• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODOLOGI PENELITIAN"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem karena banyak

melibatkan faktor-faktor terkait untuk mencapai tujuan sistem. Out put yang diharapkan

dalam pembuatan desain model adalah siswa yang memiliki kompetensi pengetahuan

(kognitif), sikap (afektif), dan perilaku (psikomotorik) lingkungan hidup. Untuk

mencapai tujuan tersebut banyak stakeholder yang terkait dan masing-masing

mempunyai kebutuhan yang berbeda sehingga perlu dilakukan analisis kebutuhan

formulasi masalah. Stakeholder yang terkait dalam penelitian ini adalah instansi

pendidikan di tingkat Provinsi, Kepala Sekolah, Guru, Siswa, dan Komite Sekolah.

Verifikasi dilakukan dengan membandingkan model terhadap kondisi nyata. Teknik

permodelan yang digunakan adalah Analisis Prospektif dan Interpretasi Struktural

(Interpretative Structural Modelling). Untuk menentukan skenario alternatif rekomendasi

kebijakan di masa mendatang dipakai metode Analisis Prospektif.

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil studi kasus pada enam SMA terdiri

dari 3 (tiga) SMA yang telah melaksanakan Kurikulum 2004 (KBK) sejak tahun

pelajaran 2002, 3 (tiga) SMA yang masih melaksanakan Kurikulum 1994 sampai tahun

ajaran 2005 /2006 dan 1 (satu) SMA yang melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Penelitian dilaksanakan sejak Januari 2005 hingga Desember

2006 di Jakarta. SMA yang telah melaksanakan KBK adalah:

1. SMA Negeri 81 Jakarta

2. SMA Islam Al Azhar 1 Jakarta

3. SMA Islam AlAzhar 4, Kemang Pratama Bekasi.

SMA yang masih melaksanakan Kurikulum1994 sampai 2006 adalah :

1. SMA Negeri 77 Jakarta

2. SMA Negeri 27 Jakarta

3. SMA Labschool Jakarta

SMA yang melaksanakan KTSP sejak tahun 2006 adalah SMAN 8 Jakarta

(2)

3.2.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang terdiri

dari pendapat pakar, pengamatan langsung terhadap komponen model yang terbentuk

dan kompetensi siswa tentang lingkungan hidup Data sekunder berupa informasi tentang

kondisi sekolah dalam bentuk dokumen-dokumen.

3.3. Definisi Operasional dan Kriteria

Kompetensi tentang lingkungan hidup merupakan kesatuan dari pengetahuan,

sikap dan perilaku yang tercermin dalam pemikiran, pengambilan keputusan, dan

tindakan yang positif terhadap ke tiga aspek lingkungan yaitu aspek sosial, ekonomi,

dan ekologi. Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah materi pelajaran tentang

lingkungan hidup terintegrasi dalam mata pelajaran khususnya Biologi, Geografi, Kimia,

Fisika, Sosiologi, Ekonomi, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa

Inggris, dan Agama.

Penilaian kompetensi pada KBK terdiri atas kompetensi pengetahuan (kognitif).

Sikap (afektif), dan perilaku (psikomotorik). Kompetensi pengetahuan dalam proses

belajar mengajar di sekolah dilakukan melalui evaluasi terhadap materi yang telah

disampaikan dengan batas ketuntasan tertentu. Penilaian terhadap kompetensi sikap

(afektif) dalam proses belajar mengajar dilakukan melalui pengamatan guru terhadap

antusias siswa mengikuti pelajaran, selain itu dapat juga dilakukan melalui pendapat

siswa terhadap pemecahan suatu masalah. Sedangkan penilaian perilaku (psikomotorik)

dilakukan melalui pengukuran kompetensi siswa dalam melakukan tindakan sesuai

dengan kompetensi dasar yang telah ditentukan seperti kemampuan melakukan

praktikum, kebiasaan siswa merapihkan bahan dan alat praktikum, kebiasaan siswa

membuang sampah di tempatnya, kebiasaan siswa untuk tidak merokok, kebiasaan siswa

menjaga kebersihan dan kerapihan kelas, kemampuan bersosialisasi, bekerja sama,

kemampuan siswa berdiskusi, menyampaikan pendapat, kemampuan membuat laporan,

kemampuan mengemukakan pemikiran melalui bahasa. Pada Kurikulum 1994 penilaian

kompetensi lebih ditekankan pada aspek pengetahuan, sedangkan kompetensi sikap dan

(3)

perilaku dimuat dalam Buku Raport yang mencakup Kerapihan, Kerajinan, dan

Kelakuan.

Pada penelitian ini penilaian kompetensi pengetahuan tentang lingkungan hidup

dilakukan dengan mengacu pada materi yang terdapat pada kurikulum yang telah

diterima siswa selama 3 tahun masa pendidikan di SMA. Materi pengetahuan lingkungan

hidup diklasifikasikan berdasarkan peta indikator yang terdiri dari aspek ekologi, sosial,

dan ekonomi seperti yang disajikan pada tabel Lampiran, yang selanjutnya dimuat dalam

kuesioner pengetahuan, sikap, dan perilaku seperti yang terdapat pada Lampiran 3, 4, 5.

Untuk penilaian terhadap kompetensi sikap dan perilaku juga dilakukan berdasarkan

peta indikator aspek kajian lingkungan hidup (Lampiran). Melalui penilaian yang

mengacu pada peta indikator akan diperoleh gambaran mengenai kompetensi

pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa tentang lingkungan.

3.3.1. Kriteria Kompetensi

Siswa dikatagorikan memiliki kompetensi lingkungan hidup jika memiliki

pencapaian kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku dengan nilai 75. Sedangkan

ketuntasan belajar tercapai jika 100 % siswa mendapatkan nilai lebih besar atau sama

dengan 75. Batasan nilai 75 diperoleh berdasarkan pendapat beberapa guru dengan

mempertimbangkan tingkat kesulitan kuesioner yang dibuat. Bobot jawaban yang

terdapat pada kuesioner dibuat dengan skala, sehingga terdapat 5 pilihan jawaban dengan

nilai yang berbeda yaitu :

1. Sangat Setuju mendapat nilai

: 5

2. Setuju mendapat nilai

: 4

3. Ragu-ragu mendapat nilai

: 3

4. Tidak Setuju mendapat nilai

: 2

5. Sangat Tidak Setuju mendapat nilai: 1

Jawaban kuesioner menunjukkan siswa lulus dan memiliki kompetensi pada item

tersebut jika menjawab Sangat Setuju dan Setuju, sedangkan jawaban Ragu-ragu,

Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju menunjukkan siswa tidak lulus dan belum

memiliki kompetensi khususnya pada item tersebut. Dengan jumlah soal 40 untuk

kuesioner kompetensi pengetahuan maka siswa termasuk dalam kriteria lulus jika

(4)

mendapat nilai sama atau lebih besar 120, sedangkan untuk kuesioner sikap dan perilaku

kriteria lulus jika mendapat nilai sama atau lebih besar dari 90.

3.3.2. Kriteria Pakar

Kriteria Pakar dalam penelitian ini adalah:

1.

Pendidikan minimal S1 tidak dibatasi pada disiplin ilmu tertentu.

2.

Sudah berkecimpung dalam bidang pendidikan khususnya pada sekolah lanjutan

minimal 10 tahun.

3.

Memahami KBK dan Kurikulum 1994 khususnya yang berkaitan dengan PLH.

4.

Terlibat langsung dengan kegiatan yang terdapat Instansi Pendidikan.

5.

Mempunyai minat yang besar untuk meningkatkan PLH.

6.

Menjadi narasumber dalam peningkatan mutu pendidikan khususnya pada SMA

7.

Bersedia memberikan pemikiran.

3.4. Tahapan Penelitian

Dalam rangka mencapai tujuan penelitian, maka dilakukan 5 tahap penelitian

yaitu sebagai berikut:

Tahap 1 melakukan analisis kebijakan KBK dalam pelaksanaan PLH

Tahap 2 membuat model kendala PLH melalui KBK

Tahap 3 membuat model langkah strategis PLH melalui KBK

Tahap 4 membuat Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan

Tahap 5 menyusun Alternatif Skenario Kebijakan.

(5)

Gambar 3.1. Bagan Alir Tahapan Penelitian

KTSP

KBK

Sesuai Kendala PLH Langkah Strategis PLH Tidak Tahap 2 Disain Model Alternatif Skenario Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5

K.1994

Kebijakan KBK

Model KBK Perangkat Pendukung KBK MBS Kompetensi

Guru

Y Y Y Analisis Kebijakan KBK Kompetensi

LH siswa

Tahap 1

Kondisi Nyata

Ya Rekomenasi

(6)

3.4.1. Tahap 1

Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian Tahap I adalah:

a. Analisis Kebutuhan dari stakeholder terkait dalam sistem pendidikan dilakukan

untuk mencapai out put yang diharapkan, yaitu siswa yang memiliki kompetensi

pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan. Hasil analisis selengkapnya

disajikan pada tabel 3.3.

b. Formulasi Masalah disusun berdasarkan analisis kebutuhan stakeholder yang

berbeda-beda yang selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan identifikasi

sistem.

Tabel 3.1. Analisis Kebutuhan Stakeholder Pendidikan

No.

Stakeholder

Kebutuhan Pelaku Sistem

1

Dinas Pendidikan

Provinsi

2.

Kepala Sekolah

3.

Guru

4.

Masyarakat

5.

Siswa

c. Identifikasi Sistem

Identifikaai sistem dibuat berdasarkan formulasi masalah dengan memperhatikan

hubungan sebab akibat dari variabel-variabel yang terkait dalam sistem dengan

menggunakan Diagram Causal Loop.

d. Membuat Model PLH melalui KBK

Membuat model KBK dalam pelaksanaan PLH dilakukan melalui survei Pakar.

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan Analisis Prospektif.

Pakar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kepala SMAN 1 Jakarta

2. Kepala Seksi Kesiswaan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta

dengan latar belakang Guru dan Kepala Sekolah SMAN 68 Jakarta

(7)

3. Dosen Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta.

4. Direktur Pendidikan dan Pengajaran YPI Al Azhar dan mempunyai latar belakang

Kepala Sekolah .

5. Kepala Bidang Kurikulum SMA Islam Al Azhar 4 dan Guru Bahasa Indonesia

6. Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMA Negeri 77 Jakarta dan Guru

Matematika.

7. Pembina KBK Tingkat Nasional, Guru Biologi dan Staf Bidang Kurikulum

SMA Negeri 1 Jakarta

8. Kepala SMA Islam Al Azhar 2 Pejaten Jakarta

9. Sekretaris Komite Sekolah SMA Taruna Nusantara, Magelang.

10. Dosen Program Ilmu Lingkungan dan Ekologi Manusia, Fakultas Pascasarjana

Universitas Indonesia

11. Pembina Kegiatan Lingkungan Hidup SMA DKI Jakarta

12. Wakil Kepala SMAN 81 Jakarta bidang Kurikulum

13. Dosen jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta dan Guru Biologi

SMA Labschool

e. Verifikasi Model

Pada tahapan ini dilakukan verifikasi model dengan melakukan penelitian

terhadap kondisi nyata di lapangan terhadap KBK dalam pelaksanaan PLH. Verifikasi

dilakukan terhadap aspek-aspek sbb:

1. Kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan hidup siswa SMA

dengan menggunakan kuesioner.

2 Kompetensi Guru tentang Lingkungan Hidup khususnya yang mengajar mata

pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Sosiologi, Ekonomi, Pendidikan

Kewarganegaraan, dan Agama dengan menggunakan kuesioner.

3. Komponen Model PLH melalui KBK

Verifikasi model KBK dalam Pelaksanaan PLH juga dilakukan terhadap sekolah

yang melaksanakan Kurikulum 1994 an KTSP

Siswa yang digunakan sebagai responen pada tiap sekolah adalah siswa kelas

XII jurusan yaitu IPA dan IPS dengan jumlah sampel lebih besar atau sama dengan 25%

(8)

dari polulasi. Sedangkan untuk responden Guru diambil masing-masing 1 orang guru

untuk setiap mata pelajaran. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat 1 sampai 3

orang guru yang mengajarkan tiap mata pelajaran pada setiap sekolah. Untuk membantu

dalam analisis kebijakan maka data yang berkaitan dengan kompetensi siswa diolah

dengan Metode Chaid.

3.4.2. Tahap 2

Tahap ke dua adalah pembuatan Model Kendala pelaksanaan PLH dengan

metode ISM. Faktor-faktor kendala tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai variabel

Input Terkontrol dan Tidak Terkontrol pada Diagram Input Output. Dengan demikian

variabel-variabel yang tergolong dalam Input Terkontrol dapat dikelola dalam Disain

Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan.

3.4.3. Tahap 3

Tahap ke tiga adalah membuat model langkah strategis yang mendukung PLH

dengan metode ISM sehingga dalam Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan

juga dapat diketahui langkag strategis yang dapat meningkatkan kompetensi lingkungan

hidup.

3.4.4. Tahap 4

Tahap ke empat adalah membuat disain model kurikulum berwawasan lingkungan

dengan metode Analisis Prospektif, disamping itu juga mengelola faktor kenala an

langkah strategis alam PLH.

3.3.5.Tahap 5

Tahap ke 5 adalah penyusunan skenario berdasarkan masukan dari para

Pakar. Langkah pertama dari tahapan ini adalah menunjukkan kepada Pakar

variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar dan ketergantungan kecil. Selanjutnya kepada

para Pakar diminta pemikirannya tentang skenario yang mungkin terjadi saat ini dan

masa mendatang. Dari pendapat Pakar disusun alternatif skenario yang optimis dapat

dilaksanakan saat ini, disamping itu juga skenario-skenario yang dapat dilaksanakan

pada masa mendatang dengan output yang ideal tetapi dengan syarat kondisi tertentu.

(9)

Analisis kebutuhan dari berbagai stakeholder pendidikan merupakan dasar untuk mengidentifikasi masalah yang ada dalam sistem pendidikan khususnya dalam pelaksanaan PLH melalui KBK. Hasil identifikasi masalah tersebut selanjutnya diformulasikan dan dijadikan bahan untuk melakukan identifikasi sistem. Tahapan pendekatan sistem selanjutnya adalah membuat Diagram Input Output sehingga dapat diketahui kinerja sistem.

Berikut ditunjukkan hasil analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, Causal Loop, dan penyusunan model KBK khususnya tentang pelaksanaan PLH. Model yang diperoleh selanjutnya diverifikasi dengan melakukan penelitian kondisi eksisting di lapangan.

5.1. Analisis Kebutuhan

Stakekholder Pendidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan PLH melalui KBK terdiri dari Dinas Pendidikan Provinsi, Kepala Sekolah, Guru, Siswa, dan Masyarakat yang dalam penelitian ini diwakili oleh Komite Sekolah. Berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan menunjukkan bahwa kebutuhan dari stakeholder pendidikan dalam pelaksanaan PLH melalui KBK memperlihatkan beberapa persamaan dan perbedaan sesuai dengan peran dan fungsinya. Hasil analisis kebutuhan selengkapnya disajikan pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Daftar Kebutuhan Stakeholder Pendidikan

No. Stakeholder Kebutuhan

1. Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten

 Informasi masalah lingkungan

 Pelatihan PLH

 Dana implementasi PLH melalui KBK

 Stakeholder pendidikan yang memiliki kompetensi lingkungan hidup

 Sarana dan prasarana PLH

 Tim Supervisi dan Monitoring khususnya yang berkaitan dengan PLH

(10)

 Penghargaan atas prestasi yang berkaitan dengan PLH.

2. Kepala Sekolah

 Manajemen Berbasis Sekolah

 Informasi masalah lingkungan

 Guru yang mampu memberikan bekal kompetensi lingkungan hidup kepada siswa

 Sarana dan prasarana PLH

 Dana untuk implementasi PLH melalui KBK

 Penghargaan prestasi PLH

3. Guru  Informasi masalah lingkungan hidup

 Pelatihan PLH

 Metode pembuatan Silabus Mata Pelajaran yang berkaitan dengan PLH

 Penghargaan terhadap prestasi PLH

 Fasilitas Belajar dan Mengajar PLH

 Pelatihan PLH melaui KBK

 Otonomi pelaksanaan belajar mengajar

4. Komite Sekolah

 Sekolah yang dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan

 Lulusan yang siap bekerja

 Lulusan yang memiliki kompetensi untuk melanjutkan sekolah

6. Siswa  Guru yang memiliki kompetensi tentang lingkungan hidup

 Adanya integrasi aspek lingkungan hidup dengan mata pelajaran

 Dukungan masyarakat dan stakeholder pendidikan terhadap PLH

 Penghargaan terhadap prestasi PLH

(11)

 Suasana belajar yang menyenangkan

 Lulus Ujian Sekolah, Nasional dan melanjutkan

5.2. Formulasi Masalah

Berdasarkan analisis kebutuhan dari stakeholders maka disusun formulasi permasalahan sebagai berikut:

1. Terbatasnya informasi tentang lingkungan di masyarakat.

2. Terbatasnya wawasan stakeholder pendidikan tentang lingkungan hidup

3. Kesulitan dalam memberikan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku bagi para stakeholder pendidikan.

4. Terbatasnya dana, sarana, dan prasarana belajar PLH 5. Kurangnya pelatihan implementasi PLH melalui KBK

6. Kurangnya pengembangan Silabus Mata Pelajaran yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan serta potensi daerah.

7. Terbatasnya Penghargaan prestasi bagi stakeholder pendidikan di bidang lingkungan.

5.3. Identifikasi Sistem

Dari formulasi masalah dibuat identifikasi sistem pelaksanaan PLH melalui KBK. Hasil identifikasi sistem menggambarkan suatu rantai hubungan antara kebutuhan-kebutuhan yang telah diformulasikan. Hasil identifikasi sistem selengkapnya disajikan pada gambar 5.1 yang jika disederhanakan disajikan pada gambar 5.2

(12)

Pembelajaran Stakeholder + Manajemen Berbasis Sekolah Pelatihan Guru + Kompetensi Guru Kompetensi Siswa Penghargaan thd prestasi + + + lingkungan sekolah lingkungan masyarakat Perbaikan lingkungan kualitas lingkungan + + + + + komite sekolah Penerapan KBK + + + Dukungan Masyarakat + + Kesehatan masyarakat Dukungan Masyarakat untuk pendidikan + + + + Informasi + Dana Fasilitas + + + + + + + + Motivasi Siswa + + Penghasilan guru + + + + Motivasi Guru + +

(13)

MBS yang mendukung PLH Pelaksanaan PLH melalui KBK Kompetensi LH siswa Penghargaan Prestasi LH Komite Sekolah yang mendukung PLH + + + + + + + Perbaikan kualitas lingkungan sekolah Perbaikan Kualitas lingkungan +

Waktu Belajar PLH di SMA

+

Gambar 5. 2. Identifikasi Sistem yang Disederhanakan

5.4. Model KBK dalam Pelaksanaan PLH

Model PLH melalui KBK dibuat berdasarkan pendapat Pakar yang terdiri dari 9 orang stakeholder pendidikan. Hasil Survei Pakar memperlihatkan bahwa terdapat 18 (delapan belas) faktor penyusun model 18 yang diuraikan sebagai berikut:

1. Manajemen Berbasis Sekolah yang memperhatikan aspek lingkungan hidup

Selain melaksanakan MBS seperti yang disajikan pada Evaluasi Sekolah, Kepala Sekolah juga perlu memperhatikan PLH diantaranya dengan mewajibkan guru

(14)

untuk mengintegrasikan mata pelajaran dengan aspek lingkungan, menyelenggarakan kegiatan intra dan ekstrakurikuler, serta penyampaian muatan lokal yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup.

2. Pelaksanaan KBK

Sekolah perlu melaksanakan KBK secara utuh dengan berbagai kompetensi yang diharapkan yaitu yang dikaitkan dengan PLH dengan standar kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku dan dilengkapi dengan evaluasi ke tiga aspek tersebut.

3. Komite Sekolah yang mendukung Pendidikan Lingkungan Hidup

Komite Sekolah perlu diikutsertakan untuk memberikan masukan dalam penyusunan materi Muatan Lokal sesuai dengan aspirasi masyarakat terutama yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Dengan demikian maka masyarakat akan memberikan dukungan terhadap kegiatan yang diselenggarakan sekolah.

4. Alokasi Dana yang mendukung Pendidikan Lingkungan Hidup

Dana dengan jumlah yang memadai sangat diperlukan untuk mendukung PLH karena itu perlu adanya alokasi dana yang bersumber dari RAPBS.

5. Sarana Prasarana yang mendukung Pendidikan Lingkungan Hidup

Sarana dan Prasarana yang dapat mendukung PLH diantaranya adalah Laboratorium IPA dan Komputer, Jaringan Internet, Kebun Sekolah, Tanaman Obat Keluarga, Rumah Kaca, Tempat sampah Organik dan Anorganik, Tempat Pendaurulangan sampah sekolah menjadi kompos.

6. Rasio guru dan siswa yang ideal Rasio ideal antara guru dan siswa adalah

1:20. Dengan nilai rasio tersebut guru yang mengajar dapat melakukan pembinaan individual yang optimal terhadap siswa.

7. Standar Kompetensi Lingkungan

Setiap mata pelajaran yang terkait langsung dengan PLH perlu memiliki standar kompetensi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional atau dari sekolah yang telah disepakati bersama oleh seluruh Dewan Guru, misalnya untuk mata pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Sosiologi, Ekonomi Akutansi, Pendidikan Kewarganegaraan , dan Agama.

8. Program Kegiatan Lingkungan Hidup

Sekolah perlu melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang dimasukkan dalam Program Intrakurikuler dan Ekstrakurikuler.

(15)

Penambahan waktu belajar dilakukan dengan mengalokasikan waktu pelajaran

secara khusus dari sekolah untuk mendukung PLH.

10.Silabus Mata Pelajaran

Silabus Mata Pelajaran perlu dikembangkan dan diberikan muatan lokal yang mendukung PLH

11.Inovasi dalam Metodologi Pembelajaran

Inovasi dalam metodologi pelajaran perlu dilakukan secara aktif oleh guru

sehingga dapat menarik siswa dalam pembelajaran PLH.

12.Peningkatan Kompetensi Guru

Adanya upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dalam PLH akan memberikan dampak positif sehingga guru dapat mengerti, memahami, dan melaksanakan PLH.

13.Sosialisasi manfaat lingkungan hidup

Pemerintah dituntut untuk berperan aktif dalam sosialisasi tentang pentingnya lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan dan dampak negatif yang akan timbul akibat kurangnya perhatian masyarakat terhadap masalah lingkungan.

14.Kerjasama Lembaga dengan Sekolah

Sekolah perlu berperan secara aktif untuk melakukan kerjasama dengan lembaga –

lembaga yang dapat mendukung PLH.

15.Informasi tentang Lingkungan Hidup

Pemerintah secara aktif perlu memberikan informasi yang berhubungan dengan lingkungan hidup kepada sekolah.

16. Evaluasi dan Monitoring

Evaluasi dan Monitoring perlu dilakukan secara berkala oleh DinasPendidikan

terhadap lingkungan sekolah, kegiatan PLH, dan kompetensi siswa terhadap lingkungan.

17. Lomba yang berkaitan dengan PLH

Sekolah perlu secara aktif mengikuti lomba yang dapat mendukung program PLH. 18. Penghargaan terhadap Prestasi

Penghargaan atau apresiasi perlu diberikan baik dari masyarakat maupun Instansi Pemerintah terhadap prestasi sekolah yang telah melaksanakan Pendidikan Lingkungan Hidup dengan baik.

(16)

5.5. Kondisi Eksisting Pelaksanaan PLH melalui KBK , Kurikulum 1994 dan KTSP

Verifikasi model dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap pelaksanaan KBK khususnya untuk PLH pada tiga sekolah yaitu sekolah yang sudah melaksanakan KBK sejak tahun 2002 secara sukarela. Dengan demikian sampai saat penelitian berlangsung yaitu tahun 2006 sekolah-sekolah tersebut telah melaksanakan KBK selama 4 tahun. Hasil verifikasi disajikan pada tabel 5.2 Disamping itu untuk mengetahui keberhasilan KBK juga dilakukan penelitian yang sama pada sekolah yang masih melaksanakan Kurikulum 1994 yaitu untuk siswa kelas III pada SMA Labschool, SMAN 77, dan SMAN 27 dan sekolah yang sudah melaksanakan KTSP yaitu SMAN 8 Jakarta .

Tabel 5.2. Hasil Verifikasi Model dengan Kondisi Eksisting

PENCAPAIAN KURIKULUM

1994

KBK

KTSP

Telah Terlaksana Kegiatan yang berkaitan dengan PLH Kegiatan yang berkaitan dengan PLH Belum dilaksanakan sepenuhnya MBS yang mendukung PLH, Dana, Komite Sekolah, Informasi lingkungan hidup, penghargaan lingkungan hidup, silabus LH, sosialisasi manfaat PLH, Peningkatan

kompetensi guru untuk lingkungan hidup MBS yang mendukung PLH, Dana, Komite Sekolah, Informasi lingkungan hidup, penghargaan lingkungan hidup, silabus LH, sosialisasi manfaat PLH, Peningkatan kompetensi guru untuk lingkungan hidup MBS yang mendukung PLH, Dana, Komite Sekolah, Informasi lingkungan hidup, penghargaan lingkungan hidup, silabus LH, sosialisasi manfaat PLH, Peningkatan kompetensi guru untuk lingkungan hidup Belum Dilaksanakan

Rasio guru dan siswa, Evaluasi LH, Penambahan waktu belajar LH, Kerjasama kelembagaan, Pengembangan Standar Kompetensi

Rasio guru dan siswa, Evaluasi LH, Penambahan waktu belajar LH, Kerjasama kelembagaan, Pengembangan Standar Kompetensi Kegiatan yang berkaitan dengan PLH, Rasio guru dan siswa, Evaluasi LH, Penambahan waktu belajar LH, Kerja sama kelembagaan, Pengembangan Standar Kompetensi

(17)

5.5.1 SMA Negeri 81 Jakarta

Hasil penelitian terhadap SMA Negeri 81 menunjukkan bahwa MBS khususnya untuk PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam Lampiran. Perhatian sekolah terhadap lingkungan hidup dinilai telah ada. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Sarana dan Prasarana, Pendanaan, Program Kegiatan Lingkungan, Kerjasama Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang dapat mendukung PLH. Sarana dan Prasarana yang mendukung PLH telah dilengkapi sesuai dengan aturan dan dilaksanakan dengan baik . Akan tetapi dari segi Kurikulum terdapat beberapa komponen yang dinilai belum dapat mendukung PLH yaitu Evaluasi Kompetensi sikap dan perilaku yang belum dirumuskan sesuai dengan kompetensi lingkungan hidup (Lampiran 3)

Hasil evaluasi terhadap kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku guru mata pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Sosiologi, Ekonomi, Tata Negara, PPKN, dan Agama, SMA Negeri 81 memperlihatkan hasil yang memuaskan karena 100 % guru telah memiliki kompetensi lingkungan hidup. Disamping itu semua guru yang dijadikan responden memandang pentingnya PLH untuk pembangunan berkelanjutan. Sejalan dengan itu semua guru juga mengemukakan bahwa mata pelajaran yang diajarkan telah memuat materi yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Namun masih terdapat kelemahan yaitu belum adanya rumusan standar kompetensi sikap dan perilaku siswa yang diharapkan, sedangkan untuk kompetensi pengetahuan telah terlaksana dalam proses belajar mengajar.

Selanjutnya hasil penelitian terhadap kompetensi siswa menunjukkan belum mencapai ketuntasan belajar. Hal ini ditunjukkan dengan persentasi siswa jurusan IPA yang mencapai ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa masing-masing sebesar 95.60 %, 94,40 %, dan 51.10 %, sedangkan untuk siswa jurusan IPS adalah sebesar 90,50 %, 96.80 %, dan 20.60 % (tabel 5.3.). Dengan demikian kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku lingkungan hidup belum mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan analisis statistik dengan derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan bahwa untuk kompetensi sikap dan perilaku tidak ada perbedaan yang nyata antara jurusan IPA dan IPS. Dengan demikian jurusan (IPA dan IPS) tidak mempengaruhi kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku.

(18)

5.5.2. SMA Islam Al Azhar 4 Bekasi

Hasil penelitian terhadap SMA Islam Al Azhar 4 menunjukkan bahwa MBS khususnya untuk PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam Perhatian sekolah terhadap lingkungan hidup ditunjukkan oleh Sarana dan Prasarana, SDM, Pendanaan, Program Kegiatan Lingkungan, Kerjasama Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang dapat mendukung PLH. Beberapa sarana yang belum dimiliki diantaranya rumah kaca, slogan, dan moto tentang lingkungan hidup, serta jaringan internet pada waktu penelitian berlangsung belum dapat dengan mudah diakses oleh siswa. Disamping itu dari aspek kurikulum yang belum tersedia adalah evaluasi kompetensi sikap dan perilaku. keikutsertaan dalam mengikuti lomba tentang lingkungan hidup, pencarian dana untuk kegiatan lingkungan hidup, kerjasama kelembagaan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, dan sangsi terhadap pelanggaran kebersihan belum terlaksana dengan baik (Lampiran 3).

Dari sudut wawasan guru Biologi, Kimia, Fisika, Sosiologi, Ekonomi Akuntansi, PPKN, Tata Negara, dan Agama memperlihatkan kompetensi lingkungan hidup yang baik dan berpendapat akan pentingnya PLH untuk pembangunan berkelanjutan. Disamping itu semua guru mata pelajaran di atas mengemukakan bahwa belum terdapat standar kompetensi dan evaluasi untuk kompetensi sikap dan perilaku terhadap lingkungan.

Hasil penelitian terhadap kompetensi siswa menunjukkan kompetensi pengetahuan, sikap dan perilaku siswa jurusan IPA dicapai oleh 74.50 %, 80.20 %, dan 51 % siswa. Sedangkan untuk siswa jurusan IPS sebesar 67.30 %, 94%, dan 53% (Tabel 5.3.). Analisis Statistik menunjukkan pada derajat kepercayaan 0,05 tidak ada perbedaan yang nyata dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk jurusan IPA dan IPS.

5.5.3. SMA Islam Al Azhar 1 Jakarta

Secara umum pada SMA Islam Al Azhar 1 MBS khususnya untuk PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam Lampiran. Perhatian terhadap lingkungan hidup ditunjukkan oleh Sarana dan Prasarana, SDM, Pendanaan, Kerjasama Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang dapat mendukung PLH . Walaupun demikian terdapat beberapa hal yang belum dilengkapi yaitu rumah kaca, poster dan moto lingkungan yang masih perlu mendapat perhatian, juga taman

(19)

sekolah yang kurang dirasakan keberadaannya oleh siswa (Lampiran 3). Hal ini disebabkan lokasi SMA Islam Al Azhar 1 terletak pada lantai 6 dengan keadaan sekolah yang tertutup. Siswa tidak dapat langsung merasakan manfaat taman sekolah untuk kesegaran dan keindahannya.

Komponen Kurikulum yang perlu mendapat perhatian adalah evaluasi sikap dan perilaku untuk aspek lingkungan yang belum dirumuskan dengan baik, demikian pula program kegiatan lingkungan hidup, ektrakurikuler, dan penambahan waktu belajar untuk keterampilan hidup. Untuk aspek ketahanan sekolah yang masih lemah adalah sangsi untuk pelanggaran yang berkaitan dengan PLH seperti sangsi dalam membuang sampah yang tidak pada tempatnya. Dari segi Pendanaan alokasi dana untuk PLH juga masih perlu mendapat perhatian.

Hasil analisis terhadap pendapat guru menunjukkan bahwa guru Biologi, Kimia, Fisika, Sosiologi, Ekonomi Akuntansi, PPKN, Tata Negara, dan Agama memberikan pendapat akan pentingnya PLH untuk diajarkan di sekolah. Selain itu kompetensi guru untuk pengetahuan, sikap, dan perilaku menunjukkan pencapaian kompetensi lingkungan. Persentasi siswa yang telah memiliki kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk jurusan IPA masing-masing adalah 83.90 %, 96.80 %, dan 32.30 %, sedangkan untuk IPS masing-masing adalah 60.70 %, 85.70 %, dan 28.60% (tabel 5.3). Hasil analisis Statistik pada derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk ke dua jurusan. Kompetensi siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar baik jurusan IPA dan IPS dapat disebabkan oleh kondisi sekolah yang belum cukup memberikan bekal kompetensi.

5.5.4. SMA Labschool Jakarta

Pada SMA Labshool, MBS khusus untuknya PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam lampiran 3. Perhatian terhadap PLH ditunjukkan oleh Sarana dan prasarana, SDM, Program Kegiatan Lingkungan Hidup, Pendanaan, Kerjasama Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang dapat mendukung PLH. Hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah belum adanya Silabus Mata Pelajaran yang dikembangkan dan dikaitkan dengan PLH, standar kompetensi tentang lingkungan hidup, alat evaluasi kompetensi sikap dan perilaku yang dikaitkan dengan PLH juga sangsi untuk pelanggaran PLH (Lampiran 3) akan tetapi kompetensi lingkungan hidup untuk guru telah tercapai.

(20)

Persentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk jurusan IPA masing-masing adalah 86.50 %, 86.50 %, dan 29.70 %. Sedangkan IPS masing-masing adalah 84.60 %, 82.00 %, dan 36.00 % (Tabel 5.3). Hal ini menunjukkan telum tercapainya ketuntasan belajar. Hasil analisis statistik dengan derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk ke dua jurusan (IPA dan IPS). Kompetensi perilaku yang rendah dari ke dua jurusan menunjukkan bahwa kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang dilaksanakan belum berpengaruh terhadap kompetensi perilaku siswa. Komponen evaluasi kompetensi perilaku yang belum dirumuskan dapat menjadi penyebab rendahnya kompetensi perilaku. Selain itu kompetensi perilaku yang dijadikan parameter umumnya hanya dikaitkan dengan kemampuan siswa dalam melaksanakan praktikum sehingga perilaku yang mencerminkan PLH belum dicermati secara seksama oleh guru. Disamping itu standar kenaikan kelas yang lebih cenderung memperhatikan kompetensi pengetahuan ikut mempengaruhi perilaku siswa.

5.5.5. SMA Negeri 27 Jakarta

Pada SMA Negeri 27 MBS khususnya untuk PLH belum terlaksana sepenuhnya seperti yang ditunjukkan dalam lampiran 3. Perhatian sekolah terhadap lingkungan hidup ditunjukkan oleh terdapatnya sarana dan praarana, Program Kegiatan Lingkungan Hidup, kerjasama dengan Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah yang mendukung PLH. Walaupun demikian ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu belum tersedianya sarana audiovisual, poster, slogan tentang lingkungan hidup, dan pendanaan untuk kegiatan PLH. Dalam bidang kurikulum guru belum mengembangkan Silabus Mata Pelajaran dan penetapan standar kompetensi untuk aspek lingkungan. Evaluasi sikap dan perilaku untuk PLH juga belum dirumuskan dengan baik. Program life skill dan ekstra kurikuler untuk PLH juga belum sepenuhnya diselenggarakan. Beberapa jenis ekstra kurikuler yang telah dilaksanakan terbatas pada PMR, Paskibra, Rohani Islam, Rohani Kristen, Kelompok Ilmiah Remaja, Kesenian, dan Olah Raga. Perhatian sekolah terhadap PLH ditunjukkan dengan telah dilaksanakannya program 7 K dan penghijauan yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang harmonis. Kegiatan lainnya yang secara rutin dilaksanakan adalah Pekan Ilmiah dan Pameran yang merupakan program yang diadakan dalam rangka menambah wawasan dan ilmu pengetahuan

(21)

siswa. Jenis-jenis kegiatannya adalah kuis, pembuatan alat peraga, ceramah, dan diskusi, serta seminar. Apresiasi terhadap prestasi cukup mendapat perhatian di SMAN 27 yang diwujudkan dalam bentuk pameran dalam rangka aktualisasi kegiatan dan karya siswa. Hubungan dengan masyarakat lingkungan sekolah, instansi pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan PLH belum sepenuhnya terlaksana. Selain itu kegiatan seminar untuk guru dan karyawan kerap kali diadakan yang bertujuan untuk meningkatkan profesional dan kompetensi. Kompetensi lingkungan hidup untuk guru Biologi, Kimia, Fisika, Sosiologi, Ekonomi Akuntansi, PPKN, Tata Negara, dan Agama sudah menunjukkan hal yang positif.

Persentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk jurusan IPA adalah 92.10 %, 92.00 %, dan 63.20 %, sedangkan untuk IPS masing-masing adalah 88.20 %, 97.00 %, dan 66.00% (Tabel 5.3). Berdasarkan data kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa jurusan IPA dan IPS belum mencapai ketuntasan belajar. Analisis statistik pada derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk jurusan IPA dan IPS. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan sekolah untuk dapat menunjang PLH masih perlu ditingkatkan terutama melalui intrakurikuler dan ekstrakurikuler.

5.5.6. SMA Negeri 77 Jakarta

Pada SMA Negeri 77 Jakarta, MBS belum terlaksana sepenuhnya seperti yang dalam lampiran . Perhatian terhadap lingkungan hidup ditunjukkan oleh Sarana dan Prasarana, Pendanaan, Program Kegiatan Lingkungan Hidup, Kerjasama dengan Kelembagaan, dan Ketahanan Sekolah telah memiliki sarana dan prasarana yang dapat mendukung PLH seperti yang disajikan pada lampiran 3. Upaya PLH di sekolah ini yang dijadikan ciri sekolah adalah tersedianya tempat sampah organik dan anorganik. Secara alamiah siswa dengan penuh kesadaran telah mampu dan mudah memisahkan sampah organik dan anorganik pada waktu membuang sampah . Disamping itu program 7 K, slogan, dan poster tentang PLH juga diperhatikan di SMAN 77, hal ini merupakan bentuk kepedulian Kepala Sekolah terhadap PLH. Akan tetapi Kerjasama dengan Kelembagaan, Pendidikan Tinggi, dan tokoh masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan hidup belum sepenuhnya terealisir. Belum ada upaya untuk mencari sumber dana dalam kegiatan PLH. Kesulitan dalam memantau siswa yang membuang sampah sembarangan merupakan hal yang masih

(22)

belum sepenuhnya ditegakkan dalam ketahanan sekolah. Dalam bidang Kurikulum PLH masih mengalami kelemahan yaitu belum adanya upaya untuk mengaitkan materi pelajaran dengan PLH, belum dirumuskannya standar kompetensi PLH, belum dirumuskannya Evaluasi sikap, dan perilaku, juga progran lifeskill dan ekstrakurikuler yang terkait langsung dengan PLH. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya kompetensi guru untuk membuat rencana pengajaran yang dikaitkan dengan PLH. Walaupun demikian kompetensi guru untuk lingkungan hidup telah tercapai.

Persentase siswa yang mencapai ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk jurusan IPA masing-masing adalah 73.00 %, 91.90 %, dan 70.30 %. Sedangkan untuk jurusan IPS masing-masing adalah 65.70%, 88.60 %, dan 57.10% (Tabel 5.3). Analisis statistik pada derajat kepercayaan 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dalam pencapaian ketiga kompetensi untuk jurusan IPA dan IPS. Kompetensi yang belum mencapai ketuntasan dapat disebabkan oleh materi lingkungan hidup yang berkaitan dengan ekologi yang terbatas pada jurusan IPS, sedangkan untuk IPA lebih disebabkan oleh kegiatan PLH dalam intra dan ekstrakurikuler yang masih belum menyentuh PLH.

5.5.7. SMAN 8 Jakarta

MBS yang berkaitan dengan lingkungan diterapkan dalam bentuk perhatian yang besar terhadap kebersihan dan penghijauan sekolah. Kepala Sekolah melakukan pengawasan langsung pada semua sarana yang tersedia di sekolah. Akan tetapi kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan belum dilakukan oleh seluruh siswa. Keterlibatan siswa dalam aspek lingkungan adalah mewajibkan membuang sampah di tempat yang tersedia. Akan tetapi sangsi terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan yang sudah dibakukan dalam tata tertib sekolah sulit dijangkau karena tiak terlihat secara langsung. Aktifitas lingkungan lainnya seperti kebersihan lingkungan, penghijauan dan perawatan tanaman diserahkan kepada petugas kebersihan yang setiap waktu membersihkan sarana yang ada Dengan demikian lingkungan sekolah bersih dan sangat kondisif untuk belajar. Adapun sarana pembelajaran lingkungan hidup di sekolah masih terbatas pada laboratorium IPA dan audiovisual. Hal lain yang merupakan ciri sekolah ini adalah mulai 2007 diberlakukannya ISO 9001 2000 plus 5S yang menekankan pada aspek managemen, menerapkan disiplin secara otomatis, organisasi yang baik, lingkungan yang bersih,

(23)

menciptakan kemudahan dan keamanan serta institusi yang terus berkembang ke arah yang lebih baik.

Penciptaan kondisi di atas sangat sulit karena ISO 9001 2000 plus baru dimulai paa tahun 2007. Dalam praktiknya banyak dijumpai siswa yang masih membuang sampah di alam kelas khususnya di tempat tersembunyi. Poster-poster tentang tentang lingkungan hidup tidak dijumpai, demikian pula halnya dengan pengembangan silabus khususnya pada mata pelajaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan. Guru Kimia dan Fisika mengemukakan bahwa materi lingkungan hidup yang dibahas dari sudut ilmu kimia dan Fisika sebenarnya sangat menarik, akan tetapi untuk KTSP muatan lingkungan hidup tidak ada pada pelajaran kimia dan Fisika. Hal ini disebabkan telah dibahas dalam pelajaran Biologi, sedangkan mata pelajaran Biologi menurut guru Biologi masih kekurangan waktu untuk membahas lingkungan secara mendalam. Untuk mata pelajaran Geografi yang banyak kaitannya dengan lingkungan hanya diberikan dalam 45 menit dalam satu minggu pada kelas X, XI IPS dan XII IPS sedangkan jurusan IPA tidak mendapatkan Geografi.

Dengan kondisi sekolah seperti yang telah dijelaskan maka kompetensi lingkungan hidup yang diperoleh untuk aspek pengetahuan mencapai nilai lebih dari 75 telah dicapai oleh seluruh siswa baik IPA maupun IPS. Akan tetapi untuk aspek sikap jurusan IPA kompetensi dicapai oleh 39,59%. dan IPS 19% . Sedangkan untuk aspek perilaku jurusan IPA 19,88% dan IPS 18%. Kondisi ini dapat disebabkan sekolah lebih mempersiapkan siswa untuk menguasai target kurikulum untuk menghadapi Ujian nasional dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang diminati siswa sehingga pembekalan kompetensi tentang lingkungan masih belum dikembangkan. Adapun perguruan tinggi yang diminati adalah UI, ITB dan melanjutkan sekolah di luar negeri dengan beasiswa. Sedangkan jurusan yang diminati adalah Kedokteran, Teknik, Psikologi, Ekonomi dan Bisnis. Data menunjukkan rata-rata 90% siswa mendapatkan jurusan yang diminati. Dengan pengembangan silabus yang merupakan ciri KTSP yang difokuskan pada pengayaan materi pelajaran menyebabkan siswa disibukkan dengan pembahasan soal. Kegiatan kesiswaan yang diikuti siswa adalah Olympiade Sains Nasional, Kelompok Ilmiah Remaja, Bimbingan Belajar yang diberikan oleh alumni, Klinik belajar , Bahasa Asing, Olah Raga, dan Seni. Keikutsertaan sekolah untuk mengikuti lomba yang berkaitan dengan lingkungan juga belum dilakukan hal ini berkaitan dengan tingginya aktifitas guru dengan kegiatan di sekolah. Adapun kesibukan yang

(24)

membutuhkan perhatian besar dari para guru selain mengajar adalah menyelesaikan administrasi pembelajaran yang telah diprogramkan oleh Dinas Pendidikan dalam bentuk Sistem Administrasi Sekolah (SAS). Dengan program SAS yang diakses melalui internet maka sistem pencatatan kompetensi siswa dapat tersimpan dan tersusun dengan baik

Tabel 5.3. Hasil Penelitian Ketuntasan Belajar Tentang Lingkungan Hidup

Persentase Siswa dengan SKBM > 75

(KBK)

Persentase Siswa dengan SKBM > 75 (Kurikulum 1994)

Sekolah IPA IPS Sekolah IPA IPS SMAN 81 95.60 90.50 SMA Lab. 86.50 84.80 SMAIA 1 83.90 60.70 SMAN 27 92.10 88.20 SMAIA 4 74.50 64.60 SMAN 77 73.00 65.70 Pengetahuan

Rata2 80.46 70.19 Rata2 83.88 79.66

SMAN 81 94.40 96.80 SMA Lab. 86.50 84.80 SMAIA 1 96.80 85.70 SMAN 27 92.10 97.10 SMAIA 4 80.20 81.20 SMAN 77 91.90 88.60 Sikap

Rata2 90.46 87.90 Rata2 90.16 90.16

SMAN 81 51.10 20.60 SMA Lab. 29.70 33.30 SMAIA 1 32.30 28.60 SMAN 27 63.20 67.60 SMAIA 4 51.00 52.10 SMAN 77 70.30 57.10 Perilaku

Rata2 44.80 33.73 Rata2 54.40 51.60

Berdasarkan hasil yang diperoleh jika dibandingkan maka kompetensi lingkungan hidup pada sekolah yang melaksanakan KTSP lebih rendah. Keadaan ini dimungkinkan terjadi juga pada sekolah lain, karena tuntutan masyarakat melalui Komite Sekolah terbatas pada aspek akademis. Masyarakat kurang memahami pentingnya PLH. Keadaan ini perlu mendapat perhatian dunia pendidikan karena memberikan pemahaman lingkungan kepada masyarakat lebih sulit. Hal lain yang juga perlu diperhatikan mengingat lulusan SMA unggulan pada umumnya melanjutkan pendidikan dan nantinya akan menentukan arah kebijakan.

(25)

5.6. Analisis Perbandingan

Berdasarkan analisis statistik terhadap kompetensi pengetahuan pada sekolah yang diteliti terdapat perbedaan yang signifikan antara kompetensi pengetahuan siswa pada masing-masing sekolah. Selanjutnya dengan menggunakan katagori Chaid (Lampiran 14) maka sekolah-sekolah tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

1. SMAN 81 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 96,08% siswa

2. SMA Labschool dan SMAN 27 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 83,03% siswa

3. SMA Islam Al Azhar 1, SMA Islam Al Azhar 4, dan SMAN 77 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 68,68% siswa

Hasil analisis statistik terhadap kompetensi sikap pada derajat kepercayaan 0.05 juga tidak menunjukkan perbedaan pada sekolah yang diteliti (Lampiran 15). Dengan demikian jenis kurikulum dan jurusan tidak mempengaruhi kompetensi sikap. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis statistik yang juga dilakukan terhadap kompetensi perilaku diperoleh tiga kelompok sekolah yaitu:

1. SMAN 27 dan SMAN 77 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 67,07 % siswa. 2. SMA Islam Al Azhar 4 dan SMAN 81 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh

54.31 % siswa.

3. SMA Islam Al Azhar 1 dan Labschool dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 35,00 % siswa.

Kelompok kompetensi yang berbeda pada masing-masing sekolah menunjukkan bahwa kompetensi lingkungan hidup tidak dipengaruhi oleh jenis kurikulum dan jurusan. Pengelompokan kompetensi disebabkan oleh kondisi sekolah yang erat kaitannya dengan MBS yang bervariasi pada tiap sekolah. Disamping itu kompetensi guru pada tiap sekolah dalam melaksanankan PLH juga berbeda, akibatnya pengalaman belajar siswa yang dikaitkan dengan lingkungan hidup akan berbeda pada setiap sekolah. Pengembangan Silabus Mata Pelajaran dapat berupa kegiatan intrakurikuler, eksrakurikuler maupun kecakapan hidup.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk semua sekolah dan ke dua jurusan (IPA dan IPS) belum mencapai ketuntasan belajar. Pengamatan langsung di lapangan juga memperlihatkan perilaku siswa yang belum menunjukkan sikap positif terhadap lingkungan. Sebagai contoh kebiasaan siswa yang membuang sampah pada laci meja,

(26)

banyaknya sampah di halaman sekolah walaupun tempat sampah telah tersedia, mencoret dan merusak fasilitas sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan sekolah baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler pada jurusan IPA dan IPS belum cukup mampu membekali kompetensi perilaku siswa. Kondisi ini dapat disebabkan oleh terbatasnya pemberian materi pelajaran yang bermuatan lingkungan sebagai dampak dari rendahnya kompetensi guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan lingkungan hidup. Selain itu juga disebabkan oleh kesulitan guru untuk menemukan metode yang menarik dalam mengaitkan materi pelajaran dengan lingkungan hidup. Hal ini didukung oleh pendapat sebagian besar guru yang dijadikan responden mengemukakan bahwa PLH yang diintegrasikan pada materi mata pelajaran lebih menekankan kepada aspek kompetensi pengetahuan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan beberapa peneliti sebelumnya. Sholahudin (1993) mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara materi pelajaran IPA di SMA yang memiliki muatan lingkungan hidup dengan sikap siswa untuk melestarikan lingkungan. Susilo (1997) yang melakukan penelitian di SMAN 8 Jakarta dan Savitri (1998) pada SMAN 13 Jakarta juga menyimpulkan bahwa pemahaman pelestarian lingkungan siswa di kedua sekolah tersebut memperlihatkan hasil yang positif tetapi belum dapat dibuktikan secara afektif dan psikomotor. Sedangkan Soeharto (1993) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan perilaku arif terhadap lingkungan. Akan tetapi kedudukan formal dalam organisasi atau lembaga kemasyarakatan seperti ketua RT/RW, tokoh masyarakat, dan aparat desa akan menjadikan mereka untuk berperilaku arif terhadap lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya antusiasme kelompok masyarakat ini terhadap lingkungan tanpa dibatasi oleh tingkat pendidikan. Artinya pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup baru dapat dirasakan setelah seseorang terjun di masyarakat dan menghadapi permasalahan lingkungan. Hasil observasi Depdiknas (2002) juga menunjukkan pelaksanaan program PLH di sekolah yang selama ini menitikberatkan pada pendekatan pengintegrasian konsep-konsep dasar lingkungan hidup pada pokok-pokok bahasan yang relevan belum memberikan pengaruh positif terhadap siswa.

Hasil penelitian ini menunjukkan ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan dan sikap telah dicapai lebih dari 80% siswa . Hal ini dapat disebabkan karena adanya perubahan dalam penyelenggaraan PLH di sekolah ke arah yang lebih baik. Pengintegrasian materi PLH ke dalam mata pelajaran telah memberikan

(27)

dampak yang berarti terhadap kompetensi pengetahuan dan sikap namun belum memberikan dampak terhadap perilaku siswa. Kepedulian warga sekolah termasuk siswa terhadap kebersihan, penghematan penggunaan sumberdaya, penghijauan, dan ketertiban masih sangat kurang. Dengan demikian sekolah sebagai agen perubahan perilaku peduli lingkungan dinilai masih kurang berhasil dalam menjalankan misinya. Depdiknas (2003) mengemukakan pula bahwa hasil pelatihan terhadap tenaga kependidikan diakui telah dapat meningkatkan pengetahuan tentang lingkungan hidup, tetapi pada implementasinya masih belum dapat berpengaruh terhadap kompetensi sikap dan perilaku siswa.

Pencapaian kompetensi perilaku yang lebih tinggi pada sekolah yang masih menggunakan Kurikulum 1994 dibandingkan dengan KBK walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dapat disebabkan oleh pengaruh Kurikulum 1994 yang berorientasi pada kompetensi pengetahuan. Pada Kurikulum 1994 penyajian kompetensi perilaku siswa dalam buku Raport tidak ditampilkan secara terpisah tetapi terintegrasi dengan nilai pengetahuan. Berbeda dengan kurikulum KBK yang penyajiannya terpisah atara kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku. Menurut beberapa stakeholder pendidikan ada indikasi kekhawatiran siswa pada sekolah yang melaksanakan Kurikulum 1994 yaitu jika tidak melakukan perilaku yang positif akan mengurangi nilai pengetahuan, hal sebaliknya pada kurikulum KBK ada indikasi persepsi siswa bahwa nilai kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Disamping itu persepsi bahwa nilai kompetensi pengetahuan lebih diperhitungkan dalam kenaikan kelas dibandingkan dengan nilai sikap dan perilaku. Faktor inilah yang turut mempengaruhi lebih tingginya keberhasilan KBK dalam pencapaian kompetensi perilaku.

Pencapaian kompetensi perilaku pada SMAN 77 dan 27 memperlihatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan SMA lainnya. Kondisi ini dapat disebabkan karena perhatian sekolah-sekolah tersebut yang tinggi terhadap lingkungan. Sebagai contoh di halaman SMAN 77 tersedia tempat sampah organik dan anorganik juga slogan-slogan tentang lingkungan hidup. Hasil pengamatan juga memperlihatkan perhatian yang besar dari SMAN 27 terhadap lingkungan dengan menggiatkan program 7 K yang ditunjukkan dengan kebersihan dan penghijauan yang digalakkan pada sekolah tersebut.

SMA Islam Al Azhar 4 dan SMAN 81 memiliki pencapaian ketuntasan belajar untuk kompetensi perilaku yang lebih tinggi dibandingkan dengan SMA

(28)

Islam Al Azhar 1 dan Labschool. Keadaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang menekankan pada aspek perilaku untuk dijadikan pengalaman belajar siswa pada sekolah-sekolah tersebut. Pada SMAN 81 diselenggarakan kegiatan lingkungan hidup yang langsung ke masyarakat dan wajib diikuti siswa yaitu Trip Observation. Terpilihnya SMAN 81 Jakarta menjadi Sekolah Sehat ikut mempengaruhi pencapaian kompetensi psikomotorik. Kepedulian Kepala Sekolah SMAN 81 yang tinggi terhadap pendidikan lingkungan hidup yang ditunjukkan dengan banyaknya poster dan slogan tentang lingkungan hidup yang terdapat pada koridor kelas. Adanya penghijauan di halaman dan koridor sekolah, juga diadakannya kegiatan tentang pemanfaatan kebun sekolah dan

green house untuk kegiatan belajar mengajar menunjukkan tingginya kepedulian

sekolah tersebut terhadap lingkungan hidup.

Perhatian SMA Islam Al Azhar 4 terhadap pendidikan lingkungan ditunjukkan dengan adanya alokasi waktu kecakapan hidup untuk mata pelajaran seperti Kimia, Geografi, dan Sosiologi yang mengadakan praktek langsung ke lapangan seperti ke lokasi TPA Bantar Gebang, serta adanya Desa Binaan siswa di Muara Gembong, Bekasi. Selain itu pada SMA Islam Al Azhar 4 juga didokumentasikan hasil-hasil karya siswa yang berkaitan dengan lingkungan hidup untuk dijadikan bahan pameran pendidikan. Hal tersebut dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk berperilaku positif terhadap lingkungan.

Pada SMA Islam Al Azhar 1 kepedulian Kepala Sekolah terhadap pendidikan lingkungan hidup ditunjukkan dengan adanya aktivitas sebagian siswa untuk berpartisipasi pada kegiatan lingkungan hidup seperti mengikutsertakan siswa pada lomba-lomba yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Di samping itu juga ada upaya pemilahan dalam menempatkan sampah organik dan anorganik di ruang guru. Akan tetapi usaha tersebut masih belum dapat mempengaruhi perilaku seluruh siswa. Kurangnya dukungan sarana dan prasarana untuk melatih kecakapan hidup siswa seperti kebun sekolah, green house, ekstra kurikuler yang berkaitan dengan pendidikan lingkungan hidup, penambahan waktu belajar untuk kecakapan hidup, juga poster tentang lingkungan hidup dapat menyebabkan rendahnya kompetensi psikomotorik. Rendahnya sangsi terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan seperti kebersihan memberikan dampak pada rendahnya pencapaian kompetensi perilaku. SMA Labschool juga melibatkan siswa untuk berperan aktif

(29)

dalam kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup akan tetapi pencapaian kompetensi perilaku masih belum memuaskan.

Kompetensi perilaku yang belum mencapai standar ketuntasan bukan disebabkan oleh pengetahuan dan sikap yang kurang, karena dari data yang ada kompetensi pengetahuan dan sikap telah mencapai Standar Kelulusan Batas Minimal (SKBM) 75. Rendahnya perilaku siswa bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan siswa maupun sikap siswa. Analisis kuesioner memperlihatkan rata-rata siswa mengalami keengganan dalam berperilaku positif terhadap lingkungan. Keengganan ini dapat disebabkan karena siswa belum atau tidak dilatih untuk membiasakan diri sekolah untuk berperilaku positif terhadap lingkungan walaupun sebenarnya sudah mengetahuinya. Faktor lain yang menyebabkan siswa kurang berperilaku positif terhadap lingkungan adalah terdapatnya kebiasaan masyarakat yang umumnya kurang memperhatikan lingkungan hidup seperti membuang sampah sembarangan, merokok di tempat umum, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas melalui PLH siswa perlu dibekali pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan hidup sehingga siswa menjadi mengetahui dan mengerti, serta dapat melakukan dan mau melakukan sesuatu untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Kompetensi perilaku yang positif siswa terhadap sumberdaya alam selanjutnya akan melahirkan perilaku yang disebut partisipatif untuk melestarikan lingkungan. Selanjutnya partisipatif akan merangsang siswa sebagai bagian dari masyarakat menjadi lebih aktif dan kreatif melaksanakan pembangunan yang terarah dan berencana. Masyarakat tidak akan mau berpartisipasi di dalam program pembangunan kecuali mereka memperoleh manfaat dari sesuatu yang dilakukan. Sholahudin (2001) juga mengemukakan manusia dalam kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan karena itu upaya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan mutlak dilakukan sehingga tidak terjadi kerusakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menumbuhkembangkan sikap positif pada lingkungan melalui pendidikan formal. Melalui pendidikan seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang merupakan pangkal dari sikap, sedangkan sikap mengarahkan pada tindakan seseorang. Karena itu mata pelajaran IPA (Biologi, Fisika, dan Kimia) yang mengandung materi yang sarat dengan pengetahuan lingkungan hidup perlu lebih diberdayakan untuk menumbuhkembangkan sikap positif terhadap lingkungan.

(30)

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa teori yang dikemukakan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) tentang proses konversi organisasi pembelajaran masih belum terlaksana dalam pembelajaran lingkungan hidup di SMA. Pengetahuan formal tentang lingkungan yang diperoleh siswa masih terbatas dari silabus kurikulum yang kurang dikembangkan, demikian pula halnya dalam mewujudkan pengetahuan formal menjadi tacit. Hal ini yang menyebabkan pengetahuan tentang lingkungan unrtuk siswa SMA tidak berkembang, karena kompetensi pengetahuan yang diberikan di sekolah dimungkinkan baru pada tahapan tahu (know), kompetensi sikap belum mencapai menghargai dan bertanggungjawab, sedangkan kompetensi perilaku baru mencapai praktik terpimpin.. Menurut Bloom (1983) ada 6 tingkatan kompetensi pengetahuan dan 4 tingkatan kompetensi sikap yaitu:

1. Tahu (know) yaitu pengetahuan sebagai informasi yang telah diperoleh sebelumnya.

2. Memahami (comprehension) yaitu pengetahuan yang dapat menginterpretasikan informasi yang diperoleh.

3. Aplikasi (aplication) yaitu pengetahuan yang dapat diaplikasikan pada situasi yang lain.

4. Analisis (analysis) yaitu kemampuan seseorang untuk menjabarkan suatu informasi dan menemukan hubungan antara komponen satu dan lainnya. 5. Sintesis yaitu kemampuan seseorang untuk merangkum

komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki dalam suatu hubungan yang logis. 6. Evaluasi (evaluation) yaitu kemampuan untuk ,melakukan penilaian

terhadap obyek tertentu.

Kompetensi sikap mempunyai tingkatan yaitu sebagai berikut :

1. Menerima (receiving) yaitu kemuan seseorang untuk mau menerima timulus.

2. Menanggapi (responding) yaitu dapat memberi tanggapan terhadap pertanyaan.

3. Menghargai (valuing) yaitu dapat memberikan penilaian terhadapa stimulus

(31)

Kompetensi perilaku dapat diamati langsung maupun tidak langsung yang terdiri atas 3 tingkatan yaitu

1. Praktik terpimpin (guided response) yaitu tindakan yang masih tergantung pada tuntunan.

2. Praktik secara mekanisme yaitu tindakan yang secara otomatis dilakukan tanpa seruhan orang lain.

3. Adopsi (adoption) yaitu tindakan yang otomatis dilakukan dan berkualitas. Berdasarkan pendapat Hasan dkk (2006) maka PLH dalam konversi organisasi pembelajaran dapat diimplementasikan sebagai berikut :

1. Sosialisasi (dari tacit ke tacit) : PLH yang diberikan dengan metode praktik dimana siswa melakukan praktik langsung. Metode ini dapat memicu siswa untuk menciptakan praktik yang lainnya yang telah dikembangkan.

2. Eksternalisasi (dari tacit ke explicit) : PLH yang diberikan dengan metode praktik kemudian dilanjutkan dengan pembuatan laporan, menganalisis data, menginterpretasikan hasil pengamatan, membuat kesimpulan, mempresentasikan dan mendiskusikan.

3. Kombinasi (dari explicit ke explicit) : Proses pembelajaran yang dilanjutkan dimana hasil pengamatan yang telah dibuat dimasukkan dalam majalah ilmiah. 4. Internalisasi (dari eksplisit ke tacit) ketika siswa mampu menjadi ahli dalam

pengetahuan yang telah diperoleh.

Jika hasil penelitian tentang kompetensi siswa dikaitkan dengan teori organisasi pembelajaran menurut Choo (1998) yang mengatakan bahwa organisasi pembelajaran merupakan kegiatan sense making, knowledge creating, decision

making, maka dapat dikatakan pengetahuan tacit yang kurang dilatih. Hal tersebut

menyebabkan sense making yaitu mengerti dan memahami situasi lingkungan menjadi tidak terbiasa demikian halnya dengan yang diaktualisasikan dalam perilaku, siklus pengetahuan disajikan seperti pada gambar 5.3. Menurut Wright (2005) proses pengetahuan bagi individu dan organisasi meliputi upaya untuk memecahkan masalah. yang sederhana dan kompleks. Sedangkan Dubravka dan Kecmanovik (2004) berpendapat bahwa sense making dapat berlangsung dari tingkat indvidu, gabungan individu, organisasi, dan budaya masyarakat.

Penerapan teori organisasi pembelajaran lingkungan hidup di SMA memerlukan desain model agar teori dua dimensi kreasi pengetahuan dari Nonaka

(32)

dan Takeuchi (1991) yang mengemukakan pembelajaran seperti suatu proses spiral dari tingkat organisasi hingga antar organisasi.

Stream of experience

5.7. Analisis Kuesioner

Kuesioner yang disusun digunakan untuk mengukur indikator kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku pendidikan lingkungan hidup siswa IPA dan IPS meliputi aspek sosial, ekonomi, dan ekologi, yaitu:

1. Sosial terdiri dari Pemberdayaan Masyarakat, Partisipasi, Mobilisasi Sosial, Identitas Kultur Budaya, dan Pengembangan Kelembagaan.

2. Ekonomi terdiri dari Pertumbuhan, Pemerataan, Efisiensi, dan Stabilitas. 3. Ekologi terdiri dari Identifikasi Ekologi dan Keutuhan Ekosistem

Hasil analisis terhadap kuesioner menunjukkan bahwa kompetensi perilaku aspek sosial belum dapat dilaksanakan oleh siswa jurusan IPA. Hal ini ditunjukkan dengan pencapaian kompetensi siswa yang masih kurang yang berkaitan dengan aspek tersebut yaitu:

1. Partisipasi siswa untuk menjaga kebersihan sekolah.

Decision Making Knowledge

Creating

Adaptive behavior

Gambar 5.3. Siklus Pengetahuan

(33)

2. Partisipasi siswa dalam program penghijauan yang diadakan oleh sekolah. 3. Keikutsertaan siswa untuk bersama masyarakat melakukan penghijauan. 4. Menyarankan masyarakat untuk tidak membuang limbah di sungai dan

membuat sumber air dekat dengan MCK.

5. Berperan aktif dalam memecahkan masalah di masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti limbah yang mencemari pemukiman penduduk.

6. Menyarankan masyarakat untuk tidak menebang pohon sebagai kayu bakar sehubungan dengan kelangkaan BBM.

7. Menyarankan masyarakat untuk menggunakan biogas.

8. Menyarankan masyarakat untuk tidak membuka usaha yang menimbulkan masalah lingkungan

9. Tanggap terhadap masalah lingkungan seperti limbah pada lokasi permukiman penduduk.

Kurangnya pencapaian dalam aspek identitas kultur budaya ditunjukkan oleh rendahnya keinginan siswa untuk mengetahui kultur budaya suku-suku di Indonesia yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang ditayangkan pada televisi. Untuk aspek sosial yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan, kurangnya pencapaian kompetensi ditunjukkan dengan keengganan siswa memasukkan kegiatan lingkungan hidup dalam kegiatan OSIS. Adapun aspek sosial tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Tanggungjawab semua lapisan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

2. Hak dan kewajiban masyarakat yang sama untuk menjaga lingkungan. 3. Perlunya kerjasama antar lembaga untuk memperbaiki kualitas

lingkungan.

Kurangnya pencapaian kompetensi dalam aspek ekonomi diperlihatkan oleh kompetensi perilaku siswa yaitu kurangnya efisiensi siswa terhadap penggunaan sumberdaya yang ditunjukkan dengan keraguan siswa untuk berperilaku efisien misalnya terhadap waktu, buku, dan sumberdaya lain, seperti yang terdapat pada kuesioner yaitu:

1. Merobek lembaran buku catatan untuk membuat mainan kertas. 2. Mengikuti aksi coret-coret di lingkungan sekolah

(34)

4. Membantu program pemerintah dalam meningkatkan pendapatan masyarakat

5. Mengambil makanan secukupnya

Sedangkan kurangnya pencapaian kompetensi dalam aspek ekologi diperlihatkan oleh kompetensi perilaku siswa Hal ini ditunjukkan dengan perilaku yang menunjukkan keengganan untuk aktif dalam kegiatan pengelolaan sampah, air tanah, sungai dan laut, fungsi tanaman dalam mengatur siklus oksigen (O2 dan

CO2), kesuburan tanah, fungsi keanekaragaman hayati untuk kehidupan, daya

dukung, serta isu global seperti yang terdapat pada kuesioner perilaku, yaitu: 1. Penanganan sampah di ruang kelas.

2. Berpartisipasi untuk kegiatan penghijauan di sekolah dan di masyarakat. 3. Memperbaiki knalpot kendaraan pribadi yang mengeluarkan asap hitam. 4. Menyarankan teman untuk tidak membuang sampah di selokan.

5. Menyarankan warga untuk tidak membuat sumber air bersih dekat MCK. 6. Menyarankan masyarakat untuk tidak membuang limbah ke laut.

7. Menyarankan teman untuk tidak membakar limbah dari bahan plastik. 8. Memperbaiki selokan yang mengeluarkan bau.

9. Menolak usulan untuk membangun MCK di bantaran sungai. 10.Membuat ventilasi

11.Menggunakan bibit unggul hasil rekayasa genetika yang belum diteliti lebih lanjut.

12.Penebangan pohon untuk untuk menanggulangi kelangkaan BBM. 13.Pembangunan perumahan di bantaran sungai..

14.Menyarankan pemanfaatan biogas.

15.Membuat peternakan di permukiman penduduk.

Berdasarkan hasil kuesioner perilaku maka hal-hal yang belum bisa dilaksanakan oleh siswa SMA jurusan IPS adalah:

1. Menjaga kebersihan, kerapihan ruang kelas, lingkungan sekolah, dan rumah. 2. Efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya yang berkaitan dengan siswa seperti

kertas, seragam, dan kendaraan.

3. Keikutsertaan siswa untuk bersama masyarakat melakukan penghijauan. 4. Membantu program pemerintah dalam meningkatkan pendapatan masyarakat

Gambar

Tabel 5.2.  Hasil Verifikasi Model dengan Kondisi Eksisting
Tabel 5.3. Hasil Penelitian Ketuntasan Belajar Tentang Lingkungan Hidup
Gambar  5.3.  Siklus  Pengetahuan    Sense Making
Gambar 5.4. Diagram Model Struktural Elemen Kendala    dalam PLH melalui KBK
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil diatas sesuai dengan penelitian terdahulu [5] nilai kekerasan paling tinggi terletak di logam las (WZ) dan menurut[1,4] juga menunjukan bahwa nilai kekerasan

Dalam penelitian ini hal yang diharapkan diperoleh peneliti adalah pemahaman yang utuh mengenai gambaran model agresivitas umum pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga

Etika Profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud

Mengikut masalah tren perubahan keterlibatan warga muda dalam penggunaan media, perubahan norma kewarganegaraan dan partisipasi politik menjadi suatu isu penting dalam

Pengamatan dilakukan pada umur panen buah (ditandai dengan tekstur lunak), waktu terbentuk protokorm, waktu aklimatisasi/pengompotan, umur berbunga, dan total waktu yang

Para Pihak dengan ini membentuk suatu mekanisme konsultasi bilateral antara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Republik

Cara penafsiran hasil penelitian ini, yaitu 1) fenomena ‘Pikun Usia Dini’ dapat diindikasikan sebagai gejala awal penyakit demensia; 2) terdapat perbedaan

Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat, maupun metode atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar