• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebelumnya ke pelari berikutnya. Lari sambung atau lari estafet atau lari berantai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebelumnya ke pelari berikutnya. Lari sambung atau lari estafet atau lari berantai"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Lari Sambung

2.1.1 Pengertian Lari Sambung

Pada nomor lari sambung ada kekhususan yang tidak dijumpai pada nomor lari lain, yaitu memindahkan tongkat sambil berlari cepat dari pelari sebelumnya ke pelari berikutnya. Lari sambung atau lari estafet atau lari berantai merupakan kegiatan jasmani berupa berlari sambil memindahkan benda atau alat dari satu pelari ke pelari yang lainnya (Widya, 2004). Lari sambung atau lari estafet adalah salah satu nomor lomba lari pada perlombaan cabang olahraga atletik yang dilaksanakan secara bergantian atau berantai(Anonim 2012)

2.1.2 Teknik Lari Sambung (Estafet)

Suksesnya lari estafet sangat bergantung dari kelancaran pergantian tongkat. Waktu yang dicapai akan lebih baik (lebih cepat) jika pergantian tongkat estafet berlangsung dengan baik pula.

Pada lari sambung ada beberapa macam cara dalam pemberian tongkat estafet dari pelari kepada pelari berikutnya. Secara garis besar, pergantian tongkat estafet itu ada 2 macam, yaitu dengan melihat (visual) dan tanpa melihat (nonvisual) yaitu;

(2)

1. Keterampilan teknik penerimaan tongkat dengan cara melihat (Visual)

Pelari yang menerima tongkat melakukannya dengan berlari sambil menolehkan kepala untuk melihat tongkat yang diberikan oleh pelari sebelumnya.

Gambar 2.1. Serah terima tongkat visual (Anonim 2012)

2. Keterampilan teknik penerimaan tongkat estafet dengan cara tidak melihat (Non Visual)

Pelari yang menerima tongkat melakukannya dengan berlari tanpa melihat tongkat yang akan diterimanya. Pelari penerima tongkat terus berlari dan hanya menjulurkan tangan ke belakang untuk mengambil tongkat dari pelari sebelumnya.

Gambar 2.2. Serah terima tongkat non visual (Anonim 2012) Dilihat dari cara menerima tongkat, keterampilan gerak penerima tongkat tanpa melihat lebih sulit dari pada dengan cara melihat. Dalam

(3)

pelaksanaannya, antara penerima dan pemberi perlu melakukan latihan yang lebih lama melalui pendekatan yang tepat (Anonim 2013).

2.2 Kecepatan Lari 80 Meter 2.2.1 Pengertian Kecepatan

Kecepatan (gerakan) adalah kemampuan untuk mengerjakan suatu aktivitas berulang yang sama serta kesinambungan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (Nala, 2011). Kecepatan (speed) merupakan kemampuan seseorang untuk mengerjakan gerakan berkesinambungan dalam bentuk yang sama dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (Dumadi dan Sajoto, 2000). Kecepatan berlari sprint adalah kemampuan alami untuk mencapai kecepatan lari yang sangat tinggi dan untuk menempuh jarak pendek dalam waktu yang sangat pendek (Anonim, 2013). Kecepatan adalah kemampuan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu sesingkat mungkin (Lutan, 2003)

Menurut Pesurnay dan Sidik (2006) kecepatan dalam olahraga ada dua yaitu: 1. Kecepatan adalah kemampuan untuk bereaksi secepat mungkin terhadap

rangsangan. Kecepatan tersebut dinyatakan sebagai waktu reaksi hasilnya adalah kecepatan reaksi.

2. Kemampuan membuat gerak (gerakan) melawan tahanan gerak yang berbeda-beda dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Kecepatan tersebut diartikan sebagai kecepatan maksimal yang siklis dan/atau kecepatan maksimal yang asiklis.

(4)

Menurut Soegijono dan Subarkah (2003) kecepatan dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Kecepatan maksimal adalah fase dimana gerak mencapai pada titik kecepatan maksimal penuh setelah didahului dengan percepatan.

2. Kecepatan optimal adalah kemampuan mengembangkan kecepatan maksimal dengan pengontrolan.

3. Daya tahan kecepatan kemampuan untuk bergerak cepat dalam waktu yang lama tanpa merasa kelelahan yang berarti.

4. Kecepatan reaksi adalah waktu antara datangnya stimulus dengan gerakan awal.

Menurut Garincha (2011) komponen kecepatan memiliki beberapa fase latihan diantaranya:

1. Aerobik dan an-aerobik endurance diberikan dalam fase persiapan sebagai pembentuk pondasi daya tahan. Bentuk latihan dapat berupa fartlek, speed play, lari di bukit dan cross country.

2. Kecepatan alaktik dan daya tahan an-aerobik, diberikan pada fase kompetisi, karena latihan lebih intensif dan disesuaikan dengan karakteristik cabang olahraga.

3. Kecepatan spesifi adalah kecepatan gabungan antara kecepatan alaktik dan laktik dan daya tahan kecepatan.

4. Kecepatan spesifik kelincahan dan waktu reaksi; fase ini bertujuan untuk membentuk kecepatan khusus sesuai karakter cabang olahraganya, terutama komponen kelincahan dan kecepatan reaksi.

(5)

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan

Jarver (2005) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti umur, tinggi badan, panjang tungkai, dan kebugaran jasmani. Faktor eksternal seperti suhu dan kelembaban.

Menurut Bompa (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang yang menghasilkan gerakan kecepatan tinggi yaitu faktor fisiologis dan kinerja seperti:

1. Sistem energi, berlari cepat melibatkan pelepasan energi yang memungkinkan pergerakan yang tinggi dari cross bridge dalam otot dan produksi yang cepat dan berulang kekuatan otot.

2. Sistem neuromuskuler, karakteristik morfologi otot serta adaptasi terhadap pola aktivitas saraf dapat memainkan peran penting dalam ekspresi bergerak kecepatan tinggi.

3. Komposisi otot, tipe serabut otot atau komposisinya tampaknya berperan dalam menentukan kemampuan kinerja yang cepat.

4. Faktor saraf, gerakan kecepatan tinggi seperti yang digunakan selama melakukan sprint dengan intensitas maksimal, membutuhkan tingkat tinggi aktivitas saraf.

5. Aktivasi otot, ketika melakukan gerakan berlari banyak otot yang berbeda diaktifkan pada waktu tertentu dan intensitas umtuk mengoptimalkan kecepatan gerak.

(6)

7. Kelelahan syaraf-syaraf, kelelahan dapat mempengaruhi performa sprint dengan mengurangi kapasitas kekuatan menghasilkan sukarela.

8. Technical systems, aktivitas balistik yang menjalankan serangkaian langkah peluncuran tubuh ke depan dengan percepatan maksimal atau kecepatan lebih dari beberapa jarak.

9. Akselerasi, selama periode percepatan awal dari memulai statis, baik satu langkah dan panjang akan meningkat selama 15 pertama sampai 20 lebih 8-10 langkah.

10. Kecepatan maksimal, kecepatan maksimal dicapai pada (15-20 meter atau 8-10 langkah) akan tegak dan laju langkah dan panjang akan baik memberikan kontribusi terhadap kecepatan gerak.

Selain faktor di atas faktor lain yang mempengaruhi kecepatan adalah sebagai berikut:

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet yaitu: a. Umur

Kecepatan pada usia anak-anak rendah dan meningkat pada usia remaja dan akan mencapai puncak kecepatan pada usia 25 tahun. Pelatihan atletik khusus pada lari jarak pendek dilatih dari umur 10-12 tahun, dan spesialisasi pada umur 13-14 tahun sehingga puncak prestasi pada usia 18-23 tahun (Bompa, 2009).

(7)

b. Genetik

Faktor genetik adalah berkaitan dengan serabut otot yang dimiliki atlet dimana otot putih atau otot cepat berpengaruh terhadap kegiatan yang bersifat anaerobik, seperti lari jarak pendek.

c. Jenis Kelamin

Jenis kelamin antara pria dan wanita sudah tentu berbeda, begitu juga proporsi dan besar otot dalam tubuh juga berbeda frekuensi denyut nadi istirahat laki-laki dan wanita sama, tetapi setelah melakukan aktivitas sebesar 50% dari kemampuan konsumsi oksigen maksimumnya, ternyata denyut nadi wanita naik lebih tinggi daripada laki-laki.

d. Berat Badan

Berat badan akan berpengaruh besar terhadap kecepatan lari, karena semakin berat tubuh atlet dan kekuatan otot sama akan menghasilkan kecepatan yang lebih rendah.

e. Tinggi Badan

Tinggi badan atlet sangat berhubungan dengan panjang tungkai, sehingga semakin panjang tungkai seseorang akan semakin panjang langkahnya dan berpengaruh terhadap kecepatan berlari

f. Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam waktu yang lama tanpa mengalami kelelahan yang berarti. Dengan demikian kebugaran fisik mutlak harus dimiliki oleh sprinter, agar

(8)

dapat melakukan pelatihan secara maksimal dan prestasi yang dicapai juga maksimal.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap penampilan atlet. Faktor eksternal meliputi: suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan angin, ketinggian tempat, dan pakaian dan sepatu.

a. Suhu dan Kelembaban Udara

Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan naiknya suhu badan kita. Dengan latihan olahraga akan menambah suhu lebih panas lagi terhadap badan kita. Akibatnya penimbunan-penimbunan panas pada badan kita makin lama makin banyak, terjadilah yang disebut heatstroke (Harisenjaya, 2007). Suhu lingkungan tempat melakukan pelatihan harus nyaman dengan suhu yang normal untuk melakukan pelatihan sehingga atlet dapat berlatih dengan baik dan tidak cepat lelah.

b. Arah dan Kecepatan Angin

Kecepatan angin yang terlalu tinggi akan menghambat gerakan berlari sehingga akan mengurangi kecepatan.

c. Ketinggian Tempat

Semakin tinggi tempat berlatih akan semakin berpengaruh terhadap kinerja atlet, karena semakin tinggi tempat kadar oksigen semakin rendah. d. Pakaian dan Sepatu

Pakaian dan sepatu merupakan faktor pendukung bagi penampilan atlet, baik dalam berlatih maupun dalam perlombaan. Dimana sekarang ini atlet

(9)

sprinter telah menggunakan sepatu khusus untuk berlari (spike) yang sangat berpengaruh terhadap kecepatan atlet.

2.2.3 Lari 80 Meter

Lari 80 meter atau lari cepat merupakan salah satu nomor yang dilombakan pada cabang olahraga atletik. Pada nomor lari 80 meter biasanya dilombakan pada atlet pemula usia dini atau pada usia anak-anak Sekolah Dasar maupun pada olimpiade olahraga SMP khusus pada laki-laki. Tapi kalau di tingkat Nasional diperlombakan untuk laki-laki dan wanita.

Pada lari cepat teknik dasar harus dipelajari untuk mendapatkan prestasi yang maksimal. Teknik lari sprint terdiri dari beberapa tahapan adalah sebagai berikut:

1. Tahap reaksi dan dorongan badan 2. Tahap lari akselerasi

3. Tahap transisi atau perubahan 4. Tahap kecepatan maksimal 5. Tahap pemeliharan kecepatan 6. Finish.

Kecepatan dalam lari sprint adalah hasil dari kontraksi yang kuat dan cepat dari otot-otot yang diubah menjadi gerakan yang halus, lancar-efisien dibutuhkan bagi berlari dengan kecepatan tinggi.

(10)

Kelangsungan gerak lari cepat atau sprint dapat dibagi menjadi tiga, yaitu; 1. Start

Start adalah persiapan awal seorang pelari untuk malakukan gerakan lari. Untuk nomor lari jarak pendek start yang digunakan adalah start jongkok (crouch start). Ada 3 aba-aba dalam start jongkok yaitu, “bersedia”, “siap”, dan “ya atau bunyi pistol”. Seorang pelari jarak pendek dalam perlombaan lari tidak diperkenankan berlari mendahului aba-aba ya atau bunyi pistol. Jika pelari mendahului aba-aba ya atau bunyi pistol maka akan diberikan hukuman kartu merah dan tidak boleh meneruskan lomba.

Start jongkok ada tiga macam, yaitu: 1) Start pendek (bunch start)

2) Start menengah (medium start) 3) Start panjang (long start)

Adapun cara melakukan start jongkok adalah sebagai berikut: 1) Bersedia

a. Letakkan tangan sedikit lebih lebar dari bahu

b. Jari-jari dan ibu jari membentuk huruf V terbalik dan diletakkan tepat di belakang garis start

c. Kepala dalam posisi yang nyaman sehingga leher tidak tegang d. Jarak kaki dengan garis start disesuaikan dengan kenyamanan atau

tergantung dari start yang digunakan e. Pusatkan perhatian pada aba-aba selanjutnya

(11)

Gambar 2.3. Sikap Start Dalam Aba-aba Bersedia (Anonim 2012) 2) Siap

a. Angkat panggul ke arah depan atas sedikit lebih tinggi dari bahu b. Berat badan lebih ke depan

c. Kepala rendah, leher tetap kendor atau tidak tegang d. Lengan lurus dan siku tidak bengkok

e. Pusatkan perhatian pada aba-aba berikutnya

Gambar 2.4. Sikap Start Dalam Aba-aba Siap (Anonim 2012) 3) Ya atau bunyi pistol

a. Kaki depan menolak kuat-kuat, sedangkan kaki belakang melangkah dan secepatnya menyentuh tanah

(12)

Gambar 2.5. Sikap Start Dalam Aba-aba Ya/Bunyi Pistol (Anonim 2012) 2. Gerak Lari Cepat

1). Gerakan kaki

Kaki melangkah selebar dan secepat mungkin

Kaki saat menolak dari tanah harus cepat, lutut ditekuk secara wajar agar paha mudah terayun ke depan

Pendaratan kaki pada tanah menggunakan ujung kaki 2). Gerakan ayunan lengan

Lengan diayun dengan cepat Sikut ditekuk kurang lebih 90° 3). Sikap badan

Badan rileks, tidak bergoyang-goyang Pandangan ke depan

Teknik lari perlu dilatih. Adapun latihan dasar lari adalah sebagai berikut:

Gerak mengayun kedua lengan di tempat dengan sikap berdiri, kedua kaki dibuka selebar bahu

Gerak mengayun tangan dan kaki di tempat dan pendaratan kaki menggunakan ujung kaki

(13)

Gambar 2.6. Teknik Gerak Lari Cepat (Anonim 2012) 3. Teknik Finish

Cara melakukan:

a. Tetap berlari secepat mungkin tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun b. Mendorong torso (bagian tubuh selain kepala, tangan dan kaki) ke

depan agar dapat terlebih dahulu melewati garis finish (Anonim 2013)

Gambar 2.7. Teknik Melewati Garis Finish (Anonim 2012) 2.3 Pelatihan

2.3.1. Pengertian Pelatihan

Pelatihan merupakan gerakan fisik dan aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang (repetitif) dalam jangka waktu (durasi) lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual, yang bertujuan untuk memperbaiki sistem serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh

(14)

agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal (Nala, 2011). Yang dimaksud dengan pelatihan adalah adanya pengulangan suatu yang dilakukan secara teratur dan terencana dengan takaran yang selalu ditingkatkan sehingga terjadinya suatu perubahan baik itu perubahan fisik maupun perubahan lainnya. Pelatihan adalah sejumlah semua rangsangan yang dilaksanakan pada jarak waktu tertentu tujuannya untuk meningkatkan prestasi (Kosasih, 1993). Pelatihan adalah kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu lama serta sistematis dan progresif sesuai dengan tingkat kemampuan individu, bertujuan untuk meningkatkan fungsional tubuh sehingga dapat melakukan kegiatan olahraga secara optimal (Soetopo, 2007).

2.3.2. Aspek-Aspek Pelatihan

1. Pelatihan Fisik

Pelatihan fisik harus diprogramkan sedemikian rupa secara kontinyu dan meningkat sehingga kondisi tubuh atlet meningkat dalam hal ketahanan dan kebugarannya dalam mempersiapkan diri berkompetisi (Jarver, 2005). Pelatihan fisik merupakan faktor utama dan terpenting sebagai unsur yang diperlukan dalam pelatihan untuk mencapai prestasi yang tinggi serta dalam setiap pengaturan program pelatihan fisik harus dikembangkan secara bertahap yaitu: pelatihan fisik umum, pelatihan fisik khusus dan pelatihan komponen biomotorik (Soetopo, 2007). Pada prinsipnya pelatihan fisik adalah pemberian fisik pada organ tubuh (kaki, tangan, lengan, tungkai dan punggung) secara teratur, sistematis berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kemampuan fisik dan keterampilan secara nyata (Kosasih,

(15)

1999). Pelatihan fisik adalah memberikan beban fisik pada organ tubuh, secara teratur, sistematis berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kemampuan fisik dan keterampilan secara nyata (Soetopo, 2007).

2. Pelatihan Teknik

Pelatihan teknik ini dimaksudkan untuk membentuk dan mengembangkan saraf otot, kesempurnaan teknik-teknik dasar dari setiap gerakan adalah penting karena akan menentukan gerakan keseluruhan. Teknik dapat dipertimbangkan sebagai cara yang khusus untuk melaksanakan suatu latihan-latihan fisik (Soetopo, 2007). Latihan teknik bertujuan memahirkan penguasaan keterampilan gerak dalam suatu cabang olahraga (Dumadi dan Sajoto 2000). Latihan teknik kemampuan melakukan gerakan gerakan keterampilan suatu cabang olahraga dari mulai gerak keterampilan suatu cabang olahraga dari mulai gerak keterampilan yang sulit, termasuk gerak tipu yang menjadi ciri cabang olahraga (Santosa, 2010). Menurut Harsono (2004) latihan teknik adalah untuk memahirkan teknik-teknik gerakan yang diperlukan agar atlet terampil melakukan cabang olahraga yang digeluti.

3. Pelatihan Taktik

Pelatihan taktik bertujuan untuk mengembangkan dan menumbuhkan kemampuan daya tafsir pada atlet ketika melaksanakan kegiatan olahraga yang bersangkutan (Dumadi dan Sajoto, 2000). Pelatihan taktik yaitu memperbaiki teknik atau menggali taktik-taktik baru kecabangan, yang dapat dipakai saat

(16)

pertandingan (Garincha, 2011). Menurut Harsono (2004), taktik bertujuan untuk menumbuhkan perkembangan interpretife atau daya tafsir pada atlet.

4, Pelatihan Mental

Pelatihan mental merupakan pembentukan mental yang diawali dari penerapan disiplin baik secara umum untuk tim maupun untuk masing - masing individu, membangun kekompakan tim, membangun semangat latihan dan kondisi yang kondusif di lingkungan tim serta fokus pada tugas latihan (Garincha, 2011). Latihan mental adalah latihan yang lebih banyak menekankan pada perkembangan kedewasaan (maturitas) serta emosional atlet, seperti semangat bertanding, sikap pantang menyerah, keseimbangan emosi terutama ketika berada dalam situasi stres, fair play, percaya diri, kejujuran, kerjasama, serta sifat-sifat positif lainnya (Yunus, 2000).

2.3.3. Prinsip-Prinsip Pelatihan

Prinsip-prinsip latihan bagian dari seluruh konsep dan tidak dapat dilihat secara sempit saja (Bompa, 2009). Prinsip pelatihan adalah suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif, yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan (Nala, 2011).

Menurut Nala (2011), prinsip dasar pelatihan terdiri dari tujuh prinsip yaitu:

1. Prinsip aktif dan sungguh-sungguh

Setiap atlet harus selalu aktif dan sungguh-sungguh dalam berlatih 2. Prinsip pengembangan multilateral

(17)

Spesifikasi olahraga yang digeluti, hendaknya dibekali dengan dasar-dasar kebugaran badan antara lain: Daya tahan, kecepatan, kelincahan, daya ledak, kelentukan, kecepatan, keseimbangan dan koordinasi.

3. Prinsip spesialisasi dalam pelatihan

Pelatihan spesialisasi selalu ditingkatkan secara progresif dan ajeg berkesinambungan.

4. Prinsip individualisasi

Jenis pelatihan tidak bisa disamaratakan atau diseragamkan untuk seluruh atlet.

5. Prinsip variasi atau keseragaman

Macam dan jenis pelatihan harus bervariasi agar atlet selalu bergairah dan tetap pada tujuan dari pelatihan.

6. Prinsip mempergunakan model proses pelatihan

Suatu simulasi dari kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena yang dicari atau diamati serta mendekati keadaan sebenarnya.

7. Prinsip peningkatan beban progresif dalam pelatihan

Peningkatan beban latihan dari yang ringan menjadi berat secara bertahap atau dari yang sederhana ke yang rumit.

2.3.4. Variabel - Variabel Pelatihan

Rencana pelatihan harus menekankan variabel-variabel latihan dalam proporsi yang sesuai kebutuhan atlet. Pelatih harus terus memonitor secara terus menerus tanggapan-tanggapan atlet terhadap rencana latihan untuk menentukan

(18)

variable-variabel itu memerlukan penyesuaian lebih lanjut. Adapun variabel latihan adalah sebagai berikut:

1. Volume Latihan

Volume latihan adalah komponen yang utama dari latihan karena volume merupakan prasyarat untuk mencapai teknik, taktik dan fisik yang tinggi (Bompa, 2009). Volume latihan merupakan total kualitas dalam aktivitas latihan yang dilakukan (Garincha, 2011). Volume latihan merupakan jumlah seluruh aktivitas yang dilakukan selama pelatihan (Nala, 2011).

2. Intensitas Latihan

Intensitas latihan adalah komponen kualitas kerja yang dilakukan dalam kurun waktu yang diberikan (Garincha, 2011). Intensitas latihan adalah fungsi kekuatan rangsangan saraf yang dilakukan dalam latihan (Soetopo, 2007). Intensitas latihan adalah sebuah fungsi dari aktivitas neuromuskular, dengan intensitas yang lebih tinggi (e.g, keluaran power yang lebih tinggi, beban eksternal yang lebih tinggi) menurut aktivitas neuromuskular (Bompa, 2009). Intensitas latihan adalah suatu dosis jatah latihan yang harus dilakukan seorang atlet, menurut program yang ditentukan (Sajoto, 1995).

3. Densitas Latihan

Densitas latihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau kerapatan (frekuensi) dari suatu seri sedang berlatih (Nala, 2011). Densitas latihan dapat didefinisikan sebagai frekuensi atau distribusi sesi latihan atau frekuensi dimana seorang atlet melaksanakan satu rangkaian pengulangan dari kerja per unit waktu

(19)

(Bompa, 2009). Densitas merupakan kepadatan latihan antara kerja dan istirahat dari latihan (Garincha, 2011).

2.3.5. Komponen Sistem Pelatihan

Komponen sistem pelatihan terdiri dari tiga komponen utama yaitu: 1. Bagian pendahuluan (pemanasan atau warming up)

Pemanasan memiliki fungsi khusus yaitu untuk mempersiapkan tubuh supaya dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan pelaksanaan tugas (Rusli dan Hartono, 2003). Pemanasan amat perlu dilakukan oleh setiap atlet baik sebelum berlatih (pra pelatihan) maupun sebelum bertanding (pra pertandingan). Tujuan dari pemanasan untuk mempersiapkan sistem organ tubuh supaya dapat bekerja dalam tingkat efisiensi yang tinggi sewaktu berlatih atau bertanding (Nala, 2011).

Dalam pemanasan umum, intensitas harus ditingkatkan secara bertahap, yaitu untuk meningkatkan kapasitas kerja organisme melalui augmentasi fungsional sistem saraf otonom, yang selanjutnya proses metabolisme secara menyeluruh akan terjadi lebih cepat. Aliran darah akan meningkat, suhu tubuh naik ini akan merangsang pusat pernapasan. Peningkatan oksigen dan aliran darah akan melebarkan potensi kerja organisme yang dapat membantu atlet dalam melakukan unjuk kerja secara lebih efektif. Pemanasan sebaiknya dilakukan antara 20–30 menit.

Pemanasan khusus tujuannya adalah mengarahkan atlet kepada jenis yang sangat menonjol dari suatu kerja yang dilakukan dalam latihan intinya, fase pengarahan pada pemanasan ini tidak hanya ditujukan pada persiapan

(20)

mentalnya saja atau koordinasi dari bentuk latihan tertentu, tetapi juga mempersiapkan sistem syaraf pusatnya dan meningkatkan kapasitas kerja organismenya.

2. Bagian Inti

Pelatihan inti berisi kegiatan pokok pembinaan terhadap komponen kebugaran jasmani (Lutan, 2003). Isi pelatihan inti tergantung dari berbagai macam faktor, selain dari derajat latihan, jenis olahraga, jenis kelamin, usia dan fase latihan memainkan peranan yang sangat penting (Bompa, 2009). 3. Bagian Pendinginan

Kegiatan pendinginan berisi kegiatan yang tujuannya untuk menyesuaikan keadaan tubuh secara bertahap, agar kembali ke posisi normal (Lutan, 2003). Secara fisiologis latihan pendinginan ialah gerakan–gerakan ringan itu akan membantu memperlancar sirkulasi mengaktifkan pompa vena sehingga akan membantu mempercepat pembuangan sampah–sampah sisa olah daya dari otot–otot yang aktif pada waktu melakukan olahraga sebelumnya (Santosa dan Sidik, 2010).

2.3.6 Pelatihan Kecepatan

Untuk melatih kecepatan atlet harus mempunyai kemampuan bertoleransi terhadap tingkat/jumlah asam laktat tinggi, yang menyebabkan kelelahan otot. Toleransi tinggi terhadap asam laktat dapat dicapai dengan melakukan latihan anerobik, untuk seluruh tubuh atau kelompok otot tertentu. Untuk meningkatkan dan mengembangkan kecepatan maksimal perlu diidentifikasi terlebih dahulu factor-faktor yang mempengaruhi kecepatan maksimal yang dapat dilatih dan

(21)

dikembangkan (Yunus, 2000). Adapun factor-faktor yang mempengaruhi kecepatan sprint yaitu: kecepatan reasi (pada start), kekuatan dan kecepatan (power), kecepatan sprint atau kecepatan gerak maksimal, dan daya tahan kecepatan.

Menururt Ambarukmi (2008) ada beberapa metode pelatihan kecepatan yaitu;

1. Accelation Sprint merupakan sprint secara teratur meningkatkan kecepatan berlari dari sikap rolling start ke jogging, tingkatkan lagi ke striding kemudian ke pace maksimal.

2. Hollow Sprint adalah bentuk latihan kecepatan yang terdiri dari dua jarak sprint dan diikuti oleh sebuah periode pemulihan dalam bentuk lari ringan. 3. Repetition sprint adalah latihan dengan jarak yang tetap, kecepatan lari

yang konstan dan waktu pemulihan yang cukup panjang.

Menurut Yunus (2008) metode latihan kondisi fisik yang dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan kecepatan adalah sebagai berikut:

1. Metode pengulangan

a. Intensitas tinggi sekali atau maksimal (90-100%) b. Volume beban rendah (1-6 ulangan)

c. Recovery relative lama (3-5 menit) d. Durasi beban sangat singkat 2. Metode interval intensif,

a. Intensitas beban submaksimal (80-90%)

(22)

c. Recovery agak lama (90-180 detik) d. Durasi beban menengah (30-60 detik)

Bentuk-bentuk latihan kecepatan adalah sebagai berikut: 1. Latihan kecepatan aksi dan reaksi.

a. Bergerak cepat ke depan, ke belakang, ke samping kiri dan kanan dengan memperatikan gerakan tangan pelatih.

b. Lari dengan memperhatikan dan mendengarkan aba-aba pluit (akustik) dan intruksi pelatih

c. Permainan hitam putih. 2. Latihan kekuatan kecepatan

a. Lari menaiki tangga b. Lari dipasir pantai

c. Lari sprint dengan membawa bola mendisin

d. Bermacam-macam latihan pengembangan kekuatan kecepatan dengan mempergunakan barbel, damel, rompi pasir, dan lainnya.

3. Latihan kecepatan maksimal a. Lari melayang

b. Lari meningkat

c. Lari dengan pergantian tempo d. Sprint melayang

e. Lari koordinasi (lari dalam kecepatan submaksimal, lari gawang dan lari bolak balik)

(23)

4. Latihan daya tahan kecepatan a. Dalam bentuk permainan kecil

b. Lari dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya

c. Lari tempo dengan intensitas maksimal dan submaksimal serta dengan perubahan arah menurut prinsip interval.

d. Lari zig-zag dan lari bolak balik 2.4 Metabolisme Energi

Olahraga meliputi aktivitas kerja yang kadang-kadang harus dilakukan dengan cepat, yakni tenaga dengan kecepatan. Kerja yang ada dalam gerakan manusia terjadi melalui pemindahan energi potensial, energi kimia, ke energi kinetik, energi mekanik, pemindahan ini dilakukan oleh serabut-serabut otot rangka yang mengubah energi kimia ATP menjadi energi mekanik kontraksi otot (Pete dan McClenaghan, 1993). Menurut Hairy (2003) dalil dasar dalam stiap program latihan adalah mengetahui sistem energi utama yang digunakan atau yang lebih dikenal dengan sistem energi predominan dalam olahraga yang bersangkutan. Penampilan seorang atlet dari penampilannya mengeksploitasi energi yang dihasilkan melalui proses metabolisme energi (Carr, 1997).

Secara garis besar sistem produksi energi terdiri dari sistem energi cepat atau sistem metabolisme anaerobik dan sistem energi lambat atau metabolisme aerobik. Sistem metabolisme anaerobik merupakan suatu rentetan reaksi kimia yang tidak membutuhkan oksigen, sedangkan metabolisme aerobik merupakan rangkaian reaksi kimia yang memerlukan oksigen (Powers & Howley, 1990). Menurut Ambarukmi (2008) sistem energi ada dua macam yaitu:

(24)

1. Sistem energi anaerobik (Laktasit) adalah sistem energi serabut otot cepat yang tidak membutuhkan oksigen (o2) tetapi menghasilkan asam laktat. Sistem ini digunakan bila kita melanjutkan gerak awal (alaktasit) dengan pengulangan gerak dinamis yang berlangsung sepuluh detik sampai satu menit.

2. Sistem energi aerobik adalah sistem serabut otot lambat yang membutuhkan oksigen dan tidak menghasilkan asam laktat. Energi dengan sistem ini dibutuhkan untuk mempertahankan gerak dinamis yang berlangsung lebih lama dari 1 menit.

Proses penyediaan energi ATP-KP disebut dengan sistem phospagen yang merupakan sistem energi yang dapat digunakan dengan cepat setiap olahraga yang membutuhkan waktu singkat seperti pada lari jarak pendek. Pelatihan meningkatkan sistem phospagen atau ATP-KP dipergunakan sistem pelatihan dengan sistem pelatihan dengan intensitas tinggi dalam interval (5-10 detik) sesuai dengan kelompok otot yang dipergunakan dalam pertandingan.

Gambar

Gambar 2.4. Sikap Start Dalam Aba-aba Siap  (Anonim 2012)  3) Ya atau bunyi pistol
Gambar 2.5. Sikap Start Dalam Aba-aba Ya/Bunyi Pistol (Anonim 2012)  2.  Gerak Lari Cepat
Gambar 2.6. Teknik Gerak Lari Cepat (Anonim 2012) 3.  Teknik Finish

Referensi

Dokumen terkait

menurut hukum agama karena akta nikah yang dimiliki oleh mereka

Peserta acara Indonesian Fusion Cuisine dihadiri oleh siswa-siswi dari tingkat menengah atas dan mahasiswa-siswi universitas senasional yang terdiri dari STP Pelita

Penelitian ini dilatarbelakangi dari permasalahan di MA NU Banat Kudus yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan konselor dan wali kelas

Perubahan yang tinggi dari bilangan ester setelah asetilasi ini disebabkan oleh adsorben mampu menjerap pengotor- pengotor dalam minyak akar wangi, yaitu diduga berupa

Murdiantoro Bayu (2011) Variabel dependen: Produksi Padi Variabel Indepeden: Luas Lahan, Modal, dan Tenaga Kerja Metode analisis yang digunakan adalah regresi linear

Menurut Sugiyono (2010:147), “Metode Analisis Deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data

Bahan komposit merupakan bahan gabungan secara makro yang didefinisikan sebagai suatu sistem material yang tersusun dari campuran atau kombinasi dua atau

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan keaktifan dan