• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Burung

Secara umum, habitat satwa didefinisikan sebagai tempat hidup satwa. Habitat satwa harus dapat menyediakan keperluan dasar bagi satwa yaitu pakan, air, dan pelindung (Morrison et al. 1992). Habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen seperti komponen fisik dan komponen biologis (Alikodra 2002). Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Bailey (1984) menyatakan bahwa kelengkapan habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor lain yang diperlukan oleh jenis satwa untuk bertahan hidup. Beberapa faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan, tempat untuk beristirahat, bermain, berkembang biak, bersarang, bertengger, dan berlindung. Untuk hidup di dalam suatu habitat, burung memerlukan syarat-syarat tertentu seperti kondisi habitat yang cocok, baik, dan aman dari segala gangguan (Ontario et al. 1991).

Hubungan antara habitat dengan satwaliar dapat terlihat pada sketsa profil vegetasi. Komposisi dari suatu profil habitat sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan tentang suatu hubungan antara derajat kelimpahan satwaliar dengan tipe habitatnya (Alikodra 2002).

2.2 Keanekaragaman Jenis Burung

Pada tingkat yang paling sederhana, keanekaragaman didefinisikan sebagai jumlah jenis yang ditemukan dalam komunitas (Primack et al. 2007). Pengukuran terhadap keanekaragaman merupakan dugaan atas jenis-jenis penting pada suatu komunitas berdasarkan jumlah, biomassa, cover, dan produktivitas. Menurut Desmukh (1992) keanekaragaman lebih besar jika kelimpahan populasi satu sama lain merata. Keragaman jenis tidak hanya menyangkut kekayaan jenis, tetapi juga kemerataan dari kelimpahan individu tiap jenis. Menurut Mardiastuti (1999) keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah kelimpahan berbagai jenis sumberdaya alam hayati (tumbuhan dan hewan) yang terdapat di muka bumi. Keanekaragaman

(2)

hayati dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkat yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman komunitas. Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati tersebut diperlukan untuk kelanjutan kelangsungan hidup di bumi dan penting bagi manusia.

Kekayaan jenis burung di suatu tempat tidak tersebar merata tetapi tinggi di beberapa habitat tertentu dan rendah di habitat lainnya (Sujatnika et al. 1995). Krebs (1978) menyebutkan bahwa ada 6 faktor penting yang berkaitan dengan keanekaragaman jenis suatu komunitas yaitu waktu, keragaman, ruang, persaingan, pemangsaan dan kestabilan lingkungan serta produktivitas. Selain itu, stratifikasi tajuk juga merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis burung (Sayogo 2009). Penutupan tajuk, tinggi tajuk, dan keanekaragaman jenis pohon juga menentukan keanekaragaman jenis burung di suatu tempat.

Berdasarkan hasil pengamatan Widodo (2011) di kawasan hutan pegunungan Gamalama (periode Juli - Agustus 2009) tercatat sebanyak 34 jenis burung dari 15 suku (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis-jenis burung yang dijumpai pada observasi 26 Juli - 12 Agustus 2009 di Pulau Ternate

No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Podicipedidae Titihan telaga Tachybaptus ruficollis

2 Pandionidae Elang tiram Pandion haliaetus

3 Megapodidae Gosong kelam Megapodius freycinet

4 Rallidae Kareo zaitun Amaurornis olivaceus

5 Columbidae Uncal ambon Macropygia amboinensis

6 Columbidae Delimukan zamrud Chalcophaps indica

7 Columbidae Walik dada-merah Ptilinopus bernsteinii

8 Columbidae Pergam mata-putih Ducula perscipillata

9 Psittacidae Kakatua putih Cacatua alba

10 Psittacidae Kasturi ternate Lorius garrulus

11 Psittacidae Nuri kalung-ungu Eos squamata

12 Psittacidae Nuri bayan Eclectus roratus

13 Cuculidae Bubut alang-alang Centropus bengalensis

14 Strigidae Celepuk maluku Otus magicus

15 Apodidae Walet sapi Collocalia esculenta

16 Alcedinidae Cekakak biru-putih Halcyon diops

(3)

Tabel 1 Lanjutan

No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah

18 Alcedinidae Udang-merah kerdil Ceyx lepidus

19 Meropidae Kirik-kirik australia Merops ornatus

20 Pittidae Paok mopo Pitta erythrogaster

21 Hirundinidae Layang-layang batu Hirundo tahitica

22 Campephagidae Kapasan halmahera Lalage aurea

23 Corvidae Gagak orru Corvus orru

24 Monarchidae Sikatan kilap Myiagra alecto

25 Rhipiduridae Kipasan kebun Rhipidura leucophrys

26 Pachycephalidae Kancilan Pachycephala sp

27 Pachycephalidae Kancilan emas Pachycephala pectoralis

28 Sturnidae Perling ungu Aplonis mysolensis

29 Meliphagidae Myzomela remang Myzomela obscura

30 Nectariniidae Burung madu hitam Leptocoma sericea

31 Nectariniidae Burung madu sriganti Cinnyris jugularis

32 Zosteropidae Kacamata gunung Zosterops montanus

33 Paseridae Burung gereja erasia Passer montanus

34 Estrildidae Bondol-hijau muka-biru Erythrura trichroa

Sumber: Widodo (2011)

Hasil survei Burung Indonesia di Pulau Ternate selama periode Januari 2011 - Februari 2012 mencatat 63 jenis burung dari 35 suku (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis-jenis burung hasil survei Burung Indonesia di Pulau Ternate (Januari 2011-Februari 2012)

No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Hydrobatidae Petrel-badai matsudaira Ocean odroma matsudairae

2 Podicipedidae Titihan telaga Tachybaptus ruficollis

3 Sulidae Angsa-batu coklat Sula leucogaster

4 Ardeidae Kuntul perak Egretta intermedia

5 Ardeidae Kuntul karang Egretta sacra

6 Ardeidae Kokokan laut Butorides striata

7 Accipitridae Elang tiram Pandion haliaetus

8 Accipitridae Elang bondol Haliastur indus

9 Accipitridae Elang-laut perut-putih Haliaetus leucogaster

10 Accipitridae Elang -alap nipon Accipiter novaehollandiae

11 Accipitridae Rajawali kuskus Aquila gurneyi

12 Falconidae Alap-alap sapi Falco moluccensis

(4)

Tabel 2 Lanjutan

No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah

14 Charadriidae Cerek kernyut Pluvialis fulva

15 Scolopacidae Gajahan pengala Numenius phaeopus

16 Scolopacidae Trinil pantai Actitis hypoleucos

17 Scolopacidae Trinil ekor kelabu Heteroscelus brevipes

18 Laridae Dara laut biasa Sterna hirundo

19 Columbidae Walik raja Ptilinopus superbus

20 Columbidae Walik topi biru Ptilinopus monacha

21 Columbidae Walik kepala kelabu Ptilinopus hyogastra

22 Columbidae Uncal ambon Macropygia amboinensis

23 Columbidae Tekukur biasa Fgereja erasia

24 Columbidae Delimukan zamrud Chalcophaps indica

25 Psittacidae Nuri kalung ungu Eos squamata

26 Psittacidae Kasturi Ternate Lorius garrulus

27 Psittacidae Perkici dagu merah Charmosyna placentis

28 Psittacidae Kakatua putih Cacatua alba

29 Psittacidae Betet kelapa paruh besar Tanygnathus megalorynchos

30 Cuculidae Wiwik rimba Cacomantis varoilosus

31 Cuculidae Kakrakalo australia Scythrops novaehollandiae

32 Cuculidae Bubut alang-alang Centropus bengalensis

33 Apodidae Walet maluku Collocalia infuscatus

34 Apodidae Kapinis laut Apus pacificus

35 Alcedinidae Cekakak biru putih Halcyon diops

36 Alcedinidae Cekakak suci Halcyon sancta

37 Alcedinidae Cekakak pantai Halcyon saurophaga

38 Meropidae Kirik-kirik australia Merops ornatus

39 Bucerotidae Julang irian Aceros plicatus

40 Hirundinidae Layang-layang api Hirundo rustica

41 Motacillidae Kicuit batu Motacilla cinerea

42 Campepagidae Kapasan halmahera Lalage aurea

43 Pycnonotidae Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster

44 Pycnonotidae Brinji emas Alophoixus affinis

45 Sylviidae Cikrak pulau Phylloscopus pollocephalus

(5)

Tabel 2 Lanjutan

No Famili Nama Lokal Nama Ilmiah

47 Muscicapidae Sikatan bodoh Ficedula hyperythra

48 Monarchidae Kehicap pulau Monarcha cinerascens

49 Monarchidae Sikatan kilap Myiagra alecto

50 Rhipiduridae Kipasan kebun Rhipidura leucophrys

51 Rhipiduridae Kipasan dada hitam Rhipidura rufifrons

52 Pachycephalidae Kancilan emas Pachycephala pectoralis

53 Pachycephalidae Kancilan tunawarna Pachycephala griseonota

54 Nectariniidae Burung madu hitam Leptocoma sericea

55 Nectariniidae Burung madu sriganti Cinnyris jugularis

56 Zosteropidae Kacamata gunung Zosterops montanus

57 Meliphagidae Myzomela remang Myzomela obscura

58 Estrildidae Bondol taruk Lonchura molucca

59 Ploceidae Burung gereja erasia Passer montanus

60 Sturnidae Perling ungu Aplonis metallica

61 Dicruridae Srigunting lencana Dicrurus bracteatus

62 Artamidae Kekep babi Artamus leucorynchus

63 Corvidae Gagak orru Corvus orru

Sumber: Burung Indonesia (Januari 2011- Februari 2012).

2.3 Guild

Guild adalah kelompok jenis yang menggunakan sumberdaya pada kelas dan cara yang sama (Root 2001). Secara umum pengelompokan suatu jenis ke dalam guild dilakukan berdasarkan respons terhadap lingkungan atau lokasi, adaptasi terhadap pola hidup tertentu, kondisi umum, penyebaran geografis, dan tipe makanan (Root 2001). Selain itu, menurut Wiens (1989) secara umum pengelompokan suatu jenis ke dalam guild pada suatu komunitas dilakukan dengan dua cara yaitu a priori dan a posteriori. Pendekatan a priori dilakukan berdasarkan kriteria yang ditentukan secara subyektif sebelum dilakukan pengambilan dan analisis data. Pendekatan a posteriori sebaliknya dilakukan dengan mengelompokkan secara lebih obyektif berdasarkan hasil analisis terhadap pengamatan yang dilakukan.

(6)

Perubahan guild dalam suatu gradien lingkungan dapat diketahui melalui hubungan antar faktor - faktor lingkungan terhadap kepadatan populasi, laju reproduksi, dispersal, dan kemampuan menghindar dari predator (Root 2001). Pengamatan terhadap guild yang mendiami suatu daerah sangat dianjurkan sebagai indikator. Hal ini karena komposisi guild bisa mewakili aliran energi dan makanan dalam suatu ekosistem. Selain itu penghitungannya bisa dilakukan dari daftar jenis burung yang telah ada sebelumnya hingga membutuhkan lebih sedikit biaya (de Long dan Weerd 2006 dalam Novarino 2008).

2.4 Gangguan terhadap Burung

Manusia mempunyai peranan yang sangat besar terhadap timbulnya gangguan terhadap burung (Alikodra 2002). Penyebab utama masalah gangguan terhadap satwaliar termasuk burung yaitu pertumbuhan penduduk yang membutuhkan lahan hutan lebih banyak untuk pembangunan sehingga mendesak kehidupan burung. Sutopo (2008) menambahkan bahwa terdapat empat jenis ancaman terhadap burung diantaranya (1) perusakan dan perubahan habitat, (2) perburuan dan perdagangan, (3) perusakan tempat berkembang biak, dan (4) pencemaran dan pestisida. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Sujatnika et al. (1995) bahwa meningkatnya tekanan terhadap hidupan liar dan ekosistem alami antara lain disebabkan oleh terus meningkatnya jumlah penduduk, ketidakpastian tata guna dan pengelolaan lahan, dan kebijakan ekonomi serta pembangunan. Selain itu, erat kaitannya dengan kemiskinan, tekanan penduduk, pemanfaatan sumberdaya dan lahan hutan serta pengembangan pertanian.

Van Balen (1999) menjelaskan bahwa gangguan terhadap burung disebabkan oleh tekanan pertumbuhan populasi manusia sehingga berpengaruh juga terhadap kelimpahan dan distribusi burung-burung di hutan. Besarnya jumlah penduduk dan meningkatnya eksploitasi terhadap sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi, maka tidak dapat dipungkiri bahwa hutan didesak sampai ke puncak gunung yang paling tinggi, burung-burung diburu untuk dimakan, untuk olahraga atau dijual (MacKinnon et al. 1998).

(7)

2.5 Kota dan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Kota juga merupakan tempat pemusatan atau cabang kekuatan politik dan ekonomi serta menjadi motor pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (Inoguchi et al. 1999). Menurut Irwan (2005) kota merupakan sebuah sistem yaitu sistem terbuka, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis dan dinamis atau bersifat sementara. Sedangkan perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur jalan-jalan, sebagai suatu pemukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang lebih lengkap dibandingkan dengan daerah pedesaan (Branch 1995). Menurut Simonds (1983) kawasan perkotaan merupakan suatu bentuk lanskap buatan manusia yang terjadi akibat manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya. Biasanya, ruang dalam kota dihubungkan melalui koridor yang dapat berupa pedestrian, jalan, jalur sungai, ataupun jalur hijau.

Jalur hijau, taman lingkungan, kebun, pekarangan, areal rekreasi, lapangan rumput, makam, tepian sungai, kanal, dan lainnya merupakan bagian dari RTH kota (Prasetyo & Hernowo 1989). RTH tidak hanya merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota tetapi juga merupakan penjaga keseimbangan ekosistem kota. Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, RTH adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berbagai tumbuhan yang terdapat didalam suatu RTH yaitu tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2005).

Tujuan dibentuk dan disediakannya RTH di wilayah perkotaan adalah untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan serta untuk menciptakan keserasian lingkungan alam dan

(8)

lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. Selain tujuan pembentukannya, RTH juga memiliki fungsi dan manfaat. Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2005) fungsi dari RTH diantaranya sebagai (1) fungsi bio-ekologis, (2) fungsi sosial, (3) ekosistem perkotaan, dan (4) fungsi estetis. Sedangkan manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi menjadi (1) manfaat langsung (tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), dan (2) manfaat tidak langsung (intangible) seperti perlindungan tata air dan keanekaragaman hayati.

Selain tujuan dan manfaat yang telah disebutkan, RTH kota juga merupakan salah satu komponen habitat berbagai jenis satwaliar terutama burung. Menurut Prasetyo dan Hernowo (1990), jenis-jenis burung yang umumnya dijumpai pada RTH kota di Pulau Jawa diantaranya cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), cabe jawa (Dicaeum trochileum), burung madu sriganti (Cinnyris jugularis), burung madu kelapa (Anthreptes malacensis), perenjak jawa (Prinia familiaris), dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides). Sedangkan beberapa jenis burung tipe perkotaan yaitu gereja erasia (Passer montanus), cinenen jawa (Orthotomus sepium), gelatik batu (Parus major), layang-layang batu (Hirundo tahitica), gagak hitam (Corvus macrorhynchus), dan perenjak jawa (Prinia familiaris) (Ontario et al. 1991).

Gambar

Tabel 1 Lanjutan
Tabel 2 Lanjutan
Tabel 2 Lanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini mengisyaratkan kalau sebenarnya datang dengan membawa beban ghulul itu bukan dalam bentuk yang sebenarnya akan tetapi apapun yang seseorang gelapkan dari

Konsentrasi 0,5% pada formulasi pembuatan film kitosan baik dengan EBP maupun tanpa EBP adalah yang terbaik dengan keliman terkuat dibandingkan dengan penambahan

Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Program ini bertujuan untuk meningkatkan kerja sama antar daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat Tolok

Pada saat pemprosesan informasi harga secara kognitif terjadi, konsumen dapat membuat perbandingan antara harga yang ditetapkan dengan harga atau rentang harga

Studi peta dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat spasial dari karakteristik lanskap. budaya daerah Pengging serta gambaran spasial dan perubahan

pembelajaran dan instrumen evaluasi akan memudah- kan siswa memaknai dan memahami materi pelajaran dan soal-soal ulangan. Selain meningintegrasikan MSTBK, soa-soal ulangan

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menentukan validitas dan deskripsi bahan ajar berbentuk LKS IPA terpadu berbasis ICT dengan meng integrasikan

Hasil akhir nilai kinerja guru dengan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah (kepala sekolah/madrasah, wakil kepala sekolah/madrasah,