• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON SUPEROVULASI PADA SAPI SIMENTAL DENGAN METODE SINKRONISASI GELOMBANG FOLIKEL BERBEDA SUSI APTIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON SUPEROVULASI PADA SAPI SIMENTAL DENGAN METODE SINKRONISASI GELOMBANG FOLIKEL BERBEDA SUSI APTIANI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON SUPEROVULASI PADA SAPI SIMENTAL DENGAN

METODE SINKRONISASI GELOMBANG FOLIKEL

BERBEDA

SUSI APTIANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Superovulasi pada Sapi Simental dengan Metode Sinkronisasi Gelombang Folikel Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016 Susi Aptiani NIM D14120017

(4)
(5)

ABSTRAK

SUSI APTIANI. Respon Superovulasi pada Sapi Simental dengan Metode Sinkronisasi Gelombang Folikel Berbeda. Dibimbing oleh IYEP KOMALA dan MUHAMMAD IMRON.

Sinkronisasi gelombang folikel penting dilakukan dalam penentuan waktu yang tepat untuk memulai superovulasi pada sapi donor. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon superovulasi dengan metode sinkronisasi gelombang folikel berbeda pada sapi simental dengan metode ovsynch dan pemasangan implan progesteron (cue-mate). Hasil penelitian menunjukkan persentase sapi respon pada perlakuan ovsynch sebesar 83.33% dengan corpus luteum (CL) 14.83±10.59 dan sapi respon 100% dengan CL 13.00±9.16 pada perlakun cue-mate. Total embrio terkoleksi dan embrio layak transfer pada perlakuan ovsynch (9.33±7.53 dan 2.08±2.02) tidak berbeda nyata (P > 0.05) dengan perlakuan cue-mate (10.66±9.97 dan 1.92±2.94). Persentase embrio tidak layak transfer pada kedua perlakuan (ovsynch = 77.68%; cue-mate = 83.03%) lebih tinggi dibandingkan dengan embrio layak transfer (ovsynch = 22.32%; cue-mate = 17.97%). Disimpulkan bahwa sinkronisasi gelombang folikel dengan menggunakan metode ovsynch dan cue-mate memiliki efek yang tidak berbeda nyata terhadap respon superovulasi pada sapi simental.

Kata kunci: cue-mate (implan progesteron), embrio, gelombang folikel, ovsynch, superovulasi.

ABSTRACT

SUSI APTIANI. Superovulation Responses in Simental Cattle with Different Follicular Wave Synchronization Method. Supervised by IYEP KOMALA and MUHAMMAD IMRON.

Syncronization of follicular wave is important to determind the punctuality time of superovulation in donor cows. This research aimed to examine the responses of superovulation at different folliclular wave synchronization method in simental cattle with ovsynch treatment and progesterone implans installation (cue-mate). The results showed the percentage of cows treated with ovsynch response was 83.33% with corpus luteum (CL) 14.83±10.59 and 100% cows response on the treatment of cue-mate with CL 13.00±9.16. The total collection of embryos and viable embryos on ovsynch treatment (9.33±7.53 and 2.08±2.02) were not significantly different (P>0.05) with cue-mate treatment (10.66±9.97 and 1.92±2.94). The percentage of not feasible embryos in both treatment (ovsynch = 77.68%; cue-mate = 83.03%) were higher than the viable embryos (ovsynch = 22.32%; cue-mate = 17.97%). In conclusion, the synchronization of the follicular wave using ovsynch and cue-mate were not significantly different effected on superovulation responses on simental cattle.

Key words: cue-mate (progesterone implans), embryo, follicular waves, ovsynch, superovulation.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

RESPON SUPEROVULASI PADA SAPI SIMENTAL DENGAN

METODE SINKRONISASI GELOMBANG FOLIKEL

BERBEDA

SUSI APTIANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil a’lamin puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala izin dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Respon Superovulasi pada Sapi Simental dengan Metode Sinkronisasi Gelombang Folikel Berbeda dilaksanakan sejak bulan Februari sampai April 2016.

Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada komisi pembimbing, bapak Iyep Komala, SPt MSi sebagai ketua komisi pembimbing dan bapak Dr. Muhammad Imron, SPt MSi selaku pembimbing anggota yang telah membimbing dan memberi pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen penguji ibu Windi Alzahra, SPt MSi dan ibu Ir. Lucia Cyrilla ENSD, MSi yang telah banyak memberi masukan dan ilmunya dalam perbaikan skripsi. Ibu Ir. Tri Harsi, MP selaku Kepala Balai Embrio Ternak Cipelang-Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, bapak Darlin, ibu Laelatul Choiriah dan bapak Agus Jamaludin, serta kepada seluruh staff pegawai Balai Embrio Ternak Cipelang atas kerjasama dan ilmunya. Ayahanda Sutardi dan ibunda Eroh atas dukungan dan doanya yang selalu mengalir dan senantiasa memotivasi serta menguatkan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar. Terima kasih kepada rekan satu tim penelitian (Vivi R, Yulia N, Ressa DS), sahabat seperjuangan (Umi, Syabina, Ulfa, Astuti, Desi, Nurul, Fatatul, Lien) dan rekan IPTP 49 serta anggota KSPR atas kerjasama dan semangatnya selama penelitian. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2016 Susi Aptiani

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan 2

Alat 2

Prosedur 3

Sinkronisasi Gelombang Folikel 3

Superovulasi 4

Inseminasi Buatan 4

Panen Embrio (Flushing) 4

Handling dan Evaluasi Embrio 4

Peubah 5

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Respon Superovulasi 6

Kualitas dan Kuantitas Embrio 7

Embryo Recovery Rate 7

Embrio Layak Transfer 7

Embrio Tidak Layak Transfer 8

SIMPULAN DAN SARAN 10

DAFTAR PUSTAKA 11

LAMPIRAN 13

(14)

DAFTAR TABEL

1 Respon superovulasi dengan sinkronisasi gelombang folikel 7 2 Kualitas dan kuantitas embrio hasil superovulasi dengan sinkronisasi

gelombang folikel 8

DAFTAR GAMBAR

1 Prosedur perlakuan berdasarkan metode ovsynch 3

2 Prosedur perlakuan berdasarkan metode cue-mate (CM) 3

DAFTAR LAMPIRAN

1 Protokol aplikasi sinkronsisai gelombang folikel dengan ovsynch 13 2 Protokol aplikasi sinkronsisai gelombang folikel dengan cue-mate 13

3 Klasifikasi kualitas embrio 14

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi merupakan hewan monotokus yang hanya mampu menghasilkan satu ekor anak setiap melahirkan, padahal dalam ovarium sapi terdapat sekitar 140 000 oosit sampai umur 4-6 tahun, kemudian jumlahnya menurun hingga 25 000 pada umur 12 sampai 14 tahun dan mendekati 0 pada umur 20 tahun (Feradis 2010). Potensi oosit sapi yang cukup banyak tersebut dapat dioptimalkan melalui teknik superovulasi. Superovulasi merupakan upaya stimulasi perkembangan folikel dan ovulasi ganda dengan penyuntikan hormon-hormon gonadrotopin pada waktu yang spesifik dalam siklus estrus (Feradis 2010). Teknik superovulasi memungkinkan produksi embrio lebih dari satu dalam sekali pemanenan.

Deteksi estrus penting untuk menentukan waktu yang tepat dalam memulai superovulasi pada sapi donor. Biasanya superovulasi dilakukan pada hari ke-9 setelah estrus atau pada awal gelombang folikel kedua dalam siklus estrus. Lucy et al. (1992) menyatakan bahwa superovulasi akan efektif jika dilakukan pada awal perkembangan folikel (saat muncul gelombang folikel) yang mempunyai sensitifitas terhadap hormon gonadotropin. Akan tetapi deteksi estrus secara manual kurang efisien karena harus dilakukan pengamatan yang terus menerus selama 24 jam, selain itu terdapat beberapa ternak yang tidak menunjukkan gejala estrus (silent heat). Hal tersebut dapat mempengaruhi keberhasilan program superovulasi. Maka dilakukan sinkronisasi gelombang folikel sebagai upaya untuk penyerentakan terjadinya awal gelombang folikel. Sinkronisasi gelombang folikel pada prinsipnya merupakan penghilangan efek penekanan dari folikel dominan sehingga dapat memunculkan gelombang folikel baru (Bo et al. 1995). Adanya pengeliminasian folikel dominan dan penghambatan munculnya folikel dominan maka folikel yang lain dapat berkembang dan respon terhadap superovulasi juga dapat maksimal sehingga memungkinkan jumlah oosit yang diovulasikan hingga menjadi embrio dapat maksimal (Amiridis et al. 2006). Sinkronisasi gelombang folikel yang sering digunakan diantaranya adalah dengan metode ovsynch dan penggunaan implan progesteron (cue-mate).

Respon donor terhadap perlakuan superovulasi yang masih beragam dan rendahnya perolehan embrio setiap kali pemanenan menjadi faktor penghambat dalam proses produksi embrio pada sapi donor. Tingkat kerusakan embrio (degeneratif) serta ovum yang tidak terbuahi (unfertilized) pada proses produksi embrio masih menjadi masalah yang perlu dicari pemecahannya (Maidaswar 2007; Jodiansyah et al. 2013). Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang metode yang digunakan dalam program superovulasi dengan melihat pengaruh perlakuan sinkronisasi gelombang folikel melalui metode ovsynch dan penggunaan cue-mate terhadap respon superovulasi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon superovulasi dengan sinkronisasi gelombang folikel menggunakan metode ovsynch dan implan progesteron pada sapi simental.

(16)

2

Ruang Lingkup Penelitian

Penilitian ini meliputi pengamatan respon superovulasi pada 24 sapi simental umur 3-7 tahun terhadap perlakuan sinkronisasi gelombang folikel dengan metode ovsynch dan implan progesteron (cue-mate). Pengamatan dilakukan di Balai Embrio Ternak Cipelang (BET) Cipelang. Peubah yang diamati yaitu penghitungan jumlah corpus luteum (CL) secara palpasi rektal untuk mengetahui respon sapi terhadap hormon, penghitungan jumlah embrio terkoleksi, dan pengelompokan embrio layak transfer serta embrio tidak layak transfer. Semakin banyak embrio terkoleksi dan layak transfer menunjukkan semakin baik pula respon sapi terhadap perlakuan.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pengamatan serta pengumpulan data sekunder yang dilaksanakan selama 3 bulan mulai pada bulan Februari sampai bulan April 2016. Penelitian ini bertempat di Balai Embrio Ternak (BET) yang terletak di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.

Bahan

Penelitian dilakukan dengan menggunakan data skunder hasil superovulasi 24 ekor sapi betina simental dewasa dengan umur 3-7 tahun pada program superovulasi tahun 2014. Bahan-bahan yang digunakan dalam program superovulasi adalah implan progesteron (cue-mate, mengandung 1.56 mg progesteron dalam 2 pod silicon, Bioniche Animal Health Pty. Ltd. Australia), hormon GnRH (Gonadotrophin Releasing Hormone) (Fertagyl. Intervet Schering-Plough Animal Health. Jerman), hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) (Folltrophin V, terdiri dari 400 mg NIH-FSH-P1 dan 20 mL pelarut Bacteriostatic natrium klorida. Bioniche Animal Health Pty. Ltd. Australia), hormon prostaglandin F2α (Prostavet C, 5 mg etiproston per 2 mL. Virbac Animal Health. Prancis), Lactat Ringer (LR), penicillin, streptomycin sulfate, calf serum, iodine providone 2%, anestesi, gel, dan Dulbecco Phosphate Buffered Saline (D-PBS).

Alat

Alat yang digunakan yaitu aplikator implan progesteron, syringe 5 mL, needle 18 G, IB gun, straw yang berisi semen pejantan unggul, plastic sheath, gloves, gunting straw, pinset, foley catheter dua jalur 16-20 G steril, inner stilet, expander cervix, infus set, Y-connector, silicontube, gun spool, kapas alkohol, tissue, petri dish 100 mm x 100 mm dan 35 mm x 10 mm, water bath, mikroskop stereo, botol penampung embrio, pipet, filter embrio, pipet pasteur, alat tulis, dan lain-lain.

(17)

3

Prosedur

Penelitian dilakukan dengan metode mengumpulkan data dan menyeleksi data produksi embrio di BET yang dilakukan secara rutin dan mengikuti secara langsung seluruh program superovulasi yang dilaksanakan di BET. Prosedur superovulasi yang dilakukan di BET meliputi 5 tahap yaitu sinkronisasi gelombang folikel, superovulasi, inseminasi buatan, panen embrio (flushing), handling dan evaluasi embrio. Sapi yang akan diprogram sebelumnya dilakukan seleksi donor, yaitu melakukan pemeriksaan kesehatan dan kondisi organ reproduksi melalui palpasi rektal, serta pemeriksaan kondisi ovarium untuk menentukan status reproduksi sapi donor.

Sinkronisasi Gelombang Folikel

Sinkronisasi awal pertumbuhan gelombang folikel dengan perlakuan sinkronisasi ovulasi (ovsynch). Sebanyak 12 sapi simental diberikan perlakuan

ovsynch dengan penyuntikan GnRH 2 kali secara intra muskular. Setelah 7 hari penyuntikan GnRH yang pertama, sapi disuntik 2 mL PGF2α. Selang 2 hari dilakukan penyuntikan GnRH yang kedua penetapan hari ke-0. Prosedur perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.

Sinkronisasi awal pertumbuhan gelombang folikel dengan implan progesteron (cue-mate). Pemasangan cue-mate ke dalam vagina dilakukan

dengan menggunakan aplikator yang telah diberi gel. Pemasangan implan ini bertujuan untuk sinkronisasi birahi pada sapi donor yang diprogram dengan menghambat terjadinya ovulasi folikel dominan. Menurut Senger (1999) ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi dimana kadar progesteron tinggi. Kadar progesteron yang tinggi menyebabkan adanya penekanan terhadap sekresi hormon gonadrotropin (FSH dan LH) sehingga menghambat terjadinya ovulasi. Kadar progesteron yang ideal untuk penyuntikan FSH berkisar antara 4-6 ng/ml (Pineda dan Dooly 2003). Pemasangan cue-mate ditetapkan sebagai hari ke-0. Cue-mate dalam vagina sampai hari ke-11. Prosedur perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Prosedur perlakuan berdasarkan metode ovsynch

(18)

4

Superovulasi

Teknik superovulasi dilakukan dengan penyuntikan FSH pada hari ke-9 sampai hari ke-12 dengan dosis menurun 4 mL, 3 mL, 2 mL, dan 1 mL tiap pagi dan sore dengan jarak antara penyuntikan pagi dan sore adalah 8 sampai 12 jam. Penyuntikan dengan dosis menurun karena FSH memiliki waktu paruh yang pendek yaitu 2-2.5 jam (Ismudiono et al. 2010). Hari ke-11 dilakukan penyuntikan PGF2α pada pagi dan sore hari sebanyak 2 mL untuk induksi ovulasi.

Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan pada induk donor menggunakan semen simental impor. IB dilakukan pada hari ke-13 dan ke-14 sebanyak 3 kali pada pagi dan sore untuk mengoptimalkan fertilisasi.

Panen Embrio (Flushing)

Flushing dilakukan pada hari ke-7 setelah IB yang pertama. Ternak difiksasi pada kandang jepit dan dilakukan pengecekan ovarium untuk mengetahui jumlah corpus luteum (CL). Anastesi epidural dilakukan dengan menggunakan anastesi lokal. Penentuan lokasi penyuntikan epidural dilakukan dengan cara mengangkat ekor ke atas dan ke bawah sambil meraba celah diantara ruas interkoksigial pertama atau kedua.

Servik dimanipulasi dengan menggunakan servik expander untuk mempermudah pembukaan servik. Folley catheter dimasukan dan diposisikan dalam sepertiga depan kornua uteri kiri/kanan. Balon catheter diisi udara sesuai dengan besar diameter lumen uterus (10-15 mL) dengan menggunakan spuit 20 cc untuk fiksasi folley catheter. Selanjutnya stilet dikeluarkan, kemudian folley catheter disambung dengan perangkat alat flushing yang dihubungkan dengan media flushing dan wadah hasil flushing. Flushing dilakukan dengan cara membilas kornua uteri secara berulang-ulang menggunakan media flushing dengan volume setiap pembilasan antara 10-60 mL (sesuai kapasitas kornua uteri), hal tersebut dilakukan sampai media flushing habis, kegiatan tersebut dilakukan pada kornua uteri kanan dan kiri secara bergantian. Setelah selesai flushing, antibiotik/antiseptic dimasukan kedalam uterus sebanyak 10-50 mL dengan menggunakan gun spool. Selanjutnya sapi donor diinjeksi dengan PGF2α sebanyak 2 mL dengan tujuan meluruhkan CL supaya sapi donor bersiklus kembali.

Handling dan Evaluasi Embrio

Hasil panen embrio disaring dengan filter embrio kemudian dibilas menggunakan LR sampai berwarna bening agar mudah diamati dibawah mikroskop. Hasil penyaringan dituangkan dalam petridish 100 mm x 100 mm untuk diamati dibawah mikroskop stereo dengan perbesaran 50-100 kali. Embrio ditentukan kualitasnya sesuai fase dan kelayakannya untuk ditransfer.

Embrio yang layak transfer dikoleksi dalam petridish 35 mm x 10 mm pada media D-PBS serum dengan menggunakan pipet pasteur. Penilaian embrio dilakukan berdasarkan fase perkembangan embrio dengan skor 1-9 dan kualitasnya dengan skor 1-4, merujuk pada standar yang ditetapkan dalam Manual of the International Embryo Transfer Society (IETS) (Lampiran 3 dan 4).

(19)

5

Peubah

1. Response rate, yaitu perbandingan jumlah ternak donor yang respon terhadap jumlah sapi donor yang disuperovulasi. Sapi dianggap respon apabila memiliki jumlah corpus luteum lebih dari 1.

2. Jumlah corpus luteum (CL) yang diperoleh dari hasil palpasi rektal dengan menghitung jumlah CL pada masing-masing ovarium.

3. Embryo Recovery Rate (ERR), yaitu jumlah embrio yang terkoleksi dibagi dengan jumlah CL yang terbentuk akibat ovulasi.

4. Perolehan embrio yang diamati adalah jumlah embrio oosit keseluruhan yang didapat, jumlah embrio layak transfer (kualitas 1 dan 2) dan jumlah embrio tidak layak transfer (embrio yang mengalami degenerasi/Dg serta jumlah oosit yang tidak terbuahi/Uf), serta proporsi jumlah embrio dengan jumlah CL (recovery rate).

Analisis Data

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah CL, jumlah embrio hasil koleksi, jumlah embrio yang layak transfer dan jumlah embrio tidak layak transfer. Data pengamatan dianalisa secara statistik dengan menggunakan uji t independent menggunakan aplikasi SPSS 20. Berikut rumus uji t menurut Supranto (2009):

Keterangan:

XA : rataan metode ovsynch : standar deviasi metode cue-mate

XB : rataan metode cue-mate nA : jumlah sampel metode ovsynch

(20)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Superovulasi

Embrio yang diproduksi secara in vivo diperoleh dari hasil superovulasi. Parameter utama yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan hasil superovulasi yaitu tingkat respon ovarium dan tingkat perolehan embrio. Respon superovulasi sapi donor dengan sinkronisasi gelombang folikel menggunakan ovsynch dan implan progesteron (cue-mate) dapat dilihat pada Tabel 1. Hanya 83.83% induk donor yang memberi respon terhadap perlakuan ovsynch, sedangkan dengan perlakuan implan progesteron angka respon ratenya mencapai 100%. Repon sapi yang baik tersebut dikarenakan pelaksanan superovulasi yang tepat saat munculnya gelombang folikel. Menurut Baracaldo et al. (2000) kemunculan gelombang folikel yang tepat saat aplikasi gonadotropin akan memberikan respon yang baik, tetapi sebaliknya pada donor yang kemunculan gelombang folikel tidak tepat dengan aplikasi gonadotropin akan memberikan respon rendah atau malah tidak memberikan respon. Superovulasi yang baik dimulai pada saat munculnya gelombang folikel dan sebelum terjadi seleksi folikel dominan baru atau tidak terdapat folikel dominan karena saat tersebut semua folikel mempunyai reseptor FSH sehingga aplikasi FSH dapat efektif bekerja menstimulasi perkembangan folikel (Rocha 2005).

Menurut Silva (2009), faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat respon superovulasi terbagi menjadi 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi genetik ternak (breed dan sensitifitas individu ternak terhadap hormon), karakter fisiologis (umur, kondisi ovari, ada tidaknya folikel dominan), nutrisi (body condition score dan kecukupan nutrisi) dan kesehatan organ reproduksi. Faktor eksternal meliputi penggunaan preparat FSH (imbangan FSH dengan LH), dosis FSH yang digunakan, musim dan manajemen pelaksanaan di lapangan. Respon yang berbeda dapat dikarenakan faktor fisiologis masing-masing ternak yang berbeda. Umur induk yang digunakan pada kedua penelitian tidak seragam. Pada metode cue-mate induk yang digunakan memiliki rentang umur 5-7 tahun. Sedangkan pada perlakuan ovsynch induk yang digunakan memiliki umur yang bervariasi 3-7 tahun. Terdapat 2 sapi yang tidak merespon terhadap perlakuan ovsynch yaitu sapi pada usia 4 dan 5 tahun. Meskipun umurnya beragam namun hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan dari Asrul (2002) yang menyatakan bahwa respon ovarium yang baik terjadi pada kelompok umur sapi yang masih muda (2-3 tahun) namun nilai persentase embrio layak tansfer yang baik terjadi pada umur sapi yang lebih tua (4-5 tahun). Perlakuan cue-mate memiliki respon yang lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan ovsynch. Perbedaan dari kedua perlakuan dalam penelitian ini disebabkan faktor genetik dari masing-masing ternak. Secara genetik menurut Hafez dan Hafez (2000) setiap induk sapi memiliki respon terhadap hormon yang berbeda.

Respon ovarium dapat dilihat dari jumlah donor yang ovariumnya terpengaruh oleh perlakuan dengan mengevaluasi perkembangan ovarium berdasarkan jumlah korpus luteum yang terbentuk. Sinkronisasi dengan ovsynch diperoleh rata-rata CL per induk 14.83±10.59 dan cue-mate 13.00±9.16 secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Penghitungan jumlah CL bertujuan untuk melihat tingkat keberhasilan hormon gonadotropin dalam

(21)

7 menginduksi pematangan folikel dan jumlah ovum yang diovulasikan, karena corpus luteum merupakan jaringan yang terbentuk pada tempat ovum diovulasikan (Andriani et al. 2007). Semakin banyak CL yang terbentuk, maka semakin tinggi keberhasilan superovulasi.

Kualitas dan Kuantitas Embrio

Embryo Recovery Rate

Angka embryo recovery rate menunjukkan perbandingan antara jumlah embrio terkoleksi dan jumlah CL yang ada. Jumlah embrio terkoleksi pada perlakuan ovsynch sebanyak 112 (9.33±7.54) dan pada perlakuan cue-mate (10.66±9.97). Jumlah embrio yang terkoleksi lebih sedikit dari jumlah CL yang ada dikarenakan jatuhnya embrio ke dalam rongga perut akibat cairan pembilas yang dimasukkan terlalu banyak, tertinggalnya embrio di dalam uterus karena pembilasan yang kurang sempurna dan penutupan oleh balon kateter kurang sempurna sehingga cairan pembilas dapat merembes ke sisi lain (Maidaswar 2007).

Angka embrio recovery rate perlakuan ovsynch 71.79% dan angka embrio recovery rate perlakuan cue-mate 71.91% (Tabel 2). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Valencia et al. (2004), yang menyatakan bahwa kisaran rata-rata untuk nilai ERR pada sapi dengan metode pemanenan embrio non surgical adalah 68.2% sampai 74%.

Embrio Layak Transfer

Embrio layak transfer adalah embrio yang mempunyai bentuk morfologi sesuai tahap perkembangan embrio dan mempunyai kualitas dengan klasifikasi 1 dan 2 sedangkan embrio yang tidak layak transfer adalah embrio yang perkembangannya tidak sesuai dengan tahapan perkembangan yang telah dilalui atau tidak berkembang degeneratif (DG) atau oosit yang tidak terbuahi atau unfertilized (UF). Tahapan perkembangan embrio yang ideal digunakan untuk kegiatan transfer embrio adalah tahapan mulai compact morulla sampai blastocyst.

Keberhasilan produksi embrio melalui metode superovulasi dapat dilihat terutama dari jumlah embrio layak transfer yang diperoleh dari seluruh embrio yang berhasil dikoleksi. Jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah embrio yang layak transfer ditunjukan pada Tabel 2. Total embrio yang diperoleh pada perlakuan ovsynch sebanyak 112 (9.33±7.53) dengan jumlah embrio layak transfer 25 embrio (2.08±2.02). Jumlah embrio yang terkoleksi pada perlakuan cue-mate sebanyak 128 (10.66±9.96) dengan jumlah embrio layak transfer sebanyak 23 buah (1.92±2.94). Berdasarkan perhitungan statistik uji t dari data pada Tabel 2,

Tabel 1 Respon superovulasi dengan sinkronisasi gelombang folikel Perlakuan Induk

(n) Respon rate (%) Jumlah CL

Rataan CL per induk

Ovsynch 12 83.33 156 13.00±9.16

(22)

8

dapat diketahui bahwa tiap-tiap perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap jumlah embrio terkoleksi dan embrio layak transfer.

Embrio Tidak Layak Transfer

Embrio yang tidak layak transfer yaitu embrio yang mengalami degenerasi atau embrio yang tidak mencapai tahap morula atau blatosis dan memiliki kualitas 3 dan 4. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase embrio tidak layak transfer pada kedua perlakuan yang lebih tinggi (ovsynch = 77.68%; cue-mate = 83.03%) dibandingkan embrio layak transfer (ovsynch = 22.32%; cue-mate = 17.97%). Embrio degenerasi dan unfertilisasi pada perlakuan ovsynch berturut-turut yaitu 23 dan 64 dengan rata-rata perinduk 1.92±2.15 dan 5.33±4.54. Jumlah embrio degenerasi dan unfertilisasi pada perlakuan cue-mate berturut-turut yaitu 44 dan 61 dengan rata-rata per induk 3.67±4.68 dan 5.08±5.70.

Banyaknya embrio yang tidak layak transfer (Tabel 2) menunjukkan perolehan embrio yang kurang maksimal. Imron et al. (2016) menyatakan bahwa tingginya embrio tidak layak transfer dapat dikarenakan tingginya kandungan estrogen yang terkandung dalam cairan folikel. Saito (1997) menyatakan bahwa tingginya kadar estrogen dalam darah ditimbulkan karena kegagalan ovulasi yang menyebabkan penurunan kualitas oosit. Souza et al. (2011) juga menyatakan bahwa proses superstimulasi dapat memengaruhi lingkungan optimal saluran reproduksi yang dapat mengganggu proses fertilisasi atau perkembangan embrio yang tidak optimal. Selain itu perlakuan superstimulasi juga berpengaruh terhadap fertilitas dan jumlah spermatozoa yang sampai pada oviduk sehingga menyebabkan rendahnya ovum yang terbuahi (Ismudiono et al. 2010; Feradis 2010).

Kedua perlakuan sinkronisasi gelombang folikel dengan menggunakan ovsynch dan cue-mate secara statistik menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap jumlah CL, embrio terkoleksi, embrio layak transfer, embrio tidak layak transfer dan embryo recovery rate. Hal tersebut sesuai dengan Ferreira et al. (2014) yang melakukan penelitian sejenis dengan membandingkann perlakuan estrus alami, sinkronisasi gelombang folikel menggunakan metode GnRH serta dengan menggunakan progesteron. Ferreira et al. (2014) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan secara statistik diantara perlakuan estrus alami, GnRH dan pemberian progesteron terhadap respon superovulasi. Meskipun dari hasil uji statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, namun berdasarkan nilai rata-rata jumlah sapi respon, jumlah CL dan jumlah embrio terkoleksi serta jumlah embrio tidak layak transfer pada perlakuan cue-mate memiliki rata-rata yang cenderung lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan ovsynch. Sedangkan jumlah embrio layak transfer cenderung lebih tinggi pada perlakuan ovsynch. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rocha (2005) yang menyatakan bahwa pada kondisi respon ovarium yang tinggi dengan jumlah embrio terkoleksi yang banyak, dapat ditemukan persentase embrio layak transfer yang menurun. Penurunan jumlah embrio layak transfer dapat disebabkan: a). karena tidak serentak terjadinya ovulasi, yang berakibat sebagian oosit tidak terbuahi oleh spermatozoa (Bo et al. 1995); b). fertilisasi yang tidak serentak menghasilkan embrio dengan beragam fase perkembangan, hal ini berpotensi menyebabkan degenerasi embrio (kematian embrio dini); dan c). lingkungan (nutrisi, hormonal) uterus tidak mampu menopang perkembangan banyak embrio (Saito 1997).

(23)

8 Ta be l 2 Kua li tas da n ku anti tas e mbrio ha sil supe rovula si den g an si nkron isa si g elom ba n g folike l P er lak u an In d u k Statu s e m b rio h a sil su p er o v u lasi T o tal e m b rio ter k o lek si E m b rio rec o v er y rate (%) L a y ak tr a n sf er T id ak lay a k tr an sf er (%) T o tal Un fert iliz ed Deg e n er asi ∑ R ataa n / In d u k (%) ∑ R ataa n / in d u k (%) ∑ R ataa n / in d u k (%) ∑ R ataa n / in d u k (%) Ovsyn ch 12 25 2 .0 8 ± 2 .0 2 2 2 .3 2 87 7 .2 5 ± 6 .3 1 7 7 .6 8 64 5 .3 3 ± 4 .5 4 5 7 .1 4 23 1 .9 2 ± 2 .1 5 2 0 .5 4 112 (9 .3 3 ± 7 .5 4 ) 7 1 .7 9 C u e-ma te 12 23 1 .9 2 ± 2 .9 4 1 7 .9 7 105 8 .7 5 ± 7 .7 4 8 3 .0 3 61 5 .0 8 ± 5 .7 0 4 7 .6 6 44 3 .6 7 ± 4 .6 8 3 4 .3 8 128 (1 0 .6 6 ± 9 .9 7 ) 7 1 .9 1 9

(24)

10

Keberhasilan superovulasi jika ditinjau dari perolehan embrio menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, akan tetapi dari segi efisiensi waktu dan biaya produksi penggunaan metode cue-mate lebih efisien dan ekonomis dibandingkan metode ovsynch. Metode implan progesteron dengan cue-mate lebih efisien karena hanya membutuhkan waktu 20 hari dan pemasangan cue-mate itu sendiri bisa dilakukan pada semua fase yaitu fase luteal maupun fase folikuler. Mekanisme kerja cue-mate dalam sinkronisasi gelombang folikel adalah dengan menghambat terjadinya ovulasi. Menurut Senger (1999) ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi kadar progesteron dominan. Progesteron dapat memperlambat pertumbuhan folikel dan dapat menyebabkan atresia folikel sehingga menginduksi gelombang folikel baru yang diikuti dengan lonjakan FSH setelah pencabutan cue-mate (Hafez dan Hafez 2000; Amaridis et al. 2006). Peningkatan progesteron dalam darah karena pemasangan cue-mate berfungsi untuk mempersiapkan terjadinya gelombang folikel pada fase luteal sehingga folikel-folikel tersebut akan memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap hormon FSH yang akan diberikan pada proses superovulasi (Jodiansyah et al. 2013)

Proses sinkronisasi menggunakan ovsynch memerlukan waktu yang lebih lama dan diperlukan tenaga khusus dalam teknis pelaksanaannya serta biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hanya menggunakan implan progesteron. Protokol ovsynch menggunakan kombinasi hormon GnRH dan PGF2α. Menurut Efendi et al. (2015) metode ovsynch bertujuan menjamin ovulasi terjadi dalam periode 8 jam dan tidak membutuhkan deteksi berahi. Implementasi protokol ovsynch, dilakukan dengan injeksi GnRH pada hari ke-0 yang bertujuan menginduksi ovulasi folikel dan memulai gelombang folikel baru. Hari ke-7, sapi diinjeksi dengan PGF2α untuk meregresi korpus luteum. Hari ke-9, sapi diinjeksi dengan GnRH kedua yang berfungsi menginduksi ovulasi pada folikel dominan yang direkrut setelah injeksi GnRH pertama. Total waktu yang dibutuhkan dalam superovulasi dengan metode ovsynch yaitu 30 hari. Penerapannya dalam program superovulasi bertujuan agar folikel dominan dapat diovulasikan secara serentak. Superovulasi dengan metode ini dapat dilakukan pada waktu yang tepat tanpa harus dilakukan deteksi birahi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sinkronisasi gelombang folikel dengan metode ovsynch dan penggunaan implan progesteron (cue-mate) secara statistik tidak memiliki perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap respon superovulasi, jumlah corpus luteum, jumlah embrio terkoleksi, dan jumlah embrio layak transfer. Namun dari segi ekonomi dan efisiensi waktu, metode implan progesteron dengan cue-mate lebih baik dibandingkan dengan metode ovsynch.

Saran

Penelitian terkait metode superovulasi harus dikaji lebih lanjut lagi terutama pada sapi-sapi dengan umur yang seragam.

(25)

11

DAFTAR PUSTAKA

Amiridis GS, Tsiligianni T, Vainas E. 2006. Folicle ablation improves the ovarian response and the number of collected embryos in superovulated cows during the early stages lactation. J Reprod Dom Anim. 5:402-407.

Andriani, Depison, Rosadi B, Supridono Y, Isroli. 2007. Pengaruh superovulasi terhadap jumlah corpus luteum pada sapi simbrah. J Indon Trop Anim Agric. 3:32.

Asrul. 2002. Keberhasilan superovulasi pada berbagai umur sapi ditinjau dari jumlah korpus luteum dan kualitas embrio [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Baracaldo MI, Martinez MF, Adams GP, Mapletoft RJ. 2000. Superovulatory response following transvaginal follicle ablation in cattle. Theriogenology. 53:1239-1250.

Bo GA, Adams GP, Pierson RA, Mapletoft RJ. 1995. Exogenous control of follicular wave emergence in cattle. Theriogenology. 4:31-40.

Efendi M, Siregar TN, Hamdan, Dasrul, Thasmi CN, Sayuti A, Panjaitan B. 2015. Angka kebuntingan sapi lokal setelah diinduksi dengan protokol ovsynch. J Med Vet. 9(2):159-162.

Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Bandung (ID): Alfabeta. Feradis. 2010. Reproduksi Ternak. Bandung (ID): Alfabeta.

Ferreira JE, Mello MRBD, Prealuxs PAD, Alves M, Mello RRC, Palhano HB. 2014. Effect of follicular wave synchronization on superovulatory response of Girolando embryo donors. J Bras Zootec. 43(11):568-572.

Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Maryland (US): Lippincott Williams & Wilkins.

Imron M, Supriatna I, Amrozi, Setiadi MA. 2016. Respons superovulasi sapi peranakan ongole terhadap penyuntikan tunggal follicle stimulating hormone ke dalam ruang epidural. J Veteriner. 17(1):78-87.

Ismudiono, Srianto P, Anwar H, Madyawati SP, Samik A, Safitri E. 2010. Buku Ajar Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Surabaya (ID): Airlangga Univ Pr. Jodiansyah S, Imron M, Sumantri C. 2013. Tingkat respon superovulasi dan

produksi embrio in vivo dengan sinkronisasi CIDR (controlled internal drug releasing) pada sapi donor simmental. J Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 1(3):184-190.

Lucy WC, Savio JD, Badinga L, de la Sota RL, Thatcher WW. 1992. Factors that affect ovarian follicular dyanmics in cattle. J Anim Sci. 70:3615.

Maidaswar. 2007. Efisiensi superovulasi pada sapi melalui sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pineda MH, Dooley MP. 2003. McDonald’s Veterinary Endocrinology and

Reproduction. Ed ke-5. Iowa State (USA): Blackwell Pub.

Rocha EHR. 2005. Analysis of record of embryo production in red brahman cows [tesis]. Texas (US): A&M University.

Saito S. 1997. Manual on Embryo Transfer of Cattle. Japan (JP): National Livestock Embryo Centre (NLEC) Cipelang and Japan International Cooperation Agency (JICA).

(26)

12

Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. Washington (US): Current Concept Pr.

Silva JCC, Alvarez RH, Zanenga CA, Pereira GT. 2009. Factors affecting embryo production in superovulated Nelore cattle. J Anim Reprod. 6:440-445. Stringfellow DA, Givens MD. 2010. Manual of the International Embryo

Transfer Society (IETS). Ed ke-4. Champaign (IL): IETS.

Souza AH, Silva EPB, Cunha AP, Gumen A, Ayres H, Brusveen DJ, Gunther JN, Wiltbang MC. 2011. Ultrasonographic evaluation of endometrial thickness near timed AI as a predicotr of fertility in high producing dairy cows. Theriogenology. 75(4):722-733.

Supranto J. 2009. Statistik Teori dan Aplikasi. Ed ke-7. Jakarta (ID): Erlangga Valencia J, Flores M, Aldana AS, Anta E. 2004. Effect of PGF2α administration

before uterine flushing on embryo recovery rate in superovulated cows and heifers. J Revista Cientifica. 14:74-78.

(27)

13

LAMPIRAN

Lampiran 1 Protokol aplikasi sinkronsisai gelombang folikel dengan ovsynch

Lampiran 2 Protokol aplikasi sinkronsisai gelombang folikel dengan cue-mate

Hari ke- Perlakuan superovulasi

0 Pre-superovulasi

Penyuntikan GnRH (intra muscular) 7 Penyuntikan 2 mL PGF2α (intra muscular) 0 Penyuntikan GnRH (intra muscular)

9 Pagi: penyuntikan 4 mL FSH (intra muscular) Sore: penyuntikan 4 mL FSH (intra muscular) 10 Pagi: penyuntikan 3 mL FSH (intra muscular) Sore: penyuntikan 3 mL FSH (intra muscular)

11 Pagi: penyuntikan 2 mL FSH + 2 mL PGF2α (intra muscular) Sore: penyuntikan 2 mL FSH + 2 mL PGF2α (intra muscular) 12 Pagi: penyuntikan 1 mL FSH (intra muscular)

Sore: penyuntikan 1 mL FSH (intra muscular) 13 IB pagi dan sore

14 Pagi IB 20/21 Panen embrio

Hari ke- Perlakuan superovulasi

0 Pemasangan implan progesteron (cue-mate) (intra vagina) 9 Pagi: penyuntikan 4 mL FSH (intra muscular)

Sore: penyuntikan 4 mL FSH (intra muscular) 10 Pagi: penyuntikan 3 mL FSH (intra muscular) Sore: penyuntikan 3 mL FSH (intra muscular) 11

Pagi: penyuntikan 2 mL FSH + 2 mL PGF2α (intra muscular) Sore: penyuntikan 2 mL FSH + pelepasan implan progesteron (cue-mate) + 2 mL PGF2α (intra muscular)

12 Pagi: penyuntikan 1 mL FSH (intra muscular) Sore: penyuntikan 1 mL FSH (intra muscular) 13 IB pagi dan sore

14 Pagi IB 20/21 Panen embrio

(28)

14

Lampiran 3 Klasifikasi kualitas embrio (Stringfellow dan Givens 2010)

Kualitas embrio Penjelasan

Code 1: Excellent atau Good

a. Bentuk simentris dan bulat (spherical) dengan blastomer yang seragam pada ukuran, warna dan densitas.

b. Embrio harus memiliki bentuk yang konsisten dengan perkiraan fase perkembangan embrio itu sendiri. Bentuk irregular relatif minor.

c. Memiliki minimal 85% material selular di dalam ruang perivitaline dalam kondisi intact dengan massa embrio viable.

d. Zona pelusida bulat, mulus tidak menempel pada cawan petri atau pipet.

Code 2: Fair

a. Secara umum memiliki bentuk massa embrio yang tidak teratur dalam kategori sedang dalam hal massa embrio, ukuran, warna, dan kepadatan sel-sel individual.

b. Memiliki sel intact dengan massa embrio viable minimal 50%.

Code 3: Poor

a. Embrio didominasi bentuk yang tidak teratur pada bentuk massa embrio yang tidak teratur pada bentuk massa embrio, ukuran, warna, dan kepadatan sel-sel individu.

b. Memiliki sel intact dengan massa embrio viable minimal 25%.

Code 4: Dead atau degenerating

a. Degenerating embryos,

(29)

15 Lampiran 4 Fase perkembangan embrio (Stringfellow dan Givens 2010)

(30)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap 29 September 1994 dari bapak Sutardi dan ibu Eroh. Penulis merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis adalah SD Negeri Dayeuhluhur 03 dari tahun 2000 sampai 2006, kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Dayeuhluhur dari tahun 2006 sampai 2009 dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Dayeuhluhur lulus pada tahun 2012.

Penulis melanjutkan S1 di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan melalui jalur SMPTN Undangan dan memperoleh beasiswa Bidik Misi. Selama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis aktif di Gugus Disiplin Asrama pada tahun 2012-2013. Tahun 2013-2014 sebagai sekretaris departemen Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan. Penulis juga aktif di Lembaga Dakwah Fakultas Famm Al-Anaam tahun 2013-2014 sebagai sekretaris divisi Keputrian dan tahun 2014-2015 sebagai sekretaris divisi Syiar dan Kominfo. Sebelum lulus penulis juga aktif mengikuti Klub Sekolah Peternakan Rakyat pada divisi Program Kesehatan Ternak. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan kegiatan, sebagai bendahara komdis MPKM 50 tahun 2013, divisi acara Dies Natalis Ismapeti tahun 2014, divisi PDD Salam ISC 1436 H dan tahun 2015 sebagai divisi konsumsi dalam Seminar Nasional SPR serta pada tahun 2016 menjadi Liaison Officer (LO) dalam acara Pimnas ke 29.

Gambar

Gambar 1  Prosedur perlakuan berdasarkan metode ovsynch
Tabel 1  Respon superovulasi dengan sinkronisasi gelombang folikel  Perlakuan  Induk

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Arens (2011) terdapat empat kategori ukuran dalam menggambarkan kantor akuntan publik, yaitu KAP internasional dengan julukan the big four , KAP nasional, KAP

Berdasarkan paragraf 3, jika anak tidak ditinggalkan orang tuanya sebagai buruh migran, simpulan yang PALING MUNGKIN BENAR adalah ….. (A) Mendapatkan perundungan

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka penulis merumuskan masalah yaitu: “Apakah penerapan model pembelajaran interaktif dapat meningkatkan hasil belajar

Hasil penelitian pengaruh suplementasi inulin (dosis 0,174 g/100 g berat badan) terhadap kadar glukosa darah dan kolesterol, menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar

Mengarahkan siswa pada tingkat interaksi belajar yang mandiri, d Meningkatkan kemampuan berpikir siswa dari kemampuan berpikir tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi, e

Moleong, bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan 1 Rinawssuriyani, “ Pengertian Metode dan Metodologi Penelitian”,

Dengan penulisan artikel ini yang dimksud dengan pengelolaan sumber belajar merupakan sebuah cara yang tepat untuk menunjang sebuah proses pembelajaran