• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecerdasan Emosional Pada Remaja Ditinjau Dari Tipe Lembaga Pendidikan Dan Jenis Kelamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kecerdasan Emosional Pada Remaja Ditinjau Dari Tipe Lembaga Pendidikan Dan Jenis Kelamin"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

i

KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA DITINJAU DARI TIPE LEMBAGA PENDIDIKAN DAN JENIS KELAMIN

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh:

EVI USWATUN KHASANAH F.100130060

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018

(2)
(3)
(4)
(5)

1

KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA DITINJAU DARI TIPE LEMBAGA PENDIDIKAN DAN JENIS KELAMIN

Abstrak

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang berkaitan dengan memotivasi diri, bertahan ketika mengahadapi kegagalan, mengendalikan emosi serta menunda kepuasan.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecerdasan emosional pada remaja berdasarkan tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin, mengetahui kecerdasan emosional pada remaja berdasarkan jenis kelamin di Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan pondok pesantren.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Sragen, SMK N 1 Kedawung dan SMA Baitul Qur’an dengan jumlah sampel sebanyak 6 Rombongan belajar (kelas). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purpuse sampling yang ditentukan oleh guru yang bersangkutan. Metode pengumpulan data menggunakan skala kecerdasan emosional.Teknik analisis dalam penelitian yaitu univariant analysis non parametric. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah (a) terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin diperoleh hasil sig = 0,000 (p˂0,05). (b) terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan diperoleh hasil sig = 0,044 (p˂0,05), (c) terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari jenis kelamin diperoleh hasil sig = 0,002 (p˂0,05). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan kecerdasan emosional ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin. Kata kunci : kecerdasan emosional

Abstract

Emotional intelligence is the ability associated with self-motivation, persist in the face of failure, controlling emotions and delaying satisfaction. the purpose of this study was to determine the emotional intelligence of adolescents by type of educational institution and gender, to know emotional intelligence based on sex in high school (SMA), vocational high school (SMK) and boarding school.The method used in this research is quantitative. Subjects in this study were students of class XI SMA Muhammadiyah 1 Sragen, SMK N 1 Kedawung and SMA Baitul Qur'an with the number of samples as much as 6 study groups (classes). The sampling technique used in this research is purpuse sampling determined by the teacher concerned. Methods of data collection using the scale of emotional intelligence. Analysis technique in the research that is univariant analysis non parametric. The results obtained from this research are (a) there are differences of emotional intelligence in adolescents in terms of type of educational institution and sex obtained sig = 0,000 (p˂0,05). (b) there are differences of emotional intelligence in adolescents in terms of type of educational institutions obtained sig

(6)

2

= 0,044 (p˂0,05), (c) there is difference of emotional intelligence in adolescence in terms of sex obtained result sig = 0,002 (p˂0, 05). The conclusion in this study is the existence of differences in emotional intelligence in terms of type of educational institutions and gender.

Keywords: Emotional Intelligence 1. PENDAHULUAN

Istilah dari kecerdasan emosional atau emotional intelligence yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (Goleman,2001). Menurut Goleman (2001) Kecerdasan emosional mempelajari keterampilan – keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsur yaitu kesadaran diri ,memotivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.

Kecerdasan emosional merupakan hal penting yang ditanamkan pada remaja, karena pada masa tersebut remaja sangatlah mudah terpengaruh dengan teman sebaya, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif, selain itu remaja merupakan salah satu komponen penerus bangsa (priatini dkk 2008). Menurut Santrock (2005) remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial.

Hasil dari Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa pada tahun 2013 angka kenakalan remaja di Indonesia mencapai 6325 kasus, sedangkan pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 7007 kasus dan pada tahun 2015 mencapai 7762 kasus. Artinya dari tahun 2013-2014 mengalami kenaikan sebesar 10,7 %, kasus. Kasus-kasus tersebut terdiri dari mencuri, membunuh, pergaulan bebas dan narkoba. Dari data diatas menunjukkan bahwa remaja yang tidak cerdas secara emosional sangatlah mudah terpengaruh dengan hal-hal yang negatif seperti perkelahian yang menimbulkan kerugian (Priatini dkk, 2008).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu keluarga, hubungan pribadi, hubungan dengan kelompok, lingkungan dan teman sebaya (Paton,2002). Sedangkan menurut Goleman (2009) factor-fakotr yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah pengalaman, usia, jenis kelamin dan

(7)

3

jabatan. Dari beberapa faktor diatas peneliti akan membahas dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu faktor lingkungan dan faktor jenis kelamin.

Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, lingkungan yang sesuai dengan remaja adalah sekolah karena rata-rata siswa menghabiskan waktu disekolah kurang lebih 7 jam sehari (Priatini,2008). Menurut UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional terdapat tujuh tipe lembaga pendidikan. Tipe lembaga pendidikan yang sesuai dengan usia remaja yaitu pendidikan umum, bentuk pendidikan pada tipe ini ialah Sekolah Menengah Atas (SMA)., pendidikan kejuruan bentuk pendidikan pada tipe ini ialah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan pendidikan keagamaan bentuk pendidikan pada tipe ini ialah Madrasah Ibtidaiyah (MA).

Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada hari kamis, 02 maret 2017 di Sragen sebagai data awal. Sekolah Menengah Atas Baitul Qur’an merupakan jenis lembaga pendidikan yang mewajibkan siswa siswinya tinggal dipondok sehingga siswa lebih sering berinteraksi dengan teman sebaya dibanding dengan orangtuanya. Kegiatan yang dilakukan di pondok antara lain sholat berjamaah, murojaah, kajian, muhadhoroh dan lain-lain yang semua itu selalu didampingi oleh pengasuh pondok. Alokasi mata pelajaran agama dipondok pesantren Baitul Qur’an kurang lebih 65%, mata pelajaran agama yang dipelajari antara lain tafsir, Qur’an hadist, Tarjamah, aqidah akhlak, nahwu shorof, tahfid dan lain-lain. Hal ini serupa dengan pendapat Mashutu (1994) yang mengatakan bahwa pondok pesantren memberikan alokasi jam pelajaran agama lebih banyak dibanding dengan sekolah umum, sedangkan menurut ketentuan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas RI) pendidikan agama di Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya diberikan sebanyak dua jam setiap minggunya.

Menurut Mastuhu (2009) pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional islam (tafaguh fiddin) yang menekankan moral agama islam sebagai pedoman hidup. Remaja yang memiilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren tidak hanya memerlukan kecerdasan Intelektual namun juga memerlukan keterampilan mengelola diri sendiri dan hubungan dengan

(8)

4

lingkungan sekitar, keberhasilan pengelolaan diri sendiri disebut dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan social (Beytekin,2013).

Hasil dari penelitian Relawu (2007) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan kecerdasan emosional, sehingga semakin besar komitmen seseorang dalam menjalankan perintah agama yang diwujudkan dalam bentuk keyakinan , perasaan, pengetahuan, ritual dan perilaku sehari-hari, maka semakin meningkatnya kecerdasan emosional seseorang.

Factor yang kedua yaitu factor jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan faktor yang bersifat bawaan, yang dibawa sejak lahir. Menurut Goleman (2006) jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi. jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang sudah ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Herdiansyah,2016). Menurut Renyaan (2010) secara psikologis anak perempuan cenderung menekan pada perasaan dan anak laki-laki cenderung menonjolkan kekuatan fisik dan logika.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Katyal dan Awasthi (2005) tentang perbedaan kecerdasan emosi ditinjau dari jenis kelamin pada remaja di Chandigarh, menyatakan bahwa perempuan mempunyai kecerdasan emosional lebih tinggi dari pada laki-laki.

Adanya perbedaan pemberian pengetahuan agama dan pengaplikasian pengetahuan agama melalui kegiatan ibadah dapat mempengaruhi kecerdasan emosional masing-masing siswa, mengingat adanya hubungan positif antara religiusitas dengan kecerdasan emosional. Selain lingkungan, jenis kelamin merupakan faktor bawaan yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional. Perbedaan kecerdasan emosional antara laki-laki dan perempuan sering muncul dalam peran sosial dan hubungan dengan orang lain. Berdasarkan paparan diatas maka rumusan masalah peneliti adalah adakah perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin.

2. METODE

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin.

(9)

5

Penelitian ini dilakukan di SMA Muhammadiyah 1 sragen, SMK N 1 Kedawung dan SMA Baitul Qur’an (pondok pesantren). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI dengan jumalah sampel sebanyak 6 kelas. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purpuse sampling yang ditentukan oleh guru yang bersangkutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Alat ukur yang digunakan adalah skala, yaitu skala kecerdasan emosional. Skala kecerdasan emosional yang digunakan oleh peneliti adalah modifikasi dari skala penelitian yang disusun oleh Maryati,ika (2008) yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Goleman (2001) yang merujuk pada teori Salovey dan Mayer mencakup aspek kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan social.

Skala yang digunakan untuk penelitian sebelumnya telah diukur validitasanya. Uji validitas dilakukan dengan expert judgement kemudian di analisis menggunakan MS Excel dengan formula MS. Exel dengan rumus formula Aiken’s V=∑s/[n(c-1)] untuk menghitung content -validity coeffisien dengan batas nilai valid 0,06. Apabila koefisien validitas ≥0,6 maka instrument tersebut memenuhi criteria validitas, tetapi jika koefisien validitas ≤0,6 maka instrumen tersebut tidak memenuhi criteria validitas (Nugroho.2005). Hasil uji validitas skala kecerdasan emosional setelah dilakukan exspert judgement menunjukkan bahwa koefisien validas Aiken bergerak dari 0,333 sampai 0,916. Kemudian setelah pengambilan data, dilakukan uji reliabilitas pada skala. Uji koefisien reliabilitas Cronbach’s Alpha skala kecerdasan emosional adalah 0,844. Implementasi hasil reliabilitas pada skala religiusitas termasuk dalam kategori sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2010), bahwa reliabilitas antara 0,601 – 0,800 termasuk kategori tinggi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan perhitungan analisis statistic univariant analysis non parametric, diperoleh nilai kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin sebesar p (sig) = 0,000 (p˂ 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada remaja

(10)

6

ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin, sehingga hipotesis mayor yang diajukan diterima.

Hasil analisis kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari lembaga pendidikan diperoleh nilai p (sig) = 0,044 (p˂ 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan, sehingga hipotesis minor yang diajukan diterima.

Adanya perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan bisa disebabkan oleh beberapa factor antara lain factor keluarga, hubungan pribadi, lingkungan dan teman sebaya (Paton,2002). Factor lingkungan merupakan tempat individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dan membangun pola pikir serta perilaku siswa sebagai seorang remaja. Selain itu besarnya muatan agama juga memberikan dasar pemikiran serta kesadaran yang penuh untuk mengutamakan pemikiran logis berdasarkan nilai-nilai agama lebih dari aspek emosional secara pribadi, hal tersebut membuktikan bahwa adanya perbedaan yang mendasar antara SMA, SMK dan Pondok pesantren adalah karakteristik nilai dasar-dasar agama yang ditumbuhkembangkan di sekolah yang bercirikan agama Islam, namun kurang mendapatkan penekanan pada SMA dan SMK. Secara kurikulum, ketiga sekolah ini menyajikan dan mengajarkan pelajaran agama kepada siswa, dengan porsi yang berbeda. Penerapan pembelajaran agama di pondok pesantren memiliki porsi yang lebih besar dibanding dengan SMA dan SMK. Penerapan pelajaran agama yang tinggi cenderung melatih siswa untuk lebih terasah kecerdasan emosionalnya, hasil dari kategorisasi kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan tergolong tinggi yaitu sebanyak 72%.

Hasil analisis kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari jenis kelamin diperoleh nilai p (sig) = 0,005 (p ˂0,05) hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada remaja apabila ditinjau dari jenis kelamin sehingga hipotesis minor yang diajukan diterima. Hal ini sesuai dengan pendapat Burret (2003) yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada laki-laki dan perempuan, hasil uji coba yang dilakukan dilabolatorium membuktikan bahwa perempuan cenderung lebih terpengaruh dan menunjukkan

(11)

7

sikap emosionalnya dari pada laki-laki. Sedangkan menurut santrock (2003) menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya mengatakan bahwa wanita lebih dewasa dan lebih matang secara emosionalnya dari pada laki-laki.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kecerdasan emosional pada anak perempuan lebih tinggi dari pada anak laki-laki (144,14 ˂ 138,91). Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Katyal dan Awasthi (2005) tentang perbedaan kecerdasan emosional ditinjau dari jenis kelamin pada remaja di Chandigarh, yang menyatakan bahwa perempuan mempunyai kecerdasan emosional lebih tinggi dari pada laki-laki.Adanya perbedaan kecerdasan emosional pada laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari pola asuh orang tua. Menurut Goleman (2000) yang menyatakan bahwa pola asuh orang tua sangatlah berpengaruh, karena keluarga merupakan lingkungan social yang paling dekat dan sebagai sekolah emosi pertama bagi anak.kecerdasan emosional yang tinggi dapat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua yang baik. Pola asuh dengan penerapan disiplin demokrasi menghasilkan persentasi kecerdasan emosional yang tinggi dari penerapan pola asuh otoriter dan primisif (Winarti,2011).

Perbedaan kecerdasan emosional yang dimiliki pada siswa dan siswi salah satunya dipengaruhi oleh pola interaksi guru terhadap siswa dan siswi.Terkadang tanpa sadar guru memberikan perlakuan yang berbeda antara siswa dan siswi. Menurut Herdiansyah (2016), tidak sedikit guru yang membawa pemahaman bahwa anak perempuan lebih sensitive perasaannya. Sehingga dalam mendidik guru lebih bersikap manis, bertutur lembut, dan berperilaku lembut hanya karena pemahaman guru terhadap anak perempuan tersebut. Sebaliknya, pemahaman guru terhadap anak laki-laki yang tertanam dalam dirinya bahwa anak laki-laki relatif lebih cuek, lebih perlu dikontrol dan lebih sulit diatur.Sehingga dalam mendidik anak laki-laki perlu diarahkan secara lebih tegas dengan bahasa yang lebih keras, volume suara yang lebih tinggi dan aturan yang harus lebih ketat. Hasil kategorisasi yang dilakukan menunjukkan bahwa secara keseluruhan kecerdasan emosional pada siswa dan siswi tergolong tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa dan siswi tersebut telah mampu mengatur jadwal

(12)

8

akademik dan non-akademik, mampu beradaptasi dengan gaya mengajar dari masing-masing guru, serta mampu menjalin hubungan baik dengan teman sebaya.

Katagori kecerdasan emosional pada siswa siswi dapat dilihat bahwa terdapat 15 % (25 orang) subjek penelitian dalam katagori sedang, 73 % (116 orang) subjek penelitian dalam katagori tinggi dan 12 % (19 orang) subjek penelitian dalam katagori sangat tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional pada siswa siswi dalam kategori tinggi, sehingga mereka mampu mengelola berbgai tugas sekolah, mampu beradaptasi dengan gaya mengajar guru dan menjalin hubungan dengan teman (Shiplay,2010).

Secara keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin. Rata-rata dari hasil katagorisasi siswa siswi memiliki tinggat kecerdasan emosional yang tergolong tinggi.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraiakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan rerata empirik kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan jenis kelamin, adanya perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari tipe lembaga pendidikan dan terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada remaja ditinjau dari jenis kelamin.

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh peneliti selama pelaksanaan penelitian, maka peneliti memberikan sumbangan saran yang diharapkan dapat bermanfaat. Bagi siswa hendaknya rajin mengikuti berbagai pelatihan dalam mengenal, memahami dan mengendalikan emosi diri serta berusaha memahami emosi orang lain sehingga menimbulkan rasa empati dan simpati. orang tua tidak boleh serta merta menitipkan anak dengan pihak sekolah tanpa ada tanggungjawab atau peninjauan terhadap anaknya, apalagi untuk orang tua yang mempunyai anak dipondok harus tetap memberikan perhatian kepada anak dengan cara mengunjungi atau memiliki jadwal komunikasi melalui telephone, sehingga siswa yang tinggal dipondok masih merasakan kehangatan dari keluarga. Membiasakan diri untuk memahami emosi

(13)

9

anak dengan cara rajin mendengarkan keluhan anak, sering mengajak diskusi dalam beberapa masalah-masalah disekolah dan keluarga, menempatkan anak sesuai dengan perkembangan usianya, melibatkan anak dalam berbagai kegiatan. Dengan demikian anak merasa dihargai dan ditempatkan pada posisi yang penting dalam keluarga. Bagi para pengajar agar tidak berfokus pada kecerdasan intelektualnya saja, tetapi juga lebih berfokus pada kecerdasan emosi sehingga siswa mampu untuk mengatur diri mereka sendiri. Kepada guru diharapkan dapat secara aktif melibatkan semua pihak yang berkompeten seperti guru BP/BK, orang tua dan psikolog untuk memahami, menjaga dan mengendalikan emosi siswa. Menempatkan siswa sebagai orang dewasa dan memahami gejolak emosinya adalah bagian dari menjaga dan meningkatkan emosi siswa. Terakhir, untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengontrol factor yang mempengaruhi kecerdasan emosional dan meneliti factor lain yang mempengaruhi kecerdasan emosional seperti jabatan, usia dan pengalaman.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Beytekin, O. F. (2013). The Relationship Between Emotional Intelligence And School Management. European Journal Of Research On Education , 1. Burret, J. (2003). Dinamika Emosi. Jakarta: Abdi Tandur.

Departemen Pendidikan Nasional.(2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistempendidikan Nasional. 15 Februari 2017. http://www.depdiknas.go.id

Goleman, D. (2009). Emitional Intelligence. Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting Dari Pada IQ (Terjemahan T. Hermaya). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gurian, M. (2011). Boys & Girls Learn Difefrently. San Fransisco USA: Jossey - Bass.

(14)

10

HM, M. (2002). Urgensi Pesantren Dalam Pembentukan Kepribadian Muslim. Dalam Ismail SM (Ed) Dinamika Pesantren Dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jalaluddin. (2001). Psikologi Agama. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Khatimah, K. H. (2014). Studi Komparatif Emotional Intellegence Pada Remaja Sekolah Asrama Dan Remaja Sekolah Tidak Asramadi SMA N 1 Padang Panjang. Jurnal , 2.

Martin, D. (2003). Emotional Quality Management. Jakarta: Arga.

Maryati, E. (2008). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dan Keyakinan Diri (Self-Efficacy) Dengan Kreativitas Pada Siswa Akselerasi. Skripsi .

Mashutu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur-Unsur Dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren . Jakarta: INIS.

Ormrod, J. (2006). Educational Psychology: Developing Learners. Ohio: Merrill-Prentice Hall.

Priatini, W., Latifah, M., & Guhardja, S. (2008). Pengaruh Tipe Pengasuhan, Lingkungan Sekolah Dan Peran Teman Sebaya Terhadap Kecerdasan Emosional. 1.

Pritaningrum, & Hendriani. (2013). Penyesuaian Diri Remaja Yang Tinggal Di Pondok Pesantren Modern Nurul Izzah Gresik Pada Tahun Pertama. Jurnal Psikologi Kepribadian Dan Sosial Vol.02 No 03 , 135-143.

Pusat Kurikulum (2006).Nomor 22 Tahun 2006.di akses tanggal 15 februari 2017. http://www.puskue.net

Respati, W., Arifin, W., & Ernawati. (2007). Gambaran Kecerdasan Emosioanal Siswa Berbakat Dikelas Akselerasi SMA Di Jakarta. Jurnal Psikologi , 30. Santrock, J. W. (2005). Life -Span Development Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Sofia, M. (2016). Perbedaan Kecerdasan Emosional Siswa Berdasarkan Program Kelas Dan Jenis Kelamin Di SMA N 4 Malang, SMA N 5 Malang Dan SMA N 8 Malang. Jurnal Psikologi .

Stein, S. J. (2002). Ledakan EQ : 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. . Jakarta: Kaifa.

Sugiyono. (2011). METODE PENELITIAN KUALITATIF, KUANTITATIF DAN R& D. Bandung: Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).

Winarti. (2011). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Akhlak. Skripsi , 42.

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji dan hormat hanya untuk Tuhan Yesus Kristus, Tugas akhir ini kupersembahkan untuk Tuhan Yesus, Papa, Mama dan Adik Desi, kekasihku Rini, dan teman-teman yang.. selama

Berdasarkan Penetapan Pemenang Nomor : 02.Pen.SU/PJK/DJB/SDB/2017 tanggal 20 Maret 2017, pekerjaan Jasa Konsultansi Penyempurnaan Aplikasi SKT Online dengan nilai

Proses fermentasi Asam laktat berlangsung dengan adanya aktifitas bakteri asam laktat tersebut (Lactobacillus), yang berlangsung secara spontan, karena terjadi secara alamiah

kesempatan dan motivasi yang telah diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Universitas

bahwa sehubungan dengan hal t er sebut diat as, per lu dit et apkan Keput usan Kepala Badan Pengendalian Dam pak Lingkungan t ent ang Pedom an Teknis per hit ungan dan pelapor an

2.2 Teori Sosiologi Sastra dan Teori Lingkungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang belajar melalui aktivitas quick on the draw dalam pembelajaran

Alat ukur atau bahan ukur atau sistem pengukuran yang dikalibrasi terhadap suatu Standar Kalibrasi (kalibrator).. •