• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geologi Struktur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Geologi Struktur"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

GEOLOGI STRUKTUR:

Latihan Pengolahan Data dan Analisa

Salahuddin Husein, Ph.D.

Training Handout

3

rd

International Earth Science Olympiad

Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

(2)

Bab I  

Pendahuluan 

I.1. Pengertian

Geologi struktur adalah ilmu yang mempelajari bentuk arsitektorat kulit bumi serta gejala-gejala yang menyebabkan pembentuknya. Beberapa ahli memberi sinonim geologi struktur dengan geologi tektonik, atau geotektonik. Perbedaan antara sinonim-sinonim tersebut terletak pada penekanan masalah yang dipelajari dan skalanya.

Geologi struktur lebih cenderung pada geometri batuan dengan skala kecil (lokal atau regional), sementara yang lain lebih cenderung pada gaya-gaya dan pergerakan yang menghasilkan struktur geologi. Pengertian tersebut dapat diuraikan dari akar kata geotektonik yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata geo yang berarti earth (bumi) dan tekton yang berarti builder (pembangun/pembentuk).

I.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dengan mempelajari geologi struktur adalah :

1. Dapat mendeterminasi bentuk dan ukuran tubuh batuan.

2. Dapat menghubungkan struktur geologi yang dijumpai dengan urut-urutan kejadian.

3. Dapat mendeterminasi proses-proses fisik yang menghasilkan struktur geologi tersebut.

Sedangkan manfaat mempelajari geologi struktur adalah :

1. Dapat mengetahui posisi stratigrafi suatu batuan dengan batuan yang lain.

2. Dalam aplikasinya dapat untuk membantu dalam pencarian bahan mineral dan minyak bumi, geologi teknik, hidrogeologi dan geologi tata lingkungan.

(3)

I.3. Materi Pembahasan

Berdasarkan pengertian geometri, struktur geologi membedakan struktur garis dan struktur bidang. Termasuk struktur bidang antara lain: perlapisan batuan, urat (vein), kekar, sesar, lipatan, ketidakselarasan, dll. Sedangkan yang termasuk struktur garis antara lain: lineasi, gores-garis, hinge line, dll.

Geologi struktur berkaitan erat dengan ilmu geologi lain, seperti geomorfologi, sedimentologi, petrologi, geologi teknik, geohidrologi, geofisika, dll.

Analisis data struktur geologi secara deskriptif geometri dilakukan dengan cara mengubah bentuk yang sesunggguhnya kedalam bentuk dua dimensi dengan proyeksi. Berdasarkan metodanya proyeksi dibedakan menjadi:

1. Proyeksi ortogonal: yaitu penggambaran obyek dengan garis proyeksi dibuat saling sejajar dan tegak lurus terhadap bidang proyeksi.

2. Proyeksi perspektif: proyeksi suatu obyek terhadap suatu titik, misalnya proyeksi kutub.

3. Proyeksi stereografis: penggambaran didasarkan kepada perpotongan garis atau bidang dengan permukaan bola. Proyeksi stereografis banyak dipakai dalam geologi struktur, namun tidak diberikan dalam pelatihan ini.

Dalam pelatihan Geologi Struktur ini beberapa materi akan dibahas antara lain: 1. Menentukan jurus dan kemiringan struktur bidang dari data dua buah kemiringan

semu.

2. Problem tiga titik dan pola penyebaran singkapan. Dengan tiga titik yang diketahui letak dan ketinggian suatu perlapisan dapat ditentukan kedudukannya. Antara kedudukan perlapisan dengan pola topografi yang tertentu akan menghasilkan pola penyebaran singkapan yang tertentu pula.

3. Kedalaman dan ketebalan. Pengukuran ketebalan dan kedalaman suatu lapisan batuan dapat dikerjakan secara grafis dan matematis.

4. Garis dan perpotongan bidang. Materi ini membahas proyeksi suatu bidang atau garis, untuk mempermudah pemahaman struktur garis dan bidang dalam bentuk yang lebih sederhana.

5. Analisis kekar. Dengan analisis dapat digunakan untuk merekonstruksi gaya-gaya tektonik yang membentuk kekar dan struktur lokal.

(4)

6. Analisis sesar. Dengan analisis sesar ini dapat menafsirkan jenis dan pergerakan relatif sesar berdasarkan data sesar yang ada.

7. Rekonstruksi lipatan. Meliputi penggambaran dengan berbagai metoda.

8. Peta geologi. Mencoba melatih interpretasi geologi dengan data struktur geologi sebagai pembantu, sehingga dapat menafsirkan urutan stratigrafi dan sejarah geologi.

(5)

Gambar I.1. Foto singkapan struktur antiklin pada perlapisan batupasir dan sketsa lapangan yang

dibuat untuk mempermudah identifikasi unsur-unsur struktur geologi (McClay, 1987). Keterampilan ini sangat penting dan bermanfaat di dalam pekerjaan lapangan geologi struktur.

(6)

Bab II 

Menentukan Jurus dan Kemiringan Struktur Bidang  

dari Dua Buah Kemiringan Semu 

II.1. Beberapa Pengertian

Beberapa istilah yang sering digunakan (keterangan lihat gambar II.1) antara lain: ƒ Arah (bearing): sudut horisontal antara garis dengan arah koordinat tertentu,

biasanya utara atau selatan.

ƒ Azimuth: bearing yang diukur dari utara searah jarum jam.

ƒ True dip (kemiringan sebenarnya): sudut kemiringan terbesar yang terbentuk oleh suatu bidang dengan bidang datar, diukur tegak lurus perpotongan bidang.

ƒ Apperent dip (kemiringan semu): sudut yang terbentuk antara suatu bidang dengan bidang horisontal yang diukur tidak tegaklurus perpotongan bidang.

ƒ Jurus (strike): arah garis horisontal yang terbentuk oleh bidang miring dengan bidang horisontal.

β = true dip

α = bearing/azimuth δ = apparent dip AB = jurus N α0 E

Kedudukan bidang: Nα0E/β0

Gambar II.1. Beberapa istilah yang digunakan.

Data-data yang harus ada dalam penentuan true dip ini adalah: 1. Letak dan ketinggian pengukuran,

2. Arah sayatan tegak dimana apparent dip diukur, 3. Besar kemiringan semu.

(7)

II.2. Menentukan Jurus dan Kemiringan Struktur Bidang dari Dua Buah Kemiringan Semu pada Ketinggian yang Sama

Contoh I:

Dari lokasi O diukur dua kemiringan semu. Masing-masing pada arah N X0 E

sebesar b10 dan pada arah N Y0 E sebesar b20.

Ditanyakan:

Jurus dan kemiringan bidang yang sesungguhnya. Penyelesaian:

Lihat diagram blok pada gambar II.2 dan hasil proyeksi gambar II.3. Urutan penyelesaian sebagai berikut:

1. Gambarkan rebahan masing-masing bidang yang memuat kemiringan semu sesuai dengan arahnya di titik O dengan kedalaman d sehingga menghasilkan bidang OCF dan ODE.

2. Hubungkan titik D dan C. Garis DC merupakan proyeksi horisontal jurus

bidang ABFE: N Z0 E.

3. Melalui O buatlah garis tegaklurus DC sehingga memotong di L.

4. Ukurkan LK sepanjang d pada garis DC. Sudut LOK merupakan kemiringan sebenarnya dari bidang ABFE.

5. Jadi kedudukan bidang tersebut adalah N Z0 E/a0.

OC = N X° E OD = N Y° E OL = N Z° E

Ketinggian pengukuran = d

(8)

a = true dip

b1, b2 = apparent dip kedudukan = N Z°E/a°.

Gambar II.3. Penyelesaian contoh I.

II.3. Menentukan Jurus dan Kemiringan Struktur Bidang dari Dua Buah

Kemiringan Semu pada Ketinggian yang Berbeda Contoh II:

Pada lokasi O dengan ketinggian 400 meter diukur kemiringan semu β10 pada

arah N X0 E dan pada lokasi P dengan ketinggian 300 meter diukur kemiringan

semu β20 pada arah N Y0 E. Letak O dan P tertentu (diketahui).

Ditanyakan:

Jurus dan kemiringan bidang sesungguhnya. Penyelesaian:

Cara I:

Lihat gambar II.4(a) dan II.4(b). Urutan penyelesaian sebagai berikut:

1. Gambarkan rebahan masing-masing bidang yang memuat kemiringan semu di O dan P sesuai dengan besar dan arahnya sehingga menghasilkan bidang ODE dan PGF.

2. Gambarkan lokasi ketinggian 300 m pada garis OE dengan cara membuat garis tegak lurus OD berjarak 100 m (r) yang merupakan beda tinggi O dan P, yaitu di Q. Proyeksikan Q pada OD sehingga diperoleh Q'. Titik Q' merupakan proyeksi Q pada bidang horisontal.

(9)

3. Hubungkan titik P dan Q'. PQ' merupakan proyeksi horisontal jurus bidang ABFE pada ketinggian 300 m.

4. Melalui O buat garis tegak lurus PQ' sehingga memotong di V.

5. Ukur VW pada garis PQ' sepanjang d. Sudut VOW merupakan kemiringan sebenarnya dari bidang ABFE.

6. Jadi kedudukan bidang tersebut adalah N Z0 E / α0.

OD = N X° E PG = N Y° E

O dan P : titik pengukuran ABFE : struktur bidang

(a)

(10)

Cara II:

Prinsip yang dipakai adalah menggunakan bidang proyeksi sebagai referensi di atas titik yang paling tinggi. Penyelesaian lihat gambar II.5(a) dan II.5(b). Urutan pengerjaannya sebagai berikut:

1. Plotkan titik O dan P. Melalui titik O dan P ini buat kedudukan arah

penampang pengukuran, yaitu N X0 E pada O dan N Y0 E pada P.

Kedua garis perpanjangan bertemu di Z.

2. Dari O buat garis tegak lurus ZO, lalu buat garis sejajar ZO berjarak h (h adalah jarak titik O dengan bidang proyeksi di atas O). Perpotongannya O' (letak titik pengukuran O yang sebenarnya). Demikian juga untuk titik P, buat garis tegaklurus ZP, buat garis sejajar ZP sehingga berpotongan di P' berjarak r (r adalah jarak titik P dengan bidang proyeksi = h + (tinggi O - tinggi P)).

3. Melalui O' buat garis yang menyudut sebesar dip (β2) terhadap garis

sejajar OZ yang melalui O'. Hati-hati cara mengeplot. Garis tersebut memotong garis OZ di titik A. Kerjakan dengan cara yang sama untuk

titik P, buat garis rnenyudut β2 melalui P' hingga memotong ZP di titik

B.

4. Hubungkan titik A dan B, yang merupakan jurus dari lapisan yang dicari.

5. Buat garis tegaklurus garis AB melalui Z, memotong di titik Q. Buat garis sejajar AB melalui O, Plot titik S pada garis tersebut yang berjarak h dari Q'. Hubungkan S dan Q. Maka sudut SQQ' adalah true dip yang dicari. Mencari true dip bisa juga dari P, dengan jarak titik dari P sebesar r.

(11)

(a)

(b)

(12)

Bab III  

Problema Tiga Titik dan Pola Penyebaran Singkapan 

III.1. Pengantar

Seringkali singkapan yang ada di daerah tropis dengan curah hujan tinggi tertutupi oleh soil yang tebal dan vegetasi yang lebat sehingga sulit untuk mendapatkan singkapan yang segar. Namun dari minimal tiga singkapan yang terpisah-pisah dengan ketinggian yang berbeda dapat dicari kedudukan perlapisan batuan. Metoda untuk mencari kedudukan lapisan dari batuan tersebut dikenal dengan metoda problema tiga titik. Metoda ini dapat juga digunakan untuk mencari kedudukan lapisan bawah permukaan dari data lubang bor, dengan syarat lapisan tersebut belum terganggu struktur, lihat gambar III.1.

Gambar III.1. Pengukuran tiga titik

III.2. Maksud dan Tujuan

Maksud : a. Menentukan kedudukan bidang dari tiga titik yang diketahui posisi dan ketinggiannya yang terletak pada bidang rata yang sama.

b. Menentukan penyebaran dari singkapan yang telah diketahui

kedudukannya dari satu titik.

(13)

Tujuan : a. Menentukan batas satuan batuan.

b. Menentukan ketebalan lapisan batuan yang dinilai ekonomis. c. Menentukan urutan lapisan batuan.

III.3. Problema Tiga Titik

Problema tiga titik dapat digunakan apabila data-data memenuhi syarat:

a. ketiga titik singkapan yang telah diketahui lokasi dan ketinggiannya terletak pada satu bidang,

b. bidang tersebut belum terpatahkan atau terlipat.

Cara yang digunakan untuk menentukan kedudukan bidang dengan metoda problema tiga titik ada tiga, yaitu:

1. cara proyeksi, 2. cara grafis I, 3. cara grafis II. Contoh:

Diketahui suatu lapisan batupasir yang kaya akan bijih tembaga tersingkap pada tiga titik pengamatan. Pada lokasi B yang berjarak 450 m dari titik A dengan arah

N2000E, dan titik C berjarak 400 m dengan arah N1500E dari titik A. Tentukan

arah jurus dan kemiringan lapisan batupasir tersebut. Ketinggian titik A = 175 meter, B = 50 meter , C = 100 meter. Skala 1:10.000.

III.3.1. Cara Proyeksi Penyelesaian:

Lihat gambar III.2. Urutan penyelesaian sebagai berikut:

1. Tentukan letak ketiga titik A, B dan C yang sudah diketahui.

2. Buat garis k yang berarah timur-barat (0 meter). Proyeksikan titik A, B, C pada k, diperoleh A’, B’ dan C’.

(14)

4. Buat garis l sejajar k melalui titik C” (titik yang berada diantara dua ketinggian) hingga berpotongan A”B” di titik D”, kemudian proyeksikan balik titik D” ini ke garis AB sehingga didapat D.

5. Hubungkan titik D dan C sebagai garis DC, yang merupakan jurus perlapisan. Arah dari jurus ini belum diketahui. Untuk mengetahui dengan memperhatikan ketinggian relatifnya.

6. Buat garis tegak lurus DC sebagai garis m dengan ketinggian 175 meter (titik tertinggi).

7. Pada garis DC buat titik C’’’ dengan jarak sama dengan ketinggian A dikurangi ketinggian C.

8. Buat melalui B sejajar jurus (DC) dan buat titik B’’’ dengan jarak sama dengan ketinggian A dikurangi ketinggian B.

9. Hubungkan titik C’’’ dan B’’’ hingga berpotongan dengan garis m di A’’’. 10. Sudut yang dibentuk antara garis tersebut dengan garis m, merupakan sudut

kemiringan lapisan batuan (dip = α).

11. Maka kedudukan lapisan batuan Nβ0E/α0.

(15)

III.3.2. Cara Grafis I Penyelesaian:

Lihat gambar III.3. Urutan penyelesaian sebagai berikut: 1. Plot ketiga titik A, B dan C.

2. Tarik garis sembarang melalui A (tertinggi) sebagai garis t. Jarak ketinggian sesuai skala.

3. Tarik garis melalui D (ketinggian 50 m) dan B (garis DB).

4. Sejajar garis DB buat garis yang melalui ketinggian 100 m dan berpotongan dengan garis AB di titik F. Garis yang menghubungkan C dan F sebagai garis CF, yang merupakan jurus perlapisan.

5. Buat garis tegak lurus CF (jurus) sebagai garis m dengan ketinggian 175 m (tertinggi).

6. Pada garis CF buat titik C’ dengan jarak = ketinggian A dikurangi ketinggian C.

7. Buat garis sejajar CF melalui B dan buat titik B’ dengan jarak = ketinggian (A-B).

8. Hubungkan titik B’ dan C’. Garis B’C’ ini akan berpotongan dengan garis m di A’.

9. Sudut yang dibentuk antara garis B’C’ dengan garis m, merupakan kemiringan lapisan batuan (α).

(16)

III.3.3. Cara Grafis II Penyelesaian:

Lihat gambar III.4. Urutan penyelesaian sebagai berikut: a. Plot lokasi ketiga titik.

b. Tentukan D dengan menggunakan rumus perbandingan jarak: ketinggian A - ketinggian B _ jarak AB

ketinggian C - ketinggian B jarak BD

c. Titik D mempunyai ketinggian yang sama dengan C. Garis yang menghubungkan kedua titik tersebut adalah jurus perlapisan.

d. Buat garis tegak lurus DC sebagai garis m dengan ketinggian 175 m (tertinggi).

e. Pada garis DC buat titik C’ dengan jarak dari garis m sebesar selisih ketinggian A dan C.

f. Buat garis sejajar DC (jurus) melalui A dan berpotongan dengan garis m di titik A’.

g. Hubungkan titik A’ dan C’ sebagai garis A’C’. Sudut yang dibentuk oleh garis A’C’ dengan garis m merupakan kemiringan lapisan batuan.

(17)

III.4. Pola Penyebaran Singkapan

Untuk membuat pola penyebaran singkapan, metoda yang digunakan kebalikan dari metode problema tiga titik, yaitu dari mengetahui kedudukan lapisan batuan yang digabungkan dengan topografi dapat dicari penyebaran singkapannya. Pola penyebaran singkapan tersebut tergantung kepada:

1. tebal lapisan 2. topografi

3. besar kemiringan lapisan batuan 4. bentuk struktur lipatan.

Sedangkan topografi itu sendiri dikontrol oleh batuan penyusun, struktur geologi dan proses-proses geomorfik.

Bila setiap singkapan batuan yang sama dihubungkan dengan yang lain, dan batas satuan digambarkan pada peta topografi maka akan terlihat suatu bentuk penyebaran batuan. Bentuk penyebaran tersebut dikenal dengan pola singkapan. Hubungan antara kedudukan lapisan batuan, penyebaran singkapan dan topografi dirumuskan dalam suatu aturan tertentu yang lebih dikenal dengan hukum V, lihat gambar III.5.

Pola penyebaran singkapan dapat digambarkan dalam peta topografi apabila: 1. diketahui letak titik singkapan pada peta topografi

2. diketahui jurus dan kemiringan batuan 3. ada peta topografi (garis tinggi)

4. singkapan dengan jurus dan kemiringan yang tetap, atau dengan kata lain belum terganggu struktur patahan atau lipatan.

III.4. 1. Metode Pembuatan Pola Penyebaran Singkapan Contoh:

Di lokasi X tersingkap batas batulempung dengan batugamping dengan

kedudukan N300E/200. Batugamping di atas batulempung. Peta topografi dan

posisi X diketahui. Penyelesaian:

Lihat gambar III.6. Urutan penyelesaian sebagai berikut:

(18)

Gambar III.5. Pola penyebaran singkapan batuan berdasarkan topografi dan kemiringan lapisan

batuan (hukum V) (Ragan, 1973). (a) lapisan horisontal, (b) lapisan miring ke arah hulu lembah, (c) lapisan tegak, (d) lapisan miring ke arah hilir lembah, (e) lapisan dan lembah memiliki kemiringan yang sama, (f) lapisan miring ke arah hilir lembah dengan sudut yang lebih kecil daripada kemiringan lembah (kemiringan lapisan < kemiringan lembah).

b. Buat garis tegak lurus SS’ sebagai garis AB dan berpotongan di C (ketinggian 800 meter).

c. Buat garis melalui C dan menyudut terhadap garis AB dengan sudut sebesar

kemiringannya (dip = 200), buat garis CE.

d. Pada garis SS’ buat sekala sesuai dengan ketinggian mulai dari titik C, ke arah luar semakin kecil, sesuai dengan sekala peta.

(19)

e. Buat garis melalui titik-titik ketinggian tersebut sejajar dengan garis AB dan berpotongan dengan garis CE pada titik-titik tertentu.

f. Dari titik tersebut buat garis sejajar jurus lapisan hingga berpotorigan dengan garis kontur.

g. Buat titik perpotongan garis tersebut dengan kontur yang mempunyai ketinggian yang sama sebagai titik sama tinggi.

h. Hubungkan titik-titik tersebut dari masing-masing ketinggian membentuk pola penyebaran singkapan.

Gambar III.6. Mencari pola singkapan (Billings, 1977). Diketahui kedudukan lapisan batuan di X

adalah N900E/200. Pola sebaran singkapan yang diharapkan (tanpa adanya gangguan

(20)

Bab IV 

Garis dan Perpotongan Bidang 

IV.1. Definisi-definisi

• Garis: elemen geometri yang ditarik dari sebuah titik yang bergerak dan panjangnya hanya sepanjang jejak dan titik tersebut. Struktur garis tersebut bisa berupa garis lurus, garis lengkung maupun garis patah.

• Plunge: sudut vertikal antara sebuah garis dengan proyeksi garis tersebut pada bidang horisontal.

• Trend: jurus dari bidang vertikal yang melalui garis dan menunjukkan arah penunjaman garis tersebut.

• Pitch: sudut antara garis dengan jurus dari bidang yang memuat garis tersebut.

Gambar IV.1. Beberapa istilah struktur garis.

IV.2. Menentukan Plunge

Trend dan plunge didefinisikan sebagai kedudukan suatu garis dalam dimensi

ruang. Kedudukan ini dinyatakan dengan arah dan besaran sudut dari garis tersebut, sehingga simbol dari suatu garis mengandung tiga elemen, yaitu:

a. garis trend

b. arah mata panah yang menunjukkan arah penunjaman c. nilai penunjaman.

(21)

Contoh: Penggambaran struktur garis dengan kedudukan 300, N900E (lihat gambar IV.2).

Gambar IV.2. Penggambaran struktur garis 300, N900E.

Contoh Soal:

Tentukan kedudukan suatu garis potong antara bidang N3200E/400 dan bidang

N2500E/600.

Penyelesaian:

Lihat gambar IV.3. Urutan penyelesaian sebagai berikut:

Gambar IV.3. Menentukan plunge (Ragan, 1973; dengan modifikasi). 1. Plot jurus dan kemiringan bidang. Perpotongan jurus di titik O.

2. Putar garis yang tegak lurus jurus bidang 1 (FL 1) dan gunakan sudut kemiringan bidang untuk menentukan titik A pada kedalaman tertentu, misal

(22)

3. Hal yang sama dilakukan untuk garis yang tegaklurus jurus bidang 2 (FL 2), didapatkan titik B.

4. Proyeksikan A sejajar jurus bidang 1 dan B sejajar jurus bidang 2, berpotongan di C. DC adalah gambaran garis perpotongan pada peta. DC sebagai garis putar, plot jarak yang sama yaitu d untuk mendapatkan titik D pada garis persekutuan. Sudut lancip COD adalah plunge.

IV. 3. Menentukan pitch

Besar dari pitch antara 00 hingga 900, dinyatakan pada bidang/arah perlapisan

yang bersudut lancip. Sebenarnya pitch di lapangan dapat diukur langsung dengan menggunakan busur derajat, dengan catatan bidang tersebut tersingkap baik. Kenyataannya kadang-kadang sulit untuk mendapatkan bidang yang baik di lapangan, sehingga perlu dilakukan perhitungan.

Contoh soal:

Suatu garis menunjam 400, N3150E pada bidang N2700E/500. Hitung pitch garis

tersebut. Penyelesaian:

Lihat gambar IV.4. Cara mengerjakan sebagai berikut:

1. Plot jurus dan kemiringan bidang dan juga trend dari garis tersebut. Perpotongan di O.

2. Buat garis FL.1 tegak lurus jurus bidang. Pada sayatan vertikal melalui FL.1 plot besarnya kemiringan, dan plot titik A dengan kedalaman tertentu, misal d. 3. Proyeksikan titik A kembali pada peta yang menghasilkan titik B, kemudian

tarik garis sejajar jurus melalui B sehingga berpotongan dengan trend di titik C.

4. Melalui titik C buat garis tegak lurus FL.2, kemudian putar bidang miring (DA) menjadi horisontal sepanjang garis FL.2, dengan pusat putaran titik D. Proyeksikan ke peta, sehingga didapatkan titik E. Sudut DOE adalah pitch.

(23)

Gambar IV.4. Menentukan pitch (Ragan, 1973; dengan modifikasi). (a) Diagram blok, (b) Penyelesaian.

IV.4. Apperent plunge

Apparent plunge atau kemiringan semu adalah besarnya sudut penunjaman

struktur garis yang diukur tidak dengan garis proyeksinya pada bidanq horisontal.

Apparent plunge selalu lebih besar dari true plunge tetapi kurang dari atau sama dengan

900.

Kasus ini banyak dipakai dalarn pemboran miring dimana sayatan batuan yang dipenetrasi harus diperlihatkan dalam sayatan vertikal.

Contoh soal:

Gambar kedudukan lubang bor miring 300, N530E pada arah sayatan barat-timur.

(24)

1. Plot trend dan arah sayatan. Sayatan tersebut hendaknya memuat titik O yang merupakan titik permukaan dari garis yang menunjam. Jika tidak maka titik O harus diproyeksikan ke sayatan.

2. Gunakan garis trend sebagai FL.1, gambar sayatan vertikal dengan menunjukkan true plunge dan pada kedalaman tertentu, misal d, tentukan titik W.

3. Proyeksikan kembali titik W ke peta, menghasilkan titik X, dan proyeksikan kembali ke garis sayatan menghasilkan titik Y.

4. Tentukan kedalaman tertentu, misal d, dari FL.2 di bawah titik Y, didapatkan titik Z. Sudut lancip YOZ adalah apparent plunge.

(25)

IV.5. Perpotongan dua bidang Contoh soal:

Zona shear diukur pada titik O elevasi 200 m dengan kedudukan N750E/650NW.

Lapisan batugamping diukur pada titik P elevasi 100 m dengan kedudukan

N1500E/450SW. Tentukan kedudukan garis potongnya.

Penyelesaian:

Lihat gambar IV.6. Kerjakan dengan urutan sebagai berikut:

Gambar IV.6. Proyeksi perpotongan bidang.

(26)

3. Buat garis melalui O sebesar 650 (dip shear) dari FL.1, juga buat garis melalui

P sebesar 450 (dip batugamping) dari FL.2. Garis-garis tersebut searah dengan

arah kemiringan bidang (jangan terbalik).

4. Dengan memperhatikan skala buat garis sejajar FL.1 berjarak 200 m (ketinggian O) sehingga memotong garis (hasil langkah 3) di O', buat garis sejajar jurus shear melalui O’ (disebut garis OO’’). Demikian juga buat garis sejajar FL.2 berjarak 100 m dari P sehingga memotong garis hasil langkah 3 di P’ dan melalui titik ini buat garis sejajar jurus batugamping (garis P’P’’). 5. Buat garis sejajar FL.1 pada ketinggian 100 m hingga memotong garis OO’ di

H, lalu tarik sejajar jurus shear melalui titik H (garis HH’). Garis OO’’ dan P’’P’ berpotongan di T. Garis HH’ dan jurus batugamping berpotongan di A. 6. Hubungkan titik T dan A, perpanjangannya memotong garis jurus shear di I.

Maka garis TAI tersebut adalah trend dari perpotongan kedua bidang.

7. Melalui T buat garis tegaklurus TAI sepanjang 200 m (beda tinggi T dan I) pada titik T’, kemudian hubungkan dengan I dan dengan T’, maka sudut TIT' adalah plunge.

(27)

Gambar IV.7. Teknik mengukur trend dan plunge suatu struktur garis L1 (McClay, 1987): (a) Tempatkan tepi clipboard di sepanjang struktur garis L1; (b) Tempelkan kompas pada

sisi clipboard dan tegakkan clipboard hingga posisi vertikal (dapat dicek dengan posisi kompas yang betul-betul horisontal), kemudian baca azimuth yang ditunjukkan oleh

(a)

(b)

(28)

Bab V 

Ketebalan dan Kedalaman 

V.I. Batasan Pengertian

Ketebalan adalah jarak terpendek yang diukur antara dua bidang sejajar yang merupakan batas antara dua lapisan. Kedalaman adalah jarak vertikal dari suatu ketinggian tertentu terhadap suatu titik (misalnya muka air laut) terhadap suatu titik, garis atau bidang. Lihat gambar V.I. Pengukuran ketebalan dan kedalaman dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu pengukuran secara langsung dan pengukuran secara tidak langsung.

Pengukuran kedalaman dan ketebalan secara langsung dilakukan pada daerah yang relatif datar dengan kedudukan perlapisan hampir tegak, atau pada tebing terjal dengan lapisan relatif mendatar. Dengan kata lain pengukuran ketebalan secara langsung diterapkan bila topografi tegaklurus dengan kemiringan batuan.

Pengukuran ketebalan dan kedalaman secara tidak langsung dilakukan pada kondisi medan tertentu, sehingga pengukuran secara langsung sulit dilaksanakan. Perhitungan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:

1. Cara matematis 2. Cara grafis.

Ketebalan dapat juga dihitung dari peta geologi, yaitu dengan mengukur dua komponen jarak lereng yang diukur tegak lurus dengan jurus umum lapisan.

Gambar V.1. Ketebalan lapisan batuan (Billings, 1977). Contoh diagram blok di atas menunjukkan

perlapisan batupasir (diarsir) diantara batuserpih (tidak diarsir). t = ketebalan batupasir; d = kedalaman bagian atas batupasir pada titik a; d' = kedalaman bagian atas batupasir pada

(29)

V.2. Pengukuran Ketebalan A. Cara Matematis

Perhitungan ketebalan cara matematis menggunakan ilmu ukur sudut. Perhitungan tergantung besar dan arah dari kemiringan lereng (slope) dan kemiringan lapisan (dip).

1. Medan datar, lapisan miring (gambar V. 2). a. Pengukuran tegak lurus terhadap jurus lapisan.

Bila ketebalan dinotasikan t, sedangkan lebar singkapan yang tegak lurus jurus dinotasikan w, maka:

t = w . sin δ δ = besar dip lapisan. b. Pengukuran menyudut terhadap jurus lapisan.

w = l . sin γ γ = sudut antara lintasan dengan jurus lapisan.

t = w . sin δ l = lebar singkapan terukur.

Gambar V.2. Medan datar, lapisan miring. w lebar singkapan tegak lurus jurus; l lebar

singkapan menyudut jurus.

2. Medan berlereng (sloping) (gambar V.3).

(30)

1. Dip (δ) lebih besar daripada slope (σ) (gambar V.3.a): t = w . sin (δ - σ)

2. Dip (δ) lebih kecil daripada slope (σ) (gambar V.3.b): t = w . sin (σ - δ)

b. Pengukuran tegak lurus jurus lapisan dan kemiringan lapisan

berlawanan dengan slope.

1. Dip (δ) lebih kecil daripada slope (σ) (gambar V.3.c): t = w . sin (δ + σ)

2. Dip (δ) lebih besar daripada slope (σ) (gambar V.3.d): t = w . sin (180 - δ - σ) atau

t = w . cos (90 - δ - σ)

3. Lapisan horisontal (gambar V.3.e): t = w . sin σ

4. Lapisan vertikal (gambar V.3.f): t = w . cos σ atau t = w . sin (90 - σ)

c. Pengukuran tidak tegak lurus jurus dan dip berlawanan dengan slope: t = s ((sin γ . cos σ . sin δ) + (sin σ . cos δ)) atau

t = s ((cos γ . sin δ) + (sin σ . cos δ))

s = jarak singkapan yang tidak tegak lurus, diukur pada lereng (jarak sesungguhnya di lapangan, bukan jarak pada peta)

d. Pengukuran tidak tegak lurus jurus dan dip searah dengan slope: t = s ((sin γ . cos σ . sin δ) - (sin σ . cos δ))

(31)

Gambar V.3. Pengukuran medan miring, lapisan bervariasi (Ragan, 1973).

B. Cara Grafis

Perhitungan ketebalan secara grafis menggunakan alignment diagram, lihat gambar V.4 dan V.5.

Diagram V.4 digunakan bila pengukuran lebar singkapan tegak lurus jurus lapisan dan pengukuran pada medan yang datar. Diagram ini dapat juga digunakan untuk mencari kemiringan lapisan, bila lebar singkapan dan ketebalan diketahui.

Contoh penggunaan diagram V.4:

Lebar suatu singkapan pada medan yang datar adalah 500 m.

Kemiringan lapisan (dip) 700, diukur tegak lurus jurus perlapisan. Cari

ketebalan lapisan tersebut. Penyelesaian:

• Plot 500 pada skala lebar singkapan (skala paling kiri).

• Plot 700 diplot pada skala dip (skala paling kanan).

• Hubungkan kedua angka tersebut dihubungkan dan akan memotong garis skala ketebalan yang terletak di tengah. Di situ terbaca angka

(32)

Gambar V.4. Palmer alignment diagram untuk menentukan ketebalan lapisan batuan (Palmer, 1918).

Diagram ini hanya digunakan untuk ketebalan singkapan yang diukur tegak lurus jurus perlapisan. Jika permukaan tanah horisontal, lebar singkapan 500 m dan dip 700, maka

ketebalan lapisannya adalah 470 m (ditunjukkan oleh garis merah). Jika permukaan tanah horisontal, lebar singkapan 600 m, dip 200, maka ketebalannya adalah 205 m (ditunjukkan

oleh garis biru).

Diagram V.4 tersebut juga dapat digunakan bila permukaan tanah memiliki kemiringan, dengan syarat lebar singkapan diukur tegak lurus terhadap jurus perlapisan. Tetapi lebar singkapan pada diagram adalah jarak lereng dan dip (kemiringan lapisan) ditambah (atau dikurang) sudut lereng.

(33)

Jika kemiringan lapisan memiliki arah yang berlawanan terhadap kemiringan lereng, kemiringan lereng ditambahkan terhadap kemiringan lapisan (dip + slope). Jika kemiringan lapisan memiliki arah yang sama dengan kemiringan lereng, maka kemiringan lereng dikurangkan dari kemiringan lapisan (dip – slope).

Diagram V.5 mempunyai fungsi yang sama dengan diagram V.4, hanya diagram ini bisa digunakan untuk pengukuran pada topografi yang mempunyai kemiringan (slope) dan pengukuran tidak tegak lurus jurus. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita harus membedakan apakah kemiringan lapisan searah dengan slope atau berlawanan. Bila searah maka besar sudut antara jalur pengukuran dan jurus diplot di bagian bawah pada skala azimuth lintasan dan sebaliknya.

Contoh:

Diketahui kemiringan lapisan (dip) yang searah kemiringan lereng

(slope), sudut antara jurus dan arah pengukuran 600, dip 450, slope 250

dan lebar singkapan 1000 m. Cari ketebalan lapisan tersebut. Penyelesaian dengan diagram V.5:

• Plot 600 pada skala azimuth lintasan bagian bawah.

• Sudut 450 diplot pada skala sudut dip, kemudian cari sudut 250

diplot pada skala sudut lereng. Selanjutnya cari perpotongan kedua sudut tersebut pada jaring-jaring segitiga sesuai lingkaran derajat, misalkan titik x.

• Hubungkan x dengan angka 600 (dari skala azimuth of traverse),

sehingga garis memotong garis t’ scale pada titik y. Titik y ini terletak di atas angka 0 pada skala t’

• Plot nilai 1000 pada skala rentang lereng bagian atas. Hubungkan titik y dengan angka 1000 tersebut dan akan memotong skala ketebalan lapisan.

• Karena titik y dan 1000 terletak pada bagian atas maka pembacaan ketebalan mulai dari atas. Angka 0 bagian bawah dibaca 2000. Jadi ketebalan lapisan yang dicari adalah 256 m.

(34)

Gambar V.5. Mertie alignment diagram untuk menentukan ketebalan lapisan batuan terhadap suatu

permukaan atau horison yang mempunyai kemiringan, diukur tidak tegak lurus jurus (Mertie, 1922). Dalam membaca skala paling kanan, yaitu ketebalan lapisan, harap diperhatikan urutan angkanya. Bila skala tersebut dibaca dari bawah, nilai-nilai ketebalan lapisan akan bertambah ke arah atas dari angka 1000; angka 900 di atas 1000 harus dibaca sebagai 1100, angka 800 di atas 1000 harus dibaca sebagai 1200, demikian seterusnya hingga angka 0 paling atas dibaca sebagai 2000. Sebaliknya bila skala tersebut dibaca dari atas, maka nilai-nilai ketebalan lapisan akan bertambah ke arah bawah dari angka 1000; angka 900 di bawah 1000 dibaca sebagai 1100, dan seterusnya hingga angka 0 paling bawah dibaca sebagai 2000.

(35)

V.3. Pengukuran Kedalaman A. Cara Matematis

1. Pengukuran tegak lurus jurus perlapisan, topografi datar.

2. Pengukuran tegak lurus jurus perlapisan, topografi miring: a. dip searah dengan slope:

d = s . (cos σ . tg δ – sin σ)

σ = kemiringan lereng (slope)

b. dip berlawanan dengan slope: ' d = s . (cos σ . tg δ + sin σ)

3. Pengukuran tidak tegak lurus jurus lapisan: a. dip searah dengan slope:

d = s . (cos σ . tg δ . sin γ – sin σ)

γ = sudut antara lintasan pengukuran dengan jurus lapisan b. dip berlawanan dengan slope:

d = s . (cos σ . tg δ . sin γ + sin σ) B. Cara Grafis

Pengukuran kedalaman cara grafis menggunakan aligment diagram, seperti halnya pengukuran ketebalan cara grafis. Prosedur pencariannya juga sama. Perbedaannya hanya pada skala yang digunakan. Diagram V.6 digunakan bila pengukuran horisontal dan tegak lurus jurus. Apabila tidak

d = s . tg δ d = kedalaman

s = jarak titik pengukuran terhadap singkapan perlapisan

(36)

Gambar V.6. Palmer alignment diagram untuk menentukan kedalaman lapisan batuan (Palmer, 1918).

Diagram ini hanya digunakan untuk jarak terhadap singkapan (diukur dari titik yang ingin diketahui kedalaman lapisan batuannya) pada bidang horisontal yang diukur tegak lurus jurus perlapisan. Jika permukaan tanah horisontal, jarak terhadap singkapan 600 m dan dip 200, maka kedalaman lapisan pada titik tersebut adalah 220 m.

Diagram V.6 tersebut juga dapat digunakan bila permukaan tanah memiliki kemiringan, dengan syarat jarak lereng pengukuran diukur tegak lurus terhadap jurus perlapisan. Dip (kemiringan lapisan) ditambah (atau dikurang) slope angle (sudut lereng). Jika kemiringan lapisan memiliki arah yang berlawanan terhadap kemiringan lereng, kemiringan lereng

(37)

ditambahkan terhadap kemiringan lapisan (dip + slope). Jika kemiringan lapisan memiliki arah yang sama dengan kemiringan lereng, maka kemiringan lereng dikurangkan dari kemiringan lapisan (dip – slope).

Gambar V.7. Mertie alignment diagram untuk menentukan kedalaman lapisan batuan terhadap suatu

permukaan atau horison yang mempunyai kemiringan, diukur tidak tegak lurus jurus (Mertie, 1922). Diketahui kemiringan lapisan (dip) yang berlawanan arah kemiringan

(38)

Bab VI 

Analisis Kekar 

VI.1. Pengertian

Kekar (joint) adalah rekahan pada batuan yang belum mengalami pergeseran. Kekar dapat terbentuk sebagai:

1. Kekar pengkerutan (shrinkage joint), disebabkan oleh gaya pengkerutan yang timbul karena proses pendinginan, lazim terjadi pada batuan beku yang akan menghasilkan kekar tiang (columnar joint) (Gambar VI.1a), atau proses pengeringan yang biasanya terjadi pada batuan sedimen dan menghasilkan bentuk retakan poligonal.

2. Kekar lembaran (sheet joint), yaitu bidang kekar yang kira-kira sejajar dengan permukaan tanah dan terbentuk akibat penghilangan beban batuan karena erosi (Gambar VI.1b).

Gambar VI.1. a. Kekar tiang; b. kekar lembaran [Hamblin & Christiansen, 1998].

3. Kekar tektonik (tectonic joint), terbentuk karena gaya tektonik, umumnya berupa bidang yang relatif lurus. Apabila gaya tektonik yang bekerja bersifat kompresif, akan terbentuk beberapa jenis kekar sebagaimana yang pernah diujikan di laboratorium oleh para peneliti, yaitu (Gambar VI.2):

a. Kekar gerus (shear joint): terbentuk relatif menyudut lancip terhadap arah gaya tekan, memiliki kecenderungan untuk bergerak menjadi sesar (Gambar VI.2a). b. Kekar ekstensi (extension joint): terbentuk sejajar terhadap arah gaya tekan

(Gambar VI.2b).

(39)

akibat penghilangan gaya tekan yaitu ketika sesaat setelah gaya tekan berhenti bekerja (Gambar VI.2c).

Gambar VI.2. Jenis dan pola kekar akibat gaya kompresi [Billings, 1972]. a. kekar gerus; b. kekar

ekstensi; c. kekar rilis. Tanda panah menunjukkan arah gaya tekan.

Secara geometris dan hubungannya terhadap perlapisan batuan, kekar tektonik dapat dibedakan menjadi (Gambar VI.3):

Gambar VI.3. Klasifikasi geometris kekar [Billings, 1972]. Garis hitam tebal adalah perlapisan batuan. ABCD dan GHI adalah dip joint; BDEF dan MNO adalah strike joint; JKL adalah bedding joint; PQR

dan STU adalah diagonal joint.

(40)

b. Strike joint: kekar yang jurusnya sejajar dengan arah jurus lapisan batuan. c. Bedding joint: kekar yang bidangnya sejajar dengan bidang perlapisan batuan. d. Diagonal joint: kekar yang jurusnya memotong miring terhadap jurus perlapisan

batuan.

VI.2. Analisis Kekar

Tujuan dari analisis kekar ini sebenarnya adalah untuk menafsirkan arah gaya tektonik yang bekerja, sehingga diharapkan dapat membantu interpretasi struktur sesar dan lipatan yang ada pada daerah penelitian. Analisis kekar dapat dikerjakan dengan tiga metoda, yaitu:

1. Histogram 2. Diagram kipas 3. Stereografis.

Dalam analisis kekar dengan histogram dan diagram kipas yang dianalisis hanyalah jurus dari kekar dengan mengabaikan besar dan arah kemiringan, sehingga analisis ini akan mendekati kebenaran apabila kekar-kekar yang dianalisis mempunyai

dip cukup besar atau mendekati 900. Gaya yang bekerja di anggap lateral. Karena arah

kemiringan kekar diabaikan, maka dalam perhitungan kekar yang mempunyai arah

N1800E dihitung sama dengan N00E, N2200E dihitung sama dengan N400E, N1150E

sama dengan N650W. Jadi semua pengukuran dihitung ke dalam interval N00E - N900E

dan N00W - N900W.

Prosedur Analisis:

Untuk analisis statistik, data yang diperkenankan umumnya 50 data, tetapi 30 data masih di perkenankan. Dalam analisis ini kekar gerus dan kekar tarik dipisahkan, karena gaya yang bekerja untuk kedua jenis kekar tersebut berbeda.

1. Buat tabulasi dari data pengukuran kekar berdasarkan jurus kekar ke dalam tabel (gambar VI.4). Buat interval 5 derajat. Hitung frekuensi dan prosentase masing-masing interval. Prosentase dihitung masing-masing-masing-masing interval terhadap seluruh pengukuran.

2. Membuat histogram (gambar VI.5).

(41)

b. Sumbu datar terdiri dari N 900 W - N 00 E - N 900 E. Buat skala sesuai interval (5 derajat).

c. Buat balok masing interval sesuai dengan besar prosentase masing-masing interval.

3. Membuat diagram kipas (gambar VI.6).

a. Buat setengah lingkaran bagian atas dengan jari-jari menunjukkan besar prosentase terbesar dari interval yang ada (misal 24%).

b. Pada sumbu datar plot prosentase. Dari pusat 0%, jari-jari terluar = prosentase terbesar (24%).

c. Busur lingkaran dibagi menurut interval (jika interval 5 derajat maka dibagi

menjadi 18 segmen). Plot jurus kekar sesuai interval (N 900 W, 85, …, 5, 0, 5,

…, 85, N 900 E).

d. Buat busur lingkaran dengan jari-jari = prosentase masing-masing interval mulai

dari batas bawah interval hingga batas atas interval. Misal interval N 00 E - N 50

W prosentase = 20%, maka buat busur lingkaran dari sumbu tegak (N 00 E)

hingga N 50 W dengan jari-jari skala 20%.

4. Interpretasi.

Arah gaya pembentuk kekar membagi dua sudut lancip yang dibentuk oleh kedua kekar.

a. Pada diagram kipas arah gaya pembentuk kekar adalah besarnya sudut (jurus kekar) yang terbaca pada busur lingkaran, yang diperoleh dengan membagi dua dari dua maksima (interval dengan prosentase terbesar) yang berjarak kurang dari 90 derajat.

b. Pada histogram, arah gaya = sudut yang terbaca pada sumbu datar yang merupakan titik tengah antara dua maksima yang berjarak kurang dari 90 derajat.

c. Bila ingin mencari arah sumbu lipatan, tambahkan 90 derajat dari arah gaya, searah atau berlawanan jarum jam.

(42)

Gambar VI.4. Bentuk tabel perhitungan kekar.

Gambar VI.5. Histogram. Maksima N2,50W dan N62,50E. Gaya utama N300E.

(43)

Gambar VI.7. Pola kekar yang berkembang pada suatu lipatan (McClay, 1987).

(44)

Bab VII 

Sesar 

VII.1. Pengertian

Dalam analisis sesar dapat dikerjakan dengan metode grafis maupun metode stereografis. Dengan metode grafis dapat dianalisis kedudukan suatu titik, garis dan bidang serta arah dan besar pergeserannya. Dengan stereografis jarak tidak bisa ditentukan.

Beberapa istilah yang dipakai dalam analisis sesar cara grafis antara lain:

• Sesar (fault): adalah bidang rekahan atau zona rekahan pada batuan yang sudah mengalami pergeseran.

• Jurus sesar (strike of fault): arah garis perpotongan bidang sesar dengan bidang horisontal, biasanya diukur dari arah utara.

• Kemiringan sesar (dip of fault): adalah sudut yang dibentuk antara bidang sesar dengan bidang horisontal, diukur tegak lurus strike.

• Net slip : pergeseran relatif suatu titik yang semula berimpit pada bidang sesar akibat adanya sesar.

• Rake : sudut yang dibentuk oleh net slip dengan strike slip (pergeseran horisontal searah jurus) pada bidang sesar.

Beberapa istilah lain silahkan baca textbook. Keterangan bagian-bagian sesar lihat gambar VII.1 dan VII.2.

Gambar VII.1. Bagian-bagian sesar.

Pengenalan sesar di lapangan biasanya cukup sulit. Beberapa kenampakan yang dapat digunakan sebagai penunjuk adanya sesar antara lain:

(45)

b. Adanya perulangan lapisan atau hilangnya lapisan batuan.

c. Kenampakan khas pada bidang sesar, seperti cermin sesar, gores-garis, dll.

d. Kenampakan khas pada zona sesar, seperti seretan (drag), breksi sesar, horses atau

slices, milonit, dll.

e. Silisifikasi dan mineralisasi sepanjang zona sesar. f. Perbedaan fasies sedimen.

g. Petunjuk fisiografi, seperti gawir (scarp), scarplets (piedmont scarp), triangular

facet, terpotongnya bagian depan rangkaian pegunungan struktural.

Gambar VII.2. Terminologi pada daerah sesar.

VII.2. Klasifikasi Sesar

Klasifikasi sesar dapat dibedakan berdasarkan geometri dan genesanya. 1. Klasifikasi geometris

a. Berdasarkan rake dari net slip, dibedakan menjadi:

• strike slip fault (rake = 00)

• diagonal slip fault (00 < rake < 900)

• dip slip fault (rake = 900).

b. Berdasarkan kedudukan relatif bidang sesar terhadap bidang perlapisan atau struktur regional:

• strike fault (jurus sesar sejajar jurus lapisan) • bedding fault (sesar sejajar lapisan)

• dip fault (jurus sesar tegak lurus jurus lapisan)

(46)

• transversal fault (menyudut struktur regional). c. Berdasarkan besar sudut bidang sesar:

• high angle fault (lebih dari 45 derajat) • low angle fault (kurang dari 45 derajat). d. Berdasarkan pergerakan semu:

• normal fault (sesar turun) • reverse fault (sesar naik). e. Berdasarkan pola sesar:

• paralel fault (sesar saling sejajar)

• en echelon fault (aesar saling overlap, sejajar) • peripheral fault (sesar melingkar, konsentris) • radier fault (sesar menyebar dari satu pusat).

(47)

2. Klasifikasi genetis

Berdasarkan orientasi pola tegasan yang utama (Anderson, 1951) sesar dapat dibedakan menjadi:

a. sesar anjak (thrust fault) bila tegasan maksimum dan menengah mendatar, b. sesar normal bila tegasan utama vertikal,

c. strike slip fault atau wrench fault (high dip, transverse to regional structure) bila tegasan utama maksimum dan minimum mendatar, terdiri atas:

• sinistral atau left-handed strike-slip fault • dextral atau right-handed strike-slip fault.

Istilah thrust fault menurut Billings (1977) digunakan untuk sesar naik

dengan dip sesar kurang dari 450, bila lebih dari 450 disebut reverse fault. Istilah

overthrust dipakai untuk sesar naik dengan dip landai atau hampir datar.

VII.3. Analisis Sesar Cara Grafis

Dalam analisis sesar cara grafis ini memakai proyeksi orthogonal dari perpotongan bidang, sehingga untuk mengerjakannya harus memahami proyeksi (baca acara garis dan perpotongan bidang). Bidang-bidang yang dimaksud dalam analisis ini antara lain bidang sesar, bidang lapisan batuan, urat, dike, sill, dll. Syarat agar dapat dianalisis ada tiga bidang berpotongan, satu diantaranya adalah bidang sesar.

Sesar yang dianalisis ada tiga jenis, yaitu:

a. sesar tegak (dip = 900)

b. sesar miring (dip tidak sama dengan 00 atau 900)

Prinsip penyelesaian problema sesar ini adalah dengan mengetahui pergeseran titik pada blok yang satu dengan yang lain. Titik tersebut diperoleh dari perpotongan bidang sesar dan kedua urat pada masing-masing blok. Dengan mengetahui pergeseran titik tersebut maka pergerakan sesar dapat diketahui.

(48)

1. Sesar Tegak Contoh soal:

Sesar tegak pada daerah yang tidak berrelief (datar) dengan jurus N900E. Dua

urat kuarsa a dan b terpotong oleh sesar tersebut. Urat a kedudukan

N450W/300NE, pada blok utara tersingkap di A, pada blok selatan tersingkap

di A’. Kedudukan urat b adalah N300E/400NW yang tersingkap pada blok

utara dan blok selatan masing-masing di B dan B’. Letak A, A’, B, B’ lihat gambar.

Tentukan: a. net slip

b. besar sudut penunjaman (plunge) net slip c. proyeksi horisontal net slip (trend dari net slip) d. pergerakan relatif kedua blok.

Penyelesaian:

Untuk menyelesaiakan soal di atas, dibuat bidang referensi sejajar bidang proyeksi (datar) berjarak h (sembarang) di bawahnya. Bidang tersebut akan memotong bidang sesar dan kedua urat. Langkah-langkah penyelesaiannya sebagai berikut:

1. Plotkan garis sesar FF (N900E) dan posisi A, A’, B dan B’. Plotkan pula

kedua urat pada blok utara (AC dan BD) dan pada blok selatan (A’C’ dan B’D’).

2. Buat garis F’F’ sejajar FF (rebahan perpotongan bidang referensi dengan bidang sesar) berjarak h.

3. Proyeksikan perpotongan urat dengan referensi. Caranya untuk urat a pada blok selatan, buat garis EE’ tegak lurus A’C’ dan garis HH’ sejajar EE’ berjarak h. Buat garis EK sehingga sudut E’EK = dip urat a

= 300. Jangan salah, sudut diukur dari EE’ bukan dari A’C’. Garis EK

dan HH’ berpotongan. Melalui perpotongan ini tarik garis KL sejajar A’C’, sehingga diperoleh proyeksi perpotongan urat a dengan bidang referensi. Demikian juga urat b, dengan membuat garis GG’ tegak lurus

B’D’), II’ berjarak h dari GG’, GJ menyudut 400 terhadap GG’. Melalui

(49)

4. Mencari perpotongan urat dengan bidang sesar. Garis KL memotong garis sesar FF di L. Buat garis tegak lurus FF dari L memotong F’F’ di L'. Hubungkan A’ dan L’, maka garis tersebut adalah perpotongan urat a dengan bidang sesar. Dengan cara yang sama untuk urat b diperoleh garis B’N’ yang merupakan perpotongan vein b dengan bidang sesar.

5. Perpanjangan garis A’L’ dan B’M’ bertemu di titik N (titik perpotongan urat a, urat b dan bidang sesar di blok selatan). Perpotongan ketiga bidang pada blok utara karena kedua urat pada blok utara dan selatan sejajar, dapat dicari dengan membuat garis melalui A sejajar A’L’ dan melalui B sejajar B’M’ hingga berpotonqan di S. Hubungkan N dan S, maka NS adalah net slip.

6. Perpanjang garis NS akan memotong FF. Sudut lancip yang dibentuk FF dan NS = rake = plunge.

7. Perpotongan urat dari blok selatan berada relatif di atas perpotongan urat blok utara, sehingga dapat ditafsirkan bahwa blok selatan bergerak relatif naik terhadap blok utara. Lalu perpotongan urat dari blok selatan berada relatif di kiri perpotongan urat blok utara, sehingga dapat ditafsirkan bahwa blok selatan bergerak relatif ke kiri terhadap blok utara. Jadi blok selatan bergerak relatif naik ke kiri terhadap blok utara.

8. Proyeksi horisontal net slip (trend of net slip) berada pada garis sesar

mempunyai arah N900E.

Keterangan:

• Trend of net slip = N900E

• α : plunge = rake NS • NS : Net slip

• AS dan BS perpotongan urat a dan b dengan bidang sesar pada blok utara. • A'N dan B'N perpotongan urat a dan b dengan bidang pada blok selatan.

(50)

Gambar VII.4. Analisa sesar tegak

2. Sesar Miring

Prinsip sama dengan sesar tegak, hanya pada sesar miring perpotongan bidang sesar dengan urat selain direbahkan juga diproyeksikan.

(51)

Contoh soal:

Pada suatu daerah yang tidak berrelief di jumpai sesar N900E miring 400

derajat ke selatan. Ada dua urat kwarsa yang terpotong sesar. Urat pertama tersingkap pada blok utara di A’, pada blok selatan di A. Urat kedua tersingkap di blok utara di B’ dan di blok selatan di B. Kedudukan urat A

adalah N300E/350NE, sedangkan urat B adalah N2100E/600NW. Lapisan

batupasir kedudukan N1800E/450 tersingkap di X pada blok selatan terpotong

sesar. Tentukan: a. net slip b. plunge c. trend d. pergerakan relatif

e. posisi lapisan batupasir di blok utara pada sesar. Penyelesaian:

Langkah sama dengan sesar tegak, hanya bidang referensi yang berpotongan dengan bidang sesar tidak digambarkan secara langsung berjarak h.

1. Buat proyeksi perpotongan sesar dengan referensi. Caranya buat garis GG’ tegak lurus sesar dan JJ’ berjarak h dari GG’. Buat garis GK

sehingga GG’’K = dip sesar = 400. G’’K memotong JJ’ di K’. Tarik

garis K’O’ (proyeksi perpotongan sesar dan referensi). Buat busur lingkaran K’R dengan pusat G’’. Tarik garis RR’ (rebahan garis potong sesar dan referensi).

2. Buat perpotongan urat dan sesar. Tarik garis FF’ tegak lurus AC, buat II’ berjarak h dari FF’. Buat garis F’’M sehingga sudut F’F’’M = dip urat

pertama = 350, memotong di M’. Tarik garis M’Q (memotong OO’), buat

QQ’ tegak lurus OO’. Tarik garis AQ dan AQ’ maka AQ adalah proyeksi perpotongan sesar dan urat pertama, sedangkan AD’ adalah rebahannya.

3. Lakukan dengan cara yang sama untuk urat kedua, sehingga diperoleh perpotongan urat kedua dengan bidang sesar BP (proyeksinya) dan BP’ (rebahannya).

(52)

berpotongan di N dan N’. Hubungkan N dengan S dan N’ dengan S’. N’S’ adalah net slip, sedangkan NS adalah proyeksinya. Perpanjang N’S’ hingga memotong FF, di V, maka F’VS adalah rake.

5. Untuk mengetahui sudut penunjaman dibutuhkan panjang net slip (N’S’), dan panjang proyeksinya (NS). Buat garis sejajar FF' melalui N dan S memotong G’’K di U dan T. Dari U dan T diproyeksikan ke FF’ di U’ dan T’. Panjang U’T’ adalah sparasi vertikal net slip (throw). Dengan demikian dapat dibuat segitiga siku-siku dengan sisi miring = N’S’, sisi datar NS dan sisi tegak U’T’. Sudut penunjaman (plunge) adalah sudut S’NS (sudut antara net slip dengan proyeksinya).

6. Karena perpotongan urat dari blok selatan berada di bawah blok utara, maka pergerakan relatifnya adalah blok selatan relatif turun terhadap blok utara.

7. Untuk menentukan posisi lapisan batupasir X, caranya dibuat proyeksi perpotongan lapisan dengan sesar XX’ dan rebahannya XX’’. Melalui X buat garis sejajar N’S’ yang sama panjangnya ke arah atas, kemudian tarik sejajar rebahan perpotongan lapisan dan sesar XX’’ hingga memotong FF’ di Z (posisi lapisan batupasir pada blok utara). Melalui Z

buat garis N1800E ke arah utara (karena pada blok utara).

Keterangan:

• NS : proyeksi horizontal net slip

• N’S’ : rebahan net slip pada bidang proyeksi (horizontal)

• β : rake (900)

• α : plunge of net slip

(53)
(54)

Bab VIII  

Lipatan 

VIII.1. Pendahuluan

Lipatan adalah hasil perubahan bentuk atau volume dari suatu bahan yang ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang dalam bahan tersebut. Unsur bidang yang disertakan umumnya bidang perlapisan (Hansen, 1971, dalam Ragan, 1973, hal.50).

VIII.2. Bagian-bagian Lipatan (lihat gambar VIII.1 dan VIII.2)

• Limb (sayap) : bagian lipatan yang terletak down-dip dimulai dari lengkung maksimum suatu antiklin atau up-dip dimulai dari lengkung suatu sinklin.

• Hinge : titik pelengkungan maksimum pada lapisan yang terlipat.

• Crest : titik puncak tertinggi dari lipatan.

• Trough : titik dasar terendah dari lipatan.

• Core : pusat lipatan.

• Inflection : pertengahan antara dua pelengkungan maksimum.

• Axial line : garis khayal yang menghubungkan titik-titik pelengkungan

maksimum pada setiap permukaan lapisan. Disebut juga hinge

line.

• Axial surface : disebut juga hinge surface; bidang khayal yang memuat semua

axial line atau hinge line. Bidang ini pada beberapa lipatan dapat

merupakan bidang planar sehingga dinamakan axial plane.

• Crestal line : suatu garis khayal yang menghubungkan titik-titik tertinggi pada

setiap permukaan suatu antiklin.

• Crestal surface : bidang khayal yang memuat semua crestal line suatu antiklin.

• Trough line : adalah suatu garis khayal yang menghubungkan titik-titik

terendah pada suatu sinklin.

(55)

• Plunge : sudut penunjaman dari axial line yang diukur terhadap bidang horisontal. Sudut ini terletak pada bidang vertikal.

• Bearing : sudut horisontal yang dihitung terhadap arah tertentu dan

menyatakan arah penunjaman axial line.

• Pitch : sudut antara axial line dengan bidang atau garis horisontal yang

(56)

Gambar VIII.2. Bagian-bagian dari lipatan. AP = axial plane; a’b = sayap lipatan; c: puncak dari suatu

lapisan; c’ = puncak dari lapisan lain; cc’ = crestal plane; t = trough dari suatu lapisan;

t’ = trough dari lapisan lain; tt’ = trough plane (Billings, 1977).

VIII.3. Klasifikasi Lipatan

Untuk menamakan suatu lipatan harus sesuai dengan klasifikasi yang ada, tergantung dari dasar yang digunakan.

A. Klasifikasi Billings (1977): Disusun berdasarkan pada :

1. Bentuk penampang tegak, tegak lurus sumbu lipatan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah kedudukan dari bidang sumbu dan kedudukan dari sayap-sayapnya.

2. Intensitas perlipatan.

3. Pola dari pada sumbu lipatan yang terdapat pada suatu daerah. 4. Sifat sifat dari pada lipatan dengan kedalaman.

Contoh-contoh lipatan:

- Lipatan simetris: bidang sumbu vertikal (Gambar VIII.3a). - Lipatan asimetris: bidang sumbu miring (Gambar VIII.3b).

- Lipatan overturned atau overfold: bidang sumbu miring namun kedua sayap telah miring kearah yang sama dengan besar sudut yang berbeda (Gambar VIII.3c).

- Lipatan rebah atau recumbent fold: bidang sumbu horisontal (Gambar VIII.3d). - Lipatan isoklinal:kedua sayap memiliki besar dip yang sama dan miring kearah

yang sama (Gambar VIII.3e untuk lipatan isoklinal vertikal, Gambar VIII.3f untuk lipatan isoklinal miring, dan Gambar VIII.3g untuk lipatan isoklinal rebah).

(57)
(58)

kedua ujung crest (Gambar VIII.3i).

- Lipatan kipas: kedua sayap bersifat overturned; pada antiklin kipas kedua sayap akan saling mendekat sedangkan pada sinklin kipas kedua sayap akan saling menjauh (Gambar VIII.3j).

- Kink band: varian dari lipatan chevron dengan panjang kedua limb yang saling berbeda (Gambar VIII.3k).

- Monoklin: terbentuk pada lapisan horisontal yang secara lokal memiliki kemiringan (Gambar VIII.3l).

- Teras struktural: terbentuk pada lapisan miring yang secara lokal memiliki lapisan horisontal (Gambar VIII.3m).

B. Klasifikasi menurut Fleuty (1964):

1. Berdasarkan kisaran besarnya sudut antarsayap (interlimb angle) (gambar VIII.4):

Gambar VIII.4. Sudut antarsayap suatu lipatan (interlimb angle)

interlimb angle Description of fold

1800 - 1200 Gentle 1200 - 700 Open 700 - 300 Close 300 - 00 Tight 00 Isoclinal negative angle Mushroom

2. Berdasarkan besarnya sudut kemiringan hinge surface dan sudut penunjaman

hinge line:

Angle Terminology Dip of hinge surface Plunge of hinge-line

(59)

10 - 100 Subhorizontal Recumbent fold Horizontal fold

100 - 300

Gentle Gently inclined fold Gently plunging fold

300 - 600 Moderat Moderately inclined fold Moderately plunging

fold

600 - 800 Steep Steeply inclined fold Steeply plunging fold

800 - 900 Subvertical Upright fold Vertical fold

Adapun cara penggunaan tabel tersebut sbb.:

Misalkan, berdasarkan analisa statistik bidang perlapisan struktur lipatan dengan

stereonet, didapat besar kemiringan hinge surface 650 dan plunge dari hinge line

150, maka untuk penamaan lipatannya dikombinasikan sehingga nenjadi: steeply

inclined gently plunging fold.

C. Klasifikasi menurut Rickard (1971):

Klasifikasi ini berdasarkan dua hal, yaitu: (1) kemiringan hinge surface, (2) penunjaman hinge line dan pitch dari hinge line. Cara mendapatkan nama atau jenis lipatan dengan menggunakan diagram-diagram pada gambar VIII.4 dan VIII.5 berikut ini.

Misalkan, dari analisa statistik bidang perlapisan suatu lipatan, didapat

kemiringan hinge surface 700 dan penunjaman hinge line 450, maka jenis lipatan

yang didapat dari klasifikasi ini ditentukan dengan memplot kedua nilai tersebut pada diagram pada gambar VIII.5, sehingga didapat titik b. Kemudian hasil yang didapat dari diagram di atas diletakkan pada diagram gambar VIII.6 berikut ini. Dari sini, dapat diketahui jenis lipatannya, yaitu inclined fold. Sedangkan bentuk lipatan dapat dilihat pada diagram gambar VIII.7.

(60)

Gambar VIII.5. Diagram untuk menentukan wilayah klasifikasi lipatan.

(61)

Gambar VIII.7. Bentuk lipatan yang dipergunakan dalam diagram VIII.5.

VIII.4. Mekanisme Perlipatan

Berdasarkan posisi gaya relatif terhadap perlapisan batuan dikenal ada 2 macam mekanisme gaya yang menyebabkan perlipatan, yaitu:

1. Buckling (melipat), disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya sejajar dengan permukaan lempeng (gambar VIII.8).

2. Bending (pelengkungan), disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya tegak lurus permukaan lempeng (gambar VIII.9).

(62)

Berdasarkan respon gerak benda terhadap gaya yang mengenainya dikenal 4 jenis mekanisme perlipatan (Billings, 1977), yaitu:

1. Flexure folding (true folding), diakibatkan gaya tangensial atau gaya kopel. 2. Flow folding (incompetent folding)

3. Shear folding (slip folding)

4. Folding due to vertical movement. VIII.5. Rekonstruksi Lipatan

Rekonstruksi lipatan, umumnya dilakukan berdasarkan hasil pengukuran pada suatu lintasan penelitian di lapangan atau pembuatan penampang pada suatu peta geologi. Beberapa cara rekonstruksi berdasarkan bentuk dan sifat batuan adalah:

1. Metoda tangan bebas (free-hand method)

Metoda ini dipakai untuk lipatan pada batuan incompetent di mana terjadi penipisan dan penebalan yang tidak teratur. Rekonstruksinya dengan jalan menghubungkan batas lapisan dengan mengikuti orientasi kemiringannya.

2. Metoda busur lingkaran (arc method)

Metoda ini digunakan pada batuan yang competent, misalkan pada lipatan paralel. Dasar metoda ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara garis-garis normal sumbu kemiringan yang berdekatan. Dalam metoda ini, rekonstruksi dilakukan dengan menghubungkan busur lingkaran secara langsung bila data yang ada hanya kemiringan dan batas lapisan hanya setempat.

Langkah rekonstruksi (lihat gambar VIII.10):

1. Buat garis-garis yang tegak lurus terhadap kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran.

2. Garis-garis tersebut akan saling berpotongan di titik O.

3. Titik O tersebut merupakan pusat lingkaran untuk membuat busur sebagai rekonstruksi lipatan.

Apabila batas-batas lapisannya dijumpai berulang pada lintasan yang akan direkonstruksi, maka pembuatan busur lingkaran dilakukan dengan interpolasi. Rekonstruksi cara interpolasi ini dapat dikerjakan menurut cara yang diberikan Higgins, 1962 atau Busk, 1929.

(63)

Gambar VIII.10. Metoda busur lingkaran tanpa interpolasi. A. Interpolasi oleh Higgins (1962) (lihat gambar VIII.11):

1. Gambar garis-garis normal kemiringan lapisan di A dan B sehingga berpotongan di C.

2. Buat bisektor AB sehingga memotong perpanjangan AC di Z (atau memotong perpanjangan garis normal sudut yang lebih kecil).

3. Ukurkan ZOa sembarang, tetapi lebih panjang dari CZ.

4. Ukurkan AOa pada perpanjangan BC sehingga mendapatkan titik D (BD =

AOa).

5. Hubungkan D dengan Oa dan buat bisektor DOa sehingga memotong BD di Ob.

6. Hubungkan Oa dan Ob (garis tersebut merupakan batas busur lingkaran).

7. Buat busur lingkaran dari A dengan pusat Oa dan buat busur lingkaran dari B

dengan pusat Ob.

Catatan: langkah tersebut digunakan bila kemiringan di A < kemiringan di B, untuk A > B notasi A → B.

B. Interpolasi oleh Busk, 1929 (lihat gambar VIII.12):

1. Tarik garis-garis normal dan perpanjangan kemiringan A dan B sehingga memotong di D dan C.

2. Tarik garis tegak lurus AB dari C dan memotong di garis-garis normal pada Oa

dan Ob.

(64)

4. Buat busur lingkaran dari A dengan pusat Oa dan buat busur lingkaran dari B

dengan pusat Ob.

Dalam rekonstruksi, seringkali metoda busur lingkaran digabung dengan metoda tangan bebas apabila diketahui adanya penipisan dan penebalan pada bagian-bagian lapisan tertentu.

Gambar VIII.11. Metoda busur lingkaran dengan interpolasi dari Higgins (1962).

(65)

C. Metode Boundary Ray

Metode ini dipakai untuk lipatan yang sifatnya competent dan incompetent. Dasarnya adalah bahwa penipisan dan penebalan adalah fungsi dari kemiringan (Coates, 1945; Gill, 1953). Dengan dasar ini, disusun suatu tabel untuk mendapatkan posisi boundary ray yang dipakai untuk batas rekonstruksi lipatan. Tabel ini ada bermacam-macam untuk tiap persentase penipisan.

Cara mendapatkan boundary ray:

• Untuk mendapatkan posisi boundary ray dari banyak data pengukuran perlapisan lapisan, harus terlebih dahulu dilakukan pengelompokkan dip dalam

kelipatan 50 (lihat gambar VIII.13) menjadi dip zone. Apabila pembuatan

penampang tidak tegak lurus jurus lapisan, maka data dip harus dikoreksi terlebih dulu dengan tabel VIII.1.

• Misalkan, zona kemiringan lapisan (dip zone) adalah 400 dan 550. Posisi

boundary ray didapat dari perpotongan perpanjangan kemiringan.

• Arah dari boundary ray didapatkan dengan menggunakan tabel. Misal digunakan tabel dengan maksimum penipisan 50% (lihat tabel VIII.2),

kemiringan kecil (400) dipakai sebagai ordinat dan kemiringan besar (550)

dipakai sebagai absis, didapatkan sudut 590 dan 400.

• Untuk kemiringan yang berlawanan, dipakai bagian yang bawah yaitu 400

dan diukurkan pada kemiringan besar (550) (gambar VIII.14.a dan c).

• Untuk kemiringan yang searah, dibuat lebih dulu garis bisector-nya kemudian diukurkan pada garis yang sejajar dengan kemiringan besar (gambar VIII.14.b).

Contoh 1 : Diketahui jurus perlapisan N100E, dip 300SE, jurus garis penampang

N500E. Tentukan kemiringan perlapisan semu (apparent dip) pada

garis penampang. Sudut antara jurus perlapisan dan jurus garis

penampang 500 - 100 = 400. Cari 400 pada kolom sebelah kiri, 300 pada

baris paling bawah; komponen dip pada garis penampang (apparent

dip yang dicari) adalah 20,50.

Contoh 2 : Diketahui jurus perlapisan N150E. Komponen dip pada garis

penampang yang jurusnya N400E adalah 200. Tentukan dip

sesungguhnya (true dip). Sudut antara jurus perlapisan dan jurus garis

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran dilakukan pada posisi berdiri tegak lurus, diukur dengan posisi tegak lurus, setelah terlebih dahulu ditentukan titik anatomi tungkai atas dengan cara duduk

Parameter I adalah jarak titik start melengkung sampai ke titik pusat lengkungan, tegak lurus searah sumbu

- Kecondongan(inclination) adalah sudut vertikal yang diukur kearah bawah dari bidang horizontal ke suatu bidang atau garis dan apabila diukur pada bidang yang tidak

Garis tegak lurus sumbu horisontal yang menghu- bungkan titik eksperimen dengan garis lurus dugaan dinamai error. Menghitung b0 dan b1 berdasarkan dua persama- an

Untuk menentukan jarak titik B ke bidang AFGD dapat ditentukan dengan mencari panjang ruas garis yang tegak lurus dengan bidang AFGD dan melalui titik B!. BT tegak lurus dengan

Lipatan Paralel adalah lipatan dengan ketebalan lapisan yang tetap; Lipatan Similar adalah lipatan dengan jarak lapisan sejajar dengan sumbu utama; Lipatan dapat dibagi lagi

 Jarak terpendek antara titik dengan bidang adalah panjang ruas garis yang melalui titik tersebut dan tegak lurus dengan bidang yang dimaksud..  Suatu garis tegak lurus sebuah

Apparent plunge atau kemiringan semu adalah besarnya sudut penunjaman struktur garis yang diukur tidak dengan garis proyeksinya pada bidanq horisontal.. Apparent