• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 Tinjauan Pustaka"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

7

Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang berhubungan dengan variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini, antara lain pengetahuan tentang pasangan, kesiapan menikah, area-area dalam kesiapan menikah, emerging adult, dan pacaran, serta kerangka berpikir penelitian.

2.1 Pengetahuan Tentang Pasangan

Belum banyak tokoh yang meneliti tentang pengetahuan tentang pasangan (knowledge of partner). Pengetahuan tentang pasangan adalah bagaimana individu dapat mendeskripsikan pasangannya secara tepat (Showes & Zeigler-Hill, 2004 dalam Epstein, 2005). Showers dan Kevlyn (1999) mengembangkan apa yang mereka sebut "partner knowledge structures", yaitu keadaan dimana individu menyimpan segala informasi—baik ataupun buruk—tentang pasangannya dalam berbagai situasi yang berbeda. Struktur pengetahuan tentang pasangan ini dapat terdiri dari kombinasi antara informasi tentang karakteristik pasangan dan situasi-situasi yang berbeda, seperti kantor, sekolah, atau rumah. Contohnya, bila individu memikirkan tentang pasangannya saat berada di kantor (situasi), individu dapat berpikir tentang bagaimana kepercayaandiri pasangannya (informasi). Selanjutnya, individu bisa teringat tentang kecerdasannya, sikap controlling, dan sifat dominan, serta rasa humor dari pasangan.

Epstein (2012) mengatakan bahwa pengetahuan tentang pasangan memiliki kriteria sebagai berikut: “knowing how to have fun with one’s partner, knowing about his/her preferences, caring about one’s partner’s hopes and dreams.” Dalam penelitiannya, Epstein (2012) menemukan bahwa pengetahuan tentang pasangan merupakan salah satu kompetensi dari keterampilan hubungan yang paling berpengaruh dalam memprediksi kesuksesan suatu hubungan percintaan. Pengetahuan tentang pasangan, layaknya keterampilang hubungan lainnya, akan berkembang semakin baik seiring dengan waktu (Epstein, 2012). Pada saat berpacaran, pasangan mengembangkan berbagai pengetahuan tentang perbedaan diantara keduanya dan kemampuan interpersonal yang tentunya bermanfaat bagi kehidupan pernikahan, khususnya untuk menyesuaikan diri di masa awal pernikahan (Blood, 1969).

(2)

2.1.1 Kriteria Pengetahuan Tentang Pasangan

Epstein (2005) menjelaskan bahwa terdapat 3 kriteria yang menggambarkan tingkat pengetahuan tentang pasangan yang dimiliki individu:

1. Mengetahui bagaimana bersenang-senang dengan pasangan. Individu dianggap mengetahui betul pasangannya bila individu tersebut memahami bagaimana cara dapat menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan pasangannya. Dimaksudkan bahwa individu menyadari kegiatan apa saja yang mampu membuat pasangan dan dirinya sendiri merasa bahagia melakukan kegiatan tersebut.

2. Mengetahui preferensi dari pasangan. Individu dapat dikatakan memiliki pengetahuan tentang pasangannya bila ia dapat mengetahui preferensi atau hal-hal yang disukai dari pasangannya. Hal tersebut juga termasuk dalam mengetahui dan berusaha untuk menghormati dasar pandangan dan nilai pasangan, selalu mengetahui semua hal tentang keluarga pasangan, selalu mengetahui makanan kesukaan pasangan, mengingat hari-hari penting bagi pasangan, mau bertanya atau peduli mengenai selera, preferensi, dan kegemarannya pasangan, mendorong pasangan untuk mengekspresikan pandangan mereka, dan bahkan mengetahui fantasi atau khayal romantis atau seksual pasangan.

3. Peduli dengan cita-cita atau harapan dari pasangan. Hampir sama dengan kriteria kedua, namun dalam kriteria ini lebih menekankan akan rencana dimasa depan yang pasangan miliki serta membantu pasangan untuk dapat mencapai cita-citanya tersebut. Dari hal tersebut, individu dianggap peduli dan menghormati cita-cita atau harapan dari pasangan serta menganggap serius apa yang menjadi rencana pasangan di masa depan.

(3)

2.2 Kesiapan Menikah

Menurut Holman dan Li (1997), hanya terdapat dua tokoh yang secara khusus membahas mengenai kesiapan menikah, yaitu Larson dan Stinnett. Larson (dalam Badger, 2005) mendefinisikan kesiapan menikah sebagai evaluasi respondentif individu terhadap kesiapan dirinya untuk memenuhi tanggung jawab dan tantangan dalam pernikahan. Sedangkan Stinnett (dalam Badger, 2005), mempercayai bahwa kesiapan menikah berhubungan erat dengan kompetensi pernikahan. Kompetensi pernikahan merupakan kemampuan seseorang untuk menjalankan perannya dalam pernikahan untuk dapat memenuhi kebutuhan pasangan di dalam sebuah pernikahan. Dari kedua definisi kesiapan menikah yang dikemukakan oleh Stinnett dan Larson tersebut, Holman dan Li (1997) mendefinisikan kesiapan menikah sebagai kemampuan yang dipresepsikan individu dalam berperan dalam pernikahan, dan termasuk pula proses pemilihan pasangan dan perkembangan hubungan. Selanjutnya, Wiryasti (2004) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya sebagai suami dan istri, yang digambarkan dengan adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, dan usia mininal dewasa muda.

Kesiapan menikah dapat menjadi prediktor kepuasan pernikahan (Larson, 2007 dalam Nelson, 2008), dimana semakin tinggi tingkat kesiapan menikah, maka diharapkan tingkat kepuasan pernikahan individu juga semakin tinggi. Selain itu, kesiapan menikah pun dapat menjadi prediktor dari kesuksesan dan stabilitas pernikahan (Fowers & Olson, 1986 dalam Holman, Larson, & Harmer, 1994). DeGenova (2008) memaparkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah pada individu, seperti usia saat menikah, level kedewasaan dari pasangan yang akan menikah, waktu pernikahan, motivasi untuk menikah, kesiapan untuk eksklusivitas seksual, dukungan emosional dari orangtua, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Fournier dan Olson (dalam L Abate, 1990) berpendapat bahwa kesiapan menikah seharusnya dilihat sebagai tindakan prioritas untuk menciptakan awal yang baik bagi suatu pernikahan. Kesiapan menikah ini diperlukan untuk menciptakan pernikahan yang berkualitas dan mencegah terjadinya perceraian.

(4)

2.2.1 Area-area Dalam Kesiapan Menikah

Terdapat beberapa area dalam kesiapan menikah yang dianggap penting untuk diukur. Beberapa area tersebut merupakan area-area yang diukur dalam Inventori Kesiapan Menikah. Alat ukur ini telah menambahkan aspek-aspek dari kesiapan menikah dari hasil penelitian sebelumnya yang belum tercakup dalam inventori. Ketujuh area ini dihasilkan dari hasil studi literatur pada beberapa tokoh seperti Holman, Larson, Duvall, Fowers, Stathman, dan Hiebert, yang kemudian disesuaikan lagi dengan kondisi di Indonesia melalui wawancara, observasi, mengenai melihat hal-hal apa saja yang paling sering memicu perceraian dalam rumah tangga, sehingga perlu dipersiapkan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Adapun ketujuh area kesiapan menikah yang dimaksud adalah (Holman & Li, 1997 dalam Mahmuda, 2012):

1. Komunikasi. Komunikasi yang efektif melibatkan kemampuan untuk bertukar ide, fakta, perasaan, sikap, dan kepercayaan agar pesan yang disampaikan sampai dan diinterpretasikan dengan tepat oleh lawan bicara dan sebaliknya. Hasil penelitian menunjukan bahwa komunikasi yang baik merupakan salah satu syarat dalam pernikahan yang sukses (Robinson dan Blanton, dalam DeGenova, 2008). Terkait dengan area kesiapan menikah, area ini mengukur kemampuan individu untuk mengekspresikan ide dan perasaanya kepada pasangan, serta mendengarkan pesan yang disampaikan oleh pasangan. Aspek yang diukur dalam area ini adalah keterbukaan, kejujuran, serta kepercayaan pada pasangan, empati, dan keterampilan mendengarkan.

2. Keuangan. Area ini berkaitan dengan berbagai hal mengenai pengaturan kondisi ekonomi rumah tangga. Masalah yang berkaitan dengan ekonomi memang menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan rumah tangga, dimana kebutuhan hidup dari masing-masing anggota keluarga seperti keperluan rumah, biaya transportasi, makanan, kesehatan, rekreasi, pendidikan dan kebutuhan lainnya diharapkan dapat terpenuhi (DeGenova, 2008). Aspek-aspek yang

(5)

diukur dalam area ini adalah mengenai pengendalian atau pengaturan terkait dengan pengaturan keuangan dalam rumah tangga tersebut. 3. Anak dan pengasuhan. Tujuan pernikahan diantaranya adalah

melegitimasi kehamilan hingga akhirnya melahirkan anak. Perencanaan yang dimaksud berkaitan dengan memiliki dan membesarkan anak, perencanaan masa depan untuk anak, dan pengaruh terhadap hubungan pasangan tersebut setelah nantinya resmi menjadi suami istri. Aspek-aspek yang diukur dengan area ini adalah pengaruh kehadiran anak terhadap relasi, rencana untuk memiliki anak, kesepakatan cara KB, kesepakatan cara pengasuhan, kesiapan menjalankan peran sebagai orang tua.

4. Pembagian peran suami-istri. Pembagian peran suami istri adalah persepsi dan sikap dalam memandang peran-peran dalam rumah tangga dan publik, serta kesepakatan dalam pembagiannya. Beberapa penelitian menemukan bahwa pembagian tugas rumah tangga dan pengasuhan anak yang tidak adil menyebabkan konflik di dalam keluarga (DeGenova, 2008). Olson dan DeFrain (2006) menambahkan bahwa adanya ketidaksetaraan dalam peran suami-istri, dimana beban pekerjaan rumah tangga selalu dinilai sebagai tugas dan tanggung jawab istri akan menjadikan istri merasa depresi dan penurunan dalam hal kepuasaan pernikahan. Fowers dan Olson (1989) menjelaskan bahwa kesepakatan tentang peran dan pembagian tugas yang harus dijalani oleh pasangan menjadi hal yang penting, dimana tipe hubungan peran yang sesuai menjadi kunci bagi keintiman dalam hubungan mereka. Aspek-aspek yang diukur dengan area ini adalah sikap terhadap peran-peran tradisional atau egaliter, kesepakatan pembagian peran suami-istri dengan pasangan.

5. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar. Area ini merujuk pada nilai-nilai dan sistem keluarga besar (keluarga asal) yang membentuk karakter individu dan relasi antar anggota keluarga. Ketika pasangan menikah, mereka menikah tidak hanya dengan pasangannya tersebut, tetapi juga dengan keluarga dan lingkungan

(6)

sosial dari pasangan masing-masing (Broderick, 1992, 1993, dalam Olson & DeFrain, 2006). Seseorang yang menikah tentunya tidak hanya memiliki hubungan dengan pasangannya, secara otomatis ia akan memiliki hubungan dengan keluarga pasangan. DeLap (2000) menjelaskan bahwa persetujuan dari orang-orang yang signifikan, seperti keluarga, akan memberikan pengaruh terhadap kesiapan individu untuk menikah. Hal ini sesuai dengan kebudayaan di Indonesia yang masih menganut nilai-nilai kolektivitas, dimana keluarga besar, terutama orang tua, memegang peranan yang sangat penting dalam pemilihan pasangan anak untuk dijadikan suami ataupun istri (Sarwono, 2005). Selain itu pemilihan pasangan juga dapat dipengaruhi oleh orang tua. Dalam kesiapan menikah, area ini berkaitan dengan nilai-nilai dan sistem keluarga besar (keluarga asal) yang membentuk karakter individu, dua relasi antar anggota keluarga. Aspek- aspek yang diukur seperti, latar belakang keluarga, evaluasi terhadap nilai- nilai dalam keluarga besar, sikap keluarga besar terhadap pasangan sebagai anggota baru dala keluarga, dan suku bangsa.

6. Agama. Area agama berkontribusi dalam kesuksesan pernikahan, dimana pasangan yang sukses berbagi aktivitas spiritual, kesamaan nilai dan religiusitas, akan memiliki orientasi yang tinggi mengenai keagamaan (Hatch, James & Schumm, 1986 dalam DeGenova, 2008). Kepercayaan dalam agama juga mendorong adanya komitmen dalam pernikahan melalui dukungan spiritual ketika dalam keadaan sulit. Agama memberikan keyakanin mengenai apa yang baik dan benar, dimana adanya perbedaan agama antara suami-istri dapat menguji komitmen mereka (Secombe & Warner, 2004). Orientasi keagamaan juga dapat mempengaruhi stabilitas perkawinan dan kualitas moral melalui dukungan sosial, emosional, serta spiritual (Robinson, L., C., 1994). Tidak hanya mengenai orientasi keagamaan yang sama, namun menurut DeGenova (2008) salah satu faktor yang mendorong kesuskesan pernikahan adalah melakukan aktivitas

(7)

keagamaan bersama, berbagai nilai-nilai keagamaan dan memiliki orientasi keagamaan yang tinggi yang dimanifestasikan dalam tingkah laku religious. Adapun aspek-aspek yang diukur dalam area ini adalah kesamaa prinsip agama dengan pasangan, serta penempatan nilai agama/religiustias dalam hubungannya dengan pasangan.

7. Minat dan pemanfaatan waktu luang. Penelitian menunjukan bahwa pasangan yang memiliki minat yang sama, melakukan kegiatan bersama, dan melakukan kegiatan bersama teman-teman dan kelompok sosial akan memiliki kepuasan yang lebih dalam hubungannya (DeGenova, 2008). Area ini membahas sikap terhadap minat pasangan, dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan. Akan tetapi, bukan hanya jumlah waktu yang dihabiskan bersama namun kualitas hubungan yang mereka rasakan ketika bersama berhubungan dengan kepuasan dalam hubungan. Hal yang mustahil untuk mengharapkan pasangan selalu berkegiatan bersama atau memiliki kesamaan minat terus-menerus. Beberapa orang menginginkan adanya keterpisahan di dalam kebersamaan mereka. Oleh sebab itu, mereka melakukan kegiatan bersama teman-teman mereka (DeGenova, 2008).

2.3 Emerging Adult

Emerging adult adalah periode transisi dari remaja menuju dewasa (Papalia, 2007). Emerging adulthood merupakan suatu tahapan perkembangan yang muncul setelah individu mengalami atau melewati masa remaja (adolescence) dan sebelum memasuki masa dewasa awal (young adulthood), dengan rentang usia antara 18 hingga 25 tahun (Arnett, 2004). Namun dalam penelitiannya, Arnett (2000) menegaskan bahwa emerging adult tidak dapat dikatakan sebagai remaja ataupun dewasa. Emerging adult paling tepat digambarkan pada individu di negara-negara industri, khususnya di kota-kota besar, yang mulai memikirkan pernikahan, tidak memiliki anak, tidak tinggal di rumah mereka sendiri, atau tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk menjadi sepenuhnya independen di usia 18 sampai 25 tahun. Emerging adult merupakan struktur

(8)

populasi baru yang terus berubah dan memiliki karakteristik yaitu identity exploration, instability, self-focus, feeling in-between, dan the age of possibilities.

Masa-masa ini diwarnai oleh perasaan antusias khususnya dalam merancang rencana-rencana untuk menghadapi tantangan menuju masa dewasa. Ada banyak tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu pada masa transisi menuju kedewasaan ini, antara lain tinggal terpisah dari orangtua, terdapat peningkatan dalam hal karier dan akademis, membangun hubungan interpersonal yang intim dan mendalam, membuat keputusan-keputusan sendiri serta memiliki kematangan emosional (Miller, 2011).

Nelson dan Barry (2005) menjelaskan bahwa individu pada tahap emerging adult akan lebih menggunakan kualitas-kualitas diri seperti sikap bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan, pengambilan keputusan secara mandiri, serta mampu terlepas dari ketergantungan secara finansial dari orangtua. Selain itu, Levinson (1986, dalam Sciaba, 2006) juga menyebutkan bahwa rentang usia 20 hingga 30 tahun adalah tahap dimana individu sudah memiliki kepuasan dalan hal cinta, seksualitas, kehidupan keluarga, kreativitas, pencapaian karier, dan realisasi dari tujuan-tujuan utama dalam kehidupannya. Pada tahap ini individu akan mengambil keputusan yang penting dalam urusan pernikahan, pekerjaan dan gaya hidup sebelum merasa diri cukup bijaksana dan berpengalaman. Selain itu, ada pula tuntutan dari keluarga, teman dan lingkungan sekitar yang berlawanan dengan ambisi personal.

Individu pada rentang usia emerging adult tidak berjalan di jalur yang sama, melainkan membangun jalurnya masing-masing dimana semuanya bergantung pada pilihan-pilihan yang sebagian besar bukanlah pilihan individu itu sendiri melainkan bagian dari eksperimen dan eksplorasi diri. Pada tahap emerging adulthood, perencanaan masa depan menjadi semakin sulit dan kompleks. Masing-masing individu akan menggunakan strateginya sendiri untuk menentukan arah mana yang akan mereka ambil untuk masa depan. Banyak kesempatan yang tersedia namun individu justru semakin bingung dan kerap dihinggapi keraguan. Sehingga, status sebagai orang dewasa dimaknai sebagai tantangan yang sangat besar bagi individu di tahap emerging adulthood (Lanz & Tagliabue, 2007).

(9)

2.3.1 Perbedaan Emerging Adult Dengan Dewasa Muda dan Remaja

Arnett (2000) menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa dewasa muda bukan merupakan istilah yang cocok untuk menggambarkan periode perkembangan 18 sampai 25 tahun. Pertama, istilah “dewasa muda” menunjukkan bahwa pada tahap perkembangan ini, individu telah mencapai tahap masa dewasa. Selanjutnya, Arnett (2000) menyatakan bahwa kebanyakan orang di tahap perkembangan emerging adult percaya bahwa mereka belum mencapai usia dewasa. Namun emerging adult percaya bahwa mereka perlahan-lahan menuju masa dewasa, dan dengan demikian istilah “emerging adult” jauh lebih tepat.

Lebih lanjut menurut Arnett (2000), tidak akan tepat bila usia 18 sampai 25 tahun diklasifikasikan sebagai “dewasa muda”, hal tersebut karena berarti individu dengan usia remaja atau belasan, usia 20-an, dan usia 30-an akan disama ratakan. Sedangkan, individu berusia remaja sangat berbeda tahap perkembangannya dengan individu berusia 30-an. Penelitian yang dilakukan Arnett (2005) menemukan bahwa sebagian besar individu berusia 18 sampai 25 tahun tidak melihat diri mereka sebagai orang dewasa, dan masih dalam proses memperoleh pendidikan, menuju pernikahan menikah, atau belum memiliki anak. Sedangkan individu dengan usia 30-an melihat diri mereka sebagai orang dewasa, telah menetapkan karier, menikah, dan memiliki setidaknya satu anak. Sekarang merupakan waktu yang tepat untuk mendefinisikan remaja (adolescence) sebagai tahap perkembangan yang mencakup usia 10 sampai 17 tahun (Arnett, 2005). Hal tersebut dikarenakan individu dalam kelompok usia tersebut biasanya masih tinggal dengan orang tua mereka, mengalami pubertas, menghadiri sekolah menengah, dan masih terlibat dalam budaya pertemanan dengan teman sekolah. Semua karakteristik tersebut tidak lagi normatif setelah usia 18. Selanjutnya, di Indonesia, usia 17 adalah usia dimana seseorang sudah dapat memilih secara hukum atau dianggap sudah pantas mengemban tanggung jawabnya sendiri.

(10)

2.3.1 Ciri-ciri Utama Emerging Adult

Menurut Arnett (2000), terdapat 5 (lima) ciri utama yang dapat ditemui pada individu di tahap perkembangan emerging adult. 5 ciri-ciri tersebut adalah:

1. Identity explorations. Masa identity explorations adalah salah satu karakteristik yang paling penting yang muncul dalam emerging adult. Dalam tahap perkembangan emerging adult individu memungkinkan untuk eksplorasi dalam hal cinta, kerja, dan worldviews lebih dari periode usia lainnya. Dalam hal pekerjaan, mayoritas remaja yang bekerja cenderung melihat pekerjaan mereka sebagai cara untuk menghasilkan uang ketimbang mempersiapkan mereka untuk karir masa depan. Sebaliknya, usia 18 sampai 25 tahun dalam emerging adult melihat pekerjaan mereka sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang akan mempersiapkan mereka untuk karir masa depan saat mereka dewasa. Mengalami perubahan dalam pandangan dunia adalah sebuah divisi utama perkembangan kognitif selama masa emerging adult. Orang-orang di masa emerging adult yang memilih untuk kuliah biasanya memulai masa perkulihan atau universitas dengan pandangan (worldviews) sebagaimana yang diajarkan kepada mereka ketika kecil dan remaja. Namun, emerging adult yang telah melewati masa kuliah atau universitas telah lebih mempertimbangkan pandangan (worldviews) yang berbeda, dan akhirnya berkomitmen pandangan (worldviews) yang berbeda atau pandangan yang telah mereka bangun selama masa perkuliahan atau karir di universitas.

2. Instability. Ketidakstabilan yang dialami emerging adult terletak pada dunia akademis dan personal. Tidak jarang pada tahap perkembangan ini individu berpindah-pindah tempat sekolah (universitas) atau pekerjaan. Dalam hal pekerjaan pula, tidak jarang mereka merasa bahwa apa yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan minat mereka atau membutuhkan kemampuan lain sehingga mereka perlu melanjutkan sekolah atau pindah ke pekerjaan lainnya yang diharapkan sesuai dengan passion yang mereka miliki. Individu juga mengalami ketidakstabilan dalam hal percintaan dimana mereka mulai menjalin hubungan yang serius dengan

(11)

pasangan mereka namun baru belakangan menyadari ada ketidakcocokan.

3. Self-Focused. Pada tahap perkembangan ini, individu mulai membuat rencana dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari, menggali pemahaman yang lebih dalam mengenai siapa diri mereka dan apa yang mereka inginkan dalam hidup, serta mulai membangun fondasi untuk masa dewasa mereka. Selain itu, dengan diperolehnya kebebasan yang lebih dibandingkan saat masih remaja, individu dituntut untuk selalu mampu mengambil keputusannya sendiri dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut.

4. Feeling In-Between. Individu merasakan tahap dimana ia tidak ingin lagi dianggap sebagai remaja namun merasa belum sepenuhnya siap untuk masuk ke kelompok usia dewasa. Alasan mengapa kebanyakan emerging adult merasa berada diantara remaja dan dewasa awal adalah karena menurut mereka untuk menjadi dewasa membutuhkan proses-proses yang tidak mudah, yaitu: menjalankan tanggung jawab diri sendiri sepenuhnya, membuat keputusan-keputusan secara mandiri, dan mandiri secara materi atau sudah memiliki penghasilan sendiri. Proses tersebut membutuhkan waktu dan tidak dapat dicapai begitu saja dalam satu waktu.

5. Possibilities. Harapan-harapan individu dalam tahap emerging adulthood berkembang besar. Mereka melihat diri mereka memiliki banyak kemungkinan untuk menjadi sosok yang besar dan mampu bertransformasi. Segala kesempatan untuk berkembang sangat terbuka lebar bila dibandingkan dengan tahapan perkembangan lainnya, seperti misalnya kesempatan untuk melanjutkan sekolah, meniti karier di bidang tertentu hingga memulai hubungan yang baru seperti pertunangan atau pernikahan.

Faktor budaya, modernisasi dan kemajuan teknologi turut memberikan tekanan bagi individu di tahap perkembangan emerging adult. Peristiwa-peristiwa yang erat kaitannya sebagai tanda kedewasaan mulai bergeser dari yang semula hanya pernikahan menjadi beberapa pencapaian, misalnya kemandirian dalam hal finansial, yang juga

(12)

diikuti oleh karier jangka panjang yang stabil serta sepenuhnya terlepas dari bantuan orangtua (Olson-Madden, 2007 dalam Agustin 2012).

2.4 Pacaran

2.4.1 Definisi Pacaran

Menurut DeGenova & Rice (2005) pacaran adalah menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain. Menurut Bowman (1978) pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang belum menikah, dimana hal ini akan menjadi dasar utama yang dapat memberikan pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya sebelum pernikahan di Amerika.

Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup. Menurut Saxton (dalam Bowman, 1978), pacaran adalah suatu peristiwa yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara dua orang (biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan berlainan jenis).

Reiss (dalam Duvall & Miller, 1985) menambahkan bahwa pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman. Menurut Papalia, Olds & Feldman (2004), keintiman meliputi adanya rasa kepemilikan. Adanya keterbukaan untuk mengungkapkan informasi penting mengenai diri pribadi kepada orang lain (self disclosure) menjadi elemen utama dari keintiman.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pacaran adalah serangkaian aktivitas bersama yang diwarnai keintiman (seperti adanya rasa kepemilikan dan keterbukaan diri) serta adanya keterikatan emosi antara pria dan wanita yang belum menikah dengan tujuan untuk saling mengenal dan melihat kesesuaian antara satu sama lain sebagai pertimbangan sebelum menikah.

(13)

2.4.2 Karakteristik Pacaran

Pacaran merupakan fenomena yang relatif baru, sistem ini baru muncul setelah perang dunia pertama terjadi. Hubungan pria dan wanita sebelum munculnya pacaran dilakukan secara formal, dimana pria datang mengunjungi pihak wanita dan keluarganya (DeGenova & Rice, 2005).

Menurut DeGenova & Rice (2005), proses pacaran mulai muncul sejak pernikahan mulai menjadi keputusan secara individual dibandingkan keluarga dan sejak adanya rasa cinta dan saling ketertarikan satu sama lain antara pria dan wanita mulai menjadi dasar utama seseorang untuk menikah.

Pacaran saat ini telah banyak berubah dibandingkan dengan pacaran pada masa lalu. Hal ini disebabkan telah berkurangnya tekanan dan orientasi untuk menikah pada pasangan yang berpacaran saat ini dibandingkan sebagaimana budaya pacaran pada masa lalu (DeGenova & Rice, 2005). Tahun 1700 dan 1800, pertemuan pria dan wanita yang dilakukan secara kebetulan tanpa mendapat pengawasan akan mendapat hukuman. Wanita tidak akan pergi sendiri untuk menjumpai pria begitu saja dan tanpa memilih-milih. Pria yang memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita maka ia harus menjumpai keluarga wanita tersebut, secara formal memperkenalkan diri dan meminta izin untuk berhubungan dengan wanita tersebut sebelum mereka dapat melangkah ke hubungan yang lebih jauh lagi. Orangtua memiliki pengaruh yang sangat kuat, lebih dari yang dapat dilihat oleh seorang anak dalam mempertimbangkan keputusan untuk sebuah pernikahan.

Tidak ada jaminan apakan hubungan pacaran yang dibina akan berakhir dalam pernikahan, karena dalam berpacaran tidak ada komitmen untuk melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Newman & Newman (2006), faktor utama yang menentukan apakah suatu hubungan pacaran dapat berakhir dalam ikatan pernikahan ialah tergantung pada ada atau tidaknya keinginan yang mendasar dari diri individu tersebut untuk menikah.

Bowman & Spanier (1978) mengatakan bahwa pacaran terkadang memunculkan banyak harapan dan pikiran-pikiran ideal tentang diri pasangannya di dalam pernikahan. Hal ini disebabkan karena dalam pacaran baik pria maupun wanita berusaha untuk selalu menampilkan perilaku yang

(14)

terbaik di hadapan pasangannya. Inilah kelak yang akan mempengaruhi standar penilaian seseorang terhadap pasangannya setelah menikah.

2.4.3 Komponen Pacaran

Menurut Karsner (2001) ada empat komponen penting dalam menjalin hubungan pacaran. Kehadiran komponen-komponen tesebut dalam hubungan akan mempengaruhi kualitas dan kelanggengan hubungan pacaran yang dijalani. Adapun komponen-komponen pacaran tersebut, antara lain:

a. Saling Percaya (Trust each other)

Kepercayaan dalam suatu hubungan akan menentukan apakah suatu hubungan akan berlanjut atau akan dihentikan. Kepercayaan ini meliputi pemikiran-pemikiran kognitif individu tentang apa yang sedang dilakukan oleh pasangannya.

b. Komunikasi (Communicate your self)

Komunikasi merupakan dasar dari terbinanya suatu hubungan yang baik (Johnson dalam Supraktiknya, 1995). Arnold dan Feldman (1996) menyatakan bahwa komunikasi merupakan situasi dimana seseorang bertukar informasi tentang dirinya terhadap rang lain. c. Keintiman (Keep the romance alive)

Keintiman merupakan perasaan dekat terhadap pasangan (Stenberg, 1988). Keintiman tidak hanya terbatas pada kedekatan fisik saja. Adanya kedekatan secara emosional dan rasa kepemilikan terhadap pasangan juga merupakan bagian dari keintiman. Oleh karena itu, pacaran jarak jauh juga tetap memiliki keintiman, yakni dengan adanya kedekatan emosional melalui kata-kata mesra dan perhatian yang diberikan melalui sms, surat atau email.

d. Meningkatkan komitmen (Increase Commitment)

Menurut Kelly (dalam Stenberg, 1988) komitmen lebih merupakan tahapan dimana seseorang menjadi terikat dengan sesuatu atau seseorang dan terus bersamanya hingga hubungannya berakhir. Individu yang sedang pacaran, tidak dapat melakukan hubungan

(15)

spesial dengan pria atau wanita lain selama ia masih terikat hubungan pacaran dengan seseorang.

2.4.4 Alasan Berpacaran

Menurut DeGenova & Rice (2005) ada beberapa hal yang menyebabkan individu-individu berpacaran, antara lain:

a. Pacaran sebagai bentuk rekreasi.

Satu alasan bagi pasangan untuk keluar secara sederhana adalah untuk bersantai-santai, menikmati diri mereka sendiri dan memperoleh kesenangan. Pacaran merupakan suatu bentuk hiburan an ini jugalah yang menjadi tujuan akhir dari pacaran itu sendiri. b. Pacaran memberikan pertemanan, persahabatan dan keintiman

pribadi. Banyak kaum muda yang memiliki dorongan yang kuat untuk mengembangkan kedekatan dan hubungan yang intim melalui pacaran.

c. Pacaran adalah bentuk sosialisasi.

Pacaran membantu seseorang untuk mempelajari kealian-keahlian sosial, menambah kepercayaan diri dan ketenangan, dan mulai menjadi ahli dalam seni berbicara, bekerjasama, dan perhatian terhadap orang lain.

d. Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian.

Salah satu cara bagi individu untuk mengembangkan identitas diri mereka adalah melalui berhubungan dengan orang lain. Kesuksesan seseorang dalam pengalaman berpacaran merupakan bagian dari perkembangan kepribadian. Satu dari alasan-alasan kaum muda berpacaran adalah karena hubungan tersebut memberi mereka keamanan dan perasaan dihargai secara pribadi.

e. Pacaran memberikan kesempatan untuk mencoba peran gender. Peran gender harus dipraktekkan dalam situasi kehidupan nyata dengan pasangan. Banyak wanita saat ini menyadari bahwa mereka tidak dapat menerima peran tradisionalnya yang pasif; pacaran

(16)

membantu mereka mengetahui hal ini dan belajar jenis peran apa saja yang mereka temukan dalam hubungan yang dekat.

f. Pacaran adalah cara untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Kebutuhan akan kasih sayang ini merupakan satu dari motif utama orang berpacaran.

g. Pacaran memberikan kesempatan bagi pencobaan dan kepuasan seksual. Pacaran menjadi lebih berorientasi seksual, dengan adanya peningkatan jumlah kaum muda yang semakin tertarik untuk melakukan hubungan intim (Michael dalam DeGenova & Rice, 2005).

h. Pacaran adalah cara untuk menyeleksi pasangan hidup.

Kesesuaian dari seleksi pasangan menganjurkan agar individu-individu yang memiliki kecocokan yang baik dalam karakteristik-karakteristik pokok untuk dapat menikah satu sama lain karena kecocokan dapat meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan mampu membentuk hubungan yang saling memuaskan.

i. Pacaran mempersiapkan individu menuju pernikahan.

Pacaran dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang sikap dan perilaku pasangan satu sama lain; pasangan dapat belajar bagaimana cara mempertahankan hubungan dan bagaimana mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi.

Duvall & Miller (1985) menambahkan beberapa alasan lain mengapa orang-orang berpacaran, yakni bahwa pacaran dilihat sebagai sesuatu yang menyenangkan dan menghibur. Beberapa orang berpacaran karena begitulah yang semua orang lakukan. Seseorang berpacaran karena itulah yang diharapkan; jika tidak pacaran, orang akan mengira ada yang salah pada dirinya. Tekanan sosial dan penghindaran dari kritik sosial juga menjadi alasan orang berpacaran. Bahkan banyak lagi orang yang tidak tahu mengapa mereka berpacaran. Pacaran hanya dijadikan sebagai sebuah cara untuk melewati masa antara pubertas dan dewasa awal.

(17)

2.4.5 Model-Model Pacaran

Menurut Duvall & Miller (1985) ada beberapa tingkatan dalam pacaran : a. Casual Dating

Tahap ini biasanya dimulai dengan “pacaran keliling” pada orang muda. Orang dalam tahap ini biasanya berpacaran dengan beberapa orang dalam satu waktu.

b. Regular Dating

Ketika seseorang untuk alasan yang bermacam-macam memilih sebagai pasangan yang lebih disukai, kemungkinan besar hubungan itu akan menetap. Pasangan pada tahap ini seringkali pergi bersama dengan pasangannya dan mengurangi atau menghentikan hubungan dengan pasangan yang lain. Tahap perkembangan hubungan ini terjadi ketika seorang atau kedua pasangan berharap bahwa mereka akan saling melihat satu sama lain lebih sering dibanding yang lain. Jika hubungan ini dapat memenuhi kebutuhan pasangannya, hubungan ini akan meningkat secara eksklusif (terpisah dari yang lain).

c. Steady Dating

Tahap ini adalah fase yang serius dan lebih kuat dari fase dating regularly. Pasangan dalam tahap ini biasa memberikan beberapa simbol nyata sebagai bentuk komitmen mereka terhadap pasangannya. Mahasiswa pria bisa memberikan pasangannya berupa pin persaudaraan, kalung, dll sebagai wujud keseriusan mereka dalam hubungan tersebut.

d. Engagement (Tunangan)

Tahap pengakuan kepada publik bahwa pasangan ini berencana untuk menikah.

(18)

2.5 Kerangka Berpikir

Data yang diperoleh dari IPADI (Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia) menunjukkan rata-rata usia pernikahan pertama di Indonesia pada tahun 2010 adalah 22 sampai 25 tahun (BKKBN, 2010). Usia tersebut tergolong ke dalam rentang usia emerging adult. Dalam tahap perkembangan emerging adult individu mulai menjalani hubungan pacaran yang lebih serius atau menuju pada pernikahan. Hubungan pacaran dapat menjadi sarana bagi individu untuk saling mengenal pasangannya lebih dalam. Epstein (2005) mengatakan bahwa pengetahuan tentang pasangan adalah salah satu kompetensi yang dapat menciptakan hubungan yang harmonis. Setiap orang yang menikah pastinya menginginkan pernikahan yang berjalan dengan harmonis. Walau begitu, tidak sedikit pasangan menikah yang berakhir pada perceraian atau gagal dalam pernikahan tersebut. Resiko perceraian dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan pada pasangan menikah dapat diminimalisir sejak awal sebelum pernikahan dilakukan bila individu telah memiliki kesiapan menikah yang baik (Yufizal, 2012). Kesiapan menikah dianggap penting karena kehidupan pernikahan cenderung berbeda dengan kehidupan saat masih lajang (Williams, et al, 2006).

Hubungan antara pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah dapat dilihat dari hal-hal yang berkaitan dengan kedua variabel tersebut, salah satunya yaitu sebagai prediktor keharmonisan hubungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Epstein (2012) pengetahuan tentang pasangan merupakan salah satu kompetensi yang dapat menjadi prediktor hubungan yang harmonis. Keharmonisan hubungan juga dapat diprediksi melalui kesiapan menikah individu (Agusin, 2012). Kesiapan menikah erat hubungannya dengan pernikahan pasangan, hal ini dipengaruhi oleh pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah akan mempengaruhi keharmonisan pernikahannya kelak (Rapaport, dalam Duvall & Miller, 1985).

Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa keduanya memilliki peran penting dalam membangun sebuah hubungan yang harmonis. Selanjutnya, dijelaskan oleh Bradbury & Karney (2010), bahwa untuk menggali pengetahuan tentang pasangan dibutuhkan komunikasi. Komunikasi termasuk dalam area kesiapan menikah. Hasil penelitian menunjukan bahwa komunikasi yang baik merupakan salah satu syarat dalam pernikahan yang sukses (Robinson dan Blanton, dalam DeGenova, 2008). Selain area

(19)

komunikasi, area minat dan pemanfaatan waktu luang juga diasumsikan memiliki hubungan. Epstein (2005) menjelaskan bahwa salah satu ciri pengetahuan tentang pasangan adalah mengetahui bagaimana bersenang-senang dengan pasangan. Individu dianggap mengetahui betul pasangannya bila individu tersebut memahami bagaimana cara dapat menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan pasangannya. Dimaksudkan bahwa individu menyadari kegiatan apa saja yang mampu membuat pasangan dan dirinya sendiri merasa bahagia melakukan kegiatan tersebut (Epstein, 2012). Sedangkan dalam kesiapan menikah, area minat dan pemanfaatan waktu luang meliputi kemampuan individu untuk menyikapi minat pribadi dan pasangan serta membagi antara waktu luang yang dimiliki untuk melakukan minat pribadi atau untuk melakukan kegiatan bersama-sama (Wiryasti, 2004 dalam Ariesthia, 2013).

Selanjutnya, ciri lain dari pengetahuan tentang pasangan adalah mengetahui preferensi dari pasangan, yang meliputi pengetahuan mengenai nilai-nilai yang dianut pasangan dan menghormati nilai-nilai tersebut, pengetahuan mengenai latar belakang keluarga, serta mendorong pasangan untuk mengekspresikan pandangan mereka (Epstein 2005). Ciri tersebut diasumsikan berhubungan dengan beberpa area kesiapan menikah, seperti agama, latar belakang dan relasi dengan keluarga besar, dan pembagian peran suami-istri. Lebih lanjut, pengetahuan tentang cita-cita dan harapan pasangan menekankan akan rencana dimasa depan yang pasangan miliki serta membantu pasangan untuk dapat mencapai cita-citanya tersebut (Epstein, 2005), yang artinya individu dianggap peduli dan menghormati cita-cita atau harapan dari pasangan serta menganggap serius apa yang menjadi rencana pasangan di masa depan. Hal tersebut diasumsikan berhubungan dengan area rencana keuangan, anak dan pengasuhan.

Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti mengasumsikan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah pada emerging adult. Alur kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada gambar 2.1

(20)

Gambar 2.1 Kerangka pemikiran hubungan antara pengetahuan tentang pasangan dengan kesiapan menikah pada emerging adult.

2.5 Hipotesis

Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah pada emerging adult.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka pemikiran hubungan antara pengetahuan tentang pasangan  dengan kesiapan menikah pada emerging adult

Referensi

Dokumen terkait

Dari tenaga kerja yang ada adalah 50% tenaga kerja lokal Tahap Operasional Kegiatan Ekploitasi/ Penambang an Penurunan kenyamanan lingkungan dan kesehatan Lingkungan di areal

Segenap Staf Tata Usaha Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah membantu segala urusan administrasi dalam penyelesaian tugas akhir ini..

Meningkatkan sikap positif dari para petugas kesehatan dalam menangani ibu-ibu melahirkan ataupun pasien yang datang yang memerlukan tindakan yang terkait dengan

Standar deviasi untuk kinerja sosial adalah 2.639 menunjukkan bahwa data pengungkapan kinerja sosial pada perusahaan sampel menyebar di jauh dari nilai mean sehingga dikatakan

De store bankene har imidlertid ikke i større grad enn små og mellomstore banker oppgitt at de vil øke sine utlån til husholdninger.. Oppsummering

Testosteron dan insulin sebagai obat penunjang penampilan dalam dunia olah raga sangat sulit dideteksi karena memiliki kemiripan dengan zat yang memang secara

Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk menentukan hubungan antara kedua variabel (variabel independen dan variabel dependen) yang ada pada penelitian ini, yaitu

Keenam, pengaruh kompetensi manajerial kepala sekolah dan iklim organisasi sekolah secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja guru sebesar 63,8%, sedangkan sisanya