• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 12 Desember 1987

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 12 Desember 1987"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Menyambut Diskusi Ilmiah Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri:

MENYEDERHANAKAN MODEL TESTING

PERGURUAN TINGGI NEGERI

Oleh : Ki Supriyoko

Pengantar Redaksi

Pagi ini Diskusi Ilmiah Masalah Seleksi Masuk Perguruan Tinggi yang diselenggarakan di Gedung Pertemuan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Tampil sebagai pembicara Drs. Subaroto (Kakanwil Depdikbud DIY), DR. Tohari Musnawar, Peserta dari PGRI Pusat (Jakarta), Prof. Ir. S

Pramutadi, Prof. DR. Sumadi Suryabrata M.A.Ed.S, Prof. Drs. Sutrisno Hadi, M.A. (moderator).

Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut peristiwa tersebut sekaligus urunan pendapat penulisnya.

Kiranya tiada yang lebih indah bagi para pengurus dan pengelola perguruan tinggi kecuali memproduksi para lulusan atau hasil didik dengan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan; lulusan yang kualitatif.

Input, proses dan output adalah merupakan sebuah mekanisme akademik yang saling berkorelasi; dalam artian untuk dapat menghasilkan lulusan yang kualitatif maka persyaratan input dan proses harus dipenuhi lebih dulu. Kalau inputnya jelek, meski prosesnya baik maka lulusannya yang kualitatif tidak mungkin terwujud. Sebaliknya meski inputnya baik kalau prosesnya jelek maka jangan mengharapkan sebuah perguruan tinggi dapat menghasilkan lulusan yang kualitatif. Apalagi input dan prosesnya sama-sama jelek, maka lulusan yang dihasilkan patut dipertanyakan (untuk tidak mengatakan sebagai "sampah").

Proses dapat dianggap sebagai sebuah 'intervening variable' antara input dan output. Disatu pihak keberhasilan lulusan sangat tergantung pada proses, sementara itu pada pihak yang lain keberhasilan proses juga sangat tergantung pada input. Demikian strategisnya posisi input tersebut maka Perguruan Tinggi Negferi

(PTN) di negara kita senantiasa berupaya menciptakan sistem seleksi yang efektif

untuk menjaring peserta didik yang benar-benar berkualitas. Berbagai "Model"

(2)

Dalam sejarahnya PTN di negara kita sudah mencoba mengembangkan berbagai model atau pola seleksi masuk perguruan tinggi untuk menjaring calon mahasiswanya; mulai dari model yang klasik pada tingkat institusional sampai model yang berskala nasional.

Pertama kali sistem penerimaan mahasiswa baru PTN menggunakan model

"institusi"; dimana tiap lembaga yang akan menerima mahasiswa baru diberi

kewenangan secara penuh untuk melaksanakan testing lengkap dengan kriteria kelulusannya.

Menyusul kemudian ada semacam "asosiasi PTN" yang menggabungkan diri dalam kelompok SKALU; diantaranya adalah UGM, ITB, UI, dsb. Kelompok ini membuat aturan yang sama dalam penerimaan mahasiswa baru; diantaranya dalam hal kepanityaannya, jenis dan materi testingnya, dsb. PTN yang tergabung dalam kelompok SKALU ini dulu sering disebut-sebut sebagai "PTN Elite" di negeri ini, karena pada kenyataannya kelompok SKALU ini terdiri dari beberapa PTN terbaik di negara kita waktu itu.

Setelah SKALU berlalu selanjutnya datanglah "era Proyek Perintis (PP)". Dalam "era Proyek Printis" ini ada pengelompokan perguruan tinggi; masing-masing adalah PP I s/d PP IV. PP I meliputi sepuluh perguruan tinggi UANIR, UGM,

USU, ITB, dsb; untuk PP III meliputi UNS, UNCEN, UNLAM, dsb; PP IV meliputi IKIP Jakarta, IKIP Yogyakarta, IKIP Surabaya, dsb; sedangkan PP II berlaku untuk

semua PTN yang disediakan khusus untuk pengembangan minat dan bakat.

Kiranya perlu dicatat bahwasannya pada "era Proyek Perintis" ini mulai ada pemisahan yang tegas antara PTN kependidikan --yang tergabung dalam PP IV-- dengan PTN non-kependidikan --yang tergabung dalam PP I dan III--. Khusus untuk PP I, kelompok ini merupakan "jelmaan" dari kelompok SKALU terdahulu. Kelompok PP I, III dan IV ini melaksanakan testing tertulis dalam menjaring mahasiswa barunya dengan aturan main yang sama pada masing-masing kelompok. Sedangkan kelompok PP II khusus disediakan untuk pengembangan minat dan bakat calon melalui program Penelusuran Minat dan Bakat.

Setelah era Proyek Printis ini berakhir barulah dikembangkan model Sipenmaru dan PMDK; dimana didalamnya tidak ditemui lagi adanya pengelompokan PTN, baik antara PTN kependidikan maupun non-kependidikan. Yang membedakan adalah pilihan calon mahasiswa.

Perbedaan antara Sipenmaru dan PMDK ialah sbb: Sipenmaru memakai ujian tertulis dan setiap calon bebas menentukan pilihan jurusan untuk semua PTN di Indonesia (tentu saja ada aturan mainnya), sedangkan PMDK tidak menggunakan ujian tertulis karena khusus disediakan bagi pengembangan minat dan kemampuan. Beberapa waktu yang lalu sempat berkembang informasi bahwa seleksi masuk PTN model Sipenmaru akan segera diakhiri untuk selanjutnya akan dikembangkan

(3)

diberi kebebasan untuk menentukan materi testing lengkap dengan krite-rianya menurut "selera" dari PTN yang bersangkutan. Kira-kira merupakan model klasik yang dimodifikasi.

Sipenmaru Perlu Diganti

Model seleksi masuk PTN yang paling akhir dikembangkan adalah Sipenmaru,

seleksi penerimaan mahasiswa baru yang ber-skala nasional; dimana materi tesnya

adalah sama untuk seluruh calon mahasiswa baru PTN di Indonesia (untuk program yang sejenis).

Setelah model Sipenmaru digunakan berulangkali ternyata kemudian munculah beberapa kelemahan, tentunya tanpa mengura-ngi nilai kelebihannya.

Kisahnya dimulai pada Sipenmaru 1985 dimana pada moment tersebut muncul satu kasus "misteri kursi kosong" (bagi program-program kependidikan) untuk yang pertama kalinya. Bagi IKIP dan lembaga pendidikan tinggi kependidikan lainnya pengalaman tersebut benar-benar pahit dan memprihatinkan.

Ujian tulis Sipenmaru 1985 diikuti oleh 512.050 kandidat untuk memperebutkan

71.280 kursi kuliah yang tersebar pada 43 PTN di negara kita. Dengan demikian

persaingan yang terjadi untuk memperebutkan kursi kuliah di PTN pada waktu itu adalah sangat tajam, karena rata-rata kursi kuliah diperebutkan oleh tujuh atau delapan calon.

Tetapi setelah hasil Sipenmaru diumumkan dan saat her-registrasi dilaksanakan ternyata akhirnya dijumpai 2.128 kursi kosong pada FKIP dan IKIP; artinya ditengah-tengah persaingan yang tajam untuk memperebutkan kursi kuliah di perguruan tinggi ternyata masih ditemui ribuan kursi kuliah yang dipersiapkan untuk mahasiswa baru pada IKIP (dan FKIP) tidak terisi.

Pengalaman Sipenmaru 1985 tersebut terulang lagi pada Sipenmaru 1986 yang lalu meskipun dalam proporsi yang lebih kecil.

Kedua pengalaman tersebut diatas tentunya, tidak dapat dilepaskan dari model seleksinya itu sendiri, yang mana pada saat itu para kandidat diberi kebebasan untuk menentukan "pilihan"-nya pada bidang studi atau jurusan yang diingini. Dan ternyata program kependidikan banyak yang hanya dijadikan "ban serep".

Kelemahan tersebut sesungguhnya telah diperbaiki pada Sipenmaru 1987, dengan adanya aturan "pilihan sejenis" bagi para kandidat; artinya bagi calon yang akan menimba ilmu di IKIP/FKIP maka program pendidikan membawa hasil dan

"misteri kursi kosong" mulai bisa dipecahkan. Namun pada sisi yang terjadi

peristiwa yang hampir lepas dari perhitungan, ialah tentang menurunnya peminat Sipenmaru itu sendiri.

(4)

Dari tahun ke tahun jumlah peserta seleksi masuk PTN senantiasa mengalami perkembangan jumlah yang pesat; tetapi pada Sipenmaru 1987 yang lalu jumlah pesertanya justru menurun dengan tajam.

Penulis memiliki data tentang perkembangan jumlah peserta seleksi masuk PTN yang dapat diinformasikan sbb: pada tahun 1980 -- masih menggunakan model Proyek Perintis -- terdapat 126.761 peserta tes, seterusnya yang diterima sebanyak

14.552 peserta atau sekitar 11,5%. Hal ini berarti terdapat ratio antara yang diterima

dengan jumlah peserta sekitar 1:8,5 (angka dibulatkan).

Sementara itu jumlah peserta tes untuk tiga tahun berikutnya (1981, 1982 dan 1983) secara berturut-turut adalah 165.837; 197.000 dan 230.900 calon.

Pada tahun 1986 -- sudah memakai model Sipenmaru terdapat 569.431 peserta seleksi dan 81.886 diantaranya dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru pada berbagai PTN di negeri ini, termasuk Universitas Terbuka. Jadi, yang diterima di berbagai perguruan tinggi hanya sekitar 14,5% dari keseluruhan peserta seleksi. Periksa Tabel!

Perhatikan, peserta seleksi tahun 1986 jumlahnya berlipat ganda menjadi 586.431 orang, atau 462,63% dari jumlah peserta seleski enam tahun sebelumnya. Dari data empiris tersebut diatas secara matematis dapat diprediksi jumlah peserta seleksi untuk tahun 1987 sbb: selama enam tahun -- dari tahun 1980 sampai 1986 -- terjadi peningkatan peserta tes sebanyak 459.670 orang (586.431 dikurangi 126.761). Dengan demikian pada setiap tahunnya rata-rata terjadi peningkat-an jumlah peserta 76.612 orang. Jadi angka prediksi jumlah peserta seleksi untuk tahun 1987 yang dihasilkan adalah 663.043 orang (586.431 ditambah 76.612).

Kenyataannya berbicara lain. Sipenmaru 1987 "hanya" diikuti oleh 451.627 orang. Angka ini bukan saja lebih kecil dari angka prediksi, akan tetapi juga lebih kecil dari jumlah peserta tahun-tahun sebelumnya.

Keadaan tersebut diatas memberi isyarat tentang mulai adanya "penyakit kejenuhan" pada para calon terhadap model Sipenmaru. Apakah hal tersebut sekaligus mengisyaratkan perlu diakhirinya model Sipenmaru ....?? Bisa jadi ....!!! Sistem NEM

Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana menciptakan "alat saring" yang efektif; dari segi materi valid, dan dari segi biaya operasional efisien.

Sebenarnya kita sudah memiliki "alat saring" yang bersifat nasional dengan validitas (khususnya content validity) yang sudah teruji. Alat yang dimaksud adalah materi Ebtanas untuk SMA, sekolah menengah atas.

(5)

tetapi cukup diidentifikasi Nilai Ebtanas Murni atau NEM-nya. Tentunya dengan mempertimbangkan bidang studi pilihan; bagi yang memilih bidang studi sosial di PTN maka nilai bidang studi sosial pada Ebtanas perlu mendapatkan porsi yang lebih, demikian juga halnya dengan mereka yang me- milih bidang studi non-sosial.

Guna memberikan prioritas pada nilai bidang studi Ebtanas dalam kaitannya dengan relevansi pilihan bidang studi di PTN maka perlu diciptakan "formula" atau

rumus khusus yang komponen-komponennya merupakan nilai-nilai bidang studi

yang di Ebtanaskan. Bukan pekrjaan yang terlalu sulit untuk membuat rumus khusus ini.

Jadi dasar perankingan para calon mahasiswa baru adalah bersumber pada rumus diatas yang "muara"-nya pada NEM itu sendiri.

Pemakaian NEM sebagai "alat saring" calon yang akan masuk PTN kiranya cukup beralasan. Dari segi materinya, disamping validitasnya cukup terandalkan maka kadar representativitasnya juga lebih bisa dipercaya. Mengapa? Karena penyusunan materi soal-soal Ebtanas senantiasa berorientasi pada kurikulum SMA itu sendiri.

Sedangkan dari segi finansial maka negara dapat menghemat beberapa milyar

rupiah, karena pelaksanaan testing masuk praktis tidak ada. Yang ada adalah sistem

seleksi berdasarkan NEM: "sistem NEM".

Untuk saat-saat sekarang ini sistem NEM tersebut memang masih mempunyai kelemahan: karena kurikulum SMA selama ini kurang "sambung" dengan kurikulum perguran tinggi maka NEM tidak secara otomatis bisa merefleksikan "basic ability" yang diperlukan di perguruan tinggi nantinya. Akan tetapi disini justru muncul tantangan untuk "menyambung" kurikulum SMA dengan kurikulum perguruan tinggi; karena secara konsepsional lulusan SMA memang dipersiapkan untuk meneruskan studi di perguruan tinggi.

Dalam pemikiran yang lebih jauh, dengan diberlakukannya sistem NEM ini maka motivasi belajar siswa SMA untuk menghadapi Ebtanas akan semakin tinggi. Kenapa ..? Karena nilai Ebtanas yang mereka dapatkan tidak sekedar menentukan lulus dan tidaknya dalam belajar di sekolah menengah, akan tetapi juga menentukan lolos dan tidaknya masuk PTN.

Dari berbagai kelebihan yang ada maka alternatif tersebut kiranya pantas mendapatkan perhatian yang selayaknya.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah dengan sistem NEM tersebut lalu bagaimana dengan program PMDK, penelusuran minat dan kemampuan sebagaimana yang telah dikembangkan selama ini? Demi tercapainya "balance" akademik maka program ini tetap perlu dikembangkan.

(6)

saja), maka program PMDK di samping berorientasi pada kualitas juga pada kuantitas; pemerataan. Dengan program PMDK maka para lulusan SMA yang kurang vafourite pun mempunyai kesempatan untuk meneruskan studi di PTN, termasuk SMA-SMA diluar pulau Jawa pada umumnya.

Dengan demikian ada keseimbangan antara aspek kualitatif dengan aspek

kuantitatifnya.

Perlu dipertahankannya program PMDK juga dilandasi pertimbangan bahwa PMDK merupakan salah satu bentuk dispensasi akademik (academical dispensation) bagi siswa yang berprestasi. Selama ini program PMDK memberi reward kepada siswa SMTA yang berprestasi dalam bentuk dapat langsung masuk perguruan tinggi tanpa melalui jalur testing. Harapan pemerintah adalah minat dan prestasi yang dimilikinya dapat dikembangkan di perguruan tinggi.

Sebuah kritik terhadap PMDK selama ini adalah belum ialah termasukkannya faktor inteligensi (IQ) kedalam kriteria PMDK.Selama ini PMDK baru mempertimbangkan prestasi, belum mempertimbangkan inteligensi.

Secara teoritis prestasi mempunyai daya prediksi yang pendek, sedangkan inteligensi mempunyai daya prediksi yang panjang (baca: A Jensen, "Bias in Mental Testing", 1981). Dalam berbagai penelitian juga ditemukan konklusi bahwa inteligensi mempunyai korelasi yang positif dengan hasil belajar siswa. Itulah sebabnya program PMDK untuk masa-masa yang akan datang perlu mempertimbangkan inteligensi, disamping prestasi.

Semoga urunan pendapat ini bermanfaat !!!!!

---

TABEL PERKEMBANGAN JUMLAH PESERTA SELEKSI MASUK PERGURUAN TINGGI NEGERI (PTN) DI INDONESIA --- Periode Jumlah Diterima Ratio** --- Tahun 1980 126.761 11,5% 1 : 8,5 Tahun 1981 165.837 9,5% 1 : 10,5 Tahun 1982 197.000 8,0% 1 : 12,5 Tahun 1983 230.900 7,0% 1 : 14,5 Tahun 1984 483.000 15,0% 1 : 6,5

(7)

Tahun 1986 586.431 14,5% 1 : 7,0 Tahun 1987 451.627 19,5% 1 : 5,0 --- Keterangan: * Prosentase terhadap jumlah seluruh peserta

(angka dibulatkan)

** Perbandingan yang diterima terhadap peserta (angka dibulatkan)

Referensi

Dokumen terkait

H1 : Independensi auditor, komisaris independen, komite audit, manajemen laba dan reputasi auditor secara simultan berpengaruh signifikan terhadap integritas

ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN LINGKUP PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT.. Baru Terima On Progress

Penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai hal ini hanya mampu menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang belajar bahasa kedua ketika telah dewasa tidak mampu merubah aksen

kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal berikut. 1) Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah

Dari beberapa pengertian tersebut, legal due diligence dapat dijelaskan sebagai bentuk layanan jasa hukum yang dapat diberikan oleh Advokat di luar fungsinya di bidang

Judul Skripsi : Pemanfaatan Teknologi Komunikasi oleh Mahasiswa (Studi Deskriptif Kuantitatif Pemanfaatan Line Today di Kalangan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Setiap Anggota Die Die Do ( Calon AUM dan Leader ) Jika tidak hadir dari Pertemuan bulanan Maks 3 kali dari 12 Pertemuan, maka akan dikeluarkan dari anggota tim Die die Do di

Pengendalian Tuigas$ merupakan sarana untuk mengontrol terhadap pelaksana Sistem agar mereka dapat melaksanakan tugas dan tanggung  ja*a#nya sesuai dengan ,o#des+ ( %eskripsi