerin, yang dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu

: biaya persiapan meliputi pembekalan/orientasi, administrasi perizinan; biaya

pelaksanaan ,meliputi honor dan transportasi pembimbing dalam melaksanakan

monitoring, asuransi peserta; biaya uji kompetensi, yaitu honor penguji, sertifikasi,

administrasi dan evaluasi kegiatan. Sedangkan capital cost merupakan biaya tetap yang harus ada dalam pelaksanaan Prakerin. Biaya ini meliputi fasilitas, bahan dan

alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Prakerin di industri. Mengingat aktivitas

praktik sebagian besar dilakukan di dunia usaha/industri, maka capital cost pada dasarnya ditanggung oleh industri terkait.

Menurut (Djauhari, 1997:19) mengatakan bahwa pembiayaan pendidikan

kejuruan dibagi menjadi dua yaitu: (1) segala bentuk pembiayaan yang diakibatkan

oleh pelatihan yang diselenggarakan di perusahaan ditanggung oleh perusahaan; dan

(2) segala bentuk pembiayaan yang dibutuhkan untuk pendidikan di sekolah kejuruan

ditanggung oleh pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Sophia Daitupen (1997)

menunjukkan bahwa dana untuk pembiayaan operasional pelaksanaan Prakerin STM

Budya Wacana dan STM Panca Sakti mendapat dana khusus dari yayasan, namun

(8)

siswa. Seharusnya kalau kita mengacu sesuai peraturan yang ada telah disebutkan

bahwa Berdasarkan Permendiknas No 69 Tahun 2009 Tentang Standar Biaya Operasi

Nonpersonalia Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah

Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah

Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah

Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan

Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Biaya operasi nonpersonalia

meliputi: biaya alat tulis sekolah (ATS), biaya bahan dan alat habis pakai (BAHP),

biaya pemeliharaan dan perbaikan ringan, biaya daya dan jasa, biaya

transportasi/perjalanan dinas, biaya konsumsi, biaya asuransi, biaya pembinaan

siswa/ekstra kurikuler, biaya uji kompetensi, biaya praktek kerja industri, dan biaya

pelaporan. Biaya praktek kerja industri (prakerin) adalah biaya untuk

penyelenggaraan praktek industri bagi peserta didik SMK.

Dari uraian tersebut sudah jelas bahwa tentunya segala pembiayaan

operasional pelaksanaan Prakerin seperti buku panduan, buku kegiatan, surat

menyurat, monitoring, evaluasi, uji kompetensi, dan sertifikat sepenuhnya

diusahakan oleh sekolah dari alokasi dana yang sudah direncanakan sebelumnya

sehingga tidak memberikan beban baru pada siswa calon peserta PSG.

4. Pelaksanaan Prakerin

Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan mengacu pada PP No. 17 Tahun

2010 sebagai acuan atau standar minimum yang harus dicapai. Isi program

pendidikan dan pelatihan kejuruan tersebut harus disesuaikan dan diselaraskan

dengan tuntutan lapangan kerja. Penyesuaian tersebut dilakukan bersama oleh SMK

dengan institusi pasangannya dan hasilnya disepakati untuk dilaksanakan secara

(9)

meliputi : (1) standar

kesiapan dunia kerja

Hal ini diperlukan a

prakerin tepat sasaran

bawah menunjukkan a

Dari diagram

prakerin perlu dilaku

ar kemampuan tamatan program pendidikan d

dengan Prakerin harus jelas mengacu pada

ia kerja, atau persyaratan profesi tertentu, (2)

lukan untuk mencapai penguasaan standar ke

kan. Maka dari itu kesiapan mitra industri

ga harus diperhatikan. Perancangan ini per

i antara kesiapan mitra industri dengan sekol

pelaksanaan Prakerin yang telah dirancan

stri terkait.

rektorat Pembinaan Sekolah Menengah Ke

an program prakerin tidak terlepas dari imple

, yang membutuhkan metode, strategi dan ev

ngan prakerin sebagai bagian pembelajaran pe

ja mitra dalam melaksanakan pembelajaran ko

agar dalam pelaksanaannya, penempatan pe

ran sesuai dengan kompetensi yang akan dipe

n alur kerja perancangan program prakerin.

Gambar 1. Diagram Alir Prakerin

di atas menunjukkan bahwa dalam pera

kukan analisis terhadap kemampuan-kemam

n dan pelatihan yang

da pencapaian yang

) standar pendidikan

kemampuan tamatan

tri sebagai institusi

erlu dilakukan agar

ipelajari. Diagram di

erancangan program

(10)

dikuasai peserta didik berdasarkan tuntutan standar kompetensi/ kompetensi dasar

yang tertera dalam silabus. Analisis dimaksudkan untuk mendapatkan informasi

kompetensi apa saja yang dapat dipelajari di sekolah dengan fasilitas yang tersedia

dan kompetensi apa saja yang dipelajari di dunia kerja. Sedangkan khusus untuk

pelaksanaan Prakerin di SMK materi/isi pendidikan dan pelatihan meliputi lima

komponen pokok (Faozan Alfi, 1992:21), yaitu : (1) komponen pendidikan umum

(normatif), dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi warga negara yang

baik, yang memiliki karakter sebagai warga negara dan bangsa Indonesia, (2)

komponen dasar penunjang (adaptif), untuk memberi bekal penunjang bagi

penguasaan keahlian profesi, dan bekal kemampuan untuk mengikuti perkembangan

ilmu pengetahun adan teknologi, (3) komponen teori kejuruan, untuk membekali

pengetahun tentang dunia teknik dasar keahlian kejuruan, (4) komponen praktik

dasar profesi, yaitu berupa latihan kerja untuk menguasai teknik bekerja secara baik

dan benar sesuai dengan tuntutan persyaratan keahlian profesi, (5) komponen

keahlian praktik profesi, yang berupa kegiatan bekerja secara terpogram dalam

situasi sebenarnya untuk mencapai tingkat keahlian dan sikap kerja profesional.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Supardi (1996) menunjukkan bahwa

aspek faktor penilaian terhadap pendukung dan partisipasi pihak industri menilai baru

mencapai tingkat sedang (40,00 %). Artinya menurut pengetahuan pihak industri,

bahwa faktor pendukung dan partisipasi terhadap program PSG baru sampai tingkat

cukup dan masih harus ditambah lagi. Rendahnya penilaian pihak industri terhadap

faktor pendukung dan partisipasi yang ada dapat berdampak buruk terhadap tanggung

jawab dan kesediaan industri terhadap program pendidikan di waktu yang akan

datang. Lebih lanjut penelitian yang dilakukan oleh Supardi menunjukkan bahwa

(11)

beberapa industri hanya memberikan satu jenis komponen kegiatan saja, misalnya

praktik dasar kejuruan atau praktik keahlian profesional. Ada beberapa industri yang

memberikan hanya dua jenis komponen kegiatan, sedangkan beberapa industri yang

lain memberikan lebih dari dua jenis komponen kegiatan, perbedaaan jenis

komponen kegiatan Prakerin di industri ini dipengaruhi oleh bidang kerja industri

yang bersangkutan. Industri yang melaksanakan proses produksinya dengan praktik

keahlian profesional, siswa peserta Prakerin dilibatkan dalam praktik keahlian

profesional juga.

Berdasarkan kenyataan pelaksanaan Prakerin di lapangan dapat diketahui

bahwa mitra industri masih rendah tingkat kesiapannya dalam pelaksanaan Prakerin

begitu juga dengan pelaksanaan komponen-komponen materi/isi pendidikan dalam

pelaksanaan PSG mitra industri belum dapat melaksanakan sepenuhnya.

5. Kelengkapan Fasilitas Praktik di Dunia Usaha/industri

Kegiatan praktik dalam Prakerin dilakukan sepenuhnya di DU/DI. Untuk

mendukung tercapainya pelajaraan praktik dibutuhkan fasilitas sarana dan prasarana

yang memadai seperti bahan praktik, alat-alat perkakas industri, mesin-mesin, dll.

Apabila fasilitas praktik kurang memadai dan tidak lengkap sesuai kebutuhan di

bidangnya, sangat mungkin terdapat banyak kelemahan dalam komponen praktik

dasar kejuruan siswa. Fasilitas praktik suatu industri sangat ditentukan oleh jenis dan

besarnya industri yang bersangkutan. Namun secara umum fasilitas praktik yang

harus tersedia di dunia usaha/industri antara lain adalah ruang, alat, bahan, dan alat

keselamatan kerja.

Penelitian yang dilakukan oleh Supardi (1996) menunjukkan bahwa tingkat

kesiapan DU/DI pada faktor kelengkapan praktik baru mencapai tingkat sedang

(12)

praktik yaitu 65 % dalam kategori tinggi. Sedangkan kesiapan paling rendah adalah

pada aspek kelengkapan peralatan praktik yaitu 40 % termasuk dalam kategori

sedang. Kelengkapan peralatan praktik yang dimaksud meliputi jumlah peralatan

yang tersedia, adanya buku petunjuk pemakain alat (manual book), adanya lembar

kerja (job sheet), gambar kerja atau sketsa-sketsa yang mendukung kegiatan praktik.

Pihak Industri tidak menyediakan sarana khusus untuk latihan kerja siswa baik ruang,

alat, bahan, maupun sarana lainnya. Jadi latihan kerja siswa di industri didukung

dengan fasilitas kerja sehari-hari yang telah ada sebelumnya sehingga beberapa

industri terbukti memiliki tingkatan kelengkapan fasilitas sangat rendah.

Kelengkapan fasilitas praktek di dunia usaha/industri juga harus disesuaikan

dengan kompetensi yang ditetapkan. Peran kelompok kerja PSG dalam mencari mitra

harus lebih ditingkatkan. Dunia usaha/industri yang akan dijadikan mitra usaha

tentunya harus merupakan dunia industri yang memiliki komitmen ikut memajukan

pendidikan dan tentunya yang memiliki fasilitas yang cukup memadai. Berdasarkan

Keputusan Mendikbud No. 323/U/1997 diatur bahwa untuk dapat menjadi mitra

industri sekolah yang menyelenggarakan PSG, harus memiliki tempat dan peralatan

kerja dan memiliki instruktur atau pembimbing atau tenaga yang dapat melaksanakan

tugas sebagai instruktur atau pembimbing. Lebih lanjut kelengkapan fasilitas praktek

di SMK mengacu berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40

Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah Menegah

Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK).

6. Uji Kompetensi dan Sertifikasi Prakerin

Uji kompetensi adalah suatu proses pengukuran dan penilaian penguasaan

keahlian seseorang, berdasarkan standar yang berlaku di lapangan pekerjaan tertentu

(13)

1996:4). Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kepada tamatan atau siswa yang telah

dapat menguasai kemampuan standar atau keahlian kejuruan yang diperoleh melalui

ujian kompetensi (Depdikbud, 1995:8). Uji kompetensi dan sertifikasi Prakerin perlu

dilakukan pada siswa yang telah melaksanakan Prakerin sebagai bentuk upaya

tingkat pencapaian kompetensi yang diharapkan. Salah satu tujuan uji kompetensi ini

adalah untuk mengetahui ketercapaian kompetensi siswa selama melaksanakan PSG

di dunia industri. Apabila dinyatakan lulus atau memenuhi standar kompetensi yang

ditetapkan maka siswa tersebut berhak untuk mendapatkan sertifikat kelulusan

kompetensi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohadi (1999) menunjukkan bahwa

kendala-kendala yang dihadapi oleh Jurusan Elektronika SMK se-Kotamadya

Yogyakarta dalam pelaksanaan uji kompetensi antara lain adalah kurangnya

perhatian serta peran serta pihak dunia usaha/industri. Hal ini terutama dapat dilihat

dari peran dunia usaha/industri yang masih kurang dalam mempersiapkan materi

ujian. Materi ujian yang seharusnya dikerjakan secara bersama oleh pihak sekolah

dengan pihak industri, dalam kenyataannya hanya pihak sekolah saja yang secara

bersungguh-sungguh mempersiapkannya sehingga bobot materi yang diujikan perlu

dipertanyakan lebih lanjut. Warseno (1997) dari hasil penelitian yang dilakukannya

menunjukkan bahwa pencapaian pelaksanaan sertifikasi PSG di jurusan bangunan

sebanyak 2,81 %, listrik 3,1 %, mekanik umum 2,19 %, dan otomotif 2,19 %.

Sedangkan besarnya presentase rerata adalah 13,13 %. Data tersebut menunjukkan

bahwa pelaksanaan sertifikasi Prakerin di SMK 2 Klaten masih tergolong rendah. Hal

yang sama juga dilami oleh SMK se-kodya Surabaya dalam penelitian yang

dilakukan oleh Joko (1996) yang menyatakan bahwa evaluasi pelaksanaan Prakerin

(14)

Menurut Depdikbud (1995) pelaksanaan uji kompetensi adalah sebagai berikut

: (1) materi ujian dikeluarkan oleh badan tertentu yang diakui sebagai badan yang

mengeluarkan sertifikat, (2) pihak sekolah dan tim penguji merumuskan pengajaran

bahan pelajaran dalam proses kegiatan belajar mengajar sebagai persiapan bagi calon

peserta uji kompetensi, (3) perangkat soal ujian kompetensi disiapkan oleh unsur

dunia industri, lembaga profesi, dan sekolah, (4) ujian kompetensi dilakukan bersama

oleh sekolah, dunia industri, dan asosiasi profesi, (5) ujian kompetensi dilaksanakan

secara bertahap sesuai daya kesiapan dan kemampuan sekolah. Bagi peserta didik

yang dinyatakan lulus, akan diberikan sertifikat yang akan diterbitkan oleh Tim Uji

Profesi. Sertifikat ini diharapkan selain menjelaskan keahlian profesional yang

dikuasai oleh pemiliknya, sekaligus mengakui kewenangan pemilik sertifikat tersebut

untuk melaksankan tugas pada bidang profesi tertentu.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan uji kompetensi dan

sertifikasi Prakerin masih belum dilakukan secara optimal.

7. Monitoring dan Evaluasi

Dalam pelaksanaan program Prakerin, monitoring dan evaluasi perlu

dilakukan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan program selanjutnya.

Monitoring merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh guru pembimbing untuk

mengetahui sejauh mana keterlaksanaan Prakerin yang disepakati bersama antara

sekolah dengan dunia kerja. Sedangkan evaluasi adalah kegiatan untuk mengetahui

sejauh mana siswa peserta Prakerin mencapai tujuan (kemampuan yang diharapkan).

Monitoring dilaksanakan bersama-sama antara guru pembimbing dengan instruktur

dari dunia kerja. Monitoring sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengikuti

(15)

cara mendengar, melihat dan mengamati, serta mencatat keadaan serta perkembangan

program tersebut.

Suherman dkk (1988) menjelaskan bahwa monitoring dapat diartikan sebagai

suatu kegiatan, untuk mengikuti perkembangan suatu program yang dilakukan secara

mantap dan teratur serta terus menerus. Tujuan utama monitoring adalah untuk

menyajikan informasi tentang pelaksanaan program sebagai umpan balik bagi para

pengelola dan pelaksana program. Informasi ini hendaknya dapat menjadi masukan

bagi pihak yang berwenang untuk: a) memeriksa kembali strategi pelaksanaan

program sebagaimana sudah direncanakan setelah membandingkan dengan kenyataan

di lapangan, b) menemukan permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan

program, c) mengetahui faktor-faktor pendungkung dan penghambat penyelenggaraan

program. Sedangkan menurut Direktur Pembinaan Sekolah Kejuruan (2008 : 11)

Program Prakerin yang sudah dilakukan peserta didik perlu dievaluasi untuk melihat

kesesuaian antara program dengan pelaksanaannya. Hal ini dimaksudkan sebagai

dasar untuk penyusunan program tindak lanjut yang harus dilakukan baik terhadap

pencapaian kompetensi peserta didik maupun terhadap program Prakerin. Evaluasi

dilakukan dengan cara : (1) melakukan analisis hasil laporan yang dibuat oleh peserta

didik dan hasil penilaian yang yang dilakukan oleh pembimbing dari Dunia Kerja, (2)

paparan hasil prakerin setiap peserta didik. Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui

sejauh mana siswa peserta PSG telah mencapai kemampuan yang ditetapkan. Materi

pokok dalam evaluasi menyangkut aspek teknis maupun non teknis yaitu ketrampilan,

prestasi, ketekunan, kerjasama, inisiatif, presensi kehadiran, disiplin, etika, dan

tanggung jawab.

Irwanto (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa monitoring dan

(16)

Sehingga pada saat pelaksanaan Prakerin tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk

pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan petunjuk

pelaksanaan monitoring yang seharusnya dilakukan secara periodik, sedangkan

evaluasi dilaksanakan pada akhir program.

C. Batasan Masalah

Oleh karena luasnya permasalahan yang ada dalam penelitian ini dan keterbatasan

kemampuan peneliti, waktu, tenaga, dana, jadwal akademik serta banyaknya

permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidian sistem ganda maka

penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah sebagai berikut :

1. Kesiapan sekolah terhadap Prakerin

Kesiapan ini berkaitan dengan kesiapan kesiapan administrasi dan organisasi,

kesiapan biaya, kesiapan pengelolaan program, dan kesiapan guru pembimbing.

2. Kesiapan Fasilitas Praktik di Industri

Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sarana dan prasarana praktik di DU/DI

3. Pelaksanaan Prakerin

Hal ini berkaitan dengan segala program/kegiatan yang dilakukan oleh peserta

Prakerin di dunia usaha/industri.

4. Pelaksanaan Monitoring Prakerin.

Hal ini berkaitan dengan kegiatan pendamping dalam melakukan monitoring

pelaksanaan Prakerin di dunia usaha/industri.

5. Pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi Prakerin

Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi siswa peserta

(17)

6. Pelaksanaan Evaluasi Prakerin

Hal ini berkaitan dengan evaluasi pelaksanaan Prakerin dari perencanaan hingga

sertifikasi.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah tersebut di atas maka peneliti merumuskan beberapa

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kesiapan pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi

Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan?

2. Bagaimanakah kesiapan fasilitas praktik di Industri dalam pelaksanaan Prakerin di

Program Keahlian Teknologi Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan?

3. Bagaimanakah pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi Kendaraan

Ringan SMK Negeri 3 Pacitan di dunia usaha/industri?

4. Bagaimanakah pelaksanaan monitoring Prakerin di Program Keahlian Teknologi

Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan di dunia usaha/industri?

5. Bagaimanakah pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi Prakerin di Program

Keahlian Teknologi Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan?

6. Bagaimanakah evaluasi pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi

Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan?

E. Tujuan Penulisan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Mengetahui tingkat kesiapan pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi

Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan.

(18)

3. Mengetahui pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi Kendaraan Ringan

SMK Negeri 3 Pacitan di dunia usaha/industri.

4. Mengetahui pelaksanaan monitoring Prakerin di Program Keahlian Teknologi

Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan.

5. Mengetahui pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi Prakerin di Program Keahlian

Teknologi Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan.

6. Mengetahui evaluasi pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi

Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan.

F. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidikan kejuruan baik

secara teoritis maupun praktis antara lain:

1. Teoritis, diharapkan berguna sebagai bahan untuk memperjelas konsepsi tentang

program Prakerin.

2. Praktis

a. Bagi peserta didik:

1) Dapat memahami maksud dan tujuan dilaksanakannya Prakerin

2) Dapat mempersiapkan diri lebih matang dalam hal materi, fisik, mental, dan

ketrampilan sebelum atau ketika melaksanakan Prakerin.

b. Bagi guru:

1) Guru sebagai pendamping dapat meningkatkan kualitas pengelolaan

Prakerin yang sesuai dengan peraturan

2) Guru sebagai pendamping dapat meningkatkan kualitas siswa setelah

(19)

c. Bagi peneliti:

1) Sarana bagi peneliti untuk mengimplementasikan pengetahuan yang

didapatkan selama kuliah serta menambah pengetahuan dan pengalaman

peneliti.

2) Memberikan kesempatan untuk melihat secara langsung masalah-masalah

yang dihadapi Prakerin sekolah dalam proses pengelolaan Pendidikan

Sistem Ganda di SMK Negeri 3 Pacitan.

3) Memberikan pengalaman dan pengetahuan mengenai hasil dari gambaran

(20)

20 A. Kerangka Teoritik

1. Pendidikan Teknik dan Kejuruan

Menurut Supriadi (2002: 1) Pendidikan di Indonesia sudah ada sejak jaman

sebelum penjajahan. Sejarah pendidikan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam

dua periode utama, yaitu pendidikan pada saat sebelum kemerdekaan dan pendidikan

pada masa kemerdekaan. Pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan sendiri

meliputi tiga periode, yaitu: (1) pendidikan yang berbasis ajaran keagamaan; (2)

pendidikan yang berbasis kepentingan penjajah; dan (3) pendidikan dalam rangka

perjuangan kemerdekaan. Pendidikan pada masa kemerdekaan dapat dibagi menjadi

3 periode : (1) tahun 1945-1968 yakni sejak proklamasi kemerdekaan hingga

sebelum dilaksanakannya Pelita I; (2) sejak dimulainya Pelita I pada tahun

1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998,dan (3) periode reformasi sejak

tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak tahun 2001

hingga sekarang ketika pendidikan mengalami desentralisasi yang radikal.

Di atas telah diuraikan bahwa jauh-jauh hari sebelum bangsa Portugis dan

Belanda ke Indonesia, pendidikan di Indonesia telah diawali dengan berbasis

keagamaan oleh para pemuka dan penyebar agama Hindu, Budha, dan Islam. Sistem

pendidikan yang mereka gunakan lebih terstruktur dalam pelaksanaannya. Sistem

pendidikan yang menyerupai sekolah sekarang baru dimulai pada abad ke-16.

Sekolah pertama di Indonesia didirikan oleh penguasa Portugis di Maluku, Altonio

Galvano, pada tahun 1536 berupa sekolah seminari untuk anak-anak dari pemuka

pribumi (Supriadi, 2002:7). Mulai tahun 1607 VOC mulai mendirikan

(21)

rempah-rempah. Dasar pendirian sekolah tersebut bertujuan untuk menyebarkan

agama Kristen. Adapun sekolah yang didirikan yang berorientasi kejuruan didirikan

pada tahun 1743 yaitu Akademi Pelayaran namun ditutup kembali pada tahun 1755.

Setelah kekuasaan VOC berakhir, pendirian sekolah-sekolah dilanjutkan oleh

Pemerintah Hindia Belanda hingga pada tahun 1853 didirikan sekolah kejuruan yang

bernama Sekolah Pertukangan Indonesia yang saat ini masih ada dan merupakan

sekolah kejuruan pertama di Indonesia di luar Akademi Pelayaran . Pendidikan di

zaman kuno sampai berakhirnya pedidikan di zaman pemerintahan Hindia Belanda

dapat dikatakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan suatu perkembangan yang

relatif baru. Sebelumnya mulai zaman Mesir Kuno pelajaran kejuruan berada di luar

sistem pendidikan dan berada di bawah asuhan apa yang disebut dengan sistem

guilde (guide system) (Supriadi, 2002:59). Orang-orang yang mempunyai

ketrampilan membentuk sebuah organisasi dan organisasi inilah yang mengatur

bagaimana ketrampilan itu diteruskan. Karena itu, pendidikan kejuruan sulit

dipisahkan dari pendidikan umumnya.

Sejak bangsa Indonesia kedatangan oleh Portugis dan Belanda, bangsa

Indonesia telah banyak berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Barat. Hal

yang sangat menonjol dari bangsa barat adalah intelektualismenya, yaitu

penghargaan terhadap kecerdasan otak dan ketrampilan kerja yang kemudian

berkembang dalam bentuk pengetahuan dan teknologi. Namun sejak Jepang dapat

mengalahkan Tentara Sekutu termasuk Belanda di dalamnya pada awal Perang

Dunia II di medan Pasifik maka melemah pula pengaruh kebudayaan barat di

Indonesia, termasuk dalam hal pendidikan. Sejak Jepang datang ke Indonesia,

sekolah-sekolah yang sempat ditutup karena situasi perang mulai dibuka kembali.

(22)

meski pendidikan sudah mulai dibuka kembali tapi rakyat Indonesia semakin

sengsara karena keadaan ekonomi yang benar-benar sulit. Pendidikan pada zaman

Jepang bertujuan untuk menanamkan kesadaran sebagai anggota suatu lingungan

yang dinamakan “Kemakmuran bersama Asia Timur Raya” di bawah lindungan

Jepang. Namun keberadaan Jepang yang tidak terlalu lama di Indonesia membuat

pemerintah yang pada tahun 1950 menandai awal kesungguhan pembangunan

pendidikan di Indonesia dengan menanamkan falsafah pendidikan bangsa Indonesia

yang bersifat kebangsaan untuk meninggalkan pengajaran di zaman penjajahan yang

dinilai kurang cocok dengan kepribadian Indonesia. Mulai akhir tahun 1950,

Pemerintah Indonesia memberikan perhatian pendidikan kejuruan dengan

meningkatkan jumlahnya, namun tidak disertai dengan penambahan fasilitas,

khususnya fasilitas praktik ataupun tenaga guru. Animo masyarakat untuk

menyekolahkan anaknya pada sekolah kejuruan semakin meningkat, tujuan kejuruan

semakin tidak jelas. Sekolah kejuruan lebih merupakan sekolah persinggahan untuk

meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi.

Pada awal Pelita I (1969-1974), pendidikan kejuruan mulai dibenahi dengan

mengupayakan suatu sistem pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

pembangunan. Pendidikan kejuruan lebih diarahkan pada pengembangan penyediaan

tenaga kerja, baik untuk keperluaan saat itu maupun untuk keperluan pada masa yang

akan datang. Pendidikan kejuruan di Indonesia memang berakar pada saat penjajahan

Belanda. Tekad pemerintah untuk membangun pendidikan kejuruan di Indonesia

ditunjukkan sejak Pelita I yang berlanjut hingga akhir Pelita VI. Upaya tersebut

dibuktikan dengan investasi besar-besaran untuk membangun gedung sekolah baru,

renovasi sekolah yang ada, meningkatkan sarana dan prasarana praktik,

(23)

APBN yang ada sumber dana untuk membangun pendidikan kejuruan juga berasal

dari kerjasama luar negeri dan lembaga keuangan internasional seperti IDB, Bank

Dunia, ADB, dll. Dalam sepak terjang perkembangan pendidikan kejuruan di

Indoensia mengalami berbagai hambatan. Diantaranya adalah sulitnya pendanaan

karena otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001, kesungguhan dan kapasitas

pemerintah daerah untuk melanjutkan ekspansi dan meningkatkan mutu pendidikan

kejuruan diragukan karena masih disibukkan dengan program jangka pendek dalam

rangka membenahi sistem yang ada dan membagi anggaran yang terbatas. Selain itu

perubahan lain yang perlu diperhatikan adalah perubahan kurikulum yang senantiasa

melakukan penyesuaian terhadap perubahan jaman. Menurut Supriadi (2002: 14)

sejak tahun 1994 misalnya, telah dilakukan beberapa kali pembaruan kurikulum

pendidikan kejuruan (1996, 1998, 1999, 2001). Bandingkan dengan kurikulum

pendidikan umum yang dalam jangka waktu yang sama hanya dilakukan beberapa

kali perubahan.

Potensi pendidikan kejuruan dirasa mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Maka dari itu jauh sejak Pelita 1

dan II, pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap pentingnya

pengembangan pendidikan teknik untuk mendukung komitmen nasional dalam

memajukan pembangunan ekonomi. Keberhasilan utama pembangunan pendidikan

menengah kejuruan pada Pelita VI adalah pembaruan wawasan para pelaku dan

pengelola pendidikan kejuruan itu sendiri, berupa peurbahan dari wawasan lama

yang cenderung sempit dan tertutup, menjadi berwawasan baru yang luas dan

(24)

2. Sekolah Menengah Kejuruan

Salah satu jenis pendidikan di dunia ini adalah pendidikan kejuruan. Menurut

Arikunto (1988) pendidikan kejuruan berkembang secara pesat sejak adanya Akte

Pendidikan Kejuruan (Vocational Education Act of 1963). Lebih lanjut disebutkan

bahwa perkembangan ini ditandai oleh pesatnya perkembangan fasilitas fisik untuk

melayani kebutuhan banyak orang dalam lingkup pendidikan kejuruan yang semakin

luas, tetapi tersedianya pelayanan belum sepadan dengan tuntutan. Investasi dalam

bidang fasilitas sebenarnya perlu diimbangi oleh adanya investasi di bidang program.

Program pendidikan yang dimaksud haruslah merupakan kurikulum inti yang

diarahkan untuk menyiapkan individu bagi perolehan pekerjaan. Dasar pendidikan

kejuruan harus didasarkan atas prinsip-prinsip belajar yang menekankan pada

penggunaan pengetahuan secara efektif. Wenrich and Galloway (dalam Sugiyono,

2003) mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan sama dengan pendidikan teknik

dan sama dengan pendidikan okupasi. “Pendidikan kejuruan telah terbukti

mempunyai peran yang besar dalam pembangunan industri, seperti di Jerman’’

(Priyowiryanto, dalam Sugiyono, 2003:12). “Pendidikan kejuruan dapat

didefinisikan sebagai pendidikan khusus yang direncanakan untuk menyiapkan

peserta didiknya untuk memasuki dunia kerja tertentu atau jabatan di keluarga, atau

meningkatkan mutu para pekerja” (Arikunto, 1988:5).

Soenarto (2003) pendidikan kejuruan, dikembangkan didasarkan pada prinsip

efisiensi sosial, yang sangat mendambakan kemampuan IQ peserta didik, oleh David

Snedden dan Charles Prosser bertujuan menyiapkan peserta didik untuk bekerja dan

mencari uang sebagai bekal hidup. Dalam penjelasan pasal 15 (Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2003) dinyatakan: “pendidikan kejuruan merupakan pendidikan

(25)

tertentu”. Dengan demikian untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki

kompetensi dan keahlian di bidang tertentu serta nilai-nilai moral dan etika yang baik

maka sekolah kejuruan harus mampu merencanakan proses pendidikan yang

berorientasi pada nilai moral dan karakter sebagai bentuk pembentukan

pembangunan karakter bangsa. Melalui program pembangunan karakter bangsa,

fungsi sekolah bukan sekedar sebagai tempat transfer of knowledge, namun sekolah

mengusahakan terjadinya proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai atau

value-oriented enterprise (Frankel, dalam Soenarto:2003).

Berkaitan dengan tujuan sekolah menengah kejuruan Sindhunata (2000),

mengemukakan bahwa pendidikan berfungsi sebagai pembelajaran yang berkenaan

dengan ketrampilan tertentu atau latihan tertentu. Dengan pengertian ini dapat

dipahami bahwa penyelenggaraan SMK adalah mempersiapkan siswanya untuk

memasuki lapangan kerja, oleh sebab itu pengalaman belajar yang terangkum dalam

kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.

Dalam Permendikbud No 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan

disebutkan bahwa Pendidikan Menengah Kejuruan yang terdiri atas SMK/MAK

diharapkan lulusannya memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif

dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di

sekolah secara mandiri. Tujuan SMK tersebut selanjutnya dijabarkan secara lebih

spesifik ke dalam tiap-tiap program keahlian. Menurut Sugiyono (2003:37), dalam

rangka menghasilkan kompetensi lulusan yang memadai maka pengembangan

pendidikan kejuruan harus mengikuti proses:

(26)

Lebih lanjut Sugiyono menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum

didasarkan pada standar kompetensi yang berkembang di dunia kerja dan

masyarakat. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah kejuruan (2008) menyebutkan

bahwa keberhasilan pendidikan kejuruan / SMK diukur dari tingkat keterserapan

tamatan/lulusan di dunia kerja. Untuk mencapai hal tersebut berbagai usaha

dilakukan oleh SMK melalui peningkatan mutu pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa SMK sebagai salah satu

lembaga pendidikan kejuruan bertujuan untuk memberikan kemampuan yang layak

kerja kepada siswa didiknya sebagai calon tenaga kerja yang sesuai dengan

persyaratan kompetensi di dunia kerja. SMK diharapkan mampu menghasilkan

lulusan yang dapat bekerja sebagai tenaga yang produktif, memiliki keahlian dan

ketrampilan di bidang tertentu, etos kerja, sehingga ketika lulus siap mengisi dan

menciptakan lapangan kerja atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

3. Kebijakan Link and Match dan Pembaruan SMK

Pendidikan Menengah Kejuruan mempunyai tujuan utama untuk menyiapkan

tamatannya memasuki dunia kerja. Berbagai kebijakan dan upaya telah dilakukan

pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, salah satunya dengan

sistem Pembangunan Lima Tahunan (Pelita) yang dimulai pada tahun 1969. Hingga

saat akhir Pelita V pada tahun 1993 akan berakhir berbagai kajian dilakukan sebagai

bahan dasar untuk memasuki Pelita VI. Supriadi (2002 : 222) menyebutkan telah

ditemukan beberapa hal yang dinilai kurang sejalan dengan konsep wawasan

pembangunan sumber daya manusia, antara lain :

a. Tamatan SMA/SMU yang lebih banyak dipekerjakan oleh dunia usaha/industri

daripada tamatan sekolah kejuruan dan gaji tamatan sekolah kejuruan yang tidak

(27)

b. Kurikulum 1994 untuk pendidikan kejuruan yang lebih berorientasi pada mata

pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa, dan tidak secara jelas terfokus pada

penguasaan kompetensi yang diperlukan di dunia kerja.

c. Kurikulum pendidikan kejuruan yang disusun oleh guru dan pakar pendidikan

yang tidak mempunyai wawasan lapangan kerja, diajarkan oleh guru yang tidak

mempunyai pengalaman di dunia kerja, dan evaluasi hasil pendidikan dengan

ukuran-ukuran dunia pendidikan, bukan dengan ukuran yang berlaku di dunia

kerja.

d. Kurangnya aplikasi konsep pembelajaran di sekolah yang menyerupai dengan di

dunia kerja seperti salah satu teori Prosser.

e. Perilaku sekolah yang kurang memahami pasar, wawasan mutu, dan wawasan

keunggulan untuk menghadapi persaingan.

Meskipun telah banyak hasil positif yang telah dicapai oleh pembangunan

pendidikan kejuruan sampai dengan Pelita V, ternyata pencapaian tersebut belum

mampu untuk menjadi landasan yang kuat untuk menghadapi tantangan yang ada

pada saat itu dan masa yang akan datang seiring dengan pesatnya peningkatan Iptek.

Sistem pendidikan kejuruan untuk masa depan haruslah tangguh, luwes, adaptif, dan

antisipatif. Namun upaya untuk menuju ke arah yang diharapkan, pendidikan

kejuruan menghadapai berbagai permasalahan diantaranya adalah masalah konsepsi,

program, dan operasional. Dengan permasalahan tersebut, maka pedidikan kejuruan

membuthkan suatu pembaruan yang bersifat menyeluruh dan tidak cukup hanya

dengan cara-cara konvesional. Dalam pelaksanaan pendidikan kejuruan harus

melibatkan dunia usaha/industri dalam penyusunan program, pelaksanaan, evaluasi,

(28)

pihak langsung yang berhadapan dengan perkembangan jaman yang semakin

modern.

Salah satu kebijakan baru dalam pembangunan pendidikan yang diperkenalkan

pada saat Kabinet Pembangunan VI di tahun 1994 adalah link and match. Secara harfiah, “link” berarti terkait, menyangkut proses yang harus interaktif, dan “match”

berarti cocok, menyangkut hasil yang harus sesuai atau sepadan. Karena itu, link and

match sering diterjemahkan menjadi “terkait dan sepadan”, sekalipun istilah terkait dan sepadan ini tidak sepenuhnya mengandung jiwa dan makna “link and match”

(Supriadi, 2002:231). Salah satu hal yang melatarbelakangi kebijakan tersebut yaitu

problema pendidikan yang tak adanya keterkaitan dan keterpadanan dengan dunia

kerja. Seakan-akan, pendidikan dan kerja adalah dua dunia yang berbeda dan tak

pernah saling menyapa. Pendidikan berjalan pada dunia sendiri yang tak jelas. Di

sisi lainnya, dunia kerja selalu berteriak bahwa ia harus bekerja keras menyiapkan

kebutuhan akan tenaga kerja yang diinginkannya. Menurut Supriadi (2002:231)

implikasi dari kebijakan “link and match” meliputi wawasan sumber daya manusia,

wawasan masa depan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai tambah dan

wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan

kejuruan. Lebih lanjut Supriadi juga menyatakan bahwa kebijakan “link and match”

merupakan dasar yang kuat dan tepat untuk melakukan pembaruan pendidikan

kejuruan. Hal ini didasari pemikiran bahwa kebijakan tersebut mengharapkan

perbaikan yang mendasar dan menyeluruh tentang perbaikan konsep, program, dan

perilaku operasionalnya, membuka dan mendorong hubungan kemitraan antara

prndidikan kejuruan dengan dunia usaha/industri yang pada dasarnya mendekatkan

(29)

4. Praktek Kerja Industri

a. Pengertian Pendidikan Sistem Ganda (PSG)

“Walaupun upaya peningkatan mutu pendidikan kejuruan telah

ditempuh, namun jenis keahlian dan jumlah lulusan yang dihasilkan oleh SMK

belum sesuai dengan permintaan pasar kerja, sehingga masalah pengangguran

masih merupakan problem yang belum teratasi” (Sugiyono, 2003:16). Menurut

Batubara (dalam Sugiyono, 2003:16) ada beberapa penyebab terjadinya

kesenjangan antara permintaan tenaga kerja oleh dunia usaha dan industri dengan

jenis keahlian dan jumlah lulusan sekolah kejuruan:

(1) perekonomian Indonesia yang cukup baik, dengan angka pertumbuhan 7,4 % menunjukkkan adanya peningkatan peluang kerja;

(2) kegiatan ekonomi mulai bergeser dari sektor pertanian ke sektor industri, komunikasi, dan pertambangan;

(3) kegiatan sektor industri mengarah pada produk-produk eksport yang bersifat padat modal sehingga tidak memperluas kesempatan kerja.

Untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi antara keahlian yang

diperlukan oleh dunia kerja dengan keahlian lulusan SMK, pemerintah

menerapkan konsep “link and match’’ atau “keterkaitan dan kesepadanan” dalam

penyelenggaraan pendidikan kejuruan (Wardiman, dalam Sugiyono: 2003), yang

realisasinya ditempuh melalui program pendidikan sistem ganda. Pendidikan

Sistem Ganda adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian

kejuruan, yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di

sekolah dan program belajar melalui kegiatan bekerja langsung pada bidang

pekerjaan yang relevan, terarah untuk mencapai penguasaan kemampuan

keahlian tertentu (Supriadi, 2002:242).

Dari pengertian di atas, siswa sekolah menengah kejuruan (SMK)

(30)

juga akan bekerja secara langsung di industri untuk mendapatkan keahlian

profesional sesuai dengan bidangnya.

Hal ini berarti adanya keikutsertaan secara sadar pihak industri untuk

membina dan meningkatkan mutu pendidikan kejuruan yang diikat secara

sistematis melalui sistem ganda. Kerja sama kemitraan ini akan terjadi apabila

adanya kebersamaan tanggung jawab dalam meningkatkan mutu dan kesesuaian

lulusan pendidikan kejuruan. Dalam kerjasama ini dunia kerja tidak sekedar

memberikan masukan dan bantuan kepada SMK, namun juga berperan aktif

dalam mendidik para siswa untuk siap memasuki lapangan kerja. (Soenarto,

2003:1)

Dalam pelaksanaannya, PSG dilakukan oleh sekolah bersama dunia

usaha/industri sebagai intitusi pasangan. Mengingat beragamnya kondisi SMK

dan dunia industri, PSG diselenggarakan secara bertahap mulai SMK-SMK yang

dinilai telah memiliki kesiapan minimal untuk melaksanakan model pendidikan

ini. Kriteria kesiapan tersebut terutama ditentukan oleh keberhasilan SMK yang

bersangkutan dalam membina hubungan kerjasama dengan dunia usaha/industri

dan keberhasilan manajemen dalam mengelola kegiatan pendidikan dan

kelembagaannya.

Menurut Soenarto (2003) ada 3 prinsip dasar penyelenggaraan PSG: (1)

kurikulum yang dikembangkan secara terpadu dan berkelanjutan yang

disesuaikan dengan kompetensi keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan

dunia usaha/industri; (2) dalam penyelenggaraan pendidikan pelajaran teori

dilaksanakan di sekolah dan pelajaran praktikum dilaksanakan di industri sebagai

aplikasi nyata kegiatan kerja yang sebenarnya; (3) mengikutsertakan dunia usaha

(31)

penyaluran lulusan. Prinsip ini sesuai dengan teori pendidikan kejuruan yang

dikenal dengan Enam Belas Teori Prosser (Prosser dan Allen, 1925 dalam

Arikunto, 1988:247-249), tiga diantaranya sebagai berikut:

(1) pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan jika tugas latihan dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang diterapkan di tempat kerja;

(2) pendidikan kejuruan akan efektif jika individu dilatih secara langsung dan spesifik untuk membiasakan berfikir dan bekerja secara teratur;

(3) menumbuhkan kebiasaan kerja yang efektif kepada siswa akan terjadi hanya jika pelatihan dan pembelajaran yang diberikan berupa pekerjaan nyata dan bukan sekedar latihan.

PSG merupakan salah satu terobosan “link and match” yang sudah mulai

dilaksanakan mulai pada awal Pelita VI (tahun 1994/1995). Semenjak itu, PSG

sebagai kajian yang tak terpisahkan dari kebijakan “link and match” yang

implikasinya berupa Praktik Kerja Industri (Prakerin) dijadikan pola utama

menyelenggarakan kurikulum SMK di Indonesia. Program ini mendapatkan

sinyal yang positif dari elemen masyarakat karena mutu tamatan yang semakin

membaik dan hasilnya terasa semakin signifikan. Hal ini merupakan landasan

yang kuat bagi percepatan laju pembangunan pendidikan kejuruan dalam

menghadapi perkembangan jaman.

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (2008) menyebutkan

bahwa Pendidikan Sistem Ganda mempunyai tujuan sebagai berikut :

a. Pemenuhan Kompetensi sesuai tuntutan Kurikulum

Penguasaan kompetensi dengan pembelajaran di sekolah sangat ditentukan

oleh fasilitas pembelajaran yang tersedia. Jika ketersediaan fasilitas terbatas,

sekolah perlu merancang pembelajaran kompetensi di luar sekolah (Dunia

Kerja mitra). Keterlaksanaan pembelajaran kompetensi tersebut bukan

diserahkan sepenuhnya ke Dunia Kerja, tetapi sekolah perlu memberi arahan

(32)

b. Implementasi Kompetensi ke dalam dunia kerja

Kemampuan-kemampuan yang sudah dimiliki peserta didik, melalui latihan

dan praktik di sekolah perlu diimplementasikan secara nyata sehingga

tumbuh kesadaran bahwa apa yang sudah dimilikinya berguna bagi dirinya

dan orang lain. Dengan begitu peserta didik akan lebih percaya diri karena

orang lain dapat memahami apa yang dipahaminya dan pengetahuannya

diterima oleh masyarakat.

c. Penumbuhan etos kerja/Pengalaman kerja.

SMK sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan dapat menghantarkan

tamatannya ke dunia kerja perlu memperkenalkan lebih dini lingkungan

sosial yang berlaku di Dunia Kerja. Pengalaman berinteraksi dengan

lingkungan Dunia Kerja dan terlibat langsung di dalamnya, diharapkan dapat

membangun sikap kerja dan kepribadian yang utuh sebagai pekerja.

Dengan tercapainya tujuan di atas, maka kualitas sumber daya manusia

Indonesia akan meningkat sehingga akan mampu bersaing dalam mencari

maupun menciptakan lapangan pekerjaan.

Berdasarkan standar kemampuan yang harus dikuasai dan materi yang

harus dipelajari, ditetapkan berapa lama pendidikan dan pelatihan itu akan

dilaksanakan, kemudian disepakati berapa lama dilaksanakan di sekolah dan

berapa lama di instusi pasangannya. Selanjutnya disepakati model pengaturan

penyelenggaraan program yang menyangkut tentang kapan dilaksanakan di SMK

dan kapan dilaksanakan di insitusi pasangannya. Secara garis besar model

(33)

Model penyelenggaraan PSG sesuai dengan kondisi di Indonesia, telah

dirumuskan oleh Depdikbud (dalam Irwanto, 2004) terdiri dari empat macam,

yaitu:

a. Model I, berupa I day release, disepakati bersama dari enam hari belajar atau

praktik dalam satu minggu, berapa hari di sekolah dan berapa hari di industri,

b. Model II, berupa block release, disepakati bersama bulan/catur wulan/semester mana di sekolah dan bulan/catur wulan/semester mana di

industri,

c. Model III, berupa hours release, disepakati jam-jam yang harus dilepas dari

sekolah dan dilaksanakan di industri, dan

d. Model IV, berupa gabungan dari tiga jenis model di atas.

b. Praktik Kerja Industri (Prakerin)

1) Pengertian

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata praktik berati

“pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori”. Prakerin merupakan

model pelatihan yang bertujuan untuk memberikan kecakapan yang

diperlukan dalam pekerjaan tertentu sesuai dengan tuntutan kemampuan bagi

pekerjaan (Bondan Arum Pratiwi, 2009:16).

Prakerin adalah kegiatan yang bersifat tempuh bagi siswa SMK yang

merupakan bagian dari program PSG. Dalam Permendiknas tentag pedoman

teknis pelaksanaan PSG pada SMK disebutkan bahwa Prakerin adalah praktik

keahlian produktif yang dilaksanakan di indistri atau perusahaan yang

berbentuk kegiatan mengerjakan produksi/jasa (Estiko Suparjono, 1999:259).

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Prakerin adalah suatu kegiatan

(34)

dilakukan di dunia industri/usaha serta memiliki konsep tersendiri dalam

pelaksanaannya bertujuan meningkatkan kecakapan siswa dalam pekerjaan

tersebut.

2) Tujuan Prakerin

Pelaksanaan Prakerin merupakan salah satu upaya mencapai tujuan dari

penyelenggaraan PSG. Keputusan Menteri Pendidikan No. 323/U/1997

(Estiko Suparjono, 1999:257) dapat disimpulkan tujuan Prakerin adalah

kemampuan yang telah didapatkan peserta didik dari proses pemvelajaran di

sekolah diterapkan atau diimplementasikan secara nyata di DU/DI sehingga

tumbuh etos kerja. Sehingga dapat disimpulkan tujuan utama program

Prakerin mengoptimalkan hasl pembelajaran pada pendidikan kejuruan di

sekolah dengan pengalaman kerja di industri untuk mencapai tujuan

pendidikan kejuruan secara maksimal.

5. Kesiapan Pelaksanaan Prakerin oleh Sekolah

Pelaksanaan Prakerin menuntut dipersiapkannya kondisi-kondisi yang

memungkinkan Prakerin dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di SMK.

Penyiapan kondisi-kondisi dimaksud meliputi sosialisasi Prakerin, penyiapan sarana

dan prasarana, kurikulum, guru, siswa, kepemimpinan sekolah, serta upaya

meningkatkan peran serta dunia usaha/industri dalam pelaksanaan Prakerin.

Kesiapan (readiness) menurut kamus psikologi ( Gulo, dalam Supardi, 1996) adalah

suatu titik kematangan untuk menerima dan mempraktikkan tingkah laku tertentu.

Dengan demikian kesiapan menunjuk perilaku tertentu yang sudah dimiliki

seseorang dan hanya tinggal mempergunakannya saja. Selanjutnya menurut Goog

yang dikutip oleh Sukirin (1975 : 3) menyebutkan, bahwa kesiapan terhadap sesuatu

(35)

pengalaman-pengalaman yang diperlukan serta keadaaan mental dan emosi yang

serasi.

Dari batasan tersebut, maka pengertian kesiapan pelaksanaan Prakerin oleh

sekolah adalah ketersediaan sekolah dalam melaksanakan dan mempraktikkan

Prakerin. Secara garis besar kesiapan sekolah dalam menghadapi pelaksanaan

Prakerin, peneliti membagi menjadi empat yaitu kesiapan kesiapan administrasi dan

organisasi, kesiapan biaya, kesiapan pengelolaan program, dan kesiapan guru

pembimbing.

a. Kesiapan Administrasi

Penataan, pengaturan, pengelolaan, dan kegiatan-kegiatan lain yang

sejenis, yang berkaitan dengan lembaga pendidikan saat ini disebut dengan

administrasi pendidikan. Administrasi pendidiakan dapat disinonimkan dengan

manajemen (Suharsimi Arikunto, dalam Hartati Sukirman, 1998 :1).

Administrasi pendidikan dapat diberi makna sebagai kegiatan atau proses

menata berbagai faktor, unsur, dan atau aspek pendidikan (Hartati Sukirman,

1998 : 6).

Suharsimi Arikunto (1988:30) mengemukakan menurut pengertian modern

administrasi adalah suatu usaha bersama sekelompok manusia untuk mencapai

tujuan organisasi secara efektif dan efisien menggunakan dana dan daya yang

ada. Sedangkan Gie Liang ( dalam Suharsimi Arikunto, 1988) memberikan

definisi bahwa administrasi adalah segenap proses penyelenggaraan usaha kerja

sama manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Administrasi pendidikan

bertujuan menata, mengatur, mengelola, segala sesuatu yang berkenaan dan atau

berkaitan dengan kegiatan pendidikan agar mendukung upaya pencapaian tujuan

(36)

berhubungan dengan pengaturan, pelayanan dan kegiatan lain yang menunjang

pencapaian tujuan. Pekerjaan administrasi selalu dalam hubungan dengan dan

melalui orang-orang untuk mengarah pada pencapaian tujuan secara efektif dan

efisien. Menurut Suharsimi Arikunto (1988 : 36) pendapat yang paling dikenal

dari beberapa ahli dan paling sering digunakan adalah pendapat yang

dikemukakan oleh Gulick dan Urwick. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa

fungsi-fungsi administrasi menurut Gulick dan Urwick tersebut adalah perencanaan

(planning), pengorganisasian (organizing), penunjukan personil (staffing),

pengarahan (directing), pengkoordinasian (coordinating), pelaporan (reporting),

dan pembiayaan (budgeting).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa administrasi

adalah suatu usaha bersama sekelompok manusia yang meliputi pengelolaan dan

pengaturan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien

menggunakan daya dan dana yang ada. Dalam pekerjaan tersebut termasuk di

dalamnya adalah teknis pencatatan, surat menyurat, kearsipan dan sejenisnya

yang kesemuanya itu adalah kegiatan dalam kantor atau tata usaha. Kesiapan

administrasi sangat diperlukan dalam menghadapi pelaksanan PSG pada SMK.

Dengan handalnya administrasi atau manajemen sekolah akan memudahkan

terjalinnya hubungan antar sekolah dan industri sebagai pasangannya.

Berdasarkan uraian di atas maka kesiapan administrasi sekolah yang

dimaksud dalam penelitian ini diartikan sebagai ketersediaan usaha dan kegiatan

yang meliputi pengelolaaan dan pengaturan yang ditandai dengan : (1) kesiapan

perencanaan prosedur pelaksanaan Prakerin, (2) pembentukan organisasi dan

(37)

b. Kesiapan Biaya

Menurut kamus online Wikipedia Bahasa Indonesia, biaya adalah semua

pengorbanan yang perlu dilakukan untuk suatu proses produksi, yang dinyatakan

dengan satuan uang menurut harga pasar yang berlaku, baik yang sudah terjadi

maupun yang akan terjadi. Biaya terbagi menjadi dua, yaitu biaya eksplisit dan

biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang terlihat secara fisik, misalnya

berupa uang. Sementara itu, yang dimaksud dengan biaya implisit adalah biaya

yang tidak terlihat secara langsung, misalnya biaya kesempatan dan penyusutan

barang modal (http://id.wikipedia.org/wiki/Biaya). Sedangkan menurut Mulyadi

(2005 ; 8) biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam

satuan uang, yang telah terjadi, sedang terjadi atau yang kemungkinan akan

terjadi untuk tujuan tertentu. Lebih lanjut dikemukakan oleh Mulyadi bahwa

biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan digolongkan menjadi 3

kelompok, yaitu ;

1) Biaya Produksi, yaitu semua biaya yang berhubungan dengan fungsi

produksi atau kegiatan pengolahan bahan baku menjadi produk selesai.

Biaya produksi dapat digolongkan ke dalam biaya bahan baku, biaya tenaga

kerja, dan biaya overhead pabrik.

2) Biaya Pemasaran, adalah biaya-biaya yang terjadi untuk melaksanakan

kegiatan pemasaran produk, contohnya biaya iklan, biaya promosi, biaya

sampel, dll.

3) Biaya Administrasi dan Umum, yaitu biaya-biaya untuk mengkoordinasikan

kegiatan-kegiatan produksi dan pemasaran produk, contohnya gaji bagian

(38)

Dalam Peraturan Menteri No 69 Tahun 2009 Tentang Standar Biaya

pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia

1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak

mendapat pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar

dan pemerintah wajib membiayainya, pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, negara memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional, pemerintah memajukan ilmu

pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan

persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia

Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan

dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan

mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi

tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat

pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi

pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah.

Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan

biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan

sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja

(39)

peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan

berkelanjutan.

Fungsi institusi pasangan sebagai mitra penyelenggara pendidikan

dengan pihak sekolah adalah melaksanakan kegiatan; perumusan bersama

tentang pola/sistem penerimaan siswa baru , penyusunan kurikulum, pengaturan

bersama keterlaksanaan pembelajaran baik di sekolah maupun di dunia usaha

industri, melaksanakan uji kompetensi dan sertifikasi, melakukan evaluasi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas sumber utama pembiayaan dalam

Prakerin adalah diupayakan dari anggaran sekolah sebagai salah satu

penyelenggara pendidikan. Namun tidak menutup kemungkinan sumber biaya

berasal dari sponsor atau pihak lain selama tidak bertentangan dengan peraturan

yang berlaku. Sedangkan segala kebutuhan Prakerin di industri, segala

pembiayaan diusahakan sepenuhnya oleh pihak industri sebagai institusi

pasangan sekolah, dalam hal ini segala sesuatu yang meliputi sarana dan

prasarana praktik, uji kompetensi, sertifikasi, dan instruktur di industri. Dalam

penyelenggaraan pengelolaan dana, kelompok kerja Prakerin harus dapat

mengalokasikan biaya yang ada untuk menunjang Prakerin. Biaya tersebut

diantaranya untuk pembekalan siswa, monitoring, administrasi, dan segala

keperluan lainnya. Pengelolaan biaya juga harus transparan dan dilakukan

pelaporan keuangan di akhir pelaksanaan Prakerin.

c. Kesiapan Pengelolaan Program

Secara umum kata pengelolaan dapat didefinsikan sebagai suatu

rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk

melakukan serangkaian kerja dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan

Gambar

Tabel 1. Subyek Penelitian
Tabel 2. Kisi-Kisi Instrumen Tertutup untuk Mengukur Pelaksanaan Praktek Kerja Industri Teknologi Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan
Tabel 3. Kisi-Kisi Instrumen Terbuka untuk Mengukur Pelaksanaan Praktek Kerja
Tabel 4. Kategori Skor Prosentase
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peran Industri Dalam Pelaksanaan Praktek Kerja Industri (Prakerin) Siswa Jurusan Tata Busana SMK Negeri 6 Semarang. Prodi PKK Konsentrasi Tata Busana. Jurusan Teknologi Jasa

Simpulan dari penelitian ini ialah secara simultan pengalaman praktik kerja industri (prakerin), efikasi diri, dan kompetensi akuntansi berpengaruh terhadap kesiapan

Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) Mengetahui bagaimana pelaksanaan prakerin pada program keahlian Teknik Pemesinan di SMK wilayah Surakarta. 2) Mengembangkan

Menurut sylvia Rozi (13;2005) Praktek Kerja Industri akan memberikan banyak manfaat bagi siswa. diantaranya; 1) Keahlian professional yang diperoleh selama PRAKERIN akan

tersebut maka pihak sekolah setiap tahunnya mengirimkan siswa kelas XI untuk belajar di industri selama empat bulan. Namun dalam pelaksanaannya program prakerin ini masih belum

PENGEMBANGAN STANDAR PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA INDUSTRI (PRAKERIN) SISWA SMK PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK PEMESINAN DI WILAYAH SURAKARTA. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan

Maka disimpulkan bahwa H0 berhasil ditolak dan menerima Ha artinya bahwa secara parsial terdapat pengaruh yang signifikan antar prakerin terhadap motivasi

(1)Terdapat korelasi positif dan signifikan Pelaksanaan Praktik Kerja Industri (Prakerin) terhadap Kesiapan Memasuki Dunia Kerja Siswa SMKN 1 Batam sebesar 0,427,