ARCA GANESA DALAM SIKAP SWASTIKÀSANA
THE GANESA STATUE IN THE POSITION OF SWASTIKÀSANA
Naskah diterima: Naskah disetujui:
8 Juli 2014 30 Oktober 2014
Nyoman Rema
Balai Arkeologi Denpasar
Jl. Raya Sesetan No. 80 Denpasar 80223
[email protected]
Abstrak
Dewa Ganesha adalah dewa pujaan Sekte Ganapatya yang digambarkan sebagai manusia berkepala gajah. Sekte ini merupakan salah satu sekte yang banyak meninggalkan tinggalan budaya berupa arca. Hal ini sebagai indikasi bahwa sekte ini adalah salah satu sekte populer sejak kemunculannya sampai sekarang, meskipun telah tergabung ke dalam Sekte Ṥiwa Siddhanta di Bali. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas arca, dan secara khusus untuk mengetahui bentuk, fungsi, serta makna arca Ganesa di Subak Bubunan, Sukawati, Gianyar. Penelitian ini diawali dengan studi pustaka, kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan observasi di lapangan dalam rangka untuk mendapatkan data yang relevan. Data dianalisis secara ikonografi kemudian disajikan secara naratif dilengkapi dengan gambar, kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah penggambaran Ganesha dengan sikap swastikasana yang berfungsi untuk menolak malapetaka. Perwujudan Ganesha itu bermakna sebagai harmonisasi diri dengan alam untuk mencapai kesejahteraan.
Kata Kunci: arca ganeśa, swastikàsana, bentuk, fungsi, makna.
Abstract
Ganesha, often depicted as elephant-headed, is a deity worshipped by Ganapatya sect. This Ganapatya sect is known to have left statues as the cultural heritage. Such a heritage indicates Ganapatya’s popularity from its birth until today despite its unification to Ṥiwa Siddhanta sect in Bali. This research generally aims at identifying the Ganesha statue, which was discovered in Subak Bubunan, Sukawati, Gianyar, more specifically its shape, function, and philosophy. Started with library studies, the research continued with field observations for relevant data. The acquired data was then analyzed iconographically, presented through pictorial narrations, and ended with a conclusion. This research came to a conclusion that the Ganesha discovered was the swastikasana Ganesha that functions as a disaster repellent. It is an embodiment of a self harmony with the nature to achieve prosperity.
Keywords: ganeśa statue, swastikàsana, shape, function, meaning.
1. Pendahuluan
Gianyar merupakan salah satu kabupaten di Bali, memiliki banyak tinggalan budaya. Tinggalan tersebut umumnya masih disakralkan, karena dipercaya bernilai bagi kehidupan masyarakat, khususnya di bidang keagamaan (Astawa 2010, 454).
Berbicara tentang kehidupan keagamaan masyarakat Gianyar khususnya dan Bali pada umumnya, berdasarkan bukti-bukti tinggalan arkeologi berupa arca, Bali telah mendapatkan pengaruh Hindu dari Sekte Waiṡnawa pada abad ke-6-7 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan temuan Arca Wiṡnu di Pura Petapan, Lambean Kintamani.
Arca ini mempunyai persamaan dengan Arca Wiṡnu Cibuaya, diduga berasal dari abad ke-6-7 Masehi (Suarbhawa 2007, 150; Ardika 2013, 222). Arca ini juga didukung dengan uraian dalam prasasti Gobleg, Pura Batur A diungkapkan
“…..anak buana i tamblingan
makahjumpung, jumpung Waiṡnawa….”
yang berarti penduduk Desa Tamblingan sebagai sebuah kelompok, yakni kelompok Waiṡnawa…. (Callenfels 1926, 7; Goris 1954, 72). Beberapa prasasti Raja Anak Wungṡu menyebut dirinya sebagai inkarnasi Wiṡnu, yang diungkapkan bahwa Raja Anak Wungṡu laksana harimùrti, sebagaimana terbaca dalam Prasasti Dawan (Santosa 1965, 22). Raja-raja besar atau cakrawarttin merupakan konsep kuno mengenai “kedewataan” raja, menurut pandangan penganut Waiṡnawa (Gonda 1954, 165).
Gianyar khususnya dan Bali umumnya telah mengenal tulisan pada jaman Bali Kuno, abad ke-8 Masehi. Hal ini dibuktikan melalui temuan stupika tanah liat, dengan tablet yang berisi mantra Buddha. Stupika ini ditemukan di Pejeng, Tatiapi, Blahbatuh, dan Kalibukbuk (Goris 1948, 3-4; Budiastra dan Windia 1981, 16; Astawa 1993, 18; Ardika 2013, 220). Mantra-mantra Buddhis ini beraksara Pre-nagari, menunjukkan kemiripan dengan India Selatan. Berdasarkan kemiripan bentuk paleografi tersebut, diduga sekitar abad ke-8 Masehi sudah terjadi kontak langsung antara Bali dengan India (Ardika
2013, 220). Bukti lain yang menunjukkan adanya kontak antara India dengan Bali, bahkan pada permulaan Masehi adalah temuan fragmen gerabah Arikamedu dari India Selatan, berhias rolet, ditemukan di Desa Sembiran, Buleleng, Bali (Ardika dalam Astawa 2007, 102).
Pada abad ke-9 Masehi, Agama Hindu dari Sekte Sidhanta telah menampakkan pengaruhnya. Dugaan ini berdasarkan temuan fragmen prasasti di Desa Pejeng, yang menyebutkan
(….)ddha…., diperkirakan berbunyi
siddhanta. Selain itu, perkembangan
Agama Hindu di Bali, khususnya di Gianyar juga dibuktikan dengan temuan Arca Catur Bhuja di Pura Desa Alit, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Arca ini digolongkan dalam periode seni arca Hindu Bali, berkembang sekitar abad ke-9 Masehi (Astawa 2007, 103). Prasasti Sukawana A I (804 Saka) dengan disebutnya bhikṡu Ṥiwakangsita,
bhikṡu Ṥiwanirmmala, dan bhikṡu
Ṥiwaprajña, diperkirakan agama yang
dianut oleh tokoh yang menyandang nama tesebut adalah Agama Hindu dengan penekanan pemujaan kepada Dewa (Goris 1954, 53; Ardika 2013, 220). Selain temuan tersebut, juga ditemukan Arca
Catur Mukha yang berasal dari masa Bali
Kuno, menunjukkan Dewa Brahma, juga dikenal pada masa itu. Demikian pula temuan arca-arca dan Wiṡnu pada beberapa tempat di Bali menunjukkan bahwa dewa-dewa Tri Mùrti telah
mendapatkan posisi tinggi sebagai objek pemujaan (Astra 1997, 124).
Lingga juga banyak ditemukan di Bali, yang menunjukkan bahwa di Bali juga dikenal Sekte Paṡupata (Ardika 2013, 222). Temuan Arca Bhairawa Bima di Pura Kebo Edan dan Durgàmahiṡaṡuramardinì di Pura Dharma Kutri sebagai bukti keberadaan Sekte Bhairawa. Aliran Reṡi dan Brahmana diungkapkan dengan perkataan reṡi mahàbrahmana termuat dalam prasasti jaman Raja Jayapangus antara lain prasasti Kediri, Batunya B, Mayungan, dan Sarin Buwana A. Peninggalan berupa ceruk-ceruk pertapaan dan sistem warna atau kasta, menempatkan kaum brahmana sebagai lapis tertinggi, dinyatakan sebagai bukti lain eksistensi aliran tersebut (Ardika 2013, 223). Sekte Saura, yaitu pemuja Dewa Sùrya atau Matahari diperkirakan telah diserap ke dalam Sekte Siddhanta, yang ditunjukkan dengan nama Ṥiwàditya (Goris 1974, 26). Berdasarkan berbagai temuan arkeologi di atas, dan berbagai indikasi sektenya, Goris menyimpulkan bahwa di Bali terdapat beberapa aliran keagamaan atau sekte yang pernah berkembang, yakni: Siddhanta, Paṡupata, Bhairawa, Waiṡnawa, Boddha atau Sogata, Brahmana/Reṡi, dan Ganapatya, serta Saura (Goris 1974, 11-12).
Goris menyatakan, pada abad ke-10 Masehi, jaman Raja Udayana dan Gùnapryadharmmapatni, terjadi penyatuan berbagai sekte demi terciptanya stabilitas
Negara, menjadi Ṥiwa dan Buddha. Sekte Ṥiwa Siddhanta, Paúupata, Bhairawa, Waiûóawa, Brahmana, Reṡi, dan Ganapatya, serta Saura tergabung dalam kelompok Úiwa, dan Saugata berdiri sendiri. Sehingga agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat Bali saat itu, yaitu Agama Ṥiwa dan Buddha (Ardika 2013, 221). Agama Ṥiwa dan Buddha berkembang bersama-sama, dalam hubungan yang harmonis. Hal ini tercermin dari ungkapan namaṡiwaya
namobuddhaya yang tersurat dalam
Prasasti Landih A dan Nongan A (Poeger 1964, 94).
Perkembangan selanjutnya ketika pengaruh Singasari, dilanjutkan dengan pengaruh Majapahit di Bali, hubungan kedua agama ini menjadi semakin luluh, dan menjadi satu disebut Úiwa-Buddha, hal ini dapat dipersatukan karena pengaruh Tantrayana (Widnya 2008, 138-142). Diungkapkan pula bahwa di antara sekte-sekte itu, Ṥiwa Sidhanta merupakan sekte yang dominan dan banyak meninggalkan tinggalan budaya, salah satunya berupa arca (Astawa 2006, 23-24; Jendra 2007, 60-62). Bahkan menurut Sastra, dari Sembilan sekte yang ada di Bali ditambah satu lagi yaitu Tantrayana bersatu dalam konsep Tri Mùrti Pakṡa, yang kemudian menjadi satu dalam bentuk ajaran Ṥiwa Siddhanta (Sastra 2008, 244). Ganapati sebagai salah satu sekte yang berkembang di Bali, yang tergabung dalam Ṥiwa Siddhanta, sampai saat ini
masih memberikan kontribusi terhadap budaya Bali. Keberadaan ini merupakan suatu proses budaya yang berlangsung cukup lama, terutama setelah abad ke-10 Masehi (Geria 2000, 125).
Bukti adanya Sekte Ganapatya terbaca dalam Prasasti Sukawana A II, 976 Úaka, yang menguraikan mengenai aturan membayar pajak dan berbagai keringanan yang diberikan kepada masyarakat Cintamani. Untuk menjaga agar aturan tersebut tetap berlaku hingga kemudian hari maka dimohon persumpahan kepada Dewa Ganesha yang disebutkan dalam prasasti tersebut dengan sebutan Gana Buta …..ananta
kalamertya, gana bhuta… (Suarbhawa
2013, 21). Dalam Prasasti Jiken Satra 1246 Saka, diuraikan bahwa pada lembar II prasasti tersebut menyebut seorang tokoh dewa yaitu bhatara i kusumadanta.
Bhatara i Kusumadanta diperkirakan oleh
Atmojo 1995, sebagai Dewa Ekadanta, Ganesha, Ganapati, atau Mahodara, yang tiada lain adalah Dewa Ganesha, sesuai kutipan berikut …..mangkana rasanya
sinembahaken, i karaman i lbu ni paduka sri maharaja, kangennangen pwa priyakit
hateher winidhinira bhatara ring
kusumadanta…. Artinya….demikianlah
perihalnya yang menjadi sesembahan dari masyarakat yang berada dalam naungan baginda raja, dipikirkanlah mengenai penyakit yang menimpanya, lalu dimohon olehnya kepada Bhatara di Kusumadanta (Atmojo 1995, 104).
Prasasti Campaga 1103 Úaka , diuraikan bahwa semua padåwyahajyan Desa Campaga yang harus dipersembahkan kepada Bhatara Ganapati di Tumpuhyang, sesuai kutipan berikut….sakwaihning padåwyahajyan
sapaniskara kabéh kapañji(ng) mare i sira bhatara ganapati ring tumpuhyang…
(Atmojo 1995, 106). Tinggalan arkeologi berupa Arca Ganapati atau Ganesha atau Binayaka sangat banyak ditemukan di Bali (Ardika 2013, 222).
Bukti artefaktual Arca Ganesha banyak ditemukan pada beberapa pura di Bali. Berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Denpasar, menunjukkan adanya
asana yang beragam. Kebanyakan
digambarkan dalam sikap duduk vìràsana, sebagian lalitàsana, dan berdiri atau
samabhangga. Berbeda halnya dengan
temuan Arca Ganesha di Subak Bubunan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, yang tidak memiliki kesamaan dengan salah satu temuan tersebut di atas. Arca Ganesha di Subak Bubunan, Sukawati ini digambarkan dengan sikap duduk bersila, layaknya sikap duduk orang Bali. Hal inilah yang mengundang rasa penasaran penulis, mengingat penggambaran sikap asana yang berbeda, sementara ini belum pernah ditemukan. Selain itu, adanya tuntutan warga Sukawati yang diwakili oleh tetua adat Sukawati, untuk mengkaji tinggalan tersebut. Berbagai kekawatiran juga disampaikan kepada peneliti, bahwa
berbagai bukti tinggalan budaya tersebut semakin lama akan mengalami kerusakan. Permasalahan yang diungkap pada penelitian ini adalah mengenai bentuk, fungsi dan makna Arca Ganesha di Subak Bubunan, Sukawati. Secara umum penelitian ini untuk mengetahui identitas arca, dan secara khusus adalah untuk mengetahui bentuk, fungsi dan makna arca di Subak Bubunan, Sukawati. Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan dibidang ikonografi, dan secara praktis diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu acuan bagi masyarakat di Subak Bubunan, Sukawati dalam mengenali tinggalan budayanya. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi sesuai rumusan masalah, yakni menyangkut bentuk, fungsi dan makna Arca Ganesha di Subak Bubunan, Sukawati, Gianyar.
Ganesha di Subak Bubunan, jika dikaitkan sebagai dimensi agama diartikannya sebagai susunan arti atau ide, yang dibawa simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan sikap mereka terhadapnya. Susunan arti dan ide yang terkandung dalam arca ini terbungkus dalam penggambaran wujud arca, disesuaikan dengan fungsinya, dan makna yang terkandung dalam perwujudan arca tersebut. Hal ini berperan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara
merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu sehingga suasana hati dan motivasi tampak relistik secara unik (Geertz 2001, 413). Simbol ini memiliki keterkaitan dengan mitos sehingga menciptakan suatu kerangka, sebuah dunia yang merupakan suatu sistem yang lengkap dan berkaitan. Semakin besar skala atau ukuran suatu simbol maka semakin lengkap dan universal, semakin banyak membawa sifat sejati dari yang sakral. Dalam pandangannya, umat manusia di sepanjang waktu terus-menerus bekerja untuk menyatakan kembali persepsi mereka tentang yang sakral melalui cara-cara yang awal, menciptakan mitos-mitos baru, menemukan simbol yang baru dan menyusunnya kembali ke sistem yang berbeda atau lebih luas. Ketika simbol ini sampai kepada generasi berikutnya, mereka berusaha untuk menelusurinya melalui manusia ketika hal itu diubah dan dipertukarkan dari satu masa atau tempat ke yang lain (Eliade 2001, 268, 300). Segala sesuatu dalam kehidupan manusia yang dilihat, dialami atau dikerjakan diolah menjadi simbol-simbol. Segala sesuatu dalam kehidupan manusia diberi nilai atau arti tertentu yang menunjukkan maksud serta gagasan penciptanya. Manusia tidak hanya beradaptasi dengan lingkungan alam dan sosialnya, tetapi juga dengan
lingkungan simbolis yang meliputi alam semesta (Suriadiredja 2003, 264).
Arca Ganesha yang menjadi objek kajian, ditemukan di Subak Bubunan, Tempek Anga, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Lokasi ini secara astronomi berada pada koordinat 8o35.822’S, 115o17.463’E, dengan ketinggian 90 mdpl (gambar 1).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menyangkut pengertian, konsep, nilai dan ciri-ciri yang melekat pada objek penelitiannya (Kaelan 2005, 5). Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer didapat melalui observasi lapangan, sedangkan data sekundernya diraih melalui penelusuran pustaka yang relevan. Selain itu dilengkapi pula dengan wawancara untuk mendapatkan data etno-arkeologi yang berkaitan dengan temuan. Kemudian data dianalisis secara ikonografi, untuk mengungkap bentuk arca. Analisis dilanjutkan dengan mengungkap fungsi dan makna arca (Puslitbangarkenas 2008, 106-108). Hasil analisis disajikan secara naratif disertai gambar, kemudian diakhiri dengan kesimpulan.
2. Hasil
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari masa lalu, yang sasarannya adalah manusia masa lalu sepanjang riwayatnya, dan objek penelitiannya adalah hasil usaha manusia masa lalu berupa benda. Tugas arkeolog adalah mencari atau mengumpulkan,
menganalisis, dan menyimpulkan data guna merekonstruksi kehidupan manusia pada masa lampau dengan segala aspeknya, melalui sisa-sisa kebudayaannya (Geria 2010, 6-7). Tinggalan budaya ada yang bersifat
tangible dan intangible. Tinggalan budaya tangible adalah tinggalan budaya yang
berbentuk benda yang dapat dipegang dan diraba. Tinggalan budaya intangible
adalah tinggalan budaya yang bersifat abstrak, hanya ada dalam pikiran dan kesadaran manusia berupa nilai-nilai, norma, hukum, konsep-konsep yang terkait dengan kehidupan manusia maupun alam semesta termasuk teknologi, dan karya sastra sebagai komposisi konseptual (Sedyawati 2008, 279-280; Sedyawati 2009, 197). Bangunan keagamaan memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor kehidupan lainnya. Inti suatu religi adalah suatu kerangka konsep-konsep yang merupakan pokok ajaran untuk diyakini kebenarannya, meliputi hakikat prinsip tertinggi yang merupakan sumber kebenaran, serta hubungan manusia dengannya. Konsep-konsep dasar berkenaan dengan struktur dan proses kosmos. Kaidah hubungan antar-manusia dan antar-mahluk (Sedyawati 2009, 207). Terkait dengan hal tersebut di Subak Bubunan, Tempek Anga, ditemukan tinggalan budaya berupa sebuah Arca Ganesa, dan arca perwujudan. Arca tersebut posisinya berdampingan, menghadap ke barat; Arca Ganesa
Gambar 2. Situasi Temuan Arca di Subak
Bubunan.
(Sumber:Balai Arkeologi Denpasar, 2010) posisinya di sebelah utara arca perwujudan. Kedua arca ini dikeramatkan oleh masyarakat. Pada tempat tersebut juga ditemukan enam buah umpak atau penyangga tiang bangunan, yang keseluruhannya berada di atas sebuah
bebaturan berbentuk segi empat. Menurut
Bendesa Sukawati temuan ini awalnya berada di bawah pohon beringin yang rindang, menutupi keseluruhan arca berikut pondasinya. Pohon ini sejak dahulu dikeramatkan warga, tempat menyelenggarakan upacara, dan memohon air suci dalam penyelenggaraan upacara pada salah satu pura di desa tersebut. Ketika pohon tersebut tumbang, barulah terlihat bahwa di bawahnya terdapat tinggalan budaya berupa arca (gambar 2).
Dugaan sementara berdasarkan temuan umpak yang ada di atas
bebaturan, diperkirakan berupa bangunan
konstruksi bambu. Keseluruhan temuan di atas sangat penting untuk dikaji, tetapi kali
ini kajian difokuskan kepada Arca Ganesha yang memiliki keunikan gaya. Hal ini diputuskan mengingat arca yang satunya lagi bagian muka dan tangan mengalami kerusakan cukup parah.
3. Pembahasan 3.1 Bentuk
Arca Ganesa yang terdapat di Subak Bubunan diwujudkan dalam bentuk sederhana, naturalis, berpenampilan polos, tanpa perhiasan, dengan kepala gundul. Digambarkan dengan wujud manusia berkepala gajah, gemuk, perut buncit, bertangan dua, duduk bersila; kedua telapak kaki terletak menempel erat pada kedua lutut, yang merupakan ciri khusus arca ini yang berbeda dengan penggambaran wujud Arca Ganesha pada umumnya. Kedua tangan ditekuk ke depan di atas paha, telapak tangan kiri memegang belalai, dan kanan sepertinya memegang sesuatu (biasanya gading), tetapi tidak jelas karena aus. Arca ini duduk di atas lapik tanpa hiasan. Raut wajahnya sangat aus, hanya terlihat sosok kepala, dengan belalai sebagai ciri utama, bahwa tokoh yang diarcakan adalah Ganesha. Bagian permukaan wajah seperti mata, raut kening, mulut, taring tidak terlihat karena aus (gambar 3).
Kitab Korawàsrama yang dikutip Sedyawati, terkait dengan asana atau sikap duduk arca Hindu, diuraikan beberapa asana yaitu: padmàsana;
Gambar 3. Arca Ganesha di Subak Bubunan
Tampak Depan.
(Sumber: Balai Arkeologi Denpasar, 2010) di atas kedua paha, tulang punggung lurus
dan leher tegak, pandangan ke ujung hidung, gigi atas dan bawah tidak boleh bertemu, ujung lidah diletakkan di sela-selanya. Bajràsana; kedua telapak kaki diletakkan di bawah kedua paha.
Wìràsana; paha kanan diletakkan bersila,
kaki kiri dibawa ke sisi atau kedua telapak kaki bertemu di depan, tangan diletakkan di atas kedua paha tangan kiri di atas lutut kiri. Paryangkaàana; kedua jejengku berdekatan tetapi tidak bertemu karena kedua tangan ada disela-selanya.
Swastikàsana; kedua telapak kaki terletak
menempel erat pada kedua lutut, kedua tangan terletak di atas kedua jejengku.
Dendàsana; kedua tungkai kumedeng atau
diluruskan, demikian pula kedua lengan (Sedyawati 2009, 62). Secara umum Arca Ganesha di Jawa dan Bali digambarkan dalam sikap wìràsana, lalitàsana. Berdasarkan uraian di atas,
sesuai dengan ciri-ciri asana dari arca Ganesha di Subak Bubunan, digambarkan dengan kedua telapak kaki terletak menempel erat pada kedua lutut, tangan terletak di atas kedua lutut, dekat dengan sikap swastikàsana.
Terkait dengan asana tersebut Suantika menguraikan terdapatnya tinggalan arca Ganesha di Pura Gaduh, Sangsit, Buleleng, sebanyak empat buah dalam sikap wìràsana (Suantika 2000, 84). Ambarawati dalam tulisannya yang terbit tahun 2000, 2003, 2004, 2009, dan 2011, menemukan banyak arca Ganesha yang
sebagian besar bersikap wìràsana, dan sebagian kecil samabhangga atau berdiri dan lalitàsana atau sikap duduk dengan kaki kiri bersila dan kaki kanan terjuntai ke bawah (Ambarawati 2000, 104; 2003, 50; 2004, 96-97; 2009, 58; 2009, 161; 2011, 229). Astawa dalam penelitiannya tahun 2009, dan 2010 menemukan beberapa arca Ganesha yang bersikap lalitàsana (Astawa 2009, 46; 2010, 457).
Terkait dengan penggambaran tersebut, Sedyawati mengungkapkan bahwa adanya perbedaan dalam menggambarkan wujud arca, itu dianggap sebagai kreativitas dan daya mental untuk menggambarkan konsep-konsep keagamaan serta wujud visual dari pemahatnya, meskipun pada beberapa bagiannya, masih terikat dalam suatu tradisi dan aturan dalam penciptaan arca (Sedyawati 2009, 143-144). Jika Sedyawati berpendapat demikian, apakah sikap duduk arca Ganesha di Subak Bubunan dapat dipandang sebagai
kreativitas. Tidakkah ada landasan keagamaan yang melatarbelakangi penggambaran bentuk asana arca tersebut. Jika penggambaran Arca Buddha, kebanyakan bersikap swastika, tetapi kalau arca Ganesha kebanyakan bersikap wìràsana, tetapi terdapat suatu pengecualian terhadap Arca Ganesha yang ditemukan di Subak Bubunan. Hal ini dilatarbelakangi alasan bahwa penggambaran wujud tersebut menampakkan wujud dari pengaruh konsep agama, yakni yantra dari Dewa Ganesha (Mantra dikutip Astawa 2010, 461). Pandangan tersebut mengingatkan kita pada salah satu simbol grafis dewa-dewa Hindu yakni swastika, yang dikaitkan dengan Ganesha-yantra. Sehingga hal ini bukanlah semata-mata kreativitas maupun gaya lokal yang tanpa alasan. Gaya lokal lain yang tampak pada pengarcaan Ganesha dapat dilihat pada Arca Ganesha di Pura Samuan Tiga, yang salah satu atributnya berupa keris, sebagai simbol kepahlawanan (Geria 2000, 125). Ganesha begaya lokal juga dapat dilihat pada koleksi Museum Negeri Propinsi Bali nomor koleksi 2690, digambarkan dengan tangan kiri memegang keris (Tim Penyusun 1993, 11, 12). Di Pura Ganter, Desa Siangan, Kecamatan Gianyar, terdapat Arca Ganesha membawa pisau (Ambarawati 2009, 161).
Penggambaran wujud arca Ganesha di Subak Bubunan yang polos, serta bertangan dua tanpa atribut senjata
yang banyak dan sikap duduknya
swastikasana, merupakan wujud santa
atau tenang, yang lebih menampakkan kepada sosok resi yang sedang bersamadi dalam penyatuannya kepada Pencipta.
Asana ini terkait dengan aktivitas ketika
Dewa Ganesha dalam mengungkapkan rasa baktinya dengan mengelilingi ayah-ibunya untuk mencapai penyatuan dan mendapatkan berkat dari-Nya.
3.2 Fungsi
Arca Ganesha di Subak Bubunan sebagaimana diungkapkan oleh tetua adat Sukawati, Drs. I Nyoman Puja Antara, sangat dikeramatkan warga. Perlakuan ini terkait dengan fungsinya yang penting dalam keagamaan, dalam hal menganugerahkan keselamatan, baik keselamatan pertanian dan hasilnya, juga keselamatan desanya. Terkait dengan fungsi keagamaan, setiap penyelenggaraan upacara di Pura Dalem Sukawati, masyarakat selalu memulainya dengan menghaturkan sesaji pada arca ini sebagai pemberitahuan (matur piuning) sekaligus memohon air suci sebagai berkat, agar proses upacara yang akan diselenggarakan berhasil. Pura Dalem adalah tempat pemujaan Dewa Ṥiwa dan Ṥakti-Nya, merupakan ayah dan ibu dari Ganesha, hubungan ketiganya juga terkait dengan penjagaan keamanan desa. Bagi masyarakat Bali umumnya, Pura Dalem salah satu fungsinya sebagai tempat memohon keselamatan desa, demikian
diselenggarakan warga. Hal ini mengingatkan kita kepada cerita-cerita mengenai fungsi Ganesha sebagai Dewa Pertama yang harus dipuja sebelum memuja Dewa Utama, yaitu Ṥiwa dan Ṥakti-Nya.
Arca Ganesha di Subak Bubunan juga memiliki fungsi penting dibidang pertanian. Itulah sebabnya menurut tokoh adat Sukawati, arca ini dijadikan sebagai dewa pujaan para petani, sebagai salah satu pura untuk warga subak atau organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pertanian. Hal ini terkait dengan fungsi Ganesha sebagai penguasa keberhasilan hasil panen, penghalau hama tanaman, dan sosok teladan karena kebijaksanaan-Nya dalam proses hidup mengusakan kemakmuran. Hal senada juga diungkapkan Titib, bahwa fungsi Dewa Ganesha juga sebagai penguasa panen (Titib 2003, 341).
Pendapat di atas diperkuat oleh peneliti yang pernah meneliti arca Ganesha, yang mengungkapkan bahwa Dewa Ganesha secara umum berfungsi sebagai penyelamat dan pembebas segala rintangan dan memberikan perlawanan terhadap kejahatan. Ganesha juga difungsikan sebagai Gramadeṡa yaitu sebagai penjaga dan pelindung desa, mengayomi desa. Di Bali umumnya difungsikan sebagai Ulun Desa yakni kawasan yang menurut kosmologi Hindu terletak di kepala atau hulu yang dianggap memiliki nilai utama. Dalam kaitan dengan
kemakmuran desa ada kepercayaan bahwa tirta atau air suci pemujaan Ganesha dimanfaatkan untuk menolak hama tanaman (Geria 2000, 130,132).
Jika kita melihat keluar dari Pulau Bali, bahwa pemujaan Ganesha yang dihubungkan dengan Ṥiwa menempati posisi yang dominan. Di India Selatan pemujaan kepada Ganesha telah menjadi mode tidak kurang pada abad ke-6 Masehi. Di India Selatan Arca Ganesha distanakan pada pintu masuk desa-desa, benteng, di bawah pohon besar, pada setiap pintu masuk ke sebuah pura dan di baratdaya tempat pemujaan Dewa Úiwa. Di Indonesia penempatan Arca Ganesha mirip seperti di India Selatan, yaitu pada bendungan, salah satunya Bendungan Karang Kates, Jawa Timur yang dibangun pada jaman Raja Airlangga. Di Bali dewasa ini pemujaan terhadap Ganesha lebih sering dilakukan melalui upacara
Reṡi Ghana untuk menyucikan
pekarangan sekaligus memohon keselamatan (Titib 2003, 346, 347). Kaitannya dengan upacara Reṡi Ghana di Bali, digambarkan berkarakter sebagai pendeta untuk meruwat hawa nafsu dan sifat-sifat kekotoran dan keangkaramurkaan (Darmita 2011, 120). Arca Ganesha dalam kapasitasnya sebagai penghalau rintangan, tidak saja ditempatkan pada bangunan suci, tetapi pada di tempat-tempat penting lainnya seperti persawahan, perempatan jalan, tempat penyeberangan, di pinggir jurang,
lereng gunung, tempat angker, di bawah pohon, pohon beringin, di sekolah sebagai Dewa Kebijaksanaan dan Penciptaan (Sunarya 2003, 61; Ambarawati 2003, 54).
3.3 Makna
Ganesha adalah putra Dewa Ṥiwa berwujud manusia berkepala gajah. Ganesha digambarkan sebagai manusia berkepala gajah, sebagai penggambaran bahwa manusia sebagai mahluk kecil dan gajah sebagai simbol hubungan antara manusia dengan Yang Agung atau micro
dan macrocosmos. Manusia dikenal
sebagai yang bijak dan gajah simbol tingkatan ketika eksistensi mulai. Potongan gading melambangkan mata bajak. Ganesha juga dikenal dengan
Wighneṡwara karena memiliki kemampuan
untuk melenyapkan segala halangan yang dihadapi umat manusia (Titib 2003, 341, 344).
Sedyawati mengungkapkan bahwa Arca Ganesha merupakan personifikasi dari gagasan-gagasan keagamaan, diwujudkan bertubuh manusia berkepala gajah. Hal ini didasarkan alasan bahwa Tuhan memiliki sifat Adikodrati maka sifat-sifat ketubuhan-Nya pun, secara ikonik, diberi sifat-sifat adi atau super. Simbolis ini berupa gambaran wujud manusia yang gemuk dengan perut buncit dan berkepala gajah, berbeda dengan manusia pada umumnya, merupakan penandaan yang bersifat simbolik (Sedyawati 2009, 191). Simbolik tersebut memiliki nilai universal,
pembebasan. Pembebasan ini guna mengatasi masalah kemiskinan yang menjerat umat manusia. Selain itu manusia selalu berkeinginan untuk memahami hakikat dirinya, lengkap dengan berbagai ajaran guna mewujudkan yang diidealkan, yakni diri yang berkedamaian (Atmaja 2014, 220, 221).
Laksana Ganesha adalah tangan kanan memegang gading yang patah, tangan kiri membawa modaka, sejenis kue yang digambarkan berupa sejumlah benda bulat yang ditempatkan di dalam mangkuk. Di Tamil, India Selatan dikenal cara penggambaran arah menjulurnya belalai, bila ke kiri disebut itampiri/idamburi. Jika ke kanan disebut walampiri atau
walamburi, arah ke kanan dan ke kiri
belalai Ganesha, melambangkan arah datangnya halangan. Berbadan gemuk dan perut gendut sebagai simbol bahwa semua manifestasi ada dalam perut-Nya dan Ia sendiri tidak berada di dalamnya. Daun telinga lebar simbol kebijaksanaan, Ia mencari dan mendengar kebijaksanaan dan menolak ketidaksucian (Sedyawati 1994, 80; Titib 2003, 348, 352). Perlu diingat bahwa perwujudan yang digambarkan dalam arca bukanlah merupakan bentuk yang sebenarnya dari dewa tetapi sebagai manifestasi dari wujud dewa. Hal ini hanya merupakan imajinasi manusia untuk mengkonsentrasikan diri yang bermakna sebagai penghubung dirinya dengan dewa yang bersifat gaib (Museum Negeri Bali 1993, 2-3).
Sikap duduk swastikàsana dalam arca, merupakan yantra atau simbol grafis Dewa Ganesha yang digunakan dalam pemujaan. Swastika adalah tanda keberuntungan atau keselamatan, menggambarkan roda dunia yang terus-menerus berubah, mengelilingi pusat yang tidak berubah dan tidak bergerak yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Swastika
ditempelkan pada pintu masuk atau tembok rumah atau bangunan, atau pada binatang ternak. Simbol ini dipercaya memberikan perlindungan dari pengaruh negatif, kekuatan jahat atau roh-roh jahat dan kekuatan alam yang menimbulkan kekacauan. Swastika juga melambangkan ilmu pengetahuan (Nathan dalam Titib 2003, 350, 375). Swastika juga diartikan sebagai dasar kekuatan dan kesejahteraan bhuwana agung atau alam semesta dan bhuwana alit atau tubuh manusia. Dari bentuk swastika ini timbullah bentuk padma atau teratai berdaun bunga delapan yang disebut
padma astadala yang dipakai dasar
keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi (Sudharta 2007, 3). Dengan penggambaran arca Ganesa dengan sikap swastikàsana, berdasarkan makna yang tersimpan pada simbol
swastika, memberikan pemahaman bahwa
Ganesha di Subak Bubunan dipuja untuk memohon keberuntungan, keselamatan dari pengaruh negatif alam, sehingga tercapai keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian.
4. Penutup
Tinggalan arkeologi yang terdapat di Subak Bubunan, berdasarkan ciri-ciri bentuknya berbadan manusia berkepala gajah, bertangan dua, dengan belalai mengarah ke kiri dipegang dengan tangan kiri, dan tangan kanan aus, merupakan Arca Ganesha yang digambarkan dalam sikap swastikàsana. Fungsi arca Ganesha ini sesuai dengan konteks temuannya di areal persawahan difungsikan sebagai penghalau bencana, pengusir hama, dan penguasa keberhasilan panen. Penggambaran sosok manusia berkepala gajah sebagai simbol hubungan manusia dengan alam semesta yang dilandasi kebijaksanaan. Sikap duduk swastikàsana sebagai simbol niat yang tulus dalam menghormati Tuhan, mengatasi pengaruh negatif yang datang dari dalam diri maupun luar diri, sehingga keharmonisan, keselamaan dan kesejahteraan dapat dicapai.
Daftar Pustaka
Ambarawati, Ayu. 2000. “Sebaran Arca-arca Klasik di Kecamatan Tejakula dan Sawan; Kajian Periodisasi” dalam Forum Arkeologi (2). Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 102-111.
---.2003. “Fungsi dan Peranan Arca Dewa dan Arca Perwujudan di Kompleks Candi Wasan”, dalam
Forum Arkeologi (1). Denpasar: Balai
Arkeologi Denpasar. Hlm. 49-56. ---.2004. “Arca-Arca Terakota
di Kabupaten Klungkung Tinjauan Deskripsi”, dalam Forum Arkeologi (1). Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 92-103.
---.2009. “Multi Fungsi Pura Puseh Sesetan: Tinjauan Pemanfaatan”, dalam Forum
Arkeologi (1). Denpasar: Balai
Arkeologi Denpasar. Hlm. 53-68. ---.2009. “Sebaran Arca-Arca
Klasik di Desa Siangan, Kec. Gianyar, Kabupaten Gianyar”, dalam
Forum Arkeologi (2). Denpasar: Balai
Arkeologi Denpasar. Hlm. 150-170. ---.2011. “Tinggalan Arkeologi
di Pura Gunung Sekar, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng”, dalam Forum
Arkeologi 24 (3). Denpasar: Balai
Arkeologi Denpasar. Hlm. 224-234. Ardika, I Wayan, I G. N., dkk. 2013.
“Sejarah Bali Kuno”, dalam Sejarah
Bali; dari Prasejarah hingga Modern.
104-249. Denpasar: Udayana University Press.
Astawa, A.A. Gde Oka. 1993. Ekskavasi
Situs Kalibukbuk Buleleng. Laporan
Penelitian, Balai Arkeologi Denpasar. Denpasar: Puslitbang Arkenas, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
---dan I Gusti Made Suarbhawa, A.A. Gde Bagus. 2007. “Bagian II; Masa Hindu-Buddha”, dalam Sejarah Gianyar; dari Jaman
Prasejarah sampai Masa
Baru-Modern. Gianyar: Pemerintah
Kabupaten Gianyar, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah. Hlm. 83-188.
---. 2009. “Arca di Pura Puseh Payangan: Kajian Ikonografi”, dalam
Forum Arkeologi (3). Denpasar: Balai
Arkeologi Denpasar. Hlm. 43-55. ---.2010. “Arca di Pura Puseh
Payangan: Kajian Ikonografi”, dalam
Forum Arkeologi. 23 (3). Denpasar:
Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 453-466.
Astra, I Gede Semadi. 1997. Birokrasi
Pemerintahan Bali Kuno pada Abad XII-XIII. Disertasi, Ilmu Budaya.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Atmaja, Nengah Bawa. 2014. Saraswati
dan Ganesa sebagai Simbol
Paradigma; Interpretativisme dan
Positivisme. Denpasar: Pustaka
Larasan bekerjasama dengan IBIKK. BCCC. Undiksha Singaraja dan Universitas Hindu Indonesia.
Atmojo, M.M. Sukarto Karto. 1995.
Proceeding Analisis Hasil Penelitian Arkeologi: Analisis Sumber Tertulis
Masa Klasik. Jakarta: Proyek
Penelitian Purbakala Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 102-110.
Budiastra, I Putu dan Wayan Windia. 1981. Stupika Tanah Liat. Denpasar: Proyek Pengembangan Permuseuman Bali.
Callenfels, P.V. Van Stein. 1926.
Epigraphia Balica. VBG. LXVI, derde
Stuk, Batavia’s Genootschap.
Dharmita, Ida Pandita Mpu Siwa-Buddha Daksa. 2011. Filsafat Rsi Gana. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Eliade, Mircea. 2001. Lima Realitas yang Sakral. Daniel L. Pals (Ed). Seven
Theories of Reliion. Yogyakarta:
Qalam.
Geertz, Clifford. 2001. “Agama sebagai Sistem Budaya”, dalam Seven
Theories of Religion. Daniel L. Pals
(Ed). Yogyakarta: Qalam.
Geria, I Made. 2000. “Sekta Ganapati Implementasinya dalam Budaya Bali”, dalam Forum Arkeologi. (2). Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 125-134.
Gonda, J. 1954. Aspect of Wisnuism, N.V.A. Oosthoek’s Witgevers Mij-Utrecht.
Goris, R. 1948. Sejarah Bali Kuna. Denpasar: Singaraja.
---.1954. Prasasti Bali I, NV. Bandung: Masa Baru.
---. 1974. Sekte-Sekte di Bali. Jakarta: Bhratara.
Jendra, I Wayan. 2007. Sampradaya;
Kelompok Belajar Weda, Aliran dalam Agama Hindu dan Budaya Bali. Denpasar: Panakom.
Kaelan, 2005. Metode Penelitian Kualitatif
Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradignia.
Geria, I Wayan. 2010. Pusaka Budaya:
Representasi Ragam Pusaka dan
Tantangan Konservasi di Kota
Denpasar Bali. Denpasar: Bappeda
Poeger, I Nyoman. 1964. Raja Jayasakti di
Bali. Skripsi Ilmu Sastra. Denpasar:
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Santosa, Ida Bagus. 1965.
Prasasti-Prasasti Raja Anak Wungsu di Bali.
Skripsi Ilmu Sastra. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Sastra, Gde Sara. 2008. Bhujangga
Waisnawa dan San Trini. Denpasar:
Pustaka Bali Post.
Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian.
Jakarta: LIPI-RUL.
---.2008. Ke-Indonesia-an dalam Budaya dalam Dialog Budaya: Nasional dan Etnik Peranan Industri Budaya dan Media Massa Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra. ---. 2009. “Ikonografi Hindu:
Dari Sumber-Sumber Prosa Jawa Kuna”, dalam Saiwa dan Bauddha di
Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya
Dharma. Hlm. 35-72.
---. 2009. “Teks dan Ikonografi: Mantra untuk Visualisasi”, dalam
Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa
Kuna. Denpasar: Widya Dharma.
Hlm.137-144
---. 2009. “Penelitian Kualitatif Sosial-Keagamaan”, dalam Saiwa
dan Bauddha di Masa Jawa Kuna.
Denpasar: Widya Dharma. Hlm.195-197.
---. 2009. “Agama dan Perkembangan Budaya”, dalam
Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya Dharma.
Hlm. 207-211.
Suantika, I Wayan. 2000. “Peninggalan Arkeologi di Pura Gaduh Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng”, dalam
Forum Arkeologi. (2). Denpasar:
Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 81-92.
Suarbhawa, I Gusti Made. 2007. Situs
Tamblingan. Denpasar: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Buleleng dan Balai Arkeologi Denpasar.
Suarbhawa, I Gusti Made, I Nyoman Sunarya, I Wayan Sumerata, Luh Suwita Utami. 2013. Prasasti Sukawana. Denpasar: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Arkeologi Denpasar.
Sudharta, Tjok Rai, dan Ida Bagus Oka Punia Atmaja. 2007. Upadesa:
Tentang Ajaran-Ajaran Agama
Hindu. Surabaya: Paramita.
Sunarya, I Nyoman. 2003. “Latar Belakang Keagamaan Situs Wasan”, dalam
Forum Arkeologi. (1). Denpasar:
Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 57-64.
Suriadiredja, Purwadi. 2003. “Manusia, Kebudayaan, dan Kesenian”, dalam
Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural. Dalam Astra, I Gde
Semadi, Aron Meko Mbete, Ida Bagus Pua Astawa, dan I Nyoman Darma Putra (Ed). Denpasar: Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana. Hlm. 254-296. Tim Penyusun. 1993. Pameran; Makna
Pratima dan Pralingga dalam
Kehidupan Masyarakat Bali.
Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Negeri Propinsi Bali.
Tim Penyusun. 2008. Metode Penelitian
Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Titib, I Made. 2003. Teologi dan
Simbol-Simbol dalam Agama Hindu.
Surabaya: Paramita.
Widnya, I Ketut. 2008. “Pemujaan Siwa-Buddha dalam Masyarakat Hindu di Bali”, Mudra. 22(1). Denpasar:---. Hlm. 137-153.