• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA USAHA PENGRAJIN RAJUT BINONG, BANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA USAHA PENGRAJIN RAJUT BINONG, BANDUNG"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA USAHA PENGRAJIN

RAJUT BINONG, BANDUNG

Oleh

Yulius Kurniawan Haryono

NIM : 212007014

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Guna Memenuhi Sebagian dari

Persyaratan-persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi

FAKULTAS

: EKONOMIKA DAN BISNIS

PROGRAM STUDI : MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2014

(2)
(3)
(4)

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

Jalan Diponegoro 52-60 (0298) 321212, 311881 Telex 322364 ukswsa ia Salatiga 50711 – Indonesia Fax. (0298) 321433

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : YULIUS KURNIAWAN HARYONO

NIM : 212007014

Program Studi : MANAJEMEN

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi,

Judul : Dinamika Usaha Pengrajin Rajut Binong, Bandung

Pembimbing : Lely Kristinawati Budhiyanto, SE, MSM Tanggal diuji : 21 November 2014

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Didalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti, bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Salatiga, 5 November 2014 Yang memberi pernyataan,

Yulius Kurniawan Haryono

(5)
(6)

MOTTO

Jadilah terang di manapun kita berada

Tetap melayani dan mengasihi Tuhan apapun yang terjadi

Hiduplah bukan sekedar untuk pencapain segala sesuatu yang

kita inginkan dan cita-citakan, tapi hiduplah untuk penggenapan

rencana Tuhan yang mulia bagi kita

(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan segala kerendahan hati , penulis mengucapkan syukur yang terbesar kepada Sang penolong dan kekasih sejati Tuhan Yesus, karena atas kasih anugrahNYA serta kesempatan kedua yang diberikan kepada penulis untuk bisa kembali menghembuskan nafas, sehingga penulis bisa menyelesaikan karya tulis ini. Penulis juga menyadari bahwa Tuhan Yesus juga telah mengirim penolong-penolong lain kepada penulis untuk bisa menyelesaikan skripsi ini, penulis sangat berterimakasih kepada:

1. Bapak Hari Sunarto , SE, MBA, PhD, selaku dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana.

2. Ibu Roos Kities Andadari, SE, MBA, selaku kaprogdi Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana.

3. Ibu Lely Kristinawati Budhiyanto, SE, selaku dosen pembimbing yang setia membimbing meskipun di akhir penulisan kita terpisah ruang dan waktu, namun tetap memberikan arahan kepada penulis.

4. Seluruh staf pengajar, pegawai, karyawan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW, terimakasih telah memberikan ilmu pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung pada penulis, serta pengalaman-pengalaman yang diberikan kepada penulis selama penulis berkuliah di Salatiga, menjadikan hidup penulis lebih berwarna.

(8)

5. Buat Papah Mamah, c Santi, c Sylvia, terimakasih buat doa dan dukungan yang begitu besar dan kasih sayang selama ini, Yulius percaya Tuhan kirim kalian untuk menemani Yulius hidup di dunia ini sampai pada akhirnya Yulius mungkin akan berpisah dari papah mamah dan cc cc aku, Yulius sayang semua, Tuhan Yesus berkati.

6. Buat sahabat sahabat ku yang gokil, terimakasih banget buat menemani aku di salatiga, terimakasih buat kegilaannya, pengalaman pahit dan manis selama aku di salatiga,Santo, Ali, Melda, Meme, Ira, Novi, Nndy, Otniel, Jey, Veronika, Georgina, Dwi, Fenny, Oline, Etin, mak Nella, Ruth, Junet, Selly, Olvi, Nanda, Lidya, Jessyca, Oliv, Afen, Ivana, lisa, Erwin, William, Ribka, Aris, Nana, ka Zhin, Lila, Vano, Dani, Ferlly, Cintya, Devi, Qqn, Kiki, Wido, Samuel, koh Adi, Hendra, Christian, Yesaya, Tia, Affen, Nia, Sheila, Sony, Novi, Nana, Ryan, temen band aku, Dika, Aan, Gibran, Edwin, Zefanya, Ilham. Dan banyak lagi nama-nama pahlawan aku yang ga bisa sebutin satu per satu, tanpa kehadiran kalian disamping aku, mungkin salatiga akan terasa membosankan, semua teman di Beyond Generation, Power House, PERMEN, Bethany Salatiga, GBI SHALLOM Cilacap, GBI KASIH KARUNIA LASEM, ROCKMANTIC Band, aku berharap kita bisa berkumpul lagi dan gila-gilaan lagi.

7. Terimakasih buat kekasihku Elisa Anastasia Saragih yang sudah setia menemani, mendukung, mencintai dengan tulus. Kiranya Tuhan Yesus memberkati hubungan kita.

(9)

8. Om Hangky dan tante Ricky, pak Suratman, tante Lely, om Mulyadi, tante Mulyadi, tante Rina, c Lusi, terimakasih juga sudah menjadi orang tua rohani yang selalu mengingatkan untuk selalu melekat pada Tuhan Yesus sumber segalanya bagi aku.

Penulis tidak bisa menuliskan betapa besar terimakasih buat kalian semua, yaitu pahlawan ku, kiranya Tuhan Yesus yang membalasnya, Tuhan Yesus memberkati kalian semua, sesuai kebesarannya kasihNYA.

(10)

DAFTAR ISI

Cover ... i

Surat Pernyataan Keaslian Karya Tulis Skripsi ... ii

Halaman Persetujuan Skripsi ... iii

Motto ... iv

Ucapan Terimakasih... v

Daftar Isi... viii

Abstract ... x

Saripati ... xi

BAB I Latar Belakang Masalah ... 1

Rumusan Masalah... 2 Persoalan Penelitian ... 3 Tujuan Penelitian ... 3 Masalah Penelitian ... 3 BAB II UKM ... 5 Proses Kewirausahaan ... 6 Start Up ... 7 Pengelolaan Usaha ... 8 Hambatan PengembanganUsaha ... 9 BAB III Metodologi... 11

(11)

BAB IV

Profil Kelurahan Binong ... 13

Start Up ... 20

Pengelolaan Usaha ... 29

Hambatan Pengembangan Usaha ... 35

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 40

Keterbatasan Penelitian ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(12)

ABSTRACT

Knitting Industrial Sentra Binong Bandung is a knitted craftindustry that has been established since 1960 in Bandung. Binong urban village until 2012 consists of approximately 300 business units knittedor SMEs engaged in theknitwear industry. SMEs are often called craftsmen, highly dependent on the knitwear business. This research discusses about the dynamics of the craftsmen knit in Binong, starting from the beginning of the business establishment, management and business development, up to barriers experienced craftsmen knit to develop their businesses.

(13)

SARIPATI

Sentra Industri Rajut Binong Bandung adalah industri kerajinan rajutan yang sudah berdiri sejak tahun 1960an di kota Bandung. Kelurahan Binong hingga tahun 2012 terdiri dari sekitar 300 unit usaha rajutan atau UKM yang bergerak di bidang industri rajutan. Pengusaha UKM yang sering disebut pengrajin, sangat menggantungkan hidupnya pada usaha rajutan tersebut. penelitian ini membahas mengenai dinamika para pengrajin rajut di Binong, mulai dari awal mula pendirian usaha, pengelolaan dan pengembangan usaha, hingga hambatan yang dialami para pengrajin rajut untuk mengembangkan usaha mereka.

(14)

DINAMIKA USAHA PENGRAJIN RAJUT

BINONG, BANDUNG

BAB I

Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi saat ini persaingan ekonomi menjadi tajam, di mana banyak bermunculan perusahaan-perusahaan baru yang berusaha menguasai pasar. Aktor-aktor yang terlibat dalam era globalisasi, baik itu firma besar atau korporasi, individu, atau sektor-sektor yang produktif, berlomba-lomba meningkatkan kemampuan industrial dengan melakukan inovasi, membuat strategi produk, marketing dan lain sebagainya (Irdayanti, 2012).

Sementara itu UKM (Usaha Kecil Menengah) masih banyak mengalami kendala seperti kurangnya permodalan, penguasaan teknologi yang rendah, informasi yang minim, tenaga kerja yang kurang terampil, serta kelemahan dalam pemasaran. Padahal UKM merupakan salah satu pelaku ekonomi yang memberi dampak signifikan sebagai fondasi perekonomian Indonesia (Irdayanti, 2012). Bank Dunia menambahkan bahwa UKM merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi suatu negara (Susilo, 2010).

Ditambahkan bahwa usaha kecil menengah memiliki ketahanan dalam menghadapi gejolak ekonomi yang terjadi sekitar tahun 1997 di Indonesia. Banyak perusahaan besar yang tidak dapat bertahan, namun lain halnya dengan usaha kecil dan menengah yang mampu bertahan dan tetap eksis, bahkan menjadi sektor penyelamat perekonomian Indonesia (Nurseto, 2004). Hal ini yang melahirkan kesadaran baru pada masyarakat dan pemerintah akan pentingnya sektor UKM maupun sektor informal. Oleh karena itu pemerintah Indonesia mulai memperhatikan UKM.

(15)

Namun dalam upaya pengembangan UKM, banyak kendala yang ditemukan di antaranya jangkauan pemikiran hanya jangka pendek dari pihak UKM, kurangnya rasa saling percaya, dan kurangnya institusi pendukung seperti lembaga keuangan (UNIDO, 2010). Menurut Murniningsi dan Murnisudarjo (2011) permasalah yang dialami UKM di antaranya adalah rendahnya kualitas SDM dalam manajemen, organisasi, lemahnya kompetensi kewirausahaan serta tebatasnya kapasitas UKM untuk mengakses teknologi informasi. Demikian juga UKM-UKM yang ada di Indonesia, menghadapi berbagai macam kendala, seperti yang sudah dijelaskan diantaranya, SDM yang rendah, kurangnya dukungan institusi-institusi, masalah permodalan, kurangnya akses pasar dan sebagainya. Dengan berbagai masalah yang dihadapi ditambah kurangnya dukungan dari berbagai institusi terhadap pertumbuhan UKM membuat beberapa UKM mengalami stagnasi bahkan kemunduran.

Salah satu UKM yang sudah ada sejak lama di Indonesia yaitu Sentra Rajut Binong Bandung yang berdiri sekitar tahun 1960. Hingga tahun 2012 Sentra Rajut Binong Jati telah berkembang pesat dan memiliki sekitar 300 unit usaha rajut, dengan usaha utama yaitu rajutan dan usaha penunjang seperti penjual benang rajut atau toko-toko pakaian rajut. Adapun produk yang dihasilkan adalah blus, jaket, sweater, kardigan. Kapasitas produksi sentra rajut Binong dalam sehari mampu menghasilkan 18.000 rajutan (Ashari, 2012).

Pada Sentra Rajut Binong terdapat pengusaha-pengusaha rajut atau sering disebut pengrajin. Pengrajin-pengrajin rajut sangat menggantungkan hidup pada usaha rajutan mereka. Di mana Sentra Rajut Binong memberikan iklim yang cukup kondusif bagi perkembangan usaha rajut para pengrajin. Sentra Rajut Binong yang sudah cukup dikenal oleh masyarkat Bandung maupun luar kota Bandung sebagai salah satu pusat industri rajutan, membuat para pengrajin rajut memudahkan pemasaran mereka. Para pengrajin memanfaat kan para turis atau pengunjung yang masuk ke Sentra Rajut Binong untuk mencari rajutan.

Namun sekarang ini ada banyak laporan dari beberapa pengrajin, maupun pengusaha rajut yang berada di luar Binong mengatakan bahwa pengrajin rajut

(16)

Binong sedang mengalami penurunan. Banyak pengrajin rajut Binong yang mengalami kebangkrutan atau gulung tikar. Dari kondisi ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada pengrajin Sentra Rajut Binong Bandung mengenai dinamika usaha mereka serta hambatan yang dialami oleh pengrajin rajut Binong.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan mengenai masalah “ Dinamika Pengrajin Rajut Binong, Bandung”.

Persoalan penelitian

Dari masalah tersebut dirumuskan persoalan penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana proses start up hingga pengelolaan usaha para pengrajin rajut di Sentra Rajut Binong Bandung?

2. Apa saja yang menjadi hambatan dalam pengembangan usaha di Sentra Rajut Binong?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui proses para pengrajin di Sentra Binong memulai usaha mereka hingga pengelolaannya.

2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang dialami pengrajin di Sentra Binong dalam pengembangan usaha mereka.

Manfaat Penelitian

1. Bagi pengrajin Sentra Rajut Binong sendiri, memberikan pemikiran untuk terus mengembangkan upaya agar dapat mempertahankan dan

(17)

mengembangkan usaha mereka di tengah situasi perekonomian yang terus berubah.

2. Bagi UKM pada umumnya di Indonesia, agar memberikan masukan atau referensi untuk dapat tetap hidup dan berkembang.

(18)

BAB II

Review Literatur

2.1 UKM

Usaha Kecil Menengah (UKM) memperoleh perhatian serius oleh pemerintah karena ketahannannya dalam menghadapi perubahan ekonomi yang cukup dinamis. Terbukti sekitar tahun 1997 saat Indonesia mengalami krisis ekonomi di mana banyak perusahaan besar mengalami kebangkrutan. Tidak demikian dengan usaha kecil yang mampu bertahan dan menunjukan eksistnesinya (Nurseto, 2004). UKM merupakan salah satu pelaku ekonomi yang memberi dampak signifikan sebagai fondasi perekonomian Indonesia (Irdayanti, 2012).

Indonesia merupakan negara berkembang yang sangat memerlukan pertumbuhan di bidang ekonomi. Keberadaan UKM di Indonesia mampu mendorong perkembangan ekonomi nasional, karena dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja (Kusuma, 2012). Bank Dunia menambahkan bahwa UKM merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi suatu negara (Susilo, 2010).

Namun dalam upaya pengembangan UKM, banyak kendala yang ditemukan di antaranya jangkauan pemikiran hanya jangka pendek dari pihak UKM, kurangnya rasa saling percaya, dan kurangnya institusi pendukung seperti lembaga keuangan (UNIDO, 2010). Menurut Murniningsi dan Murnisudarjo (2011) permasalah yang dialami UKM di antaranya adalah rendahnya kualitas SDM dalam manajemen, organisasi, lemahnya kompetensi kewirausahaan serta tebatasnya kapasitas UKM untuk mengakses teknologi informasi.

(19)

2.2 Proses Kewirausahaan

Kamus manajemen (LPPM) mendefinisikan kewirausahaan sebagai seorang yang mampu memulai dan atau menjalankan usaha (Nurseto, 2004). Nurseto (2004) juga mengatakan seorang wirausaha adalah orang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang lingkungan dan membuat keputusan-keputusan tentang lingkungan usaha, mengolah sejumlah modal dan menghadapi ketidakpastian untuk meraih keuntungan. Yohnson (2003) mengatakan wirausahawan adalah orang yang menciptakan sebuah bisnis yang berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian yang bertujuan memperoleh profit dan mengalami pertumbuhan dengan cara mengidentifikasikan kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan.

Menurut Bygrave proses kewirausahaan adalah sebagai separangkat tahapan dan peristiwa yang mengikuti satau sama lain, dengan kata lain adanya gagasan atau konsep yang memicu terjadinya pelaksanaan sebuah bisnis (Nassif, Ghobril, & Silva, 2010). Bygrave menjelaskan ada empat tahap dalam proses kewirausahaan yaitu inovasi, kondisi pemicu, penerapan, dan pertumbahan.

Dalam berwirausaha tentu terdapat wirausaha yang berhasil dan yang kurang berhasil ataupun tidak berhasil. Menurut Alma dalam Endang (2012) mengatakan ada delapan anak tangga menuju puncak karir berwirausaha yaitu, kerja keras, bekerja dengan orang lain, berpenampilan baik, yakin, pandai membuat keputusan, mau untuk menambah ilmu pengetahuan, ambisi untuk maju, pandai berkomunikasi. Ciri-ciri wirausaha yang berhasil di antaranya memiliki visi dan tujuan yang jelas, inisiatif dan selalu proaktif, berorientasi pada prestasi, berani mengambil resiko, bekerja keras, bertanggung jawab terhadap segala aktivitas yang dijalankannya, komitmen pada berbagai pihak, mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak Kasmir (dalam Nurseto, 2012).

(20)

2.2 Start Up

Dalam memulai sebuah usaha, motivasi merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh seorang pengrajin. Motivasi berhubungan dengan dorongan atau kekuatan yang berada dalam diri manusia, motivasi berada dalam diri manusia yang tidak terlihat dari luar (Endang, 2012). Magginson dan Byrd dalam Yohnson (2003) menyampaikan beberapa alasan seseorang memulai bisnis kecil, yang pertama adalah untuk memuaskan tujuan pribadi. Dalam memuaskan tujuan pribadi seseorang memiliki ambisi yang ingin dicapai, seperti kemandirian, menerima pendapatan lebih, membantu keluarga, menemukan produk baru. Alasan kedua adalah mencapai tujuan bisnis yaitu, memenuhi target yang sudah ditetapkan sebagai orientasi bisnis tersebut di antaranya, melayani kebutuhan masyarakat, mendapat keuntungan, peduli terhadap kehidupan sosial baik masyarakat maupun lingkungan, mendapatkan pertumbuhan, tujuan bisnis dihubungkan dengan tujuan pribadi.

Selain motivasi, terdapat juga beberapa hambatan yang dialami saat memulai usaha. Hafsah (2004) menjelaskan ada dua hambatan yang pada umumnya dihadapi UKM, seperti faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kurangnya permodalan, SDM yang terbatas dan lemahnya jaringan usaha serta kemampuan penetrasi terhadap pasar. Sedangkan faktor eksternal meliputi kebijakan pemerintah, terbatasnya sarana dan prasarana usaha, implikasi perdagangan bebas dan terbatasnya akses ke pasar. Serta masalah permodalan yang menjadi masalah utama dalam pendirian usaha baru (Hisrich, 2008).

Knowledge atau pengetahuan adalah data dan informasi yang digabung

dengan kemampuan, intuisi, pengalaman, gagasan serta motivasi dari sumber yang kompeten, (Hendrik, 2003). Pengetahuan merupakan salah satu kekuatan pendorong terpenting bagi keberhasilan sebuah bisnis (Theriou dkk, 2011). Dalam memulai usaha baru, transfer pengetahuan juga mengambil peran penting. Transfer pengetahuan adalah penyampaian pengetahuan dari satu tempat, orang atau

(21)

kepemilikan yang lain, Liyanage (dalam paulin dan Suneson, 2012). Paulin dan Suneson (2012) menambahkan bahwa transfer pengetahuan adalah bermacam-macam interaksi antar individu dan kelompok; dalam kelompok, antar kelompok serta dari kelompok ke organisasi lain.

Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi minat berwirausaha adalah budaya keluarga (Widiyanto, 2013). Di samping itu saat memulai bisnis baru diperlukan juga peran dari pemasok agar bisnis berjalan dengan lancar, karena rekan atau mitra bisnis adalah sebagai unsur utama berwirausaha yaitu mitra dagang maupun mitra pemasok bahan baku (Saiman, 2009). Selain itu Kumar (2005) juga menambahkan bahwa pasokan bahan baku dengan kualitas yang dibutuhkan dan harga yang wajar, penting untuk pertumbuhan industri.

2.3 Pengelolaan Usaha

Dalam pengelolaan dan pengembangan sebuah usaha seringkali diiringi dengan adanya peningkatan atau perluasan tempat usaha, penambahan kapasitas tenaga kerja, penambahan jenis dan jumlah produk (Budhiyanto, 2009). Disamping itu kemajuan teknologi juga menjadi salah satu indikator bagi berkembangnya sebuah usaha (Johnson, 1989). Perkembangan teknologi menjadi salah satu kekuatan utama yang mengendalikan pertumbuhan industrial. Lebih lanjut Julien (1995) menjelaskan bahwa penggunaan manajemen dan teknologi baru, penting bagi bisnis kecil dalam meningkatkan kemampuan bersaing. Selain itu teknologi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesuksessan bisnis (Bulgerman dkk, 2004). Keterbelakangan teknologi juga menyebabkan rendahnya efisiensi dalam proses produksi, rendahnya jumlah produksi dan mempengaruhi kesanggupan UKM untuk bersaing di pasar global (Irdayanti, 2012). Kusuma (2012) menambahkan bahwa adanya keterbatasan teknologi yang digunakan dapat menyebabkan ketidakmampuan UKM memberi nilai tambah yang nyata bagi keberlangsungan usahanya.

(22)

Dalam pengelolaan usaha juga memerlukan regenerasi agar usaha yang dilakukan tetap bertahan dari generasi ke generasi. Regenerasi adalah upaya untuk melakukan pengalihan atau pentransferan nilai, sacara fisik maupun non fisik (psikis) dari satu pihak ke pihak lain yang pada dasarnya dasarnya digunakan untuk mempertahankan keberlanjutan nilai tersebut (Sugiarti, 2012).

Agar usaha tetap berjalan perlu adanya strategi bertahan, bertahan atau sering disebut dengan survival yaitu teknik bertahan hidup. Dalam kehidupan sehari-hari ada berbagai macam teknik survival di antaranya survival laut, gunung, hutan, gurun dan sebagainya. Meskipun ada banyak jenis survival namun pada dasarnya memiliki tujan yang sama yaitu mempertahankan keberlangsungan hidup atau sesuatu (Suryadi, Hamid dan Agussabti, 2013). Tidak berbeda dalam dunia usaha, agar usaha atau bisnis yang di jalani tetap bertahan, setiap perusahaan atau organisasi memiliki strategi bertahan yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu strategi bertahan yang dilakukan Sentra Rajut Binong Bandung adalah melakukan kerjasama antar pengrajin yaitu saling tukar informasi, saling membantu dalam pembuatan rajutan dan sebagainya. Dengan kata lain pengrajin rajut Binong melakukan knowledge sharing atau berbagi pengetahauan. Konwoledge sharing adalah mengkomunikasikan pengetahuan dalam sebuah kelompok, seperti antar kolega di tempat kerja (Mulyanto, 2012).

2.4 Hambatan Pengembangan Usaha

UKM masih sering diidentifikasikan sebagai usaha yang sulit berkembang dan banyak permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Di antaranya permodalan yang minim, teknologi yang sederhana, keahlian teknologi yang rendah, lemahnya manajemen, kurangnya akses pasar, kurangnya akses pasar dan jenis produk (Nurseto, 2004 dan Dipta, 2008). Menurut Murniningsi dan Murnisudarjo (2011) permasalah yang dialami UKM di antaranya adalah rendahnya kualitas SDM yang dalam manajemen, organisasi, lemahnya kompetensi kewirausahaan serta tebatasnya

(23)

kapasitas UKM untuk mengakses informasi teknologi. Selain itu Munir dalam Sutopo (2011) menambahkan bahwa permasalahan yang dihadapi UKM meliputi akses bahan baku dan iklim usaha yang belum kondusif.

Di samping itu semua, permasalahan UKM terkadang terjadi karena kurangnya komitmen UKM dalam memenuhi pesanan pelanggan dan ketersediaan barang di pasar. Hal ini merupakan efek berantai dari kelemahan UKM di bidang teknologi yang terbatas, keterbatasan teknologi meyebabkan kapasitas produksi menjadi rendah (Kusuma, 2012). hambatan berkembangnya sebuah usaha tidak hanya terjadi dari segi modal dan teknologi saja, namun dari segi karakter pengusaha itu sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Suryana (2006) menjelaskan keberhasilan usaha atau kegagalan wirusaha sangat dipengaruhi oleh sifat kepribadian pengusaha itu sendiri.

(24)

Bab III

Metodologi

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji (Rahardjo, 2010). Data diperoleh secara langsung dari lapangan atau primer dan data sekunder atau penelitian lainnya.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) merupakan proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian (Rahardjo,2012).

Data diperoleh pula dengan melakukan observasi. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu dan melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.

Observasi yang digunakan di penelitian ini yaitu observasi tidak berstruktur, observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan

(25)

pedoman observasi. Pada observasi ini peneliti mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang (Rahardjo, 2012).

3.3 Tekhnik Analisis data

Analisis tematik, yaitu suatu cara untuk memahami sesuatu melalui penyelidikan atau usaha mencari bukti-bukti yang muncul melalui tema-tema yang terdapat pada sebuah data. Atau dengan kata lain Analisis tematik adalah cara mengidentifikasi tema-tema yang terpola dalam suatu fenomena (Hendriani, 2012).

3.5 Prosedur Penelitian

Pada penelitian ini peneliti memperoleh key informan dengan cara menjalin komunikasi dengan seorang pengrajin rajut Binong yang sudah lama memiliki hubungan bisnis dengan kerabat peneliti. kemudian key informan merekomendasikan informan lainnya. Selain itu peneliti juga secara langsung mendatangi lokasi Sentra Rajut Binong, melihat dan mencermati aktifitas para pelaku usaha, serta melakukan wwancara dengan informan yang bersedia berbagi informasi mengenai pengalaman mereka dalam menjalankan usaha.

3.6 Narasumber

Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari delapan pengarajin rajut Binong, dua pemasok bahan baku, seorang pegawai kantor kelurahan Binong, dan dua pengusaha rajut yang berasal dari luar Binong. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan observasi secara langsung di Kelurahan Binong, Bandung.

(26)

Bab IV

Hasil Analisis dan Pembahasan

4.1 Profil Kelurahan Binong

Pada bagian ini akan dijelaskan profil Kelurahan Binong, proses terbentuknya Sentr Rajut Binong, situasi, kondisi, geografis dan pelaku yang berperan dalam pembentukan Sentra Rajut Binong.

4.1.1 Awal Mula Pembentukan Sentra Rajut Binong

Pada beberapa data sekunder mengatakan bahwa Sentra Rajut Binong muncul sekitar tahun 1960, diawali oleh ajakan kerjasama dari seorang pengusaha Tionghoa kepada warga sekitar untuk membangun industri rajutan, dan sekitar tahun 1970 sentra rajut ini semakin berkembang1. Selain itu juga diceritakan oleh SWO, ketua asosiasi pengrajin rajut Binong Jati, kepada sebuah media lokal yaitu Indonesia Kreatif2. Usaha rajut milik orang tuanya adalah generasi pertama dari Sentra Rajut Binong. SWO bercerita, di tahun 1965 orang tuanya bekerja di sebuah pabrik rajutan di daerah Kiara Condong. Sekitar tahun 1965 pabrik tersebut mengalami kelebihan order serta mesin yang digunakan sudah tidak bisa ditampung oleh pabrik, lalu pemilik pabrik memberikan dua buah mesin rajut kepada orang tua SWO untuk berproduksi di rumah (Binong Jati). Namun demikian, di awal 1990, pabrik tempat orang tua SWO bekerja mengalami kebangkrutan. Dengan modal dua buah mesin tenun yang diberi oleh pihak pabrik, kedua orang tua SWO kemudian melanjutkan produksi secara mandiri, hal itu berlanjut hingga ke generasi SWO sekarang. Di

1 Sumber: http://www.bandungtourism.com

2 Sumber: wawancara Ashari dengan SWO, 28 januari 2012. http://indonesiakreatif.net

(27)

samping data sekunder yang diperoleh, ada juga pengrajin rajut Binong yaitu NNI yang mengatakan bahwa awal mula keluarga NNI mendirikan usaha rajut yaitu karena ada seorang warga negara Jepang yang mengajari cara merajut kepada ibu mertua NNI,

“Waktu itukan masih jaman Belanda akhir gitu, nah ibu mertua saya diajarin sama orang Jepang kayaknya, tapi waktu itu masih sederhana banget ngajarinnya, masih pake tangan gitu manual”.

Berdasarkan penjelasan di atas tampak jelas bahwa Sentra Rajut Binong terbentuk karena adanya transfer knowledge dan transfer teknologi dari pengusaha di luar Sentra Rajut Binong yaitu pengusaha Tionghoa dan dari warga negara Jepang yang kemudian diteruskan secara turun temurun oleh warga Binong. Transfer

knowledge atau transfer pengetahuan terjadi ketika warga Binong bekerja sebagai

pengrajin rajut pada pengusaha Tionghoa tersebut dan dari warga negara Jepang yang memberi pelatihan merajut pada warga Binong. Warga Binong mempelajari cara pembuatan rajut dan memepelajari cara penggunaan mesin rajut yang sudah ada pada saat itu. Transfer teknologi terjadi ketika pengrajin Tionghoa menitipkan mesin rajut kepada warga Binong untuk mengerjakan rajutan di rumah mereka masing-masing. Hal ini menunjukan adanya kesamaan dengan hasil penelitian pada industri kecil di India oleh Kumar (2005) yang mengatakan bahwa pengembangan disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu transfer teknologi dan transfer pengetahuan.

Hingga saat ini kelurahan Binong terdiri dari unit-unit usaha yang memproduksi rajutan atau yang lebih dikenal warga dengan sebutan Sentra Indsutri Rajut Binong.

4.1.2 Geografis

Binong adalah sebuah Kelurahan di Kecamatan Batununggal di kota Bandung, Binong merupakan pemukiman padat penduduk. Berdasarkan data

(28)

demografi kelurahan pada tahun 2004, penduduk Kelurahan Binong adalah sebanyak 14.008 jiwa. Rekapitulasi jumlah penduduk Kelurahan Binong berdasarkan mata pencaharian pokok penduduk terbanyak tahun 2004 ada pada jasa transportasi dan ketrampilan sebanyak 2.240 jiwa atau 49,72%. Komposisi penduduk tertinggi berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Binong terdapat pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yaitu sebanyak 2.100 jiwa. Karakteristik pengrajin berdasarkan pendidikan terakhir terbanyak ada pada tingkat Sekolah dasar (SD) sebanyak 30 pengrajin (data kelurahan Binong, Januari 2004). Secara geografis Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal memiliki luas wilayah 72 ha. Adapun batas wilayah Kelurahan Binong adalah batas Utara Kelurahan Maleer, batas Selatan Kecamatan Batu Nunggal, batas Barat Kelurahan Kebon Kangkung, dan batas Timur Kelurahan Gumuruh. Hingga Juni tahun 2014 Kelurahan Binong memiliki jumlah penduduk 16.029 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 7.852 jiwa penduduk perempuan 8.177 jiwa3.

4.1.3 Situasi dan Kondisi

Binong Jati dapat diakses melalui Jalan Kiaracondong dan Jalan Gatot Subroto di mana terdapat sebuah gapura besar bertuliskan Sentra Rajutan Binong Jati. Di sekitar gapura terdapat pasar yang dinamakan pasar Binong, pasar tersebut bukan pasar besar namun merupakan pasar rakyat sederhana yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari masyarakat seperti sayuran, buah, dan berbagai keperluan memasak. Saat memasuki gapura terlihat jalan kecil yang orang-orang menyebutnya jalan Binong dengan lebar kurang lebih enam meter, sepanjang sekitar lima kilometer yang hanya cukup dilalui oleh dua kendaraan beroda empat. Di kanan dan kiri sepanjang jalan Binong terdapat rumah-rumah penduduk yang cukup padat dengan aktivitas sehari hari seperti jual beli, pedagang makanan, warung, ruko dan

3

(29)

sebagainya. Terdapat banyak jalan setapak atau gang kecil di sepanjang jalan Binong, dengan kegiatan merajut nampak hampir pada semua rumah tangga di Binong. Selain itu terlihat pula aktivitas bisnis penunjang lainnya seperti pengiriman produk rajut atau ekspedisi, toko pakaian rajut, dan toko-toko benang.

Jalan Binong merupakan jalan yang cukup sempit dan memiliki kondisi yang sedikit rusak, jalan Binong hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat sehingga kendaraan besar seperti bis dan truk tidak dapat masuk. Hal ini menyebabkan sulitnya akses masuk ke kawasan Binong jika ingin berwisata industri dengan jumlah pengunjung yang cukup banyak, karena selain kondisi jalan yang sempit juga tidak tersedianya lahan parkir yang luas di Sentra Rajut Binong Jati. Seperti yang di sampaikan SWO salah satu pengrajin di Binong, mengenai kendala infrastruktur, yakni akses jalan masuk ke kawasan industri Binong Jati, dirasakannya masih menjadi penghambat,

“Dulu ada kelompok dharma wanita yang mengunjungi daerah ini, tetapi, ya begitu, kedatangannya sempat terhambat oleh akses jalan yang sempit. Sebabnya kelompok dharma wanita itu datang menggunakan bis. Di sini kan wilayahnya sempit, ya? ga mungkin bis masuk ke sini. Akhirnya mereka jalan kaki dari jalan utama, padahal kan jaraknya lumayan jauh. Kalau begitu, tamu-tamu juga bisa kapok datang ke sini”.

Selain itu ASP, seorang pegawai di kantor kelurahan Binong mengatakan salah satu kendala yang dihadapi Sentra Rajut Binong adalah infrastruktur yang buruk.

“Ya salah satu kendala yang dihadapi kita ya infrasturktur kita ya, kondisi jalan yang jelek, sempit dan juga kita tidak ada lahan parkir. Kalo ada orang mau kunjungan pake bis besar kan kesulitan ya, parkirnya mesti jauh banget kasian cape jalannya, jadi pada males kesini”.

(30)

Dari hasil wawancara di atas terlihat bahwa salah satu penyebab kemunduran Sentra Rajut Binong adalah kondisi infrastruktur yang buruk, yang membuat semakin sepi dari pengunjung yang ingin melakukan wisata industri.

4.1.4 Pelaku Usaha sentra Rajut Binong

Pada Sentra Rajut Binong para pengusaha rajut sering disebut sebagai pengrajin. Mereka yang memegang peran penting dalam Sentra Rajut Binong, yaitu sebagai produsen pakaian rajut. Meskipun pengrajin rajut didominasi oleh warga Binong, namun cukup banyak pengrajin yang berasal dari luar binong. Peneliti menemukan bahwa pengrajin rajut yang bukan penduduk asli Binong awalnya hanya sebagai mahasiswa, karyawan atau mengunjungi sanak saudaranya. Mereka memilih untuk mendirikan usaha rajut dan menetap di Binong karena adanya kesempatan untuk berwirusaha menjadi pengrajin rajut, seperti yang dikatakan oleh salah satu pengrajin yaitu HRW yang berasal dari Binong,

“ …karena memanfaatkan situasi, di Binong ini kan sentra rajut sudah terkenal, Binong pasti rajutnya jadi saya memanfaatkan peluang usaha ini.”.

Serta yang dikatakan oleh ULI, pengrajin yang berasal dari Palembang,

“…waktu itu saya lihat di Binong ini peluang usaha rajutnya bagus ya, emang di sini sentra rajut, nah jadi akhirnya saya memutuskan untuk bikin usaha rajut tahun 2005”.

Selain pengrajin, distributor juga berperan dalam bisnis rajut di Binong. Mereka adalah supplier benang bagi para pengrajin di Binong pada khususnya. Benang sangat dibutuhkan oleh pengrajin sebagai bahan baku bagi produk rajutan. Para distributor memperoleh benang dari beberapa perusahaan penghasil benang seperti Kahatex, Indorama, Lks, Samtex, namun yang memiliki skala besar adalah Kahatex. Kahatex memiliki birokrasi untuk setiap pendistribusian benangnya, sehingga para pengrajin di Binong tidak bisa secara langsung mendapatkan benang

(31)

dari Kahatex, tetapi harus melalui perantara yaitu distributor-distributor. Hal ini disampakan olek SFS, manajer salah satu distributor yaitu toko FDL,

“…sebenarnya kita ambil dari beberapa supplier ya, Kahatex, Indorama, Lks, Samtex tapi yang utama itu Kahatex karena Kahatex yang besar banget itu se Indonesia, dan hampir seluruh Binong pake produk Kahatex loh. Jadi sebenarnya ini kebijakan Kahatex sendiri untuk netapin jumlah kuota distributor benangnya, di Binong beberapa orang, nanti di daerah mana ada beberapa orang lagi, dan salah satu distributor Kahatex itu kita. Jadi kalo orang barupun dan banyak uang sekalipun Kahatex tetep ga mau ya, itu dah komitmen dari Kahatex untuk netapin jumlah distributor”.

Selain distributor, ada juga warga Binong yang memiliki usaha sebagai sub distributor. Mereka adalah warga Binong yang tidak berprofesi sebagai pengrajin pada umumnya. Sama seperti para distributor mereka berperan sebagai supplier benang bagi para pengrajin rajut di Binong. Namun sub distributor ini tidak mendapatkan benang dari perusahaan inti seperti Kahatex, melainkan sub distributor mendapatkan benang dari para distributor-distributor seperti toko FDL. Hal ini disampaikan oleh TNT salah satu sub distributor di Binong yaitu toko PBI,

“…kalo benang saya ambilnya kebanyakan dari toko Ljs, sisanya Nrw. Kalo kaya ljs dan FDL mereka langsung dari Kahatex, kalo saya ambil benangnya dari LJS”.

Kedua supplier benang yaitu distributor dan sub distributor berada dalam satu kawasan tidak menjadi suatu pemasalahan bagi kedua pihak. Hal ini terjadi karena adanya hubungan pertemanan yang terjalin sejak lama dari pihak distributor dan sub distributor, yang kemudian terjadi sebuah kepercayaan antara kedua pihak. Sebagaimana yang diceritakan oleh TNT,

“Dulu sebenarnya yang kenal sama LJS tuh orang tua saya, orang tua saya dulu juga pengrajin, nah benangnya ambil dari LJS. Udah kenal lama dan hubungannya baik ama pemiliknya, jadi waktu saya buka usaha distributor benang tahun 2008, orang tua saya yang ngomong ke pemilik LJSnya trus dikenalin ke saya. Ampe sekarang jadi saya ambil benangnya dari LJS.”

(32)

Ketiga pihak dalam Sentra Rajut Binong yaitu, pengrajin, distributor dan sub distributor memiliki perannya masing-masing namun ketiganya saling terkait. Pengrajin membutuhkan distributor dan sub distributor sebagai pemasok bahan baku yaitu benang. Distributor membutuhkan para pengrajin sebagai konsumen untuk membeli benang mereka. Sub distributor membutuhkan distributor untuk mendapatkan benang dan juga membutuhkan pengrajin sebagai pelanggan bagi benang mereka. Seperti yang dikatakan SFS,

“Kita tuh bisa dibilang hukum saling ketergantungan ya, kitanya jual murah, binong sendiri beli ke kita, jadi ya saling membutuhkan lah gitu”.

Sama halnya yang dikatakan TNT,

“…di Binong ini kan dah jelas sentra rajut, jadi keberadaan distributor benang sama pengrajin tuh saling menguntungkan, saling membutuhkan”.

Setiap pengrajin telah memiliki langganan sendiri untuk distributornya, tapi tidak menutup kemungkinan pengrajin juga mencari benang ke distributor lain ketika barang yang dibutuhkan tidak tersedia di distributor langganannya. Hal ini dikarenakan setiap distributor terkadang memiliki stok benang yang berbeda-beda, khususnya dalam hal warna benang. meskipun terdapat perbedaan harga dari para distributor, namun hal tersebut tidak mempengaruhi pengrajin. Ketika membutuhkan benang dengan warna tertentu mereka akan tetap membeli meskipun harganya berbeda dari distributor langganannya. Seperti yang di ungkapkan oleh beberapa pengrajin sebagai berikut,

HRW mengatakan,

“Kita paling banyak ambil dari federal karena di FDL yang mau kasih tempo, kita boleh ambil barang dulu, kalo di tempat lain bisa sih kasih tempo tapi sulit. Kita ambil ke toko lain kalo missal warna yang kita cari di FDLnya ga ada, baru kita cari ke toko lain kaya MJL, KB, PBI”.

(33)

Serta yang diungkapkan MMN,

“Kalau distributor benang sekarang dah banyak banget ya dibanding waktu zaman bapak saya, jadi sekarang saya ngambil benangnya ga hanya di satu agen benang , saya ambil dari banyak agen. Gini, ga semua warna benang yang kita butuhkan tuh ada di satu agen aja, tapi kadang agen sini stoknya cuma berapa warna, nanti di agen lain ternyata punya warna yang lain, nah jadi saya ga mau hanya satu agen. Kalau masalah harga bagi saya ga masalah sih, paling beda lima ratus doank ya paling ga seribu lah. Perbedaan itu juga hanya yang ga bayar tunai tapi tempo, jadi menurut saya tetap lebih memilih ambil dari banyak agen”.

Dari hasil wawancara di atas, jumlah distributor yang semakin bertambah dari waktu kewaktu membuat pengrajin memiliki banyak pilihan dan memudahkan pengrajin untuk mendapatkan bahan baku. Di samping itu pemilihan jenis warna menjadi hal utama untuk menentukan dimana mereka akan membeli benang, sehingga loyalitas terhadap distributor tertentu rendah.

4.2 Start Up

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai proses awal para pengrajin rajut binong dalam memulai usahanya, dimulai dari faktor pendorong berwirausaha, yaitu motivasi, transfer ilmu pengetahuan, dukungan keluarga dan hubungan dengan pemasok. Faktor penghambat yaitu permodalan dan kesulitan pemasaran.

4.2.1 Motivasi

Untuk memulai sebuah usaha terdapat banyak hal yang harus dipertimbangkan atau harus dimiliki oleh seorang pengrajin, seperti, ide, motivasi, pengalaman, relasi dan sebagainya. Motivasi berhubungan dengan dorongan atau kekuatan yang berada dalam diri manusia, motivasi berada dalam diri manusia yang tidak terlihat dari luar (Endang, 2012). Magginson dan Byrd dalam Yohnson (2003) menyampaikan beberapa alasan seseorang memulai bisnis kecil, yang pertama

(34)

memuaskan tujuan pribadi. Dalam memuaskan tujuan pribadi, seseorang memiliki ambisi yang ingin dicapai bagi dirinya sendiri, seperti kemandirian, menerima pendapatan lebih, membantu keluarga, menemukan produk baru. Alasan kedua adalah mencapai tujuan bisnis yaitu, untuk memenuhi target yang sudah ditetapkan seperti melayani kebutuhan masyarakat, mendapat keuntungan, peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat maupun lingkungan, mendapatkan pertumbuhan usaha. Meskipun demikian tujuan bisnis seringkali berhubungan dengan tujuan pribadi. Adapun motivasi para pengrajin rajut Binong adalah memanfatkan peluang dari adanya Sentra Binong sendiri, mencari karir yang tetap dan lebih pasti serta pendapatan yang lebih baik. Selain itu juga adanya dorongan dari pihak keluarga dan lingkungan sekitar.

Hal yang paling umum dari motivasi para pengrajin adalah memanfaatkan peluang usaha yang muncul dengan adanya Sentra Binong. Para pengrajin melihat peluang yang sangat besar untuk memulai usaha rajut mereka, di mana Binong dikenal sebagai sentra rajut di kota bandung. Banyak pedagang grosir dari dalam kota Bandung bahkan hingga luar pulau yang mencari produk rajutan di Sentra Rajut Binong ini. Seperti yang dikatakan ULI,

“Dulu saya di rumah ini tuh buka warung dan saya sambil kuliah hukum perdata di Bandung sampai jadi sarjana Hukum. Nah sampai tahun 2005 saya buka usaha rajut, dulu saya mah ga ada cita-cita ke rajut ya, cuma waktu itu saya liat di Binong ini peluang usah rajutnya bagus ya, emang di sini sentra rajut sih. Nah jadi akhirnya saya memutuskan untuk bikin usaha rajut tahun 2005 dan saya dah ga buka warung lagi tapi saya coba fokus dirajutnya”.

Motivasi yang ada dalam diri pengrajin maupun motivasi yang berasal dari luar pengrajin mendorong para pengrajin untuk memulai berwirausaha sebagai pengusaha atau pengrajin rajut. Hal ini seperti yang di katakan dalam kamus manajemen (LPPM) mendefinisikan kewirausahaan sebagai seorang yang mampu memulai dan atau menjalankan usaha (Nurseto, 2004).

(35)

Motivasi berikutnya adalah keinginan para pengrajin untuk memiliki karir yang lebih pasti dan pendapatan yang lebih besar dari pekerjaan sebelumnya. Hal ini seperti yang di alami oleh NNI,

“…nah waktu itu sempet bapak cuti berapa bulan gitu, sekitar 2 bulan dan pulang ke rumah ibunya, ibu mertua saya di Binong Bandung ini, kan waktu itu ibu mertua saya udah punya usaha rajut tapi masih sederhana banget masih pake tangan gitu. Nah saya ama suami saya ikut bantuin lewat kakak ipar saya juga pengrajin rajut. Kita kan bantuin tuh tapi ya juga di bayar gitu karena ikut bantu juga, nah waktu itu kok uang upah rajut hampir sama kaya gaji suami saya kalo kerja di kilang minyak di Kalimantan sana. Dari situ udah ya mending di sini aja pindah bikin rajut aja”.

Begitu juga yang dialami oleh STI,

“Dulu gini sebenarnya saya pernah kerja di perusahaan ekspor rajut juga, kaya sinar selatan, sentra kogarmindo majalengka. Nah dulu kan kalau kerja sama mereka tuh kan tumpahan, maksudnya tumpahan tuh kalau perusahaan mau ekspor aja, kita dikasih benang untuk buat rajut, terus nanti dibeli lagi sama perusahaan, tapi itu kalau rame ya, kalau pas sepi ya kita ga ada pekerjaan. Cape juga disitu bingung, jadi saya pikir mending usaha sendiri aja, nah tahun 97an saya mulai buka usaha rajut aja sendiri”.

Motivasi yang ketiga datang dari lingkungan warga masyarakat dan lingkungan keluarga yaitu melanjutkan usaha orang tua. Binong merupakan lingkungan padat penduduk di mana hampir semua warganya berprofesi sebagai pengrajin rajut, sehingga bagi beberapa orang akan merasa aneh jika tidak memiliki profesi yang sama di lingkungan sekitar yaitu sebagai pengrajin rajut. Seperti yang dialami oleh MMN,

“Ya sebenarnya saya ga ada cita-cita ke rajut ya, saya dulu juga pernah kerja di pabrik sepatu tahun 1996, saya jadi direktur produksi waktu itu. Tapi kan saya liat semua saudara dan tetangga semua rajut, masa saya beda sendiri, yaudah saya memutuskan untuk terjun ke rajut meneruskan usaha bapak saya tahun 2004 dan saya keluar dari pabrik sepatu”.

(36)

Dari beberapa motivasi yang dimiliki oleh para pengrajin rajut Binong terdapat dua jenis motivasi atau alasan dalam memulai usaha rajut. Pertama memuaskan tujuan pribadi diantaranya mencari karir yang lebih pasti dan pendapatan yang lebih besar dan meneruskan usaha keluarga serta orang tua. Kedua memuaskan tujuan bisnis yaitu memanfaatkan peluang usaha untuk mendapatkan keuntungan dan dorongan dari lingkungan masyarakat.

4.2.2 Knowledge Transfer

Knowledge atau pengetahuan adalah data dan informasi yang digabung

dengan kemampuan, intuisi, pengalaman, gagasan serta motivasi dari sumber yang kompeten, (Hendrik, 2003). Pengetahuan merupakan salah satu kekuatan pendorong terpenting bagi keberhasilan sebuah bisnis (Theriou dkk, 2011). Oleh karena itu pengetahuan harus disalurkan kepada individu atau generasi berikutnya dalam sebuah organisasi ataupun sebuah perusahaan. Dalam memulai usaha rajutan, Kemampuan merajut para pengrajin tidak hadir begitu saja namun ada pengetahuan yang disalurkan dari generasi ke generasi atau transfer pengetahuan.

Transfer pengetahuan adalah penyampaian pengetahuan dari satu tempat, orang atau kepemilikan yang lain, Liyanage (dalam paulin dan Suneson, 2012). Selain itu transfer pengetahuan adalah bermacam-macam interaksi antar individu dan kelompok; dalam kelompok, antar kelompok serta dari kelompok ke organisasi lain (Paulin dan Suneson, 2012). Mathar (2011) menambahkan bahwa salah satu keunggulan daya saing bagi sebuah organisasi adalah kemampuan untuk menciptakan transfer pengetahuan. Para pengarajin rajut Binong melakukan transfer knowledge dengan menyalurkan pengetahuan merajutnya dari generasi ke generasi. Seperti yang dikatakan oleh NNI,

(37)

Tidak hanya dilakukan dari individu ke individu, namun transfser pengetahuan di Sentra Rajut Binong juga terjadi dari organisasi ke individu. Hal ini diutarakan oleh STI,

“Dulu gini sebenarnya saya pernah kerja di perusahaan ekspor rajut juga, iya benar saya dah ada pengalaman ya walaupun belum banyak”.

Jadi selain ada transfer pengetahuan dari keluarga pengrajin atau individu ke individu, para pengrajin juga mendapat pengetahuan merajut dari tempat kerja mereka sebelumnya di perusahaan rajut.

4.2.3 Dukungan Keluarga

Selain transfer pengetahuan, dukungan dan keterlibatan anggota keluarga juga berpengaruh dalam memulai suatu usaha bagi para pengrajin, meskipun dukungan itu tidak secara langsung dirasakan oleh pengrajin itu sendiri. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Budhiyanto (2009) yang mengatakan bahwa keterlibatan anggota keluarga sangat penting di masa perintisan usaha. Sebagai contoh yang dialami oleh HRW,

“Dulu kan saya masih kerja di pabrik tuh sebagai mekanik, yang pegang rajut isteri saya, nah saya sering kasihan sama isteri saya dia sering kecapean, sampai saya ga kuat akhirnya saya keluar kerja dari pabrik tahun 2006 dan fokus rajut bareng isteri saya sampai sekarang”.

Suami rela berhenti dari pekerjaannya di pabrik untuk membantu istri menjalankan usaha rajut. Demikian pula yang di alami oleh MMN, hampir seluruh anggota keluarganya terlibat dalam menjalankan usaha rajut,

“Saudara saya, adik-adik saya pegang semua, ngamatin semua, ada yang mengamati rajut, mengamati distributor, ya pokoknya semua yang atur kita sekeluarga. Ya mau gimana lagi semua saudara dan tetangga saya rajut semua, masa saya ga ikut rajut”.

(38)

Tampak bahwa keluarga memberikan dukungan secara riil melalui keterlibatannya dalam aktifitas usaha sehari-hari. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Budhiyanto (2009) di industri batik Yogyakarta yang mengungkapkan bahwa dukungan keluarga lebih bersifat pasif, yaitu dalam hal dana dan moral.

Hal ini terjadi karena adanya kebiasaan keluarga yang sangat mempengaruhi seseorang untuk memulai sesuatu yang sama dengan kebiasaan keluarga tersebut. Dalam kasus ini adalah kebiasaan merajut yang ada pada keluarga pengrajin, seperti yang dikemukakan oleh Sumarni (2006), mengatakan salah satu faktor yang mempengaruhi minat berwirausaha seseorang adalah lingkungan keluarga. Hal ini dialami oleh MMN yang memutuskan memulai usaha rajut karena keluarganya yang sebagian besar adalah pengrajin rajut.

4.2.4 Pemasok

Pemasok memiliki peran penting bagi sebuah pendirian usaha dalam menyediakan bahan baku. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa rekan atau mitra bisnis sebagai unsur utama berwirausaha yaitu mitra dagang maupun mitra pemasok bahan baku (Saiman, 2009). selain itu pada penelitinnya di sebuah pusat industri, Kumar (2005) juga menambahkan bahwa pasokan bahan baku dengan kualitas yang dibutuhkan dan harga yang wajar, penting untuk pertumbuhan sebuah sentra industri.

Pada Sentra Rajut Binong Jati para pengrajin menjalin hubungan yang baik dengan pemasok agar produksi mereka bisa berjalan lancar. Ada lebih dari satu pemasok di Binong, hal ini memudahkan para pengrajin untuk mendapatkan bahan baku mereka. Jarak yang dekat antara pengrajin dan pemasok juga sangat memudahkan proses jual beli, karena antara pembeli dan pemasok dapat memicu respon yang cepat dan lebih efektif untuk masalah teknis atau perubahan permintaan dan sebagainya (Kumar, 2005). Keberadaan pemasok di Binong berupa toko-toko

(39)

benang di kawasan rajut Binong Jati. Untuk menjalin hubungan dengan pemasok, para pengrajin tidak mengalami kendala yang berarti. Pada awal mula menjalin hubungan dengan pemasok, para pengrajin langsung mendatangi para distributor untuk bertransaksi. Namun kemudian para distributor terkadang juga menemui para pengrajin untuk menawarkan benang. Semakin banyaknya pemasok benang membuat pengrajin memiliki banyak pilihan, seperti yang dikatakan HRW,

“Kalo dulu kan FDL (distributor benang) dia yang nawarin, dia yang dateng gitu terus akhirnya ambil barang dari federal sampe sekarang, terus kalo yang lain lain kan itu berupa toko benang di Binong sini jadi ya kita tinggal dateng ke tokonya”.

Demikian juga yang disampaikan oleh ULI mengenai pemasok/distributor benang,

“Saya ambil dari beberapa distributor seperti, Aneka, Kurnia Bumi, Pribumi dan federal. Kalau supplier di sini gampang ya banyak toko benang, kadang kita yang cari sendiri toko benang di Binong, kadang mereka yang datengin kita, mereka promosi toko benangnya, ya tinggal pesen aja ya bikin janji”.

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa hubungan yang terjalin antara pengrajin dan distributor adalah saling membutuhkan. Hal ini lebih memudahkan para pengrajin dalam memenuhi kebutuhannya. Pengrajin sering kali memperoleh fasilitas pembelian bahan baku dengan cara diberi tempo pembayaran oleh distributor, ini di sampaikan oleh HRW,

“…kita paling banyak ambil dari FDR karena di FDR yang mau kasih tempo, kita boleh ambil barang dulu, kalo di tempat lain bisa sih tkasih tempo, tapi sulit”.

Oleh karena itu hal terpenting bagi para pengrajin adalah menjaga kepercayaan dari para distributor yang ada. Sehingga pengrajin tidak kehilangan fasilitas pembayaran dengan tempo, karena pembayaran dengan tempo sama halnya pengrajin memperoleh bantuan permodalan secara tidak langsung.

(40)

4.2.5 Hambatan Memulai Usaha

Pada Sentra Rajut Binong, para pengrajin mengeluhkan masalah permodalan dan pemasaran sebagai hambatan pada saat awal mula mendirikan usaha rajut. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Hafsah (2004) ada dua hambatan yang pada umumya dihadapi oleh UKM, seperti faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kurangnya permodalan, Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas, dan lemahnya jaringan usaha serta kemampuan penetrasi terhadap pasar. Sedangkan faktor eksternal meliputi kebijakan yang dilakukan pemerintah, terbatasnya sarana dan prasarana usaha, implikasi perdagangan bebas dan terbatasnya akses ke pasar.

Masalah permodalan menjadi kendala utama bagi setiap pengrajin rajut di Sentra Binong, terutama saat pengrajin memulai usaha. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Hisrich (2008), salah satu masalah tersulit dalam proses pendirian perusahaan baru adalah mendapatkan modal. Hal ini di sampaikan oleh para pengrajin, salah satunya HRW,

“Waktu dulu awal mulanya sih terutama modal ya, dulu awal mula beli mesin cuma dua, itu pake uang tabungan saya dan sempat pinjam bank juga untuk modal.

Ada beberapa cara untuk memperoleh sumber daya modal untuk pendirian sebuah usaha diantaranya adalah dana pribadi, keluarga dan teman, bank komersial, organisasi pengembangan bisnis kecil seperti SBA (Small Business Administration), hibah pemerintah, dan penempatan dana swasta (Hisrich, 2008). Para pengrajin Binong mempunyai tiga alternatif untuk modal bagi usaha mereka, yaitu menggunakan dana pribadi, dana keluarga dan bank komersial. Hal ini disampaikan oleh beberapa pengrajin salah satunya NGH,

(41)

Serta yang disampaikan STI,

“Kalau modal dulu ya saya pakai uang saya sendiri tabungan dari dulu dan ga pinjem bank”.

Begitu pula yang dikatakan oleh SYO,

“Ya pake uang tabungan saya sendiri yang udah lama dikumpulin, sama waktu itu sempet pinjem di bank”.

Di sini bank menjadi alternatif utama bagi pengusaha untuk memulai usaha ketika mereka tidak memiliki dana pribadi untuk modal awal. Namun dukungan keluarga juga menjadi faktor yang penting bagi pengusaha untuk memperoleh modal awal. Seperti yang diceritakan oleh TNT,

“Wah dulu tuh pertama modal, itu yang dulu rada sulit, tapi ya akhirnya bisa juga, soalnya saya kan didukung orang tua, jadi saya tuh dulu menggadaikan barang-barang saya dan bantuan dari orang tua juga. Dulu saya pernah pinjem mobil orang tua buat digadaikan, buat cari modal beli benang”.

Jadi modal awal yang digunakan oleh pengusaha-pengusaha di Sentra Rajut Binong ini berasal dari bank, dana pribadi dan dukungan dana pihak keluarga.

Selain kendala dalam hal permodalan, kesulitan pemasaran juga disampaikan oleh beberapa pengrajin saat awal mula merintis usaha mereka. Saat awal mula pendirian usaha, para pengrajin masih menggunakan cara tradisioanal untuk memasarkan produknya.

Mereka menggunakan word of mouth, atau pemasaran dari mulut ke mulut, yaitu dengan cara membawa produknya secara langsung ke pedagang pakaian atau grosir di luar kota.

(42)

“Dulu sama bapak kita kadang main ke Jakarta sambil bawa sampel rajut terus nawar-nawarin rajut kita, waktu itu sering di Tanah Abang sambil jalan-jalan aja sambil nawarin produk kita, sampe deal dapet pelanggan dan sampe sekarang kita via telpon aja gitu”.

Demikian juga dengan STI yang mengatakan bahwa,

“Dulu pemasaran masih sepi banget, jadi dulu kita pernah tawar-tawarin benang ke grosir-grosir sambil bawa sampel. Untungnya di Binong ini kan dikenal sebagai sentra rajut, jadi seringnya juga orang-orang banyak masuk sini cari rajut. Walau belum ramai, tapi tetep ada orang yang mau beli rajut, jadi ya pelang-pelan kita dapet pelanggan, dan rajut tuh mulai ramai tuh tahun 2000an”.

Dari hasil wawancara di atas terlihat jelas bahwa para pengrajin diuntungkan oleh keberadaan binong yang sudah dikenal sebagai sentra rajut, para pengrajin tidak hanya memasarkan sendiri produknya hingga ke luar kota. Namun para pengrajin juga dapat mengandalkan pelanggan dan wisatawan yang masuk ke Binong untuk mencari rajut.

Berdasarkan data di atas terlihat adanya proses kewriausahaan yang dialami oleh para pengrajin yaitu adanya kondisi pemicu, di mana kondisi tersebut memicu para pengrajin untuk memulai usaha mereka, yaitu adanya motivasi, dukungan keluarga, transfer pengetahuan, dan keberadaan pemasok. Hal ini seperti yang di jelaskan oleh Bygrave mengenai empat tahapan proses kewirausahaan yaiitu, inovasi, kondisi pemicu, penerapan dan pertumbuhan (Nassif, Ghobril, & Silva, 2010).

4.3 Pengelolaan Usaha

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengelolaan usaha yang dilakukan oleh para pengrajin dalam mempertahankan usaha rajut serta faktor penghambat bagi pengelolaan usaha rajut mereka. Mulai dari rencana pengembangan usaha, strategi bertahan atau upaya para pengrajin agar bisnis mereka tetap berjalan dan faktor penghambat yaitu keterbatasn teknologi, dan tidak adanya regenerasi.

(43)

4.3.1 Pengembangan Usaha

Dalam pengelolaan sebuah usaha para pengrajin menginginkan usaha yang semakin berkembang dan tidak ingin mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Dalam proses pengembangan sebuah usaha terdapat adanya peningkatan pendapatan, peningkatan jumlah karyawan, perluasan tempat usaha dan sebagainya. Hal ini mendukung penelitian Budhiyanto (2009) mengenai beberapa hal yang dapat dilihat ketika sebuah usaha semakin berkembang yaitu perluasan tempat usaha, penambahan kapasitas jumlah tenaga kerja, penambahan jenis dan jumlah produk. Pada Sentra Rajut Binong perluasan tempat usaha memang banyak diinginkan oleh para pengrajin. Beberapa pengrajin sudah ada yang melakukan perluasan tempat usaha. Salah satunya adalah SYO,

“Saya juga lagi ada rencana gitu, ini saya juga lagi buat gudang baru buat bahan baku, biar ini rumah buat produksi biar ga terlalu sumpek, saya juga rencana mau buka toko bahan baku kecil-kecilan kaya benang gitu tapi ya kecil kecilan aja”.

Perluasan usaha yang dilakukan karena tidak tersedianya lahan yang cukup luas untuk dijadikan SYO sebagai tempat produksi rajut.

Begitu pula yang dikatakan MMN,

“…jadi kita membuat toko rajutan juga di Tamrin Jakarta, di situ kita buka seperti toko pakaian muslim kaya kerudung gitu. Jadi itu salah satu cara kita untuk terus eksis, kita stok rajut ke toko sendiri di Jakarta itu, nah bapak saya di situ”.

Berbeda dengan SYO, MMN memperluas usahanya karena MMN ingin memperluas pasarnya hingga ke luar kota serta salah satu cara agar usaha MMN tetap eksis. Hal ini merupakan salah satu ciri wirausahawan yaitu mengalami pertumbuhan dalam usahanya. Yohnson (2003) mengatakan wirausahawan adalah orang yang menciptakan sebuah bisnis yang berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian yang

(44)

bertujuan memperoleh profit dan mengalami pertumbuhan dengan cara mengidentifikasikan kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan.

Namun ada beberapa pengrajin yang sudah enggan untuk memperluas usaha mereka, dikarenakan mereka sudah merasa terlalu repot dan lelah. Ini diceritakan oleh HRW mengenai rencana pengembangan usaha,

“Wah ga ada ya, segini aja dah repot banget, jadi ya udah deh segini aja”.

Serta yang di sampaikan oleh ULI,

Ga ada ya, segini aja saya dah repot banget. Yang penting kita bisa jalan aja yang penting uang muter dan bisa bayar karyawan”.

Dari hasil wawancara terlihat perbedaan antara pengrajin yang memiliki semangat mengembangkan usaha dan yang tidak. Semangat yang dimilik para pengrajin sanggup memberi dampak pada performa usaha mereka, dan menentukan perkembangan usaha mereka, apakah semakin besar atau stagnan.

4.3.2 Strategi Bertahan

Bertahan atau sering disebut dengan survival yaitu teknik bertahan hidup. Ada berbagai macam teknik survival dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya survival laut, gunung, hutan, gurun dan sebagainya. Meskipun ada banyak jenis survival namun pada dasarnya memiliki tujan yang sama yaitu mempertahankan keberlangsungan hidup atau sesuatu (Suryadi, Hamid dan Agussabti, 2013). Tidak berbeda dalam dunia usaha, agar usaha atau bisnis yang di jalani tetap bertahan, setiap perusahaan atau organisasi memiliki strategi bertahan yang berbeda satu dengan lainnya.

Demikian juga dalam menghadapi lingkungan bisnis yang dinamis dan penuh persaingan, para pengrajin Binong melakukan upaya untuk mempertahankan

(45)

bisnisnya. Mereka menjalin kerjasama antara sesama pengrajin dalam berbagai hal, mulai dari saling tukar informasi, saling membantu untuk pembuatan model rajut hingga berbagi orderan saat mereka kelebihan pesanan. dengan kata lain pengrajin rajut Binong melakukan knowledge sharing atau berbagi pengetahauan. Konwoledge

sharing adalah mengkomunikasikan pengetahuan dalam sebuah kelompok, seperti

antar kolega di tempat kerja (Mulyanto, 2012). Hal ini dilakukan karena pengrajin Binong menyadari bahwa usaha mereka masih memiliki banyak kekurangan seperti teknologi, SDM, Keuangan dan sebagainya. Dalam hal kuantitas produk yang dihasilkan oleh setiap pengrajin masih sangat terbatas dibandingkan perusahaan rajut berskala besar lainnya. Ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan Sentra Rajut Binong. Hal ini di sampaikan oleh MMN,

“Oya jelas ya kita sering saling ambil produk dari sesama pengrajin ya, bayangin aja dengan cabang-cabang yang saya punya kadang aja ga bisa kejar apalagi kalau ngandalin hanya satu ini saja. Jadi kita juga butuh bantuan teman ya, kita ambil produk teman kalau kita ga bisa kejar jumlah kuota pelanggan”.

Begitu juga yang disampaikan oleh HRW,

“Kalau sesama pengrajin kadang mah kita saling info ya tentang model dan kadang saling kasih konsumen, dan kadang kita kan ambil barang ke sesama pengrajin gitu, jadi saling bantu juga”.

Sama halnya yang dikatakan NGH,

“Kalau saya bilang hampir semua pengrajin di Binong ini pesaing ya, tapi saya mah ga anggap pesaing dah. Kita sendiri-sendiri kok, malah kadang kita saling bantu info tentang model rajut, saling kasih tau cara bikinnya, semua baik-baik aja kok”.

Persaingan di Sentra Rajut Binong tidaklah tajam, para pengrajin cenderung menjadikan pengrajin lain sebagai rekan bisnis. Bentuk kerjasama inilah yang membuat pengrajin Sentra Rajut Binong bisa bertahan di tengah kondisi ekonomi yang selalu berubah.

(46)

4.3.3 Teknologi

Kemajuan sebuah teknologi dalam industri dapat menentukan daya saing perusahaan. Seperti yang disampaikan oleh Johnson (1989)mengenai perkembangan teknologi yang merupakan salah satu kekuatan utama yang mengendalikan pertumbuhan industrial. Lebih lanjut Julien (1995) mengatakan bahwa penggunaan manajemen dan teknologi baru penting bagi bisnis kecil dalam meningkatkan kemampuan bersaing. Demikian pula diungkapkan oleh Burgelman dkk (2004) teknologi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kesuksessan bisnis. Keterbelakangan teknologi juga menyebabkan rendahnya efisiensi dalam proses produksi, rendahnya jumlah produksi dan mempengaruhi kesanggupan UKM untuk bersaing di pasar global (Irdayanti, 2012). Kusuma (2012) menambahkan bahwa adanya keterbatasan teknologi yang digunakan dapat menyebabkan ketidakmampuan UKM memberi nilai tambah yang nyata bagi keberlangsungan usahanya.

Namun untuk pengembangan teknologi para pengrajin mengalami kesulitan dalam hal biaya, karena harga mesin rajut dengan teknologi modern cukup tinggi yaitu sekitar 120 juta. Hal ini disampaikan oleh beberapa pengrajin seperti NNI,

“Saya juga lagi pengin masin modern gitu buat rautnya, saya kemarin liat-liat di Jakarta dan ada brosur neh pengin banget tapi kembali modal lagi dan tempay ibu neh kurang gede. Sekitar 120 jutaan, mahal banget, tapi ya itu kembali ke modal lagi belum ada”.

Sama halnya yang di sampaikan NGH,

“Wah ga ada ya, segini aja dah cukup dah terlalu repot, lagian tuh mesin juga mahal banget, ga sanggup saya udah males pinjem bank”.

Kekurangan biaya untuk membeli mesin berteknologi modern menjadi issue penting dalam pengembangan usaha oleh para pengrajin sehingga mereka lebih

(47)

memilih untuk menggunakan mesin tradisonal yang ada sekarang. Pengrajin tidak berani mengambil resiko meminjam bank untuk investasi mesin.

4.3.4 Regenerasi

Berbagai upaya untuk mengembangkan dan mempertahankan usaha sudah dilakukan oleh para pengrajin. Namun untuk membuat usaha mereka tetap eksis dari generasi ke generasi memerlukan regenerasi. Sugiarti (2012) menjelaskan regenerasi adalah upaya untuk melakukan pengalihan atau pentransferan nilai baik secara fisik maupun non fisik (psikis) dari satu pihak ke pihak lain yang pada dasarnya digunakan untuk mempertahankan keberlanjutan nilai tersebut. Dengan kata lain regenerasi pada dasarnya adalah upaya untuk mempertahankan kelangsungan sesuatu.

Demikian juga untuk pengrajin rajut Binong Jati seharusnya melakukan regenerasi usaha untuk mempertahankan keberlangsungan usaha merajut kepada generasi berikutnya. Namun beberapa pengrajin rajut Binong nampaknya belum memikirkan hal ini. Mereka melihat anak-anak mereka masih duduk di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Sehingga belum dianggap perlu untuk memikirkan apa jenis pekerjaan mereka nantinya. Pengrajin menginginkan anak-anak mereka untuk tetap fokus terlebih dahulu pada dunia pendidikan. para pengrajin juga tidak memaksakan anak-anak mereka untuk terjun ke dunia rajut meneruskan usaha rajutan.

Seperti yang dikatakan NGH,

“…tapi saya mah ga paksain bantu, biarin dia fokus kuliah aja, terserah mau cita-cita apa, ga saya paksain buat di rajut”.

(48)

“Anak saya yang sama saya dua, satu kuliah, satu SMP, yang satu lagi sama ibunya, saya ga suruh mereka bantu sih, saya mah mau bebasin mereka terserah mau kemana, mau ke rajut ya silakan, ga ya gapapa, saya terserah mereka ga maksain saya mah”.

Dari hasil wawancara, para pengrajin Binong masih belum menyadari pentingnya regenerasi bagi usaha rajut mereka. Di mana pengrajin masih belum mengarahkan anak-anak mereka untuk mulai menekuni usaha rajut sejak dini, namun membiarkan anak-anak mereka memilih karirnya sendiri. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam pengelolaan usaha rajut para pengrajin. Selain itu tampak bahwa usaha rajut hanya dijadikan sebagai sumber pendapatan keluarga unt uk mencukupi kebutuhan hidup.

4.4 Hambatan Pengembangan Usaha

Pengrajin Rajut di Binong menghadapi beberapa kendala atau hambatan dalam pengembangan usaha diantaranya adalah permodalan, keterbatasan kemampuan di bidang teknologi, keengganan melakukan perubahan.

4.4.1 Permodalan

Kekurangan Modal menjadi hambatan utama bagi pengrajin rajut binong untuk memulai dan menjalankan usaha. Permasalahan modal menjadi issue penting bagi UKM, tidak hanya pada masa perintisan usaha namun juga untuk pengembangan usaha. Seperti yang dikemukakan oleh Munir dalam Sutopo (2011) yang mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi usaha kecil dan menengah (UKM) adalah masalah permodalan. Kendala dalam hal keuangan pun dihadapi oleh pengrajin rajut Binong untuk pengembangan usaha terutama untuk penyediaan teknologi mesin rajut berteknologi modern. Pengrajin mengalami kesulitan untuk berinvastasi pada mesin produksi karena harga mesin yang

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa lingkungan internal dan eksternal berpengaruh terhadap kinerja usaha pada sentra Industri Kecil Menengah (IKM) Rajutan Binong

mengembangkan usaha sentra pengrajin batik tulis gedog di Desa Jarorejo Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban Adanya hambatan-hambatan dari upaya pemerintah di atas, maka pemerintah

Dari tabel tersebut diperoleh informasi bahwa sebagian besar dari responden yang merupakan para pengrajin di Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung selalu berani

Kegiatan Penguatan Budaya Usaha melalui Business Plan dan Media Sosial pada UMKM Rajoet Binong Jati diharapkan dapat mengatasi permasalahan unit usaha di Sentra

Berdasarkan Analisis SWOT, terdapat beberapa hal yang telah teridentifikasi sebagai kondisi eksisting IKM dalam Sentra Industri Rajut Binong Jati. yaitu: o Strengths

Berdasarkan Analisis SWOT, terdapat beberapa hal yang telah teridentifikasi sebagai kondisi eksisting IKM dalam Sentra Industri Rajut Binong Jati. • W3: Tidak adanya

Sentra UKM Rajut Binongjati merupakan salah satu Sentra UKM di Kota Bandung dari 30 Sentra Industri dan perdagangan (Dinas Koperasi UKM dan Perindag Kota Bandung, 2012)

Fenomena-fenomena yang dialami oleh Sentra Industri Rajut Binong Jati di atas dikonfirmasi oleh Bapak Sabroni, narasumber dari Kabid Industri Formal, Dinas