• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Turnover Intention

Turnover intention merupakan salah satu bentuk perilaku menarik diri (withdrawal) dalam dunia kerja, akan tetapi sekaligus juga merupakan hak bagi setiap individu untuk menentukan pilihannya, apakah tetap bekerja atau keluar dari perusahaan tersebut (Sidharta dan Margaretha, 2011). Menurut Mobley (1986; dalam Sari, 2014), turnover intention diartikan sebagai kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya secara sukarela atau pindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain menurut pilihannya sendiri. Menurut Sianipar dan Haryanti (2014), intensi turnover adalah niat seseorang untuk berhenti dari perusahaan karena suatu alasan baik secara sukarela (berasal dari dalam diri sendiri) maupun secara tidak sukarela (pemutusan hubungan kerja dari perusahaan).

Keinginan untuk pindah merupakan sinyal awal terjadinya turnover karyawan di dalam organisasi (Nahusona dkk., 2004). Harnoto (2002; dalam Sianipar dan Hryanti, 2014) menjelaskan tanda-tanda karyawan melakukan intensi turnover adalah:

(2)

13 1) Absensi yang meningkat

Pada fase ini, ketidakhadiran karyawan dalam bekerja akan meningkat. Tanggung jawab karyawan juga akan sangat berkurang dibandingkan dengan sebelumnya.

2) Mulai malas bekerja

Karyawan akan mulai malas bekerja karena ia merasa bahwa bekerja di tempat lain lebih dapat memenui keinginan karyawan tersebut.

3) Peningkatan pelanggaran terhadap tata tertib kerja

Karyawan dapat melakukan pelanggaran di tempat kerja misalnya dengan meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya.

4) Meningkatnya protes terhadap atasan

Karyawan mulai melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan pada atasan, baik mengenai balas jasa yang diberikan ataupun peraturan dari perusahaan yang tidak sesuai dengan keinginan karyawan. 5) Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya

Pada tanda ini, perilaku yang muncul biasanya karyawan akan memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi terhadap tugas yang diberikan padanya. Tanggung jawab yang ditunjukan meningkat jauh dan sangat berbeda dari biasanya. Hal ini sebagai tanda karyawan akan melakukan turnover.

(3)

2.1.2 Reasoned Action Theory

Theory of reasoned action dikembangkan oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein (1980), teori ini merupakan model yang bertujuan untuk memprediksi tujuan/motif/intensi dari sebuah perilaku dan tingkah laku, didalamnya termasuk dari motif awal terjadinya perilaku hingga kenapa seseorang melakukan tingkah laku tersebut (Oktaviani dan Nurhayati, 2014). Gibbon et al (1998; dalam Oktaviani dan Nurhayati, 2014) menguatkan TRA dengan menyebutkan, proses berpikir yang bersifat rasional berarti bahwa dalam setiap perilaku bersifat sukarela sehingga akan terjadi proses perencanaan pengambilan keputusan yang secara kongkret diwujudkan untuk melaksanakan suatu perilaku. Theory of reasoned action mendasarkan pada asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:

1) Manusia adalah makhluk yang rasional dan akan melakukan pilihan/keputusan yang dapat diprediksi dalam ketentuan/kondisi tertentu yang spesifik.

2) “Intention of act”, atau motif dari sebuah tindakan adalah faktor paling determinan dalam penentuan sebuah perilaku/tingkah laku/tindakan.

3) Manusia tidak selalu bertindak seperti apa yang ia harapkan/inginkan.

Teori tindakan beralasan mengemukakan bahwa sebab terdekat (proximal cause) timbulnya suatu perilaku bukan sikap, melainkan niat (intention) untuk melaksanakan perilaku itu. Niat merupakan pengambilan keputusan seseorang untuk melaksanakan suatu perilaku (Oktaviani dan Nurhayati, 2014).

(4)

15 2.1.3 Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan suatu sikap dari individu atau karyawan yang menggambarkan sikap positif atau negatif dari pencapaian atau achievement karyawan dalam pekerjaannya (Waspodo dan Minadaniati 2012). Kepuasan kerja merupakan tingkat kepuasan yang dirasakan karyawan terkait dengan pekerjaan karyawan (Puangyoykeaw dan Nishide, 2015). Menurut Giauque et al. (2014), kepuasan kerja merupakan respon individu terhadap pengalamannya dalam bekerja.

Penelitian yang luas terhadap kepuasan kerja menunjukkan bahwa faktor-faktor pribadi seperti kebutuhan dan aspirasi individu menentukan kepuasan kerja ini, bersama dengan kelompok dan faktor organisasi seperti hubungan antara rekan kerja dan supervisor dan kondisi kerja, kebijakan kerja, dan kompensasi (Griffin dan Moorhead, 2014:74). Kepuasan atau ketidakpuasan karyawan merupakan perbandingan antara apa yang diterima karyawan dari perusahaan dibandingkan dengan apa yang diharapkan, diinginkan atau dipikirkan oleh seseorang (Teguh dan Rosidah, 2009:236). Luthans (2006:243) mengemukakan tiga dimensi penting dalam kepuasan kerja yaitu:

1) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi kerja, dengan demikian kepuasan kerja dapat dilihat dan di duga.

2) kepuasan kerja sering kali ditentukan oleh seberapa baik hasil yang dicapai, apakah sesuai harapan atau melebihi harapan.

3) kepuasan kerja mencerminkan beberapa perilaku yang saling berhubungan (Luthans, 2006:243).

(5)

Luthans (2006:243), mengemukakan beberapa dimensi terjadinya suatu kepuasan kerja, dan merupakan pengembangan dari ketiga dimensi sebelumnya, yaitu:

1) Pekerjaan itu sendiri

Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan, dimana pekerjaan tersebut memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab.

2) Gaji

Gaji dalam kepuasan kerja merupakan sejumlah upah atau uang yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi.

3) Kesempatan promosi

Kesempatan promosi adalah kesempatan untuk maju dalam organisasi dan sepertinya memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja.

4) Pengawasan (Supervisi)

Pengawasan merupakan kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku.

5) Rekan kerja

Pada umumnya, rekan kerja yang pandai secara teknis merupakan sumber kepuasan kerja dan merupakan dukungan secara sosial bagi karyawan (Luthans, 2006:243).

(6)

17

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Robbins (1996:181), faktor-faktor yang mendorong terjadinya kepuasan kerja adalah:

1) Kerja yang secara mental menantang: karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan kesempatan mereka untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan pekerjaan mereka (Robbins, 1996:181).

2) Ganjaran yang pantas: upah atau gaji memiliki pengaruh sangat penting dalam kepuasan karyawan yang nantinya akan mempengaruhi keputusan karyawan untuk tinggal atau keluar dari perusahaan (Manullang dan Manullang, 2009:177). Karyawan mengharapkan sistem upah dan kebijakan promosi yang adil dan sesuai dengan harapan mereka (Robbins, 1996:181).

3) Kondisi kerja yang mendukung: karyawan peduli akan lingkungan kerja yang baik untuk kenyamanan pribadi dan mempermudah untuk mengerjakan tugas dengan baik (Robbins, 1996:181). Masing-masing manajer dapat membuat berbagai macam hal agar keadaan masing-masing bawahaanya menjadi lebih sesuai sehingga menciptakan kondisi kerja yang baik (Manullang dan Manullang, 2009:183).

4) Rekan sekerja yang mendukung: bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan interaksi sosial, oleh karena itu memiliki rekan kerja

(7)

yang ramah akan sangat mendukung tercapainya kepuasan kerja (Robbins, 1996:182)

2.1.5 Konsekuensi Ketidakpuasan Kerja

Menurut Robbins, (1996:184) mengemukakan beberapa respon yang dilakukan karyawan yang merasa tidak puas terhadap pekerjaannya, diantaranya adalah:

1) Exit (keluar): perilaku karyawan yang mengarah untuk meninggalkan organisasi dengan tujuan mencari posisi baru maupun meminta berhenti. 2) Voice (suara): dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi

dengan memberikan saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.

3) Loyalty (kesetiaan): pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi organisasi.

4) Neglect (pengabaian): secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang meningkat.

Menurut Aydogdu dan Asikgil (2011), konsekuensi ketidak puasan kerja diantaranya: absenteeism, turnover, produktivitas rendah, pensiun dini, komitmen organisasi rendah, kesehatan mental dan fisik, serta kepuasan hidup.

1) Absenteeism: absensi terjadi ketika seorang karyawan tidak masuk kerja. Beberapa ketidakhadiran memiliki penyebab yang wajar, seperti sakit,

(8)

19

tugas, atau kematian. Di lain waktu, karyawan dapat berpura-pura melaporkan penyebab tersebut, tetapi itu sebenarnya hanya alasan untuk tinggal di rumah (Griffin dan Moorhead, 2014:79). Menurut Robbins dan Judge (2008:37), absensi adalah ketidak hadiran karyawan di kantor tanpa izin.

2) Turnover: turnover terjadi ketika orang berhenti dari pekerjaan mereka, hal ini biasanya menimbulkan biaya-biaya dalam menggantikan pekerja yang telah berhenti, dan jika turnover melibatkan pekerja yang produktif, bahkan biaya yang dibutukan akan lebih mahal (Griffin dan Moorhead, 2014:80). Menurut Biron dan Boon (2013), bagi organisasi pergantian karyawan akan meningkatkan biaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Lee dan Liu (2007), kepuasan kerja berhubungan negatif dengan intensi karyawan untuk keluar dari perusahaan.

3) Produktivitas rendah: kebanyakan orang percaya bahwa karyawan yang puas akan lebih produktif, namun bukti yang ada menunjukkan bahwa hubungan antara kepuasan kerja dan produktivitas adalah salah satu yang sangat lemah (Aydogdu dan Asikgil, 2011).

4) Pensiun dini: perilaku karyawan yang cenderung kearah meninggalkan organisasi dengan tujuan untuk mencari posisi baru serta memilih untuk mundur dari organisasi (Robbins dan Judge, 2013:82).

5) Komitmen organisasi rendah: ketidakpuasan juga merupakan penyebab utama menurunnya komitmen organisasi. Komitmen menyiratkan

(9)

kesediaan untuk menempatkan usaha atas nama organisasi dan niat untuk tinggal dengan organisasi untuk waktu yang lama (Aydogdu dan Asikgil, 2011).

6) Kesehatan mental dan fisik: karyawan yang sangat puas cenderung memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik. karyawan yang memiliki kesehatan mental dan fisik yang baik akan dapat mempelajari tugas-tugas baru dengan lebih cepat dan dengan risiko kecelakaan kerja yang kecil (Aydogdu dan Asikgil, 2011).

7) Kepuasan hidup: masalah lainnya menyangkut kontribusi kepuasan kerja untuk hidup secara keseluruhan. Kepuasan hidup berarti bagaimana karyawan puas dengan kehidupan mereka (Aydogdu dan Asikgil, 2011).

2.1.6 Komitmen Organisasional

Komitmen organisasi merupakan sejauh mana karyawan berdedikasi untuk organisasi mereka dan bersedia bekerja atas namanya dan kemungkinan bahwa mereka akan mempertahankan keanggotaannya (Jex, 2002:133). Menurut Sianipar dan Haryanti (2014), komitmen organisasi adalah perasaan dan sikap karyawan terhadap organisasinya dan memiliki bentuk nyata berupa keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaanya dalam berorganisasi, serta dengan sepenuh hati menerima tujuan perusahaan dan memberikan kontribusi yang terbaik bagi kemajuan perusahaannya. Menurut Meyer dan Allen (1991), komitmen organisasi didefinisikan

(10)

21

sebagai pendekatan psikologis antara karyawan dan organisasi yang berimplikasi terhadap keputusan untuk bertahan atau keluar dari organisasi.

Pandangan alternatif disajikan oleh Meyer dan Allen (1993; dalam Aydogdu dan Asikgil, 2011), yang mendefinisikan tiga komponen komitmen organisasi yaitu:

1) Komitmen kontinuan (continuance commitment)

Komitmen ini berhubungan dengan besarnya keinginan seorang karyawan untuk melanjutkan pekerjaannya karena tidak memperoleh pekerjaan lain. Komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi (Darmawati dkk., 2009).

2) Komitmen afektif (affective commitment)

Hampir sama dengan komitmen kontinuan, komitmen afektif berhubungan dengan sikap seseorang untuk tetap menekuni pekerjaannya. Komitmen afektif menunjukkan kuatnya keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia memang setuju dengan organisasi itu dan memang berkeinginan melakukannya (Darmawati dkk., 2013). 3) Komitmen normatif (normative commitment)

Komitmen ini berhubungan dengan loyalitas karyawan yaitu perasaan untuk tinggal dalam organisasi karena adanya tekanan dari orang lain. Komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu, tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan (Darmawati dkk., 2009).

(11)

2.1.7 Konsekuensi Kurangnya Komitmen Organisasional

Penelitian menunjukkan bahwa tenaga kerja yang loyal dapat menjadi keuntungan kompetitif yang signifikan, kurangnya komitmen organisasi akan mempengaruhi perilaku karyawan seperti kinerja ditempat kerja, niat interdarwal, absensi, dan turnover (Aydogdu dan Asikgil, 2011). Luthans (2006:250), menjelaskan bahwa komitmen organisasi yang tinggi akan membawa hasil positif seperti kinerja tinggi, tingkat turnover yang rendah dan tingkat ketidakhadiran yang rendah.

1) Kinerja di tempat kerja: banyak aspek kinerja dapat dinilai misalnya kehadiran di tempat kerja, pelaksanaan tugas yang diberikan dan perilaku organisasi. Selain itu, kajian kinerja dapat diperoleh dari beberapa sumber (misalnya karyawan sendiri, supervisor mereka, langkah-langkah keluaran seperti penjualan atau angka produksi) (Aydogdu dan Asikgil, 2011). 2) Absensi: penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara

ketidakhadiran dan komitmen organisasi. Dengan kata lain, karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang lemah akan cenderung untuk absen (Aydogdu dan Asikgil, 2011).

3) Turnover: penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara turnover dan komitmen organisasi (Aydogdu dan Asikgil, 2011). Tiga dimensi dari komitmen organisasi memiliki hubungan yang negatif dengan turnover intention (Addae et al., 2008). Menurut Supriati (2013), karyawan yang berkomitmen terhadap organisasinya akan lebih bertahan

(12)

23

sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi.

2.1.8 Stres Kerja

Stres merupakan respon seseorang terhadap suatu hal yang ia hadapi baik dalam hal interaksi dengan orang lain maupun terhadap pekerjaan, lingkungan, dan kejadian yang menuntut perhatian yang dapat membawa dampak positif atau negatif terhadap seseorang (Anatan dan Ellitan, 2007:55). Menurut Rivai dan Sagala (2011:1008), stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Stres terjadi ketika seseorang menerima sebuah kondisi yang tidak diharapkan dari lingkungannya, sehingga menimbulkan reaksi-reaksi tertentu (Syahronica dkk., 2015). Menurut Waspodo dkk. (2013), stres kerja merupakan suatu gejala yang dapat mempengaruhi seseorang dalam beraktivitas dalam bekerja. Stres kerja merupakan respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi (Luthans, 2006:441). Mangkunegara (2000; dalam Sari, 2014) menyatakan bahwa stres kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan, stres kerja ini dapat menimbulkan emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan.

(13)

2.1.9 Faktor-Faktor Penyebab Stres

Menurut Handoko (1995:200), kondisi-kondisi yang menyebabkan stres disebut stressors, ada dua katagori penyebab stres, yang pertama adalah stres yang berasal dari dalam pekerjaan atau on the job, diantaranya adalah:

1) Beban kerja yang berlebihan 2) Tekanan atau desakan waktu 3) Kualitas supervisi yang jelek 4) Iklim politis yang tidak aman

5) Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai

6) Wewenang yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan tanggung jawab 7) Kemenduaan peran (role ambiguity)

8) Frustasi

9) Konflik antara pribadi dan antara kelompok

10) Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan 11) Berbagai bentuk perubahan ( Handoko, 1995:201).

Penyebab stres yang kedua adalah stres yang berasal dari luar pekerjaan atau off the job diantaranya adalah:

1) Kekuatiran finansial

2) Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak 3) Masalah-masalah fisik

4) Masalah-masalah perkawinan (missal, perceraian) 5) Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal

(14)

25

6) Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara (Handoko, 1995:201).

Sedangkan menurut Anatan dan Ellitan (2007:56), mengemukakan beberapa faktor penyebab stres diantaranya adalah:

1) Extra organizational stressor, yaitu penyebab stres dari luar organisasi meliputi perubahan sosial dan teknologi yang berakibatkan adanya perubahan gaya hidup masyarakat, perubahan ekonomi dan finansial juga mempengaruhi pola kerja seseorang,

2) Organizational stressor, penyebab stres dari dalam organisasi yang meliputi kondisi kebijakan dan strategi administrasi, struktur dan desain organisasi, proses organisasi, dan kondisi lingkungan kerja.

3) Group stressor, penyebab stres dalam organisasi yang timbul akibat kurangnya kesatuan dalam melaksanakan tugas dan kerja terutama pada level bawahan, kurangnya dukungan dari atasan, munculnya konflik antar personal, interpersonal, dan antar kelompok.

4) Individual stressor, stres yang berakibat dari dalam diri individu yang muncul akibat konflik dan ambiguitas peran, beban kerja yang terlalu berat, dan kurangnya pengawasan dari pihak perusahan.

Mangkunegara (2000; dalam Sari 2014), mengemukakan bahwa stres kerja diukur oleh beberapa hal, antara lain: beban kerja yang terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat,

(15)

otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, serta perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin.

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Kepuasan Kerja dan Turnover Intention

Dalam theory of reasoned action, kepuasan kerja disebut sebagai “intention of act”, atau motif dari sebuah tindakan. Bila seorang karyawan merasakan kepuasan kerja, ia akan merasa nyaman dalam bekerja serta tidak berusaha mencari alternatif pekerjaan lainnya, sebaliknya bila ia tidak merasakan kepuasan kerja maka karyawan akan berusaha untuk memikirkan alternatif pekerjaan lainnya (Oktaviani dan Nurhayati, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aydogdu dan Asikgil (2011), yang berjudul an empirical study of the relationship among job satisfaction, organizational commitment and turnover intention menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap keputusan karyawan untuk menentukan tinggal atau meninggalkan organisasi. Hal ini sesuai dangan temuan Yucel (2012), dalam penelitiannya yang berjudul examining the relationships among job satisfaction, organizational commitment, and turnover intention: an empirical study yang menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif pada turnover intention. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Leisanyane dan Khaola (2013) dalam penelitiannya yang berjudul the influence of organisational culture and job satisfaction on intentions to leave: the case of clay brick manufacturing company in lesotho yang menemukan bahwa terdapat korelasi negatif dan signifikan antara

(16)

27

kepuasan kerja dan turnover intention. Temuan yang sama juga dikemukakan oleh Rehman et al. (2012), bahwa komitmen organisasional berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Berdasarkan pada teori dan hasil penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya maka didapat hipotesis sebagai berikut:

H1: Kepuasan kerja berpengaruh negatf terhadap turnover intention

2.2.2 Komitmen Organisasional dan Turnover Intention

Dalam theory of reasoned action dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan akan mengambil keputusan yang terbaik dalam hidupnya. Dari hal tersebut, ternyata dapat dihubungkan dengan keinginan karyawan dalam melaksanakan pekerjaanya. Dari pekerjaan yang dilakukan karyawan maka akan dapat dinilai komitmen karyawan dalam bekerja. Apabila karyawan mampu menjaga komitmen yang dimiliki maka akan dapat mengurungkan niat karyawan untuk berpindah tempat kerja. Hal ini dapat menurunkan tingkat turnover intention karyawan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Sijabat (2011) dan Ahmed et al. (2013), yang menemukan bahwa komitmen organisasi memiliki hubungan yang negatif signifikan terhadap turnover intention.Temuan yang serupa juga di kemukakan oleh Jehanzeb et al. (2013), dan Joo (2010), yang menemukan hubungan yang negatif antara komitmen organisasi dan turnover intention. Hasil tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Sianipar dan Haryanti (2014), yang menemukan hubungan yang negatif antara komitmen organisasional dan turnover intention. Hasil yang serupa juga dikemukakan oleh Handaru dan Muna

(17)

(2012), dimana komitmen organisasi memiliki hubungan yang negatif terhadap turnover intention. Berdasarkan pada teori dan beberapa penelitian tersebut maka didapat hipotesis sebagai berikut:

H2: Komitmen organisasional berpengaruh negatif terhadap turnover intention.

2.2.3 Stres Kerja dan Turnover Intention

Dalam theory of reasoned action dijelaskan bahwa manusia tidak selalu bertindak seperti apa yang ia harapkan/inginkan. Dari hal tersebut, ternyata dapat dihubungkan dengan respon karyawan terhadap pekerjaanya. Dari respon tersebut maka akan terlihat apakah karyawan merasa nyaman dalam bekerja ataukah karyawan mengalami stres kerja. Apabila karyawan mengalami stres kerja maka akan dapat meningkatkan niat karyawan untuk berpindah tempat kerja. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Waspodo dkk. (2013), dalam penelitinnya yang berjudul pengaruh kepuasan kerja dan stres kerja terhadap turnover intention pada karyawan PT. Unitex di bogor, menemukan bahwa stres kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap turnover intention, ini artinya jika stres kerja meningkat maka turnover intention akan meningkat juga. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Basri (2012), yang menemukan bahwa stres kerja berpengaruh positif terhadap turnover intention. Temuan yang serupa juga dikemukakan oleh Johartono dan Widuri (2013), yang menemukan bahwa stres kerja

(18)

29

berpengaruh signifikan positif terhadap turnover intention. Dari beberapa penelitian tersebut maka didapat hipotesis sebagai berikut:

H3: Stres kerja berpengaruh positif terhadap turnover intention.

2.2.4 Kerangka Berpikir

Berdasarkan hipotesis di atas penelitian ini dapat digambarkan ke dalam kerangka konseptual seperti dibawah ini:

Gambar 2.1 Model Kerangka Konseptual Penelitian

Turnover Intention (Y) Stres Kerja (X3) Komitmen Organisasional (X2) Kepuasan kerja (X1) H1 H2 H3

Gambar

Gambar 2.1 Model Kerangka Konseptual Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Ledakan penduduk juga terjadi karena rumah tangga tidak direncanakan secara baik dan tidak melihat faktor sebab akibat, banyak rumah tangga yang berdiri tapi tidak

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

dan M otivasi Belajar Siswa SM K Pada Topik Limbah Di Lingkungan Kerja Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.