• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya terus menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Para

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. nampaknya terus menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Para"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Diskursus mengenai relasi agama-negara dalam konsepsi Islam nampaknya terus menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Para ilmuwan dalam dekade terakhir ini termasuk ilmuwan Indonesia sering mendiskusikannya. Bermacam pendapat pun bermunculan; apakah dalam Islam diatur kehidupan berpolitik dan bernegara, ataukah Islam sebagai suatu agama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan negara.

Terlepas dari perdebatan di atas, kenyataannya umat Islam selalu membutuhkan sebuah sistem negara yang Islami. Karena bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu kekuatan (institusi politik). Sekadar contoh, untuk menegakkan keadilan, memelihara perdamaian dan ketetirban, mutlak diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.1 Andaikata kebijaksanaan-kebijaksanaan itu mengacu pada tegaknya ajaran Islam maka perangkat-perangkat peraturannya seharusnya yang Islami pula. Adalah suatu hal yang kurang tepat apabila

1

(2)

hendak menegakkan prinsip-prinsip Islam tetapi menggunakan sistem yang non Islami.2

Realitas sejarah menunjukkan bahwa negara itu dibutuhkan untuk mengembangkan dakwah. Nabi Muhammad sendiri, ketika masih di Makkah tidak bisa berbuat banyak di bidang politik, karena kekuatan politik didominasi oleh kaum aristokrat Quraisy yang memusuhi Nabi. Baru setelah hijrah ke Madinah dan mempunyai dukungan politik dari komunitasnya, dalam waktu beberapa tahun saja berhasil merubah kondisi masyarakat Madinah dari kemusyrikan menuju atmosfir Islam. Kehidupan Nabi dan komunitasnya pada periode Madinah inilah yang dijadikan argumen oleh beberapa pemikir politik Islam bahwa ketika itu telah terwujud sebuah negara (pemerintahan), baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa. Penilaian ini tentunya tidak berlebihan karena ketika itu Nabi bertindak tidak hanya sebagai pemimpin spiritual saja, tapi juga sebagai kepala negara, seperti memutuskan hukum, mengirim dan menerima utusan, juga memimpin peperangan.3

Persoalannya Nabi tidak meninggalkan suatu pesan yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara itu, misalnya bagaimana bentuk negaranya, bagaimana sistem pengangkatan kepala negara, siapa yang berhak menetapkan undang-undang. Karena ketidakjelasan inilah dapat dilihat praktek sistem negara Islam dalam sejarahnya selalu berubah-ubah. Masa

2

Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Abdul Rochim CN., Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 16. M. Yusuf al-Qardlawi, Fiqh Negara, terj. Safril Halim, Jakarta: Rabbani Press, 1997, hlm. 16-17.

3

Taqiyuddin al-Nabhani, Negara Islam, terj. Umar Faruq, dkk., Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000, hlm. 62-63. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 92.

(3)

empat Khulafa’ al-Rasyidun saja masing-masing menjadi khalifah melalui sistem yang bervariasi. Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan di Saqifah Bani Sa’idah dua hari setelah Nabi wafat melalui majelis musyawarah. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam forum musyawarah terbuka, tetapi melalui wasiat pendahulunya, Abu Bakar. Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna.4

Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah telah lebih jauh lagi dibandingkan dengan praktek di masa Nabi maupun Khulafa’ al-Rasyidun. Pada masa ini dan berikutnya, pemerintahan telah berubah bentuknya menjadi monarkhi, yang dalam rangka suksesi tidak ada lagi bentuk musyawarah. Tradisi suksesi telah berubah; dari pola musyawarah menjadi penunjukan terhadap anaknya atau keturunannya.5

Selanjutnya, di masa kemunduran Islam, umat Islam malah hampir tidak mempunyai negara Islam, karena kebanyakan bangsa muslim berada di bawah imperium Barat. Tetapi keinginan untuk mendirikan negara dan pemerintahan sendiri tetap ada. Karena itu dalam sejarah dapat terlihat di mana-mana umat

4

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993, hlm. 21-30.

5

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 42, 45.

(4)

Islam selalu memberontak untuk melepaskan diri dari penjajah.6 Setelah mendapatkan kemerdekaan, umat Islam mulai menghadapi problem baru yaitu bagaimanakah sebenarnya formula negara Islam itu?

Berangkat dari pengalaman inilah sejumlah ilmuwan muslim telah tampil dan berusaha merumuskan konsep-konsep dasar mengenai negara Islam. Ada al-Mawardi, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, Husein Haikel, Hasan al-Bana, al-Maududi, Fazlur Rahman, Yusuf al-Qardlawi dan Taqiyuddin al-Nabhani. Sesuai dengan zamannya serta latar belakang sosial politik dan pendidikan yang berbeda, mereka telah mengemukakan gagasan yang saling berbeda pula.

Sekadar contoh, pendapat al-Mawardi (w. 450 H./1058 M.) mengenai bentuk negara, kendatipun kepala negara dipilih tetapi dia tetap memilih pemerintahan sistem monarkhi, yaitu sistem kerajaan yang berkembang di masanya. Al-Mawardi juga memberi syarat calon pemimpin negara harus berbangsa Arab dan bersuku Quraisy.7 Begitu pula Ibn Khaldun (w. 809 H./1406 M.) yang hidup lama setelah al-Mawardi masih mensyaratkan seorang pemimpin negara Islam harus bersuku Quraisy pula.8 Syarat yang diajukan oleh kedua pemikir politik Islam ini untuk kondisi sekarang tentu tidak realistis.

6

Abdelwahab el-Afendi, Masyarakat Tak Bernegara, terj. Amiruddin al-Rani, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. 47.

7

Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Surabaya: Syirkah Bangil Indah, t.th., hlm. 6.

8

Abd al-Rahman ibn Khaldun, Muqadimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 238-239.

(5)

Sejalan dengan perkembangan zaman, sejumlah pemikir politik Islam modern telah memunculkan gagasan-gagasan baru sesuai dengan alam politik yang berkembang. Berbeda dengan pemikir Islam di masa klasik dan abad pertengahan yang mempunyai visi sama mengenai bentuk pemerintahan yaitu lebih memilih monarkhi, pemikir Islam kontemporer memiliki visi yang beragam. Seperti pendapat Muhammad Abduh, bahwa di dalam Islam tidak terdapat sitem negara yang baku. Umat Islam bebas menganut sistem yang bagaimanapun disesuaikan dengan kondisi zaman, bahkan tidak ada salahnya meniru pola pemerintahan Barat sekalipun.9 Begitu juga Husein Haikal, yang merumuskan bahwa sistem pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam adalah sistem yang menjamin kebebasan.10

Gagasan lain misalnya al-Maududi yang merumuskan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam, kekuasaan negara dilaksanakan oleh tiga badan; legislatif (parlemen), eksekutif (kabinet) dan yudikatif (kehakiman).11 Sistem ini lazim disebut Trias Politica, yang sebenarnya produk pertumbuhan politik Barat dan bagian dari sistem demokrasi yang ditolak oleh al-Maududi sendiri. Secara teoritis, pembagian kekuasaan ini untuk saling mengontrol dan mencegah kediktatoran penguasa (checks and balance).12

9

Munawir Syadzali, op.cit., hlm. 130.

10

Muhammad Husein Heikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 45.

11

Abu A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1984, hlm. 73-74.

12

(6)

Pada perkembangan selanjutnya, banyak pula gagasan-gagasan intelektual muslim yang ikut merumuskan, atau sekadar menyempurnakan gagasan mengenai relasi agama dan negara dalam Islam. Begitu juga dalam konteks lokal (Indonesia), banyak intelektual muslim yang mendiskusikan topik tersebut. Nama-nama seperti Nurcholis Madjid, Munawir Sydzali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Bahtiar Effendi dan M. Din Syamsuddin merupakan pemikir yang memberikan apresiasi mengenai relasi agama dan negara atau hubungan agama dan politik dalam Islam.

Misalnya M. Din Syamsuddin menyatakan bahwa hubungan agama dengan negara hendaknya saling menguntungkan dan mendukung, seperti di Indonesia. Segala program dan kebijakan negara tentunya sangat memerlukan keterlibatan agama dan pemeluk agama, dan sebaliknya dengan adanya negara maka agama akan lebih mudah berkembang. Din menganggap bahwa negara Indonesia secara subtantif adalah negara Islami dengan alasan bahwa dalam Pancasila terkandung substansi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti tauhid, kemanusiaan, persaudaraan, demokrasi, dan keadilan, dan agama menempati rating yang tinggi. Selain itu, di Indonesia juga ada jaminan konstitusional; bahwa negara menjamin kemerdekaan warganya untuk beragama dan menjalankan ibadat. Agama juga mendapat pengakuan instrumental dan menjadi landasan spiritual, etia dan moral bagi pembangunan.13

13

M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hlm. 43-45.

(7)

Dari sinilah dapat dilihat bahwa ada hubungan timbal balik antara agama dan negara yang digagas oleh Din Syamsuddin, dan dapat dijadikan jalan tengah antara paham sekuler yang menafikan agama dalam kehidupan politik dan paham literalis yang memandang bahwa hubungan agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Atas dasar itu pulalah penulis tertarik untuk melakukan kajian terhadap pemikiran M. Din Syamsuddin mengenai hubungan agama dan negara dalam Islam.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi di atas, maka pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pandangan M. Din Syamsuddin mengenai relasi agama dan negara dalam Islam?

2. Sejauh mana relevansi dan kecenderungan pemikiran M. Din Syamsuddin dalam polarisasi paradigma politik kontemporer?

C. Tujuan Penelitian

Dengan melihat pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan:

1. Untuk mengetahui pemikiran M. Din Syamsuddin mengenai relasi agama dan negara dalam Islam.

2. Untuk mengetahui sejauh mana relevansi dan kecenderungan pemikiran M. Din Syamsuddin dalam polarisasi paradigma politik kontemporer.

(8)

D. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana disebutkan pada pokok permasalahan, penelitian ini akan memusatkan perhatiannya tentang konsep relasi agama dan negara dalam Islam yang dirumuskan M. Din Syamsuddin. Kaitannya dengan konsep relasi agama dan negara atau pemerintahan dalam Islam telah banyak dilakukan penelitian/kajian. Untuk memperoleh gambaran yang pasti tentang posisi penelitian ini di antara karya-karya yang sudah ada, berikut ini akan penulis ilustrasikan tiga karya terakhir yang membahas seputar negara Islam.

Pertama, buku Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman karya M. Hasbi Amiruddin yang merupakan desertasi doktoralnya. Amiruddin menggambarkan negara Islam yang digagas Fazlur Rahman, bahwa yang dimaksud negara Islam, bukanlah penamaan resmi negara Islam, walaupun Fazlur Rahman setuju saja dengan penamaan itu, melainkan gambaran yang lebih bersifat subtantif: apa yang dituntut oleh Islam dari suatu negara yang sesuai dengan ajaran Islam seperti yang dikemukakan oleh al-Qur'an dan sunnah. Dalam buku ini juga banyak diulas mengenai teori kedaulatan rakyat (demokrasi).

Kedua, buku Min Fiqh Daulah fi Islamiyah, karya Yusuf al-Qardlawi. Yusuf al-Qardlawi dalam buku ini mengambarkan wacana baru seputar negara Islam, demokrasi, sistem multi partai, keterlibatan wanita dalam berbagai dewan perwakilan dan partisipasinya dalam pemerintahan sekuler. Al-Qardlawi menyebutkan bahwa negara Islam adalah “negara madani” yang berdasarkan syari’at Islam, bukan negara agamawan seperti

(9)

yang dipahami Barat dalam sejarahnya. Negara Islam dibangun berdasarkan berbagai prinsip demokrasi yang baik.

Ketiga, buku The Islamic Theory of Goverment According to Ibn Taymiyah, karya Khalid Ibrahim Jindan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mufid “Teori Pemerintahan Islam menurut Ibn Taimiyah”. Ibrahim Jindan memaparkan pandangan-pandangan Ibn Taimiyah terhadap hakekat dan perilaku pemerintahan Islam yang dikaitkan dengan tiga faktor utama: (1) konteks sejarah yang mengitari kehidupan Ibn Taimiyah, (2) tradisi pemikiran politik Islam yang berasal dari al-Qur'an, sunah dan tauladan negara Islam yang mula-mula dan (3) teori-teori politik Islam yang telah mapan seperti Sunni tentang khalifah, teori Syi’ah tentang imamah dan teori Khawarij tentang pemberontakan. Namun kalau dianalisis lebih jauh, di sini tidak disebutkan secara tegas mengenai bentuk pemerintahan Islam yang ditawarkan oleh Ibn Taimiyah.

Dari deskripsi di atas, nampaklah adanya beberapa versi dari berbagai sudut pandang yang ada. Fazlur Rahman dengan bentuk negara Islam yang lebih bersifat subtantif dan dengan demokrasi kerakyatannya, Yusuf al-Qardlawi dengan negara madani yang dibangun berdasarkan prinsip demokrasi. Begitu juga Ibn Taimiyah yang tidak secara tegas mengajukan bentuk negara Islam. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti pendapat M. Din Syamsuddin sebagai intelektual Indonesia yang ikut merespon mengenai relasi agama dan negara dalam Islam. Penelitian ini penting dilakukan seiring dengan semakin gencarnya gerakan yang mengarah pada

(10)

penawaran sistem Islam dalam kehidupan bernegara maupun gerakan sekuler yang menentangnya di Indonesia. Kapasitas M. Din Syamsuddin sebagai intelektual sekaligus public figur yang memimpin organisasi keagamaan besar (Muhammadiyah) layak dipertimbangkan gagasannya dalam memandang relasi agama dan negara dalam Islam.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, maka diperlukan seperangkat metodologi yang memadai. Karenanya, dalam penelitian ini juga akan menggunakan seperangkat metodologi penelitian dengan langkah-langkah berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) karena sumber data yang digunakan adalah data kepustakaan, baik berupa buku-buku ataupun tulisan-tulisan lain.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan sumber utama, yaitu tulisan-tulisan M. Din Syamsuddin yang membahas tentang relasi agama-negara dalam Islam secara langsung yaitu buku Etika dalam Membangun Masyarakat Madani. Sedangkan sumber sekundernya berupa buku-buku ataupun tulisan-tulisan orang lain yang terkait dengan materi yang akan diteliti misalnya buku Islam dan Tata Negara karangan Munawir Sjadzali, Sisitem Politik Islam karangan Abu ‘Ala al-Maududi,

(11)

Khilafah dan Pemerintahan Islam karangan Ali Abd al-Razik, Fiqh Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran karya J. Suyuti Pulungan, Ilmu Negara karya M. Soly Lubis, ataupun tulisan lain yang terkait dengan bahasan penelitian ini.

3. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analysis)14 yaitu akan menganalisis makna yang terkandung dalam keseluruhan gagasan M. Din Syamsuddin mengenai relasi agama dan negara dalam Islam khususnya, dan politik Islam secara umum. Upaya tersebut dilakukan melalui langkah-langkah; menginventarisasi pokok-pokok pemikiran M. Din Syamsuddin tentang relasi agama-negara dalam Islam, mendiskripsikan dan menilai data terkait, kemudian mengidentifikasi dan memadukan konsep-konsep yang digunakannya. Setelah itu dihubungkan dan mendialogkannya dengan pendapat lain, dan akhirnya membuat kesimpulan sebagai refleksi penulis sendiri. Metode content analisys ini juga bertumpu pada pola penyajian data secara deskriptif-analitis-kritis. Kegunaan diskripsi untuk menjelaskan bahwa suatu fakta (pemikiran) itu benar atau salah.15 Sedangkan analitis-kritis merupakan syarat mutlak dalam suatu penelitian. Metode ini digunakan untuk mengembangkan analisis dengan melihat sisi kelebihan dan kelemahan sebuah pemikiran. Selanjutnya, penulis juga akan melakukan

14

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002, hlm. 68-69.

15

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 18.

(12)

komparasi, yaitu pemaknaan dengan membandingkan antara pendapat M. Din Syamsuddin dengan pendapat yang lain.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini akan disusun dalam lima bab yang dimaksudkan agar mampu memberikan gambaran yang terpadu mengenai pemikiran M. Din Syamsuddin tentang relasi agama-negara dalam Islam.

Bab pertama, bagian pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua memaparkan gambaran umum tentang agama dan negara. Bab ini memuat; pengertian agama dan negara, bentuk-bentuk negara, dan sejarah dan pandangan ulama mengenai negara Islam.

Bab ketiga akan memaparkan pemikiran M. Din Syamsuddin mengenai relasi agama dan negara dalam Islam. Bab ini memuat; biografi M. Din Syamsuddin, pemikiran politik Islam M. Din Syamsuddin secara umum, dan pandangan M. Din Syamsuddin mengenai relasi agama dan negara.

Bab keempat merupakan analisis. Point-point yang akan dianalisis adalah; kecenderungan pemikiran M. Din Syamsuddin mengenai relasi agama dan negara dalam polarisasi paradigma politik Islam kontenporer, dan relevansi pemikiran M. Din Syamsuddin dalam konteks politik Indonesia.

Bab kelima penutup, yang memuat kesimpulan sebagai penegasan dan jawaban atas permasalahan yang diangkat, kemudian akan diberikan saran-saran dan kata penutup.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Keputusan Rektor tentang Calon Mahasiswa Baru Program Program Sarjana dan

Namun PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang USU Medan dapat meyakinkan calon nasabah karena penerapan prinsip Mengenal Nasabah membawa dampak positif yang sangat

(1) Subbidang Ideologi dan Wawasan Kebangsaan dipimpin oleh Kepala Subbidang mempunyai tugas pokok membantu Kepala Bidang Ideologi, Wawasan Kebangsaan dan Ketahanan

Pasal 108 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut dengan KUHAP) menyebutkan setiap orang yang mengetahui pemufakatan kejahatan atau

Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur melalui pendekatan Yuridis-Normatif maka teknik pengumpulan data dengan

DAFTAR NAMA GURU PAI PADA SEKOLAH - TAHUN 2011 PROVINSI : JAWA TENGAH... SDN

Sesuai dengan kualitas pulp yang dihasilkan untuk industri kimia kandungan selulosa harus lebih besar dari 80 %, maka pada waktu pemasakan 150 menit dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan manajemen kelas dalam pembelajaran Sains di SDIT Sabilul Huda telah terlaksana dengan baik, walaupun masih harus