• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3. Analisis Data. Renggangnya hubungan ayah dan anak di Jepang memang cukup terlihat jelas dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 3. Analisis Data. Renggangnya hubungan ayah dan anak di Jepang memang cukup terlihat jelas dalam"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

26 Bab 3

Analisis Data 3.1 Analisis Umum

Renggangnya hubungan ayah dan anak di Jepang memang cukup terlihat jelas dalam masyarakat Jepang modern. Hal ini dapat terbukti dengan hasil survey yang dilakukan oleh Child Research Net (2006). Pada hari-hari kerja, sebagian besar ayah menghabiskan waktu sekitar satu sampai dua jam bersama anaknya. Memang banyak ayah yang ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi, dalam survey ini mereka menginginkan menghabiskan waktu sekitar dua sampai tiga jam bersama anaknya, tetapi kenyataan yang terjadi mereka tidak dapat menghabiskan waktu cukup lama bersama anaknya. Survey ini dilakukan pada 2.958 ayah.

Grafik 3.1 Waktu yang Diluangkan Ayah untuk Anak Pada Hari Kerja.

Sumber: Child Research Net (2006)

Sedangkan pada akhir minggu, yaitu hari di luar hari kerja, ayah biasa menghabiskan waktu 2 sampai 3 jam bersama anaknya. hal ini membuktikan sangat sedikitnya waktu

(2)

27 yang digunakan ayah untuk bersama anaknya dalam satu minggu. Akan cukup sulit bagi orangtua untuk dapat memantau dan berdiskusi dengan terbuka dengan anak mereka bila waktu untuk bersama-sama saja sangat sedikit.

Melihat keadaan tersebut, tentunya kita akan bertanya apakah ayah di Jepang benar-benar ingin ikut dalam mendidik anaknya. Hal ini memang cukup berat karena untuk dapat ikut dalam mendidik anak, pekerjaan akan dikorbankan, seperti mengambil jam pulang lebih cepat untuk mendidik anak.

Grafik 3.2 Persentase Ayah yang Ingin Mengambil Pulang Lebih Cepat

Sumber: Child Research Net (2006)

Dalam grafik 2 berikut merupakan jawaban dari apakah ayah di Jepang sudah mengambil jam pulang lebih cepat untuk merawat anak. Grafik tersebut menjelaskan sekitar 25% ayah sudah berkeinginan ataupun sudah mengambilnya. beberapa alasan yang membuat ayah tidak dapat mengambil jam pulang kerja lebih cepat, walaupun

(3)

28 mereka menginginkannya adalah bila mereka mengambil jam pulang kerja lebih cepat hal ini akan menyulitkan perusahaankarena pekerjaan yang dilakukannya akan semakin sedikit, kurangnya contoh orang-orang yang mengambil jam pulang lebih cepat sehingga perusahaan menganggap hal ini merupakan hal negative yang dapat merugikan perusahaan, selain itu lingkungan kerja mereka memandang buruk ayah yang mengambil jam pulang kerja lebih cepat.

Grafik 3.3 Persentase Alasan Ayah Tidak Pulang Lebih Cepat

Sumber: Child Research Net (2006)

Lalu dalam grafik 3 dapat dilihat alasan-alasan mengapa mereka tidak ingin mengambilnya. dari 74.6% atau sebagian besar dari mereka yang menjawab survey ini memiliki istri yang merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Menyulitkan perusahaan, terlalu sibuk dan kurangnya orang yang mengambil jam pulang kerja lebih

(4)

29 cepat merupakan alasan utama mereka tidak mengambilnya. Walaupun di Jepang memang ada kebijakan pulang kerja untuk mendidik anak, tetapi hal tersebut masih seringkali di pandang buruk oleh perusahaan dan rekan-rekan kerja dalam perusahaan. Banyak dari mereka yang mengambil jam pulang kerja lebih cepat akan dipindah tugaskan ke kota lain atau negara lain. Selain itu banyaknya lembur dalam perusahaan Jepang membuktikan cukup padatnya jam kerja dalam perusahaan Jepang. Banyak dari mereka mengambil lembur untuk melunasi rumah tinggalnya dan biaya pendidikan anak, selain itu juga besarnya biaya anak juga merupakan salah satu alasan ayah banyak mengambil jam kerja yang panjang (Sugimoto, 2003:100). Sehingga cukup tidak memungkinkan bagi mereka untuk pulang kerja lebih cepat. Bahkan akhir-akhir ini tidak sedikit ibu yang bekerja untuk mencukupi biaya hidup keluarga. Rata-rata seorang ayah yang bekerja, pulang kerumah pada pukul 22.00. Hal ini sering mengakibatkan ayah tidak dapat melakukan kegiatan bersama anaknya.

Sejak menurunnya perekonomian Jepang, memang banyak yang mulai berpikir keluarga merupakan suatu hal yang lebih penting dibanding dengan pekerjaan, tetapi yang terjadi adalah banyak ayah harus bekerja lebih lama agar tidak terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sangat sulit bagi para pekerja untuk menolak perintah yang diberikan, seperti jam kerja yang lebih panjang. Hal ini mengakibatkan, walaupun rumah dan tempat mereka bekerja berdekatan, mereka tetap akan pulang ke rumah pada saat anak mereka sudah tidur, atau sekitar pukul 21.00-22.00. dapat dilihat seorang ayah di Jepang memang sulit untuk ikut serta dalam mendidik anak.

(5)

30 3.2 Analisis Dampak Tidak Adanya Figur Ayah di Rumah.

3.2.1 Analisis Dampak Tidak Adanya Figur Ayah Pada Anak yang Menyebabkan Terjadinya Hikikomori (Dalam Kasus 1)

Kasus 1:

Saya berhenti sekolah enam tahun lalu pada masa SMU. Sekarang umur saya 24 tahun. Saya tidak tahu kenapa, tetapi lingkungan keluarga mungkin merupakan salah satu faktor. Kami memiliki sangat sedikit komunikasi di dalam keluarga. Di kelas lima, anak-anak mulai mengembangkan persahabatan bukan lagi hanya teman main saja. Saya bukan anak yang suka berbicara ataupun keluar rumah, saya tidak tahu cara berkomunikasi dengan teman-teman sekelas, karena itu saya tidak bermain dengan mereka. Anak-anak lain memanggil saya “pemurung”, saya pun mulai berpikir bahwa saya benar-benar seorang “pemurung”.

Pada masa SMP, saya semakin takut untuk mencari teman. Di kelas Sembilan (kelas 3 SMP), banyak teman yang mengajak saya bergabung, tetapi saya terus menolak mereka dengan alasan saya ingin belajar untuk ujian masuk SMU, tetapi sebenarnya saya tidak tahu bagaimana cara bersama-sama mereka. Perlahan mereka berhenti mengajak saya. Setelah saya lulus dari SMP, saya bertekat untuk berubah. Pada masa SMU keadaan tidak berubah. Saya tidak pernah tahu cara berkomunikasi dengan teman sekelas. Orang-orang melihat saya sebagai orang yang mereka benci ataupun mereka kasihani, beberapa anak malah sering menggangu saya karena saya tidak memiliki niat belajar, saya pun sering tidur di kelas. Sejak saat itu saya mulai bertanya-tanya mengapa saya pergi ke sekolah. Hanya ibu saya dan musik yang dapat mensupport saya. Di kelas 12 (kelas 3 SMU) saya tidak berkeinginan pergi ke sekolah lagi. Untuk beberapa bulan saya tidak keluar rumah, tidak mandi ataupun potong rambut. Ayah saya tidak peduli dengan keadaan saya. Sayapun menjadi benar-benar membencinya. (Okano, 1999: 205).

Sindrom penolakan dan takut pada sekolah memang sudah terjadi sejak lama di Jepang, tetapi sejak 1990 kasus ini cenderung meningkat. Salah satu contohnya adalah kasus Wataru. Wataru adalah seorang anak remaja yang berhenti sekolah sejak kelas 2 SMU. Sejak kecil komunikasi dalam keluarga Wataru sangatlah minim. Hal ini berakibat ia sulit untuk berteman dengan teman-teman sebayanya, karena ia tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan mereka. Ia juga bukan orang yang banyak bicara

(6)

31 ataupun keluar rumah. Permasalahan kurangnya komunikasi dapat berakibat fatal pada anak.

Wataru sudah mengalami depresi sejak ia masih kecil. Banyak yang menjadi tanda-tanda depresi yang dialami oleh Wataru, seperti ia terus berpikir “tidak ada orang yang menyukai saya”, tidak memiliki teman, tidak tahu cara bersenang-senang atau bermain, tidak dapat konsentrasi. Hal ini sesuai dengan Papalia (2004: 375), yang mengatakan bahwa ada beberapa tanda-tanda depresi, yakni tidak memiliki teman, tidak tahu cara bersenang-senang atau bermain, tidak dapat konsentrasi di antaranya adalah Seorang anak akan tumbuh dan berkembang dengan melihat seorang model, terutama keluarganya. Ia akan mempelajari berbagai macam hal seperti, bahasa, bagaimana menghadapi permasalahan, moral, dan sifat-sifat menurut gendernya (Papalia, 2004: 35). Menurut Steede (2007: 97), jika sampai terjadi kurangnya komunikasi dalam keluarga, seorang anak akan kehilangan seorang model untuk ditirunya dan ia akan mengalami kesulitan untuk mempelajari hal-hal tersebut. Keadaan ini akan terus berkembang sampai masa-masa remajanya, dan dapat terus berlanjut ke masa dewasanya bila tidak di tangani dengan benar.

Demikian juga yang terjadi pada Wataru. Pada masa SMP Wataru semakin takut untuk mencari teman. Pada kelas 3 SMP, banyak dari teman sekelasnya mengajaknya bergabung. ia terus menolak dengan alasan ingin belajar untuk ujian masuk SMU, tetapi sebenarnya Wataru takut mengalami kesalahan ketika berteman dengan mereka, karena ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara bersahabat dengan mereka. Hal ini merupakan dampak dari kurangnya komunikasi pada masa kecil. Ia tidak tahu lagi bagaimana berkomunikasi dengan orang lain dan hal ini mulai menimbulkan ketakutan pada dirinya.

(7)

32 Ketika Wataru masuk SMU keadaan tidak berubah, ia tetap tidak memiliki teman. Ia tidak memiliki niat belajar sebagian teman sekelasnya sering mengejeknya dan sebagian lagi memandangnya dengan kasihan. Pada kelas 2 ia mulai mengunci diri dalam kamar dan tidak keluar dari kamarnya walaupun untuk mandi ataupun potong rambut. Dalam keadaan seperti itu, ayahnya tetap tidak mempedulikan dirinya. Wataru yang sudah kehilangan alasan untuk pergi ke sekolah sangat memerlukan support dari keluarganya. Tetapi yang terjadi adalah ayahnya tetap tidak mempedulikan dirinya dan tetap jarang berada di rumah. Ia tetap menjalankan kegiatannya seperti biasanya tanpa mempedulikan keadaan anaknya. Ia bahkan tidak memberikan saran-saran seperti membawa Wataru ke dokter untuk melakukan terapi yang seharusnya dilakukannya. Hal ini mengakibatkan Wataru sangat marah dan membenci ayahnya. Satu-satunya orang yang mensupport Wataru adalah ibunya.

Menurut analisis saya, Wataru mengalami depresi yang sudah tertanam sejak masih kecil. Depresi yang sudah tertanam sejak masih kecil semakin lama semakin memburuk. Menurut Wariwan (2007: 178), beberapa gejala yang terjadi adalah remaja hanya mengurung diri di kamar, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya semangat hidup, hilangnya kreativitas, antusiasme dan optimisme. Dia tidak mau bicara dengan orang-orang, tidak berani berjumpa dengan orang-orang-orang, berpikir yang negative tentang diri sendiri dan tentang orang lain, hingga hidup terasa sangat berat dan melihat masalah lebih besar dari dirinya. Remaja jadi pesimis memandang hidupnya, seakan hilang harapan, tidak ada yang bisa memahami dirinya, dan sebagainya. Gejala-gejala tersebut memang sering terjadi pada anak remaja yang mengalami depresi. Oleh karena itu, menurut analisis saya, terdapat gejala depresi pada diri Wataru.

(8)

33 Kasus ini merupakan salah satu kasus dampak buruk dari renggangnya hubungan ayah dan anak, yang disebabkan oleh chichioya fuzai. Menurut Sugimoto (2002:100), chichioya fuzai adalah tidak adanya figur ayah yang disebabkan oleh kesibukan ayah dalam bekerja. Ayah yang jarang di rumah dan kurangnya komunikasi mengakibatkan anak mengalami depresi dan hilangnya model yang sangat ia butuhkan untuk perkembangannya. Dalam keluarganya, Wataru hanya mendapat dukungan mental dari ibunya. Seperti yang sudah dijelaskan, dalam keluarga di Jepang ibu lebih memegang peranan dalam mengasuh anak. Hal ini tentu mengakibatkan hubungan anak lebih dekat pada ibu dibandingkan dengan ayahnya.

Takut pada sekolah (school phobia) sehingga cenderung membolos atau mencari alasan untuk tidak sekolah termasuk dalam salah satu gangguan jiwa yang didapat di alami oleh remaja (Wirawan, 2007: 221). Dalam kasus ini anak remaja tersebut mengalami school phobia diikuti dengan mengunci diri dalam kamar atau yang disebut sebagai hikikomori.

Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orang tua – namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan orang lain (Mu’tadin, 2002).

(9)

34 3.2.2 Analisis Dampak Tidak Adanya Figur Ayah Pada Anak yang Menyebabkan

Terjadinya Hikikomori (Dalam Kasus 2)

Kasus 2:

Hara adalah seorang management consultant berumur 47 tahun. Anak laki-lakinya yang berada di sebuah universitas di Jepang tumbuh hampir tanpa ayah, permasalahan tekanan dalam pekerjaan membawa keluarga ini kedalam permasalahan keluarga yang pelik.

Pada suatu saat, anaknya gagal dalam pelajarannya dan mengunci diri dalam kamar. Hara memang sudah sering mendengar mengenai sindrom hikikomori, tetapi ia tidak menduga hal ini terjadi di rumahnya sendiri.

Saat itu merupakan saatnya melakukan pembicaraan dari hati ke hati dengan anaknya, tetapi untuk melakukan itu tentu diperlukan hubungan yang sudah cukup terbangun dari keduanya. Mereka tidak memiliki hal tersebut, dan mereka sering kali berbeda pendapat. Pembicaraan ini bukan pembicaraan yang penuh emosi, lebih tepatnya pembicaraan yang tidak berarti. Akhirnya Hara setuju untuk membiarkan anaknya menggunakan waktunya selama satu tahun. Untuk menjalankan hal ini diperlukan persetujuan dari pihak universitas. Hara dan istrinya pergi bersama ke universitas. Ketika berada didepan pintu universitas, ia merasa takut dan mengatakan “kamu pergilah saya akan menunggu di mobil”. Ia tidak bangga dengan sikap yang diambilnya dan merasa malu dengan hal tersebut (Schreiber 2007: 184).

Hara, seorang ayah berusia 47 tahun memiliki seorang anak laki-laki yang sedang bersekolah di salah satu universitas di Jepang. Anaknya tersebut mengalami kegagalan dalam pelajarannya dan mengunci dirinya dalam kamar. Di saat inilah seharusnya Hara perlu berbicara dengan anaknya, tetapi ia tidak pernah memiliki hubungan dengan anaknya. Hara adalah seorang ayah yang bekerja sampai larut malam sehingga ia tidak pernah memiliki waktu untuk mengurus anaknya. Dapat dikatakan, yang dilihat oleh anaknya hanyalah ayah yang pulang kerja dalam keadaan lelah. Keadaan Hara ini dapat dimasukan dalam katagori world of abnormal rearing atau yang disebut sebagai WAR. Anak yang tidak dipedulikan merupakan salah satu dari ciri-ciri WAR. Anggota-anggota

(10)

35 keluarga makin jarang berada di rumah oleh karena adanya kegiatan-kegiatan lain, seperti keharusan untuk bekerja, sekolah dan sebagainya yang sebagian besar dilakukan di luar rumah. Ikatan antar anggota keluarga semakin mengendur sehingga terjadilah perceraian dan perpisahan antar anggota keluarga yang makin tinggi (Wirawan, 2007: 117). Walaupun dalam kasus keluarga Hara ini tidak benar-benar terjadi perpisahan dalam keluarga, tetapi Hara dan anaknya seperti tinggal dalam dua tempat yang berbeda dan tidak saling mengetahui keadaan masing-masing. Dalam keadaan seperti ini tentu akan sulit untuk saling membuka diri masing-masing.

Ketika Hara berbicara dengan anaknya, terjadi perbedaan pendapat, bukan pembicaraan yang penuh kemarahan, tetapi lebih tepatnya disebut sebagai pembicaraan yang tidak berguna. Akhirnya Hara menyetujui anaknya menggunakan waktunya sendiri dengan syarat ia akan kembali ke universitas setahun setelahnya. Hal ini memerlukan konsultasi dengan pihak universitas. Hara dan istrinya pergi ke universitas dimana anaknya belajar, dan ketika di depan pintu universitas Hara merasa takut dan meminta isrtinya untuk pergi tanpa dirinya. Ketidakinginannya untuk ikut campur dalam permasalahan anaknya merupakan bukti ketidakpeduliannya terhadap anaknya. Hal ini juga dapat diakibatkan karena kurangnya kedekatan dengan anaknya sehingga ia merasa takut dan tidak percaya diri untuk masuk kedalam permasalahan anaknya.

Berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi di sini harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus mau saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Dengan melakukan komunikasi orangtua dapat mengetahui pandangan-pandangan dan kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Kebingungan seperti yang

(11)

36 disebutkan di atas mungkin tidak perlu terjadi jika ada komunikasi antara remaja dengan orangtuanya. Komunikasi di sini tidak berarti harus dilakukan secara formal, tetapi bisa saja dilakukan sambil makan bersama atau selagi berlibur sekeluarga. Banyak permasalahan-permasalahan dalam perkembangan psikologi remaja yang dapat diselesaikan dengan komunikasi dengan orang tua, komunikasi ini juga diharapkan membentuk perkembangan disiplin anak. Tetapi komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan harga diri orang lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus dihindari sama sekali. Anak dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan dapat sakit hati karenannya. Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk mendisiplinkan anak, cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam hubungan interpersonal dengan orang-orang lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang anak maupun orang lain (Mu’tadin, 2002). Dalam kasus di atas, anak dari keluarga Hara mengalami chichioya fuzai. Hal ini terlihat Dalam keluarga yang mengalami chichioya fuzai sering kali terjadi kurangnya komunikasi antara ayah dan anak. Waktu untuk makan bersama ataupun berlibur sekeluarga juga hanya sedikit. Dalam waktu bertemu yang sedikit tersebut ayah terkadang hanya menanyakan hal-hal yang sering kali menyinggung perasaan anak remaja, seperti nilai-nilai sekolah yang menurun ataupun menyindir perkembangan tubuh mereka (Schreiber, 2003: 126). Dalam keadaan seperti itu proses pengembangan kemandirian remaja menjadi terhambat, remaja tersebut tidak dapat mengemukakan apa yang ia inginkan dan seringkali hal ini mengakibatkan depresi terhadap remaja tersebut.

(12)

37 3.2.3 Analisis Dampak Tidak Adanya Figur Ayah Pada Anak yang Menyebabkan

Muncul Kebencian pada Ayahnya

Kasus 3:

Keluarga saya merupakan keluarga tradisional dengan ayah sebagai pemimpin keluarga yang memiliki figure penguasa, saya sering merasa ayah saya bersikap seperti itu karena dikendalikan oleh lingkungannya. Untuk melarikan diri dari tekanan, ayah saya menjadi seorang pemabuk, dan itu merupakan satu-satunya image ayah yang miliki dari dirinya. Saya tidak pernah memiliki ingatan tetantang ayah bermain bersama saya. Mengingat kembali saat anak-anak, saya lebih sering menuruti ayah saya walaupun saya tidak menyukainya. Saya tidak ingin menjadi seperti ayah saya, saya lebih memilih untuk bebas dari tekanan seperti itu (Martinez, 2007: 300).

Okoshi tidak memiliki ayah yang mengajarkan dan mengurus dirinya. ayahnya merupakan figur yang berkuasa dan sama sekali tidak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan mengurus anak dalam keluarga Okoshi, tetapi ia selalu merasa ayahnya di kendalikan oleh lingkungan untuk menjadi seperti itu. Di Jepang ayah yang melakukan kegiatan mengasuh anak masih di anggap ayah yang tidak berwibawa, seperti bila ayah mengambil jam pulang kerja lebih cepat untuk mengasuh anak, ia akan mendapat kritik, sindiran ataupun ejekan tajam dari teman-teman sekantornya dan atasannya. Masyarakat Jepang lebih mengharapkan semua orang berkelakuan sama. jika ada seseorang yang berkelakuan berbeda, ia akan mendapat pandangan negatif dari masyarakat (Martinez, 2007: 303). Karena besarnya tekanan yang dialami ayah Okoshi, ia akhirnya menjadi seorang pemabuk dan itu merupakan satu-satunya gambaran Okoshi terhadap ayahnya.

“Saya tidak memiliki kenangan bermain bersama ayah saya, saya lebih melihat ayah saya sebagai figur ayah yang cenderung kejam. Saya tidak ingin menjadi seperti ayah saya.” Kutipan di atas adalah kutipan dari kata-kata Okoshi, yang membuktikan

(13)

38 terjadinya chichioya fuzai dan fusei no ketsujyo dalam keluarga tersebut. Okoshi melihat figur ayahnya yang cenderung buruk dan tidak peduli pada dirinya, sehingga ia mengambil keputusan untuk tidak menjadi seperti ayahnya. Ia berpikiran ia hanya menuruti ayahnya walaupun ia tidak menyukainya. Moral, menurut Kohlberg dalam Wirawan (2007: 48) dipelajari melalui tahapan-tahapan perkembangan. Tahapan yang dialami remaja disebut juga tahap konvensional yang biasa terjadi pada anak berumur 6 sampai 11 tahun. Tahap ini dibagi menjadi dua yaitu orientasi anak baik-anak nakal pada masa ini anak melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang lazimnya dianggap baik oleh masyarakat dimana ia tinggal, dan tidak melakukan sesuatu yang dianggap buruk. Akan tetapi pada perkembangan yang lebih tinggi, orientasi moral anak tidak lagi terpaku pada satu ukuran tertentu. Anak mulai dapat berpikir relatif dan mulai memasuki sub tahap berikutnya yaitu orientasi menjaga system, tahapan ini biasa terjadi pada anak remaja berumur 12 sampai 20 tahun. Tingkah laku moral ditujukan untuk mempertahankan norma-norma tertentu Hal ini sama seperti yang di alami Okoshi, ia hanya menuruti apa yang di katakan ayahnya tanpa menyukainya. Tetapi ketika ia mulai berkembang ia mulai berpikir dan memilih norma mana yang akan ia turuti dan jalani.

Menurut analisis saya, chichioya fuzai yakni jarangnya keberadaan ayah di rumah dan kelakuan kasar ayah yang dialami oleh anak tersebut membawa dampak buruk bagi hubungan anak dan ayah. Semakin besar dukungan ayah terhadap anak, akan menghasilkan semakin tinggi perilaku positif anak dan semakin erat hubungan ayah dan anak. Sebaliknya kurangnya hubungan ayah dan anak akan berakibat kurangnya wibawa ayah terhadap anaknya.

Anak memang selalu melihat orang tuanya sebagai contoh utama dalam perkembangannya, bagi anak lelaki figur ayah merupakan model yang ia ambil untuk

(14)

39 mempelajari sifat dan identitas laki-laki, tetapi beberapa anak yang memiliki kenangan buruk dengan orang tuanya dapat mengambil keputusan untuk tidak menjadi seperti orang tuanya. Remaja tersebut akan memilih norma mana yang akan mereka jalankan. Norma agama dan norma lingkungan atau norma kawan-kawan sekelompoknya merupakan beberapa kemungkinan norma yang akan dijalankan oleh anak remaja ( Martinez, 2007:300)

3.2.4 Analisis Dampak Tidak Adanya Sosok Ayah Pada Anak yang Menyebabkan Munculnya Sifat Feminim Pada Anak Laki-Laki

Kasus 4:

Saya sering mudah menangis dan dikerjai. Anak-anak lain mungkin berpikir ini aneh. Saya tidak menyukai permainan permainan kasar dengan anak laki-laki lainnya. Saya juga tidak menyukai olahraga. Saya lebih memilih membaca sendirian atau bersepeda sendirian ketika saya pertama kali berkenalan seorang wanita yang baru dikenalnya, saya sering kali mengatakan “Saya tidak dapat bermain baseball”, (Rebick, 2006: 301).

Ota menceritakan dirinya sering dikerjai dan mudah menangis. Anak-anak lainnya mengganggap dia aneh. Ia tidak menyukai permainan kasar seperti anak-anak laki-laki pada umumnya, karena itu pula ia tidak menyukai olahraga. Hal ini dapat terjadi bila sejak kecil seorang anak tidak melihat kelakuan dari ayahnya. Walaupun ayah dan ibunya sering meminta atau memaksa seorang anak untuk melakukan sesuatu, anak cenderung melakukan hal yang ia lihat dari kelakuan orang tersebut. tingkah laku orang tua memiliki efek yang sangat dalam terhadap prilaku anak. itulah yang menuntut orang tua agar menjadi model prilaku bagi anak, sedangkan yang terjadi dalam keluarga iniayah jarang berada di rumah (Steede, 1998: 101), sehingga dapat dianggap ia tidak

(15)

40 memiliki model pria dalam keluarga, ia hanya melihat sosok ibunya yang merupakan model feminim. Dikarenakan hal tersebut, Ota lebih menyukai hal-hal yang tidak banyak menggunakan fisik seperti membaca buku. Ia merasa lebih nyaman melakukan sesuatu yang bukan tergolong kegiatan pria. Hal ini dapat terjadi karena sejak kecil ia memandang ibunya yang merupakan satu-satunya orangtua yang berada dirumah dan dekat dengannya. Anak remaja cenderung untuk mencari jati diri sehingga memungkinkan terpengaruh oleh pertemanan dan media massa. Namun, sebenarnya mereka masih tetap memegang teguh konsep, nilai, dan prilaku yang sudah ditanamkan oleh orangtuanya. Seperti yang sudah di katakan di atas, prilaku dan tindakan orangtua yang dilihat anak lebih berpengaruh daripada nasihat, jadi walaupun pun orangtua menasihati anaknya agar melakukan suatu kegiatan tanpa memberi gambaran nyata, hal itu akan sia-sia (Steede, 1998: 107). Sering kali ayah memaksa anak laki-lakinya untuk mengikuti kegiatan olah raga, karena mereka menganggap olah raga dapat membangkitkan sifat maskulin dalam diri anak mereka, tetapi hal ini akan menjadi sia-sia bila ayah yang merupakan model pria jarang berada di dalam rumah.

Hal ini juga sangat berpengaruh ketika seorang remaja pria ingin mendekati remaja wanita, mereka sering kali kehilangan percaya diri. Seperti ketika Ota pertama kali berkenalan seorang wanita yang baru dikenalnya, ia sering kali mengatakan “Saya tidak dapat bermain baseball”, hal ini dapat terjadi karena sering kali pria melihat olahraga sebagai sumber kepercayaan diri, dan dalam kasus ini Ota tidak dapat menemukan aktivitas lain dalam dirinya yang dapat memberikan kepercayaan diri mengenai sifat pria padanya.

Menurut analisis yang saya lakukan, Ota mengalami chichioya fuzai. Menurut Sugimoto (2002 :100) chichioya fuzai adalah tidak adanya figur ayah karena kesibukan

(16)

41 ayahnya pada pekerjaan. Jarangnya keberadaan ayah di rumah dapat memiliki berbagai macam dampak pada anak. Ayah merupakan model perkembangan untuk anak, terutama anak laki-laki. Tidak adanya model laki-laki dalam keluarga dapat berakibat seorang anak menjadi kurang menyukai dan kurang berkeinginan untuk melakukan kegiatan yang seharusnya disukai para lelaki (Papalia, 2004: 35). Hal inilah yang terjadi pada Ota. Hal ini terlihat pada, salah satu contohnya adalah kurangnya keinginan Ota untuk melakukan kegiatan olahraga. Menurut Papalia (2004: 35) anak- anak yang tidak memiliki model laki-laki dalam keluarga juga cenderung memiliki sifat seperti perempuan, seperti mudah menangis, tidak menyukai permainan yang kasar, manja, dan lain-lain. Mereka pun akan sulit untuk berkomunikasi dengan teman-teman laki-laki karena mereka tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka, sehingga para remaja pria yang memiliki sifat feminim ini lebih suka menyendiri. Hal ini terjadi pada Ota, yang suka menangis dan mudah dikerjai.

3.2.5 Analisis Dampak Tidak Adanya Sosok Ayah Pada Anak yang Menyebabkan Remaja Perempuan Mencari Pasangan yang Berbeda Dengan Figur Ayahnya

Kasus 5:

Saya adalah anak satu-satunya. Sewaktu saya masih kecil, saya selalu berusaha untuk menjadi anak yang baik. Tetapi ayah bukan seseorang yang mudah di dekati. Di luar hari kerja, ia moodnya selalu buruk dan lelah, ia juga bukan orang yang dapat diandalakan. Seorang peramal mengatakan saya memiliki kesulitan dengan ayah. Lalu saya tinggal terpisah dari keluarga, sejak saat itu saya mencari seseorang yang dapat di andalkan dan benar-benar mencintai saya. Saya tidak menyukai ayah saya sebagai seseorang ataupun sebagai seorang ayah, saya benar-benar tidak dapat menerimanya, dan saya tidak mempercayai seorang pun

(17)

42 dalam keluarga. Tetapi saya kesepian, karena itulah pacar saya sangat penting, saya melihat sosok ayah yang sempurna dalam dirinya (White, 1994: 67).

Seorang gadis remaja SMU menceritakan bahwa dirinya sejak kecil selalu berusaha menjadi anak yang baik dan penurut untuk menarik perhatian ayahnya, tetapi ayahnya bukan seorang yang mudah didekati karena sibuk bekerja. Sedangkan di luar hari kerja, ia moodnya selalu buruk dan lelah, ia juga bukan orang yang dapat di andalkan. Dari sini dapat kita lihat ayahnya bukan ayah yang perhatian atau bahkan dapat dikatakan ia kurang memperhatikan anaknya. Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orang tua – namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga (Rini, 2002). Lalu sejak SMU gadis tersebut tinggal sendiri, berpisah dari keluarganya, sejak saat itu ia mencari seseorang yang dapat di andalkan dan benar-benar mencintainya. Ia menemukan sosok tersebut dalam diri pacarnya.

Menurut analisis saya, anak dalam kasus tersebut di atas mengalami chichioya fuzai. Yang dimaksud dengan chichioya fuzai, menurut Sugimoto (2002: 100) adalah ayah memang berada di rumah yang sama seperti anaknya, tetapi ia selalu sibuk dengan pekerjaan dan kurangnya sifat kebapakan yang didambakan oleh sang anak.

Pada saat menikah, bisa jadi seorang istri menikahi suaminya karena merindukan figur ayah yang melindungi dan mencurahkan perhatian dan kasih sayang – seperti yang tidak pernah didapatnya dahulu. Atau, bisa jadi seorang pria mencari wanita yang dapat

(18)

43 menjadi substitusi dari ibunya dahulu, yang sangat ia dambakan cinta dan perhatiannya (Rini, 2002). Walaupun gadis tersebut belum menikah tetapi dapat dikatakan ia berada dalam tahapan mencari pasangan hidup yang memiliki sosok ayah yang ia dambakan selama ini.

Tidak mendapat kasih sayang dan cenderung tidak dipedulikan oleh ayahnya tentu juga menimbulkan rasa kebencian pada diri gadis tersebut. “Saya tidak menyukai ayah saya sebagai seseorang ataupun sebagai seorang ayah” ungkapan tersebut cukup menggambarkan bagaimana ia sangat membenci ayahnya. Tidak hanya sebagai ayah tetapi juga sebagai seseorang biasa. Segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan terus membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Jika seseorang mengalami pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orang tua, hal ini akan terus terekam dalam memori dan menimbulkan stress yang berkepanjangan, baik ringan maupun berat. Remaja yang mengalami depresi akan menjadi apatis dan menyalahkan dirinya sendiri sehingga merasa enggan untuk mencari pertolongan (Rini, 2002).

3.3 Analisis Dampak Tidak Adanya Figur Ayah Pada Anak Karena Ketiadaan Ayah di Rumah.

3.3.1 Analisis Dampak Tidak Adanya Figur Ayah Pada Anak Karena Ketiadaan Ayah di Rumah yang Menyebabkan Perubahan Gaya Hidup Remaja Perempuan

(19)

44 Miyama, seorang pekerja di perusahaan makanan, memiliki anak perempuan yang bersekolah di SMU. Ketika Miyama di tugaskan keluar kota dan tinggal sendirian (Tanshin funin). Ketika ia pulang ke rumahnya setelah beberapa saat tugas di luar kota, ia terkejut melihat anaknya berubah. Rambut yang di cat, sepatu hak tinggi, rok mini merupakan penampilan baru anaknya, ia juga sering kali pulang malam dan hanya berada di rumah sebentar saja (Schreiber, 2007:175).

Penampilan merupakan hal penting dikalangan remaja putri dan keingginan untuk tampil menarik biasanya sudah muncul sejak sekolah menengah pertama (SMP). Terkadang mereka memiliki pemikiran bahwa penampilan luar seseorang mencerminkan kualitas keseluruhan orang tersebut. seorang remaja putri sangat menganggap penting penampilan mereka ketika mereka berada dalam lingkungan sosial maupun dalam sekolah (Daters, 1990).

Menurut Holdorf (2005:3) pakaian merupakan suatu elemen yang mengandung makna sosial dan dapat menjadi salah satu cara menunjukan bahwa seorang remaja memiliki kekompakan dengan teman-teman. seiring dengan masuknya seseorang ke dalam usia remaja, maka dia akan merasa ingin memberontak dan melawan orang tuanya untuk membuktikan bahwa dia bukan anak kecil lagi dan pakaian yang ia kenakan merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut. suatu pakaian atau trend mode juga dapat menjadi sarana bagi seorang remaja untuk lebih di terima oleh teman-teman sebayanya dan seseorang yang pakaiannya tidak sesuai dengan trendatau tidak sejalan dengan pakaian yang sedang trend dikenakan oleh teman-temannya,maka tidak akan dianggap mampu untuk bersosialisasi. Seorang remaja juga memiliki suatu kebutuhan untuk memiliki suatu kelompok teman dekat tersendiri dan mengenakan pakaian yang sesuai sebagai salah satu bentu mengekspresikan diri.

Manusia semasa usia remaja, khususnya remaja putri memiliki kecenderungan untuk berusaha mencari tahu siapa diri mereka sesungguhnya. Lalu diwaktu yang sama mereka

(20)

45 itu sangat kritis dan memiliki kepastian mengenai siapa saja yang akan mereka pilih untuk dijadikan teman (Holdorf, 2005:12). Pada masa ini orang tua seharusnya dapat mengontrol kelompok mana yang sebaiknya remaja tersebut dekati. Orang tua sebaiknya tidak hanya melarang remaja untuk memilih kelompok yang mereka inginkan, tetapi menjelaskan bahwa mereka khawatir dengan masa depan remaja tersebut. Orang tua sebaiknya member kebebasan yang bertanggung jawab untuk belajar membuat keputusan yang tepat, untuk dapat menjalankan hal ini, orangtua harus bersedia mendiskusikan segala permasalahan yang di alami atau akan dialami oleh anak. Memberi kebebasan tanpa ikut membantu dan memantau remaja hanya akan mengakibatkan remaja menjadi kehilangan arah. Bagi orang tua yang tidak tinggal serumah dengan anak remajanya, hal ini cukup sulit dilakukan karena orang tua tidak dapat melihat perkembangan dan apa saja yang telah dilakukan anaknya (Steede 1998:106).

Menurut analisis saya, sesuai dengan teori Holdorf (2005:3), remaja cenderung mencari perhatian seseorang, jika mereka tidak mendapat perhatian yang seharusnya dari keluarga, mereka akan berusaha mencari perhatian dari orang-orang disekitarnya. Baik menggunakan cara yang benar ataupun salah. Sejak mengalami chichioya fuzai, yakni tidak adanya figur ayah pada remaja perempuan ini, ia berusaha mencari perhatiannya di luar rumah. Tanpa figur ayah yang merupakan kepala keluarga di rumah, pengontrolan gaya hidup anak remaja akan semakin sulit untuk dilakukan. Ayah yang efektif bisa dibentuk bila ia memfokuskan pada tujuh hal yakni menciptakan relasi yang sehat, menyediakan kebutuhan fisik dan keamanan, menerima adanya perubahan, menanamkan nilai-nilai moral, menanamkan nilai spiritual, menggali hal-hal yang menyenangkan, dan membantu anak mengembangkan kemampuannya (Sujayanto, 1999).

(21)

46 3.3.2 Analisis Dampak Tidak Adanya Figur Ayah Pada Anak Karena Ketiadaan Ayah di Rumah yang Menyebabkan Pemilihan Model Perkembangan yang Salah Anak Laki-laki

Kasus 7:

Seorang ayah di Jepang meminta anaknya sendiri untuk dijatuhkan hukuman gantung setelah ia melakukan pembunuhan kejam terhadap tiga anggota keluarganya. Ia membelah perut ibunya dan memasukkan boneka kedalamnya. Ayahnya mengatakan bahwa ia menginginkan hukuman mati untuk anaknya yang merupakan penggemar novel Hannibal.

Remaja yang tidak disebutkan namanya ini, mengakui telah menusuk hingga meninggal saudara laki-laki, saudara perempuan dan ibunya dengan pisau besar pada 9 januari.

Ia lalu membuka perut ibunya dan memasukan boneka ke dalamnya dan membakar rumahnya yang berada di kota Hachinohe utara.

Ayahnya mengatakan anaknya memang sedang membuat novel yang menceritakan tujuh criminal yang berniat menghancurkan kota. Terdapat salah satu adegan dimana seseorang memasukan boneka kedalam perut ibunya.

Ayahnya yang berumur 55 tahun merasa muak ketika melihat anaknya terseyum saat ditangkap. Ayahnya yang sudah bercerai dengan ibunya, sering masuk kedalam penjara karena perkara surat ancaman. Ia mengakui dirinya merupakan sumber kelakuan buruk anaknya.Ketika di dalam penjara anaknya mengirimkan buku Hannibal lecter karya Thomas Harris kepadanya. Dikutip dari Teen should hang for murder spree, says father (2008).

Seorang remaja berumur 18 tahun di Hachinohe, membunuh ibu, kakak dan adiknya di dalam rumahnya sendiri. Ayahnya yang sudah bercerai dari ibunya memang sedang berada dalam penjara karena kasus yang berbeda. Ia mengakui ia merupakan sumber kelakuan buruk dari anaknya tersebut. Ia mengatakan anaknya memang penggemar novel-novel horror sadis seperti Hannibal Lecter , anaknya juga sedang menulis sebuah novel sejenis yang menceritakan 7 kriminal, dalam novel tersebut terdapat suatu adegan dimana terdapat pembunuhan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan anaknya tersebut.

(22)

47 Para remaja pada zaman sekarang ini sering kali mengidolakan seseorang yang menurut mereka mengerti akan kebutuhan mereka dan gaya hidup mereka. Demi idola mereka tersebut tak jarang remaja mengikuti gaya berpakaian, penampilan, serta tingkah laku idola mereka. Beberapa ahli berpendapat bahwa remaja cenderung mengidolakan seseorang di luar lingkungan keluarganya. dikarenakan tokoh idola di dalam rumah yakni kedua orang tua, kakak ataupun adiknya, ternyata cenderung tidak layak diidolakan. Beberapa keluarga kini mengalami krisis tokoh idola, karena orang tuanya lebih sering berada di luar rumah daripada mendidik anaknya. mengorbankan kesibukan yang padat merupakan beban yang berat bagi orangtua. Peran orangtua sangatlah diperlukan dalam mendampingi putra-putrinya selama menjalani masa remaja. Sekali orangtua gagal mengarahkan dan menjadi contoh untuk anak remajanya, maka hal ini akan dapat berakibat sangat buruk bagi kehidupan remaja dimasa mendatang. Remaja sering kali melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang akan dilakukan idolanya, seperti ketika ia mendapati masalah, remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para idolanya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja, karena anak belajar dari perilaku tokoh idolanya, baik itu berupa gaya berpakaian maupun menyangkut hal-hal yang lebih dalam yaitu kepribadian. Apabila pada masa ini anak remaja menemukan tokoh idola yang positif maka anak akan digiring ke perilaku positif idolanya tersebut, sehingga anak akan berusaha seoptimal mungkin berperilaku seperti tokoh yang dia banggakan itu. Sebaliknya apabila pada fase ini anak remaja memilih tokoh idola yang tidak bertanggung jawab maka perilaku dia juga akan diarahkan ke perilaku yang tidak bertanggung jawab (Mu’tadin, 2002).

(23)

48 Seperti yang terjadi pada kasus ini, anak tersebut mengidolakan novel Hannibal dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh utama dalam novel tersebut. Ia mengimajinasikan dan mengidolakan tindakan kekerasan dan pembunuhan yang terdapat dalam novel tersebut, dan perlahan-lahan menimbulkan rangsangan untuk meniru model kekerasan yang ia imajinasikan. Hal ini disebabkan karena anak tersebut mengalami chichioya fuzai. Menurut Hasegarwa (1998:96), chichioya fuzaia adalah tidak adanya figur ayah yang disebabkan oleh ketiadaan ayah di rumah. Adanya figur ayah, merupakan model awal perkembangan anak laki-laki. Oleh karena itu, jika figur ayah tidak ada pada anak laki-laki tersebut maka, anak laki-laki tersebut mencari figur lainnya. Pemilihan figur dalam perkembangan sangat beresiko memilih model perkembangan yang salah. Karena itu orang tua terutama ayah seharusnya mengontrol pemilihan idola anak remaja mereka , dalam hal ini di perlukan komunikasi sudah terbangun dengan baik antara orang tua dan anaknya. Komunikasi ini seringkali terhambat bila ayah tidak berada di rumah.

Kecenderungan anak untuk mencari jati diri dapat dilakukan dengan cara apa saja. Mereka banyak belajar, termasuk melihat tayangan televisi, film, membaca novel, ataupun manga, mengenai beberapa nilai prespektif yang berbeda. Sering kali orang-orang yang kurang mendapat perhatian dalam kehidupannya mencoba mencari tahu tentang jati dirinya dalam internet. Namun, pengaruh yang paling kuat terhadap perkembangan rasa percaya diri dan penentuan jati diri anak adalah tindakan dan cara pengasuhan orangtuanya, pengasuhan yang dilakukan orang tua pada anaknya sejak kecil sampai remaja bahkan dewasa.

Sering kali orang tua hanya melihat remaja dari luar saja, menganggap remaja tersebut seorang yang memang pendiam dan tidak membutuhkan banyak perhatian tanpa mempedulikan permasalahan yang sebenarnya sedang dialami anak mereka. Terutama di

(24)

49 Jepang, para siswa harus terus belajar untuk lulus dalam tes masuk sekolah dan universitas yang ia dan keluarganya inginkan. Mereka jarang membuka perasaan mereka yang sebenarnya kepada ibunya, apalagi pada ayahnya yang jarang berada di rumah, sehingga hal ini lah yang memicu depresi dalam diri remaja (Rice, 1998).

Gambar

Grafik 3.1  Waktu yang Diluangkan Ayah untuk Anak Pada Hari Kerja.
Grafik 3.2  Persentase Ayah yang Ingin Mengambil Pulang Lebih Cepat
Grafik 3.3  Persentase Alasan Ayah Tidak Pulang Lebih Cepat

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari im" Kamis tanggal dua puluh dua bulan Desember tahun dua ribu enam belas bertempat di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang telah dibuat Berita Acara

We will prove that if the mutant has no selective advantage nor disadvantage, compared with the individuals of the resident population, then, provided we are in the supercritical

(2) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional peserta didik terhadap hasil belajar kognitif matematika dari

PEKERJAAN PENGADAAN PERANCANAAN PENAMBAHAN NILAI GEDUNG DAN BANGUNAN (WORKSHOP CNC) ULANG DI BBLKI. SURAKARTA TAHUN ANGGARAN

400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah) Tahun Anggaran 2016, maka dengan ini diumumkan bahwa Pemenang E-lelang. Pemilihan Langsung pekerjaan tersebut di atas

Berangkat dari hasil analisis spasial dengan meng-overlay kriteria fisik penentuan zonasi pola pengumpulan dan pengangkutan sampah Kota Muara Teweh yang terdiri dari peta

; Dengan menggunakan Tahun Dasar 2007=100, pada bulan Maret 2010 Kota Pekanbaru mengalami deflasi (inflasi negatif) sebesar 0,34 persen, hal yang sama juga terjadi di Kota Dumai