• Tidak ada hasil yang ditemukan

"Ada yang datang dan pergi di persimpangan Rabu, lalu segalanya menjelma biru." - Rabu, iidaidaa Copyright 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ""Ada yang datang dan pergi di persimpangan Rabu, lalu segalanya menjelma biru." - Rabu, iidaidaa Copyright 2016"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

RABU

"Ada yang datang dan pergi di persimpangan Rabu, lalu segalanya menjelma biru." - Rabu, iidaidaa Copyright © 2016

Part 1: Quotes

"Ada yang datang dan pergi di persimpangan Rabu, lalu segalanya menjelma biru." --Rabu, iidaidaa

Part 2: Celoteh Malam

Di langit, purnama menggantung, seperti noktah besar di jendela. Sementara desau angin dan detak jam dinding saling mengisi. Ada yang masih terjaga. Ditemani seduhan kopi yang entah sudah cangkir keberapa. Sendiri, bercakap dengan purnama.

Masa lalu terkunci dalam kepala. Ingatan seperti cermin yang mempertontonkan film tentang kita. Bagaimanapun, tetap saja itu tak bisa kuelak. Menerima berkali-kali. Mereguk luka sekali lagi. Hati ini, terlalu banyak sayat, sampai sayatan baru tak bisa kurasa.

Pada akhirnya, seperti biasa, tak ada bedanya. Kita, atau mungkin hanya aku, selalu jatuh pada luka yang sama.

Apa aku pernah mengatakannya? -Agustus,

2016-Part 3: Langkah-Langkah Menjauh

Ketika langkah-langkah menjauh, aku mencoba menenangkan diri. Selalu berkata, “Aku bisa. Meski tanpa kalian!” Hal itu kulakukan hanya untuk menguatkan diriku sendiri. Agar tak jatuh dalam keputusasaan berlebih.

Tetapi, sejauh ini kehilangan makin memenjara. Dan melanglah ke depan menjadi ketakutan yang tak pernah habis. Aku … tak tahu lagi harus bagaimana?

“Harus dengan cara apa lagi?”

Pertanyaan itu muncul. Dan aku, seperti dipecundangi diri sendiri. -Agustus,

2016-Part 4: Dalam Kubus Berwarna Hijau

(2)

mengistirahatkan hati yang lelah. Aku beranjak, mengambil cangkir berisi kopi yang tidak kamu sentuh, sama sekali. Lalu berbisik, "Kamu bukan orang yang lemah!"

Di luar, purnama mengintip malu-malu di balik awan seperti penguntit. Desau angin mengetuk-ngetuk jendela. Sesekali cahaya kendaraan memecah sunyi. Di sini, ingatan-ingatan mengakar, menjalar, dan melilit kaki-kaki pemahaman.

Entah malam keberapa--aku, kamu, masih mendebat soal keadaan yang entah bagaimana. "Bisakah aku?"

Akan tiba satu waktu di mana kamu akan menjawab, ternyata aku bisa; sebelum air mata mengering. Sebelum keringat jatuh ke tanah dingin. Kamu telah melalui hidup dengan berbagai macam ujian dan penyelesaian. Lihat, kakimu menjadi saksi perjuangan. Dan tanganmu mampu menangani.

"Bagaimana aku menghadapi ini?"

Dengan berdiam diri? Dengan keputusasaan? Itu bukan kamu.

Kamu hanya sedang menghindar dengan mencoba menjadi kuat, dan aku tahu sakit hati itu belum kamu bebaskan.

"Jangan menghindar. Jangan hanya mencoba. Tapi jadilah seperti dulu, seseorang yang benar-benar kuat, berani menatap masa depan. Dan sakit di hatimu, segera bebaskan. Dengan begitu kamu akan lebih tenang." Langkah-langkah menjauh pelan. Aku masih bisa melihat matamu berkedip, menerawang ke ruang yang jauh. Mempercayai bahwa satu hari kamu akan memulai segalanya kembali. Bukan dengan tatap luka, cuma keyakinan dan pemahaman yang tumbuh di antara kerapuhan yang kasat mata.

-Agustus

2016-"Ditulis untuk menguatkan diri sendiri yang rapuh." --iidaidaa

Part 5: Dihujani Kenangan

Waktu mengubah kejadian sore ini semacam kenangan yang hujan.

Kita adalah cucu Adam yang dipertemukan sementara. Dan hari ini, pada mula senja, ingatan masa lalu bermunculan. Kaki-kaki mungil yang berlarian. Gelak tawa tanpa beban. Lantunan ayat-ayat suci. Semua itu bertabrakan.

Aku menatap. Membiarkan detik sepenuhnya memutar film realita. Dari pertemuan, sampai perpisahan tanpa pesan.

Tak ada yang lebih menyenangkan dari mengingat hal-hal sederhana di balik tirai takdir.

Ketika semua selesai, senja telah di ujung penghabisan. Langit jingga, dan aku tahu, saatnya pulang. Kata orang: ada bahagia tersendiri ketika bercengkrama dengan anak-anak.

Tetapi waktu membahagiakanku dengan caranya sendiri, semacam kenangan yang hujan. -Agustus,

(3)

Part 6: Agustus di Hari Ketujuh Belas

Di antara waktu yang sibuk, ada satu hari yang membangkitkan semangat; mengingatkan kita bahwa perjuangan bangsa ini adalah koma tak berhingga.

#DirgahayuRepublikIndonesiaKe71 #IndonesiaMerdeka

#AkuCintaIndonesia

#AgustusDiHariKetujuhBelas -Agustus,

2016-Part 7: Malam Itu Malam Sunyi

Malam itu malam sunyi

Di antara gelap malam Di tengah kesukaran hati Ada yang ingin disampaikan Malam itu malam sunyi Di antara deru halus napas Di tengah lelap manusia Ada yang ingin disampaikan Malam itu malam sunyi Di bawah sinar purnama dan sekumpulan awan Tuhan ... dengarlah .... Jadikan hati ini kuat

Sekuat kayu yang dihanguskan api Sekuat awan yang ditiadakan hujan Sidoarjo, 2 September 2015

#puisilama #reshare #rewrite #edateditedot

Part 8: Kertas

Ada kertas tak berwarna dan seseorang yang menulis di sana. Hurufnya luka....

-Agustus,

(4)

Di sepanjang jalan, sepasang mata kelam saling bersitatap dengan purnama. Tak ada percakapan. Hanya suara pergesekan sendal jepit dan aspal dingin, juga bisik dedaunan dari pohon-pohon yang digoyangkan angin. Sesekali awan-awan putih menghalangi bias cahayanya. Namun tak membuat seorang ia segera beranjak.

-Agustus,

2016-Part 10: Senyum Luka, Punggung Rapuh

Aku bertemu seseorang. Jangan tanya siapa dia. Aku juga tidak tahu. Ia hanya seseorang yang kutemui di perjalanan.

"Apa yang menarik darinya sampai fokusmu tercuri?" tanyamu penasaran.

Dia memiliki senyum yang luka. Punggung yang rapuh. Tetapi, di balik tatapan sendunya terpancar cinta, kasih sayang, dan harapan besar.

"Hatimu ... terjerat?"

Tidak, bukan begitu. Aku khawatir. Khawatir jika suatu waktu keadaan membuatnya tumbang. -Agustus,

2016-Part 11: Rumusnya Begitu

Kita tak pernah tahu segala sesuatu di balik mata.

Keadaan hari ini adalah imbas dari yang telah lalu; lembar-lembar kehidupan mendekorasi waktu, menyusun cerita, menyediakan tempat.

Mari merenung sejenak. Atas apa yang terjadi pada mula fajar hingga ujung senja. Lalu kamu mengingat satu hal: ketentuan Tuhan selalu menjadi yang terbaik.

Tetapi kesempatan belum selesai dilakukan dan di tengah perjalanan harapan itu lagi-lagi dimatikan, di sudut senja berlukis awan merah dan gemerisik angin, di tengah deru kendaraan bermotor dan aktivitas manusia.

Hilang satu tumbuh seribu.

Rumusnya begitu, katanya. Tak ada yang sia-sia dari sebuah perjuangan, sekecil apa pun itu. Setiap orang berhak melukiskan masa depannya, memupuk harapan setinggi-tingginya, termasuk kamu; tetapi jangan lupakan yang telah lalu.

"Kalau harapan itu mati (lagi)?"

Silakan kembali pada: ketentuan Tuhan selalu menjadi yang terbaik. -Agustus

2016-Part 12: Tuhan Membalas dengan Cara-Nya

(5)

(QS. Ar-Rahman: 60)

Kebaikan tak pernah membeda-bedakan, ia datang pada diri siapa saja,

di mana saja, dan kapan saja;

menunggu apakah ia diperhatikan atau diabaikan. Waktu menyusut,

menyisakan debur ombak di sungai, dan angin bertiup di udara.

Tak ada siapa-siapa,

selain kamu dan seorang wanita paruh baya. Katanya, "Tolong aku!"

Permintaan itu ditujukan padamu,

dan kamu--tanpa diminta dua kali langsung membantu. Di waktu selanjutnya, kamu bilang, "Tolong aku!" Permintaan itu kamu tujukan pada siapa saja yang lewat, namun tak satu pun memberi respon.

Ketika terik matahari kian menyengat,

ketika asap kendaraan mendesak masuk melalui dua lubang hidung, ketika menunggu menjadi sebuah keletihan yang membosankan, bantuan datang dari seorang pria paruh baya.

Di saat itu kamu memahami sesuatu: bahwa perbuatan baik sekecil apa pun, cepat atau lambat, Tuhan akan memberikan balasan dengan cara-Nya.

Agustus 2016

Part 13: Jendela Kata

Aku terpikat pada suaranya kala bertutur kata Laksana hujan yang memecah kesunyian

Aku terpesona pada lekuk bibirnya kala mengulas senyum Seperti mentari yang selalu menghangatkan pagi

Aku terpanah pada sepasang matanya kala menerawang cita Bagai senja yang meneduhkan pangkal waktu

Kacamata takdir membuka realita sesungguhnya Menyurati fakta bahwa anganku hanya fana belaka

(6)

Layaknya cerita yang dirangkai tanpa akhir bahagia Terbelenggu pada raga berselimut hampa

Rasa yang tertinggal menangis lirih Tertawa pada jejak puisi yang berserakan Poros rindu makin membisu

Membunuh tanpa pandang bulu

Nyata yang kupeluk memudar termakan waktu Dan di balik jendela kata, aku masih saja terjerat Padanya yang dekat namun bersekat

Part 14: Sepuluh Tahun Mendatang

"What type of crown were you trying to wear? Was it wealth, fame, or love?" --dari drama The Heirs

Aku melihat segalanya: Mimpi dan harapan. Air mata dan perjuangan.

Orang-orang yang tidak bisa menjadi asing dan berdamai. Kemudian cinta memberi kekuatan,

waktu menjawab pertanyaan. Di masa muda,

mereka jatuh cinta, dan terluka.

Tak terhitung berapa kali mereka saling membalikkan badan. Pada akhirnya,

mereka kembali berlari pada lengan yang sama, saling bergandengan tangan,

lalu berpeluk erat satu sama lain. Sosok itu bertanya,

"Di hari ulang tahunmu, apa yang kau harapkan?" "Sepuluh tahun mendatang,

aku berharap tetap semangat menuju ke arahmu. Itulah yang kuharapkan."

(7)

Sepuluh tahun mendatang.

Skenario yang tertulis mengharuskan orang-orang itu tetap tidak bisa menjadi asing dan berdamai. Namun saling tatap dengan sepotong hati yang baru.

Sepuluh tahun mendatang.

Mereka bisa saja terluka lagi.

Tetapi tak peduli apa pun itu, mereka akan menghadapinya. Bersama.

September, 2016

Part 15: Di Batas Senja

Semua berawal dari kursi yang berjajar dan deretan buku di perpustakaan. Di batas senja, aku memilih tak melihat apa-apa.

Tanyamu, kenapa?

Di batas senja, aku memilih tak melihat apa-apa. Kecuali satu.

Apa itu?

Aku bilang: kamu.

Batinku mengerang oleh rasa yang merah jambu. Dan kata-kata menjadi obat di selasar rindu.

Mendenyutkan namamu dalam doa (adalah cara terbaik menjagamu, mencintaimu)—laksana desah napas dalam lipatan mimpi.

Waktu seperti bola yang menggelinding ke depan. Tiba-tiba, aku menanam harap.

Aku ingin menjadi payung yang meneduhkanmu dari hujan. Aku ingin menjadi cangkir dalam seduhan kopimu.

Aku ingin menjadi rumah tempatmu berpulang. Di batas senja, takdir menyatukan kita.

Kamu yang dulu hanya mimpi, sekarang adalah nyata.

Dan aku masih bisa merasakan bagaimana keinginan itu meletup-letup. Mengakar.

Tumbuh menjadi pohon-pohon berdaun lebat. Di batas senja, aku memilih tak melihat apa-apa.

Aku juga, di batas senja, aku memilih tak melihat apa-apa, bisikmu.

Tanyaku, kenapa?

Aku hanya ingin melihatmu.

September, 2016

Part 16: Dialog Ra & Bu

(8)

Bu: "Karena ada penolakan." Ra: "Penolakan gimana?"

Bu: "Hati kamu menyangkal apa-apa yang ada di depan mata. Atau lebih jelasnya, yang kamu inginkan bukan seperti itu."

Ra: "Terus gimana? Kan menerima nggak semudah membalik telapak tangan?"

Bu: "Mudah kok. Prinsipnya, yang kita inginkan belum tentu baik untuk kita, begitupun sebaliknya. Dan saat kita sudah menerima, buang penolakan yang datang dari berbagai sisi. Intinya, menerima tanpa tapi."

Jombang, 6 Nopember 2016

#DialogRa&Bu

Part 17: Ah, Tidak!

Ada seseorang yang berdiri di balik jendela.

Menatap purnama.

Ah, tidak!

Mungkin, purnama yang menatapnya. Memerhatikan mata sendunya.

Menjadi saksi atas jejak air terjun yang kasat mata--di bawah pelipis.

Gresik, 14 November 2016.

Part 18: Esok

Senja pergi, bersama tetes air pertama yang beberapa detik kemudian menderas.

Esok, tak akan ada lagi dua cangkir kopi di beranda. Tak akan ada lagi percakapan yang keluar dari

bibir--yang mendamba kerinduan. Telingamu tak lagi bisa mendengar suara ketok pintu kala senja tiba.

Esok, kamu berharap bahwa segalanya seperti mimpi semalam. Lalu hilang. Dan segalanya baik-baik saja.

Namun, kenyataan selalu menjadi cermin bahwa diri ini gagal melupa, tapi picik menghadapi diagonal sisi takdir dalam ruang kehidupan.

Sungguh ... esok, tak lagi sama.

Gresik, 27 November 2016.

Part 19: Sihir Rindu

Rindu mengenal baik aku, kamu, dan kenangan.

(9)

Datangnya bisa sederhana: saat hujan, misalnya.

Kenangan mengetuk ingatan,

melahirkan namamu yang terangkum di alam waktu, dalam sekejap.

Rindu,

yang tahu benar kapan ia datang, telah membawaku pada ruang yang tak pernah selesai kujelajahi. Menjatuhkanku pada ketiadaanmu. Menyihirku agar tak sama sekali melupa bahwa aku pernah begitu jatuh padamu.

Jombang, 21 November 2016

Part 20: Dialog Ra & Bu (2)

Ra: "Orang-orang yang tidak ingin menjawab pertanyaan, bagaimana?" Bu: "Itu hak mereka. Kita tidak bisa memaksa."

Ra: "Kau benar." Bu: "Lalu?"

Ra: "Bagiku ... hal demikian seperti sebuah kesempatan." Bu: "Sebentar, di mana letak kesempatan itu berada?"

Ra: "Kita (sangat) membutuhkan jawaban. Bertanya, tetapi mereka tidak memberi. Artinya, kita berkesempatan untuk lebih berusaha, mencari jalan yang mengarah pada jawaban yang kita inginkan." Bu: "Sok bijak lu!"

Lalu kami tertawa lepas.

Gresik, 24 November 2016.

Part 21: Senja dan Luka

Beranjak dari senja yang makin menjingga, masa lalu mengetuk-ngetuk ingatan. Menampilkan lagi kenangan di antara luka yang belum sembuh.

Menari-nari di atas hati yang tak lagi utuh. Dan kesedihan sepenuhnya dihabisi waktu. Sekarang, besok, entah sampai kapan.

(10)

Gresik, 5 Desember 2016

Part 22: Buku Bersampul Abu-Abu

Dalam buku bersampul abu-abu: terselip langit tua, jalan kota basah, juga bunyi jutaan air menumbuk tanah. Sesekali terlihat kepulan uap dari secangkir kopi dekat jendela.

Pada halaman lain, ada tawa seringan kapas dari dua orang yang (dulu) saling jatuh. Debur ombak tak terdeteksi, pun derai tangis yang memecah sunyi.

Yang ada hanya masa lalu.

Dan di halaman terakhir: mereka yang (kini) menjadi asing.

Gresik, 6 Desember 2016

Part 23: Desember

Apa kata Desember?

Senja yang lenyap di batas cakrawala menyisakan gerimis. Dua orang bertemu di titik basah. Rindu sepenuhnya menguap di antara tatap mata.

Tak perlu bicara banyak, rasa secara utuh mengambil alih kemudi bahasa kalbu.

Lalu pada bahagia yang bernyanyi, mereka saling menemukan untuk saling menggenggam.

Jombang, 11 Desember 2016.

Part 24: Hari Itu Senja

Hari itu senja. Pergantian hari tak cukup mengabarkan kehilangan. Mega merah mengiringi jatuhnya sebuah hati setelah bertahun-tahun kebersamaan.

Dari sekian ingin dalam hidup, berdampingan denganmu adalah salah satunya.

Omong kosong!

Pernyataan itu lenyap layaknya hujan semalam. Menyisakan basah di antara aroma kehampaan. Dan aku, jatuh sejatuh-jatuhnya.

Kata-kata yang kusiapkan raib ditelan kenyataan. Kamu, dengan tangan terbuka menerima hatinya. Tanpa peduli aku yang telah bersamamu sejak rambutmu masih kepang dua.

Hari itu senja. Aku bukan lagi cawan kosong yang siap kamu isi rentetan cerita pagi. Aku bukan lagi payung biru yang tak biarkan kamu kuyup. Dan aku, memahami bahwa diri ini bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang kamu ajak berbagi hidup, bukan hati.

Hari itu senja. Seperti langit yang ditelan kegelapan, aku memilih pergi. Melupakan segala rasa yang pernah melindap atas namamu.

(11)

Tidak apa-apa. Senja tetaplah senja, sekarang, esok, dan seterusnya. Kemudian di lain waktu, kamu akan temukan diri ini baik-baik saja. Tanpa kamu.

Gresik, 15 Desember 2016.

Part 25: Sabtu Malam

Selamat malam, Purnama.

Sabtu malam yang cerah untuk menegarkan perasaan.

Di dasar waktu, buku-buku telah tertutup dalam suasana riuh yang sepi. Seseorang bernapas dalam hening.

Adakah yang lebih jahat daripada lidah yang menyayat hati? Kabar yang membuat tidur gelisah dan menangis?

Jangan pernah peduli pada kata-kata racun yang pernah kau dengar. Orang-orang seperti itu hanya kerikil di tengah jalan,

yang harus kau lewati tanpa harus menendang. Kawan,

jika saja kau mau melihat ke arah lain,

di sana ada orang-orang yang berdiri di sampingmu, menggenggam tanganmu,

dan tentu membuatmu bertahan hingga akhir.

Gresik, 17 Desember 2016.

Part 26: Pada Mereka

Aku menyukai pagi,

senja, malam, purnama, hujan, angin, dan embun.

Karena pada mereka kutitipkan doa dan rindu yang tak pernah usai.

Gresik, 18 Desember 2016.

Part 27: Daripada Iri

Aku iri.

(12)

Pada daun yang selalu menerima kehadiran embun. Dalam hening, berselimut kabut tipis.

Tampak romantis. Meski waktunya tipis.

Tetapi, daripada iri, aku lebih penasaran.

Sebenarnya ... apa yang mereka perbincangkan di setiap pagi?

Gresik, 22 Desember 2016.

Part 28: Awal Tahun

Januari kembali menyapa.

Katanya, "Aku akan melanjutkan apa yang belum diselesaikan Desember."

"Terima kasih. Dan seperti sebelumnya, aku akan melengkapi apa yang dimulai Januari," balas Desember. Jombang, 1 Januari 2017

Part 29: Bisakah?

Sebelum keinginan tercapai, kebersamaan terlanjur pupus. Pada lembar biru,

kata-kata tak lagi merupa kita. Tegur sapa sirna,

musnah dimakan ego diri.

Bisakah kita seperti dulu?

Mengeja semangat bersama di antara mimpi-mimpi, tanpa harus mencipta jarak di ruang bisu.

Gresik, 28 Januari 2017

Part 30: Kepada Sakit Hati dan Kamu

Detik kesekian, ketika sakit hati merupa kabut hitam, garis hidup serta merta menyudutkanku di ruang asing. Sendiri.

Sepi. Gelisah. Marah. Cemburu.

(13)

Ketika sakit hati kuusahakan semakin tak menguasai diri, dalam hening aku berdoa: semoga kamu selalu

baik-baik saja, dan jika waktu mempertemukan kita (lagi), aku berharap sakit hati itu sudah aku lupakan.

Gresik, 30 Januari 2016.

Part 31: Di Beranda Senja

Telah tiba kita di penghujung Januari.

Percakapan telah memutus jarak dari keterasingan. Aku dan kamu berbincang lagi di beranda senja. Dengan waktu bersedia menjadi ruang untuk kita curhati.

Tak ada yang lebih bermakna dari cairnya kebekuan hati (kita).

Sebab, ribuan sakit hati akan menguap bila dihadapkan pada sebuah penerimaan.

Gresik, 31 Januari 2016.

Part 32: Ada Apa-Apa

Tak semuanya gembira pada senja sore ini. Kita mengenal kecewa dan tahu bahwa apa yang diharapkan belum tentu sesuai dengan kenyataan.

"Ya sudah, tidak apa-apa," katamu singkat.

Tetapi kita sama-sama tahu, ada apa-apa di balik kalimat tidak apa-apa.

Gresik, 10 Februari 2017.

Part 33: Seusai Percakapan Singkat

Seusai percakapan singkat itu, yang terlihat olehku hanya keping luka dengan kristal bening menggantung di pelupuk mata yang buram--tak berkedip.

Jombang, 11 Februari 2017.

Part 34: Air Berjatuhan

Dalam hitungan detik, gerimis satu-dua menjelma air yang berjatuhan.

Butir-butirnya tak segan melukis jejak abstrak pada jendela kaca di sampingmu. "Apa yang kamu rasakan?" lirih tanyamu.

Rindu akan pertemuan di depan hujan, juga takut akan perpisahan setelahnya.

(14)

Part 35: Rabu: Mengenang dalam Sajak Biru

Rabu menyatukan senja, jalan kota basah, dan secangkir kopi dalam sajak biru untuk kita nikmati. Rabu ketiga di bulan Februari, sekali lagi kamu menyelami keabu-abuan Rabu yang setia membawamu pada dinamika hati dan perasaan.

Kepulan uap mengudara dari cangkir putih di hadapanmu, menguarkan bau khas kopi yang diseduh dengan air mendidih. Dalam ruang hijau, berteman sepi, ada yang riuh di kepalamu.

Cukup mendengar suaranya melalui alat pendengar yang tersampir di telingamu, sudah menyalakan ingin dalam doa diam-diam. Kamu tak bisa mengelak saat rindu datang menyapa, karena menolaknya sama saja bunuh diri. Jadi kamu nikmati saja sembari menyalami langit berpoles jingga yang sedikit mendung melalui bingkai jendela. Juga jalan-jalan basah dengan gerimis yang mencumbu pucuk dedaunan seolah

mengajakmu untuk ikut serta merasai pertemuan.

Bagimu, Rabu adalah sesuatu yang hidup, karena dalam perjalanannya ia selalu memberimu pintu-pintu baru untuk kamu jelajahi, kemudian membuat jemarimu menari di atas sajak biru atas kenangan yang ia

tinggalkan.

Rabu akan selalu hidup dalam dirimu. Dan kamu bukan siapa-siapa tanpa Rabu.

Gresik, 15 Februari 2017.

Part 36: Bangku

Setelah perjalanan hati yang melelahkan, ia beristirahat di sebuah bangku panjang menghadap ke danau. Ia raba permukaannya yang sedikit berkarat, lalu melihat dua nama terpahat di sana--namanya dan ....

Gresik, 15 Februari 2017.

Part 37: Embun

Beberapa hari terakhir, ia melihat wajah seseorang pada embun yang menggantung di pucuk daun. Wajah itu adalah dirinya yang telah pergi.

Gresik, 15 Februari 2017.

Part 38: Meja

Ada dua cangkir kopi di atas meja. Tapi hanya ada satu orang di sana. Menurut pengakuan pelayan, orang itu selalu memesan dua cangkir kopi, satu utuk dirinya, satu untuk entah.

Gresik, 15 Februari 2017.

(15)

Dalam doamu, aminku menyemogakan.

Oleh karena itu, padamulah alasan mimpi-mimpiku terbang. Andaikata jika segera menjadi nyata, maka kamu yang paling bahagia.

Jombang, 18 Februari 2017.

Part 40: Kamu dan Pagi

Kepada kamu dan pagi ....

Pagi menyapa.

Langit timur yang berwarna merah. Embun yang jatuh di permukaan daun. Juga kenangan yang hidup.

Petikan gitar memecah sunyi. Berlanjut suara rendah menyahuti.

Pagi itu ada irama, ada rasa yang diam-diam menyelimuti.

Selamat pagi, Kamu. Izinkan aku berasumsi, lagu yang kamu nyanyikan dalam hening adalah untukku, ucapan selamat pagi darimu.

Gresik, 28 Februri 2017.

Part 41: Februari

Februari itu istimewa. Selalu tabah.

Selalu tangguh. Selalu sabar.

Februari juga tak pernah mengeluh, marah, ataupun kecewa perihal harinya yang paling sedikit.

(16)

Gresik, 28 Februari 2017.

Part 42: Jadi Satu

Ada kenangan

Yang hidup bersama hujan Ada rasa

Yang tumbuh bersama senja Kerinduan-kerinduan menyala Bersama detak dalam dada Kenangan tentangmu Rasa untukmu Rindu dirimu Semua menjadi satu Tapi kau tak pernah tahu Tentang semua itu

Referensi

Dokumen terkait

Riset yang dilakukan Ye, Jiang, & Ruan (2011) menunjukkan bahwa ibu yang bersalin untuk pertama kali akan mengalami nyeri yang lebih berat dibandingkan

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada pengaruh penerapan model think pair share pada mata pelajaran bahasa arab hasil belajar siswa”.Rumus statistik yang

Headline yang dibuat oleh Penulis adalah Olahan Ayam Istimewa untuk anda, headline ini didapat dari hasil wawancara dan pengolahan data yang dilakukan oleh Penulis dan juga

1) Dilengkapi dengan wrang-wrang penuh pada setiap gading di bawah kamar mesin, kursi ketel, dinding- dinding kedap air dan di daerah yang perlu dilindungi. 3)

Rasio lahan tanaman pangan terhadap KK pertanian = Luas lahan tanaman pangan di kec ke-i : jumlah KK tani di kec.. Rasio lahan perkebunan terhadap KK perkebunan = Luas

Membentuk dan mengembangkan keterampilan lanjut berkarya seni keramik melalui eksplorasi dan eksperimentasi berbagai media dan teknik, dengan tema tradisional dan

Rumusan masalah ini adalah: (1) bagaimanakah tokoh protagonis penyihir dalam cerita fantasi Märchenmond karya Hohlbein, dan (2) bagaimanakah tokoh antagonis penyihir dalam

Sedangkan untuk kategori kelenturan dengan kategori baik sebanyak 5 orang (50%),.. Hal ini menunjukkan masih kurangnya kemampuan anak dalam menyimak dongeng dapat