ABSTRAK
Muslihudin. (2014). 0800845. Pengembangan Model Pembelajaran untuk Penguatan
Kesadaran Moral Spiritual Murid Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya problem kebermaknaan pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam sejatinya mengembangkan secara bertahap tugas-tugas perkembangan agama anak terutama aspek kesadaran moral-spiritual anak. Faktanya pengelolaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam belum menggiring kepada tujuan perkembangan keagamaan anak karena dikelola sebagai kegiatan resitasi dan rote learning yang hanya membidik perkembangan kognisi anak dalam tingkat rendah. Pendidikan agama Islam memerlukan pendekatan yang mengakomodasi secara bersama-sama seluruh tugas perkembangan; spiritual, emosional, intelektual, sosial dan bahkan fisikal. Model pembelajaran untuk penguatan kesadaran moral spiritual (model PKMS) diduga kuat dapat menjadi alternatif pembelajaran pendidikan agama Islam. Bagaimana model PKMS dikembangkan dan seberapa efektif model tersebut dan relevansinya terhadap penguatan kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar merupakan permasalahan yang dibidik dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk penguatan kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar yang ujungnya dapat memperkokoh tugas perkembangan keagamaan anak. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan. Langkah-langkahnya meliputi (a) penelitian pendahuluan untuk mengidentifikasi kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran PAI dan mempotret resepsi murid terhadap proses pembelajaran PAI, (b) hasil penelitian pendahuluan dijadikan dasar untuk mengembangkan model pembelajaran PAI yang dipadukan dengan fondasi teoritik-normatif yang telah ditemukan untuk kemudian diujicobakan secara bertahap sehingga mencapai model yang kokoh, (c) model akhir divalidasi melalui serangkaian eksperimen untuk memperoleh tingkat kebermaknaan model. Uji coba dilakukan secara terbatas dan dilanjutkan dengan uji coba luas yang melibatkan tiga sekolah. Sedangkan uji validasi dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yang melibatkan tiga SD sebagai kelompok eksperimen (SD-KE) yang mengimplementasikan model PKMS, dan tiga buah SD sebagai kelompok kontrol (SD-KK) yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil uji validasi diperoleh temuan kebermaknaan model untuk penguatan kesadaran moral spiritual murid dibanding hasil pretest (∞ ≤ 0.05) dan hasil kelompok kontrol (∞ ≤ 0.05). Temuan ini mengindikasikan bahwa model pembelajaran PKMS efektif untuk memberikan penguatan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar, relevan dipergunakan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, memiliki organisasi pembelajaran yang kokoh dan dapat meningkatkan kinerja guru pendidikan agama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa model PKMS efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pendidikan agama Islam. Hasil penelitian dan ini berimplikasi secara praktis pada peningkatan kemampuan kinerja guru PAI terutama kemampuan mengelola pembelajaran yang lebih terpola, sedangkan secara teoritis model PKMS mendalilkan bahwa pembelajaran agama Islam akan lebih bermakna jika dilaksanakan dengan proses yang mensinergikan kegiatan pengembangan spiritual knowing,
moral-spiritual feeling, dan moral-moral-spiritual action serta dilaksanakan dengan pola yang
ABSTRACT
Muslihudin. (2014). 0800845. Developing Model of Instruction to Increase
Moral-Spiritual Awareness of Elementary Children in The Education of Islamic Material.
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN
UNTUK PENGUATAN KESADARAN MORAL SPIRITUAL
MURID SEKOLAH DASAR
PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat
untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan
Program Studi Pengembangan Kurikulum
Promovendus
MUSLIHUDIN
NIM: 0800845
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM
SEKOLAH PASCA SARJANA
=============================================================
Pengembangan Model Pembelajaran
Untuk Penguatan Kesadaran Moral- Spiritual
Murid Sekolah Dasar Pada Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam
Oleh Muslihudin
S.Ag. IAID Ciamis, 1994
M.Ag. in Islamic Education, IAIN SGD Bandung 2003
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pengembangan Kurikulum
© Muslihudin 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Februari 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI:
Promotor Merangkap Ketua
Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd.
Kopromotor Merangkap Sekretaris
Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.
Anggota
Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul
“PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENGUATAN
KESADARAN MORAL SPIRITUAL MURID SEKOLAH DASAR PADA MATA
PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” ini dan seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau
pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku
dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut, saya siap menanggung
resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudian hari ditemukan adanya
pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak
lain terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, 02 Januari 2014 Yang membuat pernyataan,
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ………....……….. i
Lembar Pernyataan ……….………. ii
Kata Pengantar ………... iii
Ucapan Terimakasih ……….………... v
Abstrak ………..………... ix
Daftar Isi ...………... xi
Daftar Tabel …………..………... xv
Daftar Gambar …….………. xviii
Daftar Lampiran ………... xx
BAB I PENDAHULUAN Hal. A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Identifikasi Masalah ……….. 9
C. Perumusan Masalah ………….………. 11
D. Tujuan Penelitian ……….. 13
E. Manfaat Penelitian ………..….. 14
F. Struktur Organisasi Disertasi ……… 15
BAB II LANDASAN TEORI A. Model Pembelajaran 1. Hakekat Model Pembelajaran ……… 17
2. Model-Model Pembelajaran Moral-Spiritual ………. 20
B. Kesadaran Moral Spiritual 1. Hakikat Kesadaran Moral Spiritual ……… 25
2. Pendidikan Agama Islam untuk Penguatan Kesadaran Moral Spiritual (PKMS) ………. 36
3. Pendidikan Agama dan Perkembangan Kesadaran Moral Spiritual Usia Sekolah Dasar ……….. 44
4. Elemen Kesadaran Moral-Spiritual Murid Sekolah Dasar ……….. 57
C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah
Dasar
1. Landasan Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar …….. 74
2. Tujuan Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ……….. 90
3. Materi Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ………... 97
4. Guru dan Cara Mengajar ……… 99
5. Murid dan Cara Belajar ……….. 102
6. Pengelolaan Sumber dan Media Pembelajaran PAI … 107 7. Pengelolaan Lingkungan Pembelajaran PAI ……… 110
D. Kerangka Berfikir Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar 1. Dasar Teoritik Pengembangan Model ..……….. 114
2. Dasar Normatif Pengembangan Model ………. 119
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ……… 126
B. Metode dan Desain Penelitian ……… 128
C. Definisi Operasional ……….. 132
D. Pengembangan Instrumen Penelitian ……….. 133
E. Analisi Data ………. 140
F. Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian ……….. 143
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Pendahuluan 1. Profil Guru Pendidikan Agama Islam ……….. 148
2. Keterampilan Guru PAI Mengelola Pembelajaran di Sekolah Dasar ……….. 149
3. Keterampilan Guru Mengelola Materi PAI SD ……… 152
4. Persepsi Murid Terhadap Proses Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ………... 158
5. Moral-Spiritual Assessment Inventory Murid SD …… 164
2. Model Konseptual dan Artikulasinya ke dalam Desain
Pembelajaran ……… 174
C. Kegiatan Uji Efektifitas Model
1. Analisi Standar Isi dan SK-KD PAI SD Kelas 5……… 181
2. Implementasi Model Pembelajaran PKMS yang
Dikembangkan dalam Uji Coba Terbatas ………. 187
3. Hasil Uji Coba Dalam Skala Terbatas ……….. 211
a. Efektifitas Model Terhadap Pemahaman dan
Penguatan Kadar Moral Spiritual ……… 211
b. Kemampuan Guru yang Dituntut dalam
Pembelajaran PAI dengan Model PKMS di SD ….. 216
c. Minat dan Motivasi Belajar Murid ………. 225
d. Sarana, Fasilitas dan Sumber Belajar yang
Diperlukan dalam Implemenetasi Model ………… 227
e. Re-skenario Model Hasil Uji Coba Terbatas …….. 228
4. Hasil Uji Coba Pengembangan Model Skala Luas …... 231
a. Implementasi Model PKMS dalam Skala Luas ….. 231
b. Efektifitas Model Terhadap Penguatan Kesadaran
Moral Spiritual dalam Skala Luas ………. 247
c. Model Akhir Pembelajara PAI untuk Penguatan
Kesadaran Moral-Spiritual (PKMS) ……….. 260
D. Uji Validasi Model PKMS ………. 265
1. Dampak Model PKMS Terhadap Penguatan
Kesadaran Moral Spiritual Murid SD Kelas 5………. 266
a. Perbedaan Rata-Rata Posttest SD Eksperimen….. 268
b. Perbedaan Rata-Rata Posttest Kelompok SD
Eksperimen dengan Kelompok SD Kontrol……... 269
c. Perbedaan Rata-Rata Posttest SDE-1 dengan
SDK-1………. 271
d. Perbedaan Rata-Rata Posttest SDE-2 dengan
SDK-2 ……… 272
SDK-3 ………... 274
2. Interaksi Model ………... 275
E. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Desain Model Pembelajaran PAI untuk Penguatan Kesadaran Moral Spiritual Murid di SD … 282 2. Implementasi Model Pembelajaran PKMS pada Kurikulum PAI di SD ………. 291
3. Relevansi Model Pembelajaran PKMS dengan Posisi Strategis Pembelajaran PAI di SD ……… 298
4. Evaluasi Dalam Model Pembelajaran PKMS ……... 306
5. Efektifitas dan Kinerja Model Pembelajaran Penguatan Kesadaran Moral Spiritual ……….... 307
6. Kelebihan dan Kelemahan Model PKMS …………... 312
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan Hasil Penelitian ……….. 316
B. Implikasi Hasil Penelitian ………... 324
C. Rekomendasi ……….. 328
DAFTAR RUJUKAN……….. 331
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………. 340
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pertama ini pembahasan difokuskan pada; (1) latar belakang masalah,
(2) identifikasi masalah, (3) perumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (4) manfaat
penelitian, (5) struktur dan organisasi disertasi.
A. Latar Belakang Masalah 1. Urgensi Pendidikan Agama
Secara spesifik, kata al-din menunjuk pada pesan (risalah) yang dibawa
para nabi, termasuk Nabi Muhammad (Sachiko Murata, 2005:xxxix). Dalam
konteks risalah Muhammad, al-Qur`an menggunakan kata ad-din untuk
serangkaian peraturan dan perundang-undangan, atau sekumpulan norma bagi
aktifitas yang benar yang telah Allah sempurnakan untuk umat Muhammad (QS.
5:3). Agama yang sempurna ini jika dirujuk kepada dialog Jibril dengan
Muhammad memiliki tiga unsur yaitu; unsur ritual Islam (berisi rukun Islam),
unsur keyakinan (iman dan rukun keimanan) dan unsur moral-spiritual agama
(ihsan) (Al-Asqallany 2000, Juz 1: 157).
Pendidikan dan pembelajaran agama dengan merujuk kepada pengertian
agama (al-din) seperti yang telah dikemukakan di atas adalah proses ganda;
bagian pertama adalah proses yang melibatkan masuknya unit-unit makna suatu
objek pengetahuan agama ke dalam jiwa seseorang (hushul), dan yang kedua
melibatkan sampainya jiwa (wushul) pada unit-unit makna tersebut yang
selanjutnya terartikulasi dalam hidup seseorang (Nor Wan Daud, 2003: 256).
Sedangkan menurut an-Nahlawy pendidikan agama Islam adalah pengembangan
pikiran manusia dan penataan tingkah laku serta emosinya berdasarkan agama
Islam, dengan maksud merealisasikan tujuan Islam dalam kehidupan individu dan
masyarakat dalam seluruh lapangan kehidupan (Abdurrahman an-Nahlawi,
1996:49).
Pendidikan agama berusaha mengembangkan potensi kebaikan alamiah
yang dimiliki manusia. Banyak agama yang mendukung pandangan bahwa
manusia memiliki hati nurani moral yang inheren dan bersifat bawaan, yang
merupakan bagian dari fitrah manusia (religio naturalis). Manusia dipandang
memiliki moral bawaan ini (Fareed Ahmad, 2008:270). Misalnya dikatakan
bahwa setiap manusia yang waras mengetahui secara intuitif bahwa membunuh
anak-anak tak berdosa adalah perbuatan salah. Setiap orang menyadari bahwa
ketika seseorang melakukan perbuatan salah, akan timbul perasaan bersalah atau
rasa bertanggung jawab.
Untuk mengembalikan manusia terhadap potensi kebaikan yang bersifat
bawaan ini dilakukan dengan mengembangkan kesadaran beragama; suatu
kesadaran untuk mengakui keberadaan Tuhan, pengabdian terhadap Tuhan,
asal-usul manusia, hakekat kehidupan manusia, tujuan kehidupan manusia, dan
kematian serta hidup setelah mati (Qardlawi, 1988:14). Kesadaran beragama
dapat memperkokoh landasan peradaban yang bermoral bagi umat manusia. Ia
dapat membangun standar mengenai apa yang dipandang 'benar' dan 'salah'
(standar moral).
Kesadaran beragama menjadi bagian dari kesadaran spiritual manusia
sebab seperti dikemukakan Burke (2005:5) "the term religion and spiritual are
interrelated" meskipun pada saat yang sama bisa dibedakan. Agama berbicara
tentang system keyakinan, peribadahan dan system nilai, sedangkan spiritual
adalah "a way of being in the world that acknowledges the existence of and the
desire to be in relationship with a trancendent dimension of God" atau dalam
definisi lain "…concern with or affecting the soul in relation to God".
Kecenderungan spiritual (spiritual tendency) ini menggerakan keyakinan
seseorang pada pengetahuan, harapan, cinta, transendensi, hubungan, rasa
kasihan, termasuk pengembangan sistem nilai (system moral). (Burke, 2005:5).
Dengan demikian terdapat sinergi yang kuat antara agama, spiritualitas dan
moralitas.
Kesadaran beragama mendapat persemaiannya dalam ranah filsafat
religious humanism sekaligus menjadi energi baru urgensi pendidikan agama.
Religious humanism yang di definisikan sebagai "an integration of humanist
ethical philosophy with religious rituals and beliefs that center on human needs,
interests, and abilities (Wikipedia)" memberikan ruang memadai terhadap geliat
peran agama bagi manusia. Istilah religious humanism dalam pendidikan
Kecenderungan untuk kembali membangun komitment intelektual terhadap nilai
moral agama menjadi salah satu dasar filsafat ini. Atau meminjam istilah Power
(1982: 112) sebagai "exercise of human moral conduct while consistently
maintaining an intellectual commitment to revealed religion".
Dalam konteks pendidikan, religious humanism menekankan pentingnya
pembelajaran disiplin ilmu disamping menggiring kepada pengembangan moral
sebagai hasil penting proses pembelajaran. Filsafat pendidikan ini menempatkan
murid sebagai pusat proses pendidikan dan pembelajaran. Murid adalah agen
utama pembelajaran bukan guru. Religious humanism tidak dapat menerima dan
mentolelir intelectual subjectivism dan moral relativism. Tujuan pengelolaan
pengajaran adalah menciptakan dan menggiring kondisi yang layak untuk belajar,
dan kurikulum dibuat dengan menseleksi pengalaman manusia secara hati-hati
dan bermanfaat (Power, 1982: 117).
Religious humanism menginspirasi kecenderungan menguatnya agama
(religious resurgence) sebagi pola baru peradaban manusia modern. Krisis
kemanusiaan yang menghiasi latar peradaban yang dibangun atas pandangan
positivistik telah menggiring kepada kesadaran baru yang lebih religious. Hal ini
di tandai dengan perubahan paradigmatik peradaban yang merujuk kepada
persoalan makna dan hakekat hidup manusia. Kajian yang mengkaitkan agama
dengan berbagai varian disiplin ilmu pengetahuan nampak menggeliat. John
Schmaizbauer dan Kathleen A. Mahoney (2008) dalam tulisannya berjudul
American Scholars Return to Studying Religion menegaskan bahwa saat ini terjadi
apa yang disebut oleh John dan Kathleen sebagai the resurgence of religion and
spirituality di sejumlah fakultas di Amerika. Senada dengan Schmaizbauer, John
L. Esposito (2003: 156) menyatakan bahwa kebangkitan agama yang mengglobal
pada akhir abad ke 20 telah mengarahkan para presiden, pemimpin perusahaan,
ilmuwan, para profesional untuk melakukan perubahan haluan yang luas, mereka
dengan bebas mendiskusikan keyakinan dan moralitas mereka di media.
Munculnya kecenderungan religious resurgence patut diduga karena saat
ini peradaban manusia dihadapkan pada problem moralitas dan spiritualitas
(Smith, 2005). Problem moralitas dan problem spiritualitas menjadi isu penting
248-249). Hal senada juga dilansir oleh Ahmad Tafsir dengan mengutip sejumlah fakta
yang dikemukakan oleh Capra (lihat Ahmad Tafsir, 2006: 65-68).
Posisi Islam dalam hal ini menjadi strategis. Pandangan hidup Islam dapat
menjadi pilar terbentuknya peradaban yang bermoral. Untuk menjadikan Islam
sebagai pilar peradaban umat manusia memerlukan proses pendidikan agama
Islam yang baik yang dapat mengembalikan fungsi nilai-nilai dan spirit agama
sebagai landasan moral dan etika peradaban, sehingga secara nyata kehadiran
agama dapat di rasakan manfaatnya oleh segenap umat manusia. Proses
pendidikan agama yang baik adalah yang dirancang tidak hanya untuk
mewariskan dan memelihara (conserving) nilai-nilai agama tetapi memberikan
dampak perubahan nyata (transforming) dalam kehidupan beragama.
2. Amanah Yuridis Pendidikan Agama
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Fungsinya sesuai dengan pasal 3 UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi murid
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Definisi pendidikan yang dikemukakan undang-undang seperti tersaji di
atas mengandung sejumlah konsep kunci yang relevan dalam konteks pendidikan
agama yaitu; kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
akhlak mulia. Disamping itu merujuk pada pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas tercantum pula tiga buah konsep esensial (core) tujuan
pendidikan nasional yang meliputi; iman, takwa, akhlak mulia yang menjadi
material inti pendidikan agama. Dengan demikian sejatinya pendidikan agama
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007
Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 disebutkan bahwa Pendidikan Agama adalah
”pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian,
dan keterampilan murid dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan”. Selanjutnya dalam BAB II PENDIDIKAN AGAMA Pasal 2 berkait dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Agama dijelaskan bahwa
"Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu
menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.
Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan murid dalam
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan
penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni".
Dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun
2007, pada ayat 5 sampai 7 berturut-turut di sebutkan lebih rinci mengenai tujuan
kognitif, afektif dan psikomotorik pendidikan agama serta pendekatan yang perlu
dikembangkan yaitu; Pendidikan agama membangun sikap mental murid untuk
bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya
diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab; Pendidikan agama
menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong
murid untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, dan/atau olahraga; Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian,
serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
Mencermati konsep pendidikan agama yang dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah No. 55 Tahun 2007, dapat diidentifikasi aspek-aspek philosopical
Tabel 1.1 Fungsi, tujuan dan pendekatan penyelenggeraan pendidikan agama seperti tercantum dalam PP No. 55 tahun 2007.
Fungsi dan Tujuan Pend.
semangat untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih bermakna.
Penyelenggaraannya wajib dilaksanakan pada setiap jalur, jenjang dan jenis
pendidikan seperti yang diamanatkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas pada Bab X tentang Kurikulum pasal 36-37. Dalam hal ini setiap
jenjang pendidikan mengalokasikan setidaknya 2-3 jam pelajaran sebagaimana
diatur oleh Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Merujuk pada hasil kajian terhadap kebijakan kurikulum mata pelajaran
agama yang dilakukan oleh Departemen Agama bersama Lembaga Agama terkait
diperoleh rekomendasi bahwa pelaksanaan kurikulum pendidikan agama perlu
memperhatikan dan mengedepankan akhlak mulia (Depdiknas, 2007). Disamping
itu pendidikan agama perlu dioptimalkan pada setiap jenjang pendidikan, baik
dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Pada jenjang pendidikan dasar, proses
penyelenggaraan pendidikan agama dinilai sangat strategis karena pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah (pasal 17, UU No. 20 Tahun 2003).
3. Pendidikan Agama Islam dan Krisis Moral Spiritual Remaja
Saat ini terdapat jarak yang sangat lebar antara agama sebagai sistem nilai
Kecenderungan euphoria beragama terutama melalui berbagai kegiatan apresiasi
yang bersifat simbolik marak dimana-mana, namun pada saat yang sama
penyimpangan ajaran agama dengan berbagai pelanggaran moral spiritual juga
semakin marak bahkan dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Setiap hari
masyarakat disajikan tayangan berbagai kejahatan moral dan kemanusiaan baik
melalui televisi maupun media cetak. Kejahatan tersebut dilakukan oleh semua
tingkatan usia; orang dewasa sampai anak-anak.
Krisis moral-spiritual remaja kecenderungannya semakin meningkat serta
hadir dalam berbagai bentuk. Hasil-hasil penelitian serta ragam prilaku
menyimpang remaja (tawuran, free sex, penyalahgunaan obat terlarang, tindakan
kriminal) yang tersaji setiap hari baik di media cetak dan media elektronik
menunjukan kecenderungan krisis yang semakin meningkat dan bersifat masif.
(Djayadi Hanan, 2002:185; Bashori Muchsin, dkk. 2010: 63; Syamsu Yusuf,
2009:32-33; 2010:31).
Banyak faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab merosotnya
moral spiritual remaja saat ini. Pola asuh yang kurang baik di ruang domestik,
ditambah dengan lingkungan sosial yang tidak ramah, akses terhadap media
informasi dan teknologi yang tidak terkendali menjadi penyebab krisis moral di
masyarakat dan prilaku yang tidak sehat di kalangan remaja dan anak-anak yang
antara lain ditandai maraknya dekadensi moral, prilaku melawan hukum, norma
agama dan sosial; penyalahgunaan narkoba, minuman keras, pronografi, prilaku
seks bebas dan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak remaja, serta budaya
materialisme dan konsumerisme di kalangan masyarakat dan remaja (Syamsu
Yusuf, 2007: 15).
Faktor lain adalah kurangnya kebermaknaan pendidikan agama di tingkat
dasar. Pendidikan agama belum secara konsisten menggiring kepada peningkatan
perkembangan agama anak. Dalam konteks pendidikan agama Islam di sekolah
dasar, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis, telah
ditemukan bahwa pada anak-anak SD kelas 5 di sejumlah sekolah sampel untuk
keterampilan menjalankan agama, keterampilan berprilaku santun, keterampilan
serta kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut nilai-nilai moral dan spiritual masih
belum sesuai dengan harapan.
Prilaku remaja dan anak-anak terhadap media perlu menjadi perhatian.
Sebagai ilustrasi, penelitian AGB Nielsen Media Research (www.agbnielsen.com,
Juni 2011) yang terakhir menunjukkan bahwa dalam enam bulan, jumlah pemirsa
anak (5-14 tahun) meningkat 17%, terutama sejak bulan Februari. Potensi
penonton anak yang sebesar 12% (atau sekitar 1,2 juta anak) di bulan Februari
bertambah menjadi 13,4% (atau sekitar 1,4 juta anak) di bulan Juni seiring
dimulainya liburan sekolah. Bersamaan dengan bertambahnya potensi penonton
anak, jam menonton mereka pun bertambah 24 menit per hari dari rata-rata 4 jam
8 menit di bulan Februari menjadi ratarata 4 jam 32 menit per hari di bulan Juni.
Waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton siaran televisi dalam sepekan
rata-rata 28 hingga 35 jam. Jumlah tersebut lebih besar daripada jam sekolah
anak-anak yang biasanya berlangsung antara pukul 07.00 – 12.00 WIB, dikurangi
waktu istirahat. Masih berdasarkan data Nielsen, sebanyak 21 persen pemirsa TV
adalah anak-anak dengan usia 5-14 tahun. Waktu menonton TV bagi mereka
terutama pada pukul 06.00 – 10.00 dan antara pukul 12.00 – 21.00.Pada jam
tayang utama (18.00 – 21.00) ada sekitar 1,4 juta anak-anak yang menonton TV.
Padahal waktu tersebut seharusnya dipakai untuk belajar di rumah.
Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan sejumlah
dampak berbahaya nonton televisi bagi anak antara lain; berpengaruh terhadap
perkembangan otak, mendorong anak menjadi konsumtif, berpengaruh terhadap
sikap, mengurangi semangat belajar, membentuk pola pikir sederhana,
mengurangi konsentrasi, mengurangi kreativitas, meningkatkan kemungkinan
obesitas (kegemukan), merenggangkan hubungan antar anggota keluarga, matang
secara seksual lebih cepat (www.smallcrab.com, 2011).
Krisis moral spiritual remaja dan anak-anak seperti yang telah
dikemukakan di atas menjadi isu penting dalam konteks optimalisasi pendidikan
agama Islam di Sekolah Dasar. Perlu di sadari bahwa pendidikan agama saat ini
belum mampu berperan secara optimal dalam mengiringi perkembangan moral
spiritual anak-anak dan remaja. Padahal secara psikologis seperti dikemukakan
perkembangan remaja adalah memperoleh kematangan sistem moral untuk
membimbing prilakunya. Sistem moral yang kokoh ini dapat dibangun sejak dini
melalui proses pendidikan agama yang baik. Karena pendidikan agama yang baik
dapat berpengaruh terhadap kualitas kesadaran beragama sebagai dasar untuk
memperkokoh system moral yang dimiliki anak (Syamsu Yusuf, 2009: 17).
Pendidikan agama dapat membangun kesadaran beragama anak yang akan
memperkuat pembentukan dan pengembangan moral yang dimilikinya. Kesadaran
beragama dapat menggiring orientasi moral anak ke arah moral yang baik seiring
dengan perkembangan intelektual dan psikologisnya. Secara teoritik pembentukan
dan pengembangan moral pada anak melalui pendidikan agama akan menggiring
anak (meminjam gagasan Santrock) kepada; moral thought (pengembangan
proses berpikir tentang baik dan buruk), moral feeling (pengembangan sensitifitas
moral), moral behavior (pengembangan prilaku bermoral), dan moral personality
(pengembangan pribadi bermoral) (John W. Santrock, 2007:425).
Senada dengan Syamsu Yusuf, hasil penelitian yang dilakukan oleh
Carolyn McNamara Barry dan Larry J. Nelson (2008) membuktikan bahwa
religious beliefs (keyakinan agama) dan religious practices (pengamalan agama)
memberikan pengaruh terhadap moral. Penelitian yang dilakukan terhadap
sejumlah remaja berusia 18 tahun menyimpulkan bahwa seseorang yang
menempatkan keyakinan agama sebagai bagian penting dalam hidupnya, akan
menempatkan kehidupan bermoral sebagai hal yang penting. Demikian halnya
mereka yang menempatkan pengamalan agama (religious practices) sebagai hal
yang penting menetapkan kehidupan bermoral juga sebagai hal yang penting
(Barry, dkk. 2008:517-518).
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang di muka dapat disimpulkan bahwa merosotnya
kesadaran moral spiritual keagamaan remaja dapat disebabkan oleh berbagai
faktor; 1) di ruang domestik kecenderungan pola pengasuhan yang tidak mendidik
oleh orang tua menjadi salah satu penyebab, misalnya dengan membiarkan anak
menonton televisi tanpa mengenal waktu; 2) lingkungan dimana anak tumbuh dan
berkembang kurang mendukung proses perkembangan moral keagamaan anak,
dalam masyarakat; 3) di sekolah proses pembelajaran pendidikan agama Islam
belum mampu membentuk kesadaran moral dan spiritual keagamaan, proses
pembelajaran belum menggiring pada pengembangan keberagamaaan anak sesuai
dengan tugas perkembangannya. Pembelajaran PAI hanya sebagai kegiatan
resitasi, belum menggiring kepada proses pembelajaran agama yang bermakna.
Pembelajaran pendidikan agama Islam belum artikulatif, ia baru menyentuh
pengetahuan agama anak. Pembelajaran pendidikan agama Islam belum
mengembangkan kesadaran beragama sesuai dengan tugas-tugas perkembangan
agama anak. Sedangkan pendidikan agama yang diperlukan saat ini adalah
pendidikan agama yang bisa mengantarkan murid menjadi being bukan hanya
knowing dan doing (Tafsir, 2006:228). Mengutip pernyataan Patrick Sherry
pendidikan agama yang diperlukan saat ini adalah “learning to be faithful and
religious” (Patrick Sherry, 1974:83). Bukan pendidikan tentang keimanan atau
agama.
Hasil penelitian Interfidei (Institut Dialog Antar Iman) yang berkerjasama
dengan Oslo Coallition Norwegia terhadap praktek pendidikan agama di sekolah
umum tahun 2004-2006 yang meliputi SD, SMP dan SMA di Yogyakarta terdapat
satu temuan bahwa praktek pengajaran agama pada umumnya membosankan.
Temuan senada juga muncul pada hasil penelitian Yusrina (2006:70) yang
menyimpulkan tidak adanya pengaruh signifikan dari praktek pembelajaran
agama terhadap akhlak murid, demikian pula tidak terdapat perbedaan antara
murid yang memiliki nilai tinggi dengan yang rendah dalam mata pelajaran agama
pada prilaku dan akhlak. Dengan demikian alih-alih menggiring murid untuk
mendalami ajaran agama, proses pembelajaran agama justru mengurangi rasa
ketertarikan murid terhadap pelajaran agama.
Disamping itu hasil kajian kebijakan kurikulum pendidikan agama yang
dilakukan oleh Departemen Agama dengan lembaga agama terkait diperoleh
temuan bahwa murid memiliki kemampuan dasar agama yang beragam sehingga
menyulitkan guru dalam mengelola proses pembelajaran (Depdiknas, 2007).
Kesesuaian antara tahap perkembangan murid pada aspek spiritual, intelektual,
emosional, sosial dan fisikal dengan materi serta pendekatan pembelajaran
modalitas belajar murid dan keragaman latar belakang murid baik kemampuan
dasar, sosial, budaya dan ekonomi menjadi salah satu keterampilan yang harus
dimiliki seorang guru.
Dalam pengelolaan materi pendidikan agama Islam, guru dihadapkan pada
masalah bagaimana mendahulukan apa. Hal ini terkait dengan banyaknya
komponen materi pendidikan agama Islam yang harus diberikan kepada murid
yang meliputi aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Masing-masing komponen
terdiri dari beberapa submateri yang harus diajarkan kepada murid dengan
keharusan menjangkau ranah knowing, doing dan lebih penting lagi being (Ahmad
Tafsir, 2006: 228). Dalam hal ini guru pendidikan agama Islam dihadapkan pada
masalah prioritas materi antara mendahulukan penguasaan instrumental agama
(keterampilan membaca al-Qur'an, menghapal ayat al-Qur'an, penguasaan praktek
ibadah) atau menginternalisasikan (meminjam istilah Ahmad Tafsir, 2006: 224)
nilai ajaran moral agama sehingga ajaran moral-spiritual ini being pada diri murid.
Materi pembelajaran agama Islam di sekolah dasar terlalu membebani
murid karena hampir semua aspek materi agama sudah diperkenalkan kepada
murid pada setiap jenjang. Penyajian materi agama dalam buku pelajaran agama
bersifat normatif dekriptif, kurang memberikan kontekstualisasi serta
ilustrasi-ilustrai yang bersifat artikulatif sehingga sangat membosankan dan tidak menarik.
C. Perumusan Masalah
Seperti telah dijelaskan dimuka, banyak faktor yang memberikan kontribusi
pada rendahnya kesadaran moral spiritual murid. Dalam konteks pendidikan
sekolah salah satunya adalah belum optimalnya proses pembelajaran pendidikan
agama Islam di Sekolah Dasar. Berkait dengan pengelolaan proses pembelajaran
pendidikan agama ini mengerucut pada cara mengajar guru, cara mengelola
belajar murid, cara mengelola lingkungan pembelajaran dan cara mengelola
materi pembelajaran dan mengevaluasinya. Empat aspek tersebut tersimpul pada
pentingnya pengembangan model pembelajaran.
Pengembangan model pembelajaran PAI sangat penting karena sejumlah
alasan yaitu; pertama, dampak pembelajaran agama terhadap perkembangan
moral dan spiritual murid belum nampak signifikan; kedua, nilai strategis jenjang
murid menghadapi jenjang berikutnya; ketiga, perlunya model pembelajaran
agama Islam yang berorientasi kepada penguatan kesadaran moral-spiritual agama
yang lebih artikulatif.
Dengan demikian masalah utama yang dipilih dalam penelitian ini adalah
“model pembelajaran agama Islam yang bagaimanakah yang dapat memperkuat kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar?”. Dengan merujuk pada rumusan
masalah tersebut maka penelitian ini di fokuskan pada upaya pengembangan
model pembelajaran agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual
pada murid di jenjang pendidikan dasar (SD). Berkait tema penelitian tersebut
dapat diidentifikasi tiga variabel kunci yaitu; 1) model pembelajaran agama
Islam; 2) kesadaran; 3) moral-spiritual.
Terdapat konsep kunci yang perlu dijelaskan dan diberi pengertian spesifik
berkait dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Konsep-konsep yang dimaksud
adalah:
1) Pengembangan Model Pembelajaran; dalam hal ini yang dimaksud adalah
kegiatan riset dan pengembangan yang dirancang secara sistematik dan
mendalam untuk menghasilkan produk model pembelajaran agama Islam
yang berorientasi kepada penguatan kesadaran moral-spiritual.
2) Kesadaran (conciousnes); yang dimaksud kesadaran dalam penelitian ini
adalah sensitifitas seseorang terhadap konsep baik dan buruk yang
bersumber dari keyakinan terhadap Tuhan dan ajaran agama serta
mengartikulasikannya dalam kebajikan-kebajikan sehari-hari. Konsep
variabel di atas diramu dengan merujuk kepada rumusan tentang kesadaran
yang dikemukakan Raymond D. Smith, 2005:66, Peter Jarvis, 1999: 38,
Michele Borba, 2001: 45 dan Carolin Kreber,dkk. 2007.
3) Moral-Spiritual; adalah seperangkat ajaran moral-spiritual yang diramu
serta disusun sebagai konten pembelajaran dengan mempertimbangkan
sejumlah pandangan para ahli serta pandangan ajaran Islam yang secara
umum meliputi; 1) pemahaman terhadap kehadiran dan derajat hubungan
dengan Allah SWT, 2) partisipasi dalam ibadah ritual, 3) values of being
(nilai-nilai dasar identitas dan jati diri), 4) values of giving (nilai-nilai
Untuk mengelola masalah yang telah dirumuskan di muka sehingga dapat
menjadi kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development plan)
yang sistematis maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimanakah penyelenggaraan pendidikan agama Islam Sekolah Dasar di Kab. Cirebon saat ini ?
2) Bagaimanakah desain model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid Sekolah Dasar di
Kb. Cirebon?
3) Bagaimanakah efektifitas model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral spiritual murid Sekolah Dasar di
Kab. Cirebon?
4) Bagaimanakah karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pengajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran
moral-spiritual yang dikembangkan tersebut? []
D. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembelajaran
agama Islam untuk penguatan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar
(SD). Produk dari penelitian ini adalah model pembelajaran agama Islam untuk
penguatan kesadaran moral-spiritual (selanjutnya disingkat PKMS) yang secara
epistemologis memenuhi prosedur akademik ilmiah dan secara pragmatis dapat
diaplikasikan.
Merujuk kepada pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan
sistematis yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah;
1) Mengetahui profil kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar di Kab. Cirebon, termasuk faktor pendukung dan
penghambat optimalisasi kegiatan pembelajaran agama Islam saat ini.
2) Menemukan model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid Sekolah Dasar di Kab.
Cirebon.
3) Mengetahui efektifitas model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral spiritual murid Sekolah Dasar di
4) Mengetahui karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran
moral-spiritual yang dikembangkan tersebut.[]
E. Manfaat Penelitian
Karakteristik pembelajaran agama Islam di sekolah dasar (SD) pada
umumnya masih merujuk kepada model the banking concept education (Bashori
Muchsin, 201; 44). Model ini tidak memberikan ruang cukup untuk
mengeksplorasi potensi belajar yang dimiliki, serta menanamkan respect dan
responsibility, terutama dalam konteks pembelajaran agama Islam menggiring dan
menumbuhkan potensi moral-spiritual murid. Dalam keadaan demikian praktis
hasil pengajaran agama Islam mengalami stagnasi karena proses pembelajaran
hanya berputar pada kegiatan resitasi. Sementara tuntutan pengajaran agama Islam
tidak berhenti hanya pada penguasaan konsep dan aspek teoritik agama, sejatinya
ia menyentuh aspek ethos agama yang membatin pada diri murid serta
menumbuhkan kesadaran untuk mengartikulasikan nilai-nilai ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan pengembangan model pembelajaran yang
menyadarkan dengan orientasi kepada pemahaman otentik-articulative,
diharapkan menjadi pintu kepada proses pembelajaran yang menghasilkan
kegiatan knowing how to be (Unesco, 2002) . Disinilah penelitian memperoleh
signifikansinya.
Adapun manfaat hasil penelitian dan pengembangan akan nampak secara
umum pada peningkatan kualitas pembelajaran agama Islam di sekolah dasar.
Melalui proses pembelajaran agama Islam yang berorientasi kepada pemahaman
kontekstual-otentik dengan merujuk kepada model yang dikembangkan,
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar.
Secara spesifik manfaat penelitian dan pengembangan dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Model pembelajaran ini dapat menjadi pendekatan yang relatif baru
bagi pengajaran agama Islam di sekolah dasar. Penguatan terhadap
kesadaran moral-spiritual yang otentik-artikulatif menjadi salah satu
2. Model pembelajaran ini akan memproyeksikan murid sekolah dasar
kepada pengembangan kesadaran beragama sesuai dengan tugas-tugas
perkembangan keagamaan anak, serta memberikan sentuhan maksimal
pada sisi spiritualitas dan religiousitas yang dimiliki. Sehingga dapat
memperkokoh fondasi moral dan keberagamaan secara dini.
3. Bagi guru model pembelajaran ini dapat mendorong pengembangan
variasi pembelajaran dengan merujuk kepada karakteristik khas murid
sekolah dasar serta pengembangan modalitas latent dan manifest murid
sebagai cikal bakal manusia dewasa.
4. Bagi murid sekolah dasar, model pembelajaran ini relatif
menyenangkan serta membawa kepada pengalaman belajar yang lebih
bermakna dan membatin. []
F. Struktur Organisasi Disertasi
Disertasi ini disajikan menjadi lima bab. Bab pertama adalah bab
pendahuluan yang berisi (1) latar belakang masalah, (2) identifikasi masalah, (3)
perumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) struktur dan
organisasi disertasi.
Bab kedua menyajikan kerangka teoritik yang terdiri dari (1) kajian
terhadap teori model pembelajaran dan model pembelajaran moral-spiritual (2)
kajian terhadap teori kesadaran moral-spiritual (3) kajian terhadap teori
konseptual pembelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar.
Dalam ketiga adalah menyajikan pembahasan tentang metode penelitian
yang terdiri dari (1) lokasi penelitian, (2) metode dan desain penelitian, (3)
definisi operasional, (4) pengembangan instrumen penelitian, (5) analisis data, dan
(5) tahap-tahap pelaksanaan penelitian.
Bab ke empat menyajikan hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari
lima bagian pembahasan meliputi: (1) Bagian pembahasan deskriptif hasil
penelitian pendahuluan yang meliputi; a) keterampilan guru PAI mengelola
pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar; b) keterampilan guru PAI mengelola
materi pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar; c) persepsi murid terhadap
kegiatan pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar; dan d) moral-spiritual
pengembangan model yang meliputi; a) analisis hasil penelitian pendahuluan
sebagai dasar pengembangan model, b) pengembangan model konseptual dan
artikulasi model dalam desain pembelajaran. (3) Bagian pembahasan hasil
kegiatan uji coba model yang meliputi; a) analisis standar isi dan SK-KD
pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar, b) implementasi model PKMS yang
dikembangkan dalam uji coba terbatas, c) hasil uji coba terbatas, d) hasil uji coba
skala luas. (4) Bagian pembahasan hasil uji validasi model pembelajaran yang
meliputi; a) dampak model PKMS terhadap penguatan kesadaran moral spiritual
murid Sekolah Dasar, b) interaksi model PKMS. (5) Bagian pembehasan hasil
penelitian yang meliputi; a) desain model pembelajaran PKMS, b) implementasi
model pembelajaran PKMS pada kurikulum PAI di Sekolah Dasar, c) relevansi
model pembelajaran PKMS dengan posisi strategis pembelajaran PAI di Sekolah
Dasar, d) efektifitas model pembelajaran PKMS, e) kelebihan dan kelemahan
model pembelajaran PKMS.
Bab kelima adalah bab penutup yang menyajikan tiga hal; (1) kesimpulan
hasil penelitian, (2) implikasi hasil penelitian, (3) rekomendasi hasil penelitian.
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas (1) lokasi penelitian, (2) metode dan desain
penelitian, (3) definisi operasional, (4) pengembangan instrumen penelitian, (5)
analisis data, dan (5) tahap-tahap pelaksanaan penelitian.
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dan pengembangan model pembelajaran pendidikan agama Islam
untuk penguatan kesadaran moral spiritual (PKMS) murid sekolah dasar
dilaksanakan di Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon. Subjek penelitian adalah
guru pendidikan agama Islam Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon serta murid
Sekolah Dasar kelas 5 di Kabupaten Cirebon. Dalam hal ini satuan yang dipilih
sebagai sampel bukanlah individu melainkan sekelompok individu yang secara
alami berada bersama-sama di satu tempat (Donald Ary, 2004:200). Sampel
ditetapkan secara cluster (sampel area) yaitu dengan menetapkan UPTD
Pendidikan Kec. Talun. Penetapan UPTD Kec. Talun sebagai sampel disebabkan
memenuhi kriteria umumnya Sekolah Dasar di Kab. Cirebon. Pemilihan sampel
area (cluster sampling) diperbolehkan sepanjang individu-individu dalam
kelompok memiliki persamaan ciri yang ada hubungannya dengan variabel
penelitian (Donald Ary, 2004:200). Secara rinci penetapan sampel dalam
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan informasi tentang kondisi eksisting proses
pembelajaran agama Islam di sekolah dasar dilakukan penelitian terhadap
guru pendidikan agama Islam di Kabupaten Cirebon dengan menetapkan
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan Kecamatan Talun.
Dengan mengambil secara acak 10 orang guru pendidikan agama Islam
(PAI) di 10 sekolah dasar Kec. Talun Kab. Cirebon. Penetapan UPTD Kec.
Talun didasarkan atas letak geografis dan kondisi sosial budaya masyarakat
Kab. Cirebon baik secara vertikal maupun mobilitas horisontal masyarakat.
Di kecamatan Talun terwakili masyarakat pendatang dan penduduk asli
dengan beragam kelas ekonomi, pendidikan dan ragam budaya. Komposisi
subjek penelitian guru dan sekolah dasar yang dijadikan sampel di UPTD
Tabel 3.1 Daftar Subjek Penelitian pada Kegiatan Penelitian
b. Untuk mendapatkan informasi tentang persepsi murid terhadap proses
pendidikan agama Islam yang telah di laksanakan, dan kondisi kesadaran
murid terhadap nilai-nilai moral spiritual, dilakukan penelitian terhadap 100
orang murid dari kelas 5 yang diambil secara acak (random) dari 10 Sekolah
Dasar di UPTD Kec. Talun yang telah ditetapkan sebagai sampel.
Komposisi masing-masing sampel dari 10 sekolah dasar dapat dilihat pada
tabel berikut:
c. Untuk melakukan uji coba model pembelajaran PKMS pada pendidikan
agama Islam di SD, maka ditetapkan 1 buah sekolah dasar yang dipilih dari
10 sekolah dasar yang telah ditetapkan sebagai sampel. Penetapan tersebut
uji coba. Dalam hal ini terutama kesediaan guru pendidikan agama Islam
untuk bekerjasama dengan peneliti melakukan uji coba penerapan model
pembelajaran yang sedang dikembangkan secara berkelanjutan sampai
ditemukan model yang dianggap memadai dan solid. Kerjasama guru pelaku
dengan penelitian dalam hal ini sangat penting agar proses pengembangan
berjalan lancar. SD yang ditetapkan sebagai tempat uji coba adalah SDN
Sampiran Kec. Talun Kab. Cirebon dengan guru sukarelawan bernama
Norman, S.Pd.I.
d. Setelah dilakukan proses uji coba terbatas, dilanjutkan dengan kegiatan uji
coba luas yang melibatkan tiga buah SD dengan tiga katagori yaitu; SDN
Kepongpongan 2 (katagori 1), SDN Kecomberan 1 (katagori 2) dan SDN
Cirebon Girang (katagori 3). Untuk membuktikan kehandalan model yang
telah dikembangkan dilakukan uji validasi. Uji validasi melibatkan tiga buah
SDN kelompok eksperimen dan tuga buah SDN kelompok kontrol.
Penetapan sampel baik kepada kelompok eksperimen maupun kelompok
kontrol dilakukan berdasar klasifikasi sekolah. Terutama dilihat dari
geografis sekolah dan kondisi sosial budaya orang tua murid. Penetapan
sekolah sampel dilakukan secara purposive dengan kriteria sekolah; berada
di pedesaan dengan kondisi masyarakat yang relatif homogen dan sekolah
yang berada di perkotaan dengan kondisi masyarakat yang relatif heterogen.
B. Metode dan Desain Penelitian
Penelitian menggunakan metode penelitian dan pengembangan (research
and development). Model yang dipergunakan mengikuti model yang
dikembangkan Samsudi (2006) (dalam Sugiyono, 2010:434) atau Nana Saodih
Sukmadinta (2007) yang telah mengerucutkan sepuluh kegiatan penelitian dan
pengembangan menjadi tiga tahapan besar yaitu: a) Tahap studi pendahuluan, 2)
Tahap studi pengembangan, 3) Tahap evaluasi.
Langkah-langkah pengembangan model pembelajaran PKMS murid
Sekolah Dasar diawali dengan kegiatan membuat rancangan pembelajaran yaitu
proses menganalisis kebutuhan, menentukan isi apa yang harus dikuasai,
khusus dan melakukan uji coba serta melakukan revisi program berkenaan dengan
hasil belajar mengajar.
Dengan tiga tahapan utama seperti yang dipergunakan Samsudi (dalam
Sugiyono, 2010: 434) maka dalam kegiatan penelitian Pengembangan Model
Pembelajaran PKMS pada mata pelajaran pendidikan Agama Islam bagi murid
Sekolah Dasar ini dikelola melalui tahapan penelitian dan pengembangan sebagai
berikut:
1) Tahap studi pendahuluan yang meliputi kegiatan; a) studi lapangan
terhadap proses sistemik kegiatan pembelajaran agama Islam di sekolah
dasar, b) study literatur untuk menggali teori yang akan mendasari model
pembelajaran agama Islam yang akan dikembangkan, c) kajian normatif
terhadap ayat al-Qur'an untuk mendapatkan model al-uslub al-Qurany bagi
pembelajaran agama Islam di sekolah dasar, c) analisis normatif-teoritik
dan analisis temuan (faktual) untuk melahirkan model tentatif.
2) Tahap studi pengembangan yang meliputi kegiatan; a) pengembangan draft
desain model tentatif, b) validasi desain melalui jajak pendapat pengguna
(user) dalam hal ini guru-guru agama SD, c) validasi desain oleh ahli atau
pakar, d) ujicoba model terbatas, e) revisi model tahap 1, f) uji coba model
luas, g) revisi model tahap 2, h) model definitif.
3) Tahap evaluasi (validasi) yang meliputi kegiatan; a) implementasi model,
b) test akhir, c) konklusi implementasi model, d) model final.
Mengikuti urutan deskriptif di atas maka langkah-langkah kegiatan
Pengembangan Model Pembelajaran PKMS pada pendidikan Agama Islam Di
Gambar 3.1. Langkah-langkah Penelitian dan Pengembangan
1. Tahap Studi Pendahuluan
Kegiatan studi pendahuluan dilakukan dengan dua metode yaitu observasi
langsung dan survey. Kegiatan observasi dilakukan untuk melihat secara faktual
kecenderungan proses pembelajaran yang dilaksanakan, sedangkan kegiatan
survey merekam sikap responden terhadap pengelolaan proses pembelajaran.
Kegiatan survey dilakukan terhadap dua kelompok responden yaitu guru dan
murid; 1) survey terhadap guru dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang
proses pembelajaran agama Islam yang berlangsung di sekolah dasar. Data yang
diperoleh bukan untuk menguji hipotesis atau membuat kesimpulan tetapi
mendapatkan informasi secara deskriptif mengenai gambaran sampel (Sugiyono,
2010:208). Terutama gambaran data sampel diseputar; a) guru dan cara mengajar
agama Islam, b) kurikulum dan pengelolaan materi agama Islam; 2) survey
terhadap murid dilakukan untuk memperoleh gambaran resepsi murid terhadap
proses pembelajaran yang telah mereka terima, baik resepsi terhadap cara guru
mengajar, serta resepsi terhadap materi agama Islam secara keseluruhan.
Penelitian survey juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang
kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar sebagai dampak dari proses
pembelajaran yang telah mereka terima.
Hasil yang diperoleh dari studi pendahuluan dijadikan dasar untuk
untuk mengembangkan model. Sehingga model yang dikembangkan merupakan
model integratif dari fondasi normatif-teoritik dan kondisi faktual proses
pembelajaran agama Islam di sekolah dasar.
2. Tahap Studi Pengembangan
Pada tahapan ini desain model yang bersifat tentatif dikembangkan. Desain
model ini di bangun dengan merujuk kepada teori serta dasar normatif konsep
al-Qur'an dengan mengakomodir temuan yang diperoleh dalam kegiatan survey.
Model tentatif ini kemudian di validasi untuk memperoleh penilaian yang bersifat
rasional dengan melibatkan pakar dan sejawat disertai evaluasi keterbacaan model
oleh user dalam hal ini guru-guru sekolah dasar. Setelah dilakukan validasi dan
evaluasi keterbacaan model kemudian diujicobakan secara terbatas.
Proses uji coba mengikuti prosedur penelitian tindakan (action research).
Penelitian tindakan (action research design) di definisikan oleh Mills (dalam
Creswell, 2008:597) sebagai "systematic procedures done by teacher (or other
individuals in an educational setting) to gather information about and
subsequently improve the ways their educational setting operates, their teaching
and their student learning". Dengan demikian kegiatan peneltian dan
pengembangan model PKMS bersifat; a) fokus kepada praktek pembelajaran PAI
dengan model yang dikembangkan, b) guru menjadi peneliti (mengevaluasi) atas
prakteknya sendiri, c) dilaksanakan secara kolaboratif bersama guru pendamping,
d) berlangsung secara dinamis, e) kegiatan merencanakan tindakan, f) kegiatan
sharing untuk memantapkan model (Creswell, 2008:605). Dengan mengikuti
prosedur penelitian tindakan, proses penelitian dan pengembangan model
pembelajaran pendidikan agama Islam (PKMS) dilakukan dengan siklus berulang
sehingga menghasilkan model yang betul-betul mapan.
Proses uji coba untuk menghasilkan model pembelajaran PKMS dengan
pendekatan penelitian tindakan (action research) dilakukan pada semester
pertama di kelas lima di Sekolah Dasar Negeri Sampiran 1 di Kabupaten Cirebon,
dengan guru sukarelawan Bapak Norman, S.Pd. Dalam hal ini model yang
diujicobakan sudah dalam bentuk sebuah rencana tindakan (a plan of action) yang
kemudian akan mengikuti siklus berupa; a) identifikasi terhadap problem dalam
implementasi model, c) analisis dan interpretasi terhadap informasi yang telah
diperoleh, d) mengembangkan rencana tindakan berikutnya berupa hasil revisi
model.
Dalam proses penelitian dan pengembangan ini kerjasama yang erat antara
peneliti dengan guru sebagai client harus dibangun terutama untuk memperoleh
informasi tentang; a) keterbacaan draft model yang diuji coba, b) keterpakaian
draft model yang diuji coba (aplicablility), c) proses implementasi draft model, d)
efektifitas dan efisiensi model. Informasi ini dipergunakan untuk memperkokoh
disain model melalui kegiatan revisi yang berkelanjutan sampai mendapatkan
model yang solid atau model hipotetik.
3. Tahap Evaluasi/Validasi
Pada tahapan ini model yang sudah diuji coba dan di revisi sehingga
menjadi model hipotetik dilakukan uji validasi. Dalam validasi model ini
mencakup dua hal yaitu; 1) dampak penerapan model terhadap tugas guru dalam
menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan evaluasi hasil
belajar pendidikan agama Islam ; 2) dampak penerapan model PKMS terhadap
penguatan kesadaran moral spiritual Sekolah Dasar.
C. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini kegiatan di fokuskan kepada penelitian dan
pengembangan guna menghasilkan model pembelajaran pendidikan agama Islam
untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual pada murid di jenjang pendidikan
dasar (SD). Berkait tema penelitian tersebut dapat diidentifikasi tiga variabel
kunci yaitu; 1) model pembelajaran agama Islam; 2) kesadaran; 3)
moral-spiritual.
Dalam hal ini terdapat sejumlah konsep kunci yang perlu diberi penjelasan
dan diberi pengertian spesifik berkait dengan kepentingan dan tujuan penelitian.
Konsep-konsep yang dimaksud adalah:
1) Pengembangan Model Pembelajaran; yang dimaksud adalah kegiatan riset
dan pengembangan yang dirancang secara sistematik dan mendalam
dengan merujuk kepada kajian normatif-teoritik untuk menghasilkan
produk model pembelajaran pendidikan agama Islam yang berorientasi
2) Kesadaran moral (moral conciousnes); yang dimaksud kesadaran moral
dalam penelitian ini adalah perpaduan antara pengetahuan, sikap dan
keterampilan murid sekolah dasar terhadap konsep baik dan buruk meliputi
1) values of being (nilai-nilai dasar identitas dan jati diri), 2) values of
giving (nilai-nilai pemberian) yang bersumber dari ajaran agama yang
diperoleh melalui pembelajaran pendidikan agama Islam serta
mengartikulasikannya dalam kebajikan sehari-hari. Konsep variabel di atas
diramu dengan merujuk kepada rumusan tentang kesadaran yang
dikemukakan Raymond D. Smith (2005:66), Peter Jarvis (1999: 38),
Michele Borba (2001: 45) dan Carolin Kreber,dkk. (2007).
3) Kesadaran spiritual (spiritual conciousnes); yang dimaksud kesadaran
spiritual dalam penelitian ini adalah perpaduan pengetahuan, sikap dan
keterampilan murid sekolah dasar tentang keyakinan terhadap Tuhan yang
meliputi 1) pemahaman terhadap kehadiran dan derajat hubungan dengan
Allah SWT, 2) partisipasi dalam ibadah ritual yang diperoleh melalui
pembelajaran pendidikan agama Islam serta mengartikulasikannya dalam
kebajikan sehari-hari.
D. Pengembangan Instrumen Penelitian
Kegiatan penelitian ini difokuskan pada tiga hal; 1) pengetahuan tentang
kondisi eksisting proses pembelajaran agama Islam di sekolah dasar yang
diperoleh melalui observasi langsung terhadap sejumlah sekolah yang menjadi
sampel serta dengan menggunakan angket yang diberikan kepada guru dan kepada
murid sekolah dasar yang menjabdi sampel penelitian. 2) Penerapan model
pembelajaran PKMS pada pendidikan agama Islam di sekolah dasar sebagai
produk penelitian. 3) Uji validasi model telah dihasilkan.
1. Instrument Angket
Instrumen yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam penelitian
pendahuluan adalah instrumen angket (kuisioner). Instrumen ini dipergunakan
sebagai perangkat pengumpul data utama disamping observasi dan wawancara.
Instrumen kuisioner yang dipergunakan dalam penelitian pendahuluan ini
sebanyak dua buah yaitu: 1) Instrumen untuk mengetahui keberadaan pengelolaan
sebanyak 25 butir pernyataan yang meliputi; a) identitas pribadi, b) tentang guru
dan cara mengajar, c) pengelolaan materi PAI SD. 2) Instrumen untuk menjaring
data tentang resepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam dan derajat
kesadaran moral spiritual yang dimiliki masing-masing murid. Jumlahnya
sebanyak 37 butir yang mencakup; a) identitas pribadi, b) persepsi murid terhadap
proses pembelajaran agama Islam yang telah diterima, c) moral-spiritual
assessment inventory (yaitu menjaring data tentang tingkat kesadaran moral
spiritual murid) (Lihat di lampiran)
Angket disusun secara terstruktur atau tertutup yang berisi
pertanyaan-pertanyaan yang disertai dengan pilihan jawaban yang telah disediakan, serta
bersifat mencakup semua kemungkinan jawaban dan saling lepas (mutually
axclusive) (Arief Furchan, 2004:260) terutama untuk instrumen variabel
pengelolaan guru agama Islam terhadap proses pembelajaran. Sedangkan untuk
unstrumen variabel persepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam dan
kesadaran moral spiritual murid mempergunakan pernyataan dengan jawaban
model skala Likert.
Kusioner yang dipergunakan dalam penelitian ini harus teruji validitasnya.
Validitas instrumen mengacu kepada kemampuan instrumen untuk mengukur
terhadap apa yang seharusnya diukur (Arief Furchan, 2004: 293). Dalam hal ini
peneliti meyakini validitas instrumen yang dibuat karena butir-butir pernyataan
yang disusun mengacu kepada universum isi yang hendak diukur (validitas isi),
atau membandingkan isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah di
tetapkan (Sugiyono, 2010:182). Untuk memastikan adanya validitas isi ini
ditempuh melalui proses bertahap yang meliputi proses kognisi dan kajian teoritis,
yaitu mengkaji teori dari dimensi variabel, merumuskannya ke dalam kisi-kisi dan
menterjemahkannya menjadi butir pernyataan.
Disamping validitas isi, instrumen ini juga diyakini memenuhi validitas
konstruk (validitas bangunan pengertian) dan validitas eksternal. Validitas
konstruk menunjuk kepada sejauh mana hasil jawaban responden dapat
ditafsirkan menurut bangunan pengertian. Validitas konstruk merupakan
gabungan antara pendekatan logis dan empiris (Ary, 2007:302; Sugiyono, 2010:
gabungan dari unsur yang berkaitan antara peran guru dan cara mengajar, peran
murid dan cara belajar, pengelolaan materi, pengelolaan lingkungan belajar.
Secara empiris pilihan murid terhadap butir pernyataan memperkokoh konstruk
logis tadi. Sedangkan validitas eksternal instrumen diuji dengan membandingkan
antara kriteria yang ada pada isntrumen dengan fakta-fakta empiris yang terjadi
dilapangan (Sugiyono, 2010:183).
Untuk instrumen variabel persepsi murid terhadap proses pembelajaran
agama Islam yang telah dilaksanakan serta instrumen untuk mengetahui derajat
kesadaran moral spiritual murid dilakukan uji keterbacaan instrumen. Uji ini
dilakukan mengingat kemampuan memahami teks murid sekolah dasar kelas 5
yang bervariasi atau terbatas. Uji keterbacaan item instrumen ini dilakukan
kepada 10 orang murid sekolah kelas 5 dengan mempersilahkan mereka membaca
seluruh 37 instrumen dan menyebutkan isntrumen yang tidak difahami
maksudnya. Hasil dari uji keterbacaan item instrumen ini diperoleh kesimpulan
bahwa instrumen yang tidak difahami secara langsung oleh murid adalah
instrumen nomor; 2, 6, 8, 20, 26 sehingga perlu dilakukan perubahan redaksional.
Adapun kisi-kisi instrumen masing-masing variabel sebagai berikut:
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen variabel Guru dan Pengelolaan Pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar.
Variabel Komponen Indikator Jumlah
18.Efektifitas pembelajaran PAI 19.Kepuasan terhadap output
pembelajaran PAI
Jumlah 2 item
Teori-teori yang dipergunakan untuk menyusun kusioner ini mengacu
kepada teori yang dikembangkan Richard I Arend (2007: 105, 158, 187, 196, 198
dan 207) dalam "Learning to Teach; Belajar untuk Mengajar" dengan beberapa
modifikasi disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Tabel 3.4 Kisi-Kisi Instrumen variabel resepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam yang dilaksanakan.
Variabel Indikator Jumlah
1 2 3
B. Murid dan Cara Belajar 6. Memperoleh akses terhadap proses pembelajaran
7. Mendapatkan cara belajar yang bervariasi
8. Memperoleh kemudahan mendapatkan
15. Relevansi materi dengan kebutuhan agama murid
16. Kebermaknaan materi bagi pengembangan sikap beragama murid.
4
Jumlah 16 item
dengan Tuhan 4. Merasa dibenci Tuhan
5. Menaruh harapan pada Tuhan B. Partisipasi dalam ibadah
Untuk menyusung angket kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar
mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh Lynn G. Underwood (2006)
tentang spiritality yang menetapkan diantara komponennya adalah; a) hubungan
dengan kehadiran tuhan, b) proses transendensi diri, c) adanya kekuatan dan
kenyamanan disamping tuhan, d) kedamaian, e) bantuan tuhan, f) bimbingan
tuhan, g) perasaan dicintai tuhan, h) perasaan kagum, i) perasaan tanpa pamrih, j)
rasa kasihan dan cinta, k) kesatuan dan kedekatan dengan tuhan. Sedangkan untuk
konsep morality merujuk kepada konsep Linda dan Richard Eyre (1993) dalam
bukunya Teaching Your Children Values yang membagi nilai moral pada dua
katagori yaitu; a) values of being dan b) values of giving.
Dari 21 buah indikator yang mewakili empat aspek kesadaran moral
spiritual tersebut diartikulasikan ke dalam 21 buah pernyataan yang harus disikapi
murid. Masing-masing pernyataan menyajikan empat pilihan jawaban yang terdiri
dari: selalu (4), sering (3), jarang (2), tidak pernah (1) untuk pernyataan yang
favorable. Sedangkan untuk pernyataan yang non favorable adalah: tidak pernah
(4), jarang (3), sering (2), selalu (1). Adapun cara memilih jawaban dari empat