BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu karya sastra pada dasarnya merupakan hasil pemikiran dan perenungan pengarang terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Tentu saja karya sastra yang dihasilkan tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Sebagai anggota masyarakat, pengarang tentu memiliki pendapat tersendiri mengenai situasi dan masalah yang terjadi di lingkungannya. Berbagai pendapat dan pengalaman tentang kehidupan kemudian dimaknai lalu dituangkan dalam bentuk karya sastra yang tentunya sudah dibumbui dengan peristiwa imajinatif dan kreatif dari sang pengarang.
Pencerapan keadaan sosial melalui karya sastra merupakan hal yang harus diperhatikan pengarang, sebab ia menulis sebuah tulisan yang diciptakan berdasarkan peristiwa faktual kemudian digubah ke dalam bentuk yang bersifat imajinasi. Hal ini sesuai dengan fungsi karya sastra yaitu berguna dan memberikan hiburan bagi pembaca (utile dan dulce).
Begitupun ketika di berbagai belahan dunia terjadi arus gelombang perlawanan, khususnya ketika terjadi pemberontakan terhadap sistem patriarki yang dipelopori kaum feminis ramai dibicarakan. Tidak mengherankan sejak masa kelahirannya hingga kini, pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak pernah habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi,
agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja dimarjinalkan dibawah dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak diubah oleh para aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib kaum sesamanya yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme.
Feminisme muncul sebagai upaya perlawanan dan pemberontakan atas berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang dilakukan selama berabad-berabad lamanya. Gerakan feminisme ini pada awalnya berasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindas dan dieksploitasi dan dianggap makluk kelas dua. Maka feminisme diyakini merupakan langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut (Fakih, 2004:99).
Asal pemikiran feminisme ini sebenarnya berasal dari Prancis, yaitu ketika terjadi revolusi Prancis dan masa pencerahan di Eropa Barat. Berbagai perubahan sosial besar-besaran tersebut turut pula memunculkan argumen-argumen politik maupun moral. Hal ini berdampak pada pemutusan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional (Ollenburger dan Helen, 2002: 21). Meskipun pemikiran feminisme ini bersumber dari negeri menara Eiffel tersebut, namun gerakannya sangat gencar dilakukan di Amerika. Feminisme sebenarnya diakibatkan ketidakpuasan kaum perempuan terhadap sistem patriarki yang dirasakan telah lama menindas hak-hak perempuan.
Pada tahun 1776 ketika Amerika memproklamasikan kemerdekaannya, telah menyebut “all men are created equal”. Padahal masyarakat dunia telah menjadikan Amerika sebagai barometer keadilan dan kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu
mendengung-dengungkan persamaan derajat di antara manusia, namun sayangnya hal tersebut tidak dialami oleh kaum perempuan. Hal yang sama berlaku pula pada masyarakat yang berkulit hitam. Masyarakat kulit putih sangat memandang rendah kaum kulit hitam yang kebanyakan imigran dari Afrika.
Deklarasi yang telah diproklamasikan tersebut mengakibatkan kekecewaan dan kemarahan dari kaum perempuan yang merasa tidak dihargai (Sikana, 2007: 321). Untuk menandingi deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya, maka pada tahun 1848 kaum feminis menyebut “all men and women are created equal”. Kalimat tersebut dapat dikatakan versi lain dari deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya yang dirasakan tidak adil oleh kaum perempuan (Djajanegara, 2000:1). Selain itu ada juga yang lebih menekankan bahwa gerakan feminisme lebih pada gerakan politik seperti yang dinyatakan oleh Moi (1991: 204), “Feminism are political labels
indicating support for the aims of the new women’s movement…” (“Feminisme
merupakan gerakan yang bemuatan politis yang menunjukkan dukungan untuk tujuan pergerakan perempuan yang baru…”).
Menurut Djajanegara (2000: 1-4), ada beberapa aspek yang turut memengaruhi terjadinya gerakan feminisme, yaitu aspek politik seperti yang telah disebut sebelumnya, yaitu ketika kaum perempuan merasa tidak dianggap oleh pemerintah. Begitu pula tatkala kepentingan-kepentingan kaum perempuan yang berkaitan dengan politik diabaikan. Lalu ada pula aspek agama serta aspek ideologi. Dari aspek agama disebutkan bahwa kaum feminis menuding pihak gereja bertanggung jawab atas doktrin-doktrin yang menyebabkan posisi perempuan di
bawah hegemoni kaum laki-laki. Ajaran gereja juga berpendapat bahwa kaum perempuan mewarisi Original Sin atau dikenal dengan Dosa Turunan yang menyebabkan manusia terusir dari surga hingga terlempar ke bumi. Bahkan kaum Yahudi kuno secara lugas selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena tidak dilahirkan sebagai seorang perempuan (Sikana, 2007: 321).
Aspek ketiga yang memengaruhi gerakan feminisme yaitu aspek ideologi. Konsep di kalangan sosialisme menunjukkan adanya stratifikasi jender yang juga menjadi ciri khas masyarakat patriarkis. Perempuan mewakili kaum proletar atau kaum tertindas, sedangkan laki-laki disamakan dengan kaum borjuis atau kelas penindas. Selain itu dalam konsep sosialisme ini, perempuan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis karena pekerjaan mereka hanya mengurus urusan domestik rumah tangga.
Pemikiran tentang gerakan pembebasan perempuan ini turut pula berimbas pada berbagai ranah kehidupan sosial, politik, budaya, dan termasuk karya sastra yang notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra bisa dikatakan wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin (1989: 109), “… sastra menyajikan kehidupan, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia”.
Dalam karya sastra dunia telah diketahui bahwa banyak tokoh yang menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki
yang selama ini dirasa telah mengungkung keberadaan perempuan di berbagai aspek kehidupan. Sebut saja Virginia Woolf seorang pengkritik sekaligus penulis yang selalu menuliskan karya-karya yang beraroma feminis. Salah satu karyanya berjudul
A Room of One’s Own yang berbicara tentang perang dan perasaan perempuan
(Arivia, 2006:164). Perempuan lain seperti Alice Walker, penulis feminis kulit hitam pemenang Pulitzer Prize yaitu penghargaan di bidang jurnalisme untuk bukunya The
Color Purple. Pesan inti kedua karya ini setali tiga uang bahwa perempuan memiliki
hak dan kebebasan atas dirinya. Orang lain, siapa pun itu, tidak berhak untuk memaksa perempuan melakukan apa yang tidak diinginkannya.
Demikian pula halnya yang terjadi pada karya sastra Indonesia. Sejak masa kelahirannya di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan Angkatan Balai Pustaka, para pengarang yang didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-karya yang umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan mereka terhadap aturan-aturan tradisi yang telah melekat erat pada sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yang mulai menunjukkan emansipasi perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an yaitu pada novel Layar Terkembang yang mulai membangkitkan semangat dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan.
Memasuki dekade 1970-an pengarang perempuan mulai menjejali ranah sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan
lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh–tokoh perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makluk yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat, memiliki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya meskipun masih terdapat juga penggambaran perempuan yang bersifat lemah dalam menghadapi berbagai permasalahan. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an yang mengusung novel-novel populer tentu dipengaruhi oleh budaya populer yang berkembang pada waktu itu. Di antara karya-karya pengarang perempuan yang sangat dikenal pada tahun 1970-an, seperti Karmila yang diusung Marga T, Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini, Kabut Sutra Ungu yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti. Di samping itu para pengarang perempuan lain yang cukup dikenal di tahun 1970-an adalah Titi Said, Titis Basino, Sariamin, S. Rukiah , La Rose, Maria A. Sarjono, Marianne Katoppo, dan masih banyak yang lain. Ramainya para pengarang perempuan yang mewarnai khazanah kesusasteraan Indonesia dikarenakan pemikiran bahwa perempuan tentu lebih memahami kondisi perasaan yang dialami oleh kaumnya selain tentunya alasan komersil dan desakan dari penerbit untuk menerbitkan karya-karya mereka. Hal tersebut dapat dimaklumi sebab pada masa itu masyarakat sangat menyukai karya-karya mereka karena dirasa lebih menyentuh perasaan perempuan, baik remaja maupun yang dewasa.
Meskipun di satu sisi pada tahun 1970-an perkembangan sastra Indonesia digemilangkan karya-karya eksperimental dari sastrawan laki-laki seperti karya-karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya maupun Sutardji Calzoum Bachri, namun di sisi lain
tidak menyurutkan semangat pengarang perempuan memeriahkan jagat kesusastraan Indonesia. Terbukti karya-karya pengarang perempuan ini selalu menjadi pembicaraan di kalangan pembaca, kritikus, dan pengamat sastra terlepas dari polemik mengenai sastra serius dan sastra populer.
Apabila dibandingkan dengan Angkatan 1970, maka apa yang dilakukan oleh pengarang perempuan Angkatan 2000 telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Meskipun masih menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan 2000 umumnya pesan ideologi feminisme yang disampaikan tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi pembaca. Terkadang hanya dengan isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dalam berbagai bidang, tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya sastra sekarang yakni di tahun 2000-an. Di masa sekarang, khususnya setelah terjadi reformasi pada medio 1998, karya-karya pengarang perempuan juga lebih berani dan terbuka dalam bersikap.
Perihal seksualitas yang selalu diungkapkan dalam banyak karya sastra pengarang perempuan Angkatan 2000 menjadi perdebatan hangat di kalangan sastrawan, kritikus, dan pembaca sastra pada umumnya. Ada yang memaklumi karena hal tersebut bagian dari kehidupan yang jamak terjadi dalam kehidupan nyata dan tidak perlu ditutup-tutupi. Sebagian lain kurang menyetujui karena dianggap karya-karya yang vulgar dengan mengatasnamakan seni. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Mereka contoh para pengarang perempuan dari Angkatan 2000 yang selalu merepresentasikan kehidupan seksualitas tokoh-tokohnya. Permasalahan yang
berbau seksualitas yang terkadang dilukiskan secara gamblang dan tanpa tedeng
aling-aling sebenarnya hanya salah satu dari sekian banyak masalah yang ingin
disampaikan para penulis feminis.
Permasalahan kehidupan sosial, politik, dan budaya sepertinya juga ingin dikemukakan oleh mereka, sebut saja Helvy Tiana Rosa, misalnya. Pengarang yang juga termasuk dalam sastrawan Angkatan 2000 ini sangat menjaga jarak dengan tema-tema seputar aktivitas seksualitas seperti yang banyak ditulis oleh pengarang-pengarang perempuan masa kini. Sebaliknya Helvy selalu menampilkan tokoh-tokoh perempuan dari berbagai belahan dunia yang berjiwa kuat, relijius, dan tegar dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan. Contohnya seperti yang banyak diutarakan dalam kumpulan cerpennya Lelaki Kabut dan Boneka. Begitupun dengan pengarang lain, seperti Abidah El Khalieqy. Pengarang yang juga mantan santriwati pada salah satu pesantren di Jawa Timur ini banyak menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang berjiwa pemberani dan pemberontak terhadap aturan-aturan yang dirasakan tidak adil bagi perempuan serta tidak ingin kaum perempuan menjadi makluk yang pasrah terhadap keadaan yang menimpa yang mengakibatkan mereka menjadi kaum yang terpinggirkan.
Hal ini tentu agak berbeda jika mengamati karya-karya pengarang perempuan pada Angkatan 1970. Perbedaan itu dikarenakan telah terjadi pergeseran konsep ideologi feminisme yang terjadi di antara kedua angkatan tersebut. Kalimat-kalimat yang digunakan pengarang dalam karya-karya kedua angkatan yang berbeda beberapa dekade itu menjadi salah satu pergeseran nilai yang terjadi. Pola pemikiran yang
semakin maju dan mengglobal dari para pengarang perempuan turut memengaruhi mereka dalam memilih dan menggunakan kata demi kata serta kalimat demi kalimat. Bahasa perempuan yang diutarakan tentu memiliki nuansa yang berbeda dengan apa yang dibahasakan oleh pengarang laki-laki. Bahkan penulis perempuan Virginia Woolf melalui Arivia, (2006:113) mengatakan, “Kalimat-kalimat perempuan berbeda dengan kalimat laki-laki”. Kalimat perempuan lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, solidaritas, dan sejenisnya (Sinar, 2004: 3).
Seiring dengan arus globalisasi dunia di samping pendidikan pengarang perempuan masa kini yang semakin tinggi membuat para pengarang perempuan tersebut semakin maju pola pikirnya. Tentu saja hal tersebut turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Karya-karya mereka menurut banyak kalangan pemerhati sastra, dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan perempuan dan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Mengenai penggambaran seksualitas yang demikian terbuka, mengindikasikan kekuatan yang ingin ditampilkan oleh para pengarang perempuan tersebut. Hal tersebut juga bisa dilihat dari kehidupan nyata. Sangat banyak kaum laki-laki takluk dan tidak berdaya menahan godaaan dan bisikan dari kaum perempuan. Meski banyak mendapatkan kritikan dari pengamat sastra karena banyak mendeskripsikan aktivitas seksualitas, tidak membuat para pengarang feminis ini risih karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut sebenarnya merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
Hal yang menyebabkan pergeseran ideologi feminisme antara kedua angkatan tersebut di antaranya karena perjuangan kaum perempuan masa kini yang ingin benar-benar dihargai sebagai perempuan dan tidak ingin dijadikan makluk kelas dua yang terpinggirkan. Mereka memiliki kemampuan untuk mandiri meski terkadang tanpa ada dukungan dari laki-laki. Agak berbeda jika dibandingkan dengan pemikiran dan perjuangan kaum feminis di tahun 1970-an yang belum seterbuka dan seberani kaum feminis sekarang.
Mengingat telah terjadi pergeseran ideologi feminisme pada karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka penulis mencoba untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan hal yang telah disebutkan di atas. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti ideologi feminisme khususnya karya-karya pengarang perempuan pada Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
1.2 Rumusan Masalah
Secara garis besar pemasalahan yang ingin dikemukakan dalam penelitian ini adalah idelogi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Adapun masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000?
1.3 Batasan Masalah
Mengingat begitu banyak karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini dibatasi hanya ideologi feminisme dalam karya-karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 yang ditulis oleh pengarang perempuan. Karya-karya sastra tersebut berbentuk karya sastra prosa, yaitu novel.
Adapun judul-judul novel yang mewakili Angkatan 1970 adalah: 1. Karmila karya Marga T.
2. Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T. 3. Namaku Hiroko (NH) karya Nh. Dini.
4. Pada Sebuah Kapal (PSK) karya Nh. Dini. 5. Perempuan Kedua (PK) karya Mira W
6. Melati di Musim Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono.
Sedangkan judul-judul novel yang dianggap mewakili pengarang perempuan Angkatan 2000 adalah:
1. Larung karya Ayu Utami 2. Saman karya Ayu Utami
3. Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Khalieqy. 4. Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy.
5. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) karya Abidah El Khalieqy. 6. Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:
1. Menguraikan ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk: 1. Memperkaya kajian yang menerapkan teori analisis wacana kritis dan kritik
sastra feminis dalam karya sastra, khususnya karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
2. Menjadi model dalam pengungkapan ideologi feminisme dalam karya sastra serta dapat menjadi referensi bagi penelitian sastra mengenai adanya ideologi feminisme yang terdapat dalam novel Karmila dan Bukan Impian Semusim
(BIS) karya Marga T, Namaku Hiroko (NH) dan Pada Sebuah Kapal (PSK)
dari Nh. Dini, Perempuan Kedua(PK) karya Mira W serta Melati di Musim
Kemarau (MdMK) dari Maria A. Sardjono yang mewakili Angkatan 1970 dan
novel Larung dan Saman dari Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban
Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) dan Supernova: Akar karya Dewi ”Dee”
Lestari, Nayla dari Djenar Maesa Ayu yang mewakili Angkatan 2000.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat pembaca tentang ideologi feminisme dalam karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.
2. Sebagai perbandingan dan acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ideologi feminisme dalam karya sastra Indonesia, khususnya pada karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.