• Tidak ada hasil yang ditemukan

aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.1, Tahun 2016, Hal ISSN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN KARAKTER ANAK MELALUI DONGENG

Di’amah Fitriyyah

Dosen Bahasa Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Email: diamahfitriyyah@ gmail.com

Abstract

Recently, the condition of socio-cultural of Indonesian increasingly tend to be worried. Moral crisis and violence case almost happened in every circle either adults, teenagers, or children. In liputan 6.com on March 3, 2012, reported homicide case which committed by an elementary student in Depok, West Java. On April 2, 2016. Fourteen teenagers in Bangkulu were reported to be rape suspects toward a girl. Some criminal cases often publish in mass media, the phenomenon show moral degradation of Indonesian. Character building comes to answer and reform moral crisis which happened in Indonesia. Character building better to introduce since childhood period, early childhood education is started from kindergarten. Therefore, one of the best way to convey character values is through storytelling. By using storytelling children will learn character values from characters, plot of story, and moral values from a story

Keywords: character building, storytelling

Abstrak

Kondisi sosial, kultural masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang semakin mengkhawatirkan. Krisis moral melanda negeri ini, kasus kekerasan hampir terjadi di semua kalangan, baik dewasa, remaja, maupun anak-anak. Dalam liputan 6.com tanggal 3 Maret 2012, diberitakan kasus pembunuhan yang dilakukan anak SD di Depok Jawa Barat. Tanggal 4 April 2016, 14 remaja di Bengkulu dilaporkan menjadi tersangka pemeekosaan terhadap anak perempuan. Berbagai kasus kriminal lain sering dimuat di surat kabar. Fenomena tersebut memperlihatkan kemorosotan moral. Pendidikan karakter hadir untuk menjawab dan memperbaiki krisis moral yang terjadi di Indonesia. Pendidikan karakter lebih baik disampaikan pada saat usia dini, pendidikan usia dini di Indonesia dimulai dari TK. Oleh karena itu, metode yang dianggap baik untuk menyampaikan nilai-nilai karakter yaitu metode dongeng. Melalui dongeng anak akan belajar nilai-nilai karakter dari tokoh-tokohnya, alur cerita, dan dari pesan yang yang dimuat dalam dongeng.

(2)

Pendahuluan

Pemerintah telah mencanangkan dengan jelas kebijakan mengenai pendidikan karakter yang tersirat dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3 menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membetuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.1

Berdasarkan pasal pada fungsi dan tujuan pendidikan, ada dua hal penting, pertama mengembangkan kemampuan dan kedua membentuk watak. Leonardy Harmainy dalam Agus Wibowo menyatakan bahwa “pendidikan karakter sebaikya dimulai sejak usia dini”.2 Usia 0-6 atau anak usia TK merupakan momen penting bagi tumbuh kembang anak yang sering disebut golden age atau usia keemasan, dengan demikian menjadikan usia dini sebagai penanaman utama karakter anak adalah langkah yang tepat.

Terkait dengan pendidikan karakter anak usiadini perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena anak usia dini adalah anak yang sedang dalam tahap perkembangan pra-operasional kongkret, sebagaimana dikemukankan oleh Piaget. Sementara nilai-nilai karakter merupakan konsep-konsep yang abstrak, sehingga anak belum bisa secara serta merta menerima apa yang diajarkan oleh guru ataupun orang tua dengan cepat. Guru atau orang tua harus cerdas memilih metode yang akan digunakan dalam menyampaikan pendidikan karakter. Dongeng hadir sebagai alternatif metode yang menyenangkan bagi anak.

Dongeng dapat dijadikan jembatan untuk tercapainya misi dan visi pendidikan karakter. Selain dapat mengasah fantasi dan imasjinasi anak, mendongeng juga merupakan metode penyampaian pesan moral yang sangat efektif kepada anak. Pendidikan karakter yang di dalamnya terdiri dari bayak tujuan positif seperti mendidik dan membina anak lebih kreatif, mandiri, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat berjalan dengan baik dengan kegiatan mendongeng sebagai salah satu metode penyampaian pesan-pesan moral kepada anak.

Karakter

Pada abad ke-14 istilah karakter yang dalam bahasa Perancis “caractere” sudah mulai digunakan, kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character” yang akhirnya menjadi bahasa Indonesia “karakter”. Menurut kamus ilmiah popular karakter adalah watak, tabiat, pembawaan, pembiasaan. Senada dengan istilah karakter adalah “personality characteristic yang berarti bakat, kemampuan, sifat, dan sebagainya yang secara konsisten

(3)

diperagakan oleh seseorang, termasuk pola-pola perilaku, sifat-sifat fisik, dan ciri-ciri kepribadian”.3

Wynne dalam Raharjo menyatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality, seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.4

Secara terminologi karakter adalah sifat, watak, pembawaan, atau kebiasaan yang mendarah daging yang kemudian menjadi ciri khas seseorang. Menurut Thomas Lickona karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral.5 Sifat

alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Menurut Kemendiknas, karakter adalah nilai-nilai unik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Dalam Islam karakter dikenal dengan istilah akhlak yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, dan muncul secara spontan tanpa memerlukan pertimbangan atau pemikiran, serta tanpa perlu dorongan dari luar,6 dan berkembang menjadi kebiasaan sedangkan nilainya diletakkan pada ajaran Islam.7

Pendidikan Karakter

Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.8

Bunyi pasal ini sejalan dengan gagasan John Dewey dalam Mansur Muslich menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.9 Socrates dalam Abdul Majid berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart.10

Pendidikan karakter secara eksplisit dapat dikatakan sebagai pendidikan moral yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang11. Pendidikan karakter berarti mengukir sifat hingga terbentuk pola memerlukan

proses yang panjang melalui pendidikan, maka pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan hingga sifat anak terukir sejak dini

Indonesia Heritage Foundation dalam Sri Narwanti mengidentifikasikan sembilan karakter yang menjadi tujuan pendidikan karakter, yaitu: 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan santun, 5) kasih sayag, peduli, dan kerja sama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang

(4)

menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.12 Dewan sekolah di New York menyepakati ada sepuluh karakter, yaitu: 1) respect, 2) responsibility, 3) honesty, 4) empathy, 5) fairness, 6) initiative, 7) courage, 8) perseverance, 9) optimism, 10) and integrity.13 Pusat kurikulum dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung jawab.14

Pendidikan Karakter Anak Usia Dini

Budaya dan pendidikan memberikan pengaruh yang kuat pada perkembangan anak. Di lingkungan pendidikan guru yang luar biasa dapat membimbing dan memberikan pengalaman belajar siswa maka akan membantu mereka bergerak ke tahap kognitif yang lebih tinggi. Tingkat TK menjadi tempat pertama bagi anak-anak memperoleh pendidikan dan menjadi dasar bagi pendidikan yang lain. Di tempat ini anak lebih cepat mendapat pengaruh dan mudah dibentuk pribadinya. Di sinilah pentingnya sekolah sebagai counter untuk menjauhkan anak dari pengaruh lingkungan yang buruk, baik secara jasmani, akal, moral, maupun kepekaan rasanya, sehingga dapat menempatkan pada lingkungan yang baik.15

Pendidikan yang diberikan pada anak tetap harus memperhatikan fase pertumbuhan anak. Ratna Megawati dalam Agus Wibowo, menyatakan bahwa fase 4-6 tahun anak sudah mulai bisa diajak kerja sama serta lebih penurut.16 Anak sudah dapat menerima pandangan orang lain, terutama orang dewasa, bisa menerima otoritas orang tua/guru, menganggap orang dewasa serba tau, serta senang mengadukan teman-temannya yang nakal. Pada fase ini anak sangat percaya pada orang tua dan guru, sehingga penekanan yang dilakukan oleh orang tua/guru akan pentingnya perilaku baik dan sopan sangan efektif. Pendidikan karakter harus memberi peluang bagi anak untuk memahami alasannya.

Penanaman pendidikan karakter bagi anak hendaknya memperhatikan fase perkembangan anak, agar tidak terjadi salah kaprah dalam pembentukan karakter anak. Pendidikan karakter pada fase yang tidak tepat akan memberikan konsep yang membingungkan bagi anak. Pendidikan karakter disesuaikan dengan fase perkembangan anak sebagimana sabda Rasulullah yang artinya: “Siapa yang memiliki anak yang masih kecil, maka gaulilah mereka sesuai dengan tingkat akal mereka”. (HR. Ibnu Asakirdan Ibn Badawih dari Muawiyah).

Mengenai pendidikan karakter, John Piaget dalam Masganti Sit menyatakan bahwa anak di bawah usia 7 tahun telah memiliki potensi untuk melakukan tindakan-tindakan

(5)

bermoral seperti kejujuran, keadilan, dan lain sebagainya.17 Pada usia ini anak-anak melakukan tindakan kejujuran berdasarkan pada pengetahuan yang diperolehnya bahwa berbohong itu dosa dan setiap dosa akan mendapat hukuman.

Pengetahuan anak tentang berbohong adalah dosa diperoleh melalui dua jalan. Pertama, kemampuan kognitif anak telah dapat menerima bahwa seseorang yang melakukan kesalahan seperti berbohong layak mendapatkan hukuman. Kedua, anak akan memahami bahwa jujur merupakan perbuatan baik atau buruk dari hubungan antara anak dengan orang dewasa di sekitarnya. Anak akan memahami konsep kejujuran secara benar jika mendapatkan bimbingan yang baik dari lingkungannya.18 Kohlberg dalam Ormord menyatakan bahwa anak

usia 4 tahun sudah dapat membedakan perbuatan benar dan salah karena adanya hadiah dan hukuman.19 Kemampuan kognitif anak untuk memahami pendidikan karakter dapat pula

ditingkatkan dengan interaksi anak dengan orang lain, seperti guru dan teman-temannya.20 Berdasarkan uraian di atas, bahwa anak usia TK melakukan perbuatan-perbuatan baik karena berorientasi pada takut hukuman dan mengharapkan pemberian hadiah. Oleh karena itu pendidikan karakter di TK hendaknya memanfaatkan metode reward and punishment untuk menanamkan karakter anak.

Pendidikan karakter yang mulai dibentuk pada diri peserta didik dapat juga terkikis oleh kebiasan buruk yang dilakukan oleh lingkungannya, yaitu pemberian label negatif pada anak. Perilaku labeling pada anak terkadang terjadi tanpa disadari. Labeling merupakan sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang, maka orang itu akan berproses menjadi seperti label itu. Misalnya anak yang diberi label “bandel atau bodoh” maka lingkungan akan memuculkan kecenderugan pada perlakuan seperti anak “bandel atau bodoh”, perlakuan yang secara terus menerus seperti ini akan benar-benar menjadikan anak yang memiliki karakter “bandel atau bodoh”.21 Berdasarkan pemikiran ini hendaklah orang tua dan guru menghidari labeling yang negatif untuk anak.

Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Dongeng

Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan, selanjutnya dongeng adalah cerita prosa yang tidak dianggap benar-benar terjadi.22 Dongeng dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti cerita yang tidak benar-benar terjadi. Meskipun dongeng hanya cerita fiktif namun mampu mengajak anak untuk berfantasi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak yang melukiskan kebenaran, pelajaran moral, atau sindiran.23

Mendengarkan cerita adalah salah satu cara memotivasi anak untuk berpikir tentang karakter.24

Kemunculan dongeng yang sebagai bagian cerita rakyat berfungsi untuk menghibur dan juga sebagai sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat pada waktu itu. Dongeng sering mengisahkan penderitaan tokoh, namun karena

(6)

kejujuran dan kesabarannya tokoh tersebut mendapatkan imbalan yang menyenangkan dan tokoh jahat pasti mendapatkan hukuman. Jadi, pesan dalam dongeng dapat juga berwujud peringatan dan atau sindiran bagi orang yang berbuat jahat.25

Dilihat dari waktu kemunculannya dongeng dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dongeng klasik dan dongeng modern. Dongeng klasik termasuk dalam sastra tradisional, dongeng modern termasuk dalam sastra rekaan. Dongeng klasik di Indonesia antara lain adalah Bawang Merah dan Bawang putih dan Timun mas. Dongeng klasik dapat menambah wawasan tentang cerita-cerita dari pelosok dunia. Dongeng modern dapat dikategorikan sebagai genre cerita fantasi, cerita sengaja dikreasikan oleh pengarang dengan maksud untuk memberikan cerita menarik dan ajaran moral tertentu. Dongeng ini juga sebagai karya seni yang memiliki unsur keindahan.26

Unsur-Unsur Intrinsik Dalam Dongeng

Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karya sastra menciptakan dunianya sendiri, tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Pemahaman karya sastra termasuk dongeng dapat dilakukan melalui unsur-unsur intrinsik, yaitu:

Tokoh. Tokoh adalah individu yang berperan dalam cerita. Tokoh cerita dimaksudkan

sebagai pelaku yang dikisahkan perjalanannya dalam cerita fiksi. Dalam dongeng tokoh cerita tidak harur berwujud manusia, tokoh dapat berupa binatang atau objek lain yang merupakan personifikasi manusia.27 Lewat tokoh cerita dapat dijadikan sebagai sarana strategis untuk memberikan pendidikan moral.

Tema. Tema adalah pokok pikiran atau pembicaraan dalam sebuah cerita yang hendak

disampaikan pengarang melalui jalinan cerita. Tema sebagai sebuah gagasan yang ingin disampaikan, tema dijabarkan dan atau dikongkretkan lewat tokoh, alur, dan latar. Pemahaman terhadap tema suatu cerita fiksi adalah pemahamann terhadap makna cerita itu sendiri.28

Plot/Alur. Plot/Alur adalah jalan cerita atau rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan

hukum kausalitas (hubungan yang menunjukkan sebab akibat). Alur berhubungan dengan peristiwa, tokoh, dan segala sesuatu yang digerakkan sehingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang padu dan menarik, keterkaitan antar peristiwa dan hubungan sebab akibat yang menyebabkan cerita menjadi logis. Hal ini dapat memumuk perasaan dan pikiran kritis anak untuk mengikuti alur cerita.29

Gaya Bahasa. Gaya Bahasa adalah cara khas seorang pengarang dalam mengungkapkan ide,

(7)

berbagai bentuk bahasa seperti pemajasan, penyiasatan struktur, dan penceritaan dimanfaatkan sebagai keindahan bahasa tanpa mengurangi kejelasan dan kemudahan pemahaman cerita.30

Sudut pandang/Point of view. Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para

pelaku dalam cerita yang dipaparkannya, dalam menyuguhkan cerita, pengarang dapat mengambil atau memilih suatu posisi serta kedudukan tertentu terhadap suatu kisah yang dipaparkannya. Pada hakikatnya sudut pandang adalah sebuah cara, strategi, atau siasat yang sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengungkapkan cerita dan gagasannya. Pemilihan sudut pandang dalam banyak hal akan mempegaruhi kebebasan, ketajaman, dan keobjektifan dalam bercerita, dan itu juga mempengaruhi kadar kemasukakalan cerita.31

Amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari cerita atau pesan yang ingin disampaikan

pengarang kepada pembaca. Amanat merupakan pemecahan suatu tema yang mencerminkan pandangan hidup pengarang. Amanat sebuah cerita selalu berkaitan dengan berbgai hal yang berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik, karena dongeng sebagai salah satu alternatif untuk memberikan pendidikan bagi anak lewat cerita.32

Latar/Setting. Latar/setting adalah pengambaran mengenai waktu, tempat, dan suasana yang

terjadi dalam cerita. Namun ada juga latar yang menjelaskan latar sosial dan moral. Kejelasan deskripsi latar penting sebagai pijakan untuk mengikuti alur cerita dan mengembangkan imajinasi. Kesuaian antara persepsi dan deskripsi latar cerita akan memberi kesan yang lebih meyakinkan dan memberi kesan bahwa cerita sugguh ada dan terjadi. Kesan itu penting dalam rangka membangun kesadaran dan pengembangan imajinasi.33

Dongeng sebagai pembentukan Karakter Anak

Tujuan dari karya sastra termasuk di dalamnya dongeng adalah berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, sebagai manusia yang berbudaya, berpikir, dan berketuhanan. Dengan demikian, kesusastraan harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia.

Berdasarkan tujuan karya sastra maka pendidikan karakter sangat tepat bila dimasukkan dalam cerita. Pendidikan karakter yang diintruksikan di kelas melalui medium sastra, dengan keteladanan para tokohnya menjadikan peserta didik memeriksa karakter yang menjelma dalam diri tokoh. Sifat luhur manusia yang digambarkan pengarang melalui sikap dan perilaku para tokoh dalam cerita dapat membantu pribadi peserta didik sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan berakhlak baik.

Pendidikan karakter yang disampaikan pengarang menyatu dalam alur cerita. Di dalam cerita peserta akan menemukan berbagai perbuatan para tokoh yang dilukiskan pengarang dalam berbagai peristiwa. Melalui alur cerita pengarang memberikan petunjuk, nasihat, pesan akhlak, dan budi pekerti.

(8)

Manfaat Dongeng Bagi Anak

Mengingat bahwa tahap perkembangan berpikir anak usia dini adalah tahap operasional kongkret,34 sedangkan pendidikan karakter adalah pengetahuan yang abstrak, maka dongeng ini memanfaatkan daya imajinasi anak untuk menjembatani pengetahuan pendidikan karakter yang abstrak. Lewat dongeng inilah pendidikan karakter dapat muncul secara kongkret dalam perilaku tokoh.

Unsur-unsur yang terdapat dalam dongeng juga membantu imajinasi anak dalam memahami alur cerita. Unsur yang terdapat dalam dongeng yaitu: 1) subjek atau tokoh dalam dongeng, 2) waktu dan latar belakang dongeng, 3) tujuan penggambaran suatu keadaan terutama tujuan nilai-nilai positif, 4) dialektika.35

Dongeng sebagai penanaman mungkin merujuk pada kisah atau qashash yang dicontohkan Allah dalam mendidik umat manusia. Kisah yang terdapat dalam al-Quran sering kali dimodifikasi menjadi dongeng bagi anak. Hal ini bertujuan untuk membentuk karakter anak yang berlandaskan al-Quran.

Hadirnya dongeng dalam sastra anak tentunya juga membawa manfaat bagi anak. Manfaat yang paling mendasar adalah dongeng sebagian media hiburan bagi anak. Adapun manfaat lain dari dongeng bagi anak adalah: 1) mengasah daya pikir dan imajinasi anak, 2) merupakan metode penyampaian pesan moral yang efektif, 3) menumbuhkan minat baca, dan 4) menjadi sebuah jembatan spiritual yang mengarah pada kedekatan emosional antara pendongeng dan anak, serta 5) memicu daya kreatifitas dan memancing wawasan luas bagi orang tua.

Catatan Akhir

1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003

2 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.36

3 A.Z. Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h.20

4 S.B. Raharjo, Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia, Jurnal Pendidikan

dan Kebudayaan, Vol.16 No.3, 229-239

5 Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, (New York: Bantam Books, 1992), h.51

6 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UMY, 2007), h.1

7 Duna Izfanna & Hisyam, N. A., A Comprehensive Approach in Developing Akhlaq. Diambil pada tanggal 25 November 2012, dari http://search.proquest.com

8 Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003

9 Masnur Muslich, Pendidikan karakter menjawab tangtangan krisis multidimendional. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h.67

10 Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h.30

11 Darmiyati Zuchdi, Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Kultur

Sekolah, (Yogyakarta: UNY Press, 2011), h.19

12 Sri Narwanti, Pendidikan Karakter Pengintegrasian 18 Nilai pembentuk Karakter dalam Mata

(9)

13 Dimerman, Character is the Key: How to Unlock the Best in Our Children and Ourselves, (Canada: John Wiley & Sons, 2009), h.9

14 Pusat Kurikulum, Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. (Jakarta: Puskur, 2010), hh.9-10

15 Abdul Majid, Mendidik Dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h.4 16 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini, (Yogyakatya: Pustaka Pelajar, 2012), h.89)

17 Masganti Sit, Mengajarkan Kejujuran pada Anak Usia Dini. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, Vol.15 No.2, Tahun 2009, p.338-351

18 Ibid, h.344

19 Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners, (New Jersey: Merrill Prentice Hall, 2003), h.88

20 Masganti Sit, Opcit, h. 344 21 Agus Wibowo, Opcit, h.90

22 James Danandjaja, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, (Jakarta: Grafiti , 2007), h.83

23 Ibid

24 Lickona, Character Maters, How To Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity, And

Other Essential Virtues, (New York: Touchstoon, 2004), p.201

25 Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h.200 26 Ibid, h.207 27 Ibid, h.223 28 Ibid, h.260 29 Ibid, h.237 30 Ibid, h.277 31 Ibid, h.269 32 Ibid, h.265 33 Ibid, h.249

34 Hetherington, E.M & Parke, R.D., Child Psychology, (Tuas Basin Lik: McGraw-Hill Book Company, 1986), h.344

35 Suyadi, Membangun Karakter Anak dengan Metode Kisah Qur’ani, Jurnal PGMI Al-bidayah, Vol.2 No.2, Tahun 2010, 289-306

Daftar Pustaka

Danandjaja, James, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Jakarta: Grafiti, 2007.

Dimerman, Character is the Key: How to Unlock the Best in Our Children and Ourselves, Canada: John Wiley & Sons, 2009.

Fitri, A.Z., Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Hetherington, E.M & Parke, R.D., Child Psychology, Tuas Basin Lik: McGraw-Hill Book Company, 1986.

Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UMY, 2007.

Izfanna, Duna & Hisyam, N. A., A Comprehensive Approach in Developing Akhlaq. Diambil pada tanggal 25 November 2012, dari http://search.proquest.com

Lickona, Character Maters, How To Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity, And Other Essential Virtues, New York: Touchstoon, 2004.

Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books, 1992.

(10)

Majid, Abdul & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2011.

Majid, Abdul, Mendidik Dengan Cerita, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tangtangan Krisis Multidimendional, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.

Narwanti, Sri, Pendidikan Karakter Pengintegrasian 18 Nilai pembentuk Karakter dalam Mata Pelajaran, Yogyakarta: Familia Grup Relasi Inti Media, 2011.

Nurgiyantoro, Burhan, Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005.

Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners, New Jersey: Merrill Prentice Hall, 2003.

Pusat Kurikulum, Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, Jakarta: Puskur, 2010.

Raharjo, S.B., Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.16 No.3.

Sit, Masganti, Mengajarkan Kejujuran pada Anak Usia Dini. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, Vol.15 No.2, Tahun 2009.

Suyadi, Membangun Karakter Anak dengan Metode Kisah Qur’ani, Jurnal PGMI Al-Bidayah, Vol.2 No.2, Tahun 2010.

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003

Wibowo, Agus, Pendidikan Karakter Usia Dini, .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Zuchdi, Darmiyati, Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Kultur Sekolah, Yogyakarta: UNY Press, 2011.

Referensi

Dokumen terkait

2) Saya mudah bertengkar kepada teman yang menyinggung perasaan saya, ketika saya sedang belajar untuk menghadapi ujian. Membaca buku penunjang. Meliputi membaca buku atau

Hotel Arrahman merupakan perusahaan jasa yang didirikan dijalan Suntung Ardi. Hotel Arrahman merupakan salah satu hotel yang cukup menjadi pilihan konsumen ketika ingin

16 Peneliti mengumpulkan data yang berupa tulisan ataupun hasil wawancara dari orang-orang terkait untuk mendapatkan data tentang penggunaan metode pembiasaan

Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap dan Rumah Sakit

Djarum sebagian dari tanah perkebunannya yang berada di kawasan gambut (sekitar 400 ha) diperoleh dengan memberikan ganti rugi pada penduduk Desa Anjungan Dalam. Ketika

maka peserta didik dituntut untuk lebih aktif dalam mencari informasi sebagai bahan analisis yang diberikan dan kemudian mendiskusikannya. Dengan kata lain

Peraturan daerah ini sesuai dengan nomenklaturnya menggantikan Peraturan Daerah yang lama yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 9 Tahun 2006 tentang