• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI KEJADIAN BERPOTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN INTENSIVE CARE UNIT (ICU) DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREVALENSI KEJADIAN BERPOTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN INTENSIVE CARE UNIT (ICU) DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2012"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Pharmascience, Vol 1, No. 1, Februari 2014, hal: 28 - 34

ISSN : 2355 – 5386

PREVALENSI KEJADIAN BERPOTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN

INTENSIVE CARE UNIT (ICU) DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2012

Azhar Arnata, Noor Cahaya, Difa Intannia

Program Studi Farmasi, FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km 36 Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Email : nata.azhar@gmail.com

INTISARI

Kondisi klinis pasien ICU yang kompleks menyebabkan penggunaan obat yang banyak

yang mengarah terjadinya interaksi obat potensial. Tujuan penelitian yaitu mengetahui persentase

pasien ICU RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2012 yang mengalami interaksi obat potensial secara

umum dan ditinjau dari kelompok umur pasien, jumlah obat yang diberikan, tingkat keparahan

interaksi obat, dan mekanisme interaksi obat yang terjadi. Digunakan metode penelitian deskriptif

denan pengambilan data secara retrospektif. Data diambil dari rekam medik pasien ICU RSUD

Ulin Bnajarmasin Tahun 2012. Jumlah sampel yang didapatkan 297 orang yang terdiri atas 249

orang dewasa dan 48 orang geriatri. Prevalensi pasien ICU RSUD Ulin tahun 2012 yang

mengalami kejadian interaksi obat potensial sebesar 95,96%. Berdasarkan kelompok umur, 96,8%

terjadi pada kelompok dewasa dan 91,7% pada kelompok geriatri. Berdasarkan jumlah obat,

90,80% terjadi pada kelompok jumlah obat ≤ 5 obat dan 98,09% pada kelompok jumlah obat > 5

obat. Berdasarkan tingkat keparahan: 34,01% pasien pada tingkat keparahan Major; 71,38%

pasien pada tingkat keparahan Moderate; dan 76,43% pasien pada tingkat keparahan Minor.

Berdasarkan mekanisme interaksi: 4,7% pada inkompatibilitas obat, 74,07% pada farmakodinamik,

66,67% pada farmakokinetik obat, dan 35,69% pasien pada mekanisme tak diketahui. Prevalensi

kejadian berpotensi interaksi obat pasien ICU RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2012 sebesar

95.96% (N=297).

Kata kunci: interaksi obat potensial, intensive care unit.

ABSTRACT

Complexity clinical condition of ICU patient that uses many drug to leads potential drug

interaction occurrence. Aim of this research were determined percentage of ICU RSUD Ulin

patient in 2012 who had potential drug interaction in general and specifically in age group, drug

total, severity, and mechanism term. Data taken from medical record retrospectively and analyzed

by literature studies. Total sample were analyzed 297 that consist of 247 adult and 48 geriatric.

Result: In general, 95,96% (N=297) patient had potential drug interaction. In age group term,

96,8% in adult group and 91,7% in geriatric group. In drug total term, 90,80% in ≤ 5 group and

98,09% in > 5 group. In severity term, 34,01% patient had Major; 71,38% patient had Moderate;

and 76,43% had Minor. In mechanism term, 4,7% in incompatibility; 74,07% in pharmacodynamic;

66,67% in pharmacokinetic; and 35,69% in unknown mechanism.

Keyword: potential drug interaction, intensive care unit

PENDAHULUAN

Interaksi obat terjadi bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu atau lebih obat berubah. Efek dan keparahan interaksi obat dapat bervariasi antara pasien yang satu dengan pasien yang lain (Fradgley,2003). Interaksi obat didefinisikan oleh

Tatro (2009) sebagai respon farmakologis atau klinis akibat pemberian kombinasi obat yang berbeda. Hasil klinis dari interaksi obat-obat dapat bermanifestasi sebagai antagonisme, sinergisme, atau idiosinkratik (Tatro, 2009).

Pasien ICU memiliki keadaan patofisiologis yang kompleks dan menggunakan banyak obat.

(2)

Rata-rata pasien ICU diberikan 6-9 obat per hari ketika dirawat di ICU (Helmsh et al,2006). Penelitian Cruciol-Souza dan Thomson (2006) menunjukkan korelasi antara kejadian polifarmasi dengan interaksi obat yang terjadi. Berdasarkan penelitian Larassati (2008) pada ICU sebuah rumah sakit di Bogor dari bulan Februari-April 2008 dengan jumlah sampel 56 pasien terdapat 89 kasus interaksi obat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Chaereni (2010) pada 82 pasien ICU RSUP Persahabatan didapati 35 pasien mengalami interaksi obat. Pasien kritis sangat rentan terhadap disposisi obat atau efek interaksi obat dibandingkan dengan pasien yang lain terkait kondisi fisiologis yang tidak stabil (Helmsh et al, 2006).

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pengambilan data secara retrospektif. Penelitian dilakukan pada bulan April 2013 sampai dengan November 2013 di Intensive Care Unit RSUD Ulin Banjarmasin. Populasi dalam penelitian ini adalah semua data rekam medis pasien Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Tahun 2012. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria pasien Intensive Care Unit (ICU) di RSUD Ulin tahun 2012 yang berusia diatas 18 tahun dan memuat data pemberian obat yang lengkap meliputi nama obat, dosis, interval pemberian, rute pemberian, dan waktu pemberian. Data diambil pada lembar perkembangan pasien dimana tercantum nama pasien, nomor RMK pasien, diagnosa, nama obat, interval pemberian, rute pemberian, waktu pemberian dan perkembangan pasien. Data yang didapat dimasukkan ke dalam lembar kerja penelitian yang telah ditentukan. Data obat yang diperoleh kemudian dianalisa melalui literatur yang telah ditentukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah pasien ICU RSUD Ulin Tahun 2012 sebanyak 1482 pasien. Pasien ICU RSUD Ulin terdiri

dari pasien anak-anak dan dewasa. Populasi yang diambil merupakan pasien dewasa sebanyak 1145 pasien. Dari perhitungan jumlah sampel didapatkan jumlah sampel sebanyak 297 orang. Karakteristik pasien dapat dilihat pada tabel I

Tabel I. Karakteristik sampel pasien ICU RSUD Ulin tahun 2012

Karakteristik obat yang diresepkan di ruang ICU RSUD Ulin diperoleh 10 besar obat yang diresepkan seperti terlihat pada tabel II. Seftriakson, ranitidin, dan ketorolak merupakan 3 obat terbanyak digunakan di ICU. Hal ini karena sebagian besar pasien ICU merupakan pasien bedah dimana ketiga obat tersebut banyak diresepkan oleh dokter yang merawat.

Secara umum, jumlah rata-rata obat yang diterima pasien ICU selama dirawat sebanyak 7,83 item obat. Persentase pasien ICU yang menerima obat kurang dari atau sama dengan 5 sebanyak 31,31% dan lebih dari 5 sebanyak 68,69%.

Persentase pasien yang mengalami kejadian interaksi obat potensial berdasarkan kelompok umur, jumlah obat, tingkat keparahan interaksi obat potensial, dan mekanisme interaksi obat potensial dapat dilihat pada tabel III.

Secara umum, kejadian interaksi obat potensial dialami 95,96% (n = 285) pasien dengan rata-rata jumlah kejadian 8,39 kejadian. Berdasarkan kelompok umur, kejadian interaksi obat potensial terjadi pada 96,79% (n = 241) pasien dewasa dan

Karakteristik Jumlah Pasien (N) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki 191 64,31 Perempuan 106 35,69 Kelompok Umur Dewasa (18-60 tahun) 249 83,84 Geriatri (diatas 60 tahun) 48 16,16 Jumlah Obat ≤ 5 93 31,31 > 5 204 68,69

(3)

Tabel II. Sepuluh besar obat yang digunakan pada pasien ICU RSUD Ulin tahun 2012

91,67% (n = 44) pasien geriatri.

Rata-rata jumlah kejadian interaksi obat potensial pada pasien dewasa sebanyak 6,46 kejadian dan rata-rata jumlah kejadian interaksi obat potensial pada pasien geriatri sebesar 7,88. Dari jumlah kejadian yang dialami, dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien geriatri mengalami kejadian interaksi obat potensial lebih banyak dibandingkan dengan pasien dewasa. Hal ini berkaitan dengan kondisi klinis pasien.

Persentase pasien yang mengalami interaksi obat potensial dari kelompok jumlah obat kurang dari atau sama dengan 5 sebesar 89,25% (n = 83). Persentase pasien yang mengalami interaksi obat potensial dari kelompok jumlah obat lebih dari 5 sebesar 99,02% (n = 202). Pasien yang menerima kurang dari atau sama dengan 5 rata-rata mengalami kejadian interaksi obat potensial 2,05 kejadian dengan jumlah terbanyak 8 kejadian. Rata-rata jumlah kejadian interaksi obat potensial pada kelompok pasien menerima lebih dari 5 obat sebanyak 8,08 kejadian dengan jumlah kejadian terbanyak 92 kejadian. Dari hasil ini terlihat bahwa pasien dengan jumlah obat lebih dari 5 memiliki potensi kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kurang dari atau sama dengan 5.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah potensi interaksi obat meningkat dengan adanya peningkatan jumlah obat yang diberikan selama dirawat.

Pada penelitian lain mengenai kejadian interaksi obat potensial di ICU, jumlah obat yang diberikan kepada pasien bervariasi. Rafiei et al. (2012) menemukan jumlah rata-rata obat yang diberikan 5,6 obat. Hammes et al (2008) mencatat rata- rata jumlah obat yang diterima pasien selama dirawat 13,10 obat. Sedangkan Liaw et al.(2005) menyatakan jumlah obat yang diberikan selama dirawat di ICU 14,3 obat. Pada penelitian diatas tidak terdapat batasan penyakit atau kondisi pasien. Hal ini menyebabkan perbedaan nilai jumlah obat. Dari penelitian diatas ditarik suatu kesimpulan bahwa pasien ICU rata-rata menerima lebih dari 5 obat.

Pada penelitian ini, tingkat keparahan kejadian interaksi obat potensial dibagi menjadi 3 macam kategori, yakni major, moderate, dan minor. Penilaian tersebut dilakukan pada fase kejadian interaksi farmakodinamika, farmakokinetika, dan tidak diketahui mekanismenya. Kategori interaksi obat dengan mekanisme tidak diketahui dimasukkan karena adanya laporan penelitian mengenai kejadian efek dari interaksi tersebut, namun tidak dari hal No. Obat Jumlah pasien yang menerima obat Persentase pasien yang menerima obat (%)

1 Seftriakson Na 165 55,56 2 Ranitidin HCl 161 54,21 3 Ketorolak trometamin 126 42,42 4 Furosemide 103 34,68 5 Aspirin 86 28,96 6 Klopidogrel 84 28,28 7 Isosorbid dinitrat 70 23,57 8 Metronidazol 69 23,23 9 Simvastatin 55 18,52 10 Metamizol Na 53 17,85

(4)

terdapat penjelasan mekanisme yang terjadi. Kejadian interaksi obat potensial yang bersifat Major terjadi pada 33,67% pasien. Kejadian interaksi obat potensial yang bersifat Moderate terjadi pada 71,04% pasien. Terakhir, kejadian interaksi obat potensial yang bersifat Minor terjadi pada 76,76% pasien.

Banyaknya pasien yang mengalami kejadian bersifat moderate berkaitan dengan obat yang berinteraksi. Obat-obat yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular banyak berinteraksi dengan tingkat keparahan moderate. Sistem kardiovaskular merupakan sistem vital tubuh, Di ICU, kondisi

kardiovaskular pasien ICU terus dipantau. Ketika terjadi interaksi obat potensial berpengaruh besar kepada pasien.

Lima dan Cassiani (2009) mendapati 54% kejadian interaksi obat potensial di ICU sebuah rumah sakit pendidikan bersifat moderate. Penelitian yang dilakukan oleh Ray et al (2009) di ICU sebuah rumah sakit tersier di India menemukan kejadian interaksi obat potensial berdasarkan tingkat keparahannya dengan gambaran 55.29% bersifat minor, 23.08% bersifat moderate, dan 21.63% bersifat major. Penelitian yang dilakukan oleh Hammesh et al (2008) mendapati komposisi

Tabel III. Persentase jumlah Pasien yang mengalami interaksi obat potensial berdasarkan kelompok umur, jumlah obat, tingkat keparahan interaksi obat potensial, dan mekanisme interaksi obat potensial

Kategori Jumlah Pasien (N) Persentase (%) Rata-rata kejadian per pasien

Kelompok Umur

Dewasa (18-60 tahun) 241 96,79% 6,46

Geriatri (diatas 60 tahun) 44 91,67% 7,88

Jumlah Obat

≤ 5 83 89,25% 2,05

> 5 202 99,02% 8,08

Tingkat keparahan (Signifikansi)

Major 100 33,67 0,51 Moderate 211 71,04 3,78 Minor 228 76,77 2,32 Mekanisme Farmasetik (Inkompatibilitas) 14 4,71 0,07 Inkompatibilitas Kimia 6 2,02 0,03 Inkompatibilitas Fisik 9 3,03 0,04 Farmakodinamik 220 74,07 4,18 Antagonis 136 45,79 1,38 Sinergis 208 70,03 2,8 Farmakokinetika 198 66,67 2,44 Absorpsi 22 7,41 0,11 Distribusi 35 11,78 0,16 Metabolisme 90 30,3 0,87 Ekskresi 158 53,2 0,94

(5)

keparahan interaksi obat potensial yang terdiri 39.7% dengan minimal efek, 50.4% memperburuk kondisi pasien (moderate), dan 9.8% berpotensi membahayakan pasien atau menyebabkan kerusakan bersifat irreversible

Secara umum, hanya 4,7% pasien yang mengalami kejadian inkompatibilitas. Inkompatibilitas fisik terjadi pada 3,03% pasien dan inkompatibilitas kimia terjadi pada 2,02% pasien. Drip atau infus IV yang diberikan bersamaan umumnya melalui jalur berbeda, misal infus melalui vena tangan kanan dan drip diberikan melalui vena tangan kiri. Pemberian kombinasi infus diberikan secara bergantian. Contohnya kombinasi RL:D5%, ketika infus RL habis maka digantikan oleh infus D5%. Hal-hal seperti ini menjelaskan bahwa kejadian inkompatibilitas potensial sedikit terjadi pada pasien ICU RSUD Ulin Tahun 2012.

Secara umum, pasien ICU yang mengalami kejadian interaksi obat potensial yang terjadi pada fase farmakodinamik sebanyak 74,07%. Rata-rata jumlah kejadian interaksi obat potensial pada fase farmakodinamik yang dialami oleh pasien ICU 4,18 dengan jumlah kejadian terbanyak sebanyak 76 kejadian. Kejadian interaksi obat potensialyang bersifat antagonis dialami oleh 45,79% pasien ICU, sedangkan kejadian interaksi obat potensial yang bersifat sinergis terjadi pada 70,03% pasien ICU. Ada 41,75% pasien mengalami kejadian interaksi obat potensial bersifat sinergis dan antagonis.

Secara umum, kejadian interaksi obat potensial yang terjadi pada fase farmakokinetika dialami oleh 66,67% pasien. Berdasarkan jumlah kejadian, rata-rata pasien mengalami 2,44 kejadian. Persentase jumlah pasien kejadian interaksi obat potensial pada fase-fase farmakokinetika obat yakni, fase absorpsi obat 7,41%; fase distribysi obat 11,78%; fase metabolisme obat 30,3%; dan fase ekskresi 53,2%.

Pada studi literatur yang dilakukan terdapat beberapa pasang obat yang mekanisme kejadian

interaksi obat potensial yang belum dapat dijelaskan. Kejadian interaksi obat potensial dengan mekanisme tidak diketahui dialami oleh 35,69%.

Banyaknya interaksi terjadi pada pasien bukan hanya berkaitan dengan efek utama, tetapi juga berkaitan dengan efek lain. Sebagai contoh, albuterol dan norepinefrin selain efek simpatomimetik, juga memiliki efek dalam menurunkan sedasi dan menaikkan kadar kalium. Itulah mengapa interaksi obat berkaitan dengan efek atau fase farmakodinamika lebih banyak mekanismenya dibandingkan dengan interaksi pada fase farmasetis dan fase farmakokinetika obat.

Penelitian yang dilakukan oleh Lima dan Cassiani (2009) menyatakan 74 dari 102 pasien ICU di sebuah rumah sakit di Brazil mengalami interaksi obat potensial dengan rata-rata 3 kejadian interaksi obat potensial. Penelitian ini terdiri 50 pasien berusia kurang dari 60 tahun dan 52 pasien pasien berusia sama dengan atau lebih dari 60 tahun. Pasien yang mengalami interaksi obat terdiri 36 orang berusia kurang dari 60 tahun dan 38 orang berusia sama atau lebih dari 60 tahun (Lima dan Cassiani, 2009). Penelitian yang dilakukan Reis dan Cassiani (2011) menemukan median jumlah kejadian interaksi obat potensial per pasien sebesar 1 kejadian saat masuk ICU dan 2 kejadian per pasien saat keluar ICU. Penelitian yang dilakukan oleh Ray et al. (2009) mendapati rata-rata jumlah kejadian interaksi obat potensial 2 kejadian per pasien. Dari penelitian-penelitian diatas membuktikan bahwa kejadian interaksi obat sangat tinggi di ICU. Kondisi pasien ICU yang memerlukan perawatan kompleks khususnya penggunaan obat-obatan menjadi alasan potensi terjadinya terjadinya interaksi obat. Potensi ini meningkat dengan banyaknya obat-obatan yang digunakan. Selain obat pokok diresepkan oleh dokter yang menangani, terdapat juga obat-obatan diberikan saat keadaan darurat (cito). Sebagai contoh furosemid digunakan ketika tekanan darah pasien meningkat. Obat-obatan darurat lainnya

(6)

untuk menangani kondisi pasien yang sering digunakan antara lain parasetamol, klorpromazin, dan lain sebagainya. Pengunaan obat ini tidak terus-menerus dan diberikan tanda (k/p) pada lembar perawatan hari selanjutnya.

Keadaan pasien ICU yang dipantau terus-menerus memungkin terjadinya pemberian ditunda atau tidak diberikan. Contoh pasien hipertensi, ketika tekanan darah turun sesuai target terapi obat tidak diberikan. Hal ini mempunyai dampak terhadap potensi kejadian interaksi obat yang terjadi dalam hal ini potensi kejadian menjadi berkurang. Hal serupa terjadi juga pada pasien dengan indikasi diabetes yang menggunakan insulin.

Waktu pemberian obat mempengaruhi kejadian interaksi obat potensial. Obat-obatan diberikan secara berurutan baik oral maupun parenteral. Lima dan Cassiani (2009) menyatakan waktu pemberian obat merupakan faktor resiko kejadian interaksi obat. Peneliti menemukan semua obat diberikan pada jam 9 pagi, kecuali obat yang diberikan malam hari. Hal ini karena jam 9 menjadi acuan waktu pemberian obat selanjutnya. Acuan diperlukan untuk menjamin keteraturan.

Ada beberapa kekurangan penelitian ini. Pertama, tidak diketahuinya dasar pemilihan suatu obat, kemudian obat tersebut dapat berinteraksi dengan obat lain. Kedua, tidak dikajinya keterkaitan antara efek interaksi obat terhadap kondisi pasien, dimana efek interaksi ini dapat bersifat menguntungkan ataupun merugikan pasien. Ketiga, tidak diketahuinya keterkaitan antara lama perawatan dengan kejadian interaksi obat.

Peran farmasis di ICU sangat penting untuk menjamin keamanan terapi pasien di ICU, dalam hal ini interaksi obat. Peran farmasis mengindentifikasi, mencegah, dan mengatasi interaksi obat potensial yang terjadi. Dalam penanganan interaksi obat potensial di ICU, kita duduk bersama para klinisi dan tenaga kesehatan lainnya mengevaluasi terapi dan penggunaan obat termasuk juga interaksi obat

potensial yang terjadi. Lima dan Cassiani (2009) menyatakan pengetahuan dan keterampilan para tenaga kesehatan mengenai interaksi obat potensial dan bagaimana penanganannya menjadi kunci mencegah dan meminimalisasi efek tidak diinginkan dari interaksi obat yang terjadi.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Persentase pasien ICU RSUD Ulin tahun 2012 yang mengalami kejadian interaksi obat potensial sebesar 95,96%.

2. Persentase pasien ICU RSUD Ulin tahun 2012 yang mengalami kejadian interaksi obat potensial ditinjau:

a. Berdasarkan kelompok umur, kelompok dewasa sebesar 96,79% dan 91,67% pasien kelompok geriatri.

b. Berdasarkan jumlah obat : 89,25% pada kelompok jumlah obat ≤ 5 obat dan 99,02% pada kelompok jumlah obat > 5 obat.

c. Berdasarkan tingkat keparahan : 33,67% pada tingkat keparahan Major; 71,04% pada tingkat keparahan Moderate; dan 76,77% pada tingkat keparahan Minor.

d. Berdasarkan mekanisme interaksi yang terjadi: inkompatibilitas obat sebanyak 4,7% pasien, pada farmakodinamika obat sebanyak 74,07% pasien, pada farmakokinetika obat sebanyak 66,67% pasien, dan mekanisme tidak diketahui sebanyak 35,69% pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Chaereni, Nur. 2010. Potensi Interaksi Obat Pada Pasien ICU (Intensive Care Unit) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Jakarta.

(7)

Prevalence Of Potential Drug-Drug Interactions And Its Associated Factors In A Brazilian Teaching Hospital. J Pharm Pharm Sci 9:427-33.

Depkes. 2006. Standar Keperawatan Di ICU. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

.Fradgley, S. 2003. Interaksi Obat. dalam Aslam, Mohamed., Chik Kaw Tan, & Adji Prayitno (editor). Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy). PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Hammes, Jean A., Felipe Pfuetzenreiter, Fabrízio da Silveira, Álvaro Koenig, dan G.A. Westphal. 2008. Potential drug interactions prevalence in intensive care units. Rev Bras Ter Intensiva; 20(4): 349-354.

Helmsh, R.A., D.C. Quan, E.T. Herfindel., dan D.R. Gourley. 2006. Textbook of Therapeutic: Drugs And Disease Management 8th edition. Lippincot William & Wilkin.Phildelphia. Larasati, Ria. 2008. Interaksi Obat Di Ruang ICU

(Intensive Care Unit) Rumah Sakit Karya Bhakti Bogor Periode Februari-April 2008. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Jakarta.

Liaw S.Y., Noorizan Abd. Azid., Y. Hassan, J.A. Hassan., Z. Che Embeez,. dan N. Abdullah. 2005. Evaluation Of Drug-Drug Interaction In General Intensive Care Unit. Abstrak: hal 61. Dalam The 5th Asian Conference on Clinical Pharmacy 2005.

Lima, R.E.F. dan Cassiani, S.H.B, 2009. Potential Drug Interactions In Intensive Care Patients At ATeaching Hospital. Rev Latino-am Enfermagem; 17(2): 222-7

Rafiei, H., M. Arab., H. Ranjbar, G.R. Sepehri, N. Arab, dan Masuod Amiri. 2012. The prevalence of potential drug interactions in Intensive Care Units. Iranian Journal of Critical Care Nursing.4: 191–196.

Rahmawati F., R. Handayani dan V. Gosal. 2008. Kajian retrospektif interaksi obat di Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia. 17(4): 177-183. Ray, S., M. Bhattacharyya, J. Pramanik, dan S.

Todi.2009. Drug–drug interactions in the ICU. Critical Care. Volume 13 Suppl 1: 198-199. Reis, A.M.M. dan Cassiani, S.H.B. 2011. Prevalence

of potential drug interactions in patients in an intensive care unit of a university hospital in Brazil. Clinics ; 66(1):9-15.

Tatro, David S., 2009. Drug Interaction Facts 2009. Wolters Kluwer Health Inc. California.

Gambar

Tabel I. Karakteristik sampel pasien ICU RSUD Ulin  tahun 2012
Tabel II. Sepuluh besar obat yang digunakan pada pasien ICU RSUD Ulin tahun 2012

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitiаn yаng telah dilаkukаn di PT Segаr murni utаmа menghasilkan pengaruh dari kualitas kehidupan kerja karyawan terhadap komitmen organisasi memiliki pengаruh

Pestisida dapat mengganggu proses sintesis dan metabolisme hormon tiroid melalui beberapa mekanisme, yaitu pertama, mengganggu reseptor TSH (TSH-r) di kelenjar

Tantangan dalam elemen ke-7 adalah membangun interelasi dengan para pemegang kebijakan sehingga memunculkan regulasi yang dapat mendukung integrasi dan

Berkembangnya peran aktor non-negara dalam hubungan internasional juga disadari oleh pemerintah Jepang sehingga dalam pelaksanaan diplomasi kebudayaanya, artor negara

Caris editor merupakan menu didalam perangkat lunak CARIS GIS 4.5 yang dapat membuat peta dan mengedit peta seperti membuat titik kedalaman garis pantai, garis

ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA TN. K DENGAN MASALAH POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF PADA KASUS.. AMI DI RUANG IGD RUMAH SAKIT PROF. MARGONO

Wawancara dilakukan dengan pihak perusahaan, yakni manajer pusat pertanggungjawaban pendapatan guna memperoleh informasi yang dibutuhkan sehingga penulis mendapatkan