• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan Pemerintahan Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan Pemerintahan Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

41

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi

Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan Pemerintahan

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Firman Halawa

Universitas Pembangunan Panca Budi E-mail: firmanhalawa@gmail.com.

Abstract

Tindak pidana korupsi di Indonesia penyebarannya telah meluas di masyarakat. Perkembangannya juga terus meningkat

setiap tahunnya, baik jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Karena itutindak pidana korupsi telah dianggap sebagai suatu perkara “seriousnesscrime”, kejahatan serius yang sangat mengganggu hak ekonomi dan haksosial masyarakat dan negara dalam skala yang besar, sehingga penanganannya harus dilakukan dengan cara extra ordinary treatment. Penelitian ini bersifat yuridis empiris, yaitu penelitian dengan lugas untuk menganalisis penerapan undang-undang pertanahan, tipe penelitian yang digunakan komparatif, suatu penelitian yang berupaya untuk membandingkan suatu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya. Korupsi merupakan sebuah kejahatan yang sudah menjadi kejahatan internasional dan kejahatan ini selalu di barengi dengan perkembangan teknologi yang turut andil dalam perkembangan korupsi. Korupsi sudah disepakati dunia sebagai kejahatan luar biasa. Dengan demikian penanganan korupsi sebagai sebuah kejahatan yang membutuhkan kewenangan, pengetahuan dan kemampuan memanfaatkan teknologi. Korupsi juga sudah menjadi perilaku yang begitu sistemik dan mengakar. Oleh karena itu penangan korupsi sebagai prilaku menjadi sangat rumit. Salah satu yang menyebabkan sulitnya mengusut tindak pidana korupsi adalah sulitnya menemukan bukti atau membuktikan adanya tindak pidana korupsi. Dalam perkara yang menyangkut tindak pidana korupsi salah satu unsur yang harus dibuktikan di persidangan adalah menyangkut ada atau tidaknya kerugian negara yang telah terjadi

Kata Kunci:

Jabatan, Kejahatan, Tindak Pidana Korupsi.

How to cite:

Firman Halawa, (2020), “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam

Jabatan Pemerintahan Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014”, SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi, Vol

1(1),41-51.

A. Pendahuluan

Tindak Pidana Korupsi merupakan masalah serius yang dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Masalah tindak pidana korupsi juga bukan masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia. Tindak pidana korupsi telah merayap dan menyelinap dalam berbagai bentuk, atau modus operandi sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat. Tindak pidana korupsi di Indonesia penyebarannya telah meluas di masyarakat. Perkembangannya juga terus meningkat setiap tahunnya, baik jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Karena itutindak pidana korupsi telah dianggap sebagai suatu perkara “seriousnesscrime”, kejahatan serius yang sangat mengganggu hak ekonomi dan haksosial masyarakat dan negara dalam skala yang besar, sehingga penanganannya harus dilakukan dengan cara extra ordinary treatment.

Belakangan ini tindak pidana korupsi oleh pejabat pemerintahan kerap menjadi tranding topik pemberitaan di berbagai media. Maraknya kasus tindak pidana korupsi dikalangan pejabat pemerintahan ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan serta menambah persoalan bagi penyelenggaraan pemerintahan. Tindak pidana korupsi di kalangan pejabat pemerintahan dapat berupa

(2)

42 penerimaan gratifikasi maupun suap. Permasalahan ini pastinya berdampak pada terganggunya proses penyelenggaraan pemerintahan dan berpotensi terjadinya stagnasi penyelanggaraan pemerintahan yang dapat menimbulkan kerugian besar bagi negara. Pejabat pemerintahan yang seharusnya merupakan representasi negara yang setiap keputusannya menjadi bagian dari produk hukum yang dlindungi, namun kerap membuatnya terjebak manakala dihadapkan pada wilayah kebijakan yang masih belum jelas. Demu mengatasi maraknya tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang, pemerintah menetapkan kebijakan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Kebijakan ini merupakan payung hukum atau hukum materil bagi penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan mengatur hubungan hukum antara instansi pemerintah dan individu atau masyarakat dalam wilayah hukum administrasi negara.

Menurut Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang dapat diperiksa di peradilan umum. Kalangan lain berpendapat bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan domain hukum administrasi sehingga untuk menguji ada atau tidak adanya dugaan penyalahgunaan wewenang merupakan tugas dari Peradilan Tata Usana Negara.

Hal lainnya yang juga melatarbelakangi penetapan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan agar penggunaan wewenang oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan senantiasa mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (selanjutnya disebut AUPB) (Pasal 1 angka 12 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan) atau Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penetapan Undang-Undang tersebut dimaksudkan agar terdapat perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, baik perlindungan terhadap warga masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak maupun terhadap pihak pemerintah sendiri selaku pihak penyelenggara pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka penggunaan kekuasaan negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan memerlukan suatu prasyarat tertentu. Tindakan pemerintah harus senantiasa didasarkan pada hukum dan senantiasa memperhatikan hak-hak masyarakat. Pada sisi yang lain, masyarakat juga tidak serta merta dapat mempersalahkan pemerintah tetapi harus berdasarkan argumentasi yang sah dan melalui mekanisme dan prosedur hukum yang telah ditentukan.

Adapun kategori penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, meliputi tindakan yang melampaui Wewenang, mencampuradukkan wewenang dan/atau bertindak sewenang-wenang. Seorang pejabat pemerintahan dikategorikan telah melakukan tindakan melampaui wewenangnya, apabila tindakannya itu dilakukan melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tindakan pejabat pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang, apabila keputusan dan/atau tindakannya itu yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Sedangkan bertindak sewenang-wenang, apabila keputusan dan/atau tindakannya itu dilakukan tanpa dasar kewenangan; dan/atau bertentangan dengan Putusan Pangadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Ketentuan terhadap pasal di atas memperlihatkan secara tegas bahwa pengujian terhadap ada/tidaknya tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan merupakan kompetensi absolut PTUN. Penilaian terhadap kebebasan diskresioner apakah selaras dengan maksud ditetapkannya wewenang atau memang sesuai dengan tujuan akhirnya, merupakan domain hakim administrasi atau tata usaha negara, sehingga terhadap kebijakan pemerintahan tidak dapat dinilai oleh hakim pidana yang memfokuskan dirinya pada persoalan rechtmatigheid dan bukan pada doelmatigheid.

(3)

43 B. Pembahasan

1. Sanksi Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan. Pada hakikatnya, dalam rangka menerapkan pembuktian atau hukum pembuktian hakim lalu bertitik tolak kepada sistem pembuktian dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Untuk itu, secara teoritis guna penerapan sistem pembuktian dikenal adanya beberapa teori, yakni :

1. Sistem keyakinan belaka (Conviction in-time)

Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. Tidak menjadi masalah dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dari dan disimpulkan hakim dari alatalat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan, bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan atas kebersalahan terdakwa.1 Begitu juga sebaliknya, apabila alat-alat bukti lengkap untuk menetapkan kesalahan terdakwa namun hakim tidak yakin maka hakim boleh membebaskan terdakwa.

2. Sistem keyakinan dengan alasan yang logis (Conviction Raisonne)

Dalam sistem ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, namun keyakinan hakim tersebut harus didukung dengan alasan-alasan yang logis/jelas. Lebih lanjut lagi keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan rasional dalam mengambil keputusan. Sistem ini berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Dengan kata lain, hakim tidak terikat oleh ketentuan undang-undang atau alat bukti yang sah dalam mengambil keputusan, melainkan hakim bebas untuk membuat alasan yang logis dalam mendukung keyakinannya.

3. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wettelijk bewijstheorie)

Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan alatalat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, sistem ini disebut juga dengan teori formal.

4. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie)

Sistem pembuktian negatif sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisonne. Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undangundang dan keyakinan hakim sendiri. Jadi, di dalam sistem negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa yakni. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negative (negatief wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag) menurut Simons, yaitu pada

(4)

44 peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang2.

2. Tindak Pidana Korupsi Dalam Pejabat Pemerintahan Menurut Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

Perundang-undangan di Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki "sistem pemidanaan yang bersifat nasional" yang di dalamnya mencakup "pola pemidanaan" dan "pedoman pemidanaan". "Pola pemidanaan", yaitu acuan/pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat/menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut "pedoman legislatif" atau "pedoman formulatif. Sedangkan "pedoman pemidanaan" adalah pedoman penjatuhan/penerapan pidana untuk hakim (pedoman yudikatif/pedoman aplikatif). Dilihat dari fungsi keberadaannya, maka pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP Nasional dibuat.

Memang sudah ada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun substansi undang-undang ini adalah lebih mengenai asas, proses/prosedur penyiapan, pembahasan, teknis penyusunan dan pemberlakuannya. Undang-undang ini sama sekali tidak menyinggung tentang "pemidanaan", setidaknya hal-hal yang berkaitan tentang jenis pidana (strafsoort), kriteria sedikit-lamanya pidana (strafmaat) serta cara pelaksanaan pidana (strafmodus).

Meski Indonesia belum memiliki "pola pemidanaan" yang berkaitan dengan kriteria kualitatif dan kuantitatif penentuan pidana minimum khusus, namun bila menyadari bahwa efektivitas penegakan hukum itu bertitik tolak dari kualitas produk kebijakan legislatif, maka melihat perkembangan doktrin pidana dan/atau melakukan studi komparasi pada beberapa perundang-undangan pidana negara lain, yang sudah mengatur hal itu adalah salah satu solusinya.

Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, delikdelik tertentu yang dapat ditentukan pidana minimum khususnya adalah yang berkarakter berikut:

1. Delik-delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat; 2. Delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte)

Selanjutnya untuk ukuran kuantitatif, belum ada bahan rujukan yang baku, sehingga salah satu solusinya adalah dengan membandingkannya dengan formulasi pidana "minimum khusus di beberapa KUHP negara lain. Masalah pokoknya di Indonesia adalah bahwa sampai sekarang belum terjawab, sejauhmana kewenangan kebebasan yang dimiliki oleh hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum. Dan itu tidak lain adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan/pedoman pemidanaan (straftoemetings regelistraftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing) sebagaimana aturan/pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang "dapat" naik (sampai batas tertentu) di atas batas-limit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan terren recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis. Undang-undang memang mewajibkan hakim menggali dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dan perspektif masyarakat, agar dihukumnya para pelaku korupsi sebanyak-banyaknya dengan pidana yang relatif berat, sebab apabila pelaku korupsi dijatuhi pidana yang ringan, apalagi bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, banyak masyarakat menganggap penjatuhan putusan itu tidak adil. Penegakan hukum pidana, secara fungsional melibatkan 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu:

1. Faktor perundang-undangan;

2. Faktor aparat/badan penegak hukum; dan 3. Faktor kesadaran hukum.

Faktor perundang-undangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi Hukum pidana materiel (hukum pidana substantif), hukum pidana formil meliputi acara pidana maupun hukum pelaksanaan pidana. Untuk faktor perundang-undangan inipun terkait dengan tahapan-tahapan

(5)

45 kebijakan formulatif (legislatif), kebijakan aplikatif (yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekutif). Dapat dikatakan, bahwa pada tahap kebijakan formulasi adalah merupakan penegakan hukum "in abstracto", yang pada gilirannya akan diwujudkan dalam penegakan hukum "in concreto:' (melalui tahap kebijakan aplikasi dan eksekusi). Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement” yang operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu:

1) tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2) tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan 3) tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”. Letak strategisnya adalah karena garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang diformulasikan oleh aparat legislatif merupakan landasan legalitas bagi aparat penerap pidana (aparat yudikatif) dan aparat pelaksana pidana (aparat eksekutif/administratif). Hal ini juga berarti, apabila pada tahap kebijakan formulatif ini terdapat kelemahan perumusan pada sistem pemidanaannya, maka eksesnya eksekusi pada tahap-tahap berikutnya (tahap aplikasi dan tahap eksekusi). Dengan perkataan lain, kelemahan penegakan hukum pidana "in abstracto" akan membawa pengaruh pada kelemahan penegakan hukum "in concreto”.

Dalam praktik pembuatan perundang-undangan di Indonesia penggunaan pidana sebagai bagian dari politik/kebijakan harus sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hanya dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat ataupun strafmodus pada setiap kebijakan pembuatan perundang-undangan pidana di Indonesia, dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihannya atau penentuannya.

Dalam penerapannya, suatu putusan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat membawa dampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana yang bersangkutan, akan tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Hal ini karena dalam proses penjatuhan pidana, di samping bersentuhan dengan aspek yuridis, juga didalamnya terkait dengan aspek sosiologis dan aspek filosofis. Akhirnya banyak timbul wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan aksi dan sikap kritis terhadap "beragamnya" strafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya issue disparitas pidana disparity of sentencing di antara delik-delik tertentu tersebut. Secara umum dapat dikatakan, bahwa dilihat dari sumbernya, maka faktor penyebab disparitas pidana selain berasal dari Hakim (yang menjatuhkan putusan pidana), juga utamanya berasal dari kelemahan hukum positif (peraturan perundang-undangan), yang dilatarbelakangi oleh faktor:

1) pertama, adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan

2) kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal objektif untuk delikdelik tertentu yang sangat dicela dan merugikan/membahayakan masyarakat/negara, serta ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga pembuat undang-undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik tertentu, di samping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya.

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. B. Arief Sidharta mengatakan bahwa tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan cita hukum yang

(6)

46 dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat)

Dalam penegakan hukum pidana ada 4 (empat) aspek dari perlindungan masyarakat yang harus mendapat perhatian, yaitu:

a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penanggulangan kejahatan.

b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Wajar pula apabila penegakan Hukum Pidana bertujuan memperbaiki sipelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.

d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa a) Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat

undang-undang;

b) Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan Hukum Pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif;

c) Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat juga disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.

Hukum mempunyai komponen-komponen yaitu: a. komponen substantif, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai sifat relatif konstan; b. Komponen spritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi dinamis; c. Komponen struktural, terdiri dari lapisan-lapisan mulai dari adat, kebiasaan, hukum dan undang-undang; d. komponen kultural, berupa tatanan hidup manusia yang mempunyai sifat menyelaraskan diri dengan lingkungan. Dalam kaitan ini, Hukum Acara Pidana berfungsi ganda, yakni di satu sisi berusaha mencari dan menemukan kebenaran sejati tentang terjadinya tindak pidana agar yang bersangkutan dapat dipidana sebagai imbalan atas perbuatannya, di sisi lain adalah untuk sejauh mungkin menghindarkan seseorang yang tidak bersalah agar jangan sampai dijatuhi pidana.

Pandangan Dicey dikatakan pandangan murni dan sempit, karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya tentang the rule of law, intinya adalah “Common Law” sebagai dasar perlindungan kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Perlindungan Common Law hanya dapat meluas kepada kebebasan pribadi tertentu seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat ”assure the citizen’s economic or social well being” (menjamin kesejahteraan ekonomi atau sosial warga negara) seperti perlindungan fisik yang baik, memiliki rumah yang layak, pendidikan, pemberian jaminan sosial atau lingkungan yang layak, kesemuanya itu membutuhkan pengaturan yang kompleks. Suatu hal yang penting dari the rule of law adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Pemerintah dilarang menggunakan privilege yang bertentangan dengan aturan hukum.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi sebagai berikut :

1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara 3. Pidana Tambahan

(7)

47 3. Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pejabat

Pemerintahan

Penyelesaian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1960 dengan munculnya Perpu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari dakwaan.

Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9 orang yang diindikasikan “koruptor”.

Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat. Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.

Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Koruptor itu mengambil uang negara Rp. 7,6 milyar jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan bahkan sedikit sekali pelaku tindak pidana korupsi yang diajukan di pengadilan. Banyak kasus yang dipeti tidak diketahui kelanjutannya secara jelas.

Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk.

Pada tahun 1977 dengan berdasarkan Inpres 9 Tahun 1977, Pemerintah melancarkan Operasi Penertiban (OPSTIB). Dalam empat tahun (1977-81) Opstib telah menyelamatkan uang Negara Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai. Opstib merupakan gabungan dari unsur polisi, kejaksaan, militer, dan dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah.

Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat dukungan.

Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara. Sejumlah pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN ke Kepolisian, namun banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan milik Jaksa Agung waktu itu, MA Rachman. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK akhirnya KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Upaya terakhir mempertahankan KPKPN melalui permohonan Judicial Review akhirnya ditolak oleh Mahakamah Konstitusi.

(8)

48 Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai Setjen KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai kalangan namun apa yang telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak memberikan harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus korupsi di Indonesia.

Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil yang telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia. Selain itu Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.

Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Ada dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal.

Masa tugas Tim yang terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Tim ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Setiap tiga bulan, timtas tipikor melaporkan perkembangan kerjanya kepada Presiden. Tidak lama setelah berdiri, tim ini sudah disibukkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi di 16 badan usaha milik negara (BUMN), 4 Departemen, 3 perusahaan swasta dan 12 koruptor yang melarikan diri.

Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menentukan adanya kriteria kasus korupsi yang dapat langsung ditangani oleh komisi, dalam Kepres No. 11 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum keberadaan Timtas Tipikor tidak menyebutkan kriteria kasus apa saja yang menjadi kewenangannya.

Persoalan penting yang dihadapi aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah keharusan adanya izin pemeriksaan dari presiden terhadap pejabat negara. Berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi di daerah disebabkan belum adanya izin presiden untuk memeriksa kepala daerah atau anggota DPR sebagai saksi atau tersangka. Keharusan adanya izin pemeriksaan bagi pejabat daerah khususnya kepala daerah yang diduga terlibat perkara korupsi kenyataannya tidak hanya menjadi persoalan pelik bagi KPK dan kepolisian, namun juga kendala bagi kejaksaan.

Adanya izin pemeriksaan, dalam kenyataaanya justru mempersempit gerak aparat penegak hukum dalam mengusut dugaan korupsi. Beberapa persoalan yang muncul berkaitan dengan proses perizinan pemeriksaan dari presiden adalah Pertama, keharusan adanya izin pemeriksaan bagi kepala daerah justru menghambat penuntasan perkara korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisan atau kejaksaan di daerah. Dalam beberapa temuan misalnya menunjukkan bahwa pemeriksaan perkara korupsi seringkali tertunda karena masih menunggu keluarnya izin dari presiden. Di samping itu, izin pemeriksaan kenyataannya bersifat parsial atau tidak menyeluruh.

Dalam hal seorang kepala daerah diperiksa sebagai saksi, pihak penegak hukum di daerah harus mengajukan izinkepada presiden. Dan apabila statusnya meningkat sebagai tersangka maka penyidik harus meminta izin kembali. Izin pemeriksaan ternyata tidak bisa dilakukan satu paket

(9)

49 misalnya izin diberikan mulai dari kepala daerah diperiksa menjadi saksi, tersangka, dan termasuk ketika akan menahan tersangka.

Persoalan adminitrasi dan birokrasi perizinan juga menjadi alasan penyebab lambatnya izin pemeriksaan turun. Hingga saat ini belum ada standar yang jelas mengenai jangka waktu keluarnya izin pemeriksaan oleh presiden. Berdasarkan surat KPK kepada Presiden SBY tanggal 25 Agustus 2006, masih terdapat 36 kepala daerah yang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan di daerah yang penanganannya terhambat karena belum mendapatkan izin pemeriksaan dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Kedua, pemberian izin tidak diikuti dengan langkah melakukan monitoring dan evaluasi. Dalam praktiknya, cepatnya keluar izin pemeriksaan dari presiden ternyata tidak diikuti dengan cepatnya penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan. Presiden terkesan memasrahkan begitu saja tugas selanjutnya kepada kedua institusi hukum yang meminta izin tersebut, tanpa adanya monitoring dan evaluasi atas kinerja penanganan perkara secara terus-menerus. Tidak ada konsekuensi atau tindakan yang diberikan oleh presiden kepada kejaksaan atau kepolisian daerah apabila penanganan perkara terhadap tersangka berlarut-larut. Hal ini bisa dilihat dari perkara korupsi APBD Sumbar 2003 yang diduga melibatkan mantan gubernur Sumbar, Zaenal Bakar. Meskipun izin pemeriksaan sebagai tersangka sudah keluar sejak 4 Desember 2004, namun hingga hampir tiga tahun, pihak Kejaksaan Tinggi Sumbar belum juga melimpahkan Zainal Bakar ke pengadilan.

Selain berlarut-larut, hasil akhir yang dicapai penanganan perkara korupsi seringkali mengecewakan. Pada tahun 2006, dari 70 perkara, sudah ada enam perkara yang melibatkan kepala daerah dibebaskan oleh pengadilan. Hanya satu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah dieksekusi yaitu perkara korupsi dana pemilu yang melibatkan Bupati Temanggung non aktif Totok Ary Prabowo (vonis kasasi MA empat tahun penjara). Selebihnya atau 56 perkara masih macet di tingkat penyelidikan dan penyidikan. Dalam beberapa perkara pemberian izin pemeriksaan juga juga tidak diikuti dengan langkah presiden memberhentikan sementara (non aktif) ketika para kepala daerah beralih status menjadi terdakwa. Padahal Pasal 31 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah secara jelas menyebutkan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Berdasarkan uraian tersebut jelas jika presiden benar-benar serius memberantas korupsi, maka perlu menghapus kebijakan kewajiban bagi penyidik untuk meminta izin pemeriksaan bagi kepala daerah kepada Presiden. Peraturan ini terbukti memperlambat percepatan pemberantasan korupsi, diskriminatif, dan bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 45. Agar tidak dianggap sebagai penghambat pemberantasan korupsi dan tidak dinilai sebagai upaya menaikkan citra semata maka kebijakan meminta izin pemeriksaan bagi kepala daerah harus dihapuskan. Kebijakan ini dapat diganti dengan cukup adanya pemberitahuan pemeriksaan kepada presiden. Selain itu monitoring dan evaluasi atas kinerja aparat kejaksaaan atau kepolisian di daerah juga harus ditingkatkan.

Munculnya Komisi Pembentasan Korupsi (KPK) yang berfungsi melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi merupakan respon atas kurang efektifnya penanganan tindak pidana korupsi oleh aparat kepolisian dan kejaksaan. Bahkan di antara aparat penegak hukum banyak yang terlibat kasus tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti dengan ditangkapnya beberapa perwira tinggi kepolisian yang terlibat dalam kasus pembobolan BNI dan beberapa jaksa yang terlibat tindak pidana korupsi dana BLBI.

Keterbatasan SDM Polri di atas juga tidak lepas dari keterbatasan anggaran penegakkan hukum korupsi. Keterbatasan anggaran tersebut pada akhirnya juga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi. Banyak anggota Polri dan kejaksaan yang terlibat tindak pidana korupsi karena menyelesaikan kasus korupsi dengan korupsi. Banyak proses penyidikan kasus korupsi dihentikan karena anggota Polri atau kejaksaan menerima suap dari orang-orang yang terlibat kasus tindak pidana korupsi tersebut.

Terdapat beberapa institusi yang memiliki tugas dan kewenangan melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Timtas Tipikor. Hal ini tentunya tidak menutup kemungkinan terjadinya benturan atau tumpang tindih (over

(10)

50 lapping) kewenangan antar institusi pemberantasan korupsi. Untuk itu perlu adanya koordinasi dan kesepahaman untuk menghindari rivalitas yang negatif diantara sesama lembaga tersebut. Hal ini penting untuk segera diatasi agar upaya pemberantasan korupsi tidak jalan buntu (dead lock) akibat terjadinya perebutan antar instansi penegak hukum.

Salah satu sebab dari kegagalan penanganan tindak pidana korupsi masa lalu adalah karena kurang atau bahkan tidak adanya koordinasi antar institusi penegak hukum. Masing-masing institusi berjalan sendiri-sendiri dan tidak berkordinasi satu sama lain. Selain itu, birokrasi dan campur tangan pihak lain juga menghambat dalam melakukan kordinasi antar institusi penegak hukum. Oleh karena itu, koordinasi antar institusi pemberantasan korupsi sangat mutlak diperlukan dan selanjutnya setiap pembuatan dan pembaharuan kebijakan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi harus dikoordinasikan oleh semua institusi penegak hukum. Koordinasi yang dimaksud adalah memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk atau melakukan kerja sama dengan instansi lain yang terkait dengan kegiatan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.

Langkah koordinasi dalam pemberantasan korupsi antara KPK dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (kepolisian dan kejaksaan) sudah dimulai sejak lembaga Superbody ini mulai efektif bekerja (tahun 2004). Berdasarkan laporan KPK hingga November 2004 disebutkan terdapat 307 perkara korupsi yang ditangani kepolisian (66) dan kejaksaan (241) telah dikoordinasikan dengan KPK. Namun koordinasi yag dilakukan oleh dua institusi penegak hukum kepada KPK masih terbatas kepada pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).

Korupsi yang terjadi Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat maka dalam

penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary).

C. Kesimpulan

Korupsi merupakan sebuah kejahatan yang sudah menjadi kejahatan internasional dan kejahatan ini selalu di barengi dengan perkembangan teknologi yang turut andil dalam perkembangan korupsi. Korupsi sudah disepakati dunia sebagai kejahatan luar biasa. Dengan demikian penanganan korupsi sebagai sebuah kejahatan yang membutuhkan kewenangan, pengetahuan dan kemampuan memanfaatkan teknologi. Korupsi juga sudah menjadi perilaku yang begitu sistemik dan mengakar. Oleh karena itu penangan korupsi sebagai prilaku menjadi sangat rumit. Pesatnya pertumbuhan perekonomian di Indonesia tidak saja menimbulkan persoalan ekonomi, tetapi meningkatkan gejala kriminalisasi sebagai suatu dimensi baru kejahatan yang melibatkan suatu penyalahgunaan secara melawan hukum dari kekuasaan ekonomi, maupun kekuasaan umum.Bentuk kejahatan struktural inilah yang meliputi system, organisasi dan struktur yang terorganisir secara baik. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi.Untuk mengungkapperkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial. Kejahatan sebagai masalah sosial merupakan gejala yang dinamis, tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, yang merupakan suatu socio-political problems. Hubungan korelasional antara perkembangan kejahatan dengan perkembangan struktur masyarakat dengan segala aspeknya (sosial, ekonomi, politik, kultur), merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi penanggulangan kejahatan

(11)

51 Daftar Pustaka

Alfitra. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di Indonesia, Jakarta : Raih Asa Sukses, Tahun 2011, hlm 29.

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Jakarta : Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Tahun 2002, hlm 256.

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hlm 138-139.

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hlm 13-14.

B. Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia). Bandung: Mandar Maju.1999, hlm 180.

Ibid. hlm 79

Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Medai, Yogyakarta, 2014, hal. 1 Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung : PT. Alumni, Tahun 2007, hlm 105.

Muladi. Op-cit., hlm 13-14.

Nurjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hal. 14 Soedjono Dirdjosisworo. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum. Bandung:

Armico, 1984, hlm 55.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hlm 2.

Referensi

Dokumen terkait

Arikunto (1996:126) ”Berdasarkan masalah-masalah yang akan dibahas, maka dalam menentukan sampel penelitian digunakan teknik sampel wilayah (Area Probability

pembangunan ekonomi yang amat ambisius yang pernah mereka lakukan, dan sekaligus merupakan kekeliruan yang amat besar. Pada tahun 1970-an, pemerintah Brazil merencanakan membangun

tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai

Laporan akhir ini berjudul “ Rancang Bangun Alat Pendeteksi Boraks pada Makanan Menggunakan Sensor Warna Berbasis Mikrokontroler ” yang.. merupakan salah satu

Hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus II ini mencapai tingkat 100 % jadi sudah dapat dikatakan tuntas, untuk itu tidak perlu lagi diadakan pembelajaran pada siklus

Bahasa Indonesia ragam jurnalistik merupakan ragam bahasa yang berbeda dengan bahasa Indonesia ragam baku hanya dalam hal kuantitas dan performa aspek

Dengan melihat kondisi angin yang seperti ini bisa dikatakan pada tanggal 9 November 2017 hujan berpotensi turun dalam waktu yang cukup lama sebab pergerakan angin seperti mendapat

Tujuan dari penelitian yaitu menghasilkan sebuah sistem informasi pengelolaan data penyewaan kamar yang lebih cepat, tepat guna, efektif dan efisien pada Hotel Candra