• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN PENGEMBANGAN MODEL PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS RESIKO BANJIR (VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN PENGEMBANGAN MODEL PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS RESIKO BANJIR (VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

2014

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

PENGEMBANGAN MODEL

PENGEMBANGAN MODEL

PENGEMBANGAN MODEL

PENGEMBANGAN MODEL

PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

UNTUK ANALISIS RESIKO BANJIR

UNTUK ANALISIS RESIKO BANJIR

UNTUK ANALISIS RESIKO BANJIR

UNTUK ANALISIS RESIKO BANJIR

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

(2)

PENGEMBANGAN

PENGEMBANGAN

PENGEMBANGAN

PENGEMBANGAN MODEL

MODEL

MODEL

MODEL

PEMANFAATAN

PEMANFAATAN

PEMANFAATAN

PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

PENGINDERAAN JAUH

PENGINDERAAN JAUH

PENGINDERAAN JAUH

UNTUK

UNTUK

UNTUK

UNTUK ANALISIS RESIKO BANJIR

ANALISIS RESIKO BANJIR

ANALISIS RESIKO BANJIR

ANALISIS RESIKO BANJIR

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

PROGRAM PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENERBANGAN DAN ANTARIKSA

BIDANG LINGKUNGAN DAN MITIGASI BENCANA

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

(LAPAN)

(3)

ii Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

PENGEMBANGAN MODEL

PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

UNTUK ANALISIS RESIKO BANJIR

(VALIDASI DATA TRMM & SPOT 6)

Disusun oleh:

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DEPUTI BIDANG PENGINDERAAN JAUH

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)

Tim Penyusun: Pengarah :

Dr. M. Rokhis Khomarudin, S.Si., M.Si.

Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Parwati, S.Si., M.Sc.

Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Peneliti:

DR. Indah Prasasti, Ir. Totok Suprapto, MT. Nur Febrianti, S.Si. Nurwita Mustika Sari, S.Si.

Editor, Penyunting, Desain, dan Layout: Muhammad Priyatna, S.Si., MTI.

(4)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

iii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb. dan salam sejahtera bagi kita semua. Berkat Rahmat Allah S.W.T, maka laporan akhir tahun 2014 penelitian kami yang berjudul “Pengembangan

Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data TRMM & SPOT 6)“ dapat diselesaikan dengan baik.

Harapan dari berbagai hasil kegiatan terkait dengan penelitian dan kajian pemanfaatan penginderaan jauh untuk mendukung wahana memantau kondisi sumberdaya alam dan lingkungan dengan menggunakan data penginderaan jauh di wilayah Indonesia yang telah dan akan terus dilaksanakan di Satuan Kerja Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN pada tahun berikutnya dapat terus terdokumentasi dengan baik dan dapat dimanfaatkan kepada semua kalangan/pengguna.

Kami mengharapkan banyak masukan dari para narasumber untuk perbaikan laporan penelitian ini, sehingga tujuan dan sasaran penelitian dapat tercapai sesuai dengan tugas dan fungsi Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN dalam menyelenggarakan penelitian dan pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak, khususnya para peneliti dari Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, dan para penelaah, yang telah berupaya keras untuk menyusun dan menerbitkan laporan akhir ini.

Jakarta, Desember 2014 Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

(5)

iv Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

RINGKASAN (EXECUTIVE SUMMARY)

Ada beberapa masukan data/informasi dalam pengembangan model bahaya dan risiko banjir yang dapat diekstraksi dari data penginderaan jauh, antara lain penutup/penggunaan lahan, curah hujan, kemiringan lereng, elevasi, dan jaringan drainase. Data curah hujan dapat

diekstraksi antara lain data TRMM, sedangkan penutup/penggunaan lahan,

kemiringan/elevasi lahan dan jaringan drainase dapat diektraksi dari data DEM.

Walaupun data TRMM telah sering digunakan dalam berbagai pemanfaatan yang memerlukan informasi curah hujan, tetapi untuk aplikasi pada suatu wilayah masih sangat diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan faktor koreksi dalam model estimasinya, karena curah hujan di berbagai tempat sangat beragam dan mempunyai karakteristik yang berbeda, baik menurut tempat maupun waktu.

Dengan telah diluncurkan satelit SPOT 6 yang memiliki resolusi lebih tinggi (6 m) dan kemampuannya menghasilkan data stereo yang dapat dimanfaatkan untuk ekstraksi data DEM memberikan harapan informasi penutup/penggunaan lahan dan data DEM yang dihasilkan dapat lebih rinci dan akurat. Namun dalam pemanfaatannya tentu masih memerlukan validasi agar informasi yang dihasilkan dapat diketahui tingkat akurasinya. Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menilai potensi pemanfaatan SPOT 6 RGB untuk ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan, b. Mengevaluasi dan memvalidasi data curah hujan TRMM, dan c. Mengevaluasi dan memvalidasi akurasi data ketinggian dari data DEM SPOT 6 terhadap data titik tinggi dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).

Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan data SPOT 6 RGB, DEM SPOT 6, data TRMMM, dan data pendukung curah hujan dari 3 stasiun observasi, serta data titik tinggi RBI. Penutup/penggunaan lahan diekstraksi menggunakan teknik klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) berdasarkan metode ISODATA. Validasi untuk curah hujan TRMM dilakukan menggunakan tiga teknik yakni: a. Teknik tabel kontingensi yang ditujukan untuk menilai kemampuan data TRMM dalam mendeteksi kejadian hujan,b. Teknik gridding (interpolasi) untuk model estimasi curah hujan, dan c. Teknik downscaling menggunakan analisis Partial Least Square (PLS) untuk model estimasi curah hujan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa data SPOT 6 RGB sangat baik dimanfaatkan untuk ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan sehingga diharapkan dapat menjadi data masukan yang lebih baik dan rinci dalam pembangunan model bahaya/resiko banjir.

Dari hasil validasi data TRMM ditunjukkan bahwa data TRMM mempunyai kemampuan cukup baik dalam mendeteksi curah hujan di wilayah penelitian dengan probabilitas (POD rain) lebih dari 60% dan kejadian tidak hujan (POD no rain) sekitar 40% – 55%. Akurasinya mencapai 50% – 60% dan sekitar 25 % hingga 50% kejadian hujan yang dideteksi oleh TRMM adalah benar. Estimasi menggunakan teknik gridding (interpolasi) pada data dasarian memberikan akurasi yang cukup tinggi dan mampu mewakili sekitar 25% - 70% keragaman curah hujan observasi. Estimasi dengan teknik PLS pada data harian tidak memberikan hasil yang memuaskan dan tidak mampu mewakili curah hujan observasi dengan baik. Sementara

(6)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

v

itu, hasil validasi data DEM SPOT 6 mendapatkan bahwa akurasi data DEM SPOT 6 sangat baik dan mempunyai korelasi lebih dari 0.9 dengan titik tinggi RBI, dengan tingkat kesalahan (RMSE) sekitar 2.61 m, standar deviasi 1.95 m, dan LE(95%) sebesar 3.83 m, sehingga sangat baik dimanfaatkan sebagai data masukan dalam pengembangan model bahaya/rawan dan simulasi banjir

(7)

vi Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR………....………... iii

RINGKASAN (EXECUTIVE SUMMARY) ……… iv

DAFTAR ISI ………....………...…... vi

DAFTAR TABEL ………...………...……… vii

DAFTAR GAMBAR ……….………..…... viii

1. PENDAHULUAN ………...……...………...…... 1 1.1. Latar Belakang ………... 1 1.2. Tujuan Penelitian ..……… ……….……... 2 1.3. Sasaran Penelitian ... 2 1.4. Manfaat Penelitian... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ………...……... 3

2.1. DEM SPOT dan Akurasinya ... 3

2.2. Teknik Tabel Kontingensi ... 3

2.3. Statistical Downscaling (SD)... 4

2.4. Partial Least Square (PLS) ... 5

3. DATA DAN METODE ...……... 7

3.1. Lokasi Penelitian ... 7

3.2. Data ... 7

3.3. Metode ... 3.3.1. Ekstraksi Penutup/Penggunaan Lahan ... 3.3.2. Validasi Curah Hujan TRMM ... 3.3.3. Validasi Data DEM SPOT 6 ... 7 7 7 10 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

4.1. Penutup/Penggunaan Lahan ... 4.2. Validasi Data TRMM ... 4.2.1. Validasi Menggunakan Teknik Tabel Kontingensi ... 4.2.2. Validasi Menggunakan Teknik Gridding (Interpolasi) ... 4.2.3. Validasi Menggunakan Teknik PLS ... 4.3. Validasi DEM SPOT 6 ... 12 14 14 16 18 5. KESIMPULAN ... 27 DAFTAR PUSTAKA ... 28

(8)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Tabel Kontingensi ... 4

Tabel 4.1 Jumlah PC dan Variance X yang diwakilinya untuk masing-masing domain dengan cara simultan dan individu pada masing-masing stasiun ...

20

Tabel 4.2 Hasil Uji Statistik Data DEM SPOT 6 terhadap Titik Tinggi RBI pada masing-masing jenis penutup/penggunaan lahan ...

(9)

viii Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Ilustrasi Downscaling ... 5 Gambar 3.1. Bagan Alir Proses Validasi Data DEM SPOT 6 terhadap Titik Tinggi

RBI ... 11 Gambar 4.1. Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan yang Diekstraksi dari Data

SPOT6 ... 12 Gambar 4.2. Perbandingan tingkat kedetilan antara data Landsat 8 (a) dan SPOT 6

(b) pada dua lokasi yang berbeda ... 13 Gambar 4.3. Nilai korelasi antara curah hujan TRMM harian dengan data

observasi di 3 (tiga) stasiun observasi ... 14 Gambar 4.4. Hasil validasi curah hujan TRMM harian menggunakan teknik

kontingensi di 3 (tiga) stasiun observasi ... 15 Gambar 4.5. Nilai Bias Score dan CSI curah hujan TRMM harian menggunakan

teknik kontingensi di 3 (tiga) stasiun observasi ... 15 Gambar 4.6. Koefisien korelasi (r) antara curah hujan hasil estimasi dari data

TRMM dengan curah hujan observasi stasiun ... 16 Gambar 4.7.

Persamaan Regresi (kanan) dan Perbandingan Nilai Dugaan curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi (kiri) di Stasiun UI (a), Cengkareng (b), dan Kemayoran (c) ...

17 Gambar 4.8. Nilai RMSE untuk masing-masing stasiun penelitian ... 18 Gambar 4.9. Nilai koefisien efisiensi (CE) model untuk masing-masing stasiun

penelitian ... 18 Gambar 4.10.

Pola curah hujan TRMM harian rata-rata dari 4 piksel dibandingkan dengan curah hujan observasi di stasiun UI (a), Cengkareng (b), dan Kemayoran (c) ...

19

Gambar 4.11.

Koefisien determinasi (R2) dari hasil analisis PLS dengan cara simultan dan individu pada masing domain dan masing-masing stasiun ...

21

Gambar 4.12.

Nilai koefisien korelasi dan RMSE dari dua model estimasi (secara simultan (sim) dan individu (in)) dari masing-masing domain pada masing-masing stasiun observasi ...

22

Gambar 4.13.

Hasil analisis Koefisien Effisiensi (CE) dari masing-masing ukuran domain dengan cara simultan dan individu di masing-masing stasiun observasi ...

23

Gambar 4.14. Lokasi pengambilan titik-titik permukaan datar untuk proses validasi data DEM SPOT 6 terhadap Titik Tinggi RBI ... 24 Gambar 4.15. Persamaan Regresi Hubungan Antara Data DEM SPOT6 Terhadap

(10)

1 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Untuk

Untuk Untuk

Untuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang

Banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di antara bencana lainnya. Di wilayah Jabodetabek, terutama di DKI Jakarta, banjir sudah menjadi kejadian tahunan yang terus berulang dengan frekuensi dan intensitas dampak yang makin tinggi. Peningkatan frekuensi dan dampak banjir yang makin tinggi ini, selain curah hujan yang ekstrim, faktor lain yang menjadi penyebabnya adalah terjadinya konversi lahan (dari permukaan vegetasi menjadi permukiman), penyempitan sungai akibat pemanfaatan bantaran sungai, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, dan perubahan arah aliran sungai akibat pembangunan, dan sebagainya. Oleh karena itu, kondisi ini perlu mendapatkan perhatian dalam pembangunan sistem peringatan dini banjir.

Data penginderaan jauh (inderaja) dapat dimanfaatkan untuk analisis dan pemodelan banjir. Ada beberapa komponen yang dapat dilibatkan dalam pemodelan banjir yang dapat diekstraksi dari data inderaja, seperti: penutup/penggunaan lahan, jaringan drainase (aliran sungai), elevasi, dan curah hujan. Penutup/penggunaan lahan dapat diekstraksi dari data Landsat ETM, Landsat 8, dan SPOT, sedangkan aliran sungai dan elevasi dapat diperoleh dari data DEM, dan curah hujan dapat diturunkan antara lain dari data TRMM, CMORPH, dan QMorph. Selain faktor cakupannya yang luas, data inderaja relatif lebih murah dibandingkan dengan perolehan data dan informasi yang dilakukan secara konvensional melalui pengukuran di lapangan.

Perubahan penutup/penggunaan lahan dari bervegetasi menjadi permukiman akan berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah. Jika jumlah infiltrasi ke dalam tanah sedikit, maka hujan yang jatuh di wilayah permukiman akan berpotensi menjadi aliran permukaan dan pada daerah cekungan akan berpotensi menjadi genangan air atau banjir. Sebaliknya pada wilayah yang tertutup oleh vegetasi tanaman, seperti rumput atau hutan, maka jumlah air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah akan tinggi. Oleh karena itu, dalam penentuan distribusi daerah bahaya banjir, parameter penutup/penggunaan lahan menjadi penting untuk dipertimbangkan.

Curah hujan merupakan faktor utama penyebab banjir. Keragaman dan intensitas curah hujan yang tinggi (ekstrim) sangat erat hubungannya dengan kejadian banjir. Untuk itu, kajian keragaman spasial dari kejadian curah hujan ekstrim dapat membantu untuk mengidentifikasi daerah dengan nilai rendah dan tinggi dari kejadian curah hujan ekstrim. Secara spasial, curah hujan dapat diestimasi menggunakan data satelit, seperti data TRMM. Untuk aplikasinya secara luas, data TRMM masih memerlukan faktor koreksi untuk masing-masing wilayah. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melakukan validasi dan mendapatkan faktor koreksi model estimasi curah hujan dari data TRMM dari beberapa stasiun di wilayah Jabodetabek.

Digital Elevation Model (DEM) merupakan komponen utana dalam pemodelan hidrologi dan hidrodinamika yang dapat digunakan untuk menurunkan informasi morfologi dan jaringan drainase pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Model simulasi hidrologi dan hidrodinamika berdasarkan DEM ini sangat penting untuk prediksi aliran dan arah sebaran genangan banjir, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sistem peringatan dini banjir (El-Sammany et al., 2011). Selanjutnya El-Sammany et al. (2011) memanfaatkan data DEM

(11)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

2

SPOT 4 untuk membangkitkan model simulasi hidrologi dan hidrodinamika untuk prediksi banjir bandang dan komponen sistem peringatan dini banjir di Wadi Watier di Semenanjung Sinai, Mesir. Sementara itu Rahma et al. (2009) memanfaatkan data SPOT 4 dan DEM SRTM dengan menerapkan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan daerah retensi banjir di Kabupaten Mojokerto. Pawitan (2002) memanfaatkan data Landsat untuk menganalisis perubahan lahan dan hubungannya dengan prediksi debit banjir berdasarkan model HEC-1 di wilayah DAS Ciliwung. Ibrahim et al. (2007) menggunakan data DEM, Landsat, dan curah hujan untuk menentukan daerah distribusi banjir di DKI Jakarta berdasarkan air larian dan mensimulasikan daerah genangan banjir dari data DEM dan curah hujan melalui pendekatan hidrologi dan teknik SIG. Trisakti et al. (2008) menganalisis luas DAS dari DEM-SRTM dan menganalisis distribusi spasial debit aliran permukaan dengan menerapkan metode SCS di DAS Ciliwung.Dengan telah diluncurkannya SPOT 6 yang mempunyai resolusi spasial lebih tinggi (6 meter) dan kemampuannya untuk

menghasilkan data DEM dengan resolusi 1.5 meter diharapkan informasi

penutup/penggunaan lahan dan DEM yang dihasilkan dari data SPOT 6 tersebut lebih rinci dibandingkan dengan sebelumnya. Namun demikian, aplikasinya dalam analisis banjir masih memerlukan validasi. Validasi dari keakuratan vertikal dari data DEM SPOT 6 ini sangat penting untuk memastikan bahwa data ketinggian (elevasi) dapat memenuhi spesifikasi standar pemetaan.

1. 2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menilai potensi pemanfaatan SPOT 6 RGB untuk ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan, b. Mengevaluasi dan memvalidasi data curah hujan TRMM, dan c. Mengevaluasi dan memvalidasi akurasi data ketinggian dari data DEM SPOT 6 terhadap data titik tinggi dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).

1. 3. Sasaran Penelitian

Sasaran dari penelitian ini adalah: a. Tersedianya informasi penutup/penggunaan lahan dari data SPOT 6 RGB yang lebih rinci, b. Tersedianya informasi akurasi dan faktor koreksi data curah hujan TRMM, dan c. Tersedianya informasi akurasi dan faktor koreksi data DEM SPOT 6.

1. 4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah daerah dan institusi lain dalam upaya pengembangan model deteksi dan peringatan dini bahaya dan risiko banjir. Selain itu, informasi yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran akurasi dari masing-masing informasi yang diturunkan dari data inderaja SPOT 6 dan TRMM tersebut.

(12)

3 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. DEM SPOT dan Akurasinya

DEM sangat diperlukan dalam beberapa kepentingan, seperti pembentukan citra ortho, perencanaan banjir, pengendalian erosi, pembentukan garis kontur, dan gambar tiga dimensi (3D), dan sebagainya. Informasi DEM dapat diekstraksi melalui fotogrammetrik dari foto udara, juga dapat diperoleh dengan menggunakan Airborne Laser Scanning yang relatif akurat dan sangat detil namun sangat mahal. Selain itu, informasi ketinggian (elevasi) juga dapat diperoleh dari Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR). Informasi elevasi dapat pula diekstraksi dari data inderaja, antara lain dari SPOT 6.

SPOT 6 telah diluncurkan pada tanggal 9 September 2012 oleh ASTRIUM. SPOT 6 ini merupakan kelanjutan dari rangkaian SPOT yang telah beroperasi sejak tahun 1986. Luas liputan SPOT 6 adalah 60 x 60 km2 dengan resolusi spasial 1.5 m. Pasangan dari SPOT 6, yakni SPOT 7 diluncurkan pada Januari 2014. Kapasitas koleksi data meningkat dengan pengoperasian SPOT 6 dan SPOT 7 secara bersama-sama, dengan cakupan 6 juta Km2 per hari. Selain itu, dengan diintegrasikannya prakiraan cuaca yang diperbarui 4 kali per hari secara otomatis dalam perencanaan misi, menjadikan tingkat keberhasilan rasio citra bebas awan yang dikumpulkan oleh kedua satelit meningkat (Nonin et al., 2013)

SPOT 6 mempunyai kemampuan untuk menghasilkan pasangan citra stereo yang dapat dimanfaatkan untuk ekstraksi informasi 3D dan mendapatkan data base elevasi, seperti DEM dan/atau garis kontur (Nonin et al., 2013).

Kualitas geometri DEM diukur berdasarkan akurasinya. Spesifikasi internasional untuk ukuran akurasi yang sering digunakan adalah standar deviasi (St Dev) pada level probabilitas 68%. Khusus di Amerika Serikat menggunakan circular error (CE) pada level probabilitas 90% atau CE90. Oleh karena itu, ukuran akurasi yang paling umum digunakan adalah St Dev (Jacobsen, 2004). Hasil perbandingan presisi antara DEM SPOT dengan ERS DEM yang dilakukan oleh Renouard et al. (1995) di wilayah Utah mendapatkan bahwa presisi statistik pada 1σ DEM SPOT adalah sebesar 8 m, sedangkan ERS DEM sebesar 12 m.

2. 2. Teknik Tabel Kontingensi

Teknik tabel kontingensi merupakan teknik yang memasangkan data curah hujan observasi dan data curah hujan dugaan setiap stasiun dengan berdasarkan frekuensi “ya” dan “tidak” (Elbert, 2007) (Tabel 2.1). Teknik ini disebut juga dengan teknik probability of

detection (POD) dan False Alarm Rate (FAR). Teknik ini merupakan salah satu metode yang termasuk ke dalam metode Relative Operating Characteristics (ROC). ROC merupakan metode untuk menilai kemampuan sistem prediksi berdasarkan kontingensi yang menampilkan skill sistem prediksi. ROC membandingkan data yang hit rate dengan false

alarm (Kadarsah, 2010). Menurut Satrya (2012), hit rate yang sering disebut dengan POD menyatakan seberapa baik kejadian hujan diprediksi, sedangkan false alarm menyatakan berapa persen dari prediksi hujan yang merupakan prediksi yang salah. Hit rate dan false

alarm dihitung dalam setiap rentang probabilitas. Dalam POD dibagi menjadi probability of

(13)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

4

Tabel 2.1. Tabel Kontingensi (Elbert et al., 2007)

Estimasi

Observasi

Yes No Total

Yes Hits False Alarm (FA) Estimated Yes

No Misses Correct Negatives

(null)

Estimated No

Total Observed Yes Observed No Total

Teknik tabel kontingensi ini telah dimanfaatkan oleh beberapa peneliti seperti Elbert et

al. (2007), Moffitt et al. (2010), Kadarsah (2010), dan Saputro (2012). Elbert et al. (2007) memanfaatkan teknik ini untuk memvalidasi curah hujan di wilayah Eropa dan Australia dengan POD rain sebesar 0.56 di Eropa, dan 0.54 di Australia. Sementara itu, Moffitt et al. (2010) menggunakan teknik ini untuk mengkaji potensi pemanfaatan data TRMM untuk menduga curah hujan di wilayah Bangladesh dan menghasilkan nilai POD rain sebesar 0.57 dan POD norain sebesar 0.78. Kadarsah (2010) menggunakan teknik ini untuk wilayah Banda Aceh dengan hasil POD rain sebesar 0.875. Saputro (2012) menggunakan teknik ini untuk mengevaluasi skill model VARX dan aditif VARX untuk meramal curah hujan di Indramayu.

2. 3. Statistical Downscaling (SD)

Metode statistical downscalling (SD) didasarkan pada asumsi bahwa iklim regional dikendalikan oleh dua faktor, yaitu kondisi iklim skala besar (resolusi rendah) dan kondisi fisiografik regional (Busuioc et al. 1999 dalam Sutikno 2008). Metode SD merupakan suatu fungsi transfer yang menggambarkan hubungan fungsional sirkulasi atmosfer global; hasil dari Global Climate Model (GCM), dengan unsur-unsur iklim lokal (Zorita and von Storch 1999 dalam Bergant and Kajfez-Bogataj 2005) atau merupakan fungsi transfer untuk mereduksi dimensi GCM yang dapat digunakan untuk memprakirakan kondisi iklim pada tingkat lokal berdasarkan sifat-sifat peubah pada skala global. Metode ini mencari informasi skala lokal dari skala global melalui hubungan fungsional antara kedua skala tersebut (Storch

et al. 2001 dalam Wigena 2006). Namun untuk keadaan skala global yang sama, keadaan skala lokalnya dapat bervariasi atau adanya regionalisasi. SD menjelaskan hubungan antara skala global dan lokal dengan lebih memperhatikan keakuratan model penduga untuk mempelajari dampak perubahan iklim (Yarnal et al. 2001 dalam Wigena 2006). Downscaling lebih menunjukkan proses perpindahan dari peubah penjelas ke peubah respon, yaitu perpindahan dari skala global ke skala regional (titik). Gambar 2-1 mengillustrasikan proses

(14)

5 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

Gambar 2-1. Ilustrasi downscaling (Sumber : http://cccsn.ca/)

Bentuk umum model SD adalah (Wigena, 2006):y = f(X)dengan y(t x q) adalah

peubah-peubah iklim lokal, X(t x p x s x g) adalah peubah-peubah sirkulasi atmosfir global, t adalah

banyaknya waktu (seperti: bulanan, harian), p adalah banyaknya peubah X, q adalah banyaknya peubah y, s adalah banyaknya lapisan atmosfir, g adalah banyaknya grid domain GCM.

Menurut Weichert and Bürger (1998) dan Zorita and von Storch (1999)(dalam Kajfez-Bogataj (2005), pendekatan untuk SD dapat dilakukan melalui pendekatan linier dan non-linier. Pendekatan linier yang umum digunakan antara lain: analisis korelasi kanonik (CCA =

canonical correlation analysis) seperti yang pernah dilakukan oleh von Storch et al., (1993), Busuioc et al. (1999), Landman dan Tennant (2000), Benestad (2001), Busuioc et al. (2001) (dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj 2005), regresi komponen utama (PCR = principal

components regression) oleh Schubert (1998), Benestad et al. (2002), Bergant et al. (2002) (dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj, 2005), dan regresi berganda pada indeks-indeks sirkulasi skala besar (MLR = multiple linear regression) (Wilby et al., 1998, 1999 dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj 2005). Sementara itu, teknik non-linier yang sering digunakan antara lain metode analog (ANL = analog method) oleh Zorita dan von Storch (1999) dan Timbal et

al.(2003)(dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj 2005) dan jaringan syaraf tiruan (ANN =

artificial neural networks) oleh Hewitson dan Crane (1996), Cavazos (1997), Weichert dan Bürger (1998), Trigo dan Palutikof (2001) (dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj 2005).

CCA mempunyai kelebihan dalam memilih pasangan spasial antara peubah tak bebas dengan peubah bebas yang berkorelasi secara optimal. Pada periode berikutnya Noguer (1994 dalam Haryoko 2004) dan Busuioc et al. (1999 dalam Haryoko 2004) menggunakan metode CCA untuk memvalidasi model GCM. Sedangkan, Bergant dan Kajfez-Bogataj (2005) dan Zhu et al. (2007) menggunakan teknik PLS (partial least squares regression) sebagai metode SD.

2. 3. Partial Least Square (PLS)

Metode kuadrat terkecil parsial (Partial Least Square/PLS) merupakan soft model yang dapat menjelaskan struktur keragaman data dengan menggeneralisasi dan menggabungkan

(15)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

6

antara metode analisis faktor, PCA (Principal Component Analyzis), dan regresi berganda (multiple regression)(Abdi 2007). Metode PLS dapat dilihat sebagai dua bentuk yang saling berkaitan antara CCA (Canonical Correlation Analysis) dan PCA. Dalam penelitian ini PLS digunakan untuk mereduksi dimensi peubah curah hujan estimasi TRMM dalam ukuran domain tertentu yang dipakai sebagai prediktor untuk menduga curah hujan lokal.

PLS dapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas antar peubah pada persamaan yang menggunakan peubah banyak. Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh tidak unik.

Metode PLS bertujuan untuk membentuk komponen yang dapat menangkap informasi dari peubah bebas untuk memprediksi peubah respon. PLS terfokus pada kovarian diantara peubah bebas dan peubah tak bebas. Model yang dihasilkan akan mengoptimalkan hubungan prediksi antara dua komponen peubah. Metode ini terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap

building set (membangun model) dan prediction set (validasi). Proses penentuan model pada metode kuadrat terkecil parsial dapat dilakukan secara iterasi dengan melibatkan keragaman peubah x dan y. Struktur ragam dalam y akan mempengaruhi komponen kombinasi linier dalam x, dan sebaliknya (Bilfarsah 2005).

Menurut Abdi (2007), regresi PLS merupakan suatu teknik yang umum yang mengkombinasikan ciri-ciri dari analisis komponen utama dan regresi berganda. Selain itu, menurut Zhu et al. (2007), PLS dapat digunakan untuk mereduksi dimensi kovariasi, menghindari adanya kolinearitas antar komponen kovariasi, dan mengatasi struktur data yang tidak linier serta mengatasi masalah dimensi peubah respon yang besar. Dengan demikian, PLS mampu untuk menentukan model prediksi dari sejumlah peubah prediktan berdasarkan peubah prediktor yang sama secara bersamaan sehingga menghemat waktu pemrosesan data.

(16)

7 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

3. DATA DAN METODE 3. 1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Jabodetabek untuk lokasi validasi data curah hujan TRMM dan DEM SPOT 6. Sementara itu, untuk ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan dipilih DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan wilayah ini merupakan daerah yang paling intensif mengalami perubahan penutup/penggunaan lahan. Selain itu, informasi penutup penggunaan lahan di wilayah DKI Jakarta sangat diperlukan dalam perencanaan tata ruang wilayah, khususnya terkait dengan kepentingan pemantauan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah tersebut yang semakin berkurang.

3. 2. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Landsat 8 dan RGB SPOT 6 tahun 2013, data curah hujan TRMM harian dari tahun 2008 - 2011, dan data DEM SPOT 6 wilayah DKI Jakarta tahun 2013. Data Landsat 8, SPOT 6 (RGB dan DEM) wilayah DKI Jakarta diperoleh dari Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN. Data curah hujan TRMM diperoleh dari hasil pengolahan dari Bidang Produksi Informasi. Sementara itu, data pendukung untuk kepentingan validasi curah hujan adalah data curah hujan observasi dari 3 (tiga) stasiun, yakni: UI, Cengkareng, dan Kemayoran pada periode tahun 2008 - 2011. Untuk validasi data DEM SPOT 6 digunakan data pendukung titik tinggi Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diukur oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).

3. 3. Metode

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap pekerjaan, yang meliputi: 1. Ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan, 2. Validasi data TRMM terhadap data curah hujan observasi, dan 3. Validasi data DEM SPOT 6 terhadap data titik tinggi Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

3. 3. 1. Ekstraksi Penutup/Penggunaan Lahan

Ekstraksi penutup/penggunaan lahan dilakukan menggunakan teknik klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) berdasarkan metode ISODATA. Teknik klasifikasi ini pada prinsipnya menghitung nilai rata-rata setiap kelas secara iterative dengan menerapkan teknik jarak minimum (minimum distance). Kemudian, hasilnya diklasifikasikan menjadi 12 kelas penutup.penggunaan lahan. Selanjutnya, dari 12 kelas direklasifikasi menjadi 6 kelas. Untuk meningkatkan ketelitian, hasil klasifikasi dikoreksi dengan citra tampilan di Google Earth. Proses ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan dilakukan menggunakan perangkat lunak ErMapper 7.1.

3. 3. 2. Validasi Data Curah Hujan TRMM

Validasi data curah hujan TRMM dilakukan dengan 3 cara (teknik), yakni: 1/. Menggunakan Teknik Tabel Kontingensi untuk memvalidasi kemampuan data TRMM dalam mendeteksi curah hujan di suatu wilayah, 2/. Menggunakan teknik gridding (interpolasi)

(17)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

8

dalam resolusi 1 km, dan 3/. Menggunakan teknik SD dengan menerapkan metode PLS. Teknik gridding dan SD dengan metode PLS ditujukan untuk mendapatkan model estimasi curah hujan dan faktor koreksi untuk masing-masing stasiun yang digunakan dalam penelitian.

Masing-masing teknik dilakukan melalui beberapa tahap pengolahan data sebagai berikut:

1. Teknik Tabel Kontingensi

Dalam teknik ini prosedur pengolahan data dilakukan melalui tahap berikut: a/. Mengelompokkan nilai curah hujan yang termasuk pada parameter Tabel Kontingensi (Hit,

False Alarm, Miss, dan Null) berdasarkan pasangan data curah hujan TRMM dan observasi sesuai dengan kriteria pada Tabel 2.1., 2/. Menghitung jumlah data yang termasuk masing-masing parameter Tabel Kontingensi (Hit, False Alarm, Miss, dan Null), 3/. Menghitung nilai masing-masing parameter validasi: Akurasi, POD rain, POD no rain, FA rain, FA no rain,

Bias Score, CSI (Critical Success Index), dan korelasi (r) dengan formulasi sebagai berikut (Suseno, 2009):

(

)(

)

(

) (

)

) 8 . 3 ...( ... ... 2 / 1 1 1 2 2 1       − − − − =

= = = n i n i ob obi dg dgi n i ob obi dg dgi x x x x x x x x r

(18)

9 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

dengan r adalah korelasi, Xdgi adalah nilai curah hujan estimasi TRMM hari ke-i, Xob adalah

nilai curah hujan observasi ke-i, adalah nilai rata-rata curah hujan TRMM, adalah nilai rata-rata curah hujan observasi.

Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell.

2. Teknik Gridding (interpolasi)

Proses gridding (interpolasi) dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ErMapper 7.1. Pengolahan awal yang dilakukan adalah penyesuaian resolusi spasial data TRMM melalui proses gridding menggunakan tipe grid Minimum Curvature untuk memperhalus resolusi ukuran piksel dari 0.25o x 0.25o yang setara dengan 27 km x 27 km menjadi 1 km2 atau 0.009009o. Selanjutnya, dengan memasukkan titik koordinat (Lintang dan Bujur) stasiun dan menjadikannya sebagai titik pusat dilakukan buffering dengan radius 10 km dan ekstraksi nilai curah hujan untuk masing-masing stasiun.

Validasi nilai curah hujan hasil gridding untuk menilai akurasinya diukur berdasarkan nilai keragaman (R2), korelasi (r), root mean square error (RMSE). RMSE dihitung menggunakan persamaan berikut:

...(3.9)

dengan adalah nilai curah hujan dugaan ke-i dari data TRMM, adalah curah hujan observasi ke-i, dan n adalah banyaknya data pengamatan yang digunakan dalam penelitian. Jika nilai r curah hujan dugaan dengan curah hujan observasi semakin besar maka semakin kuat hubungan di antara keduanya sehingga nilai dugaan akan semakin mendekati pola data aktualnya. Galat atau error didefinisikan sebagai selisih antara curah hujan dugaan dengan curah hujan observasi (Wibowo, 2010). RMSE menunjukkan tingkat bias pendugaan yang dihasilkan oleh model estimasi curah hujan.

Proses pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan ErMapper 7.1 dan Microsof Excell.

3. Teknik SD dengan Metode PLS

Proses validasi dengan menggunakan teknik ini dilakukan melalui tahapan berikut: 1/. Kropping data TRMM untuk wilayah Indonesia, 2/. menentukan luasan domain yang akan digunakan dalam teknik downscaling untuk estimasi curah hujan di wilayah penelitian. Hal ini dikarenakan data luaran TRMM berskala global, sehingga membuat data ini kurang kompatibel digunakan langsung dalam skala regional/lokal. Selain itu, teknik downscaling ini ditujukan untuk mereduksi dimensi data TRMM yang bersifat global untuk mengestimasi curah hujan regional/lokal di wilayah penelitian, 3/. Memplotkan kedua jenis data secara deret waktu untuk penilaian awal potensi pemanfaatan data TRMM dalam mengestimasi curah hujan di wilayah penelitian, 4/. Menilai hubungan kedua data melalui analisis koefisien korelasi, 5/. Membangun model estimasi curah hujan di empat lokasi penelitian menggunakan analisis regresi linier sederhana dan analisis PLS, 6/. validasi model. Validitas model diuji untuk menentukan tingkat keterandalan model. Validitas model diukur dari nilai RMSE (root mean square error) dan nilai koefisien korelasi (r) antara curah hujan dugaan

(19)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

10

model terhadap curah hujan observasi. Nilai koefisien korelasi (r) dan RMSE dihitung berdasarkan persamaan (3.8) dan persamaan (3.9).

Sementara itu, untuk menentukan tingkat kemiripan antara nilai dugaan model dengan observasi dilakukan perhitungan nilai koefisien effisiensi (CE) dengan persamaan berikut:

...(3.10)

dengan CE adalah koefisien effisiensi, adalah nilai observasi ke-t, adalah nilai dugaan model ke-t, dan adalah nilai rata-rata observasi. Nilai CE adalah <= 1. Nilai koefisien efisiensi 1 (CE = 1) menunjukkan hasil simulasi sempurna atau dengan kata lain model memiliki tingkat kemiripan 100% dengan observasi. Nilai CE yang semakin kecil dari 1 menunjukkan penurunan tingkat akurasi model. Nilai CE negatif menunjukkan model tidak layak untuk diaplikasikan. Dengan demikian, nilai koefisien efisiensi dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat akurasi luaran suatu model secara kuantitatif.

Proses ekstraksi dan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ErMapper 7.1, Microsoft Excell, dan Minitab 14.

3. 3. 3. Validasi Data DEM SPOT 6

Tingkat akurasi titik tinggi yang diekstraksi dari data DEM SPOT6 diukur berdasarkan nilai Standar Deviasi (St Dev), RMSE (Root Mean Square Error), LE (Level of Error) pada level 90% (LE90), serta nilai korelasi antara data titik tinggi yang diekstraksi dari data DEM SPOT 6 terhadap titik tinggi RBI. RMSE merupakan alat untuk mengukur perbedaan (kesalahan) antara nilai hasil prediksi model atau hasil estimasi terhadap nilai hasil observasi (Willmott dan Matsuura, 2005).RMSE memberikan standar deviasi dari kesalahan prediksi model. Semakin kecil nilai RMSE, maka makin baik performansi suatu model. RMSE dihitung berdasarkan persamaan 2.9 dengan adalah nilai dugaan titik tinggi ke-i dari DEM SPOT6, adalah titik tinggi observasi ke-i (titik tinggi RBI), dan n adalah banyaknya nilai titik tinggi yang digunakan dalam perhitungan. Ekstraksi titik tinggi dari DEM SPOT6 dilakukan menggunakan perangkat lunak Pixel Factory. Secara keseluruhan proses validasi data DEM SPOT 6 dilakukan melalui tahapan seperti pada Bagan Alir Gambar 3.1. Proses pengolahan data menggunakan ErMapper 7.1, Arc View GIS 3.2, dan Microsof Excell.

(20)

11 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

(21)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Penutup/Penggunaan Lahan

Informasi penutup/penggunaan lahan diekstraksi dari citra RGB SPOT 6 tahun 2013. Informasi penutup/penggunaan lahan ini dikelaskan menjadi 6 kelas, yakni: Kawasan industri, permukiman, sawah, badan air, kebun campur, dan rumput/lahan kosong. Hasil ekstraksi penutup/penggunaan lahan disajikan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan yang Diekstraksi dari Data SPOT 6

Dari hasil ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan, luas wilayah permukiman adalah yang paling dominan di wilayah DKI Jakarta. Sementara luas wilayah bervegetasi (kebun campur) relatif kecil (Gambar 4.1). Informasi penutup/penggunaan lahan dari data

(22)

13 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

SPOT 6 diharapkan lebih rinci (detil) dibandingkan dengan data Landsat 8. Hal ini dimungkinkan karena resolusi spasial SPOT 6 (6 m) yang lebih tinggi dibandingkan data Landsat 8 (10 m). Gambar 4.2 menggambarkan perbandingan tingkat kerincian SPOT 6 dibandingkan dengan Landsat 8.

Dari perbandingan kedua citra antara Landsat 8 dan SPOT 6 (Gambar 4.2) tampak jelas bahwa tingkat kedetilan SPOT 6 lebih tinggi, sehingga kondisi ini diharapkan hasil ekstraksi penutup/penggunaan lahan lebih detil dan akurat. Dengan demikian, informasi penutup/penggunaan lahan hasil ekstraksi dari data SPOT 6 ini akan menjadi masukan yang lebih akurat untuk pemetaan daerah bahaya dan/atau rawan banjir.

a. Landsat 8 b. SPOT 6

Gambar 4.2. Perbandingan tingkat kedetilan antara data Landsat 8 ( a ) dan SPOT 6 ( b ) pada dua lokasi yang berbeda

Dalam analisis banjir, informasi penutup/penggunaan lahan ini sangat penting artinya dalam penentuan peta bahaya dan kerawanan banjir. Hal ini terkait dengan peranan penutup/penggunaan lahan terhadap kemampuan infiltrasi dan sensivitas penduduk terhadap bahaya banjir. Kemampuan infiltrasi sangat menentukan daya resapan air ke dalam tanah

(23)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

14

sehingga dapat mengurangi aliran air permukaan. Semakin luasnya area permukiman akibat perkembangan kota dapat mengurangi kemampuan infiltrasi wilayah tersebut, karena penutupan permukaan tanah oleh bahan bangunan dan aspal/beton. Kondisi ini akan meningkatkan jumlah aliran air permukaan yang berpotensi menimbulkan banjir.

Dalam penelitian ini, informasi penutup/penggunaan lahan juga dimanfaatkan dalam proses validasi data DEM SPOT 6, yakni untuk ekstraksi titik-titik tinggi pada masing-masing jenis lahan kosong atau rumput.

4. 2. Validasi Data TRMM

Untuk tujuan validasi data curah hujan TRMM terhadap data observasi, dalam penelitian ini digunakan data bulan Januari – Februari periode tahun 2008 – 2011 dari 3 stasiun, yakni: UI, Cengkareng, dan Kemayoran. Ada 3 teknik validasi yang digunakan, yakni: a/. teknik tabel kontingensi, b/. teknik gridding (interpolasi), dan c/. teknik SD dengan penerapan metode PLS. Untuk masing-masing hasil akan dibahas pada masing-masing sub bab tersendiri.

4. 2. 1. Validasi Menggunakan Teknik Tabel Kontingensi

Validasi dengan menggunakan teknik tabel kontingensi ini dilakukan pada data curah hujan harian bulan Januari – Februari periode 2008 – 2011 dari 3 stasiun observasi, yakni: UI, Cengkareng (Cgk), dan Kemayoran (Kmy). Nilai curah hujan estimasi dari TRMM diperoleh berdasarkan nilai rata-rata domain (grid) 2 x 2 (sama dengan 4 piksel) TRMM resolusi 27 km2. Perata-rataan ini dilakukan karena posisi lokasi ketiga stasiun tersebut berada di antara 4 piksel tersebut. Hasil korelasi ( r ) curah hujan TRMM harian dengan observasi di ketiga stasiun tidak cukup baik. Nilai r tertinggi hanya 0.4 yang diperoleh oleh stasiun Cengkareng (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Nilai korelasi antara curah hujan TRMM harian dengan data observasi di 3 (tiga) stasiun observasi

(24)

15 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

Gambar 4.4. Hasil validasi curah hujan TRMM harian menggunakan teknik kontingensi di 3 (tiga) stasiun observasi

Hasil validasi (Gambar 4.4) menunjukkan bahwa probabilitas data TRMM untuk deteksi curah hujan (POD rain) di ketiga wilayah di atas 60% (0.60) dan probabilitas untuk deteksi hari tidak hujan (POD no rain) berkisar antara 40% - 55% (0.40 – 0.55). Probabilitas kesalahan deteksi curah hujan TRMM (FA rain) berkisar antara 20% - 68% (0.20 – 0.68). Probabilitas tertinggi terjadi di stasiun Cengkareng dan terendah di stasiun Kemayoran. Sementara itu, probabilitas kesalahan deteksi hari tidak hujan TRMM berkisar antara 40% - 52% (0.40 – 0.52). Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan TRMM untuk mendeteksi kejadian hujan sangat baik. Hasil ini relatif sama dengan yang dihasilkan oleh Moffit et al. (2010). Moffit et al. (2010) mendapatkan nilai POD rain, POD no rain, dan FA no rain di 8 stasiun di Bangladesh berturut-turut berkisar antara 0.40 – 0.68 (POD rain), 0.60 – 0.85 (POD no rain), dan 0.16 – 0.36 (FA no rain). Sementara itu, Suseno (2009) mendapatkan nilai POD rain untuk 22 stasiun yang tersebar di Pulau Jawa adalah 0.49 dan FA rain sebesar 0.33.

Gambar 4.5. Nilai Bias Score dan CSI curah hujan TRMM harian menggunakan teknik kontingensi di 3 (tiga) stasiun observasi

(25)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

16

Tingkat akurasi hasil validasi berkisar antara 50% - 60% (0.50 – 0.60) (Gambar 4.4) dengan bias score berkisar antara 0.58 – 2.10 dan CSI antara 0.25 – 0.50 (Gambar 4.5). Akurasi berturut-turut dari yang tinggi ke rendah diperoleh di stasiun Kemayoran, UI, dan Cengkareng. Hal ini menunjukkan bahwa hanya 50% - 60% hasil estimasi curah hujan dari TRMM adalah benar. Nilai CSI ini menunjukkan bahwa hanya antara 25% hingga 50% saja kejadian hujan yang dideteksi oleh TRMM adalah benar (Gambar 4.5). Suseno (2009) mendapatkan akurasi TRMM sebesar 72% dengan bias score 0.78 dan CSI sebesar 0.38.

4. 2. 2. Validasi Menggunakan Teknik Gridding (Interpolasi)

Untuk tujuan validasi dengan teknik gridding ini digunakan data curah hujan dasarian untuk 3 stasiun observasi UI, Cengkareng, dan Kemayoran. Validasi ini dilakukan antara data curah hujan hasil gridding dengan resolusi1 km yang dianggap sebagai data hasil estimasi dengan data curah hujan observasi. Penggunaan data dasarian dimaksudkan untuk mengeliminasi keragaman curah hujan yang tinggi yang terjadi pada data curah hujan harian. Hasil analisis korelasi, persamaan regresi, perbandingan antara nilai estimasi TRMM dengan observasi, nilai RMSE, dan koefisien efisiensi model estimasi disajikan pada Gambar 4.6, 4.7, 4.8, dan 4.9. Hasil analisis korelasi antara curah hujan estimasi dari data TRMM dengan curah hujan observasi berkisar antara 0.53 – 0.85 (Gambar 4.6) dengan keragaman (R2) berkisar antara 25% - 70% (Gambar 4.7 bagian kiri). Hal ini menunjukkan bahwa data curah hujan hasil estimasi TRMM dengan teknik gridding dapat mewakili dengan baik curah hujan di ketiga stasiun observasi dengan tingkat keragaman sekitar 25% - 70%.

Gambar 4.6. Koefisien korelasi (r) antara curah hujan hasil estimasi dari data TRMM dengan curah hujan observasi stasiun

Hasil perbandingan antara nilai dugaan curah hujan dari TRMM dengan observasi (Gambar 4.7 bagian kanan) memperlihatkan bahwa data TRMM dengan teknik gridding cukup baik digunakan dan dapat mengikuti fluktuasi perubahan curah hujan observasi, khususnya di stasiun Kemayoran. Walaupun pada beberapa kondisi, curah hujan hasil estimasi dari TRMM dengan teknik gridding ini lebih tinggi (over estimate) dibandingkan nilai curah hujan observasi. Tingkat kesalahan (error) hasil estimasi rata-rata (RMSE)

(26)

17 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

berkisar antara 65 mm – 73 mm, dengan RMSE tertinggi terjadi di stasiun UI dan terendah di stasiun Kemayoran (Gambar 4.8).

a. Stasiun UI

b. Stasiun Cengkareng

c. Stasiun Kemayoran

Gambar 4.7. Persamaan Regresi (kanan) dan Perbandingan Nilai Dugaan curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi (kiri) di Stasiun UI (a), Cengkareng (b), dan Kemayoran (c)

(27)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

18

Gambar 4.8. Nilai RMSE untuk masing-masing stasiun penelitian

Gambar 4.9. Nilai koefisien efisiensi (CE) model untuk masing-masing stasiun penelitian Dari hasil penilaian efisiensi model berdasarkan nilai koefisien menunjukkan bahwa nilai CE tertinggi (CE = 0.81) di stasiun Kemayoran, terendah (CE = 0.58) di stasiun UI (Gambar 4.9). Nilai CE semakin mendekati nilai 1 menunjukkan bahwa model estimasi dengan teknik gridding semakin akurat. Dengan demikian, hasil ini menunjukkan bahwa model estimasi curah hujan dengan teknik gridding di ketiga stasiun observasi cukup akurat dan mendekati nilai observasi, khususnya pada stasiun Kemayoran.

4. 2. 3. Validasi Menggunakan Teknik PLS

Validasi data TRMM dengan teknik PLS dilakukan menggunakan data harian bulan Januari – Februari dalam periode 2008 – 2011. Kropping data TRMM dilakukan sesuai ukuran domain dengan posisi lintang bujur masing-masing stasiun sebagai pusatnya. Ukuran domain yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 x 10 (100 piksel), 9 x 9 (81 piksel), 8 x 8 (64 piksel), 7 x 7 (49 piksel), 6 x 6 (36 piksel), 5 x 5 (25 piksel), 4 x 4 (16 piksel), 3 x 3 (9 piksel), dan 2 x 2 (4 piksel). Resolusi data TRMM yang digunakan adalah 0.25o x 0.25o (setara dengan 27 km x 27 km). Selanjutnya data TRMM dari hasil kropping tersebut disebut

(28)

19 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

sebagai variabel prediktor (X), sedangkan data observasi dari ketiga stasiun disebut sebagai variabel respon (Y).

Sebelumnya telah dilakukan uji korelasi antara kedua data. Hasil korelasi ( r ) curah hujan TRMM harian dengan observasi di ketiga stasiun seperti telah dijelaskan pada Gambar 4.3 tidak cukup baik. Nilai r tertinggi hanya 0.4 yang diperoleh stasiun Cengkareng, sedangkan untuk kedua stasiun yang lain lebih rendah. Sementara itu, untuk melihat apakah data TRMM mampu mengikuti fluktuasi curah hujan observasi stasiun maka dilakukan

plotting untuk membandingkan pola kedua data, yakni antara data curah hujan TRMM rata-rata dari 4 piksel dengan data observasi (Gambar 4.10). Perata-rata-rata-rataan ini dilakukan karena posisi lokasi ketiga stasiun tersebut berada di antara 4 piksel tersebut.

a. Stasiun UI b. Stasiun Cengkareng

c. Stasiun Kemayoran

Gambar 4.10. Pola curah hujan TRMM harian rata-rata dari 4 piksel dibandingkan dengan curah hujan observasi di stasiun UI (a), Cengkareng (b), dan Kemayoran (c)

Hasil perbandingan antara data curah hujan TRMM dengan observasi dari ketiga stasiun menunjukkan bahwa pada dasarnya data TRMM mampu mengikuti fluktuasi data observasi, namun sangat tergantung pada faktor tempat (lokasi stasiun) dan waktu pengamatan. Pada kondisi curah hujan observasi sangat ekstrim, maka data TRMM tidak mampu mengestimasi dengan cukup baik, seperti terlihat pada data periode awal. Sebaliknya, pada kondisi curah hujan observasi relatif normal, data TRMM dapat mengikuti fluktuasi curah hujan observasi (Gambar 4.10).

Hasil ekstraksi data curah hujan TRMM dengan titik pusat posisi lintang bujur stasiun untuk ketiga stasiun observasi pada masing-masing domain menunjukkan bahwa ketiga

(29)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

20

stasiun berada pada wilayah domain yang sama. Selanjutnya, untuk mengevaluasi potensi pemanfaatan data TRMM dilakukan analisis data menggunakan metode PLS untuk ketiga stasiun dengan menggunakan dua cara, yakni: secara simultan (sim) dan secara individu (in). Penggunaan dua cara ini dimaksudkan untuk melihat apakah kedua cara tersebut akan menghasilkan nilai estimasi curah hujan yang sama ataukah berbeda.Yang dimaksud secara simultan adalah data curah hujan TRMM (variabel X) dari masing-masing domain digunakan secara bersama-sama (simultan) untuk menduga/mengestimasi curah hujan observasi di ketiga stasiun (Y1 = stasiun UI, Y2 = stasiun Cengkareng, dan Y3 = stasiun Kemayoran)

dalam sekali proses pengolahan data. Bentuk sederhana dari hubungan ini adalah: Y1, Y2, Y3

= a1X1 + a2X2 + ... + anXn. Sementara itu, yang dimaksud dengan secara individu adalah

analisis dilakukan untuk masing-masing stasiun observasi (sebagai Y) dengan variabel X pada masing-masing domain secara sendiri-sendiri. Bentuk sederhana dari hubungan ini adalah: Y1 =a1X1 + a2X2 + ... + anXn, Y2 = a1X1 + a2X2 + ... + anXn, Y3 = a1X1 + a2X2 + ... +

anXn. Penerapan metode PLS akan mereduksi faktor multikolinearitas yang mungkin terjadi

antara ketiga variabel respon Y dan antara variabel prediktor X sehingga tingkat keragaman yang diwakili oleh model diharapkan dapat meningkat. Selanjutnya, R2 optimum ditentukan jika keragaman X (X-variance) ≥ 90% dan penambahan jumlah komponen utama (PC =

principle component) hanya memberikan penambahan nilai R2 yang relatif kecil. Tabel 4.1 menyajikan jumlah PC dan keragaman X yang mewakili masing-masing domain pada masing-masing stasiun.

Tabel 4.1. Jumlah PC dan Variance X yang diwakilinya untuk masing-masing domain dengan cara simultan dan individu pada masing-masing stasiun

Domain Cara

Stasiun UI Stasiun Cengkareng

Stasiun Kemayoran

PC X-Var PC X-Var PC X-Var

10 x 10 Sim 21 0.9008 21 0.9008 21 0.9008 In 25 0.9176 24 0.9134 26 0.9206 9 x 9 Sim 26 0.9402 26 0.9402 26 0.9402 In 20 0.9114 24 0.9302 24 0.9307 8 x 8 Sim 25 0.9511 25 0.9511 25 0.9511 In 21 0.9323 21 0.9340 21 0.9344 7 x 7 Sim 23 0.9640 23 0.9640 23 0.9640 In 16 0.9311 13 0.9077 17 0.9362 6 x 6 Sim 14 0.9416 14 0.9416 14 0.9416 In 14 0.9396 11 0.9091 11 0.9156 5 x 5 Sim 11 0.9473 11 0.9473 11 0.9473 In 9 0.9198 9 0.9190 10 0.9353 4 x 4 Sim 11 0.9818 11 0.9818 11 0.9818 In 8 0.9457 6 0.9130 6 0.9102 3 x 3 Sim 6 0.9673 6 0.9673 6 0.9673 In 5 0.9514 5 0.9538 5 0.9524 2 x 2 Sim 3 0.9727 3 0.9727 3 0.9727 In 2 0.9575 3 0.9724 3 0.9732

Hasil analisis PLS untuk masing-masing domain dengan cara simultan akan menghasilkan jumlah PC dan keragaman X yang sama pada setiap stasiun. Sebaliknya,

(30)

21 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

dengan cara individu masing-masing stasiun pada masing-masing domain berbeda. Kondisi ini bisa disebabkan karena masing-masing variabel X mempunyai peranan atau korelasi yang berbeda terhadap masing-masing stasiun. Hal ini juga yang menyebabkan koefisien determinasi (R2) dari hasil analisis PLS untuk cara simultan dan individu berbeda. Dari hasil analisis PLS terlihat bahwa dengan cara individu, R2 lebih tinggi dbandingkan dengan cara simultan, khususnya pada ukuran domain lebih luas dari 5 x 5. Sedangkan, pada ukuran domain lebih kecil, yakni: domain 4 x 4, 3 x 3, dan 2 x 2; tampak bahwa koefisien R2 relatif sama di semua stasiun (Gambar 4.11).

a. Stasiun UI b. Stasiun Cengkareng

c. Stasiun Kemayoran

Gambar 4.11. Koefisien determinasi (R2) dari hasil analisis PLS dengan cara simultan dan individu pada masing-masing domain dan masing-masing stasiun

Dari hasil analisis PLS untuk masing-masing domain menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran domain, nilai R2 cenderung menurun pada semua stasiun observasi, baik dengan cara simultan maupun individu. Nilai R2 tertinggi yang dicapai dengan cara simultan adalah pada ukuran domain 9 x 9 (R2 = 42% di stasiun UI dan R2 = 25.7% di stasiun Kemayoran), kecuali di stasiun Cengkareng pada ukuran domain 10 x 10 (R2 = 58.2% dengan cara simultan, dan R2 = 64% dengan cara individu). Sementara itu, dengan cara individu, nilai R2 tertinggi untuk semua stasiun observasi dicapai pada ukuran domain 10 x 10 masing-masing adalah 50.6% untuk stasiun UI, 63.7% untuk stasiun Cengkareng, dan 34.8% untuk stasiun Kemayoran (Gambar 4.11).

Apabila perbandingan hasil capaian R2 tertinggi dilakukan untuk masing-masing stasiun, maka terlihat bahwa nilai R2 tertinggi untuk semua ukuran domain dihasilkan oleh

(31)

Pengembangan Pengembangan Pengembangan

Pengembangan Model Model Model Pemanfaatan Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UntukUntukUntukUntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

22

stasiun Cengkareng dan terendah oleh stasiun UI (Gambar 4.11). Hal ini dapat disebabkan oleh kualitas data observasi yang tidak sama antar stasiun, dinamika atmosfir yang mempengaruhi pembentukan hujan di atas masing-masing stasiun observasi yang berbeda, dan sebagainya.

Selanjutnya untuk menilai keterandalan hasil estimasi curah hujan menggunakan PLS dilakukan validasi antara curah hujan hasil estimasi dari data TRMM dengan data observasi. Keterandalan hasil estimasi ini dinilai berdasarkan koefisien korelasi ( r ) dan RMSE antara data hasil estimasi model dengan data observasi. Selain itu, juga berdasarkan koefisien effisiensi (CE) yang menilai tingkat kemiripan antara curah hujan hasil estimasi TRMM dengan TRMM. Semakin tinggi nilai koefisien r dan semakin kecil nilai RMSE maka hasil estimasi adalah baik dan akurat. Nilai CE semakin mendekati angka 1, maka model estimasi makin akurat dan mendekati nilai observasi. Koefisien r dan error (RMSE) untuk masing-masing domain baik dengan pengolahan secara simultan dan individu dari masing-masing-masing-masing stasiun disajikan pada Gambar 4.12.

a. Koefisien Korelasi dan RMSE di Stasiun UI

b. Koefisien Korelasi dan RMSE di Stasiun Cengkareng

(32)

23 Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Model Model Model Model Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh UUUUntukntukntukntuk Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)Analisis Resiko Banjir (Validasi Data Trmm & Spot 6)

Gambar 4.12. Nilai koefisien korelasi dan RMSE dari dua model estimasi (secara simultan (sim) dan individu (in)) dari masing-masing domain pada masing-masing stasiun observasi

Hasil analisis koefisien CE untuk mengukur tingkat kemiripan nilai curah hujan hasil estimasi TRMM dengan observasi disajikan pada Gambar 4.13. Nilai CE semakin mendekati nilai 1, maka nilai curah hujan dari hasil estimasi data TRMM semakin mendekati nilai curah hujan observasi.

a. Stasiun UI b. Stasiun Cengkareng

c. Stasiun Kemayoran

Gambar 4.13. Hasil analisis Koefisien Effisiensi (CE) dari masing-masing ukuran domain dengan cara simultan dan individu di masing-masing stasiun observasi

Berdasarkan Gambar 4.13 terlihat bahwa secara umum di semua stasiun observasi semakin kecil ukuran domain semakin tidak tepat (mirip) nilai curah hujan hasil estimasi dari TRMM dengan nilai curah hujan observasi. Hasil analisis nilai CE memperlihatkan bahwa hasil estimasi curah hujan dari TRMM untuk stasiun Cengkareng pada ukuran domain di atas 8 x 8 yang paling baik, dibandingkan dengan dua stasiun observasi lainnya. Sementara itu, untuk nilai CE paling baik di stasiun UI hanya mencapai 0.5 yang diperoleh pada ukuran domain 10 x 10, sedangkan di stasiun Kemayoran paling tinggi hanya 0.35 yang diperoleh pada ukuran domain 10 x 10.

Analisis dengan menggunakan data harian akan menghasilkan curah hujan estimasi yang sangat berfluktuasi. Hal ini dikarenakan keragaman curah hujan yang sangat tinggi pada curah hujan harian, dibandingkan dengan curah hujan dasarian.

Penggunaan ukuran domain makin luas menghasilkan estimasi curah hujan harian yang makin baik, sebaliknya makin kecil ukuran domain makin buruk hasil estimasi curah hujan. Hal ini menggambarkan bahwa curah hujan yang terjadi pada suatu hari di suatu tempat lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kondisi dinamika atmosfir lebih global yang terjadi di sekitar

Gambar

Gambar 2-1. Ilustrasi downscaling (Sumber : http://cccsn.ca/)
Gambar 3.1. Bagan Alir Proses Validasi Data DEM SPOT 6 terhadap Titik Tinggi RBI
Gambar 4.1.  Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan yang Diekstraksi dari Data SPOT 6  Dari  hasil  ekstraksi  informasi  penutup/penggunaan  lahan,  luas  wilayah  permukiman  adalah  yang  paling  dominan  di  wilayah  DKI  Jakarta
Gambar 4.2. Perbandingan tingkat kedetilan antara data Landsat 8 ( a ) dan SPOT 6 ( b ) pada  dua lokasi yang berbeda
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kasus penyimpangan dana dari temuan BPKP yang terbanyak terdapat di wilayah Provinsi Jawa Barat sebanyak 80 kasus (33% ) kasus penyimpangan terbanyak kedua terdapat di

Fungsi manajemen adalah proses pembagian tugas berdasarkan keahlian, kemampuan, keterampilan serta kompetensi dalam melaksanakan kegiatan atau fungsi

Hal tersebut dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan kemampuan untuk menganalisis teks bacaan, selain itu juga berkaitan erat dengan tingkat pemahaman

Proses pembuatan komposit Al/SiC yang dilapisi dengan spinel MgAl 2 O 4 dengan mengunakan media pencampur N-Butanol mampu menghasilkan komposit dengan karakter

Korozyonun elcktrokimyasal mekanizmasına bağlı olarak, iki ya da daha çok sayıda farklı malzemenin bir araya gelmesi bir korozif ortam içinde galvanik korozyonu teşvik

Advokat merupkan salah satu profesi hukum yang masih banyak polemik keberadaannya, karena masyarakat beranggapan bahwa profesi advokat merupakan profesi untuk membela

• Dapat menjelaskan beda interval waktu periode sinodis dan sideris bulan. • Dapat menjelaskan aturan kalender bulan

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan dengan guru dan siswa dapat ditarik kesimpulan bahwa guru menilai adanya materi dalam proses belajar mengajar yang