Bab Tiga Belas
Kesimpulan
Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari sebuah dinamika kehidupan manusia.
Mencermati intensitas konflik yang terus meningkat, masyarakat selalu apriori terhadap kebijakan penanganan oleh pemerintah. Meluasnya fenomena rasa ketidakpercayaan [mutual distrust] dari masyarakat terhadap pemerintah maupun antar sesama orang Ambon, menimbulkan kegelisahan senantiasa silih berganti mewarnai kehidup-an mereka. Masyarakat di wilayah konflik mulai berfikir, kapkehidup-an konflik tersebut dapat berakhir?, cara apa yang dapat dilakukan untuk mengakhirinya?, dan ketika sudah berakhir, apa yang akan terjadi pada saat itu?. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu hadir dan menghantui masyarakat. Bagi yang berpikir sangat skeptis, mereka akan mengang-gap bahwa mungkin ini sudah kiamat. Angmengang-gapan seperti ini dapat muncul karena konflik sosial yang terjadi di Maluku terlanjur di-persepsikan sebagai konflik antar agama.
Kita bisa mengambil analogi kasus konflik antar agama yang pernah terjadi di India misalnya, dimana paham komunal yang kuat telah diterjemahkan masuk ke dalam konflik dan kekerasan lintas agama [seperti Muslim, Hindu, dan Sikh] sehingga menyebabkan generalized social trust mengalami proses pelemahan. Akibatnya, dibu-tuhkan waktu yang relatif lama [berpuluh-puluh tahun] untuk dapat menyelesaikannya. Ini dapat terjadi karena ketika agama telah dijadi-kan sebagai identitas kelompok maka setiap orang dipaksa mengiden-tifikasi dirinya secara jelas. Ketidak-jelasan seseorang sebagai pemang-ku identitas kelompok tertentu, selain akan mengembangkan prasang-ka sosial dan atau kecurigaan yang lazim dijumpai dalam tatanan masyarakat yang sementara berkonflik, juga tidak jarang berakhir dengan tindak kekerasan terhadap yang bersangkutan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa, warga kedua komunitas diwilayah riset masih menjunjung ikatan kekerabatan yang ada sehingga budaya lokal masih fungsional dalam perilaku kolektif dan karenanya konflik dapat terkendali, baik secara struktural maupun kultural. Indikasi yang kuat selama periode konflik berlangsung adalah, masyarakat lokal tampak sangat menginginkan adanya revitalisasi institusi adat. Itulah sebabnya, di tengah suasana konflik yang belum mereda, dilakukan upacara panas pela antara negeri Batu Merah (Muslim) dan negeri Passo (Kristen) di Kota Ambon. Dengan kerja keras yang dilakukan oleh berbagai pihak [pemerintah dan masyara-kat], maka pada bulan pebruari tahun 2002 dicapai kesepakatan yang dikenal dengan nama kesepakatan malino. Kesepakatan yang difasilitasi pemerintah ini sangat fungsional sebagai dasar [starting point] untuk mengakhiri konflik Maluku.
Ketika stabilitas sosial dan keamanan berangsur-angsur mulai kondusif [pasca konflik] orang Ambon kedua komunitas sudah mulai membiasakan diri untuk melihat sesuatu dalam perspektif yang lebih luas. Karena itu ketika diberikan makna kultural dan struktural di dalamnya, maka dengan kekuatan itu dapat terhindar dari berbagai hal yang dapat menjerumuskan mereka kembali dalam malapetaka [konflik] baru.
Pertanyaan yang dapat diajukan sehubungan dengan kenyataan tersebut adalah “apa yang menjadi kekuatan sehingga konflik Maluku yang berlangsung masif dengan efek destruktif yang besar begitu cepat terciptanya pemulihan sosial dalam kehidupan orang Ambon? Hasil studi sebagaimana telah dikemukakan secara rinci pada bab-bab sebe-lumnya menggambarkan bahwa pemulihan sosial dapat terjadi dengan cepat karena local genius yang dimiliki orang Ambon berperan secara signifikan dalam mendorong mempercepat terciptanya proses pemu-lihan sosial dalam masyarakat.
Oleh sebab itu pada saat stabilitas sosial dan keamanan sudah mulai pulih, munculnya prakarsa serta keinginan yang kuat dari komunitas Islam dari negeri Siri Sori Salam untuk segera membangun kembali gedung gereja saudara gandong mereka di negeri Siri Sori Serane [Kristen] yang hancur pada saat konflik berlangsung. Ketika prakarsa mereka direspons secara positif oleh pemerintah negeri Siri Sori Salam [Islam], setelah dibicarakan dengan pemerintah negeri Siri Sori Serani [Kristen], kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan bersama untuk membangun kembali gedung gereja tersebut.
Keterlibatan komunitas Islam untuk melaksanakan pekerjaan tersebut [baik sebagai panitia maupun sebagai pekerja fisik bangunan] merupakan tanggungjawab sosial, karena warisan sejarah dimaknai secara jelas oleh mereka. Oleh sebab itu, mereka mengetahui dengan benar apa yang mesti dilakukan. Dari pagi hingga sore hari, mereka bekerja tanpa pamrih. Selain itu, dukungan kuat juga datang dari negeri-negeri yang terikat dalam hubungan pela dengan komunitas kedua negeri. Di samping itu, ketika dilaksanakan acara upacara pelantikan raja kedua negeri yang berlangs8ung pasca konflik, masing-masing komunitas mengetahui dengan jelas, apa yang menjadi kewajiban mereka. Mereka terlibat secara bersama-sama dalam rangka mensukseskan acara tersebut. Di sinilah, gandong berfungsi sebagai perekat untuk mengintegrasikan kembali kedua komunitas.
diberikan dari negeri-negeri yang terikat dalam hubungan pela dan gandong dengan komunitas kedua negeri.
Ketika mendapat respons positif dari Pemerintah Provinsi Maluku, mereka bersama-sama terlibat untuk membersihkan negeri Waai sebagai persiapan proses pemulangan komunitas Kristen ke negeri Waai. Serentak dengan itu, komunitas Islam dari negeri Tulehu pergi menjemput komunitas Kristen di negeri Passo, kemudian secara bersama-sama kedua komunitas berjalan kaki menuju Negeri Waai. Untuk merawat hubungan yang telah pulih tersebut, mereka terlibat bersama komunitas Kristen untuk membangun gedung gereja di negeri Waai yang hancur akibat konflik. Di sinilah, kerabat berfungsi sebagai perekat untuk mengintegrasikan kembali kedua komunitas.
Setelah mempelajari realitas sosial yang ditemui dalam kehidup-an dua komunitas di empat wilayah riset, maka dapat disimpulkkehidup-an bahwa reintegrasi sosial yang telah dicapai saat ini merupakan reinte-grasi sosial yang muncul dari bawah, atau dari bagian-bagian yang membentuk keseluruhan. Karena itu, dengan langsung menerima “katong samua” sebagai suatu kenyataan, maka etnisitas ditafsirkan sebagai “perasaan menjadi bagian dari” yang dibawa sejak lahir, dan yang mendasari sebuah identitas budaya Ambon. Katong Samua, meru-pakan satu proses dialektis, antara individu [the self] dan dunia sosio-kultural. Karena itu, ketika reintegrasi sosial antar komunitas [orang Ambon] diwujudkan melalui katong samua, maka eksistensi reintegrasi sosial dapat dipertahankan secara berkelanjutan1
Berbeda dengan dua komunitas yang tidak memiliki hubungan gandong di kota Ambon, hubungan-hubungan sosial yang sudah terja-lin dalam realitas kehidupan sehari-hari baik di tempat kerja, di pasar, maupun di ruang-ruang publik lain sebelum dan pasca konflik, meru-pakan dasar yang kuat bagi mereka untuk membangun kembali kehi-dupan berdampingan secara serasi. Karena itu, munculnya kesadaran serta keinginan yang kuat dari orang Ambon khususnya, dan orang Maluku pada umumnya akan hal-hal sepeleh yang dapat menyebabkan
.
konflik itu meluas dan menjadi malapetaka baru bagi kehidupan mereka selanjutnya. Oleh sebab itu, beberapa kasus konflik baru yang bersifat sporadis yang terjadi belakangan ini, tidak menimbulkan konflik yang meluas dan berkepanjangan di kota Ambon.
Dengan demikian setelah mempelajari realitas sosial yang ditemui dalam kehidupan dua komunitas di kota Ambon, maka dapat disimpulkan bahwa reintegrasi yang telah dicapai saat ini adalah re-integrasi politik lebih kuat daripada rere-integrasi sosial, ini dapat terjadi karena negara berperan sangat signifikan. Reintegrasi sosial antar dua komunitas sementara berlangsung saat ini.
Manjawab Tantangan Pembangunan Bangsa
Beberapa tahun belakangan ini kita diperhadapkan dengan ujian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik antar etnis dan antar penganut keyakinan sering terjadi di berbagai wilayah sehingga menciderai rasa kebangsaan yang sudah tertanam sejak bangsa ini diproklamirkan tahun 1945. Akibat hal-hal sepeleh saja, konflik antar kelompok sering terjadi dan berlangsung berlarut-larut. Sebagai bangsa dengan masyarakat yang plural, negara [pemerintah] harus dapat mem-bangun management pluralis dan implementasinya dalam program-program pembangunan yang menyentuh seluruh bidang kehidupan masyarakat. Ini merupakan solusi agar tetap menjaga keharmonisan di tengah perbedaan. Jika tidak, disintegrasi sosial dan politik lambat atau cepat dapat saja terjadi. Kecemasan ini tidak perlu terbukti. Dengan membingkai nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki masing-masing etnis, dapat menginspirasi untuk mempertahankan eksistensi kehidup-an berbkehidup-angsa dkehidup-an bernegara.
Hasil penelitian ini telah menunjukkan realitas tersebut secara jelas, di mana orang Ambon dalam realitas kehidupan sehari-hari mereka terikat dalam hubungan-hubungan kekerabatan baik secara teritorial geneologis maupun terikat secara geneologis teritorial. Hubungan tersebut bukan baru terjadi sekarang, tetapi merupakan warisan leluhur sejak dahulu kala, di dirawat dan secara berkala biasa-nya diwujudkan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan secara bersama sebagai mekanisme untuk mempertegaskan kembali hubungan yang ada di antara mereka satu dengan yang lainnya.
Penelitian Lanjutan
Penelitian tentang reintegrasi sosial pasca konflik yang terjadi pada beberapa wilayah akhir-akhir ini hampir tidak pernah dilakukan oleh para ilmuan di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif yang saya gunakan, kajian-kajian tentang masalah reintegrasi sosial pasca konflik masih sangat mungkin dilakukan di masa mendatang. Peneli-tian tentang reintegrasi sosial pasca konflik Maluku yang dilakukan ini dapat dijadikan sebagai titik awal untuk penelitian berikutnya.
Oleh sebab itu, temuan dalam studi saat ini terbuka kemungkin-an untuk dilakukkemungkin-an penelitikemungkin-an lkemungkin-anjutkemungkin-an. Dengkemungkin-an menggunakkemungkin-an konsep-konsep lokal yang telah diakrabi oleh masyarakat yang diteliti, kita akan menghasilkan karya-karya besar yang sangat orisinil. Ini bukan berarti kita tidak boleh menggunakan konsep-konsep besar [dari barat]. Di sini, sikap kehati-hatian sangat diperlukan, sebab belum tentu konsep-konsep besar yang kita gunakan dapat menjawab realitas sosial yang sementara kita pelajari.