• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 6. Dalam bab ini kita akan mempelajari aspek yang lebih khusus, mengenai. Makna Topeng. 6.1 Penyembunyian dan Penampakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 6. Dalam bab ini kita akan mempelajari aspek yang lebih khusus, mengenai. Makna Topeng. 6.1 Penyembunyian dan Penampakan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 6

Makna Topeng

D

alam bab ini kita akan mempelajari aspek yang lebih khusus, mengenai makna topeng bagi seniman dan penikmatnya, baik ditinjau dari fungsinya maupun dari aspek kejiwaannya. Tujuannya, untuk lebih memahami bagaimana dan mengapa seseorang memakai topeng. Uraian bab-bab sebelumnya sangat penting untuk dapat memahami bagian ini, karena mengandung beberapa “kata kunci” yang terdapat di dalamnya. Jika dalam bab ini terdapat istilah yang kurang jelas, misalnya “konteks,” “forum,” dan “abstrak,” lihatlah kembali bab-bab yang berkaitan dengan topik permasalahannya.

Pembahasan bab ini akan terfokus pada hubungan antara pemakai topeng dengan topengnya, dipandang dari aspek seni bertopeng, namun bukan merupakan petunjuk teknis mengenai bagaimana cara memakai topeng dengan baik. Makna topeng dalam cakupan yang lebih luas akan pula sedikit disinggung, manakala dipandang perlu.

6.1 Penyembunyian dan Penampakan

Dalam Bab 1 telah disebutkan bahwa kata “topeng” berkembang sebagai ungkapan bahasa sehari-hari. Jika terdapat ungkapan: “Ada seorang bandit bertopeng,” topeng dalam hal ini tidak berkaitan dengan ekspresi kesenian. Topeng pada ungkapan tersebut mengacu pada suatu benda yang menutupi identitas diri seseorang agar tidak dikenali orang lain. Hal itu agak berbeda dengan ungkapan ini: “Kini banyak politisi ’bertopeng.” Ungkapan itu berarti bahwa para politisi tidak jujur dalam mengatakan sesuatu, tidak terbuka, atau tidak sesuai dengan nuraninya. Kata topeng pada kalimat kedua ini secara mendasar memiliki persamaan dengan kalimat pertama, yaitu

(2)

“menyembunyikan.” Yang disembunyikan pada kalimat pertama adalah fisik (kasatmata, tangible) yaitu muka, sedangkan yang disembunyikan pada kalimat kedua adalah yang tidak kasatmata (intangible), yaitu hati nurani.

Sekarang, perhatikanlah ungkapan berikut: “Kita semua hidup dengan banyak ’topeng,’ yang dipakai bergantian sesuai dengan situasinya.” Kalimat ini berarti bahwa dalam kehidupan kita banyak melakukan “acting” atau “basa-basi,” baik dalam berbicara maupun berperilaku. Kata “topeng” di sini merupakan metafor dari sikap, penampilan atau sopan-santun (yang perwujudannya bisa berupa pakaian, tingkah-laku, atau cara berbicara), yang diungkapkan dengan cara berbeda-beda bergantung pada orang yang dihadapi. Kita semua pasti pernah mengalami hal ini. Ketika berhadapan dengan orang tua atau guru, sikap kita berbeda dengan menghadapi adik atau kakak. Artinya, dalam hal ini pun tetap ada makna penutupan atau pembungkusan dalam berpenampilan, seperti dalam paragraf sebelumnya. Akan tetapi, makna “membungkus” dalam hal ini tidak sama artinya dengan “berbohong,” atau “untuk menyembunyikan diri,” seperti pada contoh kalimat-kalimat sebelumnya. Kalimat pertama dan kedua mengacu pada makna negatif, sedangkan kalimat ketiga mengacu pada makna positif.

Uraian di atas menunjukkan adanya dua pengertian penting yang kontradiktif dari metafor “topeng”: negatif dan positif. Makna negatif “topeng” sebagai metafor rekayasa menyembunyikan diri atau berbohong,

sedangkan makna positifnya adalah rekayasa penampakan (penampilan)

yang sesuai dengan situasi dan konteks, dengan cara memperhalus sikap dan ucapan. Kontradiksi ini relevan dibicarakan, karena unsur penyembunyian dan penampakan, kebohongan dan kejujuran, adalah makna-makna penting dalam membicarakan pertunjukan topeng selanjutnya, baik mengenai topeng tradisional maupun modern.

6.2 Topeng dan Pemakainya

Dengan memakai topeng, pemain bukan hanya menyembunyikan wujud dirinya (paling tidak mukanya), tetapi juga ia menampakkan ekspresi yang sesuai dengan topengnya, yang berbeda dari dirinya. Wajah dirinya tertutupi, tapi kemampuan atau cita-rasa kesenimanannya terungkapkan melalui pertunjukan topengnya. Dengan kata lain, pemain menyembunyikan dirinya dari segi fisik, tetapi sekaligus menampakkan ungkapan batinnya.

Tarian topeng yang sama, dengan kostum dan koreografi yang sama pula, misalnya tari topeng kijang, akan berbeda ekspresinya jika dimainkan oleh seniman yang berbeda. Meski wujudnya tampak sama, namun daya ungkapnya bisa berbeda. Inilah subtilitas kesenian, menyangkut wujud (formal) dan isi,

(3)

yang ditentukan oleh kesempurnaan penampilan atau kekuatan ekspresi dari senimannya masing-masing. Singkatnya, pertunjukan topeng bukan hanya ditentukan oleh topeng (yang menutupi), melainkan juga oleh kekuatan individu pemainnya (yang mengungkapkan). Dalam pemahaman seperti itulah, seorang pemain topeng memunculkan “identitas” atau keunikan kemampuannya, ia menampakkan diri, bukan menyembunyikannya.

Sebagai analogi, kita bandingkan lagi dengan tuturan kata. Suatu ungkapan atau kalimat yang sama akan memiliki makna dan kekuatan yang berbeda, jika dituturkan oleh orang yang berbeda pula. Misalnya, kalimat “Kamu harus memperhatikan aturan yang terdapat dalam buku!” akan berbeda-beda maknanya jika yang mengungkapkan teman, kepala sekolah, polisi, atau kyai. Perbedaan ini paling sedikit akan menyangkut dua hal. Pertama,

konteksnya—orang yang mengungkapkan kalimat tersebut sedang berbicara

mengenai apa atau dalam situasi bagaimana. Kedua, wibawa atau karisma orang tersebut pada Anda.

Tarian topeng pun serupa dengan itu. Makna atau keberhasilan pertunjukannya ditentukan oleh dua hal: pertama, kemampuan, wibawa, atau karisma penarinya, kedua, ketepatan konteksnya. Hanya saja, perbedaannya adalah dalam tingkat kesukaran melakukannya. Misalnya, pada kalimat di atas (“Kamu harus memperhatikan aturan yang terdapat dalam buku”), mungkin hampir semua orang bisa mengatakannya dengan mudah, lepas dari kualitas atau efektivitas ucapan tersebut. Namun dalam tari topeng, sekedar untuk mempertunjukkannya pun seseorang mungkin harus latihan beberapa lama. Karena itu, jika dalam bahasa verbal makna lebih mengacu pada isi atau logika kalimatnya, dalam tarian (topeng) lebih pada teknik menarikannya, yaitu ungkapan ekspresif yang dimengerti oleh kepekaan perasaan.

6.3 Transformasi

Telah dibahas pada Bab 1, subbab “Muka Ganda,” dalam tradisi pertunjukan topeng Cirebon muncul dua macam wujud penari. Wujud pertama, penari tidak memakai topeng, sedangkan pada wujud kedua penari menggunakan topeng yang menutupi wajahnya. Saat terjadi perubahan wujud itu, penonton dapat menyaksikan proses perubahan atau transformasi, dari menari tanpa topeng, lalu saat memakai topeng (sambil menutupi muka dengan selendang), dan selanjutnya setelah memakai topeng. Dengan lain kata, proses penampakan ke penyembunyian diri dapat diikuti oleh penonton, yakni proses dari ketiadaan ke perwujudan topeng dan ke-ada-an ke ketiadaan wajah penari. Setelah topeng dipakai, terjadilah penyatuan atau persenyawaan dari

(4)

keduanya, yakni penari dan topengnya. Penonton yang mengikuti perjalanan transformasi tersebut, seolah diberi kesempatan untuk mengalami saat yang mengejutkan, yakni ketika penari berganti sosok.

Dalam pertunjukan topeng noh di Jepang, terdapat sebuah adegan pergantian tokoh halus menjadi tokoh kasar. Dalam pertunjukan itu, di panggung disiapkan sebuah kurungan besar, tempat tokoh yang akan berganti wujudnya itu masuk. Dalam waktu relatif singkat, ku rungan terbelah dua, dan muncullah karakter kasar itu dengan topeng dan kostum yang berbeda.

Pertunjukan sintren di wilayah pantai utara Jawa (dari wilayah Indramayu sampai Jepara), memiliki hal yang serupa dengan noh. Dalam pertunjukan

itu, kaki, tangan, dan tubuh penari sintren diikat, mulai dari bahu sampai pergelangan kaki. Lalu ia dimasukkan ke dalam karung, dan kemudian karung dijahit. Setelah itu, ia dimasukkan ke dalam kurungan ayam bersamaan dengan seperangkat pakaian (kostum tari), lalu kurungan ayam ditutup dengan kain. Nyanyian dikumandangkan. Syairnya bermakna meminta bidadari untuk turun kepada sintren. Sekitar 5 atau 10 menit kemudian, kurungan diangkat, jahitan karung dibuka, dan tampaklah sintren yang telah berpakaian lengkap, yang kemudian menari seperti dalam keadaan kemasukan (trance).

Gbr. 6-1 dan 6-2: Dalam pertunjukan topeng No di halaman kuil Shinto di Nara, Jepang: topeng putri halus masuk ke dalam kurungan, kemudian kurungan terbuka (belah), dan muncullah topeng

(5)

Pergantian wujud dalam pertunjukan topeng noh, selain mengikuti jalan

Pertunjukan sintren atau warilais dari wilayah Indramayu:

Gbr. 6-3: Penari diikat dengan tambang. Gbr. 6-4: Dimasukkan ke dalam karung dan

(6)

ceritera yang dilakonkan, juga untuk menegaskan bahwa kedua karakter yang sangat berbeda itu ditarikan oleh orang yang sama. Kemampuan seseorang yang mampu mempertunjukkan beberapa karakter yang sangat berbeda dengan sempurna, dianggap suatu yang luar biasa. Tradisi topeng Cirebon, serupa dengan noh. Berbeda dengan sintren, yang seolah-olah ingin menampilkan sebuah “keajaiban,” seperti halnya dalam sulap: “Bagaimana mungkin, seseorang dalam karung terjahit, bisa memakai kostum yang ada di luar bungkusan karung tersebut?” Namun demikian, baik noh, topeng Cirebon, maupun sintren, memiliki pesan yang sama, yakni menunjukkan suatu kemampuan khusus yang tidak semua orang mampu melakukannya. Hal itu juga berarti, walau tidak semua, bahwa ada spesialisasi dalam kesenian.

6.4. Menutup dan Membuka

Sejalan dengan aspek “penampakan” dan “penyembunyian,” maka kita menemukan adanya bagian yang terbuka dan tertutup. Ada yang dapat disaksikan dan yang tidak, seperti misalnya topeng terbuka, muka tertutup. Akan tetapi, lebih dari itu, kita lihat kembali kasus sintren dan noh. Adegan pemain masuk ke dalam kurungan dan keluar dari tempat tersebut merupakan bagian yang dapat disaksikan. Namun peristiwa yang terjadi selama di dalam tempat tertutup itu, tidak dapat dilihat. Kedua bagian ini, yang tertutup dan

Gbr. 6-6: Ketika kurungan dan karung dibuka,

(7)

yang terbuka memiliki peranan, dalam menumbuhkan semacam daya tarik-menarik antara keduanya. Mungkin penyembunyian itu semacam kerahasiaan yang tidak boleh dilihat publik (seperti dalam kasus sintren), tapi mungkin pula hanya untuk menutupi bagian yang memang tak layak tampak (dalam kasus noh).

Dalam topeng pajegan Bali, penari mengganti topeng untuk memerankan tokoh yang berbeda. Penari masuk ke belakang layar, setelah itu keluar dengan topeng yang berbeda. Penonton tidak akan tahu, penari yang keluar dari balik layar adalah penari yang sebelumnya atau bukan. Kostum yang digunakan penari tetap sama, namun karakter yang dimainkan sangat berbeda. Hal itu menyebabkan penonton tak yakin apakah topeng yang berbeda dimainkan oleh penari sebelumnya atau bukan. Dengan cara itu pertunjukan topeng pajegan seolah dimainkan oleh belasan orang, karena banyaknya karakter yang muncul, padahal pertunjukan itu hanya hanya dimainkan oleh 4 atau 5 orang saja.

Penonton yang telah akrab dengan para senimannya, akan dapat mengenali siapa memainkan karakter mana. Kekaguman penonton tetap, yaitu pada kemampuan pemain yang mampu mengubah dirinya secara sempurna untuk memainkan karakter yang berbeda-beda. Kekaguman, keanehan, atau bahkan keterkejutan, melahirkan semacam “tegangan,” yakni energi simpatik yang menumbuhkan hasrat terlibat atau kegairahan penonton pada pertunjukan.

6.5 Kejutan

Penjelasan di atas memberi pesan bahwa unsur keterkejutan merupakan salah satu aspek yang timbul dari kesenian topeng — yang berkaitan dengan unsur

penyembunyian dan penampakan. Terkejut terkadang merupakan hal yang tidak

diinginkan (negatif). Namun ada pula keterkejutan yang menyenangkan atau

Gbr. 6-8 s.d 6-10: Tiga macam topeng bondres (lucu) yang dimainkan oleh seorang seniman topeng Gbr. 6-8 Gbr. 6-9 Gbr. 6-10

(8)

mengasyikkan (positif). Penerimaan hadiah secara tiba-tiba adalah salah satu contoh peristiwa keterkejutan yang menyenangkan. Jika di atas kita gunakan kata “tegangan” dan “energi” untuk mengacu pada suatu gairah, dalam terkejut, tegangan, dan energi ini lebih besar dan terasa.

Keterkejutan tampaknya merupakan salah satu hal yang manusiawi, yang disukai sejak bayi. Lihatlah permainan untuk menggoda atau menghibur bayi. Orang dewasa bersembunyi dulu (mungkin hanya dengan menutupkan kain atau tangan pada mukanya), kemudian secara tiba-tiba menampakkan mukanya dengan ekspresi tertentu. Ketika muka orang yang menggoda bayi itu tersembunyi, timbul keingintahuan (serupa dengan ketegangan) pada Si Bayi tentang wujud muka berikutnya yang akan tampak. Ketika muka orang yang menggodanya muncul, Si Bayi terkejut, kemudian tertawa. Ketika muncul muka yang menakutkan, Si Bayi mungkin akan menangis. Namun ketika muka orang yang menggodanya berubah menjadi ramah lagi, Si Bayi kembali tertawa. Permainan seperti ini (ciluk-baa) terdapat di mana-mana, baik di belahan Timur, Barat, Utara, maupun Selatan. Artinya, pengalaman dan hasrat orang pada elemen penyembunyian dan penampakan telah dimulai sejak awal kehidupan. Permainannya biasanya dilakukan berulang-ulang dengan memberikan rasa kehilangan (keingintahuan), keterkejutan, ketakutan (kengerian),

keceriaan, kelucuan, kecantikan, dan sebagainya, pada bayi. Namun demikian,

secara umum tujuan dari permainan itu adalah untuk menyenangkan, baik bagi Si Bayi (dalam hal ini bisa dikatakan berperan sebagai “penonton”) maupun bagi Si Dewasa yang menggodanya ( dalam hal ini berperan sebagai “pemain”). Pembicaraan mengenai “terkejut,” “takut,” dan “ngeri,” bukan hanya berkaitan dengan persoalan topeng, melainkan juga dengan kesenian pada umumnya. Seringkali kita menjumpai topeng, pertunjukan kesenian, seni rupa, sastra, dan film yang mengerikan, menakutkan, dan menyedihkan. Kengerian dan kesedihan tersebut adalah yang diekspresikan, yang diharapkan dirasakan juga oleh penontonnya, Namun, seniman bukan menghendaki penonton akan berada dalam keadaan yang mengerikan atau menyedihkan, melainkan hanya sebatas pengalaman perasaan, yang dapat merangsang suatu renungan. Fungsi kesenian tidak semata untuk menghibur agar orang tertawa bersuka-ria. Kesenian juga merupakan media untuk mengajak orang berpikir. Kengerian yang ditampilkan memberikan “keindahan” tersendiri, yang bisa jadi justru menjadi terapi dari kengerian yang terdapat dalam kehidupan nyata, yang mungkin dapat membuat orang menjadi lebih siap untuk menghadapi kengerian yang sebenarnya. Rasa takut seperti juga rasa malu merupakan salah satu perasaan yang penting dimiliki oleh manusia, seperti perasaan takut pada orang tua, hukum, Tuhan, dan sebagainya. (Lihatlah kembali uraian Bab 3 mengenai Rangda dan Barong)

(9)

6.6 Ungkapan Hidup Benda Mati

Untuk dapat memuaskan penontonnya, pemain topeng memerlukan teknik yang tidak sesederhana seorang dewasa melakukan permainan ciluk-baa kepada bayi. Pada umumnya, penari topeng harus melalui proses latihan agar mampu menyatu dengan topengnya. Jika dalam penampilannya antara topeng dan penarinya itu tampak terpisah, maka tarian topengnya tidak akan tampak hidup. Topeng merupakan barang yang tidak bernafas. Karena itu, penarinya perlu menghidupkan topeng dengan membuatnya “bernafas”. Artinya, nafas penari (yang memang bernafas) dan nafas topeng (yang tidak bernafas) harus mampu menciptakan kesatuan daya hidup tersendiri. Penari menjadi berbeda setelah memakai topeng, demikian pula dengan topeng yang menjadi berbeda ketika dimainkan oleh penari.

Topeng merupakan barang tidak bergerak (kecuali yang terbuat dari karet, kain, atau benda lain yang elastis), sehingga hanya mampu mengungkapkan suasana (kalem, genit, galak, dan sebagainya) secara statis. Akan tetapi, ketika topeng itu dipertunjukkan oleh penari yang baik, topeng tampak dinamis, dapat melahirkan nuansa yang tidak statis. Suatu tarian topeng (dengan satu topeng) terkadang tampak sedih, marah, bahagia, sinis, serius, dan sebagainya. Beragam ungkapan ini hanya bisa terjadi jika didukung oleh dua unsur mendasar: profesionalisme penari dan kesempurnaan bentuk topeng, di mana keduanya bisa menyatu.

Gbr. 6-11 s.d 6-14: Empat buah topeng Gunungsari (karakter halus-lincah, lihat Bab 3). Gbr 6-11 dan 6-12 dari Surakarta, 6-13 dan 6-14 dari Yogyakarta:

karakternya semua sama, tapi wanda (suasana)nya berbeda-beda. Perbedaan

nuansa yang sedikit sulit dikenali Gbr. 6-11 Gbr. 6-12

Gbr. 6-14 Gbr. 6-13

(10)

Agar antara penari dan topeng terjadi persenyawaan, tentu saja memerlukan usaha yang tidak mudah. Ada penari yang menatap topengnya setiap saat untuk dapat “membaca” karakternya, mencernanya, agar kemudian jiwanya bersatu dengan topengnya ketika pertunjukan. Setiap sikap dan gerak yang dilakukannya bersumber pada satu jiwa yang baru (hasil penyatuan) sehingga keseluruhannya tampak alamiah. Topeng harus menjadi wajahnya, tidak boleh tampak hanya sebagai benda yang menempel pada penari. Seorang ahli tari Bali mengatakan bahwa ketika kita menari topeng, kita menari bersama

orang lain. Yang dimaksud dengan orang lain adalah topeng. Penari harus berlatih

keras secara fisik (sikap, gerak, suara), rasa dan jiwa, agar ia bisa menyatu, tidak berbeda dengan “orang lain” itu.

Proses di atas berlaku untuk topeng yang sudah ada sebelumnya, kemudian penari menyesuaikannya. Lain halnya jika penari lebih dahulu memiliki gambaran karakter topeng yang ingin dimainkan. Artinya, penari sudah memiliki gambaran “jiwa” yang ingin diungkapkan. Kemudian penari mencari, memesan, atau membuat sendiri topeng yang sesuai dengan karakter yang diinginkannya tersebut. Dengan demikian, bentuk topeng yang menyesuaikan dengan keinginan penari. Akan tetapi, setelah topeng itu jadi, penari tetap harus mencernanya kembali, seperti pada kasus di atas.

Prinsip menghidupkan topeng yang mati menjadi hidup adalah yang umum dimiliki. Hanya saja, konsep atau ukuran “menyatu” antara suatu tradisi dengan tradisi lainnya berbeda-beda. Tari topeng Bali pada umumnya lebih dramatis, sehingga penjiwaannya lebih dekat dengan prinsip seni peran (acting), dibanding dengan topeng gaya Jawa yang lebih “tertahan” atau “terselubung.” Hal ini jelas dapat dilihat, baik dari gerakan tarinya, maupun dari sikap dan suara ketika tokoh yang bersangkutan berbicara. Sebagai perbandingan, perhatikanlah gaya musisi Bali dan Jawa ketika memainkan gamelan. Musisi Bali tampak lebih lincah, meriah, dan ekstrover: menabuh sambil bergerak seolah menari. Adapun musisi Jawa memainkan alat musiknya dengan lebih kalem dan introver, bahkan “diam,” sebagaimana diajarkan oleh tradisinya. Untuk topeng-topeng besar, seperti dada merak dalam reyog Ponorogo, latihan penyatuan kejiwaan yang terforkus pada wajah, tidak seintensif seperti topeng yang menempel pada muka.

6.7 Latihan Metafisik

Di samping seperti yang terurai di atas, ada pula penari yang tidak mengadakan latihan fisik untuk menyatukan jiwanya dengan topeng. Jika topeng bukan milik sendiri, atau topeng-topeng yang dikeramatkan sehingga tidak boleh dilihat sembarang waktu, penari tidak memiliki keleluasaan untuk mengadakan

(11)

latihan dengan topengnya. Topeng-topeng yang memiliki fungsi religius, memiliki pendekatan yang khusus. Pencapaian kesempurnaan pertunjukannya tidak harus didasarkan pada ekspresi senimannya, melainkan mungkin justru dengan “kekosongan,” “kepasrahan,” atau “kebenaran.” Yang diutamakan bukan kemampuan penampilan atraktif, melainkan lebih pada kesakralan topengnya, ketulusan memainkannya, kedudukan atau keturunan pemainnya, waktu dan tempat yang tepat, proses yang benar, dan sebagainya, yakni yang sesuai dengan konteksnya seperti telah diuraikan dalam Bab 5.

Lepas dari itu, untuk jenis pertunjukan yang sekular pun banyak seniman yang melakukan latihan metafisik, seperti tirakat, puasa, berdoa, meditasi, dan lain-lain. Kegiatan ini dilakukan bukan semata berkaitan dengan praktik yang bersifat mistis, melainkan mengarah pada latihan penajaman rasa. Untuk melatih kepekaan perasaan, tentu saja, latihannya pun tidak semata bersifat fisik. Hal itu dilakukan agar seorang penari menjadi peka dalam menyerap jiwa yang tersirat dari suatu topeng. Banyak penari dapat memainkan topeng dengan baik, meskipun topeng hanya dikenalnya dalam beberapa saat saja. Keahlian seperti itu, dimungkinkan jika penari sudah sangat terlatih untuk memainkan berbagai macam topeng.

Di atas kita telah bicara mengenai karisma dan wibawa; di Bali ada yang dinamakan taksu; dan di Karo ada yang disebut silengguri. Pengertiannya berbeda-beda, tapi semuanya mengacu pada suatu kekuatan metafisik, yang tidak kasat mata, tidak bisa diraba, yang membuat seseorang memiliki daya pukau atau memiliki pengaruh kuat. Untuk mendapatkan kekuatan seperti itu, pada umumnya seseorang membutuhkan latihan keduanya: fisik dan metafisik.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa untuk dapat menjadi seniman yang baik tidaklah mudah. Seniman perlu kerja keras untuk mencapai prestasi yang maksimal. Ia harus selalu belajar, berlatih, mengamati, mencerna, merenung, menginterpretasikan, dan sebagainya. Dalam kesenian, ada profesionalisme yang menuntut ketekunan atau disiplin tinggi, sama dengan tuntutan bidang-bidang profesional lainnya. Selain itu, seniman tampaknya merupakan makhluk Tuhan yang dianugerahi kepekaan dan kemampuan khusus.

Mungkin kita sering mendengar kata bakat, yang dianggap persyaratan untuk menjadi seniman. Bakat adalah anugrah Tuhan. Bakat memang merupakan hal yang penting; tetapi upaya (belajar, bekerja) adalah hal yang sama pentingnya dan menentukan. Kita semua mungkin sudah tahu, kedua hal ini bukan hanya berlaku untuk bidang kesenian, melainkan juga untuk bidang-bidang lain, seperti ilmu dan teknologi. Singkatnya, profesi seniman tidak berbeda dengan profesi lain—seperti petani, pedagang, akademisi, politikus, militer, dan sebagainya—yang membutuhkan usaha dan kedisplinan. Hanya saja, disiplin kesenian, pendekatan, metode, dan perhitungannya berbeda

(12)

dengan sektor-sektor lain.

6.8. Bohong dan Jujur

Sekarang kita akan melihat kembali makna “bohong,” yang berkaitan dengan topeng, sebagai lawan kata “jujur.” Ingatkah, dalam Bab 2 kita telah membicarakannya? Dari salah satu sisinya, topeng memiliki makna penutup,

penyelubung, atau pembatas (tirai, saringan), yang dalam banyak hal mengacu

pada konotasi negatif: sesuatu yang tidak terbuka, tidak jujur, yang tak lain adalah “bohong”.

Jika bertopeng sama dengan berbohong, apakah seniman yang menari topeng itu bisa juga dianggap berbohong atau mengelabui orang lain? Lalu, seniman yang berusaha keras untuk dapat mempertunjukan topengnya secara sempurna, apakah berarti bahwa ia bekerja keras untuk bisa bohong dengan sempurna? Itu mungkin “benar,” jika pertunjukan yang baik itu dilihat sebagai penampilan tokoh yang yang dimainkan (topeng) dan bukan penampilan diri senimannya. Namun itu bisa menjadi “salah,” jika melihat bahwa penonton menghendaki pertunjukan yang baik. Jadi, “bohong” seniman, bukan untuk kepentingan dirinya, melainkan juga untuk kepentingan penonton. Barangkali, tak ada orang (normal) yang suka dibohongi. Namun orang senang melihat pertunjukan yang baik. Jadi, bohong dalam seni berbeda dengan bohong seperti yang biasa dilakukan penipu.

Kita coba untuk melihat dari sisi sebaliknya, yakni dari pandangan seniman atau kesenimanan. Pertunjukan yang baik, dalam istilah-istilah (jargon) yang biasa digunakan seniman, di antaranya adalah yang “jujur,” Sebaliknya, penampilan yang tidak baik biasa disebut “mengada-ada,” “pura-pura,” atau “tidak jujur” pada diri atau jiwanya sendiri, sehingga penonton justru merasa dibohongi.

Dengan demikian, berdasarkan pandangan ini, seniman yang berusaha agar topeng yang ditarikannya menyatu dengan dirinya merupakan usaha untuk jujur, dan bukan untuk bohong kepada penonton. Penonton pasti paham bahwa topeng yang dimainkannya bukan diri penarinya. Namun pada saat pertunjukan, mereka tidak menyadari adanya perbedaan antara topeng dengan penarinya karena Sang Penari melakukannya dengan sangat alami. Keduanya telah menjadi satu sosok yang mulus dan jujur.

Ingatkah dalam Bab 2, kita telah dikenalkan dengan ucapan seorang seniman besar, Pablo Picasso dari Spanyol? Dialah yang mengatakan “Seni adalah kebohongan yang membuat kita dapat menemukan kebenaran.” Pendeknya, pengertian kata bohong dan jujur dalam kesenian memiliki makna yang agak kompleks, yang mungkin berbeda dengan pemaknaan biasanya.

(13)

Akan tetapi, terlepas dari kompleks (rumit) atau tidaknya pandangan kesenian, cukup mudah untuk dipahami bahwa ada dua macam arti “bohong”: yang

positif dan negatif. Yang positif adalah yang dikehendaki atau disenangi orang

pada umumnya. Adapun bohong yang negatif adalah yang merugikan atau dibenci orang pada umumnya.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

BOSDA DIKMEN adalah program bantuan untuk operasional sekolah yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta kepada satuan pendidikan formal

Jika anda membutuhkan konstruksi yang membutuhkan daya ikat lebih baik maka sekrup adalah pilihan yang lebih baik daripada paku membutuhkan konstruksi yang membutuhkan daya ikat

dijelaskan oleh Middlemas dkk., (2013) pada penelitiannya dengan HCl sebagai agen pelindi memberikan hasil bahwa waktu pelindian dan konsentrasi pelarut memiliki pengaruh

pendidikan rumah tangga miskin di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang, 2) Pekerjaan rumah tangga miskin di Kelurahan Binuang Kampung Dalam

Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketepatan perpindahan distributor channel sesuai rancangan, kecepatan sumber hasil pengamatan antara 15 mm/dt sampai 20 mm/detik masih

Analisa kelayakan lingkungan didapatkan hasil bahwa outer biodigester aman dan bau sedikit menyengat serta berkurangnya limbah cair pabrik tahu, penanganan dari outer

Objek-objek penelitian yang berasal dari data berupa percakapan telepon di radio dalam acara HR dianalisis dengan teori pragmatik dengan spesifikasi pada prinsip kerja sama,

Oleh karena itu perlu adanya Sistem Informasi Penjualan Original Merchandise Supporter Banaspati Berbasis Web1. Teknik analisis data dalam pembuatan perangkat lunak