• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala hidayah-Nya penyusunan laporan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Laporan ini memuat capaian pelaksanaan Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional pada Tahun 2014. Kegiatan tersebut telah diinisiasi pada tahun 2013 dan kembali dilanjutkan pada Tahun 2014 melalui Surat Keputusan Menteri PPN/Bappenas Nomor Kep.55/M.PPN/HK/03/2013 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Tim Koordinasi Strategis tersebut beranggotakan Perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Perwakilan Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait kegiatan pertanahan nasional.

Kegiatan koordinasi ini dilakukan sebagai upaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan bidang pertanahan sebagaimana tertuang dalam White Paper Kebijakan Pertanahan Nasional yang meliputi: Kebijakan Sistem Pendaftaran Tanah Stelsel Positif, Kebijakan Redistribusi tanah dan access reform, Kebijakan Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan pada Pengadilan Negeri, Kebijakan Penyediaan Tanah untuk Kepentingan Umum, dan Kebijakan Sumberdaya Manusia bidang Pertanahan, serta kegiatan-kegiatan koordinasi lintas sektor dan daerah. Secara umum, capaian pelaksanaan kegiatan tersebut pada Tahun 2014 telah sesuai dengan rencana kerja yang telah ditetapkan. Namun demikian terdapat beberapa kegiatan yang harus dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang.

Disadari bahwa pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional ini mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak antara lain Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Pusat dan Kanwil BPN di Daerah, Kementerian Kehutanan. Bappeda Provinsi Jawa Timur, Bappeda Provinsi Bangka Belitung, Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, serta berbagai pihak lainnya. Untuk itu pada kesempatan ini disampaikan terima kasih dan apresiasi atas segala partisipasi dan bantuan yang diberikan.

Semoga laporan ini bermanfaat sebagai salah satu referensi dalam bidang pertanahan.

Jakarta, Desember 2014

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR ISTILAH ... v

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

BAB 2 TUJUAN DAN SASARAN KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL ... 3

BAB 3 RUANG LINGKUP KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL... 5

BAB 4 CAPAIAN KERJA KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL TAHUN 2014 .. 7

4.1 INTERVENSI KEBIJAKAN ... 7

4.1.1 Kebijakan Sistem Publikasi Tanah Stelsel Positif ... 7

4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform ... 24

4.1.3 Kebijakan Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan pada Pengadilan Negeri ... 33

4.1.4 Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan ... 34

4.2 KOORDINASI LINTAS SEKTOR DAN DAERAH... 36

4.2.1 Sertifikasi Tanah Transmigrasi ... 37

4.2.2 Program Nasional Agraria Daerah (PRODA) Kalimantan Timur... 39

4.3 PUBLIKASI DAN SOSIALISASI REFORMA AGRARIA ... 41

4.3.1 Majalah ... 41

4.3.2 Media CD ... 42

4.3.3 Media Online ... 43

(4)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1 Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan ... 12

Tabel 4. 2 Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Terdigitasi BPN-RI ... 16

Tabel 4. 3 Data Tanah Objek Landreform (TOL) di Provinsi Jawa Tengah ... 26

Tabel 4. 4 Data Tanah Objek Landreform (TOL) di Provinsi Kep. Bangka Belitung ... 27

Tabel 4. 5 Data Tanah yang Telah Diredistribusi di Indonesia ... 28

Tabel 4. 6 Data Tanah yang Telah Diredistribusi di Provinsi Jawa Tengah ... 28

Tabel 4. 7 Data Tanah yang Telah Diredistribusi di Provinsi Kep. Bangka Belitung ... 29

Tabel 4. 8 Data Capaian Sertipikasi L:intas K/L di Provinsi Jawa Tengah dan Kep. Bangka Belitung ... 30

Tabel 4. 9 Proporsi Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan ... 36

(5)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4. 1 Bagan Lingkup Informasi Peta Dasar Pertanahan ... 9

Gambar 4. 2 Presentase Luas Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan ... 10

Gambar 4. 3 Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan ... 11

Gambar 4. 4 Peta Cakupan Bidang Bersertipikat yang Telah Terdigitasi ... 15

Gambar 4. 5 Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Terdigitasi BPN-RI ... 16

Gambar 4. 6 Bidang Sertipikasi Terdigitasi yang Salah Sistem Proyeksi atau Zona ... 18

Gambar 4. 7 Bidang Sertipikasi Terdigitasi yang Saling Tumpanng Tindih ... 19

Gambar 4. 8 Bidang Sertipikasi Terdigitasi yang Masuk Kawasan Hutan ... 20

Gambar 4. 9 Bidang Sertipikasi Terdigitasi Berpotongan dengan Batas Administrasi Provinsi Versi BIG ... 20

Gambar 4. 10 Orientasi Tata Batas Kawasan Hutan Yeh Ayeh, Provinsi Bali ... 22

Gambar 4. 11 Orientasi Tata Batas Kawasan Hutan Gunung Mangkol, provinsi Kepulauan Bangka Belitung ... 23

Gambar 4. 12 Orientasi Tata Batas Kawasan Hutan Pantai Rebo, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ... 24

Gambar 4. 13 Outline Draf Pedoman Pelaksanaan Reforma Agraria ... 32

Gambar 4. 14 Majalah Agraria Indonesia Edisi I ... 41

Gambar 4. 15 Majalah Agraria Indonesia Versi Web (www.agrariaindonesia.org) ... 42

Gambar 4. 16 Media Publikasi Berupa CD (Compact Disc) ... 43

(6)

v

DAFTAR ISTILAH

1. Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional adalah Tim Koordinasi yang dibentuk oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas yang bertugas untuk memperbaiki kebijakan bidang pertanahan nasional.

2. Pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah, serta perbuatan mengenai tanah, yang diatur dengan hukum tanah.

3. Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas tertentu sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.

4. Tanah Negara adalah Tanah yang tidak dipunyai dengan suatu Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan/atau tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat.

5. Reforma Agraria adalah penataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah yang lebih berkeadilan disertai dengan akses reform.

6. Akses Reform (access reform) adalah pemberian akses bagi penerima tanah obyek reforma agraria untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya secara optimal baik untuk bidang pertanian maupun nonpertanian.

7. Tanah Obyek Reforma Agraria yang selanjutnya disingkat TORA adalah Tanah yang dikuasai oleh negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan dalam rangka Reforma Agraria.

8. Penerima TORA adalah orang yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan untuk menerima TORA.

9. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

11. Pengadilan Pertanahan adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perkara pertanahan.

(7)

vi 12. PRONA (singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria) adalah salah satu bentuk

kegiatan legalisasi asset dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertipikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal.

13. PRODA (singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria Daerah) adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset pada suatu daerah yang dibiayai oleh pemerintah daerah, dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertipikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal.

14. Sertifikasi tanah lintas K/L adalah adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset yang dibiayai pemerintah untuk beberapa target sektor seperti: petani, nelayan, transmigrasi, UKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah.

(8)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Selama Tahun 2012 sampai saat ini seringkali muncul kasus-kasus yang terkait dengan bidang pertanahan. Di berbagai daerah marak terjadi sengketa, konflik, maupun perkara pertanahan baik skala besar maupun kecil dan yang gencar diberitakan oleh media massa secara nasional maupun lokasl. Data BPN (2013) mencatat terdapat 4.786 kasus pertanahan yang terdiri dari sisa kasus pertanahan pada Tahun 2012 sejumlah 2.905 dan kasus baru Tahun 2013 sejumlah 1.881. Dari jumlah kasus tersebut BPN telah menyelesaikan sebanyak 2.771 kasus pertanahan, sehingga masih terdapat sisa kasus sebanyak 2.015. Maraknya terjadi kasus pertanahan tersebut menjadi salah satu gambaran belum baiknya pengelolaan bidang pertanahan.

Perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional diperlukan untuk memberikan arah yang lebih baik bagi upaya pencegahan terjadinya kasus pertanahan. Selain itu agar pengelolaan pertanahan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga dapat lebih menjamin terlaksananya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional tersebut di atas memerlukan koordinasi lintas sektor yang melibatkan kementerian/lembaga terkait. Memperhatikan salah satu tupoksi Kementerian PPN/Bappenas yang mengemban fungsi koordinasi, maka pada tahun 2013 telah diinisiasi kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Kegiatan tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri PPN/Bappenas Nomor Kep.55/M.PPN/HK/03/2013 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Tim Koordinasi Strategis tersebut beranggotakan Perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Perwakilan Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait kegiatan pertanahan nasional.

Pada Tahun 2014 kembali dibentuk Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep. 9/M.PPN/HK/02/2014 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Pada Tahun 2014 tim tersebut beranggotakan beberapa Kementerian/Lembaga terkait seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian PPN/Bappenas. Secara umum tujuan kegiatan tersebut adalah melaksanakan tugas dalam menyelenggarakan fungsi koordinasi dan sinkronisasi yang melibatkan Kementerian/Lembaga terkait, pemerintah daerah, dan organisasi non pemerintah dalam melaksanakan program dan kegiatan bidang pertanahan yang telah dirumuskan dalam Dokumen White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional yang diterbitkan pada Bulan Desember 2013. Secara umum usulan kebijakan pengelolaan

(9)

2 pertanahan nasional yang diusulkan meliputi: (i) Kebijakan Sistem Pendaftaran Tanah Publikasi Positif; (ii) Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform; (iii) Kebijakan Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan pada Pengadilan Negeri; (iv) Kebijakan Pembentukan Bank Tanah; dan (v) Kebijakan Perbaikan Proporsi Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan. Namun dengan berbagai keterbatasan sumberdaya yang dimiliki sehingga tidak semua usulan kebijakan tersebut dapat dilaksanakan pada Tahun 2014.

Untuk menggambarkan berbagai capaian kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional sampai dengan Bulan Desember 2014, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional menyusun Laporan Akhir (Final Report) Pelaksanaan Kegiatan. Penyusunan laporan akhir dilakukan melalui rangkaian serangkaian rapat anggota tim, focus group discussion (FGD), dan lokakarya yang melibatkan berbagai stakeholder terkait untuk mendapatkan pemahaman yang sama mengenai reforma agraria (perbaikan sistem pengelolaan pertanahan). Secara umum laporan ini memuat tujuan dan sasaran kegiatan, ruang lingkup kegiatan, rencana kebijakan, dan capaian kerja.

(10)

3

BAB 2

TUJUAN DAN SASARAN

KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL

Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional bertujuan untuk melakukan koordinasi dan penyusunan kebijakan serta rencana program dan kegiatan dalam mengawal pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia. Adapun tujuan khusus, antara lain:

a. Melaksanakan pengkajian, perumusan dan pengembangan kebijakan pertanahan nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria;

b. Melaksanakan koordinasi penyusunan rencana, program dan kegiatan (RPK) terkait reforma agraria nasional serta pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RPK tersebut; c. Melaksanakan diseminasi kebijakan pertanahan, membangun konsensus, dan

mendapatkan dukungan komitmen dari pelaku terkait pelaksanaan reforma agraria. Pada Tahun Anggaran 2014 pelaksanaan Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional meliputi beberapa pokok bahasan untuk menindaklanjuti beberapa arah kebijakan pengelolaan pertanahan nasional yang telah tertuang pada White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional yang telah disusun dan disahkan sebelumnya, antara lain :

a. Perubahan kebijakan pendaftaran tanah dari stelsel negatif menjadi stelsel positif; b. Kebijakan redistribusi tanah dan access reform;

c. Pembentukan kamar khusus pertanahan pada pengadilan negeri; d. Perbaikan proporsi sumber daya manusia bidang pertanahan.

Khusus untuk Kebijakan Pembentukan Bank Tanah, Bappenas melalui Direktorat Perumahan dan Permukiman mendapat bantuan Technical Assisstant (TA) dari Bank Dunia ‘Roadmap for Housing Policy Reform’. Salah satu komponen dari TA tersebut adalah studi mengenai perluasan akses tanah perkotaan bagi permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pada temuan awal dalam kajian tersebut mengarah pada perlunya pembentukan bank tanah. Untuk itu Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan bekerja sama dengan Direktorat Perumahan dan Permukiman dalam melakukan kajian pembentukan bank tanah dalam komponen bantuan TA Bank Dunia tersebut.

Sasaran yang ingin dicapai dari pokok bahasan kebijakan pengelolaan pertanahan nasional adalah terlaksananya tahapan kebijakan pengelolaan pertanahan sesuai dengan rencana dan indikator sebagaimana tertuang dalam dokumen White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional.

Terkait dengan tujuan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi atas rencana, program, dan kegiatan (RKP) reforma agraria nasional, berdasarkan capaian Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Tahun 2013 teridentifikasi beberapa pokok bahasan koordinasi lintas sektor

(11)

4 dan daerah yang perlu ditindaklanjuti pada Tahun 2014 dalam rangka perbaikan sistem pengelolaan pertanahan, meliputi:

a. Sertipikasi Tanah Transmigrasi;

b. Koordinasi Program Agraria Daerah (PRODA) Provinsi Kalimantan Timur.

Sasaran yang ingin dicapai dari pokok bahasan koordinasi lintas sektor dan daerah adalah tercapainya target sertipikasi pada kegiatan Sertipikasi Tanah Transmigrasi dan terlaksananya Program Agraria Daerah (PRODA) di Provinsi Kalimantan Timur.

(12)

5

BAB 3

RUANG LINGKUP

KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL

Program reforma agraria secara menyeluruh yakni perombakan sistem pertanahan dan pengelolaan pertanahan nasional memerlukan tingkat koordinasi antar Kementerian/ Lembaga (K/L) terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah. Terkait dengan fungsi koordinasi yang strategis dan penting dalam menyusun kebijakan pada pelaksanaan reforma agraria tersebut, maka Kementerian PPN/Bappenas berinisiatif untuk membantu mengkoordinasikan, khususnya dalam konteks perumusan rencana kebijakan pada pelaksanaan reforma agraria nasional. Secara teknis, diharapkan Kementerian PPN/Bappenas dapat menyelenggarakan kegiatan fungsi koordinasi serta sinkronisasi dalam perumusan kebijakan reforma agraria nasional yang melibatkan K/L terkait, Pemerintah Daerah, dan organisasi non pemerintah. Selain itu, Kementerian PPN/Bappenas juga perlu melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reforma agraria nasional yang sedang berjalan. Dengan demikian dalam upaya mencapai tujuan dari koordinasi strategis reforma agraria nasional, beberapa lingkup kegiatan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam satu tahun anggaran meliputi:

o Rapat Koordinasi Kebijakan, dilakukan di tingkat Eselon I dan Eselon II untuk mewujudkan kesepahaman antar sektor terkait dengan melakukan review terhadap berbagai kebijakan pertanahan eksisting dalam menemukenali dan melakukan klarifikasi akar permasalahan bidang pertanahan nasional untuk selanjutnya bersama-sama membangun konsensus dalam menentukan arah kebijakan pelaksanaan reforma agraria nasional.

o Rapat Koordinasi Teknis, dilakukan di tingkat tim teknis dan kesekretariatan yang melibatkan sektor-sektor terkait dengan pelaksanaan kegiatan, baik didalam Kementerian PPN/Bappenas maupun dengan K/L dan Pemerintah Daerah. Secara khusus kegiatan ini dilakukan secara intensif bersama dengan BPN, terkait dengan sasaran dalam kegiatan koordinasi strategis reforma agraria nasional.

o Kunjungan lapangan, berupa kunjungan ke beberapa daerah yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reforma agraria nasional maupun dalam menyusun kebijakan dan rencana di bidang pertanahan. Instansi yang akan dikunjungi antara lain Kantor Wilayah BPN Provinsi, Kantor Pertanahan BPN Kabupaten/Kota, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas terkait di tingkat provinsi dan Kabupaten/kota. Dengan demikian diharapkan melalui kunjungan lapangan, utamanya dapat ditarik pembelajaran (lesson learned) untuk menjadi masukan dalam penyusunan rencana kebijakan.

o Konsinyasi, dilakukan melalui diskusi antar sektor dalam rangka pematangan dan finalisasi konsep kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan koordinasi strategis reforma agraria nasional.

(13)

6 o Lokakarya, dilakukan untuk diseminasi hasil studi kebijakan yang telah dilaksanakan oleh tim dan dibantu oleh konsultan individu. Dalam pelaksanaannya, lokakarya akan menghadirkan pakar yang terkait dengan kebijakan tersebut dan mengundang berbagai sektor terkait di tingkat pusat dan daerah, serta organisasi non pemerintah;

o Seminar, dilaksanakan untuk mensosialisasikan dan mendistribusikan kebijakan, khususnya dalam bentuk peraturan perundangan yang terkait dengan reforma agraria nasional. Dalam pelaksanaannya, seminar juga akan menghadirkan narasumber yang kompeten dan mengundang berbagai sektor terkait, instansi pemerintah serta organisasi non pemerintah.

(14)

7

BAB 4

CAPAIAN KERJA

KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL TAHUN 2014

Pada Tahun 2014, pelaksanaan kegiatan koordinasi strategis reforma agraria nasional secara umum meliputi 3 substansi kebijakan bidang pertanahan yaitu :

1) Intervensi Kebijakan

2) Koordinasi Lintas Sektor dan Daerah 3) Publikasi dan Sosialisasi Reforma Agraria 4.1 INTERVENSI KEBIJAKAN

Intervensi kebijakan yang dilakukan pada Tahun 2014 merupakan tindak lanjut beberapa arah kebijakan pengelolaan pertanahan nasional yang telah tertuang pada White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional yang telah disusun dan disahkan pada Tahun 2013. Pada Tahun 2014 beberapa intervensi kebijakan yang dilaksanakan adalah : (i) kebijakan sistem publikasi tanah stelsel positif; (ii) kebijakan redistribusi tanah dan access reform; (iii) kebijakan pembentukan kamar khusus pertanahan pada pengadilan negeri; dan (iv) kebijakan sumber daya manusia bidang pertanahan.

4.1.1 Kebijakan Sistem Publikasi Tanah Stelsel Positif

Sistem publikasi tanah yang dianut oleh Indonesia saat ini adalah sistem pendaftaran tanah stelsel negatif atau dikenal juga dengan sistem stelsel negatif, sistem ini teridentifikasi tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi pemilik sertipikat atau pemilik hak atas tanah karena masih terdapat peluang pembatalan hak atas tanah, dengan demikian dalam sistem stelsel negatif negara tidak menjamin kebenaran informasi yang tercantum di dalam sertipikat hak atas tanah. Kepastian hukum hak atas tanah terkesan semu dalam hal ini.

Sehingga untuk meningkatkan kepastian hukum diperlukan perubahan sistem pendaftaran tanah nasional dari sistem pendaftaran tanah stelsel negatif menuju sistem pendaftaran tanah stelsel positif. Pada sistem stelsel positif setiap informasi dijamin kebenarannya oleh negara sehingga jika terjadi kesalahan informasi yang dilakukan oleh negara, negara sebagai bentuk tanggung jawabnya mengganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan. Data dan informasi dalam sistem stelsel positif dijamin kebenarannya oleh negara, oleh karena itu perlu adanya validasi dan evaluasi kesiapan data dan informasi pertanahan sebelum beranjak menuju sistem stelsel positif. Data tersebut adalah Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan dan Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat.

Untuk tahun 2014 sistem pendaftaran tanah stelsel positif belum dapat diterapkan, mengingat ketersediaan Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan baru mencapai 14.962.428,14 Ha atau 23,26% dari luas wilayah nasional di luar Kawasan Hutan yang seluas

(15)

8 64.324.754 Ha. Selain itu Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang terdigitasi baru mencapai 9.242.028 Ha atau 14,11% dari luas Kawasan Budidaya (beserta enclave) yang seluas 65.521.314 Ha. Untuk data jumlah bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi, jumlah data yang diterima dari Pusdatin BPN per Juni 2014 sebanyak 18 juta bidang, namun kualitas data yang ada masih ditemukan beberapa data digitasi yang tidak valid, sehingga total hanya 16,8 juta bidang yang dapat diolah.

Perubahan sistem pendaftaran tanah stelsel positif dapat dilakukan apabila ketersedian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan dan Cakupan Wilayah yang Bersertifikat telah mencapai 80% dari luas wilayah Indonesia di luar kawasan hutan. Dengan demikian diperlukan upaya untuk menyusun rencana identifikasi sebaran lokasi ketersediaan peta pertanahan dan cakupan wilayah yang telah bersertifikat. Bebeberapa langkah yang diperlukan untuk mencapai pre-requisite condition perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi stelsel positif meliputi: (i) Percepatan Sertipikasi Tanah; dan (ii) Percepatan Penyediaan Peta Dasar Pertanahan. Selain itu, konsekuensi logis penjaminan kebenaran informasi batas bidang tanah, maka perlu juga dilakukan upaya memastikan batas hutan dan non hutan. Publikasi batas kawasan hutan dan non hutan harus terdaftar (teregistrasi) dan terukur pada skala rinci yang sama pada setiap bidang (persil) yang berkaitan. Hal tersebut berimplikasi kepada diperlukannya pengukuran batas kawasan hutan dan non hutan pada skala yang sama untuk dapat memberikan kepastian hukum hak atas bidang tanah yang berbatasan dengan kawasan hutan.

A. Rencana

Berdasarkan uraian di atas terkait perubahan sistem pendaftaran tanah menuju stelsel positif, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria pada tahun anggaran 2014 telah merancang beberapa target kegiatan sebagai berikut:

(i) Pembaruan informasi spasial cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan hutan (ii) Pembaruan informasi spasial cakupan peta bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi (iii) Terlaksananya Pilot Project publikasi tata batas kawasan hutan

(iv) Tersusunnya pedoman pelaksanaan publikasi tata batas kawasan hutan B. Capaian Tahun 2014

Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:

(i) Pembaruan Cakupan Peta Dasar Pertanahan

Informasi mengenai capaian cakupan peta dasar pertanahan digunakan untuk mengevaluasi kesiapan negara sebelum mengubah sistem pendaftaran tanah menuju sistem pendaftaran tanah stelsel positif. Semakin besar ketersediaan cakupan peta dasar pertanahan maka diasumsikan bahwa akan semakin baik kualitas peta bidang tanah

(16)

9 bersertipikat, karena peta dasar pertanahan merupakan acuan dalam pembuatan peta bidang tanah bersertipikat.

Hasil perhitungan secara spasial untuk luas wilayah nasional didapatkan angka sebesar 189.073.900 Ha, dan analisis capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan adalah 25.744.622,01 Ha atau 13,62% dari luas nasional keseluruhan. Dari 25.744.622,01 Ha Cakupan Peta Dasar Pertanahan tersebut, telah dianalisis lagi secara spasial dan menunjukkan bahwa area yang benar-benar mencakup wilayah nasional di luar Kawasan Hutan (Kawasan Budidaya) adalah sebesar 14.962.428,14 Ha. Wilayah area tugas BPN dalam melakukan sertipikasi adalah pada Kawasan Budidaya yang diidentifikasi memiliki luas 64.324.754 Ha, untuk itu capaian Cakupan Pemetaan Dasar di Luar Kawasan Hutan adalah sebesar 23,26% (14,96 juta hektar).

Gambar 4. 1

Bagan Lingkup Informasi Peta Dasar Pertanahan

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

Perhitungan dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek teknis berikut; (1) Data spasial telah diolah supaya tidak terdapat luasan dari area cakupan yang bertampalan, pertampalan antar area cakupan telah digabung menjadi satu area cakupan, sehingga tidak terjadi double counting pada area yang sama; (2) Cakupan area yang masuk ke dalam laut tidak ikut dalam perhitungan; (3) Cakupan Peta Dasar Pertanahan tersebut secara spasial juga telah diolah supaya cakupan yang masuk ke dalam Kawasan Hutan tidak ikut dalam perhitungan, sehingga didapatkan area yang benar-benar berada di Kawasan Budidaya untuk dihitung luasannya, data spasial Kawasan Hutan yang dipakai adalah data spasial digital resmi yang diberikan oleh BIG dan dibuat oleh Kementerian Kehutanan; (4) Luasan dihitung menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection, sesuai arahan BIG dalam menghitung luasan untuk peta dengan cakupan luas satu Indonesia.

(17)

10 Gambar 4. 2

(18)

11 Gambar 4. 3

(19)

12 Tabel 4. 1

Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2014

Provinsi Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan Hutan Persentase Aceh 2.293.894,50 262.767,51 11,46 % Bali 430.782,66 344.632,89 80,00 % Banten 732.307,14 200.327,21 27,36 % Bengkulu 1.081.984,64 321.448,93 29,71 % Di Yogyakarta 298.332,38 298.283,28 99,98 % Dki Jakarta 64.623,82 6.020,78 9,32 % Gorontalo 420.247,38 382.151,58 90,93 % Jambi 2.769.107,17 292.425,99 10,56 % Jawa Barat 2.875.796,22 660.640,64 22,97 % Jawa Tengah 2.788.249,39 1.041.782,12 37,36 % Jawa Timur 3.439.007,49 562.150,21 16,35 % Kalimantan Barat 6.420.377,40 410.933,93 6,40 % Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.611.467,96 82,00 % Kalimantan Tengah 2.602.813,50 176.827,06 6,79 % Kalimantan Timur 4.258.575,96 363.249,43 8,53 % Kalimantan Utara 1.326.458,49 1.056,63 0,08 % Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 333.297,76 33,06 %

Kep. Riau 229.819,83 128.974,83 56,12 %

Lampung 2.417.687,64 1.788.081,75 73,96 %

Maluku 720.481,21 268.411,83 37,25 %

Maluku Utara 629.517,46 201.991,15 32,09 %

Nusa Tenggara Barat 928.105,55 374.902,77 40,39 % Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 615.548,74 20,31 %

Papua 1.746.190,12 83.977,94 4,81 % Papua Barat 521.870,51 61.494,80 11,78 % Riau 1.805.133,04 83.324,47 4,62 % Sulawesi Barat 570.776,65 348.561,92 61,07 % Sulawesi Selatan 2.375.862,88 561.340,65 23,63 % Sulawesi Tengah 2.078.666,53 672.522,40 32,35 % Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 509.945,52 40,05 % Sulawesi Utara 750.253,17 612.241,69 81,60 % Sumatera Barat 1.848.089,33 182.444,59 9,87 % Sumatera Selatan 5.195.630,61 641.934,15 12,36 % Sumatera Utara 3.426.624,65 557.265,04 16,26 % Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

(20)

13 Dari perhitungan tersebut terlihat bahwa beberapa provinsi yaitu Provinsi Bali, Provinsi D.I. Yogyakarta, Provinsi Gorontalo, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Sulawesi Utara telah memiliki cakupan Peta Dasar Pertanahan di atas 80%. Dengan capaian Peta Dasar Pertanahan sebesar itu diharapkan dapat membantu Kantor Wilayah BPN yang ada di Kabupaten/Kota dalam menghasilkan data sertipikasi bidang tanah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun juga terdapat beberapa provinsi yang capaiannya cakupannya rendah seperti Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi DKI Jakarta. Capaian cakupan Peta Dasar Pertanahan yang rendah ini dapat berdampak pada kurang baiknya hasil sertipikasi bidang tanah yang dihasilkan, perlu diperhatikan untuk segera ditingkatkan capaiananya.

Selain hal tersebut terdapat temuan bahwa DKI Jakarta dan beberapa provinsi di Pulau Jawa memiliki capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan yang cukup rendah, padahal Pulau Jawa memiliki penduduk dan jumlah bidang tanah yang sangat besar. Hal telah dikonfirmasi oleh pihak BPN dan didapatkan informasi bahwa prioritas pengerjaan Peta Dasar Pertanahan adalah pada pada provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa, untuk provinsi yang berada di Pulau Jawa dianggap telah mampu baik secara finansial maupun sumberdaya manusia untuk dapat melakukannya sendiri, dengan kata lain capaian rendah di Pulau Jawa ini bukan berarti tidak terdapat Peta Dasar Pertanahan, namun karena Kantor Wilayah BPN Provinsi di Pulau Jawa mengadakan pembuatan Peta Dasar Pertanahan sendiri yang datanya tidak tercantum dalam tabel di atas.

Dalam pembuatan Peta Dasar Pertanahan salah satu bahan utama dalam pembuatannya adalah citra satelit beresolusi tinggi. Citra beresolusi tinggi di Indonesia dalam pengadaannya disediakan oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), citra yang didapatkan dari LAPAN kemudian diolah oleh BPN untuk menjadi Peta Dasar Pertanahan. BPN selama ini dalam pengolahan Peta Dasar Pertanahan tidak memperhatikan secara spasial mengenai Kawasan Hutan dan Kawasan Budidaya, diharapkan ke depan BPN dalam mengolah citra tersebut hanya dilakukan pada Kawasan Budidaya saja, selain dapat mengoptimalkan biaya juga dapat mempercepat Capaian Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan.

(ii) Pembaruan Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Terdigitasi

Informasi spasial peta cakupan wilayah bersertipikat yang terdigitasi oleh sistem infromasi geografis (SIG) diperlukan untuk memberikan informasi cakupan wilayah nasional yang telah dilakukan digitasi terhadap penerbitan sertipikat hak atas tanah nasional, dalam rangka mewujudkan sistem publikasi stelsel positif. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Pertanahan dan LP2B BPN RI, diperoleh jumlah bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi sejumlah kurang lebih 18 juta bidang, namun hanya 16,8 juta bidang yang valid

(21)

14 untuk dipetakan dalam persentase cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi. Perhitungan luas bidang tanah menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal Area, hal ini sesuai arahan BIG dalam menghitung luas area untuk seluruh indonesia, selanjutnya besar persentase cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi ini, diperoleh dengan pembaginya adalah luas kawasan budidaya indonesia seluas 64.324.754 Ha dan kawasan enclave seluas 1.196.560 Ha. Adapun data cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi dilakukan per provinsi, sejumlah 33 provinsi, hal ini dilakukan berdasarkan kode kantor wilayah pertanahan provinsi yang ada di Indonesia di 33 provinsi.

(22)

15 Gambar 4. 4

(23)

16 Hasil pengolahan cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi pada 33 provinsi, diperoleh sebanyak 26 provinsi memiliki persentase cakupan bidang tanah sertipikat terdigitasi yang masih rendah ditunjukkan oleh warna hijau tua, yaitu berada dibawah 20% dari luas budidaya dan enclave. 4 provinsi yaitu provinsi Sumatera Utara, Lampung, D.I. Yogyakarta, dan Kalimantan Tengah memiliki persentase cakupan bidang tanah sertipikat terdigitasi pada rentang 20% sampai 40%, ditunjukkan dengan warna hijau muda, dan 3 provinsi yaitu provinsi Aceh, Riau, dan DKI Jakarta memiliki persentase cakupan bidang tanah sertipikat terdigitasi yang paling tinggi di banding provinsi lain, dengan besar cakupan berada pada rentang 40% sampai 60%, ditunjukkan dengan warna kuning.

Gambar 4. 5

Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Terdigitasi BPN-RI per Provinsi

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

Tabel 4. 2

Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Terdigitasi oleh BPN-RI Provinsi Luas budidaya +

enclave (m2) Luas sertipikat terdigitasi (m2) Persentase Aceh 23.994.407.144 12.293.462.814 51,23% Bali 4.327.457.161 783.605.264 18,11% Banten 7.365.303.132 694.941.443 9,44% Bengkulu 10.834.546.497 1.582.706.743 14,61% Daerah Istimewa Yogyakarta 2.984.868.869 621.236.427 20,81% DKI Jakarta 646.387.805 274.768.998 42,51% Gorontalo 4.289.313.742 510.611.402 11,90% Jambi 27.908.927.270 2.112.105.803 7,57%

(24)

17 Provinsi Luas budidaya +

enclave (m2) Luas sertipikat terdigitasi (m2) Persentase Jawa Barat 29.041.406.182 3.809.383.512 13,12% Jawa Tengah 27.919.588.129 3.633.469.464 13,01% Jawa Timur 34.468.015.684 2.939.848.642 8,53% Kalimantan Barat 64.549.589.761 8.751.190.867 13,56% Kalimantan Selatan 19.956.127.686 3.522.669.090 17,65% Kalimantan Tengah 28.835.966.576 6.503.418.603 22,55% Kalimantan Timur 56.374.943.154 8.580.413.593 15,22% Kepulauan Bangka Belitung 10.221.108.083 968.747.669 9,48% Kepulauan Riau 2.415.074.259 448.684.012 18,58% Lampung 24.248.260.103 4.888.365.637 20,16% Maluku 7.254.920.848 120.714.303 1,66% Maluku Utara 6.326.862.617 90.365.249 1,43% Nusa Tenggara Barat 9.377.560.468 598.301.952 6,38% Nusa Tenggara Timur 30.349.755.686 456.476.687 1,50% Papua 17.498.000.382 683.978.081 3,91% Papua Barat 5.311.978.833 452.831.120 8,52% Riau 22.019.756.525 13.076.762.198 59,39% Sulawesi Barat 5.750.026.731 659.028.533 11,46% Sulawesi Selatan 23.772.604.751 258.978.542 1,09% Sulawesi Tengah 20.904.858.371 1.048.854.322 5,02% Sulawesi Tenggara 12.733.299.667 - 0,00% Sulawesi Utara 7.506.959.989 75.129.514 1,00% Sumatera Barat 18.622.875.691 2.110.627.077 11,33% Sumatera Selatan 52.247.309.263 2.617.859.053 5,01% Sumatera Utara 35.155.086.072 7.250.744.531 20,63% I N D O N E S I A 655.213.147.131 92.420.281.147 14,11% Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

(25)

18 Gambar 4. 6

Bidang Sertipikat Terdigitasi Yang Salah Sistem Proyeksi atau Zona

Sumber : Hasil Pengolahan Bappenas 2014

Dalam proses penyajian data cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi, terdapat sekitar 1,2 juta bidang sertipikat yang salah pada sistem proyeksi atau salah pengaturan zona proyeksi dan salah penulisan koordinat, sehingga tidak valid untuk hasil data digitasi bidang tanah sertipikat. Lalu hasil luas cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi masih dalam perhitungan kotor, karena ditemukan posisi bidang tanah saling tumpang tindih, tidak saling berpotongan, sehingga penghitungan luas area sertifikat yang telah terdigitasi, terhitung dua kali pada area tumpang tindih tersebut.

(26)

19 Gambar 4. 7

Bidang Sertipikat Terdigitasi Saling Tumpang Tindih

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

Kawasan Hutan yang dipakai adalah data spasial digital resmi yang diberikan oleh BIG dan dibuat oleh Kementerian Kehutanan. Terdapat bidang sertipikat yang masuk dalam kawasan hutan, namun kondisi bidang-bidang tersebut masuk dalam hitungan persentase cakupan bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi, karena diasumsikan berada pada kawasan enclave, yang hal ini berdasarkan pada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Kehutanan, Menteri PU, dan Kepala BPN tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan. Sehingga dalam pembaginya, luas kawasan budidaya dan kawasan enclave.

(27)

20 Gambar 4. 8

Bidang Sertipikat Terdigitasi yang Masuk Kawasan Hutan

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

Pada pengolahan data bidang sertipikat terdigitasi dengan batas administrasi provinsi versi BIG, terdapat beberapa bidang yang berpotongan dengan batas administrasi. Untuk kondisi tersebut, pengolahan data bidang-bidang sertipikat terdigitasi dilakukan dengan merujuk pada kode NIB provinsi pada atribute informasi yang dimiliki setiap bidang sertipikasi terdigitasi.

Gambar 4. 9

Bidang Sertipikat Terdigitasi Berpotongan Dengan Batas Administrasi Provinsi versi BIG

(28)

21 Selanjutnya pada informasi atribut pada bidang-bidang tanah bersertipikat terdigitasi, terdapat beberapa koreksi, pertama adalah kolom luas tertulis dengan luas peta hasil penghitungan BPN, terdapat perbedaan unit satuan luas yang digunakan, yang seharusnya digunakan adalah meter persegi (m2). Dan pada beberapa bidang, memiliki selisih yang mencolok antara hasil luas tertulis di sertipikat dengan perhitungan luas ArcGIS yang dilakukan BPN. Dengan kondisi tersebut, akhirnya dilakukan perhitungan luas kembali pada bidang-bidang sertipikasi terdigitasi dengan proyeksi Lambert Cylindrical Equal Area, sesuai arahan BIG dalam menghitung luas area untuk seluruh Indonesia.

(iii) Pelaksanaan Pilot Project Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan

Sebagai konsekuensi logis terkait dengan pelaksanaan kebijakan sistem pendaftaran tanah stelsel positif, untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah terutama pada kawasan non hutan yang berbatasan pada kawasan hutan diperlukan publikasi tata batas kawasan hutan. Pada Tahun 2014 pelaksanaan pilot project publikasi tata batas kawasan hutan dilaksanakan pada 2 lokasi yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Bali. Pelaksanaan pilot project diawali dengan pelaksanaan koordinasi penyepakatan mekanisme dan anggaran pelaksanaan pilot project pada 2 lokasi tersebut. Pada pertemuan tersebut disampaikan bahwa secara teknis publikasi tata batas dilaksanakan dengan pemetaan koridor batas kawasan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan, yang hasil dari pemetaan koridor kemudian diintegrasikan kedalam sistem pendaftaran tanah BPN. Selain itu pilot project ini juga dilakukan dalam rangka mengurangi dan mencegah konflik pertanahan yang diakibatkan ketidakpastian batas antara kawasan hutan dan kawasan non hutan. Salah satu penyebab adanya ketidakpastian batas antara kawasan hutan dan non hutan adalah karena terdapat perbedaan penggunaan skala peta yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan (1:50.000) dan BPN (1:10.000). Sehingga diharapkan melalui kegiatan pilot project tersebut selain dapat merapatkan patok tata batas kawasan hutan juga dapat mengukur koridor batas kawasan hutan dalam skala 1:10.000 (menggunakan skala BPN).

Berdasarkan surat BPN RI Nomor 23/S-200.10/V/2014 perihal biaya pelaksanaan pengukuran tata batas kawasan hutan, yang dikeluarkan oleh Direktur Pengukuran Dasar tertanggal 9 Mei 2014, untuk masing-masing kawasan hutan dibutuhkan anggaran sebagai berikut:

• Kawasan Hutan Yeh Ayeuh Provinsi Bali dengan luas area 569 Ha dan keliling kawasan 31,98 Km, membutuhkan biaya sebesar Rp. 106.544.000 untuk melakukan pemetaan koridor batas dengan penambahan 22 titik ukur;

(29)

22 Gambar 4. 10

Orientasi Tata Batas Kawasan Hutan Yeh Ayeuh, Provinsi Bali

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

• Kawasan Hutan Gunung Mengkol Provinsi Bangka Belitung dengan luas area 6.000 Ha dan keliling kawasan 41,92 Km, membutuhkan biaya sebesar Rp. 124.418.000 untuk melakukan pemetaan koridor batas dengan penambahan 27 titik ukur; dan

(30)

23 Gambar 4. 11

Orientasi Tata Batas Kawasan Hutan Gunung Mangkol, Provinsi Kep. Bangka Belitung

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014

• Kawasan Hutan Pantai Rebo Provinsi Bangka Belitung dengan luas area 1.300 Ha dan keliling kawasan 31,98 Km, membutuhkan biaya sebesar Rp. 129.338.000 untuk melakukan pemetaan koridor batas dengan penambahan 28 titik ukur.

(31)

24 Gambar 4. 12

Orientasi Tata Batas Kawasan Hutan Pantai Rebo, Provinsi Kep. Bangka Belitung

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

Hingga dilakukan 4 (empat) kali pertemuan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan BPN, kegiatan pilot project publikasi tata batas kawasan hutan tidak dapat dilaksanakan karena alokasi anggaran tidak disetujui oleh Kementerian Kehutanan. Berdasarkan hasil pertemuan terahir, disepakati bahwa koordinasi publikasi tata batas kawasan hutan akan dilanjutkan kembali pada Tahun 2015 dengan melibatkan Eselon I dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Bappenas untuk menyepakati solusi pada tata batas kawasan hutan dan skema-skema penyelesaian tata batas kawasan hutan.

4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform

Kebijakan redistribusi tanah dan access reform atau yang lebih dikenal sebagai reforma agraria merupakan kebijakan yang dirancang oleh Pemerintah untuk mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan reforma agraria merupakan amanat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, Pasal 33 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria bahwa negara menjamin hak-hak

(32)

25 masyarakat atas bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya; serta TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang selanjutnya menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Pelaksanaan reforma agraria telah dilaksanakan sejak tahun 1961 hingga saat ini, namun pada periode tersebut pelaksanaan reforma agraria dinilai kurang berhasil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Beberapa kendala dalam pelaksanaan reforma agraria diantaranya : (1) kelangkaan sumber tanah objek landreform (TOL) dimana sebagian besar tanah berasal dari tanah kawasan hutan yang dapat dikonversi dan tanah terlantar; (2) pengukuran kadastral dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) belum mencakup seluruh wilayah Indonesia; (3) Data subjek (by name by address) penerima redistribusi tanah yang belum tersedia dengan baik; dan (4)pelaksanaan reforma agraria hanya dilakukan sebatas pemberian tanah atau yang lebih dikenal dengan redistribusi tanah, sehingga beberapa masyarakat penerima tanah tersebut yang sangat miskin tidak memiliki akses terhadap sumberdaya yang cukup untuk mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut.

Reforma agraria melalui redistribusi tanah yang dilaksanakan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) perlu dilengkapi dengan kegiatan pemberdayaan (access reform) sehingga masyarakat yang sangat miskin sekalipun dapat mengelola lahan dengan memanfaatkan program pemberdayaan sebagai modal. Program pemberdayaan merupakan program-program dari Kementerian/Lembaga terkait yang dapat berupa pelatihan pendampingan usaha, modal usaha, bantuan pemasaran, dan lain-lain. Beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi program K/L yang dapat menjadi access reforma diantaranya : i) program memberikan dampak langsung kepada masayarakat (kelompok); (ii) merupakan program yang berkaitan dan mendukung kegiatan pemanfaatan lahan.

Reforma agraria ideal yang terdiri dari redistribusi tanah atau legalisasi aset dan telah dilengkapi dengan kegiatan pemberdayaan perlu dilakukan secara masal untuk meningkatkan kesejahtarenaan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Mengingat pelaksanaan reforma agraria ideal belum pernah dilakukan maka perlu dilaksanakan suatu uji coba secara bertahap melalui pilot project. Tahapan pilot project untuk pelaksanaan reforma agraria ideal terdiri dari : (i) koordinasi lokasi; (ii) pengembangan tekhnologi pertanian; (iii) interkoneksi UKM dengan industri; dan (iv) jasa keuangan mikro. Pelaksanaan pilot project reforma agraria tahapan koordinasi lokasi TA. 2014 dilaksanakan di Provinsi Bangka Belitung dan Jawa Tengah.

A. Rencana

Terkait dengan kebijakan redistribusi tanah dan access reform, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional pada Tahun 2014 telah menyusun beberapa kegiatan dengan target, sebagai berikut :

(33)

26 (i) Pembaharuan data tanah objek reforma agraria (TORA)/tanah objek landreform Tahun

2013 dan Tahun 2014

(ii) Pembaharuan jumlah dan sebaran tanah yang telah diredistribusi Tahun 2013 dan Tahun 2014

(iii) Teridentifikasinya sebaran tanah yang telah disertipikasi melalui kegiatan sertipikat lintas K/L Tahun 2013 dan Tahun 2014 di Provinsi Bangka Belitung dan Jawa Tengah

(iv) Teridentifikasinya kegiatan pemberdayaan masyarakat setiap instansi Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah Tahun 2013 dan Tahun 2014 di Povinsi Bangka Belitung dan Jawa Tengah

(v) Terlaksananya pilot project reforma agraria : koordinasi lokasi di Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung

(vi) Tersusunnya draft pedoman pelaksanaan reforma agraria : koordinasi lokasi B. Capaian Tahun 2014

Pencapaian kegiatan koordinasi selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut :

(i) Tanah Objek Landrefom

Identifikasi terhadap tanah objek landreform (TOL) dilakukan berkenaan dengan rencana pelaksanaan redistribusi tanah yang akan dilakukan pada tahun berikutnya. Secara umum tanak objek landreform berasal dari penerbitan tanah terlantar dan konversi kawasan hutan. Pada Tahun 2014 teridentifikasi data objek landreform (TOL) pada lokasi pilot project reforma agrari yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung. Berikut data yang telah diperoleh dari Direktorat Landreform, Badan Pertanahan Nasional :(i) Provinsi Jawa Tengah : 1.500 bidang pada Tahun 2013, 3.000 bidang pada Tahun 2014, dan 2.000 bidang pada Tahun 2015; dan (ii) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung : 1.500 bidang pada Tahun 2013, 1.100 bidang pada Tahun 2014, sedangkan untuk data pada Tahun 2015 belum tersedia.

Tabel 4. 3

Data Tanah Objek Landreform (Tol) di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 S.D 2015

No Kabupaten/ Kota Jumlah (Bidang)

2013 2014 2015

1 BANJARNEGARA 100 100

2 BATANG 141 200

3 BOYOLALI 100 240 350

(34)

27

No Kabupaten/ Kota Jumlah (Bidang)

2013 2014 2015 5 MAGELANG 200 350 300 6 CILACAP 160 7 GROBOGAN 104 8 KEBUMEN 100 9 KENDAL 10 PEKALONGAN 300 750 150 11 PEMALANG 200 200 12 PURBALINGGA 200 200 13 PURWOREJO 100 100 14 REMBANG 25 100 15 SEMARANG 218 380 300 16 SRAGEN 132 17 TEGAL 100 18 TEMANGGUNG 250 100 TOTAL 1.500 3.000 2.000

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014. Tabel 4. 4

Data Tanah Objek Landreform (Tol) di Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung Tahun 2013 S.D 2014

No Kabupaten/ Kota Jumlah (Bidang)

2013 2014

1 BANGKA SELATAN 1.500

2 BELITUNG 1.100

TOTAL 1.500 1.100

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014. (ii) Tanah yang telah diredistribusi

Identifikasi terhadap yang telah diredistribusi diperlukan untuk mengetahui sebaran dan lokasi pelaksanaan program redistribusi selama ini. Data tersebut dapat menjadi basis data Kementerian/Lembaga untuk memberikan program pemberdayaan sehingga diharapkan program pemberdayaan tersebut dapat menjadi pendamping/modal untuk masyarakat dapat mengelola tanah yang telah disertipikasi. Pada Tahun 2014, Tim Koordinasi telah memperoleh data luas tanah yang telah diredistribusi di Indonesia selama 5 tahun. Berdasarkan data tersebut telah dilakukan redistribusi tanaha pada Tahun 2013 sebanyak

(35)

28 159.579 bidang tanah dengan luas 122.113,51 Ha dan pada Tahun 2014 sebanyak 133.698 bidang tanah dengan luas yang belum diketahui.

Tabel 4. 5

Data Tanah yang Telah Diredistribusi di Indonesia

Tahun Bidang Luas

2010 191.679 199.256,84

2011 156.067 129.430,12

2012 130.669 130.676,99

2013 159.579 122.113,51

2014 133.698 -

Sumber : Direktorat Landreform, Badan Pertanahan Nasional (2014)

Terkait dengan pelaksanaan pilot project reforma agraria yang dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Bangka Belitung, teridentifikasi jumlah tanah dan sebaran tanah yang telah diredistribusi pada masing-masing provinsi dengan data sebagaimana berikut : • Provinsi Jawa Tengah

Pada Tahun 2013 telah dilakukan redistribusi 1.500 bidang tanah kepada 1.320 KK dengan luas keseluruhan 198,785 Ha, sehingga kurang lebih 1 KK menerima 0,15 Ha atau 1.500 m². Sedangkan pada Tahun 2014 telah dilakukan redistribusi 5.800 bidang tanah kepada 4.838 KK dengan luas keseluruhan 665,144 Ha, sehingga kurang lebih 1 KK menerima 0,13 Ha atau 1.300 m².

• Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Pada Tahun 2013 telah dilakukan redistribusi 1.500 bidang tanah kepada 1.218 KK dengan luas keseluruhan 381,34 Ha, sehingga kurang lebih 1 KK menerima 0,28 Ha atau sekitar 2.800 m². Sedangkan pada Tahun 2014 telah dilakukan redistribusi 1.100 bidang tanah kepada 970 KK dengan luas keseluruhan 1.075,763 Ha, sehingga kurang lebih 1 KK menerima 1,10 Ha atau sekitar 11.000 m².

Tabel 4. 6

Data Tanah yang Telah Diredistribusi di Provinsi Jawa Tengah

No Kabupaten/Kota 2013 2014 Jumlah (Bidang) Penerima (KK) Luas (Ha) Jumlah (Bidang) Penerim a (KK) Luas (Ha) 1 Semarang 218 200 19,35 380 320 33,40 2 Magelang 200 161 14,15 350 229 31,26

(36)

29 No Kabupaten/Kota 2013 2014 Jumlah (Bidang) Penerima (KK) Luas (Ha) Jumlah (Bidang) Penerim a (KK) Luas (Ha) 3 Purbalingga 150 150 25,47 200 185 29,57 4 Temanggung 100 84 21,37 100 92 20,96 5 Banjarnegara 100 81 19,41 - - - 6 Sragen 132 131 16,35 - - - 7 Boyolali 100 90 9,09 240 205 21,25 8 Pekalongan 300 260 42,01 750 607 84,68 9 Brebes 100 77 15,50 150 105 19,22 10 Tegal 100 86 16,04 - - - 11 Grobogan - - - 104 98 11,72 12 Rembang - - - 25 23 7,70 13 Purworejo - - - 100 90 11,19 14 Kebumen - - - 100 94 8,30 15 Cilacap - - - 160 157 30,88 16 Batang - - - 141 120 14,08 17 Pemalang - - - 100 188 16,60 Total 1500 1320 198,785 5800 4838 665,144

Sumber : Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah (2014) Tabel 4. 7

Data Tanah yang Telah Diredistribusi di Provinsi Bangka Belitung

No Kabupaten/Kota 2013 2014 Jumlah (Bidang) Penerima (KK) Luas (Ha) Jumlah (Bidang) Penerima (KK) Luas (Ha) 1 Belitung - - - 1.100 970 1075,763 2 Bangka Selatan 1.500 1.218 381,34 - - -

Sumber : Kanwil BPN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

(iii) Tanah yang telah disertipikasi melalui kegiatan sertipikasi lintas K/L

Selain itu, dilakukan juga identifikasi terhadap data sebaran tanah yang telah disertipikasi pada tahun 2013 pada lokasi pelaksanaan pilot project reforma agraria di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Bangka Belitung. Data sebaran tanah yang telah disertipikasi melalui sertipikat lintas sektor diperlukan untuk mengetahui lokasi pelaksanaan program tersebut sehingga data tersebut dapat menjadi basis data K/L untuk melaksanakan program pemberdayaan. Berdasarkan hasil identifikasi pada Tahun 2012 dan 2013, Provinsi

(37)

30 Jawa Tengah dan Provinsi Bangka Belitung melaksanakan sertipikasi melalui sertipikasi lintas K/L dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 4. 8

Data Capaian Sertipikasi Lintas K/L di Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung Tahun 2012-2013 No Sertipikasi Lintas K/L Jawa Tengah (Bidang) Bangka Belitung (Bidang) 2012 2013 2012 2013

1 Kementerian Kelautan dan Perikanan

2.200 1.500 450 500

2 Kementerian Pertanian 2.400 2.000 532 -

3 Kementerian Perumahan Rakyat 1.150 1.150 300 - 4 Kementerian Koperasi dan UKM 2.200 2.200 597 450 5 Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi

- - 1.000 -

Sumber : Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah dan Kanwil BPN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

(iv) Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah

Identifikasi kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah diperlukan untuk mendukung pelaksanaan redistribusi tanah dan legalisasi aset (asset reform), sehingga masyarakat penerima tanah dapat mengolah tanah tersebut dengan optimal. Identifikasi kegiatan pemberdayaan masyarakat pada lokasi pilot project di Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung dilakukan oleh masing-masing Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut diperoleh data pemberdayaan masyarakat sebagai berikut :

o Provinsi Jawa Tengah :

- Dinas Pertanian (realisasi Tahun 2013 dan 2014)

1. Optimalisasi lahan (paket saprodi pupuk, benih, pestisida) (Tahun 2013) 2. Optimalisasi lahan (paket saprodi pupuk, benih, pestisida) (Tahun 2014) - Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (rencana Tahun 2015)

1. Pengembangan alat dan mesin peternakan (Tahun 2015) 2. Pengembangan kawasan sapi potong (Tahun 2015) 3. Pengembangan kawasan sapi perah (Tahun 2015) 4. Pengembangan kawasan kambing (Tahun 2015) 5. Pengembangan kawasan domba (Tahun 2015) 6. Pengembangan kawasan kelinci (Tahun 2015)

(38)

31 7. Pengembangan kawasan ayam buras (Tahun 2015)

8. Pengembangan kawasan itik (Tahun 2015)

9. Pengembangan kawasan perbibitan sapi potong betina (Tahun 2015) 10. Pengembangan kawasan perbibitan ternak sapi perah (Tahun 2015) 11. Pengembangan kawasan perbibitan ternak kambing/domba (Tahun 2015) 12. Pengembangan kawasan perbibitan ternak ayam (Tahun 2015)

13. Pengembangan kawasan perbibitan ternak itik (Tahun 2015) - Dinas Kehutanan (realisasi Tahun 2013 dan 2014)

1. Pengembangan pengelolaan hutan bersama rakyat (Tahun 2013)

2. Pengembangan usaha hutan rakyat dan budidaya aneka usaha kehutanan (Tahun 2013)

3. Pengadaan bibit tanaman kehutanan (Tahun 2013 dan 2014)

4. Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau (Tahun 2013 dan 2014)

o Provinsi Bangka Belitung :

- Bappeda Provinsi Bangka Belitung (realisasi Tahun 2014)

1. Optimalisasi perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan hasil (Tahun 2014)

2. Pengadaan sarana dan prasarana pertanian (Tahun 2014) 3. Usaha mikro kecil menengah (Tahun 2014)

(v) Pelaksanaan pilot project reforma agraria di Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung

Pilot Project Reforma Agraria di Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung dilakukan dengan menggunakan konsep Refroma Agraria ideal yang terdiri dari penyediaan aset (asset) berupa tanah dan penyediaan akses (access) berupa program pendamping. Untuk melaksanakan kembali reforma agraria secara ideal maka perlu dilakukan suatu uji coba pelaksanaan yang dilakukan secara perlahan dengan beberapa tahapan pelaksanaan. Pada tahap awal, pedoman reforma agraria akan berorientasi pada pelaksanaan koordinasi lokasi. Pilot project reforma agraria : koordinasi lokasi menggunakan 2 skema pelaksanaan yaitu: (i) skema 1-akses mengikuti aset; dan (ii) skema 2-aset mengikuti akses. Pada pelaksanaan koordinasi lokasi Bappeda Provinsi memiliki peranan sebagai koordinator pelaksanaan pemberdayaan masyarakat (access reform) dan Kanwil BPN Provinsi memiliki peranan sebagai koordinator pelaksanaan redistribusi tanah dan legalisasi aset. Pelaksanaan pilot project reforma agraria : koordinasi lokasi diawali dengan identifikasi data sebaran pelaksanaan asset reform (pemberian aset tanah) dan access reform (pemberian program pemberdayaan). Pada tahapan tersebut Bappeda dan BPN pada masing-masing provinsi telah menghimpun data sebaran lokasi pelaksanaan pemberian aset dan akses sesuai

(39)

32 dengan format yang dibutuhkan (data by name by address). Selanjutnya data by name by address tersebut diolah ke dalam tabel skema 1 dan skema 2, namun baik Kanwil BPN Provinsi dan Bappeda Provinsi belum dapat melaksanakan pengolahan data menjadi tabel koordinasi skema 1 dan skema 2. Menindaklanjuti hasil pilot project reforma agraria yang terkendala oleh pengolahan data sehingga menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaan koordinasi lokasi tersebut maka dibutuhkan unit konsultan pada masing-masing provinsi untuk melakukan tahapan-tahapan pelaksanaan reforma agraria terutama pada pengolahan data.

(vi) Draft pedoman pelaksanaan reforma agraria : koordinasi lokasi

Pedoman pelaksaan reforma agraria merupakan output dari pelaksanaan pilot project dalam rangka pelaksanaan reforma agraria ideal diseluruh provinsi di Indonesia. Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan bagi berbagai pihak untuk pelaksanaan reforma agraria terkait koordinasi lokasi yang meliputi skema pelaksanaan, kelembagaan, dan instrumen koordinasi. Sedangkan tujuan pedoman ini untuk memberikan arahan bagi semua pihak terkait untuk dapat melaksanakan peran masing-masing agar pelaksanaan reforma agraria : koordinasi lokasi dapat berjalan dengan baik. Draft pedoman pelaksanaan reforma agraria telah disusun dengan outline sebagai berikut :

Gambar 4. 13

Outline Draf Pedoman Pelaksanaan Reforma Agraria

Sumber: Hasil Pengolahan Bappenas, 2014.

Pelaksaan reforma agraria pada tahun anggaran berikutnya atau TA 2015 akan difokuskan pada pelaksanaan pilot project reforma agraria secara serentak yang meliputi

(40)

33 koordinasi lokasi, pengembangan tekhnologi pertanian, interkoneksi UKM dengan industri, dan pengembangan jasa keuangan mikro. Hasil pelaksanaan pilot project reforma agraria tersebut selanjutkan akan dirangkum untuk penyusunan pedoman pelaksanaan pilot project reforma agraria sehingga dapat dilaksanakan secara menyeluruh di Indonesia.

4.1.3 Kebijakan Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan pada Pengadilan Negeri

Kasus dan sengketa terkait dengan bidang pertanahan di Indonesia sejauh ini dapat diselesaikan melalui 3 jalur pengadilan berbeda, diantaranya melalui Pengadilan Umum, Pengadilan Tata Usaha dan Pengadilan Agama. Keseluruhan pengadilan tersebut secara teknis dapat melakukan acara peradilan terhadap kasus dan sengketa pertanahan yang sama namun diputuskan dengan keputusan yang berbeda. Hal ini menyebabkan proses peradilan berjalan lebih panjang dan tidak memberikan kepastian hukum dalam penyelesaian kasus pertanahan.

Mengatasi permasalahan tersebut maka perlu dilakukan upaya mendasar di sektor kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan pada acara peradilan dengan memperhatikan praktek yang dilakukan selama ini. Secara logis Indonesia seharusnya memiliki pengadilan pertanahanan dengan beberapa kriteria teknis seperti (i) Pelibatan hakim khusus yang menguasai permasalahan teknis pertanahan, (ii) Pembatasan jenis pengadilan bagi penyelesaian kasus pertanahan, serta (iii) Pembatasan banding yang boleh dilakukan.

Pada tahun 2013 telah direncanakan pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan sebagai bentuk kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan terkait sengketa dan kasus pertanahan. Namun berdasarkan diskusi dan koordinasi yang dilakukan, pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan sulit untuk dilakukan, untuk itu dicapai kesepakatan bersama dengan Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Direktorat Analisa Peraturan Perundangan Kementerian PPN/Bappenas bahwa untuk penyelesaian kasus dan sengketa pertanahan dapat diselesaikan melalui pembentukan Kamar Khusus Pertanahan.

A. Rencana

Berdasarkan uraian terkait dengan Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan di Pengadilan Negeri di atas, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria telah merancancang beberapa target kegiatan sebagai berikut:

(i) Terbentuknya peraturan perundangan yang dibutuhkan dalam pembentukan kamar khusus pertanahan;

(ii) Tersusunnya roadmap pembentukan kamar khusus pertanahan pada pengadilan negeri. B. Capaian Tahun 2014

Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:

(41)

34 (i) Koordinasi Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan Pada Pengadilan Negeri

Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan di Pengadilan Negeri menjadi salah satu arah kebijakan dalam Draft Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanahan. Dalam draft rancangan tersebut juga ditargetkan penyusunan pembentukan peraturan perundangan dalam rangka Pembentukan Kamar Khusus Pertanahan di Pengadilan Negeri, sehingga perlu dilakukan identifikasi. Untuk menyepakati hal tersebut dilakukan rapat dengan stakeholder terkait untuk menyepakati kebutuhan tersebut. Namun muncul sebuah pemikiran baru yang disepakati dalam forum bahwa pembentukan kamar khusus pertanahan tidak perlu dilakukan, hal ini dikarenakan 70% kasus perdata yang ada di Indonesia merupakan kasus pertanahan. Sehingga apabila dibentuk kelembagaan baru untuk menangani hal tersebut yang harus diperkuat dengan penguatan SDM akan membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk meningkatkan pencapaian penyelesaian kasus pertanahan yang terjadi maka dilakukan optimalisasi pada program penyelesaian kasus dan sengketa pertanahan BPN. Selain itu akan dilakukan optimalisasi terhadap pelatihan dan pembekalan materi pertanahan terhadap Hakim dan Jaksa untuk peningkatan penyelesaian sengketa dan kasus pertanahan.

Dengan adanya kesepakatan bahwa tidak perlu dilakukan pembentukan kamar khusus pertanahan, dan dilakukannya optimalisasi program dan kegiatan BPN yang mendukung penyelesaian kasus dan sengketa pertanahan, maka segala kegiatan yang berhubungan dengan pembentukan kamar khusus pertanahan ditunda sampai RUU Pertanahan selesai. Namun secara umum, telah dilakukan identifikasi tahapan dalam pembentukan kamar khusus pertanahan sebagai cikal bakal roadmap dalam rangka pembentukan kamar khusus tersebut.

4.1.4 Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan

Badan Pertanahan Nasional (BPN) secara umum memiliki tugas dan fungsi pokok sebagai instansi pemerintah yang melakukan penataan dan pengelolaan bidang pertanahan di seluruh wilayah Republik Indonesia sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Wilayah kewenangan BPN meliputi wilayah nasional daratan bukan hutan seluas kurang lebih 65.051.051 Ha (BIG, Tahun 2013). Sebagai instansi vertikal, BPN memiliki Kantor Wilayah di 34 Provinsi dan Kantor Pertanahan di 539 Kabupaten/Kota, sehingga dalam melaksanakan seluruh program dan kebijakan pengelolaan pertanahan diperlukan dukungan sumber daya manusia bidang pertanahan yang memadai baik dalam kualitas maupun kuantitas.

(42)

35 Pada Tahun 2014 teridentifikasi BPN RI memiliki jumlah SDM (pegawai negeri sipil) sebanyak 19.493 orang, dengan rincian 3.013 orang merupakan juru ukur atau 15% dari total SDM BPN dan 16.480 orang merupakan non juru ukur atau 85% dari total SDM BPN. Selain itu teridentifikasi pula pada Tahun 2014 jumlah penerimaan SDM BPN RI sebanyak 513 orang yang terdiri atas 200 juru ukur dan 313 non juru ukur, dan jumlah pensiun sebanyak 930 orang yang terdiri dari 7 juru ukur dan 860 non juru ukur. Ketersediaan juru ukur sangan penting karena merupakan ujung tombak pelaksanaan pengukuran bidang-bidang tanah di lapangan. Dengan perbandingan juru ukur dan non juru ukur sebesar 15 : 85, terlihat bahwa kebutuhan kekuatan SDM BPN masih jauh dari memadai untuk dapat memberikan pelayanan pertanahan nasional. Selain itu terdapat permasalahan pola penyebaran SDM bidang pertanahan yang tidak merata, tercatat sebagian besar pegawai BPN terkonsentrasi pada wilayah Jawa-Bali serta kota-kota besar lainnya.

A. Rencana

Terkait dengan kebijakan sumber daya manusia bidang pertanahan, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional pada Tahun 2014 telah menyusun kegiatan perumusan kebijakan sumber daya manusia bidang pertanahan. Adapun target yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

(i) Kesepakatan kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan;

(ii) Kesepakatan mekanisme pemenuhan kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan. B. Capaian Tahun 2014

Pencapaian kegiatan koordinasi selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut :

(i) Kesepakatan kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan

Kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan dihitung dengan mempertimbangkan kondisi proporsi eksisting juru ukur dan non juru ukur, rata-rata penerimaan jumlah pegawai dan rata-rata jumlah pegawai purnajabatan. Kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan disampaikan melalui surat No. 3248/3.2-1003/IX/2014 perihal Usulan Kebijakan Proporsi SDM Juru Ukur BPN yang ditandatangani oleh Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian, Badan Pertanahan Nasional. Dalam kurun waktu 10 tahun, BPN memperkirakan bahwa prosentase SDM bidang pertanahan yaitu juru ukur sebesar 40% dan non juru ukur sebesar 60%. Jumlah SDM juru ukur hingga 10 Tahun mendatang diharapkan mencapai 8.013 orang dengan jumlah rata-rata penerimaan pegawai sebesar 570 orang setiap tahunnya dan jumlah rata-rata pegawai purnabakti sebesar 70 orang. Sedangkan jumlah SDM non juru ukur hingga 10 tahun kedepan diperkirakan mencapai 12.180 orang dengan jumlah rata-rata jumlah penerimaan pegawai sebesar 430 setiap tahunnya dan rata-rata-rata-rata pegawai purnabakti sebesar 860 orang. Berikut tabel yang menggambarkan rincian proporsi SDM bidang Pertanahan.

(43)

36 Tabel 4. 9

Proporsi Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan

Angka Waktu (Tahun) Penerimaan (Orang) Jumlah Penerimaan (Orang) Pensiunan (Orang) Jumlah Pensiun (Orang) Jumlah SDM Persentase (%) Jumlah SDM Juru Ukur Non Juru Ukur Juru Ukur Non Juru Ukur Juru Ukur Non Juru Ukur Juru Ukur Non Juru Ukur Eksisting (2014) 200 313 513 70 860 930 3.013 16.480 15 85 1 700 300 1.000 70 860 930 3.643 15.920 19 81 2 700 300 1.000 70 860 930 4.273 15.360 22 78 3 600 400 1.000 70 860 930 4.803 14.900 24 76 4 600 400 1.000 70 860 930 5.333 14.440 27 73 5 600 400 1.000 70 860 930 5.863 13.980 30 70 6 500 500 1.000 70 860 930 6.293 13.620 32 68 7 500 500 1.000 70 860 930 6.723 13.260 34 66 8 500 500 1.000 70 860 930 7.153 12.900 36 64 9 500 500 1.000 70 860 930 7.583 12.540 38 62 10 500 500 1.000 70 860 930 8.013 12.180 40 60

Sumber : Biro Organisasi dan Kepegawaian, Badan Pertanahan Nasional (2014) (ii) Kesepakatan mekanisme pemenuhan kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan

Penyepakatan mekanisme pemenuhan kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan akan dilaksanakan dengan melibatkan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Penyepakatan mekanisme pemenuhan kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan akan dilaksanakan pada Tahun Anggaran (TA) 2015 dengan mempertimbangkan pembentukan struktur organisasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

4.2 KOORDINASI LINTAS SEKTOR DAN DAERAH

Kegiatan koordinasi lintas sektor dan daerah merupakan salah satu upaya yang dilalakukan untuk mengatasi pemasalahan pertanahan aktual yang muncul dan dianggap strategis untuk dapat diselesaikan dengan cepat. Pada tahun 2014 terdapat 2 (dua) kegiatan koordinasi lintas sektor dan daerah yang dianggap penting untuk dapat diselesaikan, yaitu terdiri dari kegiatan Sertipikasi Tanah Transmigrasi dan kegiatan Program Agraria Daerah Provinsi Kalimantan Timur.

(44)

37 4.2.1 Sertifikasi Tanah Transmigrasi

Kegiatan sertipikasi tanah transmigrasi merupakan bagian dari pelaksanaan sertipikasi lintas K/L. Selama ini pelaksanaan sertipikasi lintas K/L untuk kegiatan yang berfokus pada sertipikasi di tanah transmigrasi belum dapat berjalan secara optimal. Tidak optimalnya pelaksanaan sertipikasi tanah transmigrasi dikarenakan minimnya data dan kelengkapan persyaratan pada objek yang akan di sertipikatkan

Data dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2013) menyebutkan bahwa beban target yang harus diselesaikan terkait dengan sertifikasi tanah transmigrasi terdiri atas: (i) penerbitan sertipikat Hak Pengelolaan (HPL) seluas 311.291 hektar, dan (ii) jumlah sertipikat hak milik (HM) yang harus diterbitkan sebanyak 342.932 bidang. Sebelum diterbitkan sertipikat hak milik atas tanah, BPN harus terlebih dahulu menerbitkan sertipikat HPL. Dari jumlah tersebut, pada tahun 2013 pelaksanaan sertipikasi tanah transmigrasi ditargetkan untuk sertipikat HPL seluas 30.337 hektar dan sertipikat HM 14.901 bidang. Sedangkan tahun 2014 untuk sertipikat HPL ditargetkan seluas 87.016 hektar dan sertipikat HM 73.588 bidang. Dengan demikian jumlah HPL yang perlu diterbitkan sertifikatnya berjumlah sekitar 193.938 hektar. Sedangkan jumlah bidang tanah transmigrasi yang perlu diterbitkan sertifikan Hak Milik adalah 254.443 bidang. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan capaian kegiatan sertipikasi tanah transmigrasi dengan melibatkan K/L terkait.Untuk tahun 2013 ini koordinasi lintas K/L difokuskan kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Hal ini karena teridentifikasi bahwa jumlah target sertipikasi tanah transmigrasi merupakan yang paling besar dikelompok kegiatan sertpikasi tanah lintas K/L. Namun demikian persentase capaian berbanding target tercatat paling rendah.

A. Rencana

Berdasarkan uraian di atas terkait sertipikasi tanah transmigrasi, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria pada tahun anggaran 2014 telah merancang target kegiatan sebagai berikut:

(i) Tercapainya kesepakatan target sertipikasi transmigrasi;

(ii) Teridentifikasinya bentuk diskresi dalam pelaksanaan sertipikasi tanah transmigrasi pada tanah yang diproses sebelum tahun 1998;

(iii) Tersusunnya roadmap pembentukan diskresi sertipikasi tanah transmigrasi. B. Capaian Tahun 2014

Pada pelaksanaan kegiatan sertipikasi tanah transmigrasi tahun 2014 mengalami banyak kendala dan permasalahan. Tahun 2014 telah dilakukan koordinasi bersama dengan Direktorat Penyediaan Tanah Transmigrasi, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; serta Badan Pertanahan Nasional; untuk mencapai kesepakatan target sertipikasi tanah transmigrasi, berdasarkan koordinasi tersebut serta kesepakatan dalam Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) Badan Pertanahan Nasional TA. 2015 disepakati pelaksanaan sertipikasi pada tahun 2015

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan karya ilmiah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta sesuai dengan aturan penulisan, dapat menjadi suatu kesulitan bagi penulis (mahasiswa). Beberapa

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembara Negara Nomor

Secara filosofis, pengaturan kepariwisataan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dikaitkan dengan isi Pasal 18 b Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, salah satunya nilai- nilai yang

- Setelah anda meginputkan Kode Tiket, misal MUT2212 selanjutnya anda klik proses, maka Harga Tiket, Jenis Kereta, Jam Berangkat secara otomatis langsung terisi,

Pada setiap pencarian satu dokumen teratas yang didapatkan, dapat dipastikan bahwa dokumen tersebut merupakan dokumen yang relevan dengan kueri, sedangkan untuk

(5) Penerapan jarwo transplanter akan optimal jika sistem pembibitan benih padi dilakukan dengan cara yang sesuai tuntutan teknis pengoperasian alsin tersebut

Dari hasil penelitiannya, diketahui bahwa di dalam sel darah merah (eritrosit) terdapat suatu substansi asing yaitu antigen yang akan bereaksi dengan substansi pada plasma

II -20 Apabila dilihat dari perbandingan jumlah penduduk antar kecamatan, jumlah penduduk Kecamatan Nanga Pinoh lebih besar dibandingakan dengan kecamatan-kecamatan lain