• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Hutan Gaharu (Aquilaria malaccensis) pohon Aquilaria yang sangat berharga terutama karena wangi, dapat digunakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Hutan Gaharu (Aquilaria malaccensis) pohon Aquilaria yang sangat berharga terutama karena wangi, dapat digunakan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Hutan Gaharu (Aquilaria malaccensis)

Gaharu adalah kayu wangi yang sudah diresapi resin yang dijumpai pada pohon Aquilaria yang sangat berharga terutama karena wangi, dapat digunakan untuk pengasapan, dan untuk obat. Di Indonesia, persediaan pohon ini diperkirakan mencapai 1,87 pohon per ha di Sumatera, 3,37 pohon per hektar di Kalimantan, dan 4,33 pohon per ha di Papua. Keberadaan pohon itu sendiri tidak menjamin keberadaan resin. Para ilmuwan memperkirakan hanya 10% dari pohon Aquilaria di dalam hutan yang mengandung gaharu . Indonesia adalah eksportir utama produk gaharu di dunia. Dengan permintaan pasar yang tinggi, banyak kolektor yang tidak trampil tertarik untuk mengeksploitasi gaharu dan, akibatnya, sebagian besar populasi gaharu rusak terlepas bahwa kayu ini tercantum dalam CITES Appendix II. Baru-baru ini, harga untuk gaharu dengan mutu terbaik dinyatakan sebesar kurang-lebih 400/kg dan sebagian besar bahan ini diselundupkan dan diperdagangkan secara ilegal keluar dari Indonesia (WWF Indonesia, 2008 )

Pohon Gaharu atau Aquilaria sp mempunyai nilai ekonomi tinggi terus diburu oleh masyarakat sekitar hutan. Tanaman yang banyak tumbuh di hutan Kalimantan Barat ini akan punah bila tidak dilestarikan. Untuk memenuhi permintaan ekspor, perlu dilakukan upaya peningkatan produksi gaharu secara lestari. Hal ini dapat dicapai melalui upaya konservasi, pembangunan hutan industri gaharu yang didukung dengan tersedianya bibit unggul, serta teknologi bioproses gaharu yang efektif. Selain untuk mempertahankan kelestarian gaharu, konservasi plasma nuftah gaharu baik secara in situ maupun ex situ juga akan

(2)

memberikan peluang dihasilkannya bibit unggul. Penemuan bibit unggul yang memiliki sifat potensial dalam menghasilkan gaharu dapat dilakukan melalui

metode seleksi, baik seleksi in planta (pada pohon) maupun in vitro (di laboratorium) (WWF Indonesia, 2008).

Bila menyebut gaharu, banyak yang membayangkan harganya yang begitu mahal sehingga ada yang mengatakan lebih bernilai dari emas. Harganya jutaan rupiah perkilogram untuk kepingan gaharu yang bermutu tinggi. Namun, semua hasil ini diambil dari hutan dan kini realitinya, pohon Gaharu hampir punah. Tanpa kesadaran untuk penanaman kembali, negara kita mungkin tidak lagi dapat mengeksport hasil gaharu yang bermutu tinggi permintaannya ke negara-negara Timur Tengah dan juga negara lain seperti Taiwan, Jepang dan sebagainya. Mungkin, kekurangan sumber informasi yang tepat dan juga modal awal yang tinggi untuk diusahakan secara komersil menjadi faktor Gaharu kurang diminati banyak di antara manusia yang tidak sadar, usaha penanaman pohon Gaharu sudah banyak dilakukan oleh beberapa daerah, juga penyelidikan dalam penghasilan gaharu melalui kaedah suntikan dan inokulasi juga giat dijalankan.Namun, kurangnya informasi menjadikan Pohon Gaharu kurang memberi dampak dalam pelaksanaannya. Kembali kepada usaha penanaman Gaharu (A. malaccensis) secara budidaya, beberapa faktor harus dipertimbangkan seperti pemilihan anak benih, jarak tanaman, cara penanaman, cara penyuntikan dan pemasaran. Gaharu harus dinilai untuk meminimakan risiko yang ada dan mendapat hasil yang maksimal setelah 7 tahun penanaman. Oleh itu, sangat penting memperoleh sebanyak mungkin informasi untuk merealisasikan penanaman Gaharu secara pembudidayaan. (Jasben Plantation, 2006).

(3)

Gaharu hingga saat ini masih merupakan hasil hutan alami. Pengumpulannya dilakukan dengan menebang lagsung pohon-pohon gaharu yang diduga telah berisi damar gaharu. Gejala yang ditunjukkan antara lain rontoknya daun, kulit luar batang yang mudah putus serta matinya pohon. Terkadang pohon yang terlanjur ditebang ternyata belum menghasilkan gaharu. Pemungutan gaharu dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, yang merupakan mata pencaharian tetap atau sampingan mereka. Kayu gaharu yang mengandung inti gaharu akan berwarna coklat kekuning-kuningan hingga coklat kehitam-hitaman, sedangkan yang sangat sehat berwarna putih (Tarigan, 2004)

Di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara pada saat ini mulai dikembangkan budidaya tanaman Gaharu di lahan masyarakat. Tanaman Gaharu tidak banyak dikembangkan di daerah lain maka inilah yang menjadikan Gaharu sebagai Tanaman Spesifik Lokal Kabupaten Langkat dan diduga memiliki potensi yang cukup baik untuk terus dikembangkan selain adanya meranti yang juga merupakan tanaman Spesifik Lokal daerah ini.Keberhasilan dari budidaya gaharu dapat menjadikan angin segar bagi masyarakat untuk menambah penghasilan masyarakat karena selama ini gaharu hanya didapatkan secara bebas di hutan-hutan belantara dan juga menjadikan inspirasi masyarakat luas untuk mengembangkan tanaman ini.

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Hutan kemasyarakatan adalah suatu bentuk Perhutanan Sosial yang dilaksanakan di dalam kawasan Hutan, terutama kawasan hutan yang mendapat tekanan berat dan diutamakan untuk dilaksanakan pada kawasana Hutan disekitar

(4)

hutan dengan mengikutsertakan masyarakat dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam pelaksanaan kegiatan Hutan Kemasyarakatan, masyarakat memerlukan pendukung mulai dari pengadaan dan peredaran input, produksi sampai dengan pemasarannya. Untuk itu perlu dibentuk pola dan hubungan kemitraan usaha yang dapat menjamin peningkatan pendapatan masyarakat. Mitra usaha masyarakat dalam usaha pelaksanaan Hutan Kemsyarakatan dapat terdiri dari unsur-unsur Pemerintah Pusat/daerah; Perguruan Tinggi; Lembaga Swadaya masyarakat (LSM); BUMN; swasta, baik swasta

kehutanan (HPH, HPHTI) maupun non-kehutanan. Jenis-jenis pohon yang ditanam adalah yang serba guna yang sesuai dan cocok dengan kondisi tanah dan lingkungannya. Misalnya pohon buah-buahan

(mede, lak, pinus, tengkawang, pinus, dll); rotan; gaharu dan sebagainya (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998).

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Jawa sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan yang nyata telah banyak mendapatkan pujian atas keberhasilannya. Program yang telah dijalankan oleh Perhutani ini telah dikembangkan dari hasil uji coba yang cukup lama, sejak tahun 9173 dengan INMAS Tumpang sari, Pendekatan Kesejahteraan (Prosperity approach) tahun 1974. tahun 1982 muncul istilah Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang meliputi kegiatan didalam dan diluar kawasan hutan (Arief, 2001).

Untuk meningkatkan kualitas di kawasan hutan, maka dikembangkan kembali tahun 1986 dengan naman Perhutanan Sosial (PS). Program ini dikenal dengan kegiatan agroforestry, agrosilvikultur, silvopastural,dan silfofishery yang

(5)

dianggap cukup berhasil selama 10 tahun pada kawasan hutan darat dan mangrove. Pada tahun 1996 telah uji coba Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) (Arief, 2001).

Tujuan jangka panjang program Perhutanan Sosial (PS) adalah memperbaiki lahan kritis, partisifasi aktif masyarakat lokal dalam pembangunan hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal , menyediakan kebutuhan masyarakat lokal, dan konservasi sumber daya lama. Sedangkan tujuan jangka pendek Perhutanan Sosial adalah pembentukan kelompok Tani Hutan (KTH), peningkatan keberhasilan tanaman (kehutanan dan Pertanian) dan peningkatan pendapatan anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) (Nurrochmad, 2005).

Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan Kegiatan Bina Desa Hutan (BDH) yang dikenakan pada setiap pengusahaan hutan tujuan utamanya adalah mensejaterakan masyarakat lokal dimana masyarakat diberdayakan sesuai dengan fungsi pokok hutannya (Sardjono, 2004).

Pentingnya hutan bagi kehidupan sosial ekonomi suatu masyarakat kini dirasakana semakin menigkat. Jika semula hutan masih digunakan sebagai sumber bahan makan/buah-buahan, berburu binatang, sumber bahan bakar dan lain-lain maka dengan berkembangnya kebudayaan dan ekonomi, hutan dimanfaatkan lebih intensif sebagai masukan/bahan mentah (Reksohadiprodjo dkk, 1998).

Hutan Rakyat

Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa serta rekreasi alam.bentuk dan pola hutan rakyat di Indonesia

(6)

jati, hutan rakyat campuran, khepong adat, khepong campuran, hutan rakyat suren di Bukit Tinggi (disebut Parak), dan hutan adat campuran (Awang dkk, 2001).

Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk didominasi tanaman perkayuan, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Pohon ini ditanam biasanya sebagai batas luar/pagar pemilikan lahan yang membatasi satu pemilik dengan pemilik lainnya, sehingga lebih lazim disebut pagar hidup. Selain itu juga ditanam bersama tanaman palawija yang dikenal dengan nama tumpangsari. Jenis pohon yang dikembangkan pada hutan rakyat adalah sengon (Paraserianthes falcataria) kayu putih (Melaleuca leucadendron), Arenga pinata (Aren) Acacia sp (akasia), Aleurites moluccana (Kemiri), Anthocepallus cadamba (jabon), Swietenia macrophylla (Mahoni), Bambusa (bambu), Gmelina arborea (Jati Putih), Cassia siamena (Johar), Ceiba petandra (Kapuk randu), Peronema canescens (Sungkai) dan lain-lain (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998).

Hutan rakyat dikelola oleh masing-masing pemilik dengan basis Sistem Hutan Rakyat (SHR). Selama ini hutan rakyat hanya dilihat sebagai kumpulan pohon-pohon yang tumbuh dan berkembang diatas lahan milik rakyat, sehingga banyak dijumpai dalam kalkulasi ekonomi hutan rakyat yang muncul ke permukaan adalah soal yang berkaitan dengan hasil kayu saja (Awang dkk, 2001).

Pada umumnya petani (pemilik lahan) tidak hanya mengusahakan satu jenis komoditi saja tetapi pada saat yang sama dan dalam sebidang hamparan lahan milik, yang bersangkutan menanam lebih dari satu komoditi. Komposisi jenis yang

diusahakan bisa bervariasi dan merupakan kombinasi antara tanaman tahunan (kayu-kayuan, perkebunan dan buah-buahan) (Awang dkk, 2001).

(7)

Pengelolaan Hutan

Pengelolaan hutan (forest management) adalah praktek penerapan prinsip-prinsip dalam bidang ekologi, fisika, kimia, analisis kwantitatif, manajemen, ekonomi, sosial dan analisis kebijakan dalam rangkaian kegiatan membangun atau meregenerasikan, membina, memanfaatkan dan mengkonservasikan hutan untuk mendapatkan tujuan atau tujuan-tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dengan tetap mempertahankan produktivitas dan kwalitas hutan. Pengelolaan hutan mencakup pengelolaan terhadap keindahan (aesthetics), ikan dan fauna air lain pada sungai-sungai di dalam hutan, rekeasi, nilai-nilai atau fungsi hutan untuk wilayah perkotaan, air, kehidupan liar, kayu dan hasil hutan bukan kayu lainnya, serta berbagai nilai lain yang termasuk dalam kelompok sumber daya hutan (Suhendang, 2002)

Helms (1998) dalam Suhendang (2002) menyatakan bahwa perencanaan kehutanan (forestry planning) merupakan rangkaian kegiatan yang lengkap, mencakup tahapan-tahapan: pemantauan (monitoring), penilaian (assesmenmt), pengambilan keputusan (decision makingi) dan penerapan (implementation) yang dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan.

Sesuai dengan pasal 23 bahwa 23 Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariaannya. Eshingga telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan penggunaan Kawasan Hutan (Departemen Kehutanan, 2004).

(8)

Pada dasarnya pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Perorangan, Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian dan Masyarakat Hukum Adat dengan mempedomani ketentuan dan per-undang-undangan yang berlaku (Departemen Kehutanan, 2004).

Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mewujudkan tuntutan pengelolaan hutan secara adil dan berkelanjutan senantiasa menghadapi tantangan dan kendala yang terkait dengan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kejelasan hak dan kewajiban yang ada pada masyarakat akan menumbuhkan suasana yang aspiratif dan partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagaia basis pengelolaan hutan. Keterlibatan masyarakat secara sadar akan berperan dan berfungsi dalam pengelolaan hutan yang lestari sehingga menjamin berkembangnya

kapasitas dan pemberdayaan masyarakat serta distribusi manfaat hutan (Affandi, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pelaksanaan Evaluasi Administrasi, Teknis, Harga dan Kualifikasi untuk Pekerjaan Pembangunan RKB MI N Simullu Kab..

orang siswa yang mencapai KKM yaitu 74 dan persentase ketuntasannya yaitu 15%.Dilihat dari hasil evaluasi yang tidak memenuhi tujuan tersebut, hal ini disebabkan oleh

Grafik dalam soal belum dilengkapi dengan angka yang memberikan informasi tentang jumlah murid dan berat badan, sehingga informasi dalam grafik itu tidak

kelompok domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening memiliki nilai terkecil yaitu 1,16, sedangkan nilai matriks jarak genetik yang lebih besar adalah antara kelompok

Sistem penghawaan buatan menggunakan AC pada bangunan apartment dapat diterapkan di semua ruang yang ada, namun sebagai penunjang konsep filosofi simbiosis, penggunaan AC

www.bukittinggi.biz (pusat informasi dan bisnis Minangkabau) http://tokooleholeh.bukittinggi.biz (Pusat Penjualan Oleh-oleh

 Lokasi Trans Studio Padang mungkin akan membuat pengunjung yang melewati kota Padang, baik yang dari arah Utara Sumatera seperti Medan maupun arah Selatan

Pada siklus ke - II karakter disiplin siswa kembali mengalami peningkatan yaitu siswa yang masuk dalam kategori karakter disiplin baik menjadi sebanyak 25