• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pembangunan

Secara normatif pembangunan diartikan sebagai proses yang memungkinkan masyarakat meningkatkan kapasitas personal dan institusionalnya dalam mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka, berkelanjutan, adil dan merata (Korten 1990; Suryadi 2001). Pembangunan merupakan proses yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan (Suryono, 2001). Dalam UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional diartikan sebagai upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Adapun tujuan bernegara secara umum adalah untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Pembangunan dapat juga dilihat dari sisi administrasi pembangunan dan pembangunan administrasi. Administrasi pembangunan berkaitan dengan manajemen pembangunan sedangkan pembangunan administrasi adalah perbaikan organisasi pemerintah dalam membangun. Menurut Kartasasmita (1997), dalam analisis manajemen pembangunan dikenal beberapa fungsi manajemen pembangunan yaitu perencanaan, pengerahan sumberdaya, pengerahan pembangunan oleh pemerintah, koordinasi, pemantauan, serta evaluasi dan pengawasan. Adapun pembangunan adminsitrasi adalah keadaan yang memungkinkan tercapainya efektifitas penggunaan sumberdaya.

(2)

2.2. Pergeseran Paradigma Pembangunan

Menurut Suryadi (2001), dalam perkembangannya, pembangunan yang dilakukan negara-negara di dunia mengalami beberapa pergeseran paradigma. Dalam kurun 1960-1970 berkembang paradigma pertumbuhan (growth). Pada kurun 1970-1980 berlaku paradigma kesejahteraan (welfare) dan pada kurun 1970-1980-1990 berkembang paradigma pembangunan manusia (people centered development). Adapun di era 2000-an seperti saat ini, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan suatu millenium development goals yang dideklarasikan pada September 2000.

Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, menekankan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara dan peningkatan pendapatan masyarakat. Alat ukur pertumbuhan ekonomi suatu negara yang utama adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Menurut Mankiw (2003), GDP adalah nilai pasar semua barang jadi dan jasa yang diproduksi sebuah negara selama kurun waktu tertentu. Untuk menggambarkan keterkaitannya dengan jumlah penduduk, sering dipakai ukuran PDB per kapita atau lebih populer disebut pendapatan per kapita.

Setelah berjalan sekian lama ternyata pertumbuhan ekonomi menimbulkan persoalan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan pendapatan. Sejak itu beralihlah paradigma pembangunan kepada pembangunan kesejahteraan yang menekankan pada perwujudan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dalam waktu yang sesingkat mungkin. Dalam perjalanannya konsep pembangunan ini malah menimbulkan pengaruh dominan dari pemerintah di tiap-tiap negara. Kritik yang muncul terhadap konsep pemerataan pendapatan nasional adalah pelaksanaannya yang sentralistik sehingga menimbulkan ketergantungan rakyat dengan pemerintah

(3)

atau ketergantungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat atau juga ketergantungan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Pada gilirannya konsep ini tidak menimbulkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) karena adanya ketergantungan (Suryadi, 2001).

Suryadi (2001) menjelaskan bahwa kesadaran untuk lebih menekankan pada adanya proses pembangunan berkelanjutan memunculkan paradgima pembangunan manusia pada era 1900-an. Paradigma pembangunan manusia pada dasarnya adalah pembangunan yang menekankan pada pembangunan yang berkelanjutan yang didukung oleh pendekatan pembangunan manusia (human development) melalui aksi-aksi pelayanan sosial (social service), pembelajaran sosial (social learning), pemberdayaan (empowerment), peningkatan kapasitas (capacity building) dan peningkatan kelembagaan (institutional building).

Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini dapat dikatagerokian dalam beberapa periode yaitu periode orde lama (1945-1966), periode orde baru (1966-1998) dan periode reformasi (1998-sekarang). Menurut Dumairy (1996) selama dua puluh tahun pertama sejak merdeka pembangunan di Indonesia berjalan relatif kurang menggembirakan. Hal tersebut terjadi karena seringnya pergantian kabinet akibat adanya ketidakstabilan politik pada masa itu. Pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan dengan laju 6,9 persen dalam periode 1952-1958 turun secara drastis menjadi tinggal 1,9 persen pada periode 1960-1965. Dampak kemerosotan pembangunan yang terjadi pada masa tersebut berujung pada pergantian kekuasaan pemerintahan dari orde lama kepada orde baru.

Pada masa orde baru dicanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) sejak 1969 dengan titik tekan pada adanya trilogi pembangunan yaitu

(4)

stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dalam PELITA I (1969-1974) prioritas pertama diarahkan pada stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Pada PELITA II (1974-1979) sasaran dibalik menjadi pertumbuhan ekonomi yang menempati prioritas pertama. Selama dua PELITA ini kinerja perekonomian Indonesia sangat memuaskan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era tersebut rata-rata mencapai 7 persen per tahun. Investasi meningkat dengan laju yang menggembirakan dari 11 persen menjadi 24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hanya saja dominasi perekonomian pada waktu itu ditopang oleh hanya satu sumber utama yaitu minyak bumi. Sumber utama penerimaan devisa saat itu sebanyak 80 persen berasal dari minyak bumi (Dumairy, 1996).

Selama kurun dua pelita pertama ternyata terjadi ketidakmerataan pendapatan nasional dan regional. Secara nasional pada akhir PELITA II diketahui angka Gini Ratio Indonesia sebagai indikator pemerataan pendapatan mencapai 0,504. Koefisien Gini Ratio berkisar antara 0 – 1. Nilai Gini Ratio mendekati nol berarti distribusi pendapatan semakin baik dan jika mendekati 1 berarti distribusi semakin jelek. Secara regional berlangsung pula ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan masyarakat dan juga antara wilayah di Pulau Jawa dengan Luar Jawa (Dumairy, 1996)

Kesadaran pentingnya pemerataan pembangunan muncul pada rencana pembangunan Indonesia selanjutnya terutama sejak PELITA III (1979-1983). Pada masa ini pemerintah banyak mempersiapkan proyek-proyek pembangunan di berbagai daerah dengan tetap menempatkan kendali pembangunan pada pemerintah pusat di Jakarta. Salah satu wujud keberhasilan pembangunan adalah tercapainya swasembada beras tahun 1984. Banyak saluran irigasi dan areal pertanian yang

(5)

dibangun serempak untuk mencapai prestasi terebut. Hal yang sama juga dilakukan di bidang pendidikan dan kesehatan dengan dibangunnya banyak sekolah-sekolah dasar berdasarkan Insturksi Presiden (INPRES) dan juga Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Pada PELITA IV (1983-1987), target pertumbuhan ditetapkan hanya 5 persen per tahun, lebih rendah dari pada periode sebelumnya sebesar 6 persen per tahun. Pada masa ini peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan mulai ditingkatkan dengan adanya deregulasi dan debirokratisasi. Pada PELITA V (1988-1993) pertumbuhan ekonomi mencapai 6,7 persen per tahun. Paket deregulasi dan debirokratisasi tetap dilanjutkan sehingga dapat meningkatkan ekspor komoditas non migas. Pada PELITA VI (1994-1999) pemerintah mengalami persoalan beban utang luar negeri yang sangat berat yang merupakan akumulasi pembiayaan pembangunan tahun-tahun sebelumnya (Dumairy, 1996).

Terjadinya krisis ekonomi di tahun 1997 mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah memerintah selama kurang lebih 32 tahun. Persoalan yang ditinggalkan pemeritahan orde baru yang paling memberatkan adalah pertumbuhan ekonomi yang negatif pada tahun 1998 yaitu sebesar -6,21 persen (Bappenas, 1998). Pemerintah saat ini menyadari kelemahan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dan mulai menerapkan pendekatan pembangunan yang lain. Salah satu pendekatan pembangunan yang diterapkan adalah pendekatan pembangunan manusia yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Salah satu misi pembangunan yang tertuang dalam GBHN tahun 1999-2004 adalah perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

(6)

2.3.

Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia

Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan manusia adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Menurut Todaro dan Smith (2003) pembangunan memiliki tiga nilai inti yaitu tercapainya kemampuan hidup (life sustenance), kemandirian (self esteem) dan kemerdekaan atau kebebasan (freedom). Kemampuan hidup diartikan kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kemandirian berarti mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian. Adapun kemerdekaan berarti memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup.

Kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan minimal yang diperlukan manusia untuk hidup dengan layak. Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan akan pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan dan pekerjaan. Kebutuhan dasar di atas dapat dibuat bertingkat tergantung urgensinya. Menurut Sumardjo (2007), Asian Bank Development (ADB) telah menetapkan bahwa hierarki kebutuhan dasar tersebut diawali dengan kebutuhan untuk bertahan hidup (survival) seperti kebutuhan akan makanan dan gizi, kesehatan, sanitasi dan air bersih serta kebutuhan akan pakaian yang layak. Pada tahap selanjutnya adalah kebutuhan akan keamanan (security) yang meliputi perumahan, pekerjaan, pendapatan dan kedamaian. Pada tahap akhir terdapat kebutuhan untuk berkembang (enabling) yang meliputi pendidikan dasar, partisipasi, peranan keluarga dan psikososial.

Konsep tingkat kebutuhan manusia yang terkenal adalah yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Kebutuhan manusia menurut pendapat Maslow bertingkat-tingkat. Tingkatan kebutuhan tersebut secara berurut adalah (1) kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, tidur, berkeluarga dan kebutuhan dasar lainnya, (2) kebutuhan akan keamanan dan keselamatan, (3) kebutuhan akan kasih sayang, (4) kebutuhan

(7)

akan pengakuan dan penghargaan dari orang lain, dan (5) kebutuhan akan aktualisasi diri (Flippo, 1990).

Kesadaran akan perlunya pemahaman mengenai kebutuhan dasar manusia sangat penting. Setiap pemerintahan wajib mendahulukan pemenuhan kebutuhan dasar manusia ini sebelum memenuhi kebutuhan yang lainnya. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga telah menetapkan perlunya pemenuhan kebutuhan dasar manusia ini sebagai bagian dari pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB yang dibuat pada tanggal 10 Desember 1948. Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu anggota PBB telah menetapkan satu kebijakan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004. Pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam pembangunan saat ini telah diakui di tingkat internasional. PBB dalam hal ini telah menetapkan suatu tujuan pembangunan milenium atau millenium development goals (MDGs) pada September 2000. Tujuan pembangunan milenium pada intinya bertumpu pada konsep pembangunan manusia. Melalui delapan tujuan yang ditetapkan dalam MDGs, pembangunan manusia seutuhnya diharapkan dapat dicapai. Keterkaitan antara tujuan MDGs dengan pembangunan manusia dapat dilihat pada Tabel 3.

2.4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Satu kesulitan yang ditemukan dalam penerapan konsep pembangunan manusia adalah dalam hal mengukur tingkat keberhasilan pembangunan. Hal ini terjadi karena konsep tersebut menempatkan manusia sebagai pusat dari keseluruhan proses pembangunan. Pembangunan manusia mencakup hampir semua aspek

(8)

kehidupan manusia mulai dari kebebasan menyampaikan pendapat, kesetaraan jender, kesempatan memperoleh pekerjaan, gizi anak, hingga kemampuan untuk membaca dan menulis bagi orang dewasa. Untuk keperluan mengukur hasil-hasil pembangunan manusia, PBB melalui United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan sebuah tolok ukur khusus yang dikenal sebagai human development index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh UNDP pada laporan tahunannya (UNDP, 2003).

Tabel 3. Keterkaitan Millenium Development Goals dengan Pembangunan Manusia Indikator Pembangunan Manusia Millenium Development Goals Hidup yang sehat dan usia yang

panjang Tujuan 4,5,6 : menunrunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, dan menangani penyakit utama

Pendidikan yang memadai Tujuan 2,3 : menuntaskan pendidikan dasar, kesetaraan jender dalam pendidikan, dan memberdayakan wanita

Standar kehidupan yang layak Tujuan 1 : mengurangi kemiskinan dan kelaparan

Kondisi Penting Untuk

Pembangunan Manusia Keterkaitan dengan Development GoalsMillenium Kebebasan politik dan sosial dalam

kehidupan bermasyarakat Tidak termasuk tujuan tetapi termasuk sasaran yang penting dalam MDG Kelestarian Lingkungan Tujuan 7 : menjamin kelestarian lingkungan Kesetaraan – terutama kesetaraan

jender

Tujuan 3 : mempromosikan kesetaraan jender dan pemberdayaan wanita

Menyelaraskan lingkungan ekonomi

global Tujuan 8 : memperkuat kemitraan negara kaya dan negara miskin Sumber : UNDP (2003)

Menurut UNDP (2003), IPM pada dasarnya adalah nilai yang menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktor-faktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yakni:

(9)

1. Usia yang panjang dan sehat, diukur dengan angka harapan hidup (AHH),

2. Pendidikan, yang diukur dengan dengan tingkat baca tulis atau angka melek huruf (AMH) dengan pembobotan dua per tiga serta angka partisipasi kasar atau rata-rata lama sekolah (RLS) dengan pembobotan satu per tiga

3. Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS.

Gambar 4. Bagan Alir penetapan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM )

Metodologi penghitungan angka IPM pada dasarnya cukup mudah. Pertama kali harus diketahui data berupa : angka harapan hidup (AHH) dalam satuan tahun, angka melek huruf (AMH) dalam persentase penduduk, angka rata-rata lama sekolah (RLS) dalam satuan tahun dan angka pengeluaran per kapita dalam satuan mata uang. Masing-masing data ini kemudian diubah menjadi indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya berli dengan membandingkannya dengan standar yang ditetapkan oleh UNDP sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.

(10)

Tabel 4. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Komponen IPM Nilai

Maksimum Minimum Nilai Keterangan Angka Harapan

Hidup 85 25 Standar UNDP

Angka Melek

Huruf 100 0 Standar UNDP

Rata-rata Lama

Sekolah 15 0 Standar UNDP

Konsumsi Per Kapita

732.720 300.000 Standar UNDP yang disesuaikan

Sumber : BPS Kab. Bogor (2005)

Untuk memudahkan penjelasan dimisalkan data awal komponen IPM diketahui sebagai berikut : AHH : 67,8 tahun, AMH : 90,1%, RLS : 7 tahun dan konsumsi per kapita : Rp. 576.300 per bulan. Indeks dihitung dengan rumus :

Indeks x(i) = [x(i) – x(i) min] / [x(i) maks – x(i) min]

Dengan demikian indeks kesehatan diperoleh sebesar : (67,8 – 25) / (85 – 25) = 0,713. Indeks pendidikan ditentukan oleh dua komponen yaitu AMH dan RLS dengan proporsi 2/3 untuk AMH dan 1/3 untuk RLS. Oleh karena itu indeks pendidikan diperoleh sebesar : {(2/3) x [(90,1 – 0) / (100 – 0)]} + {(1/3) x [(7 - 0) / (15 – 0)]} = 0,756. Adapun indeks daya beli diperoleh sebesar : (576,3 – 300) / (732,7 – 300) = 0,636. Angka IPM dihitung dengan persamaan :

IPM = (1/3) x (indeks kesehatan + indeks pendidikan + indeks daya beli) maka diperoleh IPM = (1/3) x [0,713 + 0,756 + 0,632] = 0,701. Untuk memudahkan pembacaan angka IPM tersebut kemudian dikalikan 100 sehingga dinyatakan IPM sebesar = 70,10, (BPS Kab. Bogor, 2005). Penghitungan yang lebih rumit diperlukan pada waktu menentukan besaran AHH, AMH, RLS dan daya beli.

(11)

Penghitungan akan bertambah rumit jika data dasar yang diperlukan berkenaan dengan komponen-komponen tersebut kurang tersedia sebagaimana sering terjadi di Indonesia.

2.5. Peran Pemerintah Dan Pemerintah Daerah

Indikator yang terdapat dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu indikator pendidikan, kesehatan dan daya beli merupakan indikator yang menggambarkan keberhasilan pembangunan sosial ekonomi di satu wilayah. Penerapan otonomi daerah di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1999 telah memberikan beban tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam upaya peningkatan angka IPM. Berdasarkan UU 22/99 yang telah diperbaharui oleh UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan meliputi penanganan bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, pertanian dalam arti luas, perindustrian dan perdagangan, transportasi dan sebagainya.

Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian yang besar pada upaya peningkatan angka IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Pemerintah RI memberikan Dana Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada tiap daerah untuk keperluan pembangunan daerah. Menurut salah satu ketentuan yang ditetapkan dalam PP 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan pasal 40 disebutkan :

1. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar.

(12)

3. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

4. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil (DBH).

5. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

Menurut ketentuan di atas tertulis jelas bahwa pemberian Dana Perimbangan dari pemerintah pusat salah satunya adalah dalam rangka meningkatkan angka IPM di tiap daerah. Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa sejak tahun 1999 pemerintah pusat telah mengalokasikan dan menyalurkan DAU kepada setiap propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan. Pada tahun 2004, pemerintah mengalokasikan DAU untuk 32 propinsi di Indonesia sebesar Rp. 80,3 triliun. Alokasi DAU tersebut menghasilkan angka IPM Indonesia tahun 2005 sebesar 68,7. IPM tersebut adalah IPM kumulatif dari seluruh IPM yang ada di tiap daerah.

Menurut Siregar (2007) pada kenyataannya korelasi antara DAU per kapita dengan pertumbuhan angka IPM sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa DAU tidak banyak digunakan untuk menghasilkan program-program pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menunjang pertumbuhan angka IPM. Besaran DAU per kapita tahun 2004 dan angka IPM yang dicapai tahun 2005 untuk 30 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.

(13)

Tabel 5. Dana Alokasi Umum (DAU) per kapita (Rp. Ribu) tahun 2004 dan IPM tahun 2005

No Propinsi DAU/ Kapita 2005 IPM No Propinsi DAU/ Kapita 2005 IPM 1 Papua 1,559.79 62.10 16 Kalimantan Selatan 538.42 67.40 2 M a l u k u 985.98 69.20 17 Kalimantan Barat 517.89 66.20 3 Kalimantan Tengah 942.59 73.20 18 B a l i 515.84 69.80 4 Maluku Utara 880.64 67.00 19 Sulawesi Selatan 515.16 68.10 5 Gorontalo 821.89 67.50 20 DI Yogyakarta 462.47 73.50 6 Sulawesi Tengah 704.53 68.50 21 Nusa Tenggara Barat 394.33 62.40 7 Nusa Tenggara Timur 673.15 63.60 22 Sumatera Utara 360.07 72.00 8 Sulawesi Tenggara 648.47 67.50 23 R i a u 347.89 73.60 9 Aceh 632.88 69.00 24 Sumatera Selatan 345.36 70.20 10 Sulawesi Utara 625.09 74.20 25 L a m p u n g 340.03 68.80 11 B e n g k u l u 622.57 71.10 26 Jawa Tengah 312.40 69.80 12 J a m b i 620.03 71.00 27 Jawa Timur 293.86 68.40 13 Kep. Bangka Belitung 603.05 70.70 28 Jawa Barat 215.41 69.90 14 Kalimantan Timur 601.32 72.90 29 Banten 191.36 68.80 15 Sumatera Barat 600.91 71.20 30 DKI Jakarta 85.47 76.10

Gambar

Gambar 4.  Bagan Alir  penetapan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM )
Tabel 4.  Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM  Komponen IPM  Nilai
Tabel 5.    Dana Alokasi Umum (DAU) per kapita (Rp. Ribu) tahun 2004 dan IPM  tahun 2005

Referensi

Dokumen terkait

Nilai luas permukaan daun tumbuhan A gangetica memiliki luas permukaan daun lebih besar pada bagian bawah strata tumbuhan, sedangkan pada bagian strata atas tumbuhan

Pada siswa laki-laki SMP “X” Bandung yang melibatkan kategori mekanisme Minimizing agency dalam perilaku agresifnya akan melemparkan tanggungjawab dan menghindari

2) Abjad yang diapit antara tanda titik pertama dan tanda titik kedua menunjukkan Subbidang Usaha.. 3) Dua angka yang diapit antara tanda titik kedua dan tanda

Nilai outlet ini sudah jauh sangat memenuhi baku mutu yang diberlakukan (BM = 5 ppm). IPAL juga dilengkapi dengan bak biokontrol, dimana di dalam bak ini ditanam

RTOS adalah sistem operasi yang bekerja dalam waktu nyata, dengan batasan deterministik yang membutuhkan penggunaan waktu dan daya yang efisien untuk memproses data

(5) Jumlah pajak terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka (3) dalam pasal ini dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan

Dari sudut pandang jenis material yang digunakan untuk komponen utama dan sub- komponen bagian dalam bejana tekan, maka baja nirkarat austenit yang distabilkan maupun

Dengan ulasan tersebut, maka analisa penambahan bulbous bow pada kapal monohull ini dilakukan dengan teknik CFD (Computational Fluid Dynamic) guna