1 A. Latar Belakang
Pendidikan adalah proses yang tidak akan ada hentinya, sejak seseorang dilahirkan
hingga akhir hayatnya. Pendidikan merupakan elemen yang penting bagi berlangsungnya
hidup suatu bangsa. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan manusia yang sangat
penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan peranannya
dalam masyarakat. Pendidikan menjadi tolok ukur keberhasilan suatu bangsa.
Pembangunan akan maju apabila didukung dengan pendidikan yang bermutu. Pendidikan
dikatakan bermutu apabila proses pembelajaran berlangsung efektif dan peserta
memperoleh pengalaman yang bermakna bagi dirinya. Di dalam Undang–Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dikemukakan pengertian dari pendidikan yaitu:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Bangsa kita dituntut untuk dapat mempersiapkan diri khususnya dalam
mempersiapkan SDM yang unggul, padahal faktor utama yang menentukan mampu
tidaknya bersaing adalah SDM yang memiliki kompetensi, menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta mampu menghasilkan produk unggul. Karena itu, mempersiapkan
SDM harus dilaksanakan secara sungguh dan terencana dengan baik. Jenis pendidikan
yang dibutuhkan untuk situasi seperti sekarang adalah pendidikan yang dapat membekali
peserta didik, melalui ketramplian aplikatif yang dikemudian hari bisa dirasakan dalam
lingkungan masyarakat. Eksistensi pendidikan akan menentukan kualitas sumber daya
manusia. Indikasi sumber daya manusia yang berkualitas salah satunya adalah
satu lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga profesional adalah Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan juga bahwa Standar kompetensi
lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Pendidikan profesionalisme tidak dapat sepenuhnya dapat dilakukan oleh sekolah.
Kegiatan profesional bisa dicapai salah satunya melalui kegiatan langsung melakukan
kegiatan sesungguhnya. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
menggariskan bahwa arah pengembangan pendidikan kejuruan pada SMK akan
dibangun dan didorong sehingga mampu menuntaskan misinya dengan tujuan yang
terukur, yaitu : (1) menghasilkan lulusan yang memiliki bekal ketrampilan kompetensi
tertentu, (2) menghasilkan lulusan yang profesional untuk dapat mengisi keperluan
industrialisasi dan pembangunan nasional, dan (3) menghasilkan lulusan yang mampu
mengikuti perkembangan iptek dan mampu meningkatkan kualitas dirinya secara
berkelanjutan.
Pada sisi lain, keadaan pendidikan kejuruan yang ada saat ini cukup
memprihatinkan. Keadaan ini ditandai dengan adanya isu bahwa terdapat kesenjangan
antara pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki lulusan pendidikan kejuruan dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Hal ini sesuai dengan
pendapat Slamet (dalam Warseno, 1997) yang mengatakan bahwa penyiapan tenaga
kerja lewat jalur pendidikan kejuruan masih mengandung banyak kelemahan, baik
tingkat konsep maupun pada praktiknya.
Salah satu pembaharuan yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
pembelajaran siswa diluar sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah dengan
dunia kerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan siswa dan sebagai kontribusi
nyata dunia kerja terhadap pengembangan program pendidikan di SMK. Pendidikan
Sistem Ganda merupakan salah satu model pendidikan yang dipandang mampu
menjembatani dan paling efektif untuk mendekati kesesuaian antara penyediaan dan
permintaan (supply and demand) ketenagakerjaan (Dit. Dikmenjur, 1993 : 3). Sistem ini
juga sesuai dengan kebijaksanaan Kementrian Pendidikan tentang keterkaiatan dan
kesepadanan (link and match) antara dunia pendidikan dan dunia industri. Pendidikan
Sistem Ganda memiliki tujuan-tujuan penting sehingga bisa membentuk lulusan yang
berkualitas diantaranya adalah memberikan gambaran awal tentang dunia kerja dan
memberikan wawasan baru yang tidak di dapat di bangku sekolah. Pendidikan Sistem
Ganda merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menyelaraskan atau
membandingkan ilmu yang sudah didapat di sekolah dengan yang ada di lapangan. Dalam
kegiatan Pendidikan Sistem Ganda ini para siswa dituntut untuk mampu hidup ditengah –
tengah masyarakat dan secara langsung mengidentifikasi serta menangani masalah –
masalah yang dihadapi. Oleh karena itu Pendidikan Sistem Ganda ini sangat penting bagi
para siswa, karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
pesat serta lapangan pekerjaan yang semakin sulit. Maka diharapkan dengan adanya
Pendidikan Sistem Ganda ini para siswa mendapat pengalaman serta pengetahuan yang
lebih luas dalam dunia kerja yang nantinya setelah keluar sekolah dapat temotivasi untuk
memciptakan lapangan kerja sendiri. Saat ini salah satu program yang merupakan bagian
dari pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda adalah Praktek Kerja Industri atau lebih
dikenal denga Prakerin.
Sebagai gambaran penelitian ini mengambil SMK Negeri 3 Pacitan. Sekolah yang
N 3 Pacitan pada tanggal 08 Januari 2002 yang beralamat di Jl. Letjend Soeprapto No. 47
Pacitan Jawa Timur tersebut kini semakin maju dan semakin menjadi salah satu sekolah
kejuruan bidang teknologi yang diminati oleh lulusan siswa menengah pertama.
Mempunyai lima jurusan yaitu Teknik Mekanik Otomotif (Teknik Speda Motor dan
Teknik Kendaraan Ringan), Teknik Audio Video, Teknik Jasa Boga, Teknik Busana
Batik, dan Teknik Pengolahan Hasil Perikanan. Guna menunjang sarana belajar mengajar
di SMK, pihak sekolah telah menyediakan berbagai fasilitas pendukung. Adapun fasilitas
yang disediakan adalah Bengkel Otomotif + Unit Produksi, Bengkel Audio ,Video Lab
Tata Busana + Unit Produksi, Lab Restoran + Unit Produksi, Lab Pengolahan Hasil
Perikanan, lab Komputer, Hotspot Area, Radio Pendidikan MP3 FM, TV Edukasi, Bursa
Kerja Khusus (BKK), peralatan musik lengkap, lapangan olah raga, ruangan ekstra
kurikuler dan sarana umum lainnya.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap salah satu
anggota kelompok kerja prakerin di SMK Negeri 3 Pacitan pada tanggal 9 Januari 2013
diketahui bahwa dalam proses pengelolaan Prakerin dilaksanakan kurang lebih sama
dengan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Proses yang dilakukan meliputi
pembentukan panitia, penyebaran angket wali murid, pemetaan awal, pembentukan
pendamping Prakerin, pembekalan siswa, pelaksanaan, monitoring, pelaporan, dan
evaluasi. Dalam pelaksanaannya permasalahan yang sering dihadapi adalah
ketidakcocokan peserta dengan dunia usaha/industri, pembimbingan yang kurang optimal,
dan tidak dilaksanakannya uji kompetensi. Tentunya permasalahan seperti di atas perlu
ditindaklanjuti agar pelaksanaan program selanjutnya dapat berjalan sesuai dengan
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan
terhadap pelaksanaan Prakerin pada jurusan Teknologi Kendaraan Ringan SMKN 3
Pacitan Jawa Timur.
B. Identifikasi Masalah
Masalah–masalah yang dapat diidentifikasi dalam penyelenggaraan Prakerin antara
lain:
1. Pengelolaan Administrasi Prakerin
Kesiapan administrasi sangat diperlukan dalam menghadapi pelaksanaan
Prakerin. Dengan handalnya administrasi atau manajemen sekolah akan
memudahkan terjalinnya hubungan antara sekolah dan industri sebagai pasangannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Supardi (1996) menunjukkan bahwa tingkat kesiapan
administrasi Prakerin mencapai rata-rata 69,33 % termasuk dalam kategori sedang.
Aspek kesiapan perencanaan prosedur pelaksanaan Prakerin mencapai kategori
sedang (58,33 %) dan aspek kesiapan pengarahan kepada siswa dalam rangka
pembekalan baru mencapai tingkat sedang, yaitu 50 %. Dari gambaran tersebut
seharusnya sekolah yang sudah menyelenggarakan Prakerin sejak lama dalam
pengelolaan administrasi dapat optimal. Suharsimi Arikunto (1988:30)
mengemukakan menurut pengertian modern administrasi adalah suatu usaha bersama
sekelompok manusia untuk mencapai tujuan organisasi secara efektf dan efisien
menggunakan dana dan daya yang ada. Berdasarkan uraian tersebut seharusnya
kesiapan administrasi Prakerin merupakan ketersediaan usaha dan kegiatan yang
meliputi pengelolaan, pengaturan, dan manajemen untuk mencapai tujuan Prakerin
secara efektif dan efisien yang berhubungan dengan kegiatan kantor atau tata usaha,
pembentukan organisasi dan penujukan personel pengelola Prakerin, adanya
koordinasi pelaksanaan Prakerin, pelaksanaan pengarahan kepada siswa, dan
kesiapan dana atau biaya Prakerin.
2. Kesiapan Guru Pembimbing
Sebagai usaha untuk mencapai tujuan pendidikan dalam pelaksanaan sistem
ganda pada SMK, guru merupakan petugas yang sangat vital keberadaannya. Guru
pembimbing mempunyai tugas mempersiapkan, mengarahkan, memotivasi, melatih,
menilai, dan membimbing siswa peserta Prakerin dalam melaksanakan kegiatan
komponen pendidikan (Dit. Dikmenjur, 1995 : 3). Untuk meningkatkan kemampuan
pembimbing perlu kalangan industri membuka diri dan bersedia menerima dan
melibatkan guru SMK pada industri.
Penelitian yang dilakukan oleh Supardi (1996) menyimpulkan bahwa tingkat
kesiapan guru pembimbing siswa peserta Prakerin mencapai rata-rata 73,21 %, dan
belum ada aspek kesiapan yang mencapai 100%. Sedangkan menurut Wardiman
Djojonegoro (dalam Warseno, 1997) bahwa salah satu kurang hambatan yang
dialami pada pelaksanaan program Prakerin adalah kurangnya pengalaman dan
kemampuan guru pembimbing dalam membimbing siswa di industri. Jujur diakui
beberapa siswa SMK bahwa guru pembimbing Prakerin, kurang memberikan
bimbingan walaupun terdapat jadwal yang sudah ditentukan. Hal ini dikarenakan
kesibukan guru pembimbing di sekolah.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kesiapan guru pembimbing belum
sepenuhnya optimal dan belum dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.
Untuk dapat menjadi seorang guru pembimbing Prakerin, guru harus memenuhi
kualifikasi sesuai dengan ketentuan dari Depdikbud (Dit. Dikmenjur, 1995:3).
jenis, yaitu : menguasai bahan, mengelola program mengajar, menggunakan media
atau sumber, menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar
mengajar, menilai prestasi siswa, mengenal fungsi dan program bimbingan dan
penyuluhan, dan menafsirkan hasil-hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
3. Pembiayaan
Pelaksananaan Prakerin tentunya juga memerlukan pembiayaan yang tidak
sedikit guna menunjang program tersebut. Irwanto (2004) Pembiayaan pelaksanaan
Prakerin meliputi operating cost dan capital cost. Operating cost merupakan biaya operasional pelaksanaan Prakerin, yang dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu
: biaya persiapan meliputi pembekalan/orientasi, administrasi perizinan; biaya
pelaksanaan ,meliputi honor dan transportasi pembimbing dalam melaksanakan
monitoring, asuransi peserta; biaya uji kompetensi, yaitu honor penguji, sertifikasi,
administrasi dan evaluasi kegiatan. Sedangkan capital cost merupakan biaya tetap yang harus ada dalam pelaksanaan Prakerin. Biaya ini meliputi fasilitas, bahan dan
alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Prakerin di industri. Mengingat aktivitas
praktik sebagian besar dilakukan di dunia usaha/industri, maka capital cost pada dasarnya ditanggung oleh industri terkait.
Menurut (Djauhari, 1997:19) mengatakan bahwa pembiayaan pendidikan
kejuruan dibagi menjadi dua yaitu: (1) segala bentuk pembiayaan yang diakibatkan
oleh pelatihan yang diselenggarakan di perusahaan ditanggung oleh perusahaan; dan
(2) segala bentuk pembiayaan yang dibutuhkan untuk pendidikan di sekolah kejuruan
ditanggung oleh pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Sophia Daitupen (1997)
menunjukkan bahwa dana untuk pembiayaan operasional pelaksanaan Prakerin STM
Budya Wacana dan STM Panca Sakti mendapat dana khusus dari yayasan, namun
siswa. Seharusnya kalau kita mengacu sesuai peraturan yang ada telah disebutkan
bahwa Berdasarkan Permendiknas No 69 Tahun 2009 Tentang Standar Biaya Operasi
Nonpersonalia Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan
Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Biaya operasi nonpersonalia
meliputi: biaya alat tulis sekolah (ATS), biaya bahan dan alat habis pakai (BAHP),
biaya pemeliharaan dan perbaikan ringan, biaya daya dan jasa, biaya
transportasi/perjalanan dinas, biaya konsumsi, biaya asuransi, biaya pembinaan
siswa/ekstra kurikuler, biaya uji kompetensi, biaya praktek kerja industri, dan biaya
pelaporan. Biaya praktek kerja industri (prakerin) adalah biaya untuk
penyelenggaraan praktek industri bagi peserta didik SMK.
Dari uraian tersebut sudah jelas bahwa tentunya segala pembiayaan
operasional pelaksanaan Prakerin seperti buku panduan, buku kegiatan, surat
menyurat, monitoring, evaluasi, uji kompetensi, dan sertifikat sepenuhnya
diusahakan oleh sekolah dari alokasi dana yang sudah direncanakan sebelumnya
sehingga tidak memberikan beban baru pada siswa calon peserta PSG.
4. Pelaksanaan Prakerin
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan mengacu pada PP No. 17 Tahun
2010 sebagai acuan atau standar minimum yang harus dicapai. Isi program
pendidikan dan pelatihan kejuruan tersebut harus disesuaikan dan diselaraskan
dengan tuntutan lapangan kerja. Penyesuaian tersebut dilakukan bersama oleh SMK
dengan institusi pasangannya dan hasilnya disepakati untuk dilaksanakan secara
meliputi : (1) standar
kesiapan dunia kerja
Hal ini diperlukan a
prakerin tepat sasaran
bawah menunjukkan a
Dari diagram
prakerin perlu dilaku
ar kemampuan tamatan program pendidikan d
dengan Prakerin harus jelas mengacu pada
ia kerja, atau persyaratan profesi tertentu, (2)
lukan untuk mencapai penguasaan standar ke
kan. Maka dari itu kesiapan mitra industri
ga harus diperhatikan. Perancangan ini per
i antara kesiapan mitra industri dengan sekol
pelaksanaan Prakerin yang telah dirancan
stri terkait.
rektorat Pembinaan Sekolah Menengah Ke
an program prakerin tidak terlepas dari imple
, yang membutuhkan metode, strategi dan ev
ngan prakerin sebagai bagian pembelajaran pe
ja mitra dalam melaksanakan pembelajaran ko
agar dalam pelaksanaannya, penempatan pe
ran sesuai dengan kompetensi yang akan dipe
n alur kerja perancangan program prakerin.
Gambar 1. Diagram Alir Prakerin
di atas menunjukkan bahwa dalam pera
kukan analisis terhadap kemampuan-kemam
n dan pelatihan yang
da pencapaian yang
) standar pendidikan
kemampuan tamatan
tri sebagai institusi
erlu dilakukan agar
ipelajari. Diagram di
erancangan program
dikuasai peserta didik berdasarkan tuntutan standar kompetensi/ kompetensi dasar
yang tertera dalam silabus. Analisis dimaksudkan untuk mendapatkan informasi
kompetensi apa saja yang dapat dipelajari di sekolah dengan fasilitas yang tersedia
dan kompetensi apa saja yang dipelajari di dunia kerja. Sedangkan khusus untuk
pelaksanaan Prakerin di SMK materi/isi pendidikan dan pelatihan meliputi lima
komponen pokok (Faozan Alfi, 1992:21), yaitu : (1) komponen pendidikan umum
(normatif), dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi warga negara yang
baik, yang memiliki karakter sebagai warga negara dan bangsa Indonesia, (2)
komponen dasar penunjang (adaptif), untuk memberi bekal penunjang bagi
penguasaan keahlian profesi, dan bekal kemampuan untuk mengikuti perkembangan
ilmu pengetahun adan teknologi, (3) komponen teori kejuruan, untuk membekali
pengetahun tentang dunia teknik dasar keahlian kejuruan, (4) komponen praktik
dasar profesi, yaitu berupa latihan kerja untuk menguasai teknik bekerja secara baik
dan benar sesuai dengan tuntutan persyaratan keahlian profesi, (5) komponen
keahlian praktik profesi, yang berupa kegiatan bekerja secara terpogram dalam
situasi sebenarnya untuk mencapai tingkat keahlian dan sikap kerja profesional.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Supardi (1996) menunjukkan bahwa
aspek faktor penilaian terhadap pendukung dan partisipasi pihak industri menilai baru
mencapai tingkat sedang (40,00 %). Artinya menurut pengetahuan pihak industri,
bahwa faktor pendukung dan partisipasi terhadap program PSG baru sampai tingkat
cukup dan masih harus ditambah lagi. Rendahnya penilaian pihak industri terhadap
faktor pendukung dan partisipasi yang ada dapat berdampak buruk terhadap tanggung
jawab dan kesediaan industri terhadap program pendidikan di waktu yang akan
datang. Lebih lanjut penelitian yang dilakukan oleh Supardi menunjukkan bahwa
beberapa industri hanya memberikan satu jenis komponen kegiatan saja, misalnya
praktik dasar kejuruan atau praktik keahlian profesional. Ada beberapa industri yang
memberikan hanya dua jenis komponen kegiatan, sedangkan beberapa industri yang
lain memberikan lebih dari dua jenis komponen kegiatan, perbedaaan jenis
komponen kegiatan Prakerin di industri ini dipengaruhi oleh bidang kerja industri
yang bersangkutan. Industri yang melaksanakan proses produksinya dengan praktik
keahlian profesional, siswa peserta Prakerin dilibatkan dalam praktik keahlian
profesional juga.
Berdasarkan kenyataan pelaksanaan Prakerin di lapangan dapat diketahui
bahwa mitra industri masih rendah tingkat kesiapannya dalam pelaksanaan Prakerin
begitu juga dengan pelaksanaan komponen-komponen materi/isi pendidikan dalam
pelaksanaan PSG mitra industri belum dapat melaksanakan sepenuhnya.
5. Kelengkapan Fasilitas Praktik di Dunia Usaha/industri
Kegiatan praktik dalam Prakerin dilakukan sepenuhnya di DU/DI. Untuk
mendukung tercapainya pelajaraan praktik dibutuhkan fasilitas sarana dan prasarana
yang memadai seperti bahan praktik, alat-alat perkakas industri, mesin-mesin, dll.
Apabila fasilitas praktik kurang memadai dan tidak lengkap sesuai kebutuhan di
bidangnya, sangat mungkin terdapat banyak kelemahan dalam komponen praktik
dasar kejuruan siswa. Fasilitas praktik suatu industri sangat ditentukan oleh jenis dan
besarnya industri yang bersangkutan. Namun secara umum fasilitas praktik yang
harus tersedia di dunia usaha/industri antara lain adalah ruang, alat, bahan, dan alat
keselamatan kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Supardi (1996) menunjukkan bahwa tingkat
kesiapan DU/DI pada faktor kelengkapan praktik baru mencapai tingkat sedang
praktik yaitu 65 % dalam kategori tinggi. Sedangkan kesiapan paling rendah adalah
pada aspek kelengkapan peralatan praktik yaitu 40 % termasuk dalam kategori
sedang. Kelengkapan peralatan praktik yang dimaksud meliputi jumlah peralatan
yang tersedia, adanya buku petunjuk pemakain alat (manual book), adanya lembar
kerja (job sheet), gambar kerja atau sketsa-sketsa yang mendukung kegiatan praktik.
Pihak Industri tidak menyediakan sarana khusus untuk latihan kerja siswa baik ruang,
alat, bahan, maupun sarana lainnya. Jadi latihan kerja siswa di industri didukung
dengan fasilitas kerja sehari-hari yang telah ada sebelumnya sehingga beberapa
industri terbukti memiliki tingkatan kelengkapan fasilitas sangat rendah.
Kelengkapan fasilitas praktek di dunia usaha/industri juga harus disesuaikan
dengan kompetensi yang ditetapkan. Peran kelompok kerja PSG dalam mencari mitra
harus lebih ditingkatkan. Dunia usaha/industri yang akan dijadikan mitra usaha
tentunya harus merupakan dunia industri yang memiliki komitmen ikut memajukan
pendidikan dan tentunya yang memiliki fasilitas yang cukup memadai. Berdasarkan
Keputusan Mendikbud No. 323/U/1997 diatur bahwa untuk dapat menjadi mitra
industri sekolah yang menyelenggarakan PSG, harus memiliki tempat dan peralatan
kerja dan memiliki instruktur atau pembimbing atau tenaga yang dapat melaksanakan
tugas sebagai instruktur atau pembimbing. Lebih lanjut kelengkapan fasilitas praktek
di SMK mengacu berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40
Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah Menegah
Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK).
6. Uji Kompetensi dan Sertifikasi Prakerin
Uji kompetensi adalah suatu proses pengukuran dan penilaian penguasaan
keahlian seseorang, berdasarkan standar yang berlaku di lapangan pekerjaan tertentu
1996:4). Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kepada tamatan atau siswa yang telah
dapat menguasai kemampuan standar atau keahlian kejuruan yang diperoleh melalui
ujian kompetensi (Depdikbud, 1995:8). Uji kompetensi dan sertifikasi Prakerin perlu
dilakukan pada siswa yang telah melaksanakan Prakerin sebagai bentuk upaya
tingkat pencapaian kompetensi yang diharapkan. Salah satu tujuan uji kompetensi ini
adalah untuk mengetahui ketercapaian kompetensi siswa selama melaksanakan PSG
di dunia industri. Apabila dinyatakan lulus atau memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan maka siswa tersebut berhak untuk mendapatkan sertifikat kelulusan
kompetensi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohadi (1999) menunjukkan bahwa
kendala-kendala yang dihadapi oleh Jurusan Elektronika SMK se-Kotamadya
Yogyakarta dalam pelaksanaan uji kompetensi antara lain adalah kurangnya
perhatian serta peran serta pihak dunia usaha/industri. Hal ini terutama dapat dilihat
dari peran dunia usaha/industri yang masih kurang dalam mempersiapkan materi
ujian. Materi ujian yang seharusnya dikerjakan secara bersama oleh pihak sekolah
dengan pihak industri, dalam kenyataannya hanya pihak sekolah saja yang secara
bersungguh-sungguh mempersiapkannya sehingga bobot materi yang diujikan perlu
dipertanyakan lebih lanjut. Warseno (1997) dari hasil penelitian yang dilakukannya
menunjukkan bahwa pencapaian pelaksanaan sertifikasi PSG di jurusan bangunan
sebanyak 2,81 %, listrik 3,1 %, mekanik umum 2,19 %, dan otomotif 2,19 %.
Sedangkan besarnya presentase rerata adalah 13,13 %. Data tersebut menunjukkan
bahwa pelaksanaan sertifikasi Prakerin di SMK 2 Klaten masih tergolong rendah. Hal
yang sama juga dilami oleh SMK se-kodya Surabaya dalam penelitian yang
dilakukan oleh Joko (1996) yang menyatakan bahwa evaluasi pelaksanaan Prakerin
Menurut Depdikbud (1995) pelaksanaan uji kompetensi adalah sebagai berikut
: (1) materi ujian dikeluarkan oleh badan tertentu yang diakui sebagai badan yang
mengeluarkan sertifikat, (2) pihak sekolah dan tim penguji merumuskan pengajaran
bahan pelajaran dalam proses kegiatan belajar mengajar sebagai persiapan bagi calon
peserta uji kompetensi, (3) perangkat soal ujian kompetensi disiapkan oleh unsur
dunia industri, lembaga profesi, dan sekolah, (4) ujian kompetensi dilakukan bersama
oleh sekolah, dunia industri, dan asosiasi profesi, (5) ujian kompetensi dilaksanakan
secara bertahap sesuai daya kesiapan dan kemampuan sekolah. Bagi peserta didik
yang dinyatakan lulus, akan diberikan sertifikat yang akan diterbitkan oleh Tim Uji
Profesi. Sertifikat ini diharapkan selain menjelaskan keahlian profesional yang
dikuasai oleh pemiliknya, sekaligus mengakui kewenangan pemilik sertifikat tersebut
untuk melaksankan tugas pada bidang profesi tertentu.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan uji kompetensi dan
sertifikasi Prakerin masih belum dilakukan secara optimal.
7. Monitoring dan Evaluasi
Dalam pelaksanaan program Prakerin, monitoring dan evaluasi perlu
dilakukan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan program selanjutnya.
Monitoring merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh guru pembimbing untuk
mengetahui sejauh mana keterlaksanaan Prakerin yang disepakati bersama antara
sekolah dengan dunia kerja. Sedangkan evaluasi adalah kegiatan untuk mengetahui
sejauh mana siswa peserta Prakerin mencapai tujuan (kemampuan yang diharapkan).
Monitoring dilaksanakan bersama-sama antara guru pembimbing dengan instruktur
dari dunia kerja. Monitoring sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengikuti
cara mendengar, melihat dan mengamati, serta mencatat keadaan serta perkembangan
program tersebut.
Suherman dkk (1988) menjelaskan bahwa monitoring dapat diartikan sebagai
suatu kegiatan, untuk mengikuti perkembangan suatu program yang dilakukan secara
mantap dan teratur serta terus menerus. Tujuan utama monitoring adalah untuk
menyajikan informasi tentang pelaksanaan program sebagai umpan balik bagi para
pengelola dan pelaksana program. Informasi ini hendaknya dapat menjadi masukan
bagi pihak yang berwenang untuk: a) memeriksa kembali strategi pelaksanaan
program sebagaimana sudah direncanakan setelah membandingkan dengan kenyataan
di lapangan, b) menemukan permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
program, c) mengetahui faktor-faktor pendungkung dan penghambat penyelenggaraan
program. Sedangkan menurut Direktur Pembinaan Sekolah Kejuruan (2008 : 11)
Program Prakerin yang sudah dilakukan peserta didik perlu dievaluasi untuk melihat
kesesuaian antara program dengan pelaksanaannya. Hal ini dimaksudkan sebagai
dasar untuk penyusunan program tindak lanjut yang harus dilakukan baik terhadap
pencapaian kompetensi peserta didik maupun terhadap program Prakerin. Evaluasi
dilakukan dengan cara : (1) melakukan analisis hasil laporan yang dibuat oleh peserta
didik dan hasil penilaian yang yang dilakukan oleh pembimbing dari Dunia Kerja, (2)
paparan hasil prakerin setiap peserta didik. Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui
sejauh mana siswa peserta PSG telah mencapai kemampuan yang ditetapkan. Materi
pokok dalam evaluasi menyangkut aspek teknis maupun non teknis yaitu ketrampilan,
prestasi, ketekunan, kerjasama, inisiatif, presensi kehadiran, disiplin, etika, dan
tanggung jawab.
Irwanto (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa monitoring dan
Sehingga pada saat pelaksanaan Prakerin tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan monitoring yang seharusnya dilakukan secara periodik, sedangkan
evaluasi dilaksanakan pada akhir program.
C. Batasan Masalah
Oleh karena luasnya permasalahan yang ada dalam penelitian ini dan keterbatasan
kemampuan peneliti, waktu, tenaga, dana, jadwal akademik serta banyaknya
permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidian sistem ganda maka
penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah sebagai berikut :
1. Kesiapan sekolah terhadap Prakerin
Kesiapan ini berkaitan dengan kesiapan kesiapan administrasi dan organisasi,
kesiapan biaya, kesiapan pengelolaan program, dan kesiapan guru pembimbing.
2. Kesiapan Fasilitas Praktik di Industri
Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sarana dan prasarana praktik di DU/DI
3. Pelaksanaan Prakerin
Hal ini berkaitan dengan segala program/kegiatan yang dilakukan oleh peserta
Prakerin di dunia usaha/industri.
4. Pelaksanaan Monitoring Prakerin.
Hal ini berkaitan dengan kegiatan pendamping dalam melakukan monitoring
pelaksanaan Prakerin di dunia usaha/industri.
5. Pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi Prakerin
Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi siswa peserta
6. Pelaksanaan Evaluasi Prakerin
Hal ini berkaitan dengan evaluasi pelaksanaan Prakerin dari perencanaan hingga
sertifikasi.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut di atas maka peneliti merumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kesiapan pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi
Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan?
2. Bagaimanakah kesiapan fasilitas praktik di Industri dalam pelaksanaan Prakerin di
Program Keahlian Teknologi Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan?
3. Bagaimanakah pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi Kendaraan
Ringan SMK Negeri 3 Pacitan di dunia usaha/industri?
4. Bagaimanakah pelaksanaan monitoring Prakerin di Program Keahlian Teknologi
Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan di dunia usaha/industri?
5. Bagaimanakah pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi Prakerin di Program
Keahlian Teknologi Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan?
6. Bagaimanakah evaluasi pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi
Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan?
E. Tujuan Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Mengetahui tingkat kesiapan pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi
Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan.
3. Mengetahui pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi Kendaraan Ringan
SMK Negeri 3 Pacitan di dunia usaha/industri.
4. Mengetahui pelaksanaan monitoring Prakerin di Program Keahlian Teknologi
Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan.
5. Mengetahui pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi Prakerin di Program Keahlian
Teknologi Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan.
6. Mengetahui evaluasi pelaksanaan Prakerin di Program Keahlian Teknologi
Kendaraan Ringan SMK Negeri 3 Pacitan.
F. Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidikan kejuruan baik
secara teoritis maupun praktis antara lain:
1. Teoritis, diharapkan berguna sebagai bahan untuk memperjelas konsepsi tentang
program Prakerin.
2. Praktis
a. Bagi peserta didik:
1) Dapat memahami maksud dan tujuan dilaksanakannya Prakerin
2) Dapat mempersiapkan diri lebih matang dalam hal materi, fisik, mental, dan
ketrampilan sebelum atau ketika melaksanakan Prakerin.
b. Bagi guru:
1) Guru sebagai pendamping dapat meningkatkan kualitas pengelolaan
Prakerin yang sesuai dengan peraturan
2) Guru sebagai pendamping dapat meningkatkan kualitas siswa setelah
c. Bagi peneliti:
1) Sarana bagi peneliti untuk mengimplementasikan pengetahuan yang
didapatkan selama kuliah serta menambah pengetahuan dan pengalaman
peneliti.
2) Memberikan kesempatan untuk melihat secara langsung masalah-masalah
yang dihadapi Prakerin sekolah dalam proses pengelolaan Pendidikan
Sistem Ganda di SMK Negeri 3 Pacitan.
3) Memberikan pengalaman dan pengetahuan mengenai hasil dari gambaran
20 A. Kerangka Teoritik
1. Pendidikan Teknik dan Kejuruan
Menurut Supriadi (2002: 1) Pendidikan di Indonesia sudah ada sejak jaman
sebelum penjajahan. Sejarah pendidikan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam
dua periode utama, yaitu pendidikan pada saat sebelum kemerdekaan dan pendidikan
pada masa kemerdekaan. Pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan sendiri
meliputi tiga periode, yaitu: (1) pendidikan yang berbasis ajaran keagamaan; (2)
pendidikan yang berbasis kepentingan penjajah; dan (3) pendidikan dalam rangka
perjuangan kemerdekaan. Pendidikan pada masa kemerdekaan dapat dibagi menjadi
3 periode : (1) tahun 1945-1968 yakni sejak proklamasi kemerdekaan hingga
sebelum dilaksanakannya Pelita I; (2) sejak dimulainya Pelita I pada tahun
1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998,dan (3) periode reformasi sejak
tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak tahun 2001
hingga sekarang ketika pendidikan mengalami desentralisasi yang radikal.
Di atas telah diuraikan bahwa jauh-jauh hari sebelum bangsa Portugis dan
Belanda ke Indonesia, pendidikan di Indonesia telah diawali dengan berbasis
keagamaan oleh para pemuka dan penyebar agama Hindu, Budha, dan Islam. Sistem
pendidikan yang mereka gunakan lebih terstruktur dalam pelaksanaannya. Sistem
pendidikan yang menyerupai sekolah sekarang baru dimulai pada abad ke-16.
Sekolah pertama di Indonesia didirikan oleh penguasa Portugis di Maluku, Altonio
Galvano, pada tahun 1536 berupa sekolah seminari untuk anak-anak dari pemuka
pribumi (Supriadi, 2002:7). Mulai tahun 1607 VOC mulai mendirikan
rempah-rempah. Dasar pendirian sekolah tersebut bertujuan untuk menyebarkan
agama Kristen. Adapun sekolah yang didirikan yang berorientasi kejuruan didirikan
pada tahun 1743 yaitu Akademi Pelayaran namun ditutup kembali pada tahun 1755.
Setelah kekuasaan VOC berakhir, pendirian sekolah-sekolah dilanjutkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda hingga pada tahun 1853 didirikan sekolah kejuruan yang
bernama Sekolah Pertukangan Indonesia yang saat ini masih ada dan merupakan
sekolah kejuruan pertama di Indonesia di luar Akademi Pelayaran . Pendidikan di
zaman kuno sampai berakhirnya pedidikan di zaman pemerintahan Hindia Belanda
dapat dikatakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan suatu perkembangan yang
relatif baru. Sebelumnya mulai zaman Mesir Kuno pelajaran kejuruan berada di luar
sistem pendidikan dan berada di bawah asuhan apa yang disebut dengan sistem
guilde (guide system) (Supriadi, 2002:59). Orang-orang yang mempunyai
ketrampilan membentuk sebuah organisasi dan organisasi inilah yang mengatur
bagaimana ketrampilan itu diteruskan. Karena itu, pendidikan kejuruan sulit
dipisahkan dari pendidikan umumnya.
Sejak bangsa Indonesia kedatangan oleh Portugis dan Belanda, bangsa
Indonesia telah banyak berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Barat. Hal
yang sangat menonjol dari bangsa barat adalah intelektualismenya, yaitu
penghargaan terhadap kecerdasan otak dan ketrampilan kerja yang kemudian
berkembang dalam bentuk pengetahuan dan teknologi. Namun sejak Jepang dapat
mengalahkan Tentara Sekutu termasuk Belanda di dalamnya pada awal Perang
Dunia II di medan Pasifik maka melemah pula pengaruh kebudayaan barat di
Indonesia, termasuk dalam hal pendidikan. Sejak Jepang datang ke Indonesia,
sekolah-sekolah yang sempat ditutup karena situasi perang mulai dibuka kembali.
meski pendidikan sudah mulai dibuka kembali tapi rakyat Indonesia semakin
sengsara karena keadaan ekonomi yang benar-benar sulit. Pendidikan pada zaman
Jepang bertujuan untuk menanamkan kesadaran sebagai anggota suatu lingungan
yang dinamakan “Kemakmuran bersama Asia Timur Raya” di bawah lindungan
Jepang. Namun keberadaan Jepang yang tidak terlalu lama di Indonesia membuat
pemerintah yang pada tahun 1950 menandai awal kesungguhan pembangunan
pendidikan di Indonesia dengan menanamkan falsafah pendidikan bangsa Indonesia
yang bersifat kebangsaan untuk meninggalkan pengajaran di zaman penjajahan yang
dinilai kurang cocok dengan kepribadian Indonesia. Mulai akhir tahun 1950,
Pemerintah Indonesia memberikan perhatian pendidikan kejuruan dengan
meningkatkan jumlahnya, namun tidak disertai dengan penambahan fasilitas,
khususnya fasilitas praktik ataupun tenaga guru. Animo masyarakat untuk
menyekolahkan anaknya pada sekolah kejuruan semakin meningkat, tujuan kejuruan
semakin tidak jelas. Sekolah kejuruan lebih merupakan sekolah persinggahan untuk
meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Pada awal Pelita I (1969-1974), pendidikan kejuruan mulai dibenahi dengan
mengupayakan suatu sistem pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pembangunan. Pendidikan kejuruan lebih diarahkan pada pengembangan penyediaan
tenaga kerja, baik untuk keperluaan saat itu maupun untuk keperluan pada masa yang
akan datang. Pendidikan kejuruan di Indonesia memang berakar pada saat penjajahan
Belanda. Tekad pemerintah untuk membangun pendidikan kejuruan di Indonesia
ditunjukkan sejak Pelita I yang berlanjut hingga akhir Pelita VI. Upaya tersebut
dibuktikan dengan investasi besar-besaran untuk membangun gedung sekolah baru,
renovasi sekolah yang ada, meningkatkan sarana dan prasarana praktik,
APBN yang ada sumber dana untuk membangun pendidikan kejuruan juga berasal
dari kerjasama luar negeri dan lembaga keuangan internasional seperti IDB, Bank
Dunia, ADB, dll. Dalam sepak terjang perkembangan pendidikan kejuruan di
Indoensia mengalami berbagai hambatan. Diantaranya adalah sulitnya pendanaan
karena otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001, kesungguhan dan kapasitas
pemerintah daerah untuk melanjutkan ekspansi dan meningkatkan mutu pendidikan
kejuruan diragukan karena masih disibukkan dengan program jangka pendek dalam
rangka membenahi sistem yang ada dan membagi anggaran yang terbatas. Selain itu
perubahan lain yang perlu diperhatikan adalah perubahan kurikulum yang senantiasa
melakukan penyesuaian terhadap perubahan jaman. Menurut Supriadi (2002: 14)
sejak tahun 1994 misalnya, telah dilakukan beberapa kali pembaruan kurikulum
pendidikan kejuruan (1996, 1998, 1999, 2001). Bandingkan dengan kurikulum
pendidikan umum yang dalam jangka waktu yang sama hanya dilakukan beberapa
kali perubahan.
Potensi pendidikan kejuruan dirasa mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Maka dari itu jauh sejak Pelita 1
dan II, pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap pentingnya
pengembangan pendidikan teknik untuk mendukung komitmen nasional dalam
memajukan pembangunan ekonomi. Keberhasilan utama pembangunan pendidikan
menengah kejuruan pada Pelita VI adalah pembaruan wawasan para pelaku dan
pengelola pendidikan kejuruan itu sendiri, berupa peurbahan dari wawasan lama
yang cenderung sempit dan tertutup, menjadi berwawasan baru yang luas dan
2. Sekolah Menengah Kejuruan
Salah satu jenis pendidikan di dunia ini adalah pendidikan kejuruan. Menurut
Arikunto (1988) pendidikan kejuruan berkembang secara pesat sejak adanya Akte
Pendidikan Kejuruan (Vocational Education Act of 1963). Lebih lanjut disebutkan
bahwa perkembangan ini ditandai oleh pesatnya perkembangan fasilitas fisik untuk
melayani kebutuhan banyak orang dalam lingkup pendidikan kejuruan yang semakin
luas, tetapi tersedianya pelayanan belum sepadan dengan tuntutan. Investasi dalam
bidang fasilitas sebenarnya perlu diimbangi oleh adanya investasi di bidang program.
Program pendidikan yang dimaksud haruslah merupakan kurikulum inti yang
diarahkan untuk menyiapkan individu bagi perolehan pekerjaan. Dasar pendidikan
kejuruan harus didasarkan atas prinsip-prinsip belajar yang menekankan pada
penggunaan pengetahuan secara efektif. Wenrich and Galloway (dalam Sugiyono,
2003) mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan sama dengan pendidikan teknik
dan sama dengan pendidikan okupasi. “Pendidikan kejuruan telah terbukti
mempunyai peran yang besar dalam pembangunan industri, seperti di Jerman’’
(Priyowiryanto, dalam Sugiyono, 2003:12). “Pendidikan kejuruan dapat
didefinisikan sebagai pendidikan khusus yang direncanakan untuk menyiapkan
peserta didiknya untuk memasuki dunia kerja tertentu atau jabatan di keluarga, atau
meningkatkan mutu para pekerja” (Arikunto, 1988:5).
Soenarto (2003) pendidikan kejuruan, dikembangkan didasarkan pada prinsip
efisiensi sosial, yang sangat mendambakan kemampuan IQ peserta didik, oleh David
Snedden dan Charles Prosser bertujuan menyiapkan peserta didik untuk bekerja dan
mencari uang sebagai bekal hidup. Dalam penjelasan pasal 15 (Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003) dinyatakan: “pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
tertentu”. Dengan demikian untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki
kompetensi dan keahlian di bidang tertentu serta nilai-nilai moral dan etika yang baik
maka sekolah kejuruan harus mampu merencanakan proses pendidikan yang
berorientasi pada nilai moral dan karakter sebagai bentuk pembentukan
pembangunan karakter bangsa. Melalui program pembangunan karakter bangsa,
fungsi sekolah bukan sekedar sebagai tempat transfer of knowledge, namun sekolah
mengusahakan terjadinya proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai atau
value-oriented enterprise (Frankel, dalam Soenarto:2003).
Berkaitan dengan tujuan sekolah menengah kejuruan Sindhunata (2000),
mengemukakan bahwa pendidikan berfungsi sebagai pembelajaran yang berkenaan
dengan ketrampilan tertentu atau latihan tertentu. Dengan pengertian ini dapat
dipahami bahwa penyelenggaraan SMK adalah mempersiapkan siswanya untuk
memasuki lapangan kerja, oleh sebab itu pengalaman belajar yang terangkum dalam
kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
Dalam Permendikbud No 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan
disebutkan bahwa Pendidikan Menengah Kejuruan yang terdiri atas SMK/MAK
diharapkan lulusannya memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif
dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di
sekolah secara mandiri. Tujuan SMK tersebut selanjutnya dijabarkan secara lebih
spesifik ke dalam tiap-tiap program keahlian. Menurut Sugiyono (2003:37), dalam
rangka menghasilkan kompetensi lulusan yang memadai maka pengembangan
pendidikan kejuruan harus mengikuti proses:
Lebih lanjut Sugiyono menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum
didasarkan pada standar kompetensi yang berkembang di dunia kerja dan
masyarakat. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah kejuruan (2008) menyebutkan
bahwa keberhasilan pendidikan kejuruan / SMK diukur dari tingkat keterserapan
tamatan/lulusan di dunia kerja. Untuk mencapai hal tersebut berbagai usaha
dilakukan oleh SMK melalui peningkatan mutu pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa SMK sebagai salah satu
lembaga pendidikan kejuruan bertujuan untuk memberikan kemampuan yang layak
kerja kepada siswa didiknya sebagai calon tenaga kerja yang sesuai dengan
persyaratan kompetensi di dunia kerja. SMK diharapkan mampu menghasilkan
lulusan yang dapat bekerja sebagai tenaga yang produktif, memiliki keahlian dan
ketrampilan di bidang tertentu, etos kerja, sehingga ketika lulus siap mengisi dan
menciptakan lapangan kerja atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
3. Kebijakan Link and Match dan Pembaruan SMK
Pendidikan Menengah Kejuruan mempunyai tujuan utama untuk menyiapkan
tamatannya memasuki dunia kerja. Berbagai kebijakan dan upaya telah dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, salah satunya dengan
sistem Pembangunan Lima Tahunan (Pelita) yang dimulai pada tahun 1969. Hingga
saat akhir Pelita V pada tahun 1993 akan berakhir berbagai kajian dilakukan sebagai
bahan dasar untuk memasuki Pelita VI. Supriadi (2002 : 222) menyebutkan telah
ditemukan beberapa hal yang dinilai kurang sejalan dengan konsep wawasan
pembangunan sumber daya manusia, antara lain :
a. Tamatan SMA/SMU yang lebih banyak dipekerjakan oleh dunia usaha/industri
daripada tamatan sekolah kejuruan dan gaji tamatan sekolah kejuruan yang tidak
b. Kurikulum 1994 untuk pendidikan kejuruan yang lebih berorientasi pada mata
pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa, dan tidak secara jelas terfokus pada
penguasaan kompetensi yang diperlukan di dunia kerja.
c. Kurikulum pendidikan kejuruan yang disusun oleh guru dan pakar pendidikan
yang tidak mempunyai wawasan lapangan kerja, diajarkan oleh guru yang tidak
mempunyai pengalaman di dunia kerja, dan evaluasi hasil pendidikan dengan
ukuran-ukuran dunia pendidikan, bukan dengan ukuran yang berlaku di dunia
kerja.
d. Kurangnya aplikasi konsep pembelajaran di sekolah yang menyerupai dengan di
dunia kerja seperti salah satu teori Prosser.
e. Perilaku sekolah yang kurang memahami pasar, wawasan mutu, dan wawasan
keunggulan untuk menghadapi persaingan.
Meskipun telah banyak hasil positif yang telah dicapai oleh pembangunan
pendidikan kejuruan sampai dengan Pelita V, ternyata pencapaian tersebut belum
mampu untuk menjadi landasan yang kuat untuk menghadapi tantangan yang ada
pada saat itu dan masa yang akan datang seiring dengan pesatnya peningkatan Iptek.
Sistem pendidikan kejuruan untuk masa depan haruslah tangguh, luwes, adaptif, dan
antisipatif. Namun upaya untuk menuju ke arah yang diharapkan, pendidikan
kejuruan menghadapai berbagai permasalahan diantaranya adalah masalah konsepsi,
program, dan operasional. Dengan permasalahan tersebut, maka pedidikan kejuruan
membuthkan suatu pembaruan yang bersifat menyeluruh dan tidak cukup hanya
dengan cara-cara konvesional. Dalam pelaksanaan pendidikan kejuruan harus
melibatkan dunia usaha/industri dalam penyusunan program, pelaksanaan, evaluasi,
pihak langsung yang berhadapan dengan perkembangan jaman yang semakin
modern.
Salah satu kebijakan baru dalam pembangunan pendidikan yang diperkenalkan
pada saat Kabinet Pembangunan VI di tahun 1994 adalah link and match. Secara harfiah, “link” berarti terkait, menyangkut proses yang harus interaktif, dan “match”
berarti cocok, menyangkut hasil yang harus sesuai atau sepadan. Karena itu, link and
match sering diterjemahkan menjadi “terkait dan sepadan”, sekalipun istilah terkait dan sepadan ini tidak sepenuhnya mengandung jiwa dan makna “link and match”
(Supriadi, 2002:231). Salah satu hal yang melatarbelakangi kebijakan tersebut yaitu
problema pendidikan yang tak adanya keterkaitan dan keterpadanan dengan dunia
kerja. Seakan-akan, pendidikan dan kerja adalah dua dunia yang berbeda dan tak
pernah saling menyapa. Pendidikan berjalan pada dunia sendiri yang tak jelas. Di
sisi lainnya, dunia kerja selalu berteriak bahwa ia harus bekerja keras menyiapkan
kebutuhan akan tenaga kerja yang diinginkannya. Menurut Supriadi (2002:231)
implikasi dari kebijakan “link and match” meliputi wawasan sumber daya manusia,
wawasan masa depan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai tambah dan
wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan
kejuruan. Lebih lanjut Supriadi juga menyatakan bahwa kebijakan “link and match”
merupakan dasar yang kuat dan tepat untuk melakukan pembaruan pendidikan
kejuruan. Hal ini didasari pemikiran bahwa kebijakan tersebut mengharapkan
perbaikan yang mendasar dan menyeluruh tentang perbaikan konsep, program, dan
perilaku operasionalnya, membuka dan mendorong hubungan kemitraan antara
prndidikan kejuruan dengan dunia usaha/industri yang pada dasarnya mendekatkan
4. Praktek Kerja Industri
a. Pengertian Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
“Walaupun upaya peningkatan mutu pendidikan kejuruan telah
ditempuh, namun jenis keahlian dan jumlah lulusan yang dihasilkan oleh SMK
belum sesuai dengan permintaan pasar kerja, sehingga masalah pengangguran
masih merupakan problem yang belum teratasi” (Sugiyono, 2003:16). Menurut
Batubara (dalam Sugiyono, 2003:16) ada beberapa penyebab terjadinya
kesenjangan antara permintaan tenaga kerja oleh dunia usaha dan industri dengan
jenis keahlian dan jumlah lulusan sekolah kejuruan:
(1) perekonomian Indonesia yang cukup baik, dengan angka pertumbuhan 7,4 % menunjukkkan adanya peningkatan peluang kerja;
(2) kegiatan ekonomi mulai bergeser dari sektor pertanian ke sektor industri, komunikasi, dan pertambangan;
(3) kegiatan sektor industri mengarah pada produk-produk eksport yang bersifat padat modal sehingga tidak memperluas kesempatan kerja.
Untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi antara keahlian yang
diperlukan oleh dunia kerja dengan keahlian lulusan SMK, pemerintah
menerapkan konsep “link and match’’ atau “keterkaitan dan kesepadanan” dalam
penyelenggaraan pendidikan kejuruan (Wardiman, dalam Sugiyono: 2003), yang
realisasinya ditempuh melalui program pendidikan sistem ganda. Pendidikan
Sistem Ganda adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian
kejuruan, yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di
sekolah dan program belajar melalui kegiatan bekerja langsung pada bidang
pekerjaan yang relevan, terarah untuk mencapai penguasaan kemampuan
keahlian tertentu (Supriadi, 2002:242).
Dari pengertian di atas, siswa sekolah menengah kejuruan (SMK)
juga akan bekerja secara langsung di industri untuk mendapatkan keahlian
profesional sesuai dengan bidangnya.
Hal ini berarti adanya keikutsertaan secara sadar pihak industri untuk
membina dan meningkatkan mutu pendidikan kejuruan yang diikat secara
sistematis melalui sistem ganda. Kerja sama kemitraan ini akan terjadi apabila
adanya kebersamaan tanggung jawab dalam meningkatkan mutu dan kesesuaian
lulusan pendidikan kejuruan. Dalam kerjasama ini dunia kerja tidak sekedar
memberikan masukan dan bantuan kepada SMK, namun juga berperan aktif
dalam mendidik para siswa untuk siap memasuki lapangan kerja. (Soenarto,
2003:1)
Dalam pelaksanaannya, PSG dilakukan oleh sekolah bersama dunia
usaha/industri sebagai intitusi pasangan. Mengingat beragamnya kondisi SMK
dan dunia industri, PSG diselenggarakan secara bertahap mulai SMK-SMK yang
dinilai telah memiliki kesiapan minimal untuk melaksanakan model pendidikan
ini. Kriteria kesiapan tersebut terutama ditentukan oleh keberhasilan SMK yang
bersangkutan dalam membina hubungan kerjasama dengan dunia usaha/industri
dan keberhasilan manajemen dalam mengelola kegiatan pendidikan dan
kelembagaannya.
Menurut Soenarto (2003) ada 3 prinsip dasar penyelenggaraan PSG: (1)
kurikulum yang dikembangkan secara terpadu dan berkelanjutan yang
disesuaikan dengan kompetensi keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan
dunia usaha/industri; (2) dalam penyelenggaraan pendidikan pelajaran teori
dilaksanakan di sekolah dan pelajaran praktikum dilaksanakan di industri sebagai
aplikasi nyata kegiatan kerja yang sebenarnya; (3) mengikutsertakan dunia usaha
penyaluran lulusan. Prinsip ini sesuai dengan teori pendidikan kejuruan yang
dikenal dengan Enam Belas Teori Prosser (Prosser dan Allen, 1925 dalam
Arikunto, 1988:247-249), tiga diantaranya sebagai berikut:
(1) pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan jika tugas latihan dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang diterapkan di tempat kerja;
(2) pendidikan kejuruan akan efektif jika individu dilatih secara langsung dan spesifik untuk membiasakan berfikir dan bekerja secara teratur;
(3) menumbuhkan kebiasaan kerja yang efektif kepada siswa akan terjadi hanya jika pelatihan dan pembelajaran yang diberikan berupa pekerjaan nyata dan bukan sekedar latihan.
PSG merupakan salah satu terobosan “link and match” yang sudah mulai
dilaksanakan mulai pada awal Pelita VI (tahun 1994/1995). Semenjak itu, PSG
sebagai kajian yang tak terpisahkan dari kebijakan “link and match” yang
implikasinya berupa Praktik Kerja Industri (Prakerin) dijadikan pola utama
menyelenggarakan kurikulum SMK di Indonesia. Program ini mendapatkan
sinyal yang positif dari elemen masyarakat karena mutu tamatan yang semakin
membaik dan hasilnya terasa semakin signifikan. Hal ini merupakan landasan
yang kuat bagi percepatan laju pembangunan pendidikan kejuruan dalam
menghadapi perkembangan jaman.
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (2008) menyebutkan
bahwa Pendidikan Sistem Ganda mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Pemenuhan Kompetensi sesuai tuntutan Kurikulum
Penguasaan kompetensi dengan pembelajaran di sekolah sangat ditentukan
oleh fasilitas pembelajaran yang tersedia. Jika ketersediaan fasilitas terbatas,
sekolah perlu merancang pembelajaran kompetensi di luar sekolah (Dunia
Kerja mitra). Keterlaksanaan pembelajaran kompetensi tersebut bukan
diserahkan sepenuhnya ke Dunia Kerja, tetapi sekolah perlu memberi arahan
b. Implementasi Kompetensi ke dalam dunia kerja
Kemampuan-kemampuan yang sudah dimiliki peserta didik, melalui latihan
dan praktik di sekolah perlu diimplementasikan secara nyata sehingga
tumbuh kesadaran bahwa apa yang sudah dimilikinya berguna bagi dirinya
dan orang lain. Dengan begitu peserta didik akan lebih percaya diri karena
orang lain dapat memahami apa yang dipahaminya dan pengetahuannya
diterima oleh masyarakat.
c. Penumbuhan etos kerja/Pengalaman kerja.
SMK sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan dapat menghantarkan
tamatannya ke dunia kerja perlu memperkenalkan lebih dini lingkungan
sosial yang berlaku di Dunia Kerja. Pengalaman berinteraksi dengan
lingkungan Dunia Kerja dan terlibat langsung di dalamnya, diharapkan dapat
membangun sikap kerja dan kepribadian yang utuh sebagai pekerja.
Dengan tercapainya tujuan di atas, maka kualitas sumber daya manusia
Indonesia akan meningkat sehingga akan mampu bersaing dalam mencari
maupun menciptakan lapangan pekerjaan.
Berdasarkan standar kemampuan yang harus dikuasai dan materi yang
harus dipelajari, ditetapkan berapa lama pendidikan dan pelatihan itu akan
dilaksanakan, kemudian disepakati berapa lama dilaksanakan di sekolah dan
berapa lama di instusi pasangannya. Selanjutnya disepakati model pengaturan
penyelenggaraan program yang menyangkut tentang kapan dilaksanakan di SMK
dan kapan dilaksanakan di insitusi pasangannya. Secara garis besar model
Model penyelenggaraan PSG sesuai dengan kondisi di Indonesia, telah
dirumuskan oleh Depdikbud (dalam Irwanto, 2004) terdiri dari empat macam,
yaitu:
a. Model I, berupa I day release, disepakati bersama dari enam hari belajar atau
praktik dalam satu minggu, berapa hari di sekolah dan berapa hari di industri,
b. Model II, berupa block release, disepakati bersama bulan/catur wulan/semester mana di sekolah dan bulan/catur wulan/semester mana di
industri,
c. Model III, berupa hours release, disepakati jam-jam yang harus dilepas dari
sekolah dan dilaksanakan di industri, dan
d. Model IV, berupa gabungan dari tiga jenis model di atas.
b. Praktik Kerja Industri (Prakerin)
1) Pengertian
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata praktik berati
“pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori”. Prakerin merupakan
model pelatihan yang bertujuan untuk memberikan kecakapan yang
diperlukan dalam pekerjaan tertentu sesuai dengan tuntutan kemampuan bagi
pekerjaan (Bondan Arum Pratiwi, 2009:16).
Prakerin adalah kegiatan yang bersifat tempuh bagi siswa SMK yang
merupakan bagian dari program PSG. Dalam Permendiknas tentag pedoman
teknis pelaksanaan PSG pada SMK disebutkan bahwa Prakerin adalah praktik
keahlian produktif yang dilaksanakan di indistri atau perusahaan yang
berbentuk kegiatan mengerjakan produksi/jasa (Estiko Suparjono, 1999:259).
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Prakerin adalah suatu kegiatan
dilakukan di dunia industri/usaha serta memiliki konsep tersendiri dalam
pelaksanaannya bertujuan meningkatkan kecakapan siswa dalam pekerjaan
tersebut.
2) Tujuan Prakerin
Pelaksanaan Prakerin merupakan salah satu upaya mencapai tujuan dari
penyelenggaraan PSG. Keputusan Menteri Pendidikan No. 323/U/1997
(Estiko Suparjono, 1999:257) dapat disimpulkan tujuan Prakerin adalah
kemampuan yang telah didapatkan peserta didik dari proses pemvelajaran di
sekolah diterapkan atau diimplementasikan secara nyata di DU/DI sehingga
tumbuh etos kerja. Sehingga dapat disimpulkan tujuan utama program
Prakerin mengoptimalkan hasl pembelajaran pada pendidikan kejuruan di
sekolah dengan pengalaman kerja di industri untuk mencapai tujuan
pendidikan kejuruan secara maksimal.
5. Kesiapan Pelaksanaan Prakerin oleh Sekolah
Pelaksanaan Prakerin menuntut dipersiapkannya kondisi-kondisi yang
memungkinkan Prakerin dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di SMK.
Penyiapan kondisi-kondisi dimaksud meliputi sosialisasi Prakerin, penyiapan sarana
dan prasarana, kurikulum, guru, siswa, kepemimpinan sekolah, serta upaya
meningkatkan peran serta dunia usaha/industri dalam pelaksanaan Prakerin.
Kesiapan (readiness) menurut kamus psikologi ( Gulo, dalam Supardi, 1996) adalah
suatu titik kematangan untuk menerima dan mempraktikkan tingkah laku tertentu.
Dengan demikian kesiapan menunjuk perilaku tertentu yang sudah dimiliki
seseorang dan hanya tinggal mempergunakannya saja. Selanjutnya menurut Goog
yang dikutip oleh Sukirin (1975 : 3) menyebutkan, bahwa kesiapan terhadap sesuatu
pengalaman-pengalaman yang diperlukan serta keadaaan mental dan emosi yang
serasi.
Dari batasan tersebut, maka pengertian kesiapan pelaksanaan Prakerin oleh
sekolah adalah ketersediaan sekolah dalam melaksanakan dan mempraktikkan
Prakerin. Secara garis besar kesiapan sekolah dalam menghadapi pelaksanaan
Prakerin, peneliti membagi menjadi empat yaitu kesiapan kesiapan administrasi dan
organisasi, kesiapan biaya, kesiapan pengelolaan program, dan kesiapan guru
pembimbing.
a. Kesiapan Administrasi
Penataan, pengaturan, pengelolaan, dan kegiatan-kegiatan lain yang
sejenis, yang berkaitan dengan lembaga pendidikan saat ini disebut dengan
administrasi pendidikan. Administrasi pendidiakan dapat disinonimkan dengan
manajemen (Suharsimi Arikunto, dalam Hartati Sukirman, 1998 :1).
Administrasi pendidikan dapat diberi makna sebagai kegiatan atau proses
menata berbagai faktor, unsur, dan atau aspek pendidikan (Hartati Sukirman,
1998 : 6).
Suharsimi Arikunto (1988:30) mengemukakan menurut pengertian modern
administrasi adalah suatu usaha bersama sekelompok manusia untuk mencapai
tujuan organisasi secara efektif dan efisien menggunakan dana dan daya yang
ada. Sedangkan Gie Liang ( dalam Suharsimi Arikunto, 1988) memberikan
definisi bahwa administrasi adalah segenap proses penyelenggaraan usaha kerja
sama manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Administrasi pendidikan
bertujuan menata, mengatur, mengelola, segala sesuatu yang berkenaan dan atau
berkaitan dengan kegiatan pendidikan agar mendukung upaya pencapaian tujuan
berhubungan dengan pengaturan, pelayanan dan kegiatan lain yang menunjang
pencapaian tujuan. Pekerjaan administrasi selalu dalam hubungan dengan dan
melalui orang-orang untuk mengarah pada pencapaian tujuan secara efektif dan
efisien. Menurut Suharsimi Arikunto (1988 : 36) pendapat yang paling dikenal
dari beberapa ahli dan paling sering digunakan adalah pendapat yang
dikemukakan oleh Gulick dan Urwick. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa
fungsi-fungsi administrasi menurut Gulick dan Urwick tersebut adalah perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), penunjukan personil (staffing),
pengarahan (directing), pengkoordinasian (coordinating), pelaporan (reporting),
dan pembiayaan (budgeting).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa administrasi
adalah suatu usaha bersama sekelompok manusia yang meliputi pengelolaan dan
pengaturan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien
menggunakan daya dan dana yang ada. Dalam pekerjaan tersebut termasuk di
dalamnya adalah teknis pencatatan, surat menyurat, kearsipan dan sejenisnya
yang kesemuanya itu adalah kegiatan dalam kantor atau tata usaha. Kesiapan
administrasi sangat diperlukan dalam menghadapi pelaksanan PSG pada SMK.
Dengan handalnya administrasi atau manajemen sekolah akan memudahkan
terjalinnya hubungan antar sekolah dan industri sebagai pasangannya.
Berdasarkan uraian di atas maka kesiapan administrasi sekolah yang
dimaksud dalam penelitian ini diartikan sebagai ketersediaan usaha dan kegiatan
yang meliputi pengelolaaan dan pengaturan yang ditandai dengan : (1) kesiapan
perencanaan prosedur pelaksanaan Prakerin, (2) pembentukan organisasi dan
b. Kesiapan Biaya
Menurut kamus online Wikipedia Bahasa Indonesia, biaya adalah semua
pengorbanan yang perlu dilakukan untuk suatu proses produksi, yang dinyatakan
dengan satuan uang menurut harga pasar yang berlaku, baik yang sudah terjadi
maupun yang akan terjadi. Biaya terbagi menjadi dua, yaitu biaya eksplisit dan
biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang terlihat secara fisik, misalnya
berupa uang. Sementara itu, yang dimaksud dengan biaya implisit adalah biaya
yang tidak terlihat secara langsung, misalnya biaya kesempatan dan penyusutan
barang modal (http://id.wikipedia.org/wiki/Biaya). Sedangkan menurut Mulyadi
(2005 ; 8) biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam
satuan uang, yang telah terjadi, sedang terjadi atau yang kemungkinan akan
terjadi untuk tujuan tertentu. Lebih lanjut dikemukakan oleh Mulyadi bahwa
biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan digolongkan menjadi 3
kelompok, yaitu ;
1) Biaya Produksi, yaitu semua biaya yang berhubungan dengan fungsi
produksi atau kegiatan pengolahan bahan baku menjadi produk selesai.
Biaya produksi dapat digolongkan ke dalam biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja, dan biaya overhead pabrik.
2) Biaya Pemasaran, adalah biaya-biaya yang terjadi untuk melaksanakan
kegiatan pemasaran produk, contohnya biaya iklan, biaya promosi, biaya
sampel, dll.
3) Biaya Administrasi dan Umum, yaitu biaya-biaya untuk mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan produksi dan pemasaran produk, contohnya gaji bagian
Dalam Peraturan Menteri No 69 Tahun 2009 Tentang Standar Biaya
pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia
1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya, pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional, pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan
dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan
mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi
tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat
pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi
pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah.
Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan
biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan
sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja
peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan
berkelanjutan.
Fungsi institusi pasangan sebagai mitra penyelenggara pendidikan
dengan pihak sekolah adalah melaksanakan kegiatan; perumusan bersama
tentang pola/sistem penerimaan siswa baru , penyusunan kurikulum, pengaturan
bersama keterlaksanaan pembelajaran baik di sekolah maupun di dunia usaha
industri, melaksanakan uji kompetensi dan sertifikasi, melakukan evaluasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas sumber utama pembiayaan dalam
Prakerin adalah diupayakan dari anggaran sekolah sebagai salah satu
penyelenggara pendidikan. Namun tidak menutup kemungkinan sumber biaya
berasal dari sponsor atau pihak lain selama tidak bertentangan dengan peraturan
yang berlaku. Sedangkan segala kebutuhan Prakerin di industri, segala
pembiayaan diusahakan sepenuhnya oleh pihak industri sebagai institusi
pasangan sekolah, dalam hal ini segala sesuatu yang meliputi sarana dan
prasarana praktik, uji kompetensi, sertifikasi, dan instruktur di industri. Dalam
penyelenggaraan pengelolaan dana, kelompok kerja Prakerin harus dapat
mengalokasikan biaya yang ada untuk menunjang Prakerin. Biaya tersebut
diantaranya untuk pembekalan siswa, monitoring, administrasi, dan segala
keperluan lainnya. Pengelolaan biaya juga harus transparan dan dilakukan
pelaporan keuangan di akhir pelaksanaan Prakerin.
c. Kesiapan Pengelolaan Program
Secara umum kata pengelolaan dapat didefinsikan sebagai suatu
rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk
melakukan serangkaian kerja dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan