Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam
Sampel daging ayam yang diteliti diperoleh dari pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan. Selama pengambilan kuisioner terdapat 24 pedagang sebagai responden. Sebagian besar (66.7%) responden berjenis kelamin laki-laki. Komoditi ayam yang dijual oleh responden yaitu berupa 100% karkas utuh dan 95.8% karkas potongan, namun tidak ditemukan responden yang menjual jeroan. Sebagian besar responden (66.70%) menjual karkas ayam yang berasal dari hasil pemotongan sendiri, sedangkan responden 29.1% lainnya memperoleh karkas dari tempat pemotongan unggas atau rumah potong unggas (TPU/RPU). Terdapat juga responden yang memperoleh karkas ayam dari hasil pemotongan sendiri di TPU/RPU (4.2%). Karakteristik tempat penjualan daging ayam di pasar tradisional Tangerang Selatan yang diambil sebagai responden dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan
Karakteristik tempat penjualan daging ayam Pasar Modern (n=10) Pasar Bukit (n=11) Pasar Jombang (n=3) Total (n=24) Jenis kelamin pedagang
Laki-laki 8 (80.0%) 5 (45.4%) 3 (100%) 16 (66.7%)
Perempuan 2 (20.0%) 6 (54.5%) 0 8 (33.3%)
Produk yang dijual
Karkas utuh 10 (100%) 11 (100%) 3 (100%) 24 (100%) Karkas potongan 10 (100%) 10 (90.9%) 3 (100%) 23 (95.8%) Jeroan 0 0 0 0 Asal karkas Potong sendiri 3 (30.0%) 11 (100%) 2 (66.7%) 16 (66.7%) Tempat pemotongan
unggas/rumah potong unggas 6 (60.0%) 0 1 (33.3%) 7 (29.1%) Potong sendiri dan tempat
pemotongan unggas/rumah potong unggas
1 (10%) 1 (4.2%)
Berdasarkan hasil survei sebagian besar pedagang di Pasar Modern memperoleh karkas dari rumah potong khususnya rumah potong unggas (RPU). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada Pasal 61 ayat (1a), rumah potong adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan beserta peralatannya dengan desain yang memenuhi persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan unggas bagi konsumsi masyarakat. Diharapkan dengan adanya RPU ini dapat menjamin bahwa karkas ayam aman, sehat, utuh dan halal untuk dikonsumsi masyarakat.
Ketiga pasar tempat pengambilan sampel merupakan pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli secara langsung sehingga terjadi tawar-menawar harga. Bangunan pada pasar tradisional biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los, dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain.
Kondisi Higiene Sanitasi Tempat Penjualan Daging Ayam
Umumnya (95.8%) tempat penjualan daging ayam di pasar tradisional Kota Tangerang Selatan berbentuk kios permanen. Secara keseluruhan (100%) tempat penjualan daging ayam responden memiliki atap sehingga karkas terlindung dari panas dan hujan serta memiliki penerangan yang cukup. Adanya penerangan yang cukup tempat penjualan terlihat bersih serta dapat melihat warna daging ayam dengan jelas. Sebagian besar (58.3%) tempat penjualan daging ayam bercampur dengan komoditi lain seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan bahan pangan lainnya. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran silang akibat pencemaran mikroorganisme dari karkas ayam ke sayur-sayuran atau buah-buahan maupun sebaliknya (Meggitt 2003).
Dari hasil kuesioner dan pengamatan, seluruh responden (100%) pada ketiga pasar tidak memiliki fasilitas pembeku, fasilitas pendingin, dan fasilitas cuci tangan. Lebih dari sebagian (79.2%) responden memiliki tempat penjualan dengan permukaan fasilitas yang kontak dengan daging terbuat dari bahan kedap
air seperti beralaskan keramik, bahan yang tidak mudah berkarat, dan bahan yang mudah dibersihkan. Hampir seluruh kios memiliki talenan yang terbuat dari bahan kayu, tetapi sebagian besar (58.3%) kios tidak menggunakan pisau yang terbuat dari bahan antikarat. Ini terlihat dari pisau yang digunakan berwarna coklat kehitaman akibat korosif. Pencemaran mikroba terhadap makanan dapat terjadi melalui talenan, pisau, alat masak lainnya, dan lingkungan (Meggitt 2003). Hampir sebagian besar responden (45.8%) tidak memiliki fasilitas pencuci peralatan (misalnya bak air dan wastafel) di tempat penjualannya. Peralatan yang kotor ini merupakan media yang dapat menyebabkan pencemaran silang dari satu karkas ke karkas yang lain (Meggitt 2003).
Karkas daging ayam yang dijual umumnya (95.8%) tidak terlindung dan dapat disentuh oleh pembeli. Akibatnya karkas selalu kontak dengan tangan pembeli. Hal tersebut dapat menyebabkan pencemaran silang. Pencemaran silang sering terjadi ketika makanan mentah bersentuhan dengan bakteri yang terbawa oleh tangan atau peralatan dari makanan mentah ke makanan yang mempunyai risiko tinggi atau pencemaran tidak langsung (Meggitt 2003). Beberapa responden (16.7%) menjual karkas ayam bersamaan dengan ayam hidup. Apabila diperhatikan dari aspek kebersihan, maka hanya sebagian kecil (20.8%) tempat penjualan daging ayam yang bebas dari serangga, rodensia dan hewan lain. Serangga, rodensia, dan hewan lain dapat berperan sebagai vektor foodborne
illnes.
Lebih dari sebagian tempat penjualan (58.3%) kebersihannya tidak terjaga karena terdapat genangan air dan sampah yang bertebaran, serta lebih dari sebagian kios (62.5%) tidak memiliki tempat sampah basah atau kering. Adanya genangan air dan sampah yang bertebaran merupakan tempat berkembangbiaknya mikroba agen-agen penyakit. Higiene personal pedagang daging ayam di tempat penjualan daging ayam yang diambil dari responden sangat memprihatinkan, karena hanya sebagian kecil (25%) pedagang ayam yang memakai apron, serta tidak satupun pedagang yang memakai penutup kepala, masker, dan sarung tangan. Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan
Karakteristik Higiene Sanitasi
Persentase Pasar Modern (n=10) Pasar Bukit (n=11) Pasar Jombang (n=3) Total (n=24) Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Kondisi umum
Kios permanen 100% 0% 90.9% 9.1% 100% 0% 95.8 4.2 Tempat memiliki atap yang
dapat melindungi dari hujan dan panas
100% 0% 100% 0% 100% 0% 100 0
Tempat penjualan bercampur dengan komoditi lain
0% 100% 100 % 0% 100% 0% 58.3 41.7
Penerangan mencukupi (dapat mengetahui perubahan warna pada daging)
100% 0% 100% 0% 100% 0% 100 0
Sarana/fasilitas
Permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah karat, dan mudah dibersihkan
100% 0% 72.7% 27.3% 33.3% 66.7% 79.2 20.8
Talenan berbahan kayu 100% 0% 100% 0% 100% 0% 100 0 Pisau yang digunakan terbuat
dari bahan yang antikarat
100% 0% 0% 100% 0 100% 41.7 58.3
Jumlah pisau lebih dari satu 50% 50% 18.2% 81.8% 33.3% 66.7% 33.3 66.7 Mempunyai fasilitas pembeku
(freezer)
0% 100% 0% 100% 0% 100% 0 100
Mempunyai fasilitas pendingin (refrigerator/chiller)
0% 100% 0% 100% 0% 100% 0 100
Tersedia fasilitas pencuci peralatan (bak air, westafel, atau yang lain)
100% 0% 9.1% 90.9% 0% 100% 45.8 54.2
Tersedia fasilitas cuci tangan 0% 100% 0% 100% 0% 100% 0 100 Penjualan produk
Karkas tidak terlindung (dapat disentuh pembeli)
100% 0% 100% 100% 100% 0% 100 0
Karkas terpisah dari jeroan 100% 0% 100% 0% 100% 0% 100 0 Ayam hidup bersamaan dengan
karkas
0% 100% 27.3% 72.7% 33.3% 66.7% 16.7 83.3
Kebersihan
Bebas dari serangga, rodensia, dan hewan lain
50% 50% 0% 100% 0% 100% 20.8 79.2
Kebersihan tempat penjualan/kios terjaga (tidak ada genangan air dan sampah yang bertebaran)
90% 10% 9.1% 90.9% 0% 100% 41.7 58.3
Tersedia tempat sampah basah atau kering
80% 20% 9.1% 90.9% 0% 100% 37.5 62.5
Higiene Personal
Memakai apron 50% 50% 9.1% 90.9% 0% 100% 25 75.0 Memakai penutup kepala 0% 100% 0% 100% 0% 100% 0 100 Memakai masker 0% 100% 0% 100% 0% 100% 0 100 Memakai sarung tangan 0% 100% 0% 100% 0% 100% 0 100
Dilihat dari higiene sanitasi pada ketiga pasar, Pasar Modern lebih baik dibandingkan dengan Pasar Bukit dan Pasar Jombang. Hal ini terlihat dari kondisi sanitasi pasar yang sudah memenuhi pedoman penyelenggaraan pasar sehat. Kriteria Pasar Modern yang sudah memenuhi kriteria pasar sehat sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 yaitu tempat penjualan memiliki kios permanen dan tidak bercampur dengan komoditas pangan lain, permukaan yang kontak dengan karkas rata terbuat dari bahan kedap air dan mudah dibersihkan, memiliki penerangan yang cukup, tersedia tempat sampah basah dan kering, tersedia fasilitas pencuci tangan dan peralatan, pasar bebas dari serangga dan rodensia, pisau terbuat dari bahan antikarat, dan memiliki sumber air cukup.
Secara umum kios responden pada ketiga pasar memiliki penerangan yang cukup sehingga dapat dengan jelas melihat warna karkas ayam dengan jelas. Adanya pencahayaan yang cukup dapat melakukan pengolahan bahan makanan secara efektif dan pasar juga akan terlihat bersih.
Secara umum higiene personal pada ketiga pasar tidak terjaga karena sebagian besar responden tidak memakai apron, penutup kepala, masker, dan sarung tangan. Menurut Zakour (2009) semua personal yang bekerja dalam proses pengolahan bahan makanan harus menjaga kebersihan, contohnya harus memakai pakaian dan peralatan bersih. Dengan adanya pemakaian apron, penutup kepala, masker, dan sarung tangan dapat menghindari pencemaran pada bahan pangan dan higiene personal tetap terjaga kebersihannya.
Dilihat dari fasilitasnya ketiga pasar tidak memiliki fasilitas pencuci tangan seperti bak air, wastafel, dan alat lainnya. Padahal higiene personal dalam pengolahan bahan pangan dan makanan harus diperhatikan. Salah satunya adalah mencuci tangan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang pada bahan pangan dan makanan. Proses pencucian tangan memiliki arti penting dalam pengolahan makanan. Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, feses, atau sumber lain ke makanan. Oleh karena itu, pencucian tangan merupakan hal yang pokok yang harus dilakukan oleh pekerja yang terlibat dalam penanganan makanan.
Pencucian tangan merupakan kegiatan ringan dan sering disepelekan. Hal ini terbukti bahwa cuci tangan cukup efektif dalam upaya mencegah kontaminasi pada makanan. Pencucian tangan dengan sabun dan dikuti dengan pembilasan akan menghilangkan banyak mikroba yang terdapat pada tangan. Kombinasi antara aktivitas sabun sebagai pembersih, penggosokan, dan aliran air akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung mikroba (Purnawijayanti 2001).
Fasilitas yang diperlukan untuk pencucian tangan adalah bak cuci tangan yang dilengkapi dengan saluran pembuangan tertutup, kran air, sabun, dan handuk atau tissue atau mesin pengering (Purnawijayanti 2001). Langkah mencuci tangan terdiri dari enam tahap, yaitu: (1) membasahi tangan, (2) memberi sabun, (3) menggosokkan busa ke seluruh bagian tangan dan sela-sela jari, (4) menyikat minimal 20 detik, (5) membilas dengan air yang mengalir, dan (6) pengeringan (WHO 2010).
Mikroba pada bahan pangan dapat menyebabkan keracunan, biasanya dapat dikontrol dengan cara pemanasan (dimasak) dan pendinginan. Mikroba dengan mudah dapat mencemari bahan pangan melalui tangan, papan alas atau talenan, pakaian, pisau, dan peralatan lainnya. Oleh karena itu makanan harus tetap dijaga dari pencemaran mikroba agar tetap aman dan sehat bagi tubuh.
Jumlah E. coli pada Daging Ayam
Menurut Lukman (2005) pengujian laboratorium perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah pencemaran mikroorganisme pada bahan makanan baik jumlah mikroorganisme pencemar secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini diperlukan untuk melihat keberadaan mikroorganisme dalam bahan pangan terutama bahan pangan asal hewan dan produk olahannya, karena:
a. Mikroorganisme dapat menimbulkan cita rasa dan sifat fisik yang disukai, misalnya dalam beberapa olahan susu seperti keju, susu fermentasi, dan mentega.
b. Pangan yang tercemar oleh mikroorganisme patogen atau penghasil toksin menjadi wahana transmisi penyakit kepada manusia atau hewan lain.
Pengujian mikrobiologis pada pangan baik pada bahan baku, selama proses, dan produk akhir dilaksanakan dalam rangka pengawasan keamanan dan mutu pangan. Pengujian mikrobiologis pada pangan bertujuan untuk mengetahui: a. Jumlah mikroorganisme;
b. Keberadaan mikroorganisme tertentu; c. Jumlah mikroorganisme indikator;
d. Jumlah mikroorganime patogen tertentu; dan e. Keberadaan mikroorganisme patogen tertentu.
Pengujian mikrobiologis juga dapat diterapkan untuk mengetahui keadaan (lingkungan) tempat pengolahan atau penanganan pangan antara lain: kualitas mikrobiologis udara, tingkat pencemaran mikroorganisme pada permukaan, dan kualitas mikrobiologik (Lukman 2005).
Hasil pengujian laboratorium diperoleh bahwa hampir seluruh sampel (100%) daging ayam yang diambil dari pasar-pasar tradisional di Tangerang Selatan tercemar oleh E. coli. Seluruh sampel daging ayam dari ketiga pasar memiliki jumlah E. coli yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009 (BMCM E. coli 1 log10 cfu/gram). Jumlah rata-rata E. coli dari ketiga pasar adalah 5.40 ± 5.55
log10 cfu/gram dan berdasarkan lokasi pasar maka jumlah rata-rata tertinggi
sampai terendah berturut-turut adalah Pasar Jombang (5.59 ± 5.64), Pasar Modern (5.38 ± 5.59), dan Pasar Bukit (5.11 ±5.39). Jumlah rataan E. coli dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada sampel daging ayam dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah rataan E. coli dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan
Pasar Rataan ± simpangan baku (log10 cfu/gram)
Jumlah sampel yang melebihi BMCM Pasar Modern (n=10) 5.38 ± 5.59 10 (100%) Pasar Bukit (n=11) 5.11 ±5.39 11(100%) Pasar Jombang (n=3) 5.59 ± 5.64 3 (100%) Total (n=24) 5.40 ± 5.55 24 (100%)
BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI 7388 Tahun 2009 Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan
BMCM E. coli daging ayam segar = 1 log10 cfu/gram
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah cemaran E. coli dan persentase sampel daging ayam yang melebihi BMCM tertinggi ditemukan pada sampel daging ayam dari Pasar Jombang. Hal ini dapat disebabkan higiene sanitasi di Pasar Jombang lebih buruk dibandingkan dengan Pasar Modern dan Pasar Bukit. Penyebab tingginya jumlah cemaran E. coli pada daging ayam dari Pasar Jombang adalah permukaan yang kontak dengan daging tidak kedap air, tempat penjualan bercampur dengan komoditi lain, kebersihan kios tidak terjaga, higiene sanitasi pasar yang buruk akibat banyak genangan air dan tumpukan sampah, ayam hidup bersamaan dengan karkas, tidak memiliki fasilitas pencucian peralatan, alas pemotong (talenan) terbuat dari bahan kayu, pisau yang digunakan tidak terbuat dari bahan anti karat, serta tidak diterapkannya prinsip cold chain karena daging tidak disimpan pada suhu dingin.
Sumber utama ditemukannya mikroba pada karkas atau daging adalah proses pemotongan hewan itu sendiri, proses pengolahan yang berkaitan dengan pekerja, dan kondisi lingkungan. Sumber pencemaran lainnya adalah permukaan tubuh bagian luar (kulit, bulu, dan kuku), saluran respirasi, dan saluran gastrointestinal (Fernandes 2009).
Menurut Forsythe (2000) E. coli hidup normal dalam saluran intestinal hewan berdarah panas dan bisa mencemari makanan dengan berbagai cara, termasuk pencemaran melalui tangan, selama proses eviserasi, pencemaran tidak langsung melalui polusi air, dan pengemasan produk. Oleh karena itu, adanya
genangan air di sekitar kios menyebabkan sumber perkembangbiakan bakteri dan dapat mencemari karkas secara tidak langsung melalui polusi air.
Talenan berbahan kayu dan pisau tidak anti karat juga sumber pencemaran bagi karkas karena pisau dan talenan ini tidak mudah dibersihkan sehingga dapat menjadi tempat bakteri berkembang biak. Peralatan yang kotor ini merupakan media yang dapat menyebabkan pencemaran silang dari satu karkas ke karkas yang lain (Meggitt 2003).
Kontaminasi lainnya terjadi melalui pedagang terkait masalah higiene personal contoh kebersihan tangan. Proses pencucian tangan memiliki arti penting dalam pengolahan bahan pangan terutama bagi para pedagang. Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, feses, dan sumber lain ke makanan. Pencucian tangan masih merupakan kegiatan ringan dan sering dilupakan. Pencucian tangan cukup efektif dalam upaya mencegah pencemaran pada bahan makanan contohnya karkas ayam. Hal ini terkait dengan higiene personal orang yang mengolah bahan pangan (Purnawijayanti 2001).
Faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis mikroba yang terdapat dalam makanan, diantaranya adalah sifat pangan atau makanan itu sendiri (pH, kelembaban, dan nilai gizi), keadaan lingkungan tempat bahan pangan diperoleh, serta kondisi pengolahan dan penyimpanan. Jumlah mikroba yang terlalu tinggi dapat mengubah karakter organoleptik, mengakibatkan perubahan nutrisi/nilai gizi, dan merusak makanan tersebut (BPOM 2008).
Peran Kesmavet dalam Keamanan Pangan Asal Hewan
Daging ayam merupakan produk hewan yang berfungsi sebagai nutrisi bagi tubuh manusia. Untuk itu daging yang dikonsumsi oleh masyarakat harus dijamin ASUH agar tidak menimbulkan penyakit. Oleh karena itu perlu adanya peran kesehatan masyarakat veteriner (Kesmavet) untuk menjamin keamanan pangan asal hewan yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Keamanan pangan merupakan bagian penting dari kesehatan masyarakat untuk menghubungkan sektor pertanian dan makanan produksi lainnya. Selama lebih dari satu abad, perkembangan produksi pangan telah memberi kontribusi
pada sistem keamanan pangan di sebagian besar negara berkembang sehingga menjadi efisien dalam pencegahan foodborne disease (WHO 2006).
Istilah Kesmavet atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal sebagai Veterinary
Public Health (VPH) diperkenalkan pertama kali oleh World Health Organization
(WHO) dan Food Agriculture Organization (FAO). Kesmavet didefinisikan sebagai seluruh kontribusi dari fisik, mental, dan sosial yang akan membawa pada pengertian dan penerapan ilmu kedokteran hewan (WHO 2006).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia. Menurut pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk:
1. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis;
2. Penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, keutuhan dan kehalalan produk hewan; dan
3. Penjaminan higiene dan sanitasi.
Kesmavet merupakan penghubung antara bidang pertanian atau peternakan dan kesehatan. Ruang lingkup tugas dan fungsi kesmavet adalah administrasi dan konsultasi, pencegahan penyakit zoonotis, higiene makanan, riset, dan penyidikan penyakit hewan dan zoonosis, serta pendidikan kesmavet. Secara garis besar tugas dan fungsi kesmavet adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk peternakan, serta mencegah terjadinya resiko bahaya akibat penyakit hewan atau zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Direktorat Kesmavet 2010).
Konsep “One Health” telah menginspirasi banyak komunitas kesehatan masyarakat untuk bersama-sama meningkatkan kesehatan hewan dan manusia di dunia agar menjadi lebih baik. Semua aspek profesi kedokteran hewan memilki kesempatan dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan manusia dalam semua yang dikerjakan termasuk melindungi makanan agar keamanan pangan dan
ketahanan, dalam menggunakan antibotik, mencegah penyakit zoonotik, dan melindungi lingkungan dan ekosistem (Pappaioanou 2004).