• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN. pemakaian verba Utsu dan Tataku, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN. pemakaian verba Utsu dan Tataku, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN

2.1 Verba

2.1.1 Pengertian Verba

Sebelum membahas fungsi verba bahasa Jepang secara umum dan pemakaian verba Utsu dan Tataku, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan pengertian verba yang diambil dari beberapa sumber.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Menurut Situmorang (2010: 9), makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu :

: ugoku, dou : bergerak : kotoba, shi : kata

動詞 : doushi : kata yang bermakna gerakan

Situmorang (2010: 9) juga menjelaskan bahwa doushi memiliki ciri-ciri yaitu :

a. Dapat berdiri sendiri

b. Berkonjugasi / mengalami perubahan bentuk

c. Bermakna sesuatu kegiatan, keberadaan, atau perubahan keadaan

(2)

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu

kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri. Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian verba atau

doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini dipakai

untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata yang menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.1.2 Jenis-Jenis Verba

Menurut Sutedi (2003:47), verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya.

1. Kelompok I

Kelompok ini disebut dengan 五 段 動 詞 (godan-doushi), karena kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu (あ, い, う, え, お, ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran (う, つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す, ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’).

Contoh :

(3)

b. 待つ: ma-tsu (menunggu) c. 帰る: kae-ru (pulang) d. 飛ぶ: to-bu (terbang) e. 死ぬ: shi-nu (mati) f .読む: yo-mu (membaca) g. 書く: ka-ku (menulis) h. 泳ぐ: oyo-gu (berenang) i. 話す: hana-su (berbicara) 2. Kelompok II

Kelompok ini disebut dengan 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang berakhiran (え-る ‘e-ru’) yang disebut kami ichidan-doushi, dan verba yang berakhiran (い-る ‘i-ru’) yang disebut shimo ichidan-doushi.

Contoh :

a. 出る d-eru (keluar)

食べる tab-eru (makan)

(4)

起きる ok-iru (bangun)

3. Kelompok III

Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan, sehingga disebut 変格 動詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari dua verba berikut.

a. カ変動詞 (kahendoushi)

Contoh : 来る kuru (datang)

b. サ変動詞 (sahendoushi)

Contoh : する suru (melakukan)

Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata benda + verba suru, 「名詞 ‘meishi’」+「する ‘suru’」, namun meishi yang dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada kata-kata yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya.

Contoh :

a. 勉強する benkyou suru (belajar)

b. 食事する shokuji suru (makan)

c. 買い物する kaimono suru (belanja)

Sementara Shimizu dalam Sudjianto (2004:150) mengklasifikasikan jenis doushi sebagai berikut :

(5)

1. Jidoushi (自動詞 ‘verba intransitif’)

Jidoushi merupakan verba yang tidak disertai dengan objek penderita.

Jika dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna ‘kata yang bergerak sendiri’.

Contoh :

a. 起きる okiru (bangun)

b. 閉まる shimaru (tertutup)

c. 出る deru (keluar)

2. Tadoushi (他動詞 ‘verba transitif’)

Tadoushi merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba tadoushi merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak

lain, atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.

Contoh :

a. 起こす okosu (membangunkan)

b. 閉める shimeru (menutup)

c. 出す dasu (mengeluarkan)

(6)

Karena verba shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif.

Contoh :

a. 見える mieru (terlihat)

b. 聞こえる kikoeru (terdengar)

Namun selain jenis-jenis doushi seperti di atas, Terada Takanao dalam Sudjianto (2004:150) menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.

1. Fukugou doushi (複合動詞)

Fukugou doushi adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua buah

kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

a. 話し合う hanashi au berunding (doushi + doushi)

b. 調査する chousa suru menyelidiki (meishi + doushi)

c. 近寄る chikayoru mendekati (keiyoushi + doushi)

(7)

Haseigo toshite no doushi merupakan verba yang memakai prefiks atau doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan cara menambahkan sufiks.

Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

a. さ迷う samayou (mondar-mandir)

b. ぶん殴る bunnaguru (melayangkan tinju)

c. 寒がる samugaru (merasa kedinginan)

3. Hojo doushi (補助動詞)

Hojo doushi adalah doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba ini

menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh :

a. ある aru (ada ‘benda mati’)

b. いる iru (ada ‘makhluk hidup’)

(8)

2.1.3 Fungsi Verba

Sebelum membahas lebih lanjut tentang fungsi dari verba, penulis merasa penting untuk terlebih dahulu menjelaskan apa makna dari kata ‘fungsi’ itu sendiri. Menurut KBBI (2005: 322), fungsi adalah 1. jabatan (pekerjaan) yang dilakukan 2. Faal (kerja suatu bagian tubuh) 3. Matematik (besaran yang berhubungan) 4. Kegunaan suatu hal 5. Linguistik : peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina yang berperan sebagai subjek). Kemudian, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya (sub bab 2.1.1 ‘Pengertian Verba’), pada umumnya verba bahasa Jepang berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat, dan terletak di akhir kalimat.

Contoh :

1. 私はご飯を食べる。

Watashi wa gohan o

Saya makan nasi.

taberu.

2. 友達と一緒に公園を散歩する。

Tomodachi to isshoni kouen o

Saya berjalan-jalan bersama teman di taman.

sanposuru.

Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzokugo (Sudjianto, 2004:151).

(9)

Contoh :

1. 先生に日本語を教えてもらう

Sensei ni nihongo o

Saya belajar bahasa Jepang dari guru. oshiete morau.

2. カレンダーに今週のスケジュールが書いてある

Karendaa ni konshuu no sukejuuru ga

Di kalender tertulis rencana minggu ini.

kaite aru.

Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat (Sudjianto, 2004:149). Contoh : 1. 私はチョコレートがある Watashi wa chokoreeto ga パンが大好きだ。 aru

Saya paling suka roti yang ada cokelatnya.

pan ga daisuki da.

2. これは父が作った

Kore wa chichi ga

料理だ。

tsukutta

Ini adalah masakan buatan ayah.

(10)

2.1.4 Pengertian Verba Utsu dan Tataku

2.1.4.1 Verba Utsu

Verba Utsu adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok I atau 五 段 動 詞 (godan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian atau makna dari verba Utsu.

a. Izuhara Shoji (1998: 120) mengemukakan bahwa :

「打つ」は何かに物を強く当てた結果、ある状況に効果。変化を生む 動作。作用。銃器の発射。仕返し 。相手が悪いと言い立て、賊。

Utsu wa nanika ni mono wo tsuyoku ateta kekka, aru joukyou ni kouka. Henka

wo umu dousa. Sayou . Juuki no hassha. Shikaeshi . Aite ga warui to ii tate, zoku.

Utsu adalah hasil dari menubrukkan benda secara kuat dengan sesuatu, efek dari

sebuah situasi, gerakan yang menimbulkan perubahan, aksi. Penembakan senjata api kecil. Pembalasan. Memberontak ketika lawan mengatakan hal yang buruk.

Contoh :

体の一部をどこかで打って

Karada no ichibu wo dokoka de

痛みを感じる。

utte

Merasakan sakit karena

itami wo kanjiru.

dipukul

b. Susumu Ono (1985 : 593) mengemukakan bahwa :

di salah satu bagian badan .

「打つ」は 物を何かに強く当てる。

(11)

Utsu adalah menubrukkan benda dengan sesuatu secara kuat. Contoh: 頭を打つ Atama woMemukul kepala. utsu

c. Kai Bukurou (1998: 114) menyebutkan bahwa :

「打つ」は 強く当てる、打てば響く。「叩くような動作で仕事をす る こ とから」耕す。金属を鍛えて作る。投げて魚を取る。

Utsu wa tsuyoku ateru , uteba hibiku. (tataku youna dousa de shigoto wo suru koto kara) tagayasu. Kinzoku wo kikaete tsukuru. Nagete sakana wo toru.

Utsu adalah menubrukkan dengan kuat, apabila dipukul menggema. Mencangkul

(karena melakukan pekerjaan seperti memukul-mukul). Menggembleng logam. Melempar lalu menangkap ikan.

Contoh :

彼は柱で頭を打った。

Kare wa hashira de atama wo utta .

(12)

d. Kindaichi Haruhiko (1978: 160)

打つは:

Utsu adalah

1. 物を他 の 物 に 瞬 間 的に強く当てる。

Utsu wa mono wo hoka no mono ni shunkanteki ni tsuyoku ateru

Menubrukkan sesuatu benda ke benda lain dengan kuat secara seketika

2. 比 喩 的に 打つ。1 ような感じを与える( 瞬 間的に )強い刺 激

を与える。

Hiyuteki ni utsu. 1 youna kanji wo ataeru (shunkanteki ni) tsuyoi shigeki

wo ataeru

Pukulan perumpamaan . memberikan rasa yang sama dengan nomor 1

(seketika) memberikan rangsangan

3. 心に 強い 衝 撃を与える。強く感 動させる。

Kokoro ni tsuyoi shougeki wo ataeru. Tsuyoku kandousaseru

(13)

Contoh :

雨に打たれた畑の土が下駄の歯にすぐたまる。

Ame ni utareta

Tanah kebun yang

hata no tsuchi ga geta no ha ni sugu tamaru.

diguyur

ke tanah.

hujan membuat penunjang bakiak langsung terendam

2.1.4.2 Verba Tataku

Verba Tataku juga adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok I atau 五 段 動 詞 (godan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian atau makna dari verba Tataku.

a. Izuhara Shoji (1998: 120) :

「叩く」は 一度か連続して手か道具で、間接的効果を狙って垂直に対 象を打つ。「ポンと肩 や腕を叩く」など、一度きりの軽い物から「ドア、 ドラム、わら、手、お母さんの肩、子供の尻、鞭で馬」を叩くなど。攻撃 することが目的ではなく、相手に注意を与える。

(Tataku) wa ichido ka renzokushite te ka dougu de, kansetsu teki kouka

wo neratte suichoku ni taishou wo utsu. (pon to kata ya ude wo tataku) nado, ichido kiri no karui mono kara (doa, doramu, wara, te, okaasan no kata, kodomo no shiri, muchi de uma) wo tataku nado. Kougeki suru koto ga mokuteki dewanaku, aite ni chuui wo ataeru.

(14)

Tataku adalah memukul objek satu kali atau pun berkali-kali dengan tangan

atau alat, membidik efek yang langsung maupun tidak langsung. (menepuk bahu ataupun lengan) dan lain sebagainya, memukul sekali saja dengan benda yang ringan (pintu, drum, jerami, tangan, pundak ibu, bokong anak kecil, dan mencambuk kuda) dan lain sebagainya. Bukan bermaksud untuk menyerang, tapi hanya sebagai peringatan saja.

Contoh :

誰かに殴られて、気絶して叩いても起きない。

Dareka ni nagurarete, kizetsushite tataite

Dipukul oleh seseorang sampai pingsan dan setelah ditepuk-tepuk pun tidak sadarkan diri juga .

mo okinai.

b. Susumu Ono (1985: 593) menyebutkan bahwa:

叩くは続けて打つ。肩、門、戸 を叩く。

Tataku wa tsuzukete utsu. Kata ,mon, ko wo utsu.

Tataku adalah memukul dengan berkelanjutan atau terus-menerus. Memukul pundak, gerbang ataupun pintu.

Contoh :

雨や風が戸を叩く。

Ame ya kaze ga ko wo

Hujan dan angin mengetuk pintu

(15)

c. Kai Bukurou (1998: 849) menyatakan bahwa:

叩くは:続けて打つ、非難する、厳しく仕込む、値切る、盛んにしゃ

べる。

Tataku wa : tsuzukete utsu, hinan suru, kibishiku shikomu, negiru, sakan ni shaberu.

Tataku adalah: memukul terus-menerus, mencela, mendidik dengan keras, tawar menawar, banyak bicara.

Contoh :

今度確実に叩きつぶして見せる。

Kondo kakujitsu ni tataki

Lain kali pasti akan kuhajar dia.

tsubushite miseru.

d. Kindaichi Haruhiko ( 1978: 1186) mengemukakan bahwa:

叩くは 続けて打つ。また打つ。転じて、やっつける。たたきのめす。 出し尽くす。

Tataku wa tsuzukete utsu. Mata utsu. Tenjite , yattsukeru. Tatakinomesu .

Dashitsukusu .

Tataku adalah memukul dengan terus menerus. Memuku l lagi. Mengalihkan, lalu

(16)

Contoh :

この 花 屋 の 門 を 叩いて。

Kono hanaya no mon wo tataite

Mengetuk pintu masuk toko bunga .

2.2 Studi Semantik

2.2.1 Defenisi Semantik

Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna. Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk menyampaikan suatu makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.

Sutedi (2003: 103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara lain adalah makna kata satu per satu (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no

imi) dan makna kalimat (bun ni imi).

1. Makna kata satu per satu (go no imi)

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam

(17)

komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya.

Dalam bahasa Jepang, banyak sekali terdapat sinonim (ruigigo) yang sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu per satu. Ditambah masih minimnya buku-buku atau kamus yang bertuliskan bahasa Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.

2. Relasi makna antar satu kata dengan kata yang lainnya (go no imi kankei)

Relasi makna adalah hubungan antara dua kata atau lebih sehubungan dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya, pada verba 「話す ‘hanasu’」(berbicara),「言う ‘iu’」(berkata) dan「しゃべる ‘shaberu’」(ngomong), dapat dikelompokkan ke dalam 「言葉を発する ‘kotoba

o hassuru’」(bertutur) . Contoh lainnya, misalnya hubungan makna antara kata

「 話 す ‘hanasu’」 dan「 言 う ‘iu’」, 「高 い ‘takai’」 (tinggi) dan「 低 い ‘hikui’」(rendah),「動物 ‘doubutsu’」(binatang) dan「犬 ‘inu’」(anjing) akan berlainan dan perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan sinonim (hanasu dan

iu), pasangan kedua merupakan antonim (takai dan hikui), sedangkan pasangan

terakhir merupakan hubungan superordinat (doubutsu dan inu).

3. Makna frase dalam satu idiom (ku no imi)

Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa Jepang ungkapan 「本を読む ‘hon o yomu’」(membaca buku), 「靴を買う

(18)

‘kutsu o kau’」(membeli sepatu), dan「腹が立つ ‘hara ga tatsu’」(perut berdiri = marah) merupakan suatu frase. Frase ‘hon o yomu’ dan ‘kutsu o kau’ dapat dipahami cukup dengan menhetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa ‘nomina + o + verba’. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk frase ‘hara ga tatsu’, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).

Lain halnya dengan frase「足を洗う ‘ashi o arau’」, ada dua makna, yaitu secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatikal (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.

4. Makna kalimat (bun ni imi)

Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya, pada kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni megane o ageru’ (Saya memberi kacamata pada Yamada) dan kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni tokei o

ageru’ (Saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat

tersebut adalah sama, yaitu ‘A wa B ni C o ageru’, tetapi maknanya berbeda. Oleh karena itu, makna kalimat ditentukan oeh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.

(19)

Lain halnya dengan kalimat ‘Watashi wa Yamada san to Tanaka san o

matte iru’, terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu [Watashi wa]

[Yamada san to Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada dan Tanaka) dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang berarti (Saya bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik

Menurut Chaer (2002: 59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara lain sebagai berikut.

a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna nonreferensial.

c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan makna khusus.

e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.

(20)

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (2002: 60) makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut Sutedi (2003: 106), makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 「辞書的意味 ‘jishoteki imi’」atau 「 語 彙 的 意 味 ‘goiteki imi’ 」 . Dalam bahasa Jepang misalnya kata 「 猫 ‘neko’」dan「学校 ‘gakkou’」. Makna leksikal dari kata kucing adalah hewan berkaki empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari kata sekolah adalah bangunan tempat para siswa belajar.

Makna gramatikal menurut Chaer (2002: 63) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut Sutedi (2003: 107) makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 「 文 法 的 意味 ‘bunpouteki

imi’ 」 . Dalam bahasa Jepang, 「 助 詞 ‘joshi’ 」 (partikel) dan 「 助 動 詞

‘jodoushi’ 」 (kopula) tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 「忙しい ‘isogashii’」 dan「 食 べ る ‘taberu’」 . Bagian gokan : (isogashi) dan (tabe) memiliki makna leksikal yaitu ‘sibuk’ dan ‘makan’, sedangkan gobi-nya, yaitu {い/ i}dan{る/ ru}sebagai makna gramatikal, karena akan berubah sesuai

(21)

dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel「に ‘ni’」, yang secara leksikal tidak jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika digunakan dalam kalimat seperti : 「メダンに住んでいる ‘Medan ni sunde

iru’」yang bermakna ‘tinggal di

2. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial

Medan’.

Menurut Chaer (2002: 63), perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ‘meja’ dan ‘kursi’. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Chaer (2002: 65) menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada dasarnya sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif, dan sering disebut dengan istilah ‘makna sebenarnya’. Sedangkan menurut Sutedi (2003:107), makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan

(22)

dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan 「明示的意味 ‘meijiteki imi’」atau「外延 ‘gaien’」.

Sedangkan makna konotatif menurut Chaer (2002: 67) adalah makna tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif. Selanjutnya menurut Sutedi (2003: 107), makna konotatif disebut「暗示的意味 ‘anjiteki imi’」atau「内包 ‘naihou’」, yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata「父 ‘chichi’ 」 dan 「 親 父 ‘oyaji’ 」 kedua-duanya memiliki makna denotatif yang sama, yaitu ayah, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata ‘chichi’ terkesan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata ‘oyaji’ terkesan lebih dekat dan akrab. Contoh lainnya adalah kata「化粧室 ‘keshou-shitsu’」dan「便所 ‘benjo’」. Kedua kata tersebut juga merujuk pada hal yang sama, yaitu kamar kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. ‘Keshou-shitsu’ terkesan bersih, sedangkan ‘benjo’ terkesan kotor dan bau.

4. Makna Umum dan Makna Khusus

Chaer (2002: 71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata

besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas

(23)

raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase ‘Tuhan yang maha Agung’ dapat diganti dengan ‘Tuhan yang maha Besar’ ; frase ‘rapat akbar’ dapat

diganti dengan ‘rapat besar’ ; frase ‘hari raya’ dapat diganti dengan ‘hari besar’ ; dan frase ‘film kolosal’ dapat diganti dengan ‘film besar’. Sebaliknya, frase ‘rumah besar’ tidak dapat diganti dengan ‘rumah agung’, ‘rumah raya’ ataupun ‘rumah kolosal’.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik

Menurut Chaer (2002: 72), makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’ atau ‘kesucian’ ; kata

merah berasosiasi dengan makna ‘berani’ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan

makna ‘indah’.

Sedangkan makna idiomatic menurut Chaer (2002: 75) adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah pada frase ‘membanting tulang’ dan ‘meja hijau’. ‘Membanting tulang’ adalah sebuah leksem dengan makna ‘bekerja keras’, dan ‘meja hijau’ adalah sebuah leksem dengan makna ‘pengadilan’.

(24)

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi (2003: 108).

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata 「頭 ‘atama’」(kepala),「腕 ‘ude’」(lengan), serta「道 ‘michi’」(jalan) yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini. 頭がいい atama 腕が上がる ga ii (kepandaian) ude 日本語教師への道 nihongo-kyoushi e no ga agaru (kemampuan) michi

b. Dari ruang ke waktu

(cara/ petunjuk)

Kata 「前 ‘mae’」(depan), dan「長い ‘nagai’」(panjang), yang menyatakan arti ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.

三年前 sannen mae (tiga tahun yang lalu)

(25)

c. Perubahan penggunaan indera

Kata 「大きい ‘ookii’」(besar) semula diamati dengan indera penglihatan (mata), berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada「大きい声 ‘ookii koe’」 (suara keras). Kemudian pada kata「甘い ‘amai’」(manis) dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam「甘い子 ‘amai ko’」(anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Kata 「 着 物 ‘kimono’ 」 yang semula berarti pakaian tradisional Jepang, digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum 「 服 ‘fuku’ 」 dan sebagainya.

e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi

Kata 「 花 ‘hana’ 」 (bunga secara umum) dan 「 卵 ‘tamago’ 」 (telur secara umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut.

花見 hana

卵を食べる

-mi (bunga Sakura)

tamago

f. Perubahan nilai positif

o taberu (telur ayam)

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah kata 「僕 ‘boku’」(saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.

(26)

g. Perubahan nilai negatif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah kata 「貴様 ‘kisama’」(kamu) yang dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata「あなた ‘anata’」(anda) , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari (Chaer, 2002: 11). Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra ataupun Fakultas Ilmu Budaya, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang

(27)

lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau memiliki kemiripan arti.

2.2.2 Kesinoniman

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007: 297). Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007: 267). Akan tetapi meskipun bersinonim, maknanya tidak akan persis sama. Hal ini dikarenakan tidak ada sinonim yang maknanya akan sama persis seratus persen. Dalam konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

(28)

Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 「 類 義 語 ‘ruigigo’」. Menurut Sutedi (2003: 115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang memiliki relasi atau hubungan kesinoniman「類義関係 ‘ruigi-kankei’」dapat ditemukan dengan cara melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti ‘naik’, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.

のぼる:下から上へ或経路に焦点を合わせて

Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru

移動する

Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui

あがる:下から上へ到達点に焦点を合わせて

Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru

移動する

Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan

Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 「焦点 ‘shouten’」gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan「到達 点 ‘toutatsuten’」dalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan

noboru menekankan pada jalan yang dilalui「経路 ‘keiro’」dari gerak tersebut

(proses).

2.2.3 Pilihan Kata

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari

(29)

kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Menurut Keraf (2006: 24) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu ketepatan, kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.

Berdasarkan konsep dari pilhan kata di atas, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna kata tersebut dapat tersampaikan dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

JUDUL PENELITIAN : Perbedaan Tear Film Break Up Time pada Pasien Retinopati Diabetika Nonproliferatif Dibandingkan Retinopati Diabetika Proliferatif2. INSTANSI PELAKSANA :

Ibu Nita (HP. Juara Harapan II : Uang Pembinaan dan Piagam.. Peserta lomba berpakaian rapi dan sopan. Guru pendamping tidak diperkenankan masuk ke arena lomba dan tidak boleh

Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada bcrbagai pihak yang membantu terlaksananya penelitian ini, terutama pada Proyek Peningkat'ul Penelitian dan

Produk dan Brand Image Terhadap Minat Menggunakan Produk dengan Kepercayaan Sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus Bank BRI Syariah KCP Purwodadi).. Skripsi, Program

Dengan mengucap puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kerjasama WWF

Sesuai dengan penjabaran situasi problematis yang terpilih yaitu permasalahan “kebingunan dalam pembuatan konten yang relevan dengan target market”, Root Definition yang

Hal berbeda ditunjukkan oleh ritel modern, ritel modern biasanya beroperasi dari pagi sampai malam hari (jam 07.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB), dan pelayanan

Tabel 4.3 Frekuensi faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien hemodialisa dalam menjalani pola diet... Ada dua kategori