• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGADILI KORBAN KONSPIRASI NEGARA PASCA-DEMONSTRASI MENENTANG RASISME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGADILI KORBAN KONSPIRASI NEGARA PASCA-DEMONSTRASI MENENTANG RASISME"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

NOTA PEMBELAAN

PENASEHAT HUKUM

MENGADILI KORBAN KONSPIRASI NEGARA

PASCA-DEMONSTRASI MENENTANG RASISME

DALAM PERKARA PIDANA

NOMOR: 35/PID.B/2020/PN-Bpp

ATAS NAMA TERDAKWA:

FERRY KOMBO

Yang Didakwa:

DalamDakwaan Kesatu: Pasal 106 KUHP Jo pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP

atau Dakwaan Kesatu: Pasal 110 Ayat (1) KUHP Jo pasal 106 KUHP Jo

Pasal 55 Ayat(1) ke 1 KUHP

Atau Dakwaan Ketiga : Pasal 160 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP

DIAJUKAN OLEH:

TIM PENASEHAT HUKUM

KOALISI PENEGAK HUKUM DAN HAM PAPUA

DI PENGADILAN NEGERI BALIKPAPAN

BALIKPAPAN

2020

(2)

Nota Pembelaan Penasehat Hukum

MENGADILI KORBAN KONSPIRASI

PASCA-DEMONSTRASI MENENTANG RASISME

Dalam Perkara 35/PID.B/2020/PN-Bpp AtasNamaTerdakwa: FERRY KOMBO Yang Didakwa: DalamDakwaan Kesatu: Pasal 106 KUHP Jo pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP atau Dakwaan Kedua : Pasal 110 Ayat (1) KUHP Jo pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat(1) ke 1 KUHP Atau Dakwaan Ketiga : Pasal 160 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP Di Pengadilan Negeri Balikpapan I. PENDAHULUAN Majelis Hakim yang terhormat, Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati, Hadirin sidang sekalian yang berbahagia.

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kepada Allah Semesta Alam yang telah memberikan Rahmat -Nya kepada kita semua, sehingga persidangan pada hari ini, pada pada acara pembacaan Pledoi. Kami menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang Terhormat Majelis Hakim yang telah melakukan pemeriksaan dalam perkara ini secara arif dan bijaksana sehingga akan diketahui fakta-fakta sebenarnya terjadi yang akan dijadikan dasar oleh Majelis Hakim untuk memutus Perkara ini.

Demikian pula pada Jaksa Penuntut Umum, kami berikan penghargaan yang setinggi-tingginya karena telah berupayamenjalankankewajiban dengan sebaik-baiknya, dalam perkara ini guna dan untuk menemukan kebenaran formil dan materil dari hukum pidana ke arah tercapainya prinsip dan tujuan hukum serta tegaknya keadilan. Hal yang sama kami sampaikan pula kepada Panitera Pengganti yang telah mencatat seluruh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Bahwa pada persidangan hari jumat tanggal 5 Juni 2020 sdr. Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan Tuntutan Pidana kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memutuskan:

1. Menyatakan Terdakwa FERY KOMBO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MAKAR“ , sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam Surat Dakwaan Kesatu;

(3)

10 (SEPULUH) TAHUN dengan dikurangi selama terdakwa menjalani masa penahanan sementara. Dengan perintah terdakwa tetap ditahan. 3. Menyatakan barang bukti berupa: § 1 (satu) KTP No. 91710307019500002 atas nama FERY KOMBO. § 1 (Satu) NPWP No. 83417 333 . 2-952.000 atas nama FERY KOMBO. Dikembalikan kepada Terdakwa § 1 (satu) KTP No. 91220330118800001 atas nama ALEX NEKWEK § 1 (Satu) NPWP No. 8345 1809.4-952.000 atas nama CV BION JAYA. § 1 (Satu) STNK Motor No.Pol : DS 4603 RE Atas nama H. Muh. Rusdi.

§ 1 (satu) Unit Mobil Pick Up Merk Daihatsu type S402RP-TMRFJJ-KP (Grand Max), No. Reg: PA 8349 AG, No. Mesin: 3SZDGB5337, No. Rangka: MHKT3CA1JGKO19080; § 1 (Satu) lembar STNK Mobil PA 8349 AG a.n JAFAR DG TALLI; § 1 (Satu) lembar Surat Ketetapan Pajak Kendaraan PA 8349 AG a.n JAFAR DG T ALLI; § 1 (Satu) buah kunci mobil PA 8349 AG Dikembalikan kepada yang berhak. § 1 (satu) ATM BANK PAPUA No. 6038 4411 6001 5175. § 1 (satu) ATM BANK MANDIRI No. 4617 0037 0040 1350. § 1 (satu) ATM BANK DANAMON No. 5577 9178 5215 8507. § 1 (satu) Kartu Pelanggan No. 6397 6213 0082 5800 Kantor Pos. § 1 (satu) buah dompet warna Hitam bertuliskan CROCODILE. § 1 (satu) Lembar foto FERY KOMBO. § 1 (Satu) lembar foto NAOMI YOLANDA KOGOYA. § 1 (satu) Unit Hand Phone Merk OPPO A7 Warna Hitam dengan imei1: 867299041164831 dan imei2: 867299041164823 Nomor HP : 082397405335 Dirampas Untuk Dimusnahkan. § 7 (tujuh) Unit Komputer Lenovo. § 1 (satu) Unit Komputer Asus. § 1 (satu) Unit Komputer Samsung. § 1 (satu) Unit Komputer Acer. § 2 (dua) Unit Komputer Hp. § 2 (dua) Unit Komputer Dell. § 2 (dua) Unit Printer Hp Laserjet P1102. § 2 (dua) Unit Printer Canon Pixma. § 1 (satu) Unit Printer Epson. § 2 (dua) buah Keyboard Acer. § 1 (satu) buah Keyboard Logitech. § 1 (satu) buah Keyboard Asus; § 7 (tujuh) buah Keyboard Lenovo; § 2 (dua) unit Cpu Dell; § 8 (delapan) buah Mouse Lenovo; § 1 (satu) buah Mouse HP; § 2 (dua) buah Mouse Acer; § 1 (satu) buah Mouse Logitech; § 1 (satu) buah Mouse Votre; § 1 (satu) buah Charger Laptop Hipro; § 2 (dua) buah Charger Laptop Asus; § 1 (satu) buah Charger Laptop HP; § 4 (empat) buah Charger Komputer Lenovo; § 2 (dua) buah Kabel Power Komputer; § 2 (dua) buah Kabel Data Komputer; § 5 (lima) buah Kabel Printer; § 2 (dua) buah Kabel Roll; § 1 (satu) buah T ape Compo Polytron;

(4)

§ 1 (satu) buah Setelan Suara Mic Behringer Uphorio Umc 22; § 1 (satu) buah Amplifier Uhf; § 1 (satu) buah Digital Video Recorder Ahd; § 1 (satu) buah Wireless In Router Wifi Asus; § 1 (satu) buah Wifi Zte; § 1 (satu) buah Terminal Wifi 3com; § 1 (satu) buah Memory CPU; § 1 (satu) buah Mic Duduk Anysong; § 1 (satu) buah Charger Battery Nikon; § 1 (satu) buah Mic Megaphone; § 2 (dua) buah Kalkulator Casio; § 1 (satu) buah Kamera CCTV Hikvision; § 1 (satu) buah Buku Kerja 2018 Prov. Papua; § 1 (satu) buah Speaker Bluetooth Kecil; § 2 (dua) Roll Kain Warna Cokelat Korpri; § 27 (dua puluh tujuh) buah Ikat Pinggang Kecil Korpri; § 1 (satu) buah Kabel Lampu Hias; § 1 (satu) buah Kabel Lampu Hias Salib; § 11 (sebelas) buAh Tas; § 1 (satu) unit Sepeda Motor Honda; § 1 (satu) buah Kunci Ring; § 1 (satu) buah Rangkaian Gantungan Kunci; § 1 (satu) buah Obeng Plat; § 1 (satu) buah Parang / Pisau; § 2 (dua) buah T ombak Kayu Panjang; § 4 (empat) buah Busur; § 36 (tiga puluh enam) buah Anak Panah; § 47 (empat puluh tujuh) buah Batu; § 58 (lima puluh delapan) buah Besi + Pipa; § 47 (empat puluh tujuh) buah Ketapel; § 6 (enam) buah Pecahan Kaca; § 5 (lima) batang Potongan Kau. Dipergunakan dalam perkara yang lain 4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 5.000 (Lima Ribu Rupiah).

Nota Pembelaan (Pledoi) yang diajukan tim Penasehat Hukum terhadap Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum bukanlah suatu yang hendak membela kesalahan terdakwa tetapi melainkan suatu ikhtiar hukum agar sebelum yang Terhormat Majelis Hakim memberi putusan telah mendapatkan keterangan, gambaran, bukti-bukti dan segala sesuatu tentang peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa yakni Tindak pidana “Makar” sebagaimana dimaksud dalam DAKWAAN KESATU melanggar pasal 106 KUHPJo Pasal 55 Ayat(1) Ke-1 KUHP.

II. DASAR HUKUM PENGAJUAN PEMBELAAN/PLEDOI

Bahwa Tuntutan Pidana dan Pledoi (Pembelaan) pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pemeriksaan perkara. Bahwa berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP, maka kepada terdakwa dan atau Penasihat Hukum terdakwa diberikan hak untuk mengajukan Pledoi (Pembelaan) atas Tuntutan Pidana yang telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

(5)

Dalam kesempatan ini perlu kami tegaskan, karena pada hakikatnya pengajuan Pledoi (Pembelaan) ini bukanlah bertujuan untuk melumpuhkan dakwaan dan Tuntutan Pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi perbedaan argumentasi, prinsip dan pandanganlah yang menimbulkan kesenjangan diantara kedua misi yang diemban, namun semuanya itu bermuara pada kesamaan tujuan yaituusaha dan upaya melakukan penegakan hukum serta keinginan untuk menemukan kebenaran hukum.

III. LATAR BELAKANG KASUS/PERMASALAHAN DI PAPUA A. Aksi Rasisme terhadap Orang Papua

Bahwa sejarah panjang perilaku rasisme terhadap orang Papua sudah terjadi sejak sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Salah satu contoh dari sekian banyak contoh adalah peristiwa rasisme tanggal 16 Agustus 2019 dan 17 Agustus 2019 terhadap Mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya. Aksi yang sama juga terjadi di Jogja, Malang dan beberapa kota lainnya di Indonesia. Perilaku penghinaan dan perlakuan kejam yang tidak manusiawi ini dilakukan oleh masyarakat setempat, aparat sipil negara dan aparat keamanan. Bahkan respon yang dilakukan oleh aparat keamanan ketika memasuki asrama Kamasan sangat berlebihan hingga melahirkan tindakan represif dan teror. Aksi rasisme bukan saja terjadi di asrama mahasiswa tetapi juga di pemukiman lainnya yang di huni oleh mahasiswa Papua bahkan terjadi hampir di setiap aktifitas dimana orang Papua hadir didalamnya, contohnya ketika pertandingan bola, dimana orang Papua telah diteriaki dengan kata-kata bernada rasis.

B. Munculnya Aksi Menolak Rasis di Papua

Aksi rasisme pada Agustus 2019 yang terjadi di beberapa kota di Indonesia telah menimbulkan protes dan kemarahan dari orang Papua di seluruh kota yang ada di Papua dalam bentuk Aksi Anti Rasisme. Aksi ini dikoordinir oleh BEM se Kota Jayapura dan kelompok Cipayung (PMGKRI, GMKI, HMI dan GMNI). Peristiwa tersebut merupakan reaksi terhadap aksi rasis yang dialami. Sekaligus reaksi atas perilaku diskriminasi dan ketidakadilan lainnya yang telah dialami oleh orang Papua dalam berbagai aspek dengan kurun waktu yang sangat panjang yakni sejak integrasi tahun 1963. Aksi anti rasisme juga sebagai bentuk desakan terhadap pemerintah terkait implementasi UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Tindakan Diskriminasi Ras dan Etnis namun dijawab oleh pemerintah dengan cara menambahkan pasukan keamanan baik Polri/Brimob maupun TNI ke berbagai wilayah Papua hingga sebanyak 6000 orang dalam kurun waktu Agustus sampai dengan desember 2019 sebagaimana pernyataan Kapolri Tito Carnavian. (Baca: https://www.suara.com/news/2019/09/01/095904/6000-tentara-dan-polisi-terjun-kepapua-kapolri-kalau-kurang-tambah-lagi).

Pada saat menjelang aksi sejumlah masyarakat sipil termasuk kelompok pemuda, mahasiswa, tokoh adat, tokoh agama dan perempuan sepakat menentang perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi tersebut dalam bentuk aksi atau demonstrasi. Dalam rangka mempersiapkan sejumlah aksi tersebut, komponen mahasiswa yang berperan sebagai koordinator aksi dari aspirasi masyarakat sipil khususnya orang Papua yang menjadi korban rasis melakukan pertemuan guna mempersiapkan aksi agar tetap fokus untuk menolak aksi rasis yang telah terjadi dan agar aksi menolak rasis berlangsung aman dan tertib, sebagaimana notulensi yang telah dihasilkan pada pertemuan dan Pernyataan yang diserahkan kepada Gubernur Papua.

(6)

Aksi menolak rasis yang berlangsung pada tanggal 19 Agustus 2019 berlangsung aman, bahkan gubenur dan sejumlah perangkat pemerintah di provinsi Papua menerima massa aksi saat berada di kantor Gubernur, Gubenur juga merespon dengan mengatakan “Saya berterima kasih kepada mahasiswa tidak melakukan anarkis, tidak boleh terprovokasi. Kita manusia bermartabat." (Baca : Pernyataan

gubernur Papua di depan massa aksi,kantor gubernur 19 Agustus 2019. Sumber:

kompas.com tanggal 19 Agustus 2019).

Aksi menolak rasis yang kedua, dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2019, untuk mendesak pemerintah karena terkesan masih lambat dalam menangani tindakan rasis yang dialami oleh orang Papua. Sebelumnya dilakukan pertemuan diantara kelompok mahasiswa dengan maksud yang sama seperti aksi pertama tanggal 19 Agustus 2019 yakni agar aksi berjalan aman dan tertib. Namun Ketika aksi tanggal 29 Agustus 2019 berlangsung anarkis dengan sejumlah aksi pembakaran dan pengrusakan serta penjarahan, jelas bukanlah karena peran atau tanggungjawab terdakwa sebab sejak awal terdakwa FERRY KOMBO bersama terdakwa lainnya (dilakukan penuntutan secara terpisah) telah melakukan komunikasi diantara kelompok mahasiswa dalam rangka mencegah aksi berlangsung anarkis. Pada aksi tanggal 29 Agustus 2019, sikap aparat berbeda dalam mengawal aksi, massa terakumulasi pada banyak titik, hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi karena biasanya aparat dengan cepat menangani kerumunan massa hingga mampu mengurai massa. Selain itu ada keterlibatan pihak lain yang menyebabkan situasi menjadi tidak terkendali dan anarkis, massa aksi bertambah banyak, muncul dari berbagai titik jalan atau pemukiman penduduk. Beberapa diantara telah berusaha dicegah oleh terdakwa agar tidak melakukan tindakan anarkis. Mengenai keterlibatan pihak lain, banyak yang sudah menyuarakannya (baca:

https://www.beritasatu.com/nasional/573245-lukas-enembe-nyatakan-demo-massa-di-papua-yang-tunggangi), sayangnya hingga saat ini aparat kepolisian tidak melakukan penyelidikan. Hingga akhirnya terdakwa dijadikan tumbal atau dikriminalisasi atau peristiwa tersebut. Bahwa terdakwa FERRY KOMBO tidak tidak mengikuti aksi 29 Agustus 2019.

C. Penerapan Pasal Makar terhadap Massa Aksi

Penerapan pasal makar atau delik kejahatan terhadap keamanan negara dalam konteks berkumpul dan menyampaikan pendapat di Papua khususnya terkait aksi tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 adalah salah satu bentuk arogansi dari negara karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum. Terdakwa FERRY KOMBO dan terdakwa lainnya (yang dilakukan penuntutan secara terpisah) telah mengalami kriminalisasi dan stigma bahkan mendahului proses hukum yang sedang berjalan. Mereka mengalami penyiksaan saat penangkapan dan pemeriksaan awal serta dipindahpaksakan dengan alasan keamanan. Kemudian dikenakan tuntutan pidana yang sangat tinggi oleh JPU. Berbeda dengan tuduhan kasus makar ditempat lainnya di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi baru di Asia maka sudah seharusnya meninggalkan gaya lama ini. Bahkan di era pemerintahan persiden Gus Dur, ekspresi itu diberi ruang: bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan asalkan tidak lebih besar dan lebih tinggi dari bendera merah putih, namun mengapa sekarang demokrasi Indonesia bergerak mundur?. Bahkan mekanisme demokrasi yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum telah dilanggar oleh aparat kepolisian karena aparat kepolisian memaksa

(7)

melakukan tindakan yang tidak pernah ada di dalam aturan tersebut yakni setiap aksi massa harus mendapatkan ijin dari kepolisian padahal pasal dari UU tersebut menyatakan bahwa yang harus disampaikan ke kepolisian adalah Pemberitahuan bukan permohonan ijin kepada pihak kepolisian dan pihak kepolisian WAJIB menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Tidak ada satu katapun dalam UU tersebut yang menyebut kata ijin apalagi yang memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian untuk memberikan ijin. Hal ini membuktikan kriminalisasi dan stigma yang sudah dibangun sejak awal terhadap orang Papua. Jelas melanggar prinsip-prinsip kerja yang professional dan taat aturan.

Disadari bahwa penerapan pasal makar terhadap orang Papua tidak pernah mengurangi semangat orang Papua untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Diskusi dan teriakan Yel-yel Papua merdeka akan selalu ada di berbagai ruang dan waktu, baik dalam seminar, diskusi, karya buku, wawancara apalagi aksi-aksi kebebasan berekspresi. Simbol bintang kejora diekspresikan dalam berbagai bentuk seperti bendera, baju, tas, gelang, makanan ataupun bentuk lain. Orang Papua akan mencari dan menemukan berbagai media untuk mengekspresikan itu. Proses hukum tidak akan efektif dalam menghentikan sikap rakyat Papua untuk terus berkumpul, berekspresi dan menyampaikan pendapatnya selama ketidakadilan tumbuh subur di tanah Papua. Proses hukum hanya untuk menghalau asap (Pr John Bunay,Pr, koord JDP Papua) atau merespon dinamika (Dr.Adriana Elisabeth, Ahli Politik dan Koord JDP Jakarta) tetapi bukan mengatasi bara api yang terus menyala. Peradilan selalu menjadi ajang uji coba untuk itu, ironisnya, selalu gagal dalam mencapai tujuannya bahkan tuntutan dan putusan yang tidak adil akan makin meningkatkan resistensi perlawanan terhadap kehadiran negara di Papua.

D. Otonomi Khusus dan Penyelesaian Akar Masalah di Papua

Bahwa pemerintah Indonesia memberikan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua pada tahun 2001 sebagai kompromi politik karena orang Papua minta merdeka oleh karenanya pemerintah pun memberikan dengan terpaksa untuk memadamkan aspirasi Papua Merdeka yang muncul setelah sejumlah aksi penangkapan di berbagaitempat di Papua termasukpenangkapan 5 tokoh Presidium Dewan Papua(PDP) setelahKongres Papua tahun 2000.

Di dalam konsideran huruf f UU Otsus disebutkan “bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua; namun sejumlah bentuk perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan terhadap eksistensi orang asli Papua hanyalah ‘cek kosong’ yang tidak pernah ditunaikan bahkan diaborsi satu persatu melalui berbagai aturan atau kebijakan yang salah secara asas dan hirarki dalam peraturan perundang-undangan.

Buktinya justru selama UU Otsus aksi penangkapan dan penahanan meningkat. Ruang-ruang berekspresi, menyampaikan pendapat dan berserikat dihadang oleh barikade aparat dan sejumlah Maklumat. Pemerintah mengatakan untuk Papua dilakukan pendekatan kesejahteraan tapi prakteknya adalah pendekatan

(8)

keamanan. Hak atas keselamatan masyarakat sipil makin terabaikan, siapapun bisa menjadi korban. Pemenuhan hak-hak dasar tetap buruk terbukti dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih berada diposisi kunci dari klasemen IPM di Indonesia.

Penegakan hukum selalu dijadikan ancaman untuk menjaga kepentingan kekuasaan. Hal ini mengingatkan kita pada sejarah peradilan kolonial yang menjadikan hukum sebagai jubahnya penguasa. Trik pemerintah dengan melempar salah kepada orang Papua yang duduk di pemerintahan tidaklah tepat apalagi ketika semua otoritas masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Ini soal buruknya manajemen pemerintah bukan karena kegagalan orang Papua dalam melaksanakan UU Otsus. Orang Papua seperti dikasih casing ‘made in orang asli Papua’ tapi sebenarnya substansi dan eksistensinya dihilangkan, karena itu siapapun tidak boleh terjebak dalam doktrin politik casing.

Salah satu bagian penting di dalam UU Otsus adalah pasal 2 mengenai Lambang-Lambang, dimana rakyat Papua dibolehkan untuk memiliki bendera daerah dan lagu daerah. Ketakutan pemerintah atas apa yang telah dijanjikan dan diperintahkan oleh UU-nya menyebabkan pemerintah kehilangan akal sehat, tidak peduli terdapat kekeliruan asas dan hirarki dalam peraturan perundang-undangan termasuk dalam implementasinya, seperti ketika Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah untuk menghentikan simbol atau bendera Bintang Kejora berkibar. Pemerintah juga mengeluarkan UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu Kebangsaan yang memuat sanksi terhadap berbagai tindakan pelanggaran terhadap bendera merah putih. Ironisnya, dalam prakteknya dugaan pelanggaran terhadap simbol dan ikon-ikon negara Indonesia malah menggunakan pasal makar. Padahal di Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara tidak ada satu pasal pun memuat pelanggaran atau tindak pidana terkait simbol atau bendera. Kondisi ini menunjukkan stigma terhadap orang Papua mendahului kebijakan atau hukum apapun yang hendak dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat Papua.

Kegagalan dalam membangun persepsi tentang Papua, haruslah diakhiri dengan memahami akar persoalan di Papua. Dimana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di dalam buku Papua Road Map terbitan tahun 2009 telah menyebutkan ada 4 (empat) akar masalah di Papua, yang intinya adalah: 1). Perdebatan soal integrasi Papua atau pelurusan sejarah Papua 2). Pelanggaran HAM 3). Kegagalan Pembangunan dan 4) Marginalisasi dan Diskriminasi. Untuk itu LIPI bersama Jaringan Damai Papua (JDP) yang terbentuk pada 06 Januari 2010 dan telah melakukan Konsultasi Publik diantara orang Papua dan non Papua di kota-kota se Tanah Papua; melakukan sejumlah pertemuan eksploratif dengan perwakilan pemerintah dan rakyat Papua secara informal di beberapa kota di Indonesia serta Konferensi Perdamaian Papua (KPP) tahun 2011 yang dihadiri oleh berbagai stake holders telah menawarkan pemerintah untuk memulai membuka dialog yang inklusif dengan rakyat Papua untuk Papua yang lebih adil dan bermartabat. Kini dukungan terhadap gagasan dialog sebagai media untuk menyelesaiakan permasalahan di Papua, makin gencar disuarakan oleh berbagai pihak. Presiden Jokowi pun sudah berjanji untuk melakukan dialog namun hingga kini belum ada langkah konkrit.

(9)

IV. FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN A. KETERANGAN SAKSI-SAKSI

1. Keterangan Saksi A Charge

a. Saksi Nama: ABRAHAM STEVI SOUMELENA. Umur 31 tahun, lahir di Jayapura, tanggal 5 Maret 1984. Jenis kelamin: Laki-laki. Pekerjaan Polri. Agama Kristen Protestan, Kewarganegaraan Indonesia. Alamat: Tanah Hitam Kamkey, Kec. Abepura. Di bawah sumpah, menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:

§ Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, mengerti di periksa sebagai saksi dan bersedia memberikan keterangan;

§ Bahwa benar saksi pernah diperiksa oleh Penyidik Polda Papua;

§ Bahwa benar pada tanggal 19 Agustus 2019 saksi melakukan pengamanan tertutup dan pemantauan terhadap aksi demo yang terjadi di kota Jayapura Bersama Sdr. HEPPYE SALAMPESSY, Sdr. MUH. ALI.kami mengikuti massa dari waena sampai di DPRP PAPUA / Taman Imbi dan massa lanjut berorasi ke kantor Gubernur;

§ Bahwa aksi tersebut adalah aksi menolak tindakan rasisme terhadap orang Papua yang dilakukan di Surabaya;

§ Bahwa saksi kenal Terdakwa Fery Kombo saat penangkapan; § Bahwa saksi pada jam 9 pagi sudah berada di Abepura;

§ Bahwa jarak antara Abepura dan Jayapura sekitar 30 km;

§ Bahwa aksi tersebut berkaitan dengan tindakan rasisme yang terjadi terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya;

§ Bahwa saksi melakukan pengamanan tertutup;

§ Bahwa selain pengamaman tertutup ada juga pengaman terbuka yang terdiri dari sekitar 100 anggota Kepolisian;

§ Bahwa saksi melakukan pengamanan berdasarkan perintah Direktur Reskrim Polda Papua;

§ Bahwa aksi tersebut tidak ada izin;

§ Bawa saksi tidak mengetahui tentang Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum; § Bahwa saksi melihat Viktor Yeimo yang diikuti oleh terdakwa Fery Kombo

dan masyarakat;

§ Bahwa saksi melihat Terdakwa Fery Kombo ikut meneriakan yel-yel; § Bahwa pada aksi 19 Agustus 2019 tidak ada yang mengarah pada

peristiwa pidana;

§ Bahwa massa aksi dari Abepura mulai jam 8 pagi dan sampai di Kota jam 4 sore;

§ Bahwa aksi itu terdiri dari massa yang jalan, menggunakan motor, dan juga menggunakan mobil; § Bawah massa masuk ke dalam halaman Kantor Gubernur; § Bahwa dilakukan orasi dalam Kantor Gubernur; § Bahwa Gubernur menerima massa aksi; § Bahwa orasi menolak rasisme; § Bahwa salah satu korlap adalah Terdakwa Fery Kombo;

§ Bahwa massa aksi menyerahkan pernyataan yang dierahkan oleh terdakwa ke gubernur Papua

§ Bahwa setelah aksi massa langsung pulang; § Bahwa aksi berlangsung aman;

(10)

§ Bahwa saksi mendengar informasi ada yang menaikan Bendera Bintang Kejora di kantor gubernur namun saksi tidak melihat ada Bintang Kejora di Kantor Gubernur pada tanggal 19 Agustus 2019;

§ Bahwa saksi tidak mempunyai kewenangan untuk menjelaskan apa itu KNPB;

§ ;

§ Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 saksi tidak melihat Terdakwa Fery Kombo;

§ Bahwa Fery Kombo adalah mahasiswa Univesitas Cenderawasih bukan anggota KNPB;

§ Bahwa saksi hanya melihat rekan-rekan Terdakwa Fery Kombo;

§ Bahwa orasi di kantor gubernur dilakukan oleh utusan MRP oleh tokoh Adat; § Bahwa saksi tidak melihat adanya organisasi lain seperti HMI, PMKRI, dan GMKI pada saat melakukan orasi di Merpati Abepura; § Bahwa selebaran aksi untuk demo damai; § Bahwa ada foto yang menggambarkan Terdakwa Fery Kombo di Kantor Gubernur bersama Bapak Gubernur;

§ Bahwa Terdakwa Fery Kombo adalah korlap selain itu ada korlap dari masing-masing Kampus;

§ Bahwa untuk pemulangan masa ada koordinasi dengan kepolisian Jadi bukan saja inisiatif Kepolisian; § Bahwa tidak ada surat penolakan izin aksi dari pihak Kepolisian; Tanggapan Terdakwa: § Atas keterangan saksi tersebut terdakwa menolaknya. § Terdakwa mengatakan tidak ada bendera Bintang Kejora yang dikibarkan di tiang bendera kantor gubernur. Foto bendera diperlihatkan oleh penyidik saat terdakwa diperiksa oleh penyidik.

b. Saksi MUHAMMMAD ALI. Umur 45 Tahun, Tempat Tanggal Lahir Ternate, 2 Januari 1974Laki-laki. Pekerjaan Polri. Pendidikan Terakhir SMA, Agama Islam. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat Tanah Hitam Kamkey Kec. Abepura. Telah disumpah,pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

§ Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani bersedia memberikan keterangan sebenar-benarnya kepada pemeriksa;

§ Bahwa saksi tahu kejadian aksi tanggal 19 Agustus 2019 sekitar pukul 08.00 WIT di Kota Jayapura, dimulai dari Waena sampai dengan kantor Gubernur dok II. Aksi tersebut di pimpin oleh saudara koordinator lapangan yakni terdakwa Ferry Kombo bersama rekan-rekan BEM sebagai korlap di beberapa titik;

§ Bahwa pada tanggal 19 Agustus 2019 saksi melakukan pengamanan tertutup bersama rekan-rekan Opsnal Polres Jayapura kota dan anggota dalmas polda Papua. dan Sdr. HEPPYE SALAMPESI rekan Opsanal Ditreskrimum Polda papua;

§ Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 sekitar pukul 09.00 Wit melakukan pengamanan aksi demo di Abepura karena massa aksi berjalan kaki menuju Kota Jayapura sehingga saksi mengikuti massa yang melaksanakan aksi tersebut, sepanjang jalan yang dilalui massa aksi yaitu dari Abepura,Entrop, Hamadi sampai Kota Jayapura, saksi melihat massa

(11)

melakukan pengrusakan dan pembakaran bangunan yang berada di pinggir jalan;

§ Bahwa saksi tidak melihat Terdakwa FERRY KOMBO selama aksi berlangsung;

§ Bahwa saksi menerangkan bahwa awalnya memang massa telah melakukan pengrusakan dengan lemparan batu terhadap setiap bangunan yang ada di sekitar jalan yang di lalui dengan batu memecahkan kaca dan adapula yang melakukan penjarahan, membakar berapa bangunan yang berada di sekitar Taman Imbi, pertokoan dan kendaraan, namun saksi tidak melhat terdakwa Terdakwa FERRY KOMBO pada aksi tanggal 29 agustus 2019;

§ Bahwa ada kelompok KNPB yang ikut dalam Aksi demo yang di laksanakan pada tanggal 29 Agustus 2019 tersebut, dan mereka bersama-sama dengan BEM USTJ,BEM UNCEN dan BEM perguruan tinggi yang ada di kota Jayapura;

§ Bahwa Aksi tersebut tidak memiliki ijin dari pihak kepolisian tetapi penyelenggara BEM USTJ memaksa untuk tetap unjuk rasa karena pihak penyelenggara dari BEM USTJ sebelumnya membagi selebaran untuk aksi dan menggunakan moment kata Monyet;

§ Bahwa sebelum aksi tanggal 29 Agustus 2019, tanggal 19 Agustus 2019 di laksanakan aksi demo pertama dan aspirasi sudah di terima Gubernur dan yang memimpin Aksi pertama Ketua BEM UNCEN terdakwa FERY KOMBO. Pada tanggal 29 Agustus 2019 kembali dilakukan aksi dipimpin KETUA BEM USTJ. Saudara ALEXANDER GOBAY;

§ Bahwa pada aksi tanggal 19 agustus 2019 , saksi mendengar ada penurunan bendera Merah Putih di kantor gubernur;

§ Bahwa saksi tidak tahu siapa yang menurunkan bendera Merah Putih; § Bahwa aksi menolak rasisme di jayapura terjadi karena ada oknum aparat

di Surabaya yang melakukan tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua;

§ Bahwa pada aksi tanggal 19 Agustus 2019, gubernur menerima pernyataan yang disampaikan oleh massa aksi;

§ Bahwa aksi menolak rasisme selain di Jayapura juga terjadi di kota-kota di Papua seperti Wamena, Timika dan Manokwari;

§ Bahwa saat aksi tanggal 29 Agustus 2019 ada kejadian penurunan Bendera Merah Putih dan pengibaran bendera di Bintang Kejora di kantor Gubernur Prov namun saksi tidak tahu siapa yang mengibarkan. Tanggapan Terdakwa: Atas keterangan saksi tersebut terdakwa menolaknya.

c. Saksi ALEXANDER GOBAY. Umur 25 tahun. Lahir di Jayapura, tanggal 5 Maret 1994. Jenis kelamin Laki-laki. Pekerjaan mahasiswa. Agama Kristen Khatolik. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat Perumahan Pemda Cigombong Kota Raja RT 005/RW 005, Kel VIM Kec. Abepura Kota Jayapura. Diperiksa 21 April 2020. Telah berjanji pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

§ Bahwa pada tanggal 19 Agustus 2019 dilaksanakan Aksi damai terkait dengan tindakan rasis yang dialami oleh mahassiswa Papua di Surabaya; § Bahwa aksi dimulai dari perumnas 3 Waena sampai Kota Jayapura;

§ Bahwa saksi kenal dengan terdakwa FERRY KOMBO, sebagai ketua BEM Uncen;

(12)

§ Bahwa saksi ikut juga dalam Aksi massa sebagai koordinator lapangan (korlap) dari USTJ sedangkan terdakwa adalah Koordiantor umum aksi § Bahwa banyak yang gabung saat aksi tanggal 19 Agustus 2019;

§ Bahwa selain BEM dari Uncen dan USTJ ada banyak BEM yang bergabung saat aksi seperti BEM STIKOM, BEM Umel Mandiri, Yapis, Port Numnay, STIE OG dan yang lain;

§ Bahwa selain itu, ada dari mahasiswa Cipayung yakni HMI, PMKRI, GMKI dan GMNI;

§ Bahwa sebelum dilakukan aksi tanggal 19 agustus 2019 dilakukan pertemuan di sekretariat BEM Uncen tanggal 18 Agustus 2019 yang dihadiri oleh perwakilan BEM dan kelompok Cipayung. Seperti dihadiri oleh Hans Bonay sebagai sekretaris BEM USTJ;

§ Bahwa saat pertemuan peserta yang hadiri sekitar 20 orang berasal dari mahasiswa semuanya tidak ada dari unsur masyarakat;

§ Bahwa di pertemuan tidak ada perwakilan dari KNPB;

§ Bahwa pertemuan atas undangan lisan yang disampaikan oleh terdakwa; § Pada saat pertemuan dihasilkan kesepakatan yakni aksi tanggal 19

agustus 2019 tidak boleh anarkis, bertujuan untuk menolak rasisme, meminta agar pelaku rasisme diadili oleh negara dan tidak boleh ada aksi anarkis;

§ Titik kumpul aksi di kampus masing-masing yang dipimpinan oleh koorlap dari kampus masing-masing kemudian bergabung di titik kumpul di lingkaran Abepura; § Massa aksi bergabung dari kampus Uncen, kampus USTJ, dari Expo Waena dan dari lingkaran Abe; § Jumlah massa diperkirakan 5000 orang; § Bahwa ada teriakan yel-yel Papua merdeka dari terdakwa yang disambut oleh seluruh massa;

§ Bahwa aksi massa sampai di kantor gubernur sekitar jam 16.00 WIT (empat) sore;

§ Bahwa massa disambut oleh gubernur dan forkopimda Papua;

§ Bahwa ada ketua DPRP papua dan anggota DPRP serta ketua Majelis rakyat Papua(MRP);

§ Bahwa ada pernyataan sikap yang disampaikan oleh terdakwa kepada gubernur Papua;

§ Bahwa pernyataan sikap tersebut adalah hasil dari pertemuan antara BEM dan kelompok Cipayung yang isinya :

- Stop intimidasi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua

- Tangkap pelaku rasisme dan intimidasi mahasiswa di Surabaya

- Wakil Walikota Malang segera meminta maaf kepada mahasiswa dan rakyat Papua secara keseluruhan;

- Meminta kepada presiden untuk memberikan jaminan perlindungan keamanan terhadap mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.

§ Bahwa setelah itu gubernur Papua memberikan sambutan;

§ Bahwa ada beberapa tokoh yang melakukan orasi yakni merupakan perwakilan dari tokoh agama, pemuda, adat dan perempuan ad ajuga dari MRP dan KNPI Papua;

§ Bahwa massa sangat banyak dan sudah bercampur sehingga tidak bisa dibedakan lagi dari mana saja;

§ sehingga sulit untuk membedakan massa dari unsur mana saja;

§ Bahwa Viktor Yaimo tidak mengikuti pertemuan tanggal 18 agustus 2019; § Bahwa selama perjalanan saksi sempat ketemu Viktor Yaimo;

(13)

§ Bahwa saat pertemuan dengan gubernur akan ditutup dan sudah diakhiri dengan doa, massa aksi meminta agar Viktor Yaimo menyampaikan orasi

§ Bahwa Viktor Yeimo bukanlah koordinator lapangan;

§ Bahwa setelah pernyataan disampaikan massa aksi membubarkan diri dengan tertib;

§ Bahwa selama aksi berlangsung di kantor gubernur tidak ada penurunan bendera merah putih dan tidak ada pengibaran bendera Bintang Kejora di kantor gubernur;

§ Banhwa banyak orang Papua yang ikut aksi akrena aksi rasisme yang terjadi di surabaya itu tersebar dengan cepat di sosial media dan orang Ppaua merasa terhina dan marah dengan tindakan tersebut;

§ Bahwa aksi menolak rasisme di Papua, tidak saja terjadi di Jayapura tetapi terjadi jga di seluruh kota di Papua seperti di Timika, Nabire, Wamena, Paniai serta kota-kota di provinsi Papua Barat;

§ Bahwa BEM sekota Jayapura berusaha untuk mengakomodir masyarakat Papua yang melakukan aksi protes terkait dengan tindakan rasisme tersebut;

§ Bahwa tindakan lanjutan adalah Pemerintah Provinsi membentuk Tim dan ke Surabaya, dimana saksi dan terdakwa sebagai wakil dari massa aksi mengikuti tim ke Surabaya;

§ Bahwa ada mobil komando yang dilengkapi dengan pengeras suara;

§ Bahwa ada pamflet yang berisi menolak rasisime dan stop intimidasi terhadap mahasiwa Papua;

§ Bahwa aksi saat itu tanggal 19 agustus 2019 adalah aksi dari masyarakat Papua yang menolak raisime yang diakomodir oleh BEM ke kota Jayapura § Bahwa saksi tidak melihat adanya atribut Bendera Bintang kejora;

§ Bahwa saksi Alexander Gobay pernah diperiksa di penyidik, diperiksa sebanyak 2 kali pada 6 September dan 18 September 2019; § Bahwa saksi Alexander Gobay membaca BAP; § Bahwa saksi Alexander Gobay menandatangani BAP; § Bahwa menurut saksi, tujuan aksi adalah menolak rasisme yang terjadi di Surabaya; § Bawa saksi Alexander Gobay adalah koordinator untuk kampus USTJ; § Bahwa banyak organisasi masyarakat sipil yang bergabung; § Bawa saksi Alexander Gobay mengenal Terdakwa Fery Kombo; § Bahwa saksi Alexander Gobay melihat Terdakwa Fery Kombo tanggal 19 Agustus 2019;

§ Bahwa saksi Alexander Gobay mengetahui Terdakwa Fery Kombo sebagai Mahasiswa Uncen;

§ Bahwa Terdakwa Fery Kombo Koordinator lapangan UNCEN; § Bahwa Terdakwa Fery Kombo Koordinator Umum Aksi;

§ Bahwa ada yel-yel Papua merdeka yang disampaikan oleh Viktor yaimo dan direspon oleh massa aksi;

§ Bahwa terkait dengan aksi di Surabaya saksi merasa dilecehkan dan emosional;

§ Bahwa Yel-yel Papua merdeka itu bukan saja disampaikan oleh Viktor Yaimo tetapi secara spontan disampaikan dan dijawab oleh semua massa aksi

§ Bahawa respon massa yang demikian sangat dilema bagi Koordinator lapangan;

(14)

masyarakat;

§ Bahwa situasi yang terjadi bukan karena ada kesepakatan tetapi reaksi spontan

§ Bahwa mobil komando ada 3, ada 1 mobil komando yang digunakan oleh kelompok Cipayung;

§ Bahwa yang komando aksi dari atas mobil yaitu Bayam Karoba, dia memakai baju almamater UNCEN; § Bahwa teriakan yel-yel seperti Papua merdeka, referendum dan simbol bendera Bintang Kejora selalu ada disampaikan setiap ada aksi ataupun dalam kegiatan lainnya di Papua; Tanggapan terdakwa Bahwa terdakwa menyatakan benar keterangan saksi. 2. Keterangan Saksi AD Charge

a. Saksi YAPPI PAHABOL,Lahir di Timika, 13 september 1997. Jenis kelamin laki-laki. Kewarganegaraan Indonesia. Agama Kristen. Pendidikan mahasiswa. Alamat Jalan Perintis Mimika Baru Kabupaten Mimika. Telah berjanji pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:: § Bahwa saksi kenal dengan terdakwa ;

§ Bahwa saksi adalah mahasiswa FISIP Uncen

§ Bahwa saksi tahu ada aksi pada tanggal 19 Agustus 2019 yang tujuannya adalah aksi menolak rasisme yang dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya;

§ Bahwa saksi mengikuti rapat tanggal 18 Agustus 2019 di BEM untuk mempersiapkan dan ada koordinator dari masing-masing kampus sebagai Koordinator lapangan(Koorlap) termasuk dari kelompok Cipayung yakni GMKI, PMKRI, HMI dan GMNI; § Bahwa saat rapat telah disepakati pernyataan sikap yang isinya: - Stop intimidasi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua - Tangkap pelaku rasisme dan intimidasi mahasiswa di Surabaya - Wakil Walikota Malang segera meminta maaf kepada mahasiswa dan rakyat Papua secara keseluruhan;

- Meminta kepada presiden untuk memberikan jaminan perlindungan keamanan terhadap mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.

§ Bahwa rapat dipimpin oleh Terdakwa FERRY KOMBO;

§ Bahwa rapat selain dihadiri oleh BEM di Jayapura juga dihadiri oleh kelompok Cipayung yakni GMKI,PMKRI,HMI dan GMNI;

§ Bahwa disepakati titik kumpul yakni di kampus masing-masing Koorlap dan aksi akan menuju ke kantor gubernur;

§ Bahwa tidak ada agenda lain selain ke kantor gubernur;

§ Bahwa saksi tidak tahu berapa jumlah mahasiswa UNCEN yang ikut aksi namun jumlahnya sangat banyak;

§ Bahwa massa aksi dari kelompok Cipayung berkumpul di depan Merpati Abepura dan masing-masing melakukan orasi;

§ Bahwa saksi tidak tahu kalau massa aksi berhenti di kantor MRP; § Bahwa saksi tidak tahu kalau Viktor Yeimo melakukan orasi;

§ Bahwa saksi berjalan berdekatan dengan terdakwa sejak dari lingkaran Abepura sampai dengan Jayapura;

§ Bahwa terdakwa Ferry Kombo tidak melakukan orasi di jalan;

§ Bahwa terdakwa Ferry Kombo melakukan orasi di gapura Uncen Atas Perumnas 3 dengan mengatakan bahwa “Tidak boleh ada aksi anarkis”

(15)

§ Bahwa di halaman kantor gubernur Papua ,terdakwa tidak melakukan orasi tetapi memberikan kesempatakan kepada tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh adat, dan ada 3 orang tokoh perempuan untuk melakukan orasi;

§ Bahwa saksi tidak melihat Viktor Yaimo orasi;

§ Bahwa di kantor gubernur saksi melihat terdakwa Ferry Kombo bersama BEM Uncen, gubernur Papua, ketua DPRP, ketua MRP dan anggota Forkopimda lainnya;

§ Bahwa saksi tidak mengenal Alexander Gobay, hanya tahu nama saja; § Bahwa tanggal 19 agustus 2019, saat saya di kantor gubernur, selama aksi

di kantor gubernur hingga aksi bubar dari kantor gubernur, saksi tidak melihat ada penurunan Bendera Merah Putih dan pengibaran Bendera Bintang kejora di tiang bendera kantor gubernur.

Tanggapan Terdakwa:

§ Keterangan terkait 19 Agustus 2019, benar karena terdakwa hanya ikut aksi tanggal 19 Agustus 2019.

b. Saksi Laurenzius Kadepa. Lahir di Toyaimuti 24 Desember 1984, Jenis Kelamin Laki-Laki, Agama Kristen Katholik, Pekerjaan Anggota DPR Papua, Alamat Polimak Toyota RT/RW 001/ 002 Kelurahan Ardipura Kecamatan Jayapura Selatan;. Memberikan keterangan di persidangan berjanji pada pokoknya sebagai berikut:

§ Bahwa saksi benar sebagai anggota DPRD Kota Jayapura yang pada tanggal 19 Agustus 2019 mengetahui adanya aksi rasisme oleh Mahasiswa dan Masyarakat sipil di tanah Papua.

§ Bahwa aksi ini untuk menolak aksi rasisme yang terjadi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya;

§ Bahwa sebelumnya sudah pernah terjadi tindakan rasis di daerah diluar Papua sehingga Rasisme yang terjadi di Surabaya merupakan akumulasi dari perlakuan dari tindakan rasisme yang dialami Orang Papua sebelumnya;

§ Bahwa saksi menonton lewat Vidio yang viral dimana gabungan Ormas terlibat dan Aparat Keamanan juga melakukan rasisme;

§ Bahwa setelah vidio viral ada pelaku Rasisme ada yang dari Partai Politik Gerindra;

§ Bahwa saksi lupa dari satuan mana aparat Keamanan yang terlibat pada aksi rasisme di Surabaya;

§ Bahwa aksi menolak rasisme berlangsung di seluruh Kabupaten di Papua seperti Kabupaten Nabire, Kabupaten Mimika, Kabupaten Merauke, Kabupaten Wamena;

§ Bahwa sepengetahuan saksi aksi ini aksi protes rakyat Papua yang dikoordinir oleh Mahasiswa BEM se Kota Jayapura dan Organisasi Cipayung serta adanya masyarakat sipil yang ikut hadir dan menyuarakan aspirasi menolak rasisme;

§ Bahwa pada saat itu mahasiswa berperan mengambil alih untuk mengkoordinir massa dikarenakan jumlah massa yang banyak pada saat itu.

§ Bahwa isu yang dibawa oleh Mahasiswa BEM Se Jayapura ini adalah bentuk solidaritas atas peristiwa yang terjadi di Surabaya berkaitan dengan tolak rasisme dan Intimidasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan pelakunya harus dihukum;

(16)

§ Bahwa pada pagi hari tanggal 19 Agustus 2019 saksi berada di kantor DPRP dan saksi bersama beberapa anggota DPRP mengetahui akan adanya aksi penolakan rasisme dan intimidasi terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya;

§ Bahwa saksi bersama anggota DPRPapua lainnya menunggu massa aksi melewati kantor DPRP dan rencana akan bergabung dengan massa aksi untuk jalan ke kantor gubernur;

§ Bahwa benar saksi bergabung dan mengikuti massa aksi penulakan rasisme dan intimidasi terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya;

§ Bahwa aksi di kantor gubernur dipimpin oleh Koordinator Umum (Korlap) yakni terdakwa Ferry Kombo dan diikuti oleh Koordinator Lapangan dari BEM se-Jayapura dan kelompok Cipayung;

§ Bahwa terdakwa Ferry Kombo memberikan kesempatan kepada perwakilan dari massa aksi untuk melakukan orasi seperti dari Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan, dari organisasi KNPI, Anggota MRP.

§ Bahwa setelah semua melakukan orasi, selanjutnya pernyataan sikap dalam bentuk tertulis diserahkan kepada gubernur Papua;

§ Bahwa gubernur Papua memberikan apresiasi kepada Mahasiswa dan seluruh masyarakat Papua dan akan menindaklajuti aspirasi ini ke Presiden Indoensia dan Gubernur Jawa Timur.

§ Bahwa setelah itu massa bubar dan kembali ke kediaman masing-masing serta ada yang diantar oleh pihak kepolisian:

§ Bahwa ada tulisan-tulisan dan yel-yel Papua merdeka dan referendum itu biasa dilakukan oleh setiap massa aksi kalau ada aksi, pertemuan-pertemuan karena luapan perasaan marah karena ketidakadilan;

§ Bahwa simbol Bintang Kejora selalu ada dimana-mana di Papua dalam berbagai bentuk seperti tas, baju atau gelang dan mudah didapat;

§ Bahwa sebagai anggota dewan, saksi seringkali menerima aspirasi Papua merdeka dan itu tidak masalah bagi saksi sebagai anggota dewan untuk menampung aspirasi tersebut;

§ Bahwa pada aksi tanggal 19 agustus 2019, saat saksi mengikuti massa aksi dari Kantor DPRP dan sepanjang jalan sampai Kantor Gubernur hingga aksi demo penolakan rasisme terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya, saksi tidak melihat penurunan bendera Merah Putih dan penaikan bendera Bintang Kejora;

Tanggapan Terdakwa :

Terdakwa membenarkan adanya aksi tanggal 19 Agustus 2019 karena terdakwa hanya ada pada aksi tanggal 19 agustus 2019.

B. KETERANGAN AHLI

2. Keterangan Ahli Yang Diajukan Oleh JPU

a. DR. APRINUS SALAM, M.Hum. Umur 64 tahun. Lahir di Riau, 7 April 1965. Jenis kelamin Laki-laki. Pekerjaan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univeritas Gadja Mada dan Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadja Mada. Agama Islam. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat Kantor Pusat Studi Kebudayaan UGM, Jalan Trengguli No. E9, Bulaksumur Yogayakarta. Telah disumpah di persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

§ Bahwa pengertian kata makar dimaksudkan sebagai satu aksi pemikiran, tindakan dan/atau perbuatan, baik dalam bentuk kata-kata dan kalimat,

(17)

maupun berbagai aktivitas lainnya, yang dianggap atau dinilai bertentangan dengan hukum. Pengertian makar jika lebih disederhanakan adalah pikiran, ucapan, tindakan dan/atau perbuatan yang melawan hukum dan merongrong kekuasaan resmi pemerintah tertentu;

§ Bahwa penggunaan kata makar biasanya muncul dalam ruang bahasa politik, atau dalam ilmu bahasa disebut sebagai register politik. Artinya, setiap kata akan secara konsisten muncul dalam ruang-ruang tertentu yang sesuai dengan tuntutan registernya. Itulah sebabnya, kata makar akan dipakai bagi pemerintah yang berkuasa secara resmi jika terdapat ucapan, pikiran, tindakan dan/atau perbuatan yang dianggap mengganggu jalannya kekuasaan pemerintah;

§ Bahwa “Referendum, Merdeka, dan Papua Merdeka“ dalam Perspektif Ilmu Bahasa adalah Kata-kata tersebut jika tidak diletakan dalam konteksnya, maka kata tersebut hanya berarti sesuai dengan makna denotatifnya. Misalnya, kata referendum berarti upaya aksi mengorganisasikan sikap dan suara yang secara politis dimaksudkan untuk memperpersoalkan posisi dan hubungan-hubungan suatu kelompok kepentingan dalam kehidupan bernegara;

§ Bahwa kadang pengertian-pengertian dalam ilmu bahasa,ilmu ekonomi, ilmu politik itu tidak sama persis misalnya pengertian kata ‘referendum’ misalnya tidak sama persis tapi ada benang merahnya untuk dipaki bersama sehingga mempunyai pengertian yang kurang lebih sama;

§ Bahwa Kata merdeka berarti dalam keadaan bebas, tidak bergantung, tidak diintervensi, tidak dijajah, mandiri. Kata tersebut paling sering digunakan dalam konteks hubungan penjajah dan yang terjajah. Yakni ketika yang terjajah dapat membebaskan dirinya dari terjajah. Papua Merdeka artinya frase yang berarti Papua dalam keadaan merdeka seperti pengertian merdeka dalam pengertian di atas. Akan tetapi, jika kata-kata atau frasa tersebut diletakkan atau dimasukkan ke dalam konteks kewacanaan tertentu, seperti berbagai peristiwa yang telah dijabarkan di atas, maka makna kata atau frasa tersebut berubah menjadi suatu peristiwa politik; § Bahwa kata atau pernyataan atau “Yel-yel” dalam bentuk kewacanaan

tidak bermasalah, sah-sah saja;

§ Bahwa ada beberapa kata bahasa Indonesia merupakan kata serapan seperti kata makar karena bukan bahasa asli Indonesia. Dimana kata serapan sangat mungkin mengalami ‘pergeseran’ arti atau tidak dapat dimaknai seratus persen sama dengan kata aslinya;

§ Bahwa kata makar yang diambli dalam bahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk digunakan secara hukum sangat mungkin mengalami pergeseran atau perubahan;

§ Bahwa sekelompok masyarakat boleh saja menyampaikan aspirasi sebagai warga tetapi kemudian di dalam proses berkomunikasi ada hal-hal yang kemudian terjadi pelanggaran misalnya bendera merah putih sebagai simbol negara Indonesia bisa dimasukan ke dalam ranah hukum/pengadilan.

§ Bahwa istlah rasisme dan anti rasisme itu prasangka-prasangka ideologis tetapi sebetulnya yang perlu dipahami bahwa penggunaan kata-kaat itu permainan politik makna semuanya punya kepentingan jadi diperiksa saja apakah pernyataan itu secara historis secara kebahasaan maupun secara politik sehingga bisa menjadi masalah hukum atau tidak;

§ Bahwa sebagai ahli bahasa hanya menjelaskan dari segi kebahasaan apakah dalam cara berkomunikasi,menyampaikan pendapat,

(18)

menyampaikan aspirasi dari segi bahsanya apakah ada pelanggaran dari kesepakatan simbolik atau tidak, hanya sampai disitu. Apakah pernyataan itu dilindungi oleh hukum atau tidak silahkan diklarifikasi oleh orang hukum.

§ Bahwa ahli tidak melihat atau mempelajari keseluruhan berkas dari 7 terdakwa, karena hanya diberikan satu berkas saja untuk dipelajari.

Tanggapan Terdakwa

Bahwa terdakwa menolak keterangan ahli.

b. MUHAMMAD RULIYANDI, S.H.M.H Ahli Hukum Tata Negara. lahir di Jakarta, pada tanggal 26 Juli 1986, jenis kelamin Laki-laki, Agama Islam, Pekerjaan Dosen, Pendidikan sedang menyelesaikan studi S3 Hukum Tata Negara di Pascasarjana Program Doctor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jln. Pulo Sirih Timur 7 Blok CC No. 33 Pekayon Jaya, Bekasi, telah disumpah, dipersidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

§ Bahwa pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan gagasan yang mendasar dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokratis yang didalam perkembangannya bangunan suatu negara demokratis selalu berdampingan dengan prinsip negara hukum.

§ Bahwa dalam perkembangan perspektif best practice praktik hukum tata negara di Indonesia makar dapat diartikan sebagai sikap perlawanan terhadap keadaan sistem fundamental yang diatur dalam konstitusi (in het staatsrecht is een contitutie de grondslag van een staat) dalam suatu negara dengan cara berkeinginan untuk melakukan suatu perubahan sistem; § Bahwa dalam kerangka pemahaman negara hukum yang demokratis,

kehidupan bernegara dan hubungan antar warga negara dan negara tidak dapat dipisahkan dari prinsip jaminan dan perlindungan hak konstitusional (constitutional rights) setiap warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 amandemen;

§ Bahwa negara memberikan hak kepada setiap warga negara dengan memperhatikan ketentuan pasal 28 huruf J ayat (2) UUD 1945 amandemen;

§ Bahwa rambu-rambu kebebasan menyampaikan pendapat dapat ditelusuri dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

§ Bahwa secara prosedur dalam berdemo memang ada pemberitahuan jikalau pemberitahuan sudah disampaikan tetapi kegiatannya di lapangan tidak sesuai dengan isi pemberitahuan maka POLRI mengambil tindakan tegas;

§ Bahwa ada kewajiban yang merupakan tanggungjawab individu yang terlibat dalam demonstrasi kalau ternyata materi subtansi ternyata mengandung unsur makar;

§ Bahwapertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 7/PUU-XV/2017 halaman 154 yang menyatakan: “...Mahkamah telah berpendapat bahwa delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku telah dapat dilakukan tindakan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum”.

(19)

pidana pasal 66 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang merupakan sanksi pidana atas perbuatan menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara Republik Indonesia.

§ Terkait perbuatan penurunan dan pembakaran bendera merah putih sebagai lambang negara NKRI dan penaikan dan pengibaran bendara bintang kejora pada tanggal 29 Agustus 2019 di Kantor Gedung Gubernur Papua pada saat aksi maka perbuatan tersebut telah tergolong melawan hukum sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan merupakan suatu bagian rangkaian dari perbuatan makar, perbuatan yang telah memenuhi ketentuan pasal 66 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan “Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” yang merupakan sanksi pidana atas perbuatan menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara Republik Indonesia;

§ Bahwa Referendum diakui sebagai salah satu prinsip dalam hukum ketatanegara di Indonesia. Praktek Referendum di Indonesia pernah terjadi saat pemerintah Indonesia menyetujui dilakukan referendum terhadap Timor Leste tahun 1999 di mana saat itu rakyat di Timor Leste menuntut merdeka lepas dari NKRI;

c. Ahli Psikologi Prof. DR. HAMDI MULUK,Ph.D.Umur 52 tahun. Lahir di Padang Panjang, 31 Maret 1966. Jenis kelamin laki-laki. Pekerjaan Guru Besar/Dosen. Agama Islam. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat Kantor Gedung B Lantai 2 Ruang B 107, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jalan Margonda Raya Pondok Cina Kec. Beji, Kota Bogor Jawa Barat. Telah disumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: § Aksi demonstrasi pada tanggal 19 dan 29 Agustus 2019 di dalam perspektif

keilmuan Ahli, yaitu, ilmu psikologi sosial dan politik, dapat dikatakan perisitiwa terserbut sebagai sebuah aksi koletif (collective action);

§ Bahwa aksi damai yang dilakukan tanggal 19 Agustus 2019 sebagai respon terkait adanya tindakan rasisme di Surabaya terhadap mahasiswa Papua tidak dapat dikatakan sebagai tindakan insurgensi atau melawan negara;

§ Bahwa referendum dibolehkan dalam negara demokrasi melalui mekanisme yang diatur dalam UU misalnya di Indenesia melalui persetujuan dari MPR;

§ Bahwa isu-isu protes memuat permasalahan hak asasi manusia secara univesal sehingga sulit dibedakan apalagi ketika berbagai kompnen masyarakat sipil terlibat. Gerakan akan menjadi makin besar ketika simpati yang muncul semakin banyak sehingga unsur-unsur yang termotivasi untuk melakukan itu menjadi banyak. Dalam kasus Papua ini terjadi hal yang sama dimana ada gerakan-gerakan yang motifnya menuntut diskriminasi dan juga banyak melibatkan elemen-elemen;

§ Ekspresi kolektif itu cenderung muncul karena sikap negara yang represif karena itu isu yang disampaikan tidak tunggal, ada bermacam isu terkait

(20)

dengan permasalahan hak asasi manusia;

§ Bahwa untuk memisahkan mana aspirasi yang merupakan protes terhadap ketidakadilan atau mana yang merupakan insurgensi atau usaha ke arah makar menjadi tugas dari penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti tersebut.

§ Bahwa diseluruh dunia, rasisme selalu menjadi tantangan bagaimana hubungan anatar masyarakats ecara ras, agama yang snagat majemuk. Hubunag harmonis yang saling menghormati,tolerasni, tidak menghina, tidak menyakiti karena secara kodrati kita sudah beda secara rasial;

§ Rasisme diidentifikasikan sebagai perasaan negatif, terjadi tidak hanya orang non Papua terhadap orang Papua tetapi juag sebaliknya . rasisme dalam psikologi politik didefenisikan sebagai sebuah sikap negatif terhadap kelompok tertentu,ras, beda agama dan seterusnya berkembang menjadi prasangka;

§ Bahwa persoalan rasisme akan selalu menjadi tantangan terhadap negara demokrasi tidak saja Indonesia . Ini menjadi tantangan kita dalam berbangsa untuk mengembangkan kehidupan yang bertoleransi, tidak membeda-bedakan suku, ras, agama.Setiap orang berdiri sama setara sepanjang sebagai warga negara memiliki hak yang harus dihormati.

Tanggapan terdakwa

Bahwa terdakwa menyatakan menolak sebagian dari keterangan Ahli

3. KETERANGAN AHLI YANG DIAJUKAN OLEH PENASEHAT

HUKUM/TERDAKWA

a. Ahli Pidana, DR.Tristam Pascal Moellion,SH,Mh,LLM. Lahir di Bandung, 02Februari 1965, Jenis kelamin laki-laki. Kewarganegaraan Indonesia. Agama Katholik. Pekerjaan Dosen di Universitas katolik Prahyangan. Alamat Cium Buleuit No.94 Bandung 40141. memberikan keterangan di persidangan pada pokoknya sebagai berikut:

§ Persoalan kesalahan penerjemahan aanslag dan aanslag to en feit dalam WvSNI (Negara Indonesia) ke dalam terjemahan tidak resmi KUHPidana telah ditulis dan ditelaah dalam tulisan berjudul: “ Problematika Pengertian Aanslag-Aanslag tot en feit: Perbandingan Makar dalam KUHP, WvSNI dan Sr. (Widati Wulandari, Tristam P. Moeliono), jurnal ilmu hukum

Padjadjaran, Vol. 4, no. 3, (2017),

http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/14932.

§ Kesalahan penerjemahan ini (aanslag dan aanslag tot en feit serta merta sebagai makar) dapat dibuktikan dengan menerjemahkan kembali Pasal-pasal yang memuat istilah aanslag dan aanslag tot en feit.

§ Pasal 87 berbunyi: aanslag tot en feit bestaat, zoodra het voornemen des dader zich door en begin van uitvoering, in de zin van art. 53, heft geopenbaard.

§ Dalam bahasa Indonesia menjadi: upaya melakukan tindak pidana (attempt to commit/perpetrate a crime) dikatakan ada, seketika niat pelaku telah diwujudkan dalam permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pasal 53.

§ Dalam hal ini menjadi tidak masuk akal “aanslag tot en feit” (attempt to commit a crime) diterjemahkan langsung dengan istilah “makar” yang dalam bahasa sehari-hari mencakup semua perbuatan yang bersifat mengkhianati negara (treason atau high treason).

(21)

§ Makar (sebagai istilah umum) bahkan dapat dipersamakan sebagai semua kejahatan yang mengancam keselamatan negara (menggulingkan pemerintahan yang sah, menganti dasar negara secara inkonsitusional, kudeta, mengancam nyata dan kebebasan kepala negara/pemerintahan dengan maksud menggulingkan pemerintahan yang sah, memisahkan diri dari negara dengan cara-cara yang inkonstitusional; dll.) .

§ Selanjutnya, berkaitan dengan padanan istilah aanslag. § Istilah ini ditemukan dan digunakan dalam Pasal 104 WvSNI

de aanslag ondernomen met het oogmerk om den koning, de regerende koningin of den regent van het leven of de vrijheid te berooven of tot regeren ongeschikt te maken word gestraft met de doodstraf of levenslange gevangenisstraf of tijdelijke van ten hoogste twintig jaren.

§ Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah: “serangan yang dimaksud dengan tujuan menghilangkan nyawa atau merampas kebebasan raja atau ratu atau penggantinya (rgent) atau membuatnya tidak lagi mampu (melalui serangan itu) melaksanakan tugas-tugas untuk memerintah diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara selama-lamanya 20 tahun.

§ Dalam hal ini istilah aanslag: (onslaught; attact) dapat dipadankan dengan serangan yang pasti “violent” karena dilakukan dengan maksud menghilangkan nyata atau merampas kebebasan atau membuat raja (pimpinan negara) tidak lagi mampu menjalankan tugas-tugasnya. Maka juga di sini tidak tepat menggunakan istilah makar sebagai padanan dari kata aanslag. Dalam konteks pasal di atas lebih tepat digunakan istilah serangan.

§ Di dalam Pasal 94 Sr. (WvS/KUHP Belanda) diancam dengan pidana melakukan “een aanslag tegen regeringsvorm” (serangan terhadap pemerintahan yang sah). Serupa dengan WvSNI, pasal ini dan pasal-pasal lain (termasuk aanslag yang merupakan unsur di dalam pasal-pasal itu) harus dibaca dalam konteks memberikan perlindungan khusus pada pemerintahan dan negara (keselamatan negara-pemerintahan).

§ Pasal 94: "de aanslag ondernomen met het oogmerk om de grondwettige regeringsvorm of de orde van troonopvolging te vernietigen of op onwettige wijze te veranderen wordt gestraft met levenslange gevangenisstraf of tijdelijke van ten hoogste dertig jaren of geldboete van de vijfde categorie." Terjemahannya adalah: serangan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan pemerintahan yang dibentuk berdasarkan konstitusi (pemerintahan yang sah) atau meniadakan atau mengubah secara melawan hukum tata urutan penggantian pengisian kedudukan raja (singasana) dihukum dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara selama-lamanya 30 tahun atau denda dari kategori ke lima. § Berdasarkan ketentuan Pasal 79 Sr: percobaan (poging) melakukan tindak

pidana tersebut (serangan terhadap pemerintahan yang sah) dipandang sebagai delik selesai. (poging tot het plegen van een aanslag tegen regeringsvorm gelijk gesteld met voltooid delic).

§ Artikel 79 Sr: "Aanslag tot een feit bestaat, zodra het voornemen van de dader zich door een begin van uitvoering, in de zin van artikel 45, heeft geopenbaard."

§ Bunyi pasal ini sama dengan Pasal 87 WvSNI sehingga juga dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan cara sama:

Dalam bahasa Indonesia menjadi: upaya melakukan tindak pidana (attempt to commit a crime) dikatakan ada, seketika niat pelaku telah

(22)

diwujudkan dalam permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pasal 45”. <Tekst en Commentaar Strafrecht, Kluwer: gp, lemma Artikel 79, paragraaf 2>.

§ Aanslag sebagai serangan dalam rumusan delik-delik yang ada jelas dilakukan dengan maksud (ondernomen met het oogmerk; committed with the intention): (a) menghilangkan nyawa atau merampas kebebasan atau membuat tidak mampu kepala negara/pemerintahan menjalankan tugasnya. Serupa dengan serangan yang ditujukan pada perwakilan negara asing atau orang-orang tertentu yang dilindungi dalam hukum internasional menjalankan tugasnya.; (b) menggganti pemerintahan yang sah secara inkonstitusional (melawan hukum) dan (c) memisahkan diri atau menempatkan sebagian atau seluruh wilayah negara ke bawah kekuasaan asing (juga dengan cara-cara yang melawan hukum atau inkonstitusional).

§ Tidak disebutkan atau ada keterangan tentang apakah serangan tersebut harus violent atau harus melibatkan kekerasan fisik. Hanya ada indikasi (dengan membaca rumusan delik) bahwa serangan tersebut dilakukan dengan maksud (oogmerk) (a) menghilangkan nyawa; (b) merampas kebebasan; (c) membuat tidak mampu atau dalam hal dilakukan dengan maksud memisahkan diri harus dilakukan dengan melawan hukum atau inkonstitusional.

§ Istilah aanslag (attack/serangan) dan aanslag tot en feit (attempt to commit a crime/upaya melakukan tindak pidana) yang muncul dan dituliskan secara tegas dalam rumusan delik-delik (sebagai kejahatan terhadap keselamatan negara) jelas keliru, salah dan menyesatkan bila diterjemahkan langsung dengan kata makar. Ini dikatakan dengan memperhatikan asas legalitas dalam hukum pidana yang memajukan kepastian hukum: perbuatan apa yang seharusnya dinyatakan terlarang dan diancam dengan pidana. Istilah makar mencakup pengertian yang lebih luas dan mengindikasikan semua perbuatan yang dikategorikan sebagai pengkhianatan (treason) atau ancaman terhadap keselamatan negara atau dalam bahasa lebih sederhana keberlangsungan negara dan pemerintahan yang sah.

§ Arti rerefendum:

o Secara gramatikal atau leksikal:

Referendum ; noun [ C ] / us: ref•əˈren•dəm/ plural referendums or referend / us: ref•əˈren•də/: a vote in which all the people in a country or

an area decide on an important

questionhttps://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/referendum. o Dipersamakan juga dengan plebicite: a vote by the people of an entire

country or district to decide on some issue, such as choice of a ruler or government, option for independence or annexation by another power, or

a question of national

policy.https://www.britannica.com/topic/plebiscite

§ Dengan demikian, referendum secara singkat merujuk pada mekanisme atau proses bertanya langsung pada rakyat pemilih pandangan mereka tentang sesuatu hal yang dianggap negara menyangkut hajat hidup orang banyak.

§ Pengalaman Indonesia dengan referendum adalah sebagai berikut: a. pelaksanaan referendum (penentuan pendapat rakyat/pepera) untuk meminta pandangan dan putusan rakyat Papua Barat (1969 sebagai implementasi Perjanjian New York; 1962); b. Pelaksanaan referendum

(23)

Timor Timur (1999) sebagai implementasi Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor (1999).Keduanya diselenggarakan di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

§ Contoh referendum yang dilaksanakan di luar pengawasan PBB ialah referendum bangsa Kurdi yang menyatakan memisahkan diri dari Irak, 2017 atau referendum rakyat Catalonia yang menyatakan merdeka dari Spanyol, 2017. Konstitusionalitas referendum tersebut dipertanyakan oleh negara induk dan masih diperdebatkan oleh masyarakat internasional.

b. Ahli Politik, Dr.Adriana Elisabeth, M.Soc, Sc. Lahir diJakarta 8 Juni 1963,Jenis kelamin perempuan. Kewarganegaraan Indonesia. Agama Kristen. Pekerjaan Peneliti dan dosen, alamat Raffles Hills Blok J-2 Tapos Bogor, memberikan keterangan dipersidangan pada pokoknya sebagai berikut:

§ Bahwa Terkait dengan buku Papua Road Map yang merupakan karya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI). Buku Papua Road Map yang diluncurkan pada 2009 terdiri dari dua bagian utama: pertama, skema akar masalah dalam kaitan dengan konflik Papua yang terdiri dari : 4 akar masalah di Papua (i) marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua; (ii) kegagalan pembangunan Papua; (iii) kekerasan negara dan pelanggaran HAM; (iv) pro dan kontra sejarah integrasi Papua. Empat akar masalah ini dapat dipahami dan diselesaikan secara parsial, namun ada akar masalah yang saling berkorelasi, seperti masalah investasi di sektor sumber daya alam di Papua yang berada di wilayah tanah adat masyrakat tradisional Papua. Sebagai contoh, isu pembangunan ekonomi dan kepentingan investasi berhadapan dengan sistim adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Papua. Masalah muncul ketika tuntutan masyarakat terhadap perusahaan (dengan modal besar) dianggap tindakan tidak kooperatif dan menghambat pelaksanaan investasi di wilayah adat tertentu. Untuk menghadapi tuntutan adat, perusahaan mengamankan investasinya dengan meminta bantuan aparat keamanan untuk menghadapi masyarakat adat;

§ Kedua, solusi berdasarkan akar masalah terdiri dari : (i) rekognisi dan pemberdayaan orang Papua, (ii) membuat grand design atau paradigma baru pembangunan Papua; (iii) melakukan pengadilan HAM dan membentuk KKR; (iv) “meluruskan” sejarah Papua melalui kajian akademik. Untuk mencapai solusi damai bagi Papua, perlu dilakukan melalui pendekatan dialog untuk mencegah berulangnya kekerasan terhadap masyarakat Papua;

§ Bahwa penangkapan dan penahanan tidak dapat menyelesaikan akar konflik di Papua. Sebagaimana penjelasan mengenai dampak konflik kekerasan dan akumulasi persoalan di Papua sejak 57 tahun yang lalu, maka proses hukum yang dijalani para terdakwa berpotensi menimbulkan rasa tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah, khususnya proses hukum di Indonesia. Yang juga penting dipertimbangkan dalam proses hukum ini adalah aspek kemanusiaan (bukan sekedar HAM) terutama mengenai perasaan para ibu Papua yang melahirkan anak-anak generasi penerus Papua, namun mereka harus menyaksikan ketidakadilan yang menimpa anak-anak mereka, tanpa bisa berbuat apa-apa;

§ Bahwa yel-yel atau pernyataan Papua merdeka atau referendum seringkali disampaikan oleh orang Papua dalam aksi ataupun dalam

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan baik dari keterangan para saksi, keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa didukung dengan

Putusan ini kurang tepat, karena dalam hal pembuktian di Persidangan, seorang Jaksa Penuntut Umum seharusnya dapat menghadirkan saksi pemilik kapal yang dipakai

Hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan dimana alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum yaitu keterangan saksi dan keterangan terdakwa yang saling berkaitan,

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan para saksi dan terdakwa, serta dihubungkan pula dengan barang bukti yang diajukan di persidangan, maka

Menurut penulis berdasarkan fakta-fakta yang telah terungkap di dalam persidangan banyak terjadi kesesuaian antara keterangan terdakwa, keterangan saksi serta berupa

Pertimbangan fakta berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di dalam persidangan, pertimbangan hukum

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan sebagaimana diperoleh dari alat keterangan saksi-saksi dan alat bukti keterangan Terdakwa

Menimbang, bahwa untuk membuktikan Dakwaannya, Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi di persidangan, masing-masing telah memberikan keterangan di bawah