• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran Bahasa Masyarakat Etnis Tionghoa di Bima

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pergeseran Bahasa Masyarakat Etnis Tionghoa di Bima"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

31

Nini Ernawati, Usman

Pascasarjana Universitas Negeri Makassar Pos-el: Niningvaganza@gmail.com

Diterima: 18 Februari 2019; Direvisi: 27 Mei 2019; Disetujui: 18 Juni 2019

Abstrak

Masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Bima merupakan masyarakat yang bilingual, bahkan multilingual. Selain menguasai bahasa ibu (B1), mereka juga menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Bima. Namun, dalam kehidupan sosial sehari-hari, masyarakat etnis Tionghoa lebih memilih meninggalkan bahasa ibunya dan beralih menggunakan bahasa Bima dan bahasa Indonesia. Sikap berbahasa masyarakat etnis Tionghoa tersebut menjadi hal yang menarik diteliti. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yakni (1) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima dan (2) dampak dari pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rekam, observasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, faktor-faktor penyebab terjadinya pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa ada tiga, yaitu faktor migrasi, faktor sosial, dan faktor ekonomi; Kedua, dampak pergeseran bahasa ada dua, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Adapun dampak positifnya, yaitu 1) mempermudah masyarakat etnis Tionghoa berkomunikasi dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka yang baru; 2) meningkatkan status sosial; dan 3) memberikan keuntungan sebagai sarana mencari nafkah/meningkatkan nilai ekonomi. Dampak negatif dari pergeseran bahasa adalah dapat menyebabkan terjadinya kematian atau kepunahan bahasa. Namun, pergeseran bahasa yang terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa yang berada di Bima tersebut tidak sampai menyebabkan punahnya bahasa karena pergeseran bahasa itu berlangsung bukan di tempat bahasa ibu digunakan.

Kata kunci: pergeseran bahasa, etnis Tionghoa, Bima Abstract

The Chinese ethnic community in Bima is a bilingual and even multilingual society. In addition to mastering mother tongue (B1), they also master Indonesian and Bima languages. However, in their daily social lives the ethnic Chinese preferred to abandon their mother tongue (B1) and switch to using Bima and Indonesian. The language attitude of the Chinese ethnic community is an interesting thing to study. As for the problems in this study, namely (1) the factors that led to a shift in the language of the ethnic Chinese community in Bima and (2) the impact of the shift in the language of the ethnic Chinese community in

(2)

Bima. Data collection in this study was conducted using the method of recording, observation, and interviews. The results of the study show that: First, there are three factors that cause the shift in language of the Chinese ethnic community, namely migration factors, social factors, and economic factors. Second, the impact of language shifts is twofold, namely positive and negative impacts. As for the positive impact, namely 1) facilitating Chinese ethnic communities to communicate with the people in their new neighborhood, 2) improving social status, 3) providing benefits as a means of earning a living / increasing economic value, while the negative impact of language shifts can cause death or extinction. However, the language shift that occurred in the Chinese ethnic community in the Bima did not cause the extinction of the language because the language shift took place not in the place of the mother tongue (B1) was used.

Keywords: Language shift, ethnic Chinese, Bima

1. Pendahuluan

Kajian mengenai bahasa menjadi suatu kajian yang tidak pernah tuntas untuk dibicarakan. Hal ini disebabkan bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Secara umum, fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan ide, gagasan, ataupun pesan kepada orang lain. Seseorang akan mampu melakukan komunikasi dengan kawannya dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh keduanya. Jika, salah satu pihak tidak memahami bahasa yang digunakan oleh pihak lain, komunikasi antara keduanya menjadi putus karena pesan-pesan yang terkandung dalam bahasa pihak pertama tidak dipahami oleh pihak kedua.

Manusia adalah mahluk sosial. Artinya, manusia memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi. Oleh karena itu, manusia membutuhkan kehadiran manusia lain untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Hal ini kemudian memunculkan kelompok-kelompok manusia dengan kesamaan tertentu yang disebut sebagai masyarakat.

Masyarakat pemakai bahasa, secara sadar atau tidak sadar menggunakan bahasa yang hidup dan dipergunakan dalam masyarakat. Kartomiharjo dalam (Ernawati, 2018) mengemukakan bahwa bahasa juga dapat mengikat anggota masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan menjadi masyarakat yang kuat, bersatu, dan maju. Di samping itu, keadaan sosial yang menjadi corak

(3)

33

sebagian masyarakat akan tampak dalam bahasa. Oleh karena itu, hubungan antara bahasa dan masyarakat sangat erat. Jika masyarakat berkembang, kebudayaan ikut berkembang karena kebudayaan merupakan cerminan dari masyarakat.

Bima merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Letaknya berada di

wilayah bagian timur NTB.

Masyarakat Bima terdiri atas berbagai suku dan etnis yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena adanya imigrasi yang dilakukan oleh etnis lain, seperti etnis Jawa, Lombok dan Tionghoa. Keberadaannya dapat dilihat pada banyaknya warga imigrasi etnis Jawa, Lombok, dan Tionghoa yang tersebar di daerah Bima dan rata-rata berprofesi sebagai pedagang.

Masyarakat etnis Tionghoa yang bermigrasi di Bima merupakan masyarakat yang bilingual, bahkan multilingual. Selain menguasai bahasa ibu (B1), mereka juga menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Bima. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, masyarakat etnis Tionghoa lebih memilih meninggalkan bahasa ibunya (B1) dan beralih dengan menggunakan

bahasa Bima dan bahasa Indonesia. Hal tersebut menandakan bahwa bahasa ibu masyarakat etnis Tionghoa di Bima telah bergeser. Hal tersebut diperkuat oleh pendapatnya Holmes (Diani, 2016) yang mengatakan bahwa pergeseran penggunaan bahasa terjadi secara aktif karena anggota masyarakat terpisah dari kelompok besarnya, lalu berpindah ke tempat lain. Mereka pindah dari suatu tempat ke tempat lain agar mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Di tempat baru, mereka menyesuaikan diri dan menggunakan bahasa penduduk setempat hingga akhirnya mereka mulai meninggalkan bahasa pertama/bahasa ibu. Jadi, pergeseran penggunaan bahasa terjadi karena perubahan penggunaan bahasa oleh masyarakat tutur akibat mereka berpindah ke masyarakat tutur lainnya.

Jika sikap berbahasa

masyarakat demikian, tidak menutup kemungkinan generasi penerus bahasa akan hilang. Akibatnya, lambat laun bahasa tersebut akan tergeser oleh bahasa lain atau bahkan bisa mengalami kepunahan. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Krauss (Ibrahim, 2011) yang

(4)

menyebutkan bahwa salah satu ciri dari bahasa yang terancam punah/mati adalah bahasa tersebut tidak lagi dipergunakan sebagai bahasa ibu oleh anak-anak.

Penelitian mengenai per-geseran bahasa sudah pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Mardikantoro (2012) dengan judul penelitian ³Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin dalam Ranah Keluarga´. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Samin dari bahasa Jawa ngoko ke bahasa Jawa krama. Bahasa Jawa

ngoko yang merupakan ciri khas masyarakat Samin digunakan dalam berbagai ranah. Namun, sejalan dengan berbagai pengaruh, kini masyarakat Samin tidak lagi menggunakan bahasa Jawa ngoko

untuk segala keperluan. Bahasa Jawa

ngoko hanya digunakan terbatas pada ranah kekeluargaan dan ketetanggaan yang selalu melibatkan sesama masyarakat Samin. Adapun pada ranah yang lain, seperti ranah sosial, pendidikan, dan ranah yang lain,

bahasa Jawa ngoko tidak digunakan lagi dan beralih ke bahasa Jawa

krama.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Raihany (2015) dengan judul ³Pergeseran Penggunaan Bahasa Madura di Kalangan Anak-Anak Sekolah Dasar Negeri di Desa Pangarangan, Kecamatan Kota Sumenep´. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran sedang pada penggunaan bahasa Madura di empat situasi utama ranah pemakaian bahasa Madura di kalangan anak-anak SDN di desa

Pangarangan Kecamatan Kota

Sumenep sebesar 0,47; 0,45; 0,5 dan 0,53.

Kedua penelitian terdahulu tersebut relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti sekarang karena sama-sama meneliti tentang pergeseran bahasa. Perbedaannya adalah terletak pada objek penelitian saja. Mardikantoro menjadikan bahasa Jawa sebagai objek penelitiannya, Raihany menjadikan bahasa Madura sebagai objek penelitiannya, sedangkan peneliti sekarang memilih bahasa masyarakat etnis Tionghoa yang berada di Bima sebagai objek

(5)

35

penelitian karena belum ada penelitian sebelumnya tentang pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan meneliti tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima dan dampak dari pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa dan dampak dari pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima.

2. Kerangka Teori

a. Pergeseran Bahasa (Language Shift)

Bahasa sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Masyarakat yang umumnya dwibahasawan sangat mungkin menciptakan konflik

kebahasaan. Konflik-konflik

kebahasaan ini dapat menimbulkan gejala-gejala kebahasaan, seperti campur kode, alih kode, pergeseran

bahasa, dan bahkan dapat

menyebabkan kepunahan bahasa.

Dalam sosiolinguistik,

pergeseran bahasa merupakan

fenomena yang sangat menarik untuk dibahas. Dalam kenyataan berbahasa, bahasa dapat menggeser bahasa lain. Bahasa yang tergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri, (Sumarsono, 2011). Kondisi tersebut merupakan akibat dari pilihan bahasa masyarakat tutur dalam jangka waktu yang panjang dan bersifat kolektif (dilakukan oleh seluruh masyarakat tutur). Hal ini juga disampaikan oleh Fasold (Suciartini, 2018), bahwa pergeseran dan pemertahanan bahasa ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ia merupakan hasil dari proses pemilihan bahasa

(language choice) dalam jangka waktu yang panjang. Ketika masyarakat memilih bahasa baru di dalam ranah yang semula digunakan bahasa lama, pada saat itu merupakan kemungkinan terjadinya proses pergeseran bahasa. Pergeseran bahasa menunjukkan adanya suatu bahasa yang benar-benar ditinggalkan oleh komunitas penuturnya.

Beberapa kondisi cenderung dihubung-hubungkan dengan per-geseran bahasa. Kondisi yang paling

(6)

kedwibahasaan (bilingualism). Akan tetapi, patut diperhatikan dengan saksama bahwa kedwibahasaan ini bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa. Kedwibahasaan tidak dengan serta-merta menyebabkan pergesaran bahasa, meskipun ini merupakan salah satu syarat terjadinya pergeseran bahasa. Kasus-kasus pergeseran bahasa hampir seluruhnya terjadi melalui alih generasi (intergenerasi). Maksudnya adalah pergeseran bahasa memerlukan waktu lebih dari satu generasi (Suciartini, 2018).

Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Kalau seseorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain dan bercampur dengan mereka, akan terjadilah pergeseran bahasa ini. Pendatang atau kelompok pendatang ini, untuk keperluan komunikasi, mau tidak mau harus

menyesuaikan diri dengan

³PHQDQJJDONDQ´ EDKDVDQ\D VHQGLUL

lalu menggunakan bahasa penduduk setempat (Chaer dan Agustina, 2014). Sejalan dengan hal tersebut, (Sumarsono, 2017), mengatakan bahwa pergeseran bahasa berarti suatu komunitas meninggalkan suatu bahasanya untuk memakai bahasa lain. Pergeseran bahasa sekarang ini semakin sering terjadi. Pemakaian bahasa daerah sebagai penanda identintas semakin berkurang. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari tidak adanya kebanggaan dan kesetiaan masyarakat tutur terhadap bahasanya.

Dari beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa pergeseran bahasa terjadi sebagai akibat perpindahan penduduk serta sikap penutur yang tidak setia dan bangga kepada bahasanya. Dalam hal ini, penutur lebih memilih meninggalkan bahasannya dan beralih menggunakan bahasa lain yang dianggap dapat memberi keuntungan dalam kehidupannya sehari-hari.

Ada banyak faktor yang

menyebabkan pergeseran dan

kepunahan bahasa. Sumarsono dalam (Bramono dan Rahman, 2012)

(7)

37

mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa yaitu: migrasi atau perpindahan penduduk, faktor ekonomi, sosial, dan faktor pendidikan. Migrasi dapat berwujud

dua kemungkinan. Pertama,

kelompok-kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara lain yang tentu saja menyebabkan bahasa mereka tidak berfungsi di daerah yang baru.

Kedua, gelombang besar penutur bahasa bermigrasi membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk, menyebabkan penduduk setempat terpecah dan bahasanya tergeser.

Faktor ekonomi juga

merupakan penyebab pergeseran bahasa. Salah satu faktor ekonomi itu adalah industrialisasi. Selain itu, faktor pendidikan juga menyebabkan pergeseran bahasa ibu murid, karena sekolah biasa mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak. Hal ini menyebabkan anak-anak menjadi dwibahasawan. Padahal,

kedwi-bahasaan mengandung risiko

bergesernya salah satu bahasa. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Holmes dalam (Suandi, 2014), bahwa faktor-faktor yang mendorong

pergeseran bahasa adalah faktor ekonomi, migrasi, dan sekolah/ pendidikan.

b. Pemertahanan Bahasa

(Language Maintenance)

1) Dampak Pergeseran Bahasa

Peristiwa pergeseran bahasa bisa saja terjadi di mana-mana karena arus mobilitas penduduk dunia berkembang di samping karena fungsi

suatu bahasa dirasa lebih

menguntungkan sebagai sarana berkomunikasi/sarana mencari nafkah maupun sebagai alat integrasi suatu masyarakat/bangsa. Dampak terburuk yang bisa ditimbulkan dari pergeseran bahasa adalah kematian bahasa atau

punahnya bahasa (language

death/language loss), bahkan bisa menyebabkan kematian budaya masyarakat tertentu.

Menurut Krauss dalam

(Ibrahim, 2011), ada tiga sebab utama kepunahan bahasa, yaitu (1) karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak serta tidak lagi menggunakannya di rumah; (2) pilihan sebagian masyarakat tutur untuk tidak menggunakannya dalam ranah komunikasi sehari-hari; dan (3)

(8)

tekanan sebuah bahasa mayoritas dalam masyarakat tutur multilingual.

Sebab pertama dan kedua terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa (language maintenance) masyarakat tuturnya. Jika pilihan untuk tidak menggunakan dan kebiasaan orang tua untuk tidak mewariskan bahasa ibu kepada anak-anaknya lemah, gerak menuju kepunahan akan lebih cepat lagi. Sebaliknya, bahasa-bahasa yang penuturnya memiliki pemertahanan bahasa yang kuat memiliki vitalitas hidup yang kuat pula. Selain itu, sebab ketiga terkait dengan dominasi komunikasi dalam mobilitas sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan kekuasaan secara politis memaksa kelompok penutur bahasa minoritas mau tidak mau harus melakukan penyesuaian sosial agar menjadi bagian penting dalam proses kemajuan masyarakatnya. Mekanisme pe-nyesuaian ini tidak hanya membuat

penutur bahasa minoritas

meninggalkan wilayahnya, tetapi juga meninggalkan bahasa ibunya.

Ada beberapa cara atau gejala yang menunjukkan terjadinya kepunahan atau kematian suatu

bahasa, yaitu (1) penutur yang semakin sedikit; (2) domain-domain penggunaan bahasa tersebut yang semakin sedikit; dan (3) terjadi penyederhanaan secara struktural dalam bahasa tersebut. Crystal dalam (Sobarna, 2017) menyebutkan beberapa kategori bahasa. Salah satunya merupakan ciri dari bahasa yang terancam punah/mati yang sering disebut endangered language. Ketiga kategori bahasa tersebut adalah (1)

moribund, bahasa yang tidak lagi dipelajari sebagai bahasa ibu oleh anak-anak; (2) endangered, bahasa yang akan berhenti dipelajari oleh anak-anak dalam kurun waktu yang tidak lama, jika tidak ada upaya pemertahanan; dan (3) safe, bahasa yang mendapat dukungan dari negara/sebagai bahasa resmi dan digunakan secara luas oleh penuturnya.

2) Pemertahanan Bahasa Melalui Sikap Bahasa

Ketika berbicara tentang pemertahanan bahasa, kita tidak lepas dari sikap terhadap bahasa atau sikap bahasa (language attitude). Sikap tersebut bisa positif dan bisa negatif.

(9)

39

pemertahanan bahasa tidak hanya mencakup sikap seseorang/individu terhadap bahasa, tetapi juga mencakup sikap masyarakat secara umum, pemerintah, para ahli/peneliti bahasa, dan masyarakat dunia. Bisa diasumsikan bahwa suatu bahasa yang digunakan/dimiliki oleh sekelompok

masyarakat pendatang dapat

dipertahankan sebagai alat komunikasi jika kelompok tersebut memiliki sikap positif terhadap bahasanya atau

masyarakat yang didatangi

memberikan sikap positif dalam arti memberikan nilai positif atau keuntungan bagi mereka. Jika tidak, kemungkinan besar bahasa tersebut akan hilang dengan cepat.

Garvin dan Mathiot dalam (Chaer dan Agustina, 2014) menjelaskan bahwa sikap positif yang

diperlukan dalam untuk

mempertahankan suatu bahasa mencakup: (1) kesetiaan bahasa (language loyalty), (2) kebangaan bahasa (language pride), dan (3) kesadaran adanya norma bahasa (awerness of the norm).

3. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa dan dampak dari pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima (Mahsun, 2012). Data penelitian ini adalah data berupa bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Bima ketika berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya maupun dengan keluarga di rumah. Sumber data penelitian ini adalah masyarakat etnis Tionghoa yang menetap di Bima. Peneliti menjadikan masyarakat etnis Tionghoa sebagai sumber data penelitian karena banyak ditemukan masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Bima sudah tidak setia terhadap bahasa ibunya (B1) dan memilih menggunakan bahasa Bima untuk

memudahkan mereka dalam

berinteraksi dan bergaul dengan masyarakat setempat.

Pengumpulan data dilakukan

dengan menggunakan teknik

perekaman, observasi, dan wawancara (Mahsun, 2012). Teknik perekaman digunakan oleh peneliti untuk

(10)

merekam interaksi masyarakat etnis Tionghoa di Bima. Teknik perekaman peneliti gunakan juga ketika mewawancarai narasumber agar semua hasil wawancara tersimpan dengan baik. Kemudian, hasil rekaman tersebut akan disalin dalam bentuk tulisan.

Teknik observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengamati kegiatan interaksi masyarakat etnis Tionghoa, mengumpulkan informasi-informasi penting berupa fenomena kebahasaan yang sering muncul, mengamati gejala gejala terjadinya pergeseran bahasa, dan dampak yang bisa ditimbulkan dari bergesernya bahasa ibu. Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data yang tidak terekam dengan tape recorder dan tidak teramati atau tidak tercatat saat observasi. Teknik wawancara yang peneliti lakukan berupa pengajuan pertanyaan yang bersifat konfirmasi kepada narasumber yang beretnis Tionghoa, misalnya terkait bahasa yang sering digunakan di luar, bahasa sehari-hari di rumah, bahasa ibu (B1) masih digunakan atau tidak dan sebagainya, alasan bahasa

ibu tidak digunakan lagi dan sebagainya.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu: (1) peneliti mengumpulkan semua data-data, baik data tertulis maupun data hasil rekaman yang diperoleh dilapangan; (2) peneliti mereduksi data penelitian, yaitu menggolongkan data-data hasil penelitian dan membuang data-data yang tidak diperlukan; (3) data-data yang sudah dipilih dan digolongkan kemudian disajikan ke dalam laporan hasil penelitian; dan (4) berdasarkan data hasil penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan hasil penelitian yang telah dilakukan.

4. Pembahasan

Pembahasan hasil penelitian diuraikan sesuai dengan masalah yang ditentukan. Permasalahan yang dimaksud adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa dan dampak dari pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima.

(11)

41 4.1 Faktor-faktor Terjadinya

Pergeseran Bahasa

Masyarakat Etnis Tionghoa di Bima

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima ada tiga. Ketiga faktor tersebut adalah faktor migrasi, faktor sosial, dan faktor ekonomi. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Holmes dalam (Suandi, 2014) yang mengatakan bahwa faktor-faktor pendorong pergeseran bahasa adalah faktor ekonomi, sosial, politik, demografis, perilaku, dan migrasi.

a. Faktor Migrasi

Berdasarkan hasil penelitian, faktor migrasi atau perpindahan penduduk merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima. Hal tersebut dapat dilihat pada data berikut.

1) A: Dari mana, Pak? B: Pulang dari pasar, Koh.

2) A: 0DL QDJDKD IR¶R. (Ayo

makan mangga)

B: :DWL FD¶XNX. (Nggak mau)

Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat etnis Tionghoa menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Bima ketika berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Hal tersebut terjadi karena bahasa ibu mereka tidak dapat berfungsi di daerah tempat tinggal yang baru.

Sebagai solusi agar bisa terus

hidup berdampingan dengan

masyarakat Bima, masyarakat etnis Tionghoa mau tidak mau harus mempelajari bahasa masyarakat di lingkungan tersebut. Akhirnya, dalam berinteraksi sehari-hari, mereka pun hampir tidak pernah lagi menggunakan bahasa ibunya. Lambat laun, tanpa mereka sadari bahasa ibunya sudah digeserkan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Bima.

b. Faktor Sosial

Selain faktor migrasi, faktor sosial juga dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat etnis Tionghoa di Bima memandang sangat perlu untuk mempelajari bahasa kedua. Dalam hal ini, bahasa yang perlu mereka pelajari

(12)

adalah bahasa yang hidup dan dipergunakan oleh masyarakat Bima.

Ketika berinteraksi dengan masyarakat setempat, masyarakat etnis Tionghoa selalu menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Bima secara berselang-seling. Bahasa ibu mereka bahkan sudah tidak terdengar lagi. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan status sosialnya dan memperlancar kegiatan sosialnya di tengah masyarakat. Sebab, jika mereka tidak mempelajari bahasa masyarakat daerah tempat mereka

tinggal dan lebih memilih

mempertahankan bahasa asalnya, secara tidak langsung mereka akan terisolasi dari pergaulan dan kehidupan sosial bermasyarakat di Bima.

c. Faktor Ekonomi

Pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi.

Masyarakat memandang bahwa

mempelajari bahasa kedua sangat penting. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan ekonomi. Berikut ini adalah data yang ditemukan di lapangan.

Data 1

A: Ko, dompet ini berapa? B: Model yang itu 45 ribu aja. A: Tiga lima aja, Ko.

B: Belum dapat untungnya (sambil tersenyum dan memperlihatkan ekspresi sedih).

Data 2

A: Weli au? (Beli apa?) B: Weli rongko (Beli rokok).

Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa dalam bidang perdagangan pun, masyarakat etnis

Tionghoa di Bima memilih

menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Bima. Hal tersebut dilakukan

karena mereka menganggap bahwa kedua bahasa tersebut mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa ibu mereka. Artinya, bahasa ibu (B1) tidak dipandang perlu dalam bidang

(13)

43

perdagangan, sebab tidak dapat menarik minat para pembeli. Tanpa mereka sadari, bahasa ibu mereka sudah digeserkan posisinya oleh bahasa lain.

4.2 Dampak Pergeseran Bahasa Masyarakat Etnis Tionghoa di Bima

Berdasarkan hasil penelitian, pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari pergeseran bahasa

yang dirasakan etnis Tionghoa yaitu 1) mempermudah masyarakat etnis

Tionghoa berkomunikasi dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka yang baru; 2) meningkatkan status sosial; dan 3) memberikan keuntungan sebagai sarana mencari nafkah/ meningkatkan nilai ekonomi.

Selain itu, dampak negatif yang ditimbulkan dari pergeseran bahasa adalah jumlah penutur semakin berkurang atau bahkan tidak ada,

sehingga dapat menyebabkan

terjadinya kematian bahasa atau

punahnya bahasa (language

death/language loss). Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh

Krauss dalam (Ibrahim, 2011). Namun, pergeseran bahasa yang terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa yang berada di Bima tersebut tidak sampai menyebabkan punahnya bahasa ibu. Hal tersebut disebabkan pergeseran bahasa itu berlangsung bukan di tempat bahasa ibu (B1) digunakan. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Chaer dan Agustina (2014).

5. Penutup

Faktor-faktor penyebab

terjadinya pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima adalah faktor migrasi, faktor sosial, dan faktor ekonomi. Dampak pergeseran bahasa masyarakat etnis Tionghoa di Bima ada dua, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya yaitu 1) mempermudah masyarakat etnis Tionghoa berkomunikasi dengan masyarakat dilingkungan tempat tinggal mereka yang baru; 2) meningkatkan status sosial; dan 3) memberikan keuntungan sebagai sarana mencari nafkah/ meningkatkan nilai ekonomi. Dampak negatif atau dampak terburuk dari pergeseran

(14)

bahasa adalah dapat membuat bahasa ibu mereka mengalami kematian atau kepunahan (language death/language loss). Namun, pergeseran bahasa yang terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa tersebut tidak sampai

menyebabkan punahnya bahasa ibu. Hal tersebut disebabkan pergeseran bahasa itu berlangsung bukan di tempat bahasa ibu (B1) digunakan.

Daftar Pustaka

Bramono, Nurdin dan Mifta Rahman. (2012). Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa. Jurnal Diglossia Vol 4, No 1, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2014). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Diani, Irma. (2016). Berbagai Faktor

Penyebab Pergeseran

Penggunaan Bahasa Serawai.

Daun Lontar, Tahun ke-3, Nomor 3.

Ernawati, Nini. (2018). ³Penggunaan Ragam Bahasa Register Niaga Penjual Etnis Tionghoa dalam Interaksi Jual-Beli di Pasar Bima´. Makassar: Tesis Universitas Negeri Makassar. Ibrahim, Gufran Ali. (2011). Bahasa

Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan

Strategi Perawatanya.

Linguistik Indonesia, 35²52, Tahun Ke-29, No. 1.

Mahsun. (2012). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Press.

Mardikantoro, Hari Bakti. (2012). Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin. Dalam Ranah Keluarga. Litera, volume 11, nomor 2.

Raihany, Afifah. (2015). Pergeseran Penggunaan Bahasa Madura di Kalangan Anak-Anak Sekolah

Dasar Negeri di Desa

Pangarangan Kecamatan Kota Sumenep. Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam, 53--84. Sobarna, Cece. (2017. Bahasa Sunda

Sudah di Ambang Pintu Kematiankah?. Jurnal Makara Seri Sosial Humaniora, 13²

17, Vol. 11 no. 1.

Suandi, I Nengah. (2014).

Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suciartini, Ni Nyoman Ayu. (2018). Pemertahanan Bahasa Bali dDODP 3DURGL ³+DL 3XMD´ Sirok Bastra, Vol. 6 No. 1, 51²65. Sumarsono. (2017). Sosiolinguistik.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Eventually, this report is to fulfill the requirement of final report subject at State Polytechnic of Sriwijaya, which is entitled “Designing Bejajan Pagi Morning

Berdasarkan hasil pengukuran zona hambat terhadap ke-tiga bakteri uji Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio cholera , semua isolat probiotik B, C, G, dan

[r]

aset tidak berwujud dengan komponen modal manusia, modal inovasi, modal pelanggan, keunggulan bersaing dan kinerja keuangan pada usaha komoditas Sapi, Jagung dan

Makmur, Tbk dalam waktu 5 tahun terakhir dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 menghasilkan nilai rata-rata ROE sebesar 0,16 dengan pertumbuhan delta rata-rata ROE

program KB di tingkat kecamatan dan desa yang dilaksanakan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan Pengendalian Program Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB)

Dengan demikian, kepuasan memang menjadi variabel yang sangat penting untuk mengukur pemasaran pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan hasil akhir dari pelayanan yang

Dengan data sebesar itu, waktu yang diperlukan oleh Scibun untuk menggambar peta sangat lama, bisa lebih dari 10 detik.Oleh karena itu, perlu dilakukan