• Tidak ada hasil yang ditemukan

1975). Kenyataan ini hembuat beberapa peneliti beranggapan bahwa cacing pita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1975). Kenyataan ini hembuat beberapa peneliti beranggapan bahwa cacing pita"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

11. TINJAUAN PUSTAKA

Cestoda adalah cacing pipih, yang lebih dikenal dengan nama cacing pita. Cacing ini merupakan subfilum di dalam filum Platyhelminthes. Cestoda disebut cacing pita. karena ia mempunyai bentuk tubuh seperti pita, pipih ke arah dorsoven- tral , dan mempunyai banyak ruas (segmen). Menurut Soulsby (1 982) Cestoda dibagi menjadi dua

klas:

Cotyloda dan Eucestoda. Klas Cotyloda diperkirakan terdiri dari enam ordo dan Mas Eucestoda (Cestoda yang sejati) terdiri dari 15 ordo.

Cacing pita dewasa, hidup di dalam saluran pencernaan vertebrata, dan larvanya hidup di dalam jaringan vertebrata dan invertebrata (Brown,

1975).

Cacing ini, tidak mempunyai saluran pencernaan, juga tidak mempunyai rongga tubuh, tetapi telah memili

ki

sistem saraf dan sistem pem buangan sisa metabolisme (BeIding

,

1958; Brown, 1975; Soulsby, 1982: Urquhart et al., 1987). Segmen-segmen cacing pita ini, atau yang disebut juga dengan proglottid, bila sudah menjadi matang, mengandung alat kelamin jantan maupun betina. Dengan kata lain, setiap segmen dari cacing ini, mempunyai alat reproduksi yang sempurna (levine, 1978; Brown,

1975).

Kenyataan ini hembuat beberapa peneliti beranggapan bahwa cacing pita bukanlah individu tunggal, melainkan merupakan koloni linier (Levine, 1978). Atas dasar kematangan dari alat reproduksi tersebut, maka dapat dijumpai tiga jenis segmen cacing Cestoda yaitu segmen imatur dengan organ jantan belum dapat dibe- dakan dari organ betina; segmen matur dengan organ jantan sudah dapat dibedakan dari organ betina; dan segmen gravid yang memiliki uterus yang berisi penuh oleh telur cacing (Belding,

1958;

Cheng,

1986).

(2)

2.1.1. Morfologi

Cacing pita yang dewasa terdiri dari: (1) scolex yang dilengkapi dengan alat pemegang; (2) leher, yang bagian posteriornya merupakan tempat pertumbuhan; d m (3) strobila, rantai segmen-segmen atau proglottid-proglottid yang perkembangannya progresif (Belding, 1958; Faust dan Russel, 1964)). Ukuran cacing Cestoda sangat besar variasinya. Ada yang panjang tubuhnya hanya beberapa milimeter, tetapi ada juga yang panjang, mencapai beberapa meter (Soulsby, 1982). Brown (1 975) melaporkan variasi ini dari 3 milimeter sampai 4 meter, dan jumlah proglottid dari 3 sampai 4000.

Scolex yang bulat atau memanjang mempunyai salah satu dari tiga macarn alat untuk melekatkan diri pada dinding usus inang: (1) lekuk penghisap yang memanjang atau bothria @ada Diphillobothrium latum), (2) batil isap seperti cangkir (pada Taenia saginata), dan (3) selain batil isap terdapat sebuah rostellum yang dilengkapi dengan kait-kait khitin (pada Tuenia solium) (Belding, 1958; Brown, 1975). Proglottid berlainan dalam ha1 jumlah, ukuran dm bentuk menurut spesies dan stadium pertumbuhannya. Tiap proglottid pada hakekatnya adalah satu individu yang berfungsi, satu anggota dari rantai koloni atau strobila. Menurut Levine (1978) setiap proglottid berisi &tu setel lengkap organ perkembangbiakan, jantan dan beti- na, yang merupakan satu unit. Proglottid ini tumbuh di bagian posterior leher dan berturut-turut menjadi lebih matang. Dengan demikian, segmen anterior yang belurn dapat dibedakan berangsur-angsur menjadi proglottid besar yang matang dengan alat kelamin yang sudah berbentuk sempurna, dan ini seterusnya menjadi proglottid gravid, yang terutama terdiri dari uterus yang melebar, penuh dengan telur (Brown,

I

1975). Noble dan Noble (1982) menyebutkan bahwa ujung proglottid yang gravid itu, adalah tidak lebih dari kantung-kantung yang penuh berisi telur. Proglottid

(3)

gravid akan teriepas dari strobila atau bila masih melekat akan mengalami dis- integrasi

.

Proglottid yang pecah akan keluar bersama feses (Levine, 1978). Bentuk dan struktur dalam proglottid yang matang dan gravid berguna untuk membedakan ordo, famili atau spesies (Faust dan Russel, 1964: Brown, 1975).

Badan yang berwarna putih diliputi oleh kutikulum atau tegumen yang homogen. elastis dan resisten secara kontinyu dari segmen satu ke segmen yang lain (Belding. 1958). Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa di dalam teg umen terdapat mi tokondria, membran, vakuola, benda-benda yang masuk di dalamnya, enzim-enzim yang dapat mengadakan hidrolisis dan oksidase (Brown, 1975). Sedangkan Noble dan Noble (1982) menyatakan bahwa tegumen Cestoda sebagian besar terdiri dari protein, berisi polisakarida tertentu, gli koprotein, mito- kondria, vakuola dan membrana. Aktivitas sintesis protein yang berderajat tinggi terjadi di dalam sel-sel subtegumental, dan protein-protein ini diduga disekresikan ke dalam matriks tegumental (Noble dan Noble, 1982 ). Brown ( 1975) menyatakan bahwa saluran-saluran pori (lubang-lubang di tegumen) berjalan dari permukaan tegumen sampai ke dasarnya. Permukaannya tertutup dengan struktur yang menye- rupai rambut yang halus (mikrotrich) atau villus keci I. Pada beberapa spesies bagian proksimai mikrotrich a&alah kosong dan bagian distalnya padat. Di bawah tegumen ada selapis otot sirkuler dan selapis otot longitudinal yang tipis. Dua lapis serabut transversal berjalan dari sisi satu ke sisi lain, meliputi bagian tengah dimana terdapat sebagaian

besar

alat-alat itu. Serabut-serabut dorsoventral juga berjalan dari permu- kaan satu ke permukaan lain. Parensim mengisi ruang-ruang antara organel dan lapisan otot (Belding, 1958, Brown, 1975 Soulsby, 1982).

Sistem ekskresi atau osmoregulator sama dengan yang terdapat pada cacing daun (Noble dan Noble, 1982 ), dan terdiri dari

"flame

cells (fZame bulb)" yang

(4)

berhubungan dengan tubulus colectivus melintang dan longitudinal (Levine, 1978; Noble dan Noble, 1982; Soulsby, 1982). Menurut Brown (1 975) saluran ekskresi ini, biasanya memanjang dorsal dan ventral berjalan melalui pinggiran lateral dari segmen-segmen, mulai dari anastomosenya di dalam scolex sampai ke lubang ke- luarnya di bagian posterior proglottid terakhir. Saluran transversal menghubungkan banyak saluran yang memanjang ventral di bagian posterior dari tiap proglottid. Saluran utama menerima cabang-cabang yang dibentuk oleh saluran pengurnpul yang berasal dari "terminal flame cells" yang tersebar di parensim. Menurut Noble dan Noble (1982) cairan akan mengalir ke arah anterior di dalam saluran dorsal yang lebih kecil. dan kearah posterior di dalam saluran ventral yang lebih besar. Selan- jutnya Noble dan Noble (1982) menyatakan bahwa fungsi sebenarnya saluran ekskre- toris ini masih diragukan, tetapi rupa-rupanya jelas, bahwa selain peranan yang biasa yaitu mengeluarkan sisa-sisa rnetabolik tertentu dari tubuh, tubulus-tubulus tersebut juga membantu mengatur tekanan hidrostatik. Selain itu, tubulus juga mempunyai

fungsi sekretoris.

Di dalam scolex ada ganglion-ganglion kepala dengan banyak komisura dan berbagai ganglion anterior yang bersambungan dengan komisura untuk membentuk cincin rostellum ( ~ r o w t 1975: Soulsby, 1982). Saraf sensoris dan motoris yang perifer di bagian anterior cacing keluar dari ganglion-ganglion ini. Batang saraf utama yang lateral dan dua urat sayaf tambahan yang memanjang, berjalan pada setiap sisi dari ganglion kepala melalui seluruh rantai proglottid. Pada tiap proglot- tid urat saraf lateral ini dihubungkan oleh komisura transversal (Belding, 1958; Brown, 1975). Menurut Noble dan Noble (1982) kumpulan saraf dan neuron yang lebih padat terdapat pada pada organ-organ tetentu seperti batil isap dan vesicula

eks-

(5)

Menurut Levine (1978) organ yang paling menonjol pada Cestoda adalah organ reproduksi. Kebanyakan Cestoda bersifat hermafrodit. Tiap proglottid matang mengandung paling sedikit satu perangkat alat kelarnin jantan dan betina (Brown, 1975; Soulsby, 1982). Brown (1975) menyebutkan bahwa vas deferens pada yang jantan dan vagina pada yang betina mempunyai muara kelamin yang bersarnaan di permukaan ventral atau di sisi lateral proglottid. Muara kelamin ini mungkin terletak pada sisi yang sama pada tiap proglottid (pada Hymenolepis), tidak

teratur bergantian kanan dan kiri (pada Taeniu), atau bilateral bila terdapat dua perangkat alat kelamin (pada Dipylidium).

Alat kelamin jantan biasanya berkembang lebih awal dengan jumlah testes yang banyak (Soulsby, 1982). Alat ini terletak di bagian dorsal proglottid (Belding, 1958). Sal uran-saluran kecil , vasa efferensia, yang berasal dari 3 (Hymenolepis) sampai 500 (mniu, Diphyllohorrium) bersatu untuk membentuk vas deferens, yang berjalan berbelok-belok menuju ke cirrus, suatu alat terdiri dari otot yang menonjol, diselubungi oleh kantong cirrus yang berdinding tebal. Bagian bawah vas deferens sering melebar untuk membentuk vesicula seminalis. Cirrus membuka di sebelah anterior dari vagina ke dalam muara kelamin bersama berbentuk mangkok (Brown,

1975). Y

Alat kelamin betina letaknya dekat permukaan ventral dari proglottid (Beld- ing, 1958). Vaginanya, suatu saluran tipis lurus, membentang dari ootype sampai ke muara kelamin bersama, dan sering melebar untuk membentuk receptaculum semina- lis (Brown, 1975; Levine, 1978). Ovarium yang biasanya berlobus dua, letaknya di bagian posterior proglottid. Telurnya dikeluarkan ke dalam oviduct yang bergabung dengan ductus spermaticus dari receptaculum seminalis untuk membentuk saluran

(6)

menjadi sekelompok massa yang berlobus satu atau dua atau tersebar difus seperti folikel-folikel tersendiri di seluruh proglottid. Sekelompok kelenjar cangkang telur yang uniseluler, kelenjar Mehlis, yang pada beberapa spesies tidak ada, mengelilingi dan bermuara ke dalam ootype. Uterusnya berjalan dari permukaan anterior ootype

sebagai saluran sentral yang bentuknya bermacam-macam (Belding, 1958; Levine, 1978; Soulsby, 1982). Menurut Noble dan Noble (1982) cara pembuahan yang paling

u m u m

pada Cestoda adalah dengan fertilisasi sendiri, yaitu dengan cara membalikkan cirrus ke dalam vagina pada proglottid yang sama. Mereka juga menyebutkan adanya perkawinan silang antara proglottid yang berbeda dalam strobi- la yang sama. dan dapat pula antara proglottid yang berbeda dalam strobiia yang berbeda (Noble dan Noble, 1982).

2.1.2. Fisiologi

Cacing pita hidup di dalam rongga usus inang dengan scolexnya menempel pada mukosa. Tempat hidup yang biasa adalah ileum, tetapi cacing ini dapat

ada

di dalam jejunum dan kadang-kadang di dalam colon. Cacing ini pernah dilaporkan di tempat-tempat lain seperti kantung empedu (Belding, 1958).

Fisiologi dan biokimiawi Cestoda sama dengan Trematoda. Terdapat

angka

metabolik yang bertingkat-tingkat disepanjang strobila sehingga pengamatan yang dilakukan pada proglottida di suatu tempat di dalam tubuh akan berbeda dengan proglottida lain (Noble dan Noble, 1982).

Menurut Brown (1975) cacing Cestoda mempunyai satu sistim metabolisme yang anaerob, sehingga bisa hidup di dalam saluran pencernaan yang relatif tidak mengandung oksigen. Pada sisi lain, E3eiding

(1

958)

menyebutkan bahwa glimgen, yang mempunyai peranan yang penting di dalam metabolisme, ternyata dibentuk dari dekstrose. Noble dan Noble (1982) menyatakan bahwa glukosa dan galaktosa

(7)

merupakan karbohidrat yang telah diketahui dimetabolisme oleh Cestoda, meskipun beberapa spesies, juga mengabsorbsi mono dan disakarida lain.

Cacing pita dewasa memperoleh sebagian besar makanan dengan cara ab- sorbsi bahan-bahan dari makanan inang yang setengah dicernakan, tetapi tqnpaknya sebagian dari makanannya juga diambil langsung dari jaringan inangnya (Brown, 1975). Disangka bahwa tegumen adalah alat utama untuk absorbsi pada Cestoda, dengan microtrichenya yang menambah besar daerah permukaan absorbsi. Di dalarn tegumen terdapat berbagai enzim yang mempunyai peranan pada metabolisme makanan. Bagian proksimal microtrich mungkin berguna untuk penyerapan bahan makanan, dengan cara difusi saja, atau pengangkutan secara aktif. Bagian distal microtrich mungkin berguna untuk melekatkan diri dengan membentuk anyaman dengan mikrovilli mukosa usus atau mungkin merupakan penggosok, sehingga mengeluarkan cairan jaringan un tuk diserap. Ternyata, kebanyakan dari zat protein diperoleh dari mukosa usus inang, sedangkan sebagian besar dari zat karbohidrat diabsorbsi dari isi usus. Dengan demikian, cacing pita sensitif terhadap berkurang- nya sebagian dari jumlah zat karbohidrat di dalam makanan inang (Belding, 1958; Brown, 1 975). Selanjutnya din yatakan bahwa kelaparan pada inang dan kekurangan vitamin B kompleks di da~am makanannya. akan mengurangi jumlah cacing pita, menghambat pertumbuhan dan mengurangi produksi telurnya. Sementara itu, larva Cestoda mengabsorbsi makanan dari jaringan inang di sekitarnya

(Brown,

1975).

Alat kelaminnya mencapai perkembangan yang berlebihan supaya dapat mengatasi bahaya diwaktu penyelesaian daur hidupnya. Hermafroditisme dan autofertilisasi mengakibatkan kesuburan, walaupun pembuahan silang antara segmen- segmen dari cacing sarna atau cacing lain dapat terjadi. Spermatozoa

diarahkan

ke

dalam vagina oleh cirrus yang dapat keluar masuk (protrusif). Telur dibuahi di

(8)

dalam ootype, kemudian menerima sel kuning telur dari kelenjar vitellina dan mendapat cangkang, akhirnya disimpan di dalam uterus. Cacing pita dewasa seperti Taenia solium, Taenia saginata dan Diphyllobothrium latum dapat hidup selama 20 sampai 25 tahun. sedangkan beberapa spesies lain hidupnya pendek (Belding , 1958; Brown, 1975; Soulsby, 1982).

Daur hidup Cestoda yang biasa ditemukan pada manusia memerlukan satu atau lebih inang antara, kecuali Hymenolepis nana pada manusia yang hanya memer- lukan satu inang untuk stadium larva dan dewasanya (Soulsby, 1982). Freeman (1973) mengemukakkan bahwa stadium-stadium perkembangan dalam daur hidup Cestoda terdiri atas: (a) ovum (yang diduga memerlukan pembuahan); (b) onkosfer (larva dengan enam kait yang sering disebut embrio hexacanth) yang

akan

mengala- mi metamorfosis; (c) metacestocla yang meliputi semua fase pertumbuhan antara onkosfer dan munculnya sexualitas pertama, yaitu ketika ia mempunyai (i) sebuah scolex dengan diferensiasi sempurna dan berukuran seperti pada cacing dewasa clan (ii) tubuh yang sudah menunjukkan proglotidasi atau tanda-tanda kematangan sexual yang pertama dan (iii) caling dewasa yang sexualnya sudah mengalami reproduksi di dalam usus. Daur hidup cacing pita memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun (Freeman, 1973; Noble dan Noble, 1982; Soulsby, 1982).

Menurut Brown (1975) di dalam inang antara, stadium larva Cestoda akan berkembang setelah telurnya termakan. Inang sejati akan mengandung cacing dewasa, bilamana makan daging yang mengandung larva di dalam kista. Kebanya- kan Cestoda memilih spesies khusus untuk inang antara dan inang sejatinya, misal- nya inang sejati untuk Taenia solium adalah manusia, dan inang antaranya adalah

(9)

babi. Tetapi telur Taeniu solium, bila kebetulan termakan oleh manusia, dapat tumbuh menjadi larva Cysricercur cellulosoe. Sementara itu, manusia merupakan inang antara untuk Echinococrus grunulosus, sedangkan anjing dan hewan sejenisnya merupakan inang sejatinya (Brown. 1975 ; Cheng. 1986). Freeman (1973) yang mengamati ontogeni Cestoda secara teliti, mengemukakan bahwa perkembangan Cestoda sebenarnya lebih tergantung pada tempat dan tingkat persediaan makanan, daripada inang itu sendiri.

Menurut Brown (1975) apabila pada proglottid Cestoda terdapat lubang uterus, telur mempunyai overculum, zat kuning telur banyak, pertumbuhan embrio terjadi setelah keluar dari inang, dan embrio yang matang mempunyai cilia. Se- dangkan bila tidak ada lubang uterus, telurnya yang berdinding tipis tidak mempu- nyai overculum, zat kuning telur sedikit, dan pertumbuhan embrio terjadi di dalam uterus. Telur semacam ini , bila meninggalkan proglottid, mengandung onkosfer atau embrio hexacanth yang mempunyai 6 buah kait dan diliputi oleh lapisan dalam, atau embriofor dan lapisan kulit telur tipis di bagian luar yang sering lenyap. Ruangan tengah di antara membran ini di isi oleh zat cair, kadang-kadang mengan- dung butir-butir kuning telur. Pada TAENIIDAE, embriofor yang tebal dan ber-

v

warna agak tengguli, mempunyai garis-garis radier.

Selanjutnya dinyatakan bahwa telur yang berdinding tebal sangat resisten terhadap panas dan kering, dan dapat hidup lama pada tanah atau tumbuh-tumbuhan yang dicemari dengan feses (Belding, 1958; Soulsby, 1975). Bila telur ini termakan oleh inang antara yang sesuai, karena rangsangan cairan pencemaan, onkosfer keluar dari embriofor yang pecah karena gerakannya sendiri. Dibantu oleh kait-kaitnya, larva akan menerobos ke dalam mukosa usus, masuk ke dalam sistem limfe dan saluran darah, dan karena migrasi aktif atau pasif, akan dapat masuk ke

(10)

jaringan tertentu untuk pertumbuhan larvanya. Daur hidupnya selesai dengan terte- lannya larva oleh inang sejati. Larva yang dibebaskan oleh cairan pencernaan, menempelkan diri dengan scolexnya pada dinding usus dan tumbuh menjadi cacing dewasa dengan mengadakan proliferasi proglottid (Faust dan Russel, 1964; Brown,

1975; Soulsby, 1982).

Ada dua jenis utama larva cestoda: (1) padat, dan (2) gelembung atau vesi- kuler. Bentuk padat yang khas dilihat pada Diphyllobothrium latum. Larva yang berciiia, yaitu coracidium, menetas di dalam air, termakan oleh crustacea, inang antara pertama yang hidup di dalam air tawar. Di dalam rongga badan menjadi larva procercoid kecil, berbentuk kumparan padat, dengan invaginasi di kepala dan dengan bagian posterior yang bulat dan mengandung kait-kait embrio. Bila crustacea yang mengandung larva ini ini dimakan oleh inang antara kedua seperti ikan, procer- coid dibebaskan di dalam usus ikan tersebut dan mencari jalan menuju ke otot, lalu tumbuh menjadi plerocercoid, suatu badan padat yang menyerupai cacing dan tidak mempunyai kait-kait (Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982). Noble dan Noble (1 982) menambah kan bahwa dahulu, karena kesalahan identifikasi, metacestoda plerocercoid pernah dianggap sebagai cacing jenis lain yang disebut sparganum. Namun demi kian sekaraig nama i tu masih tetap dipakai, dan infeksi plerocercoid pada ikan atau hewan lain disebut sparganosis.

Larva vesikuler yang khas, ditemukan pada cacing pita manusia. Setelah onkosfer bermigrasi ke jaringan-jaringan inang antara, sel-sel di bagian tengah mencair, membentuk badan bulat dengan lapisan perifer terdiri dari sel proliferasi yang mengelilingi bahan cair. Ada dua jenis larva vesikuler: sistiserkoid dan sisti- serkus atau larva gelembung sejati. Sistiserkoid mempunyai bagian posterior yang padat dan gelembung yang pertumbuhannya tidak sempurna dan yang biasanya telah

(11)

mengalami reabsorbsi atau telah dilepaskan (contohnya pada Dyphilidium caninwn). Sistiserkus yang sederhana terbentuk oleh akibat pembesaran rongga tengah, inva- ginasi pada dinding proliferatif, dan pembentu kan scolex pada ujung bagian yang telah mengalami invaginasi (contohnya pada Taeniu solium). Bila membran germi- nativa membentuk kista sekunder atau gelembung perindukan, yang membentuk scolex banyak sekali, bentuk larva ini disebut echinococcus atau kista hidatid. Di dalam bentuk coenurus dan echinococcus, sebuah kista dengan pembiakan aseksual, dapat menghasilkan banyak keturunan yang masing-masing dapat menjadi cacing dewasa (Belding, 1958; Brown, 1975; Levine, 1978; Noble dan Noble, 1982; Souls- by, 1982).

2.1.4. Patogenesitas

Kerugian yang ditimbulkan oleh cacing dewasa berlainan pada

berbagai

spe-

sies. Ukuran dan jumlah cacing menentukan efek sistemik dan luasnya iritasi

pada

usus. Tempat perlekatan scolex merupakan jalan untuk invasi bakteri dan adanya strobila dapat menimbulkan obstruksi usus yang bersifat sementara. Bermacam- macam gejala gastrointestinal dan gejala saraf yang tidak nyata dapat ditimbulkan. Berkurangnya gairah hidug dan anemi telah dihubungkan dengan infeksi cacing pita, tetapi biasanya gejala nyata tidak ada. Gejala-gejda dianggap bertalian dengan hasil metabolisme cacing yang toksik, iritasi mekanik, pengambilan makanan inang dan dengan absorbsi zat protein, vitamin, dan mungkin juga hormon-hormon dari mukosa usus. Sebaliknya, stadium larva pada manusia dapat menimbulkan keadaan yang gawat. Sistiserkus Taeniu solium di dalam otak, dapat menyebabkan gejala nyata. Ki sta hidatida (Echinococcus) meni mbul kan gejala tumor dan karena sukar di keluarkan seluruhnya, dapat menyebabkan kematian (Belding

,

1958; Brown,

(12)

2.1.5. Diagnosis

Walaupun Cestoda hidup di dalam usus, diagnosisnya tidak sama dengan Nematoda dan Trematoda usus. Pada Nematoda dan Trematoda, adanya cacing selalu dapat dideteksi dengan ditemukannya telur dalam feses penderita, sedangkan infeksi Cestoda, tidak selalu dapat didagnosa berdasarkan cara ini. Pada penderita Cestoda. khususnya taenia, jarang ditemukan adanya telur dalam feses, namun semua penderita hampir setiap hari mengeluarkan proglottid gravid yang keluar secara akti f atau pasif bersama feses (Powlowski dan Schultz, 1972).

Kosin (1 990) melaporkan bahwa teknik diagnostik taeniasis dengan cara anamnesa justeru memberikan hasil yang baik. Dengan cara pemeriksaan ini diper- oleh hasil 9.5

-

20% positif, sementara dengan cara pemeriksaan feses hanya 2% yang positif. Walaupun diagnosa infeksi taenia dapat ditegakkan dengan menemukan telur cacing pita, spesies cacing tidak dapat ditentukan, sebab telur Taenia solium dan Taeniu saginata tidak dapat dibedakan. Sejak cacing pita Taenia solium (Lin- naeus, 1758) dan Taenia saginata (Goeze, 1782) ditemukan, diagnosis spesies kedua cacing pita manusia ini, didasarkan atas morfologi scolex dan proglottid gravid. Rostellum yang berkait-kait dari Taenia solium membedakannya dari Taenia sagina-

I

ta. Sedangkan jumlah cabang lateral uterus yang terdapat pada proglottid gravid Taenia solium lebi h sedi ki t dibanding Taenia saginata (Noble dan Noble, 1982; Soulsby, 1982; Botero, 1989).

Diagnosa pasti sistiserkosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik

dari bahan biopsi. Pemeriksaan Rontgen juga dapat digunakan, jika kista sistiserkus sudah mengalami kalsifikasi (Kosin, 1990; Chotmongkol, 1993). Computerized tomographic scan (CT scan) dapat pula dipakai untuk diagnosis sistiserkosis pada manusia (Kosin, 1990; Kaminsky, 199 1 ; Chotmongkol, 1993). Jika pengambilan

(13)

foto baik, scolex dapat terlihat. Pathak dan Gaur ( 1985) melaporkan bahwa peruba-

han aktivitas enzim pada serum babi, juga dapat dipakai sebagai indikator adanya

in feksi metacestoda Taenia solium.

Pemeriksaan serologi juga cukup menarik. terutama dalam hal mendukung

6

diagnosis klinis neuro-sistiserkosis pada manusia. Beberapa metode serologi yang telah dicobakan untuk mendeteksi adanya kista tersebut adalah: indirect huemagluti- nation tesr (IHA) dan double dimsion agar; immunoelectrophoresis (IEP); enzyme- linked imrnunosorbenc assay (ELISA) dan radioimmuno assay (RIA) (Morakote et

al.,

1986: Liu, 1992; Liu et a[., 1992; Pathak dan Gaur, 1992). Diantara metode tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang paling banyak digunakan (Knobloch dan Delgado, 1985; Morakote et al., 1986; 1992: Gottstein et al.

,

1987; Choro- manski er ul., 1990; Cho et ul., 1992; Diaz et ul., 1992; Yong et al., 1993). Teknik ini umumnya memberi hasil yang baik (Rhoad et al., 1985; Gottstein et al., 1987; Hayunga dan Summer, 1991; Hayunga et ul., 1991a; Cho et al., 1992; Voler, 1993). Bahkan dewasaini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemio- logi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari hasil pemerik- saan serologis (Coker-Vann et al., 1984; Zoli et u l . . 1987; Camacho et al., 1990;

1991 ; Sasha dan Pammentar, 1991; Chomel et (11.. 1993; Hughes et al.

,

1993). Namun demi kian, bukan berarti metode serologi ini sudah sempurna.

Sampai sekarang, yang menjadi kendala utama dalam uji serologis adalah adanya reaksi silang (Kong et al., 1989; Cheng dan KO, 1991). Sebagai ilustrasi dapat dilaporkan disini bahwa antara kista hydatida, Multiceps multiceps, Taenia spp. dan Schistosoma spp. masing-masing menunjukkan reaksi silang dengan anti-

antibodi kista.

Tetapi, dengan

cara

pernumian antigen, diketahui bahwa suatu

anti-

gen, yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologis yang baik.

(14)

Penggunaan Ag ini 80% mampu mendeteksi sistiserkosis tanpa kelihatan adanya reaksi silang (Pammenter dan Rossou, 1987; Olivo et al., 1988; Laclette et ul.,

1990; Cheng dan KO, 1992). Dari hasil penelitian Cheng dan KO (1991) disimpul- kan bahwa antigen-antigen yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama pada tegumen Taenia. Sementara itu Morakote et a!. (1992) yang membandingkan ekstrak kista, cairan kista dm ektrak cacing pita sebagai antigen untuk uji ELISA terhadap penderita neuro-sistiserkosis, menyimpulkan bahwa antigen yang berasal dari cairan kista memberi hasil yang paling baik (sensitifitas 81,25%).

Uji serologis lain, yang merupakan modifikasi ELISA, yang juga digunakan untuk mendeteksi adanya cacing pita atau sistiserkusnya, terutama pada manusia adalah: uji hambatan ELISA dengan menggunakan monoklonal antibodi (Yong er al., 1993); Dot ELISA (Telez-Giron, 1987; Chormanski et al., 1990); 'Dipstick' immunoassay (Hayunga dan Summer I99 1 ; Hayunga at al., 1991a; 1991b); deteksi coproantigen dengan menggunakan polyclonal dan Dipstick dot ELISA (Allen et al., 1990; 1992; 1993; Deplazes, 1991). Menurut Liu et al. (1992) dengan mengguna-

kan

monoklonal antibodi yang sangat spesifik, akan mampu menurunkan reaksi silang, sehingga positif palsu dapat dihindarkan. Sementara itu hasil yang memuas- kan, dengan teknik Western blot, yaitu enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), juga dilaporkan oleh beberapa peneliti (Cho et al., 1987; Tsang er ul., 1989; Wilson el al., 1991 ; Xu dan Liu, 1992). Pathak et al. (1994) telah mem- bandingkan teknik EITB dengan ELISA. Dua puluh serum babi yang dikonfirmasi- kan positif sistiserkus, diperiksa dengan menggunakan kedua metode ini. Ternyata EITB memberi hasil 90% sensitif dan 100% spesifik, tanpa ada reaksi silang. Sedangkan dengan ELISA, 70% sensitif, 73% spesifik, dan disertai reaksi silang dengan Echinococcus granulosus (Pathak et al., 1994).

(15)

2.1.6. Pengobatan dan Pencegahan

Pengobatan Cestoda terutama ditujukan pada cacing pita manusia. Pada hakekatnya semua pengobatan pada Cestoda addah sama. Untuk mencapai penyem- buhan yang sempuma, scolexnya harus dikeluarkan. Dewasa ini, obat-obatan yang banyak digunakan untuk infeksi cacing pita pada manusia dan untuk sistiserkusnya adalah praziquantel (Gallie dan Sewell, 1983; Camacho et al., 199 1 ; Hayunga et al., 1991b; Lin dan Fan, 1991; Bartolomei et ul., 1992). Disamping praziquantel, albendazol juga cukup efektif (Cohen et al., 1992; Takayanagui dan Jardim, 1992; Chotmongkol , 1993). Takayanagui dan Jardim ( 1992) melakukan studi prospektif terhadap 59 penderita neuro-sistiserkosis di Sao Paulo, Brazil. Penderita tadi diobati dengan albendazole (20 mglkg berat badan selama 21 hari) dan praziquantel (50 mglkg berat badan selama 21 hari). Kedua obat ini ternyata menunjukkan hasil yang efektif bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, yaitu penderita neuro- sistiserkosis yang hanya diberi pengobatan simptornatis. Kendatipun dernikian, hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa albendazole, secara nyata lebih efektif di- bandingkan dengan praziquantel dalam h d menurunkan jumlah kista (Takayanagui

P

dan Jardim, 1992). Menurut Chotmongkol ( 1993) pengobatan cerebral neuro- sistiserkosis dengan albendazole selama dua minggu, memberikan hasil yang sangat memuaskan. Sementara i t u ~ u ~ t a et al. (1992) melaporkan bahwa

secara

eksperi- mental metyl benzimidazol carbamate, yai tu suatu an telmin tik berspektrurn luas, cukup efektif dipakai membunuh Cysticercus fasciolaris pada tikus, dan mampu menghambat berkembangnya sistiserkoid Hymenolepis nana pada kumbang.

(16)

2.2. Taenia solium

Taeniasis ialah penyakit infeksi oleh cacing pita yang tergolong dalam genus taenia pada manusia. Infeksi oleh Taeniu solium yang disebut sebagai Taeniasis solium atau infeksi cacing pita daging babi. dikenal dalam dua bentuk. Bentuk pertama, yaitu infeksi oleh cacing pita dewasa, berparasit pada usus manusia; dan yang kedua adalah infeksi oleh bentuk larva Taeniu solium (Cysticercus cellulosae). Bentuk yang kedua, bisa berparasit pada babi atau pada manusia dan disebut sebagai sistiserkosis atau larva taeniasis. Cacing pita pada daging babi ini, telah diketahui sejak Hippocrates (Foster, 1965). meskipun pada waktu itu, belum dapat dibedakan dengan cacing pita pada daging sapi. Aristophane dan Aristoteles, telah melukiskan stadium larva atau Qsticercus cellulosae pada lidah babi hutan. Kuchenmeister pada tahun 1855 dan Leukart pada tahun 1856, adalah sarjana-sarjana yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut. dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi. adalah stadium larva cacing Taenia solium (Viljoen, 1937: Foster, 1965). Schantz (1 994) menyatakan bahwa taeniasis dan sistiserkosis yang disebabkan oleh Tuenia solium, merupakan suatu penyakit zoonosis yang Jdasik. Sementara, Herbert dan Oberg (1973) menyebutkan bahwa infeksi cacing ini, sebagai suatu obligurop cy~'1ozoonosis. Disebut demikian, karena untuk kelangsungan hidup parasit tersebut, ternyata mutlak memerlukan manusia sebagai inang

.

Telah lama diketahui. bahwa penyakit ini endemis di beberapa negara seperti

Amerika Latin, Asia dan Afrika (Urquhart et al., 1987: Sewell dan Brocklesby, 1990; Schantz, 1994). Menurut Schantz (1994), di Amerika, kasus ini sekarang mulai berkembang. Zoonosis parasit ini, menjadi lebih menarik, tidak hanya karena dampak buruk yang ditimbulkannya pada manusia, tetapi juga akibat kerugian

(17)

ekonomi yang cukup serius, yang menimpa produksi ternak (Herbert dan Oberg, 1973).

2.2.1. Epidemiologi

Menurut Brown ( 1 975 ) frekuensi infeksi Tueniu snlium pada manusia berbe-

da-beda dl dunia. Tueniu snlium adalah kosmopolit. akan tetapi tidak ditemukan di negara-negara Islam. Cacing tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan babi, dan ditempat daging babi banyak disantap (Brown, 1975; Cheng, 1986: Urquhart et ul.. 1987). Brown (1975) juga menyata- kan bahwa kebiasaan menghidangkan makanan dan adat-keagamaan yang berhubung- an dengall daging babi, akan mempengaruhi ada tidaknya parasit ini. Menurut Noble dan Noble (1982) parasit ini biasa terdapat di Eropah, tetapi hanya sedikit di Amerika Serikat dan Inggris. Parasit tersebut paling banyak terdapat di Kenya, Etiopia dan Mexico.

Manusia yang menjadi inang sejati cacing dewasa Taenia solium, juga bisa menjadi inang antara cacing ini (Lawson dan Gemmel, 1983; Cheng, 1986; Flisser, 199 1 ). Menurut Brown ( 1975) kira-kira 25 % dari penderita sistiserkosis, menceri- takan pernah menganduig cacing dewasa pada suatu waktu. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa sistiserkosis pada manusia, mungkin lebih sering terjadi daripada yang diperlihatkan oleh angka frekuensi yang dilaporkan. Penyakit ini berhubungan dengan lingkungan yang tidak sehat dan kebersihan perseorangan yang kurang (Brown, 1 975).

Menurut Vijayan et a l . (1977) sistiserkosis pada manusia tetap menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang.

Di

(18)

baik dalam bentuk neuro-sistiserkosis maupun ocular-sistiserkosis (Urquhart et al., 1987). Sementara itu, Flisser (1991) dan Schantz (1994) melaporkan bahwa kasus ini, sekarang mulai berkembang di negara-negara yang telah maju. Biasanya kejadi- an kasus tersebut di negara-negara maju, dihubungkan dengan imigran yang &tang dari negara-negara dimana infeksi ini endemis. Kasus ini dilaporkan terjadi di Mexico (Vijayan et al., 1977; Escobar, 1978; Camacho et al., 1990; 1991), India (Ahuja er ul., 1978; Kapoor, 1978), Chili (Torrealba et al.. 1984),

Peru

(Diaz et al., 1992)- Sao Paolo, Brasilia (Takayanagui dan Jardim. 1992). Kasus taeniasis

-

sisti- serkosis ini. dilaporkan menjadi masalah kesehatan yang serius di Honduras (Kamin- sky, 199 1 ). Isidro-Lloren et ul. (1993) melaporkan telah menemukan kasus spinal-

sistiserkosis di Spanyol. Sementara itu, di negara-negara maju lainnya, kejadian ini juga dilaporkan oleh beberapa peneliti. Bills dan Simon (1 992) melaporkan adanya penderita neuro-sistiserkosis di London. Bartolomei er al. (1992) dan Cohen et al. (1992) melaporkan kasus serupa terjadi di Prancis, dan Dalsgaard Hansen et al. (1992) melaporkan menemukan seorang wanita Denmark yang menderita neuro- sistiserkosis. Di Amerika, kasus ini dilaporkan terjadi di New York (tatovitzki et

I

ul., 1978). Texas (Bandres et ul., 1992), California (Ginier dan Poirier, 1992). Los Angeles (Sorvillo et al., 1992) dan Massachusetts (Kruskal et al., 1993).

Di Indonesia, kasus taeniasis

-

sistiserkosis ditemukan pada penduduk di daerah-daerah Bali, Irian Jaya, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan daerah-daerah transmigrasi asal Bali di kabupaten Larnpung Tengah (Kosin et al., 1972; Tumada dan Margono, 1973; Simanjuntak et

al., 1977: Giri, 1978; Subianto et al., 1978: Tjahjadi et al., 1978; Koesharjono et

(19)

b h u n . Simanjuntak ef al. (1 977) dan Rasidi et u1.(198 1 ) melaporkan prevalensi taeniasis bervariasi antara 0,8

-

3,396 di seluruh Bali. Prevalensi taeniasis di desa Trunyan, Sukawati dan Padangsambian, Propinsi Bali dilaporkan oleh Simanjuntak et al. (1977) sebesar 2,2 %. Di Kecamatan Abiansemal, dari 6 desa yang di survei oleh Widjana dan Kapti (1 983), didapatkan angka prevalensi rat.-rata 2.0%. Pada survei yang dilakukan oleh Subdit. Zoonosis di Kecamatan Sirnanindo, Kabupaten Tapanuli Utara, diantara 94 spesimen feses yang diperiksa, ditemukan 11,7% mengandung telur Taenia sp.. sedangkan di Enarotoli, Irian Jaya, diantara 170 spesimen feses yang diperiksa, diperoleh 9 % mengandung telur lknia sp. (Tbmada dan Margono, 1973).

Sementara itu, prevalensi sistiserkosis pada babi, yang di beberapa negara mencapai 25 %

,

adalah paling tinggi dimana sanitasi tidak ada dan dimana pembuang- an tinja dilakukan menurut cara-cara yang salah (Brown, 1975). Menurut Stevenson et al. (1980) sistiserkus Taeniu solium ditemukan pada babi-babi peliharaan di Kenya. Acha dan Szyfres (1980) melaporkan bahwa di Brasilia, dimana terhitung lebih dari 65% dari total populasi babi di Amerika Latin. 0.83% dari 12 juta babi

ty

yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) selama periode tiga tahun, 1970

-

1972, di temu kan teri nfeksi Cysticercus cellulosue. Angka yang mirip telah ditemu- kan pula di Mexico dan di beberapa negara Amerika Selatan, seperti Chili dan Columbia. Di Ameri ka Tengah, tingkat infeksinya bervariasi mulai dari 1,4 % (Panama). 2.6 % (Honduras) sampai 4.8 % (Guatemala) (Acha dan Szyfres, 1980). Dari hasil penelitian Zoli et al. (1987) diketahui bahwa daerah Menoua sebagai pusat sistiserkus di Cameron Barat. dengan ditemukannya 19.9 % Cysticercus cellulosae pada pemeriksaan daging post-mortum dari sekitar 600 ekor babi. Sementara itu, di

(20)

India yaitu di beberapa distrik di Uttar Pradesh Barat dan Tengah, ditemukan kasus

Cysticercu.v cellulosue pada babi

.

Hasil peneli tian yang dilaporkan oleh W m a clan Ahluwalia ( 1989) ini, sesuai dengan peneli ti-peneli ti sebelumnya, yang menyatakan

bahwa insiden kasus ini pada babi di daerah tersebut mencapai 2,85

-

10.34%. Sarti-G

cr

a/ ( 1992) melaporkan bahwa infeksi sistiserkus Taenia solium pada babi di wilayah Michoaacan State, Mexico cukup tinggi. Dari penelitiannya dengan hanya memeriksa lidah babi secara inspeksi visual, diperoleh adanya kasus sistiserkus sebanyak 6% dari 2 16 ekor babi yang diteliti.

Sistiserkosis pada babi juga dilaporkan terjadi di Indonesia. Dari laporan survei sistiserkosis tahun 1979 / 1980, yang dilakukan di lima

buah

RPH contoh di Indonesia. ternyata dua RPH menyatakan pernah menemukan kasus sistiserkosis (Dirjen Peternakan, 1980a). Kelima RPH contoh yang diamati

pada

survei ini adalah RPH Jakarta Barat, RPH Jakarta Timur, RPH Bandung, RPH Semarang dan RPH Surabaya. Sedangkan dua RPH yang menyatakan pernah menemukan kasus sistiserkosis pada pemeriksaan kesehatan daging sehari-hari dan sampai survei terse- but dikerjakan, adalah RPH Jakarta Barat dan RPH Surabaya. Babi-babi yang dila-

PP

porkan positif terinfeksi sistiserkus tersebut, terbanyak berasal dari Bali. Menurut Warudju ( 1988) kejadian sistiserkosis pada babi di tahun 1970-an, hampir merata

ditemukan diseluruh kabupaten di Bali. Gunawan et al. (1984) melaporkan preva- lensi sistiserkus Taenia solium pada babi di Bali adalah 0,06%. Sementara itu, dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Dharmawan et al. (1992). diketahui bahwa kasus tersebut masih tetap ditemukan pada babi di Bali. n j u h ekor dari 5630 ekor babi yang diperiksa di RPH Denpasar, ditemukan terinfeksi berat oleh Cysticercus

(21)

2.2.2. Morfologi

Anggota genus Taenia merupakan acing-acing yang besar. Cacing pita daging babi dewasa hidup di dalam usus kecil manusia, panjangnya berkisar antara 2 sampai 7 meter, dan mempunyai scolex dengan sebuah rostellum yang membulat. Bangunan ini dilengkapi dengan kait-kait besar bergan tian dengan kai t- kait kecil ,

sehingga memtyri kesan seperti cincin ganda. Terdapat empat batil isap bulat dan menonjol (Noble dan Noble, 1982). Menurut Brown (1975) cacing dewasa Tucniu soliwn mempunyai ukuran panjang 2 sampai 4 meter (kadang-kadang 8 meter), dan bila telah selesai tumbuh, mempunyai 800 sampai 1000 segmen. Cheng (1986) menyebutkan bahwa cacing dewasa ini, ~nempunyai ukuran 180

-

300 cm, yang terdiri dari 800 sampai 900 segmen. Scolexnya bulat kecil, dengan ukuran diameter kira-kira 1 mm, diperlengkapi dengan empat batil isap yang berbentuk mangkok dan rostellulii yang berbantal rendah dan mahkota dengan dua baris kait-kait, yang berjumlah 25 sampai 30 buah (Brown, 1975). Sementara Levine (1978) nienyebut-

kan

bahwa jumlah kait dalam dua baris yang terdapat pada rostellum a c i n g 7heniu

soliwn adalah 22

-

32 buah. Selanjutnya dinyatakan bahwa kait besar (dalam satu baris) mempunyai panjang 140

-

180 mikron dan yang kecil (dalam baris yang lain) panjangnya 110

-

140 mikron. Proglottid lnatur bentuknya persegi tidak sempirrna dengan lubang kelamin yang unilateral atau alternatif tidak teratur pada segmen- segmen berikutnya. Ovarium yang berlobus tiga terdiri dari dua lobus lateral dan satu lobus kecil (Belding, 1958; Brown, 1975). Sedangkan proglottid yang gravid, menurut Levine (1978) dan Soulsby (1982), dinyatakan mempunyai ukuran panjang 10

-

12 X 5

-

6 mm, dan uterusnya mempunyai cabang pada masing-masing sisi.

(22)

mempunyai 7 sampai 12 cabang lateral yang tebal pada tiap sisi dari batang utama uterus (Brown, 1975; Botero, 1989). Menurut Soulsby (1982) sebuah proglottid gravid dari Tacnia soliwn, tidak bisa keluar secara spontan, melainkan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk rantai. Levine (1978) menyebutkan bahwa setiap satu proglottid gravid, mengandung sekitar 40.000 telur. Telur cacing Taenia soIiw77 ini, berbentuk bulat dengan dinding yang tebal, mempunyai diameter antara

26

-

34 pm (Soulsby, 1982). Sedangkan Noble dan Noble (1982) melaporkan bahwa rata-rata diameter telur Tacnia solium adalah 38 pm. Brown (1979) menainbahkan bahwa telur yang matur ini, tidak dapat dibedakan dengan telur Tueniu .su,qinuru. Telur cacing ini inengandung e~nbrio hexacanth dengan enam buah kait-kait yang dikeli- lingi oleh kulit telur yang tebal dan bergaris radier berbentuk bulat atau agak bulat dengan ukuran diameter 30 sampai 40 mikron (Brown, 1975; Soulsby, 1982). Noble dan Noble (1982) menyatakan bahwa telur cacing Taenia soliurn berisi embrio yang khas, dengan tiga pasang kait.

Stadium larva dari cacing TUeniu soliunl adalah m i c e r c u s c~llulo.sue. Masyarakat di Bali ~nengenal sistiserkus ini dengan nama "beberasan", karena bentulcnya seperti biji beras. Ukuran sistiserkus ini bervariasi, sesuai dengan tingkat perkembangannya (Wilson, 1980). Sistiserkus matang, yang dikenal sebagai c)l.sti- cereus ccllulosae tersebut, merupakan kista bujur yang jernih, berukuran 10 X 5 mm, dengan scolex keruh yang menonjol ke dalam, diperlengkapi dengan empat batil isap dan kait-kait (Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982). Menurut Levine, (1978) dan Soulsby (1982) Cysrcercw cellulosue mencapai perkembangan penuh atau matang setelah berukuran 20 X 10 mm, dan menjadi infektif setelah berumur 9

-

10 minggu. Selanjutnya Belding (1958) dan Brown (1975) menyatakan bahwa kista yang berbentuk bujur ini, mempunyai ukuran diameter kin-kira 5 mm, tetapi di

(23)

dalam otak. kista mungkin akan tumbuh menjadi lebih besar dengan ukuran diameter sampai beberapa centimeter.

2.2.3.

Fiiologi

Caci ng pita daging babi. diberi nama soliwn, karena biasanya hanya ditemu- kan cacing tunggal pada satu inang (Levine, 1978). Tempat hidup cacing dewasa Taenia solium adalah pada bagian proksimal jejunum (Belding, 1958;

Brown,

1975; Soulsby, 1982). Sedangkan sistiserkusnya, yang di kenal sebagai Cysticercus cellulo- sue, ditemukan pada otot babi, anjing dan kadang-kadang manusia (Levine, 1978). Menurut Brown (1975); Levine (1978) dan Soulsby (1982), cacing pita yang memperoleh makanannya dari isi usus inang ini, mempunyai jangka waktu hidup yang lama. yaitu sarnpai 25 tahun. Proglottid-proglottid gravid pada ujung strobila yang bergerak-gerak, sewaktu-waktu dapat melepaskan diri dari strobila dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen (Brown, 1975). Herbert dan Oberg ( 1973) dan Soulsby ( 1982) menyatakan bahwa proglottid cacing Taenia solium, tidaklah seperti proglottid Taenia saginatu, yang dapat keluar dengan sen- dirinya secara spontan. Bila proglottid gravid cacing Taenia soliurn pecah, yang bisa

r

terjadi sebel

um

atau setelah meni nggalkan inang , ia akan mengeluarkan kira-kira

30.000

s a m p

50.000

telur (Brown, 1975).

Menurut Noble dan Noble (1982) stadium larva cacing Taenia solium, merupakan salah satu dari beberapa tipe cacing gelembung pada babi. Larva-larva itu juga pernah dilaporkan terdapat pada mamalia piaraan lainnya. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa jumlah sistiserkus yang menginfeksi i nang

,

kadang-kadang demi- kian ban yak. sehingga menempati lebih dari separoh volume sepotong daging

.

Daging babi yang penuh dengan parasit seperti inilah, kemudian dinarnakan measly

(24)

pork (Noble dan Noble, 1982). Cacing gelembung ini umumnya berada di dalam jaringan ikat otot serat lintang. tetapi kadang-kadang terdapat di semua organ atau jaringan tubuh (Brown, 1975; Levine, 1978; Noble dan Noble, 1982). Sementara itu, sistiserkus pada manusia, berturut-turut dengan frekuensi semakin menurun dapat ditemukan pada otak besar, selaput otak, otot skelet, otak kecil, dan jantung (Noble dan Noble, 1982). Slais (1973) menyebutkan bahwa Cysticercus cellulosae memperoleh makanan dari inang, lewat tegumen dan mikrotrich yang ada pada gelembung kista tersebut. Sedangkan Noble dan Noble menambahkan bahwa cairan yang ada di dalam gelembung sistiserkosis, sebagian besar adalah terdiri dari plasma darah inang. Voge (1967) menyatakan bahwa sel-sel kutikula dan subkutikula dari sistiserkus, mengandung asam, alkalin fosfatase dan lemak. Sel-sel subkutikula juga dilaporkan mengandung glikogen dan esterase yang tidak spesifik (Voge, 1x7).

2.2.4. Daur hidup

Manusia adalah inang sejati tunggal, dan sayang sekali, manusia juga meru- pakan inang untuk kistanya. Babi adalah inang antara yang biasanya mengandung sistiserkus. sedangkan kambing, rusa, anjing dan kucing serta manusia dan kera,

I

juga dilaporkan dapat terinfeksi oleh kista ini (Brown, 1975; Botero, 1979). Telur Taeniu solium yang dikeluarkan oleh inang sejati, bila dimakan bersama-sama dengan makanan atau air oleh inang antara yang sesuai, akan berkembang lebih lanjut menjadi sistiserkus pada tubuh inang antara tersebut (Brown, 1975). Brown (1975) selanjutnya menyatakan bahwa embrio hexacanth akan keluar dari kulit telur, lalu menembus dinding usus inang antara, dan masuk ke pembuiuh limfe atau darah, untuk kernudian dibawa keseluruh tubuh. Menurut Noble dan Noble (1982) di dalam berbagai organ, terutama otot, larva tersebut akan meninggalkan pembuluh

(25)

darah dan berkembang menjadi sistiserkus atau cacing gelembung. Brown (1975) menyatakan bahwa otot-otot lidah. masseter, mukosa, diafragma dan jantung, adalah yang terutama dihinggapi kista ini, tetapi hati, ginjal, pant-paru; otak dan mata juga dapat dihinggapi. Dari hasil penelitian sistiserkosis yang dilaporkan oleh Slais tahun

1967, seperti dikutip Noble dan Noble (1982), diketahui bahwa lokasi kista tersebut, sesungguhnya berada di dalam kapiler-kapiler limfe otot.

Manusia memperoleh cacing dewasa, setelah makan daging babi mentah atau setengah matang yang terinfeksi (Herbert dan Oberg, 1974; Sewell dan Brocklesby, 1990; Flisser, 1991 ; Schantz, 1994). Menurut Brown (1975) dan Noble clan Noble (1982), bila daging babi yang mengandung parasit tadi dimakan oleh manusia, kista tersebut akan dilarutkan oleh cairan pencernaan inang, dan scolex yang menonjol, keluar melekatkan diri pada mukosa jejunum (evaginasi). Kemudian dengan kait- kait dan batil isap yang dimilikinya, akan melekatkan diri pada dinding usus dan akhirnya tumbuh menjadi cacing dewasa, dalam waktu beberapa bulan. Menurut Cheng (1986) cacing ini akan berkembang menjadi dewasa sekitar dua sampai tiga bulan. Sementara itu, Flisser ( 199 1 ) menyatakan bahwa

kira-kira

tiga bulan setelah mengkonsumsi kista. proilottid gravid akan mulai tampak pada feses penderita.

Manusia dapat terinfeksi oleh sistiserkus, melalui dua jalan (Herbert dan Oberg, 1974; Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982). Mereka dapat terinfeksi secara langsung, rnelalui makanan atau minuman yang terkontaminasi (elur Taenia solium; dan dapat pula melalui autoinfeksi, yaitu yang langsung melalui ano-oral akibat kebersihan tangan yang kurang dari penderita Taeniasis solium, atau autoin- feksi internal karena muntahan telur dalam lambung, akibat adanya antiperistaltik (Herbert dan Oberg, 1974; Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982).

(26)

2.2.5. Patogenesa dan Gejala Klinis

Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak patognomonis. Pada beberapa kasus, gejala klinis taeniasis

-

sistiserkosis pada manusia mungkin tidak tampak sampai beberapa tahun sesudah infeksi, bahkan kadang-kadang tidak tainpak sama sekali (Noble dan Noble, 1982). Cacing dewasa Taenia

solium

yang mengin- feksi manusia, biasanya be rjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, mungkin berupa gangguan pencemaan yang ringan dan menahun, seperti nafsu makan tidak tetap, sakit kepala, sakit perut yang tidak nyata, diare dan konstipasi bergantian, dan gizi yang tidak baik (Faust dan Russel, 1964; Brown, 1975). Pada anak dan orang yang lemah, gejala-gejala ini mungkin lebih nyata dan dapat disertai kelelahan, kelemahan, anemi dan gangguan-gangguan saraf (Belding,

1958; Brown, 1975). Menurut Brown (1975) infeksi cacing ini, juga bisa menye- babkan peradangan mukosa usus setempat yang ringan, sebagai akibat iritasi meka- nik oleh strobila dan perlekatan scolex. Darah tepi dapat menunjukkan eosinotilia (Keane, 1980; Sutisna, 1990). Gejala klinis yang lebih berat dapat timbul, apabila scolex cacing yang mempunyai kait-kait menerobos dinding usus dan menyebabkan perforasi dengan peritonitis sekunder, dan adanya infeksi kandung empedu. Akan tetapi ha1 tersebut, sangat jarang terjadi (Brown, 1975).

Kerusakan-kerusakan yang berat, yang sering diderita dan timbulnya gejala klinis yang lebih berarti, disebabkan oleh infeksi sistiserkus (Belding, 1958; Brown, 1975; Noble dan Noble, 1982). Sistiserkus yang seringkali multipel bahkan jumlah- nya sampai beribu-ribu, dapat tumbuh di dalam jaringan atau organ tubuh manusia. Kista yang sedang tumbuh menimbulkan reaksi peradangan terhadap benda asing

(27)

yang mengakibatkan terbentuknya kapsul fibrosis (Brown, 1975). Selanjutnya Brown (1975) menyatakan bahwa manifestasi berat dari penyakit ini, terjadi pada sistiserkosis otak. Sistiserkus mungkin terdapat pada cortexcerebri, selaput otak, ventrikel, dan kadang-kadang di ddam substansi otak. Pada kasus ini akan terlihat edema dan tekanan otak, tetapi masih ada toleransi yang relatif, bila parasit masih hidup. Pembentukan kapsul adalah akibat dari proliferasi neuroglia dan sel-sel jaringan granulasi dengan perubahan vesikular. Neuroganglion dan sel saraf menun- jukkan perubahan karena tekanan atau toksin, kemudian parasit ini mungkin akan diserap atau diganti oleh jaringan ikat yang dapat menyebabkan tnanifestasi epilepsi pada stadium lebih lanjut (Belding, 1958; Subianto et al., 1978; Soulsby, 1982; Sewell dan Brocklesby, 1990). Senientara itu, penderita ocular-sistiserkosis, yai tu infeksi sistiserkus pada mata, yang biasanya terdapat pada retina atau di dalalii humor vitreum, akan merasakan tidak enak pada mata, cairan vitreum menjadi keruh, kadang-kadang retina mungkin terlepas, parasit dikelilingi oleh eksudat peradangan, dan iris meradang (Brown, 1975; Kapoor, 1978). Lebih lanjut dinyata- kan bahwa penderita akan mengalami rasa sakit di dalaln mata, tanipak kilatan cahaya, bentuk-bentuk Besar dalam lapangan pandangan, dan penglihatan liienjadi kabur dan menghilang. Kematian parasit, dapat mengakibatkan iridocyclitis (Brown,

1975).

Sistiserkosis pada babi, tidak menunjukkan gejala yang nyata. Apabila infek- sinya cukup berat, dapat mengakibatkan gangguan terutama pada organ yang mengandung parasit. Pernah dilaporkan adanya hipersensitifitas dari moncong, kelumpuhan lidah atau kekejangan (Soulsby, 1982; Sewell dan Brocklesby, 1990).

(28)

2.2.6. Diagnosis

Diagnosis Taeniasis solium, dilakukan dengan menemukan telur dan proglot- tidnya. Proglottid atau telur cacing ini, sering ditemukan di dalam tinja atau daerah perianal (Belding, 1958; Faust dan Russel, 1964). Diagosis spesies dibuat dengan identifikasi proglottid, karena telurnya tidak dapat dibedakan dengan telur Tm~niu saginata (Botero, 1989). Menurut Faust dan Russel (1964); Brown (1975); Botero (1989); Kosin (1990), pemeriksaan telur Taenia pada hapusan perianal, lebih peka dari pemeriksaan direct faecal smear, karena harus diingat bahwa pengeluaran telur cacing pita tidak terjadi secara kontinyu, tetapi berkala. Proglottid gravid Taeniu solium, dapat dibedakan dengan proglottid Taeniu suginufa, karena jumlah pasangan cabang lateral uterus cacing yang disebut lebih awal, ternyata lebih sedikit, yaitu 7 sampai 12 (Pawlowski dan Schultz, 1972; Brown, 1975; Botero, 1989).

Diagnosis sistiserkosis pada manusia, dapat dilakukan dengan cara biopsi, pada otot yang menunjukkan kelainan; secara radiologis dengan pemeriksaan Ront- gen; dan dengan menggunakan Computerized tomographic scan (CT scan) (Kosin, 1990; Kaminsky, 199 1 ; Ehotmongkol, 1993). Disamping itu, dewasa ini, uji sero- logis dilaporkan memberikan hasil yang akurat untuk mendeteksi kasus sistiserkosis pada manusia. Beberapa metode serologi yang telah dicobakan tersebut, telah diutarakan di depan , pada tinjauan kepustakaan Cestoda secara

umum.

Dian tara

beberapa metode yang ada, ternyata ELISA merupakan uji yang paling banyak diminati (Morakote er al., 1986; 1992; Gottstein er ul., 1987; Choromanski et ul.,

(29)

Untuk mendiagnosa sistiserkosis pada babi, yang paling baik adalah menemu- kan parasitnya. Teknik yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan visual (Urquhart et ul., 1987). Di beberapa negara, pemeriksaan visual sistiserkus pada otot babi,

umumnya dilakukan dengan pengamatan (inspeksi) secara teliti terhadap

karkas

dan organ-organ dalamnya. Pada pemeriksaan ini, biasanya dilakukan insisi pada otot yang dianggap sebagai predileksi sistiserkus. seperti otot masseter, otot lidah, otot anta. tulang rusuk, otot jantung dan otot diafragma (Collins, 1981; Urquhart, 1987). Sayangnya teknik diagnostik ini hanya dapat dilakukan dengan baik pada kondisi post-mortum. Mlaupun Sarti-G et al. (1992) dapat pula mendiagnosa adanya sisti- serkus hanya lewat inspeksi visual pada permukaan ventral lidah babi, di suatu peternaka11 di daerah Angahuan. Michoacan State. Mexico.

Seperti halnya pada manusia, pada babipun kini telah dikembangkan teknik- teknik mutakhir untuk diagnostik sistiserkus, yaitu dengan pemeriksaan serologis. Menurut Brandt et al. (1 992); Pathak dan Gaur ( 1992) uji serologis yang dapat dilakukan pada kondisi ante-mortum ini, dapat memberi arti praktis dan spesifik. Dari hasi l eksperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada babi dengan menggunakan ELISA, ihoads

er

al. (1 992) melaporkan bahwa antibodi akan terde-

teksi tiga minggu

pasca

infeksi.

Teknik diagnostik lainnya, yang dapat digunakan untuk diagnose sistiserkosis pada babi. telah diperkenalkan oleh Pathak dan Gaur (1985), yaitu dengan pemeriksaan aktivitas enzim. Enzim-enzim tersebut, diantaranya adalah alanine aminotransferase, ornithine carbamy Itransferase. sorbitol dehydrogenase, lactate dehydrogenase, alkaline phosphatase. Menurut Pathak dan Gaur (1985) kenaikan aktivitas beberapa enzim tersebut, yang diduga sebagai akibat kerusakan jaringan dan

(30)

kemungki tlan adanya ne krosis sel yang terjadi pada saat migrasi metacestoda, dapat dipakai untuk memperkuat diagnosa sistiserkosis.

2.2.7. Pengobatan dan Pencegahan

Pengobatan bertujuan untuk mengeluarkan cacing beserta scolexnya. Menu- rut Brown ( 1975) obat yang terbaik untuk infeksi Taenia solium adalah Quinacrine

hydrochloride. Untuk mencegah terjadinya muntah bagi penderita dan kemungkinan masuk kembalinya telur atau proglottid ke dalam lambung, yang mengakibatkan sistiserkosi s. maka harus diberi kan prochlorperazine (Compazine) sebagai antiemetik sebelum pemberian quinacrine. Niclosamide dan paramomycin juga efektif untuk pengobatan Taenia solium, tetapi perlu diingat kemungkinan lepasnya proglottid dan keluarnya telur di dalam usus, dapat beresiko terjadinya sistiserkosis karena auto- infeksi. Praziquantel dan Albendazole, adalah obat-obat untuk taeniasis dan sistiser- kosis, yang dewasa i n i sering dipakai (Gallie dan Sewell, 1983; Camacho

et

a/., 1991 : Bartolomei et al., 1992; Cohen et 01.. 1992; Chotmongkol, 1993).

Menurut Brown (1975), usaha-usaha pemberantasan terhadap infeksi &nia solium terdiri dari: (1) pengobatan orang yang mengandung parasit; (2) sanitasi; (3) pemeriksaan daging bab;: (4) memasak dan mengolah daging babi sebaik-baiknya. Pengobatan segera bagi orang-orang yang menderita infeksi ini, tidak hanya mengu- rangi sumber infeksi, tetapi juga akan menghilangkan bahaya autoinfeksi dengan sistiserkus. Di daerah endemi. feses manusia tidak boleh dibuang ke tempat-tempat yang dapat dimasuki babi. Pemeriksaan kesehatan daging babi yang rutin, dapat mengurangi frekuensi infeksi pada manusia, di negeri-negeri di mana babi dimakan mentah atau setengah matang. Memasak daging babi sebaik-baiknya, adalah merupakan cara pencegahan yang paling efektif (Brown. 1975). Sistiserkus dapat

(31)

dimatikan dengan pemanasan pada suhu 45

-

5WC, tetapi daging babi harus dimasak paling sedikit selama setengah jam untuk tiap pound, atau sampai berwarna kelabu. Sistiserkus juga bisa dimatikan pada suhu -2"C, tetapi memerlukan waktu yang lama, karena sistiserkus tetap tahan pada suhu 0°C sampai -2OC, selaka hampir 2 bulan. Pada suhu kamar, ia tahan hidup selama 26 hari. Mendinginkan pada suhu -10°C selama 4 hari atau lebih, adalah cara efektif tetapi mahal. Mengasinkan dengan garam tidak selalu berhasil baik (Belding, 1958; Brown, 1975).

2.3. Taenia saginata

Penyakit yang diakibatkan oleh adanya infeksi cacing Taenia saginata pada orang, dikenal dengan nama taeniasis atau infeksi cacing pita daging sapi (Belding, 1958; Brown, 1975). Keberadaan cacing pita ini pada manusia, telah diketahui sejak zaman dulu (Belding, 1958; Pawlowski dan Schultz, 1972). Parasit ini telah dikenal sebagai suatu spesies tersendiri oleh Goeze pada tahun 1782 (Viljoen, 1937; Faust dan Russel, 1964, Foster, 1965).

Hubungan antara cacing dewasa dengan cacing gelembung, yaitu stadium larva yang terdapat pa* sapi, telah dibuktikan oleh Leuckart tahun 1861, yang berhasil menginfeksi proglottid gravid pada pedet (Pawlowski dan Schultz, 1972). Delapan tahun kemudian Oliver mengadakan percobaan sebaliknya, yaitu meng- infeksi manusia dengan sistiserkus dari sapi. Larva berbentuk gelembung yang ditemukan pada sapi ini, di kenal dengan nama Cysticercus bovis (Viljoen, 1937; Belding, 1958). Kendatipun terminologi " Cysticereus bovis" sampai saat ini telah umum digunakan, Pawlowski dan Schultz

(1972)

menyarankan memakai istilah " Cysticercus Taenia saginata" untuk " Cysticercus bovis"

,

dengan alasan tidaklah

(32)

logis untuk memberi nama yang berbeda pada larva parasit yang bentuk dewasanya sudah rnempunyai nama khusus. Kemudian Pawlowski dan Schultz (1972). juga menyarankan menggunakan istilah "sistiserkosis Tueniu saginata" untuk kejadian

" i nfe ksi C\.vticercus bovis"

.

2.3.1. Epidemiologi

Parasit ini kosmopolit di negera-negera dengan penduduknya yang makan daging sapi. Manusia akan terinfeksi, bila rnengkonsurnsi daging sapi mentah atau setengah matang yang mengandung sistiserkus. Sementara itu, temak akan terinfeksi sistiserkus karena makan rumput yang terkontarninasi oleh feses penderita taeniasis, rnelalui feses sebagai pupuk, atau air yang mengandung feses (Brown, 1975).

Data epidemiologi tentang kejadian taeniasis pada rnanusia (7henia saginata), yang dipublikasikan selama ini, dinilai belum cukup memadai oleh Pawlowski dan Schul tz ( 1 972). Hal ini disebabkan belurn adanya standarisisasi prosedur pemerik-

saan laboratorik diantara peneliti. Disamping itu, urnurnnya data yang dilaporkan hanya mewakili beberapa bagian saja dari suatu populasi yang seharusnya diperiksa, misalnya laporan prevalensi hanya pada anak-anak atau kelompok umur tertentu saja, atau hanya berupa laporan kasus dari pasien yang di rawat di rumah sakit. Kese- muanya itu. dinilai sangat kecil rnemberikan gambaran objektif terhadap prevalensi sesunguhnya. Sementara i tu, data kejadian sistiserkosis Taenia saginata, kebanyak- an dipetik dari laporan-laporan pemeriksaan kesehatan daging. Padahal diketahui, tidak seluruh negara telah melakukan pemeriksaan yang intensif terhadap kesehatan daging

.

Tinjauan terhadap beberapa prevalensi taeniasis yang dilaporkan oleh bebera-

(33)

tersebar di seluruh dunia. Kasus-kasus itu dilaporkan terjadi di negara-negara, baik di Eropah. Amerika, Australia, maupun Afrika dan Asia (data lengkap tersaji pada Pawlowski dan Schultz, 1972).

Wabah sistiserkosis Taeniu saginuta pernah dilaporkan terjadi pada peternak- an sapi di Ontario pada tahun 1986. Dua ratus tiga puluh tiga dari 271 ekor sapi jantan, secara pemeriksaan histologis dinyatakan positif terinfeksi sistiserkus (Bundza ut ul., 1988). Diantaranya masih ditemukan sistiserkus yang hidup (8,2 %). Sebelumnya Bundza et al (1986) juga melaporkan bahwa 41 dari 99 tumor neoplas- ma pada sapi yang diperoleh di Rumah Potong Hewan Kanada, diduga akibat Cysti- cereus bovis. Sementara itu Geerts et al(1980) melaporkan bahwa dari 100 jantung sapi yang diambil secara acak di Rumah Potong Hewan Antwerpen, Belgia, 25 di- antaranya mengandung sebuah atau lebih kista pada myocardium dan sedikitnya 9 dari 32 kista yang diperi

ksa

adalah sistiserkus, yang diindentifikasi sebagai sistiser- kus Tueniu suginatu. Menurut Pugh dan Chambers (1989) sebanyak 2,16 % dari 102.087 karkas sapi yang diperiksa di Propinsi Matabeleland, Zimbabwe, selama kurun waktu 1 1 bulan, terinfeksi Qsticercus bovis.

Ilsoe et 01. (1990) melaporkan bahwa belakangan ini, telah terjadi infeksi sistiserkosis yang berat

$ads

ternak sapi yang dipelihara di 14 peternakan di Den- mark. Penelitian yang dilakukan selama periode 2 tahun ini, memperlihatkan adanya

38

ekor sapi yang harus diapkir dari rumah potong hewan, karena dagingnya ter- infeksi Cysticereus bovis. Kejadian sistiserkosis pada ternak ini, juga dilaporkan oleh Hughes et ul. (1993) yang melakukan pengamatan massal di Swaziland dengan cara seroepidemiologi. Prevalensi infeksinya cukup tinggi, yaitu 28 % (n

=600).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan

di

tiga tempat pemotongan hewan dan 18

"feedlots" di Whington, Hancock et al. (1989) melaporkan pola distribusi kejadian

(34)

sistiserkosis pada sapi. Dari pola pen yebaran pen yakit tersebut, terlihat bahwa makanan ternak yang terkontaminasi feses manusia merupakan sumber infeksi. Secara rinci dilaporkan bahwa limbah pabrik kentang yang digunakan sebagai makanan ternak diketahui tercemar telur Tueniu suginutu (Hancock et al., 1989). Kejadian yang sama, yaitu tercemarnya limbah kentang yang digunakan sebagai pakan ternak oleh telur Taeniu suginata, juga dilaporkan terjadi di Idaho oleh Yoder

et

al. (1 994). Yoder et a1 (1 994) menemukan wabah sistiserkosis pada sebuah peternakan sapi di Idaho, yang mencapai prevalusi puncak 11 % di bulan Januari 1993. Dari sebanyak 5 164 sapi yang disembelih

-

pada saat wabah berlangsung

-

di peternakan tersebut (Oktober 1992

-

Januari 1993), diketahui 457 (9%) terinfeksi sistiserkus. Total kerugian yang diakibatkannya mencapai $ 154.400. Beberapa spesies burung, telah diduga ikut berperan dalam penyebaran sistiserkosis di New South Wales, yaitu dengan diketahuinya rumput tempat penggembalan ternak ter- kontaminasi telur Tuenia suginutu (Collins dan Pope, 1990). Namun Collins dan Pope (1990) juga menyarankan agar penelitian lebih lanjut tentang peran burung dalam penyebaran penyakit ini dimasa mendatang masih perlu diperbanyak lagi.

2.3.2.

Morfologi Y

Cacing dewasa Tuenia saginata lebih panjang bila dibandingkan dengan Taeniu solium (Belding, 1958; Brown, 1975; Botero, 1989). Cacing ini mempunyai ukuran panjang empat

sampai

10 meter dan kadang-kadang lebih panjang. Soulsby (1982) melaporkan panjang cacing ini sampai 25 meter. Ia mempunyai 1000 sampai 2000 proglottid (Faust dan Russel, 1964; Pawlowski dan Schultz, 1972). Morfologi proglottid yang abnormal sering dijumpai (Pawlowski dan Schultz, 1972). Menurut

(35)

Belding (1958) dan Brown (1975) scolex yang pyriform dengan diameter 1 sampai 2 mm, mempunyai 4 sucker atau batil isap yang setengah bulat dan menonjol, tetapi tidak mempun yai rostellum atau kait-kait yang berbentuk sempurna. Sucker tersebut berukuran 0.7

-

0.8 mm (Faust dan Russel, 1964). Proglottid matang lebarnya kira- kira 12 mm dan agak lebih pendek, mempunyai lobang kelamin lateral yang letaknya berselang-seling kanan dan kiri secara tidak teratur dan berbeda dengan proglottid

Taenia solium karena mempunyai jumlah testis yang dua

kali

lebih banyak dan ovarium yang berlobus dua (Belding, 1958; Brown, 1975). Proglottid gravid dengan ukuran 16-20 X 5-7 mm, dapat dibedakan dari proglottid gravid Taenia sulium

karena cabang lateral uterus yang jumlahnya lebih banyak (15 sampai 30 tiap sisi) (Viljoen, 1937). Menurut Silverman (1954) proglottid gravid Taenia saginuta

mengandung 50% telur matur, 40% telur imatur, dan 10% telur infertil. Selanjutnya dikatakan bahwa telur yang lnatur hanya akan ditemukan pada proglottid 30

-

50 bagian terminal. Sementara itu semakin ke distal atau ke bagian proksimal proglot- tid gravid, akan dijumpai telur-telur yang imatur (Silverman, 1954). Menurut Soulsby (1982) proglottid gravid cacing ini mengandung 80.000 telur. Brown (1975) juga menyatakan bahwa uterus gravid yang tidak mempunyai lubang uterus,

P

mengandung kira-kira 100.000 telur.

Menurut Pawlowski dan Schultz (1972) masing-masing telur akan terdiri dari sebuah dinding luar, membran korionik, embriofor, membran dasar embriofor dan dua membran onkosfer. Botero (1989) menyatakan bahwa telur dari semua spesies

Taenia, berbentuk bulat berukuran 30

-

40 mikron. Beberapa penulis, seperti diku- 'tip oleh Pawlowski dan Schultz (1972) menyatakan bahwa ada perbedaan morfologi antara embriofor Tuenia saginata dengan Taeniu sulium, yang disebut lebih dulu

(36)

bentuknya lebih lonjong sedangkan yang belakangan lebih bulat. Tetapi Brown (1975) menyarakan bahwa telur Taenia saginata yang berwarna coklat kekuning- kuningan itu, tidak dapat dibedakan dengan telur Taenia soliwn. Peneliti lainnya, yaitu Maplestone d& Miretski seperti dikutip Pawlowski dan Schultz (1972). juga menyatakan bahwa embriofor TUenia saginafa dan Taenia solium tidak dapat dibeda-

kan,

baik dalam bentuk maupun ukurannya. Menurut Brown ( 1975) embriofor

Taenia saginata yang bergaris radier dan mempunyai ukuran 30-40 X 20-30 mikron mengelilingi embrio hexacanth. Selanjutnya dinyatakan bahwa di dalam uterus, telurnya dikelilingi oleh lapisan membran di sebelah luar dengan dua filamen halus pada kutubnya yang segera lenyap setelah meninggalkan proglottid (Brown, 1975).

Perkembangan sistiserkus Tmnia saginfa telah dipelajari oleh McIntosh dan Miller (1960) pada 34 ekor sapi yang diinfeksi. Pertama kali sistiserkus tersebut terlihat dengan mata telanjang pada hari ke 1 1 dengan ukuran 0,13 X O,1 mm, yang dikelilingi oleh jaringan penghubung (connective tissue) 3 X 2 mm. Tiga minggu setelah infeksi ditemukan sebuah gelembung dengan scolex yang imatur, dan pada minggu ke 5 d m ke 6 scolex dengan suckernya telah berkembang penuh. Leher yang mengalami invaginlrsi tampak pada minggu ke 10 (McIntosh dan Miller, 1960).

Dari pengamatan histologis yang dilakukan oleh Silverman dan Hulland ( 196 1) terli- hat bahwa tingkat pertumbuhan dan perkembangan sistiserkus Taenia saginta ber- variasi dan tergantung dari respon inang dan jaringan yang ditempati. Kemudian Pawlowski dan Schultz (1972) melaporkan bahwa sistiserkus ini a h bertahan selama 2 1 bulan pada hewan yang terinfeksi.

Gambar

Tabel  1.  Gejala yang dikeluhkan oleh penderita taeniasis  (Tueniu suginutu)  Gejala  Persen  Y  Sakit perut  Rasa mual  Lemah
Tabel  2.  Perbedaan  karakteristik  morfologi  Tueniu  suginuta  tuiwanensis,  Taenia

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini bertujuan menentukan Overall Equipment Effectiveness (OEE) pada mesin putaran high grade fugal dan membandingkan hasil OEE dengan standar OEE

Abses septum pada pasien ini telah menimbulkan komplikasi perforasi septum dan telah dilakukan rekonstruksi septum dengan menggunakan graft dari kartilago konka

a) Directly reported satisfaction adalah pengukuran kepuasan pasien dengan menanyakan pernyataan-pernyataan kepada responden secara langsung mengenai tingkat kepuasan

Sebelumnya daerah pantai Jenu merupakan salah satu daerah yang terkena dampak limbasan ombak besar yang mengakibatkan kerusakan tanah sampai mencapai jalan raya Pantura

Sistem Tenaga Listrik, sebagai bidang yang berkembang dan banyak menerapkan metode komputasi, tentunya menjadi bidang yang cukup terbuka terhadap suatu metoda

[r]

jelaskan. Apakah perbedaan antara kristal dengan amorphus. Sebutkan difinisidifinisi kristal ?, kisi bravias ?. Apa yang disebut dengan basis. Sebutkan pengertian sumbu putar

Similarity from a chosen source Possible character