• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENGUATAN KESADARAN MORAL SPIRITUAL MURID SEKOLAH DASAR PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENGUATAN KESADARAN MORAL SPIRITUAL MURID SEKOLAH DASAR PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Muslihudin. (2014). 0800845. Pengembangan Model Pembelajaran untuk Penguatan

Kesadaran Moral Spiritual Murid Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam.

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya problem kebermaknaan pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam sejatinya mengembangkan secara bertahap tugas-tugas perkembangan agama anak terutama aspek kesadaran moral-spiritual anak. Faktanya pengelolaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam belum menggiring kepada tujuan perkembangan keagamaan anak karena dikelola sebagai kegiatan resitasi dan rote learning yang hanya membidik perkembangan kognisi anak dalam tingkat rendah. Pendidikan agama Islam memerlukan pendekatan yang mengakomodasi secara bersama-sama seluruh tugas perkembangan; spiritual, emosional, intelektual, sosial dan bahkan fisikal. Model pembelajaran untuk penguatan kesadaran moral spiritual (model PKMS) diduga kuat dapat menjadi alternatif pembelajaran pendidikan agama Islam. Bagaimana model PKMS dikembangkan dan seberapa efektif model tersebut dan relevansinya terhadap penguatan kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar merupakan permasalahan yang dibidik dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk penguatan kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar yang ujungnya dapat memperkokoh tugas perkembangan keagamaan anak. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan. Langkah-langkahnya meliputi (a) penelitian pendahuluan untuk mengidentifikasi kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran PAI dan mempotret resepsi murid terhadap proses pembelajaran PAI, (b) hasil penelitian pendahuluan dijadikan dasar untuk mengembangkan model pembelajaran PAI yang dipadukan dengan fondasi teoritik-normatif yang telah ditemukan untuk kemudian diujicobakan secara bertahap sehingga mencapai model yang kokoh, (c) model akhir divalidasi melalui serangkaian eksperimen untuk memperoleh tingkat kebermaknaan model. Uji coba dilakukan secara terbatas dan dilanjutkan dengan uji coba luas yang melibatkan tiga sekolah. Sedangkan uji validasi dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yang melibatkan tiga SD sebagai kelompok eksperimen (SD-KE) yang mengimplementasikan model PKMS, dan tiga buah SD sebagai kelompok kontrol (SD-KK) yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil uji validasi diperoleh temuan kebermaknaan model untuk penguatan kesadaran moral spiritual murid dibanding hasil pretest (∞ ≤ 0.05) dan hasil kelompok kontrol (∞ ≤ 0.05). Temuan ini mengindikasikan bahwa model pembelajaran PKMS efektif untuk memberikan penguatan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar, relevan dipergunakan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, memiliki organisasi pembelajaran yang kokoh dan dapat meningkatkan kinerja guru pendidikan agama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa model PKMS efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pendidikan agama Islam. Hasil penelitian dan ini berimplikasi secara praktis pada peningkatan kemampuan kinerja guru PAI terutama kemampuan mengelola pembelajaran yang lebih terpola, sedangkan secara teoritis model PKMS mendalilkan bahwa pembelajaran agama Islam akan lebih bermakna jika dilaksanakan dengan proses yang mensinergikan kegiatan pengembangan spiritual knowing,

moral-spiritual feeling, dan moral-moral-spiritual action serta dilaksanakan dengan pola yang

(2)

ABSTRACT

Muslihudin. (2014). 0800845. Developing Model of Instruction to Increase

Moral-Spiritual Awareness of Elementary Children in The Education of Islamic Material.

(3)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN

UNTUK PENGUATAN KESADARAN MORAL SPIRITUAL

MURID SEKOLAH DASAR

PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat

untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pengembangan Kurikulum

Promovendus

MUSLIHUDIN

NIM: 0800845

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM

SEKOLAH PASCA SARJANA

(4)

=============================================================

Pengembangan Model Pembelajaran

Untuk Penguatan Kesadaran Moral- Spiritual

Murid Sekolah Dasar Pada Mata Pelajaran

Pendidikan Agama Islam

Oleh Muslihudin

S.Ag. IAID Ciamis, 1994

M.Ag. in Islamic Education, IAIN SGD Bandung 2003

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pengembangan Kurikulum

© Muslihudin 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Februari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(5)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI:

Promotor Merangkap Ketua

Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd.

Kopromotor Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.

Anggota

Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul

“PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENGUATAN

KESADARAN MORAL SPIRITUAL MURID SEKOLAH DASAR PADA MATA

PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” ini dan seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau

pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku

dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut, saya siap menanggung

resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudian hari ditemukan adanya

pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak

lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, 02 Januari 2014 Yang membuat pernyataan,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ………....……….. i

Lembar Pernyataan ……….………. ii

Kata Pengantar ………... iii

Ucapan Terimakasih ……….………... v

Abstrak ………..………... ix

Daftar Isi ...………... xi

Daftar Tabel …………..………... xv

Daftar Gambar …….………. xviii

Daftar Lampiran ………... xx

BAB I PENDAHULUAN Hal. A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi Masalah ……….. 9

C. Perumusan Masalah ………….………. 11

D. Tujuan Penelitian ……….. 13

E. Manfaat Penelitian ………..….. 14

F. Struktur Organisasi Disertasi ……… 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Model Pembelajaran 1. Hakekat Model Pembelajaran ……… 17

2. Model-Model Pembelajaran Moral-Spiritual ………. 20

B. Kesadaran Moral Spiritual 1. Hakikat Kesadaran Moral Spiritual ……… 25

2. Pendidikan Agama Islam untuk Penguatan Kesadaran Moral Spiritual (PKMS) ………. 36

3. Pendidikan Agama dan Perkembangan Kesadaran Moral Spiritual Usia Sekolah Dasar ……….. 44

4. Elemen Kesadaran Moral-Spiritual Murid Sekolah Dasar ……….. 57

(8)

C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah

Dasar

1. Landasan Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar …….. 74

2. Tujuan Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ……….. 90

3. Materi Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ………... 97

4. Guru dan Cara Mengajar ……… 99

5. Murid dan Cara Belajar ……….. 102

6. Pengelolaan Sumber dan Media Pembelajaran PAI … 107 7. Pengelolaan Lingkungan Pembelajaran PAI ……… 110

D. Kerangka Berfikir Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar 1. Dasar Teoritik Pengembangan Model ..……….. 114

2. Dasar Normatif Pengembangan Model ………. 119

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ……… 126

B. Metode dan Desain Penelitian ……… 128

C. Definisi Operasional ……….. 132

D. Pengembangan Instrumen Penelitian ……….. 133

E. Analisi Data ………. 140

F. Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian ……….. 143

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Pendahuluan 1. Profil Guru Pendidikan Agama Islam ……….. 148

2. Keterampilan Guru PAI Mengelola Pembelajaran di Sekolah Dasar ……….. 149

3. Keterampilan Guru Mengelola Materi PAI SD ……… 152

4. Persepsi Murid Terhadap Proses Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ………... 158

5. Moral-Spiritual Assessment Inventory Murid SD …… 164

(9)

2. Model Konseptual dan Artikulasinya ke dalam Desain

Pembelajaran ……… 174

C. Kegiatan Uji Efektifitas Model

1. Analisi Standar Isi dan SK-KD PAI SD Kelas 5……… 181

2. Implementasi Model Pembelajaran PKMS yang

Dikembangkan dalam Uji Coba Terbatas ………. 187

3. Hasil Uji Coba Dalam Skala Terbatas ……….. 211

a. Efektifitas Model Terhadap Pemahaman dan

Penguatan Kadar Moral Spiritual ……… 211

b. Kemampuan Guru yang Dituntut dalam

Pembelajaran PAI dengan Model PKMS di SD ….. 216

c. Minat dan Motivasi Belajar Murid ………. 225

d. Sarana, Fasilitas dan Sumber Belajar yang

Diperlukan dalam Implemenetasi Model ………… 227

e. Re-skenario Model Hasil Uji Coba Terbatas …….. 228

4. Hasil Uji Coba Pengembangan Model Skala Luas …... 231

a. Implementasi Model PKMS dalam Skala Luas ….. 231

b. Efektifitas Model Terhadap Penguatan Kesadaran

Moral Spiritual dalam Skala Luas ………. 247

c. Model Akhir Pembelajara PAI untuk Penguatan

Kesadaran Moral-Spiritual (PKMS) ……….. 260

D. Uji Validasi Model PKMS ………. 265

1. Dampak Model PKMS Terhadap Penguatan

Kesadaran Moral Spiritual Murid SD Kelas 5………. 266

a. Perbedaan Rata-Rata Posttest SD Eksperimen….. 268

b. Perbedaan Rata-Rata Posttest Kelompok SD

Eksperimen dengan Kelompok SD Kontrol……... 269

c. Perbedaan Rata-Rata Posttest SDE-1 dengan

SDK-1………. 271

d. Perbedaan Rata-Rata Posttest SDE-2 dengan

SDK-2 ……… 272

(10)

SDK-3 ………... 274

2. Interaksi Model ………... 275

E. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Desain Model Pembelajaran PAI untuk Penguatan Kesadaran Moral Spiritual Murid di SD … 282 2. Implementasi Model Pembelajaran PKMS pada Kurikulum PAI di SD ………. 291

3. Relevansi Model Pembelajaran PKMS dengan Posisi Strategis Pembelajaran PAI di SD ……… 298

4. Evaluasi Dalam Model Pembelajaran PKMS ……... 306

5. Efektifitas dan Kinerja Model Pembelajaran Penguatan Kesadaran Moral Spiritual ……….... 307

6. Kelebihan dan Kelemahan Model PKMS …………... 312

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan Hasil Penelitian ……….. 316

B. Implikasi Hasil Penelitian ………... 324

C. Rekomendasi ……….. 328

DAFTAR RUJUKAN……….. 331

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………. 340

(11)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini pembahasan difokuskan pada; (1) latar belakang masalah,

(2) identifikasi masalah, (3) perumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (4) manfaat

penelitian, (5) struktur dan organisasi disertasi.

A. Latar Belakang Masalah 1. Urgensi Pendidikan Agama

Secara spesifik, kata al-din menunjuk pada pesan (risalah) yang dibawa

para nabi, termasuk Nabi Muhammad (Sachiko Murata, 2005:xxxix). Dalam

konteks risalah Muhammad, al-Qur`an menggunakan kata ad-din untuk

serangkaian peraturan dan perundang-undangan, atau sekumpulan norma bagi

aktifitas yang benar yang telah Allah sempurnakan untuk umat Muhammad (QS.

5:3). Agama yang sempurna ini jika dirujuk kepada dialog Jibril dengan

Muhammad memiliki tiga unsur yaitu; unsur ritual Islam (berisi rukun Islam),

unsur keyakinan (iman dan rukun keimanan) dan unsur moral-spiritual agama

(ihsan) (Al-Asqallany 2000, Juz 1: 157).

Pendidikan dan pembelajaran agama dengan merujuk kepada pengertian

agama (al-din) seperti yang telah dikemukakan di atas adalah proses ganda;

bagian pertama adalah proses yang melibatkan masuknya unit-unit makna suatu

objek pengetahuan agama ke dalam jiwa seseorang (hushul), dan yang kedua

melibatkan sampainya jiwa (wushul) pada unit-unit makna tersebut yang

selanjutnya terartikulasi dalam hidup seseorang (Nor Wan Daud, 2003: 256).

Sedangkan menurut an-Nahlawy pendidikan agama Islam adalah pengembangan

pikiran manusia dan penataan tingkah laku serta emosinya berdasarkan agama

Islam, dengan maksud merealisasikan tujuan Islam dalam kehidupan individu dan

masyarakat dalam seluruh lapangan kehidupan (Abdurrahman an-Nahlawi,

1996:49).

Pendidikan agama berusaha mengembangkan potensi kebaikan alamiah

yang dimiliki manusia. Banyak agama yang mendukung pandangan bahwa

manusia memiliki hati nurani moral yang inheren dan bersifat bawaan, yang

merupakan bagian dari fitrah manusia (religio naturalis). Manusia dipandang

(12)

memiliki moral bawaan ini (Fareed Ahmad, 2008:270). Misalnya dikatakan

bahwa setiap manusia yang waras mengetahui secara intuitif bahwa membunuh

anak-anak tak berdosa adalah perbuatan salah. Setiap orang menyadari bahwa

ketika seseorang melakukan perbuatan salah, akan timbul perasaan bersalah atau

rasa bertanggung jawab.

Untuk mengembalikan manusia terhadap potensi kebaikan yang bersifat

bawaan ini dilakukan dengan mengembangkan kesadaran beragama; suatu

kesadaran untuk mengakui keberadaan Tuhan, pengabdian terhadap Tuhan,

asal-usul manusia, hakekat kehidupan manusia, tujuan kehidupan manusia, dan

kematian serta hidup setelah mati (Qardlawi, 1988:14). Kesadaran beragama

dapat memperkokoh landasan peradaban yang bermoral bagi umat manusia. Ia

dapat membangun standar mengenai apa yang dipandang 'benar' dan 'salah'

(standar moral).

Kesadaran beragama menjadi bagian dari kesadaran spiritual manusia

sebab seperti dikemukakan Burke (2005:5) "the term religion and spiritual are

interrelated" meskipun pada saat yang sama bisa dibedakan. Agama berbicara

tentang system keyakinan, peribadahan dan system nilai, sedangkan spiritual

adalah "a way of being in the world that acknowledges the existence of and the

desire to be in relationship with a trancendent dimension of God" atau dalam

definisi lain "…concern with or affecting the soul in relation to God".

Kecenderungan spiritual (spiritual tendency) ini menggerakan keyakinan

seseorang pada pengetahuan, harapan, cinta, transendensi, hubungan, rasa

kasihan, termasuk pengembangan sistem nilai (system moral). (Burke, 2005:5).

Dengan demikian terdapat sinergi yang kuat antara agama, spiritualitas dan

moralitas.

Kesadaran beragama mendapat persemaiannya dalam ranah filsafat

religious humanism sekaligus menjadi energi baru urgensi pendidikan agama.

Religious humanism yang di definisikan sebagai "an integration of humanist

ethical philosophy with religious rituals and beliefs that center on human needs,

interests, and abilities (Wikipedia)" memberikan ruang memadai terhadap geliat

peran agama bagi manusia. Istilah religious humanism dalam pendidikan

(13)

Kecenderungan untuk kembali membangun komitment intelektual terhadap nilai

moral agama menjadi salah satu dasar filsafat ini. Atau meminjam istilah Power

(1982: 112) sebagai "exercise of human moral conduct while consistently

maintaining an intellectual commitment to revealed religion".

Dalam konteks pendidikan, religious humanism menekankan pentingnya

pembelajaran disiplin ilmu disamping menggiring kepada pengembangan moral

sebagai hasil penting proses pembelajaran. Filsafat pendidikan ini menempatkan

murid sebagai pusat proses pendidikan dan pembelajaran. Murid adalah agen

utama pembelajaran bukan guru. Religious humanism tidak dapat menerima dan

mentolelir intelectual subjectivism dan moral relativism. Tujuan pengelolaan

pengajaran adalah menciptakan dan menggiring kondisi yang layak untuk belajar,

dan kurikulum dibuat dengan menseleksi pengalaman manusia secara hati-hati

dan bermanfaat (Power, 1982: 117).

Religious humanism menginspirasi kecenderungan menguatnya agama

(religious resurgence) sebagi pola baru peradaban manusia modern. Krisis

kemanusiaan yang menghiasi latar peradaban yang dibangun atas pandangan

positivistik telah menggiring kepada kesadaran baru yang lebih religious. Hal ini

di tandai dengan perubahan paradigmatik peradaban yang merujuk kepada

persoalan makna dan hakekat hidup manusia. Kajian yang mengkaitkan agama

dengan berbagai varian disiplin ilmu pengetahuan nampak menggeliat. John

Schmaizbauer dan Kathleen A. Mahoney (2008) dalam tulisannya berjudul

American Scholars Return to Studying Religion menegaskan bahwa saat ini terjadi

apa yang disebut oleh John dan Kathleen sebagai the resurgence of religion and

spirituality di sejumlah fakultas di Amerika. Senada dengan Schmaizbauer, John

L. Esposito (2003: 156) menyatakan bahwa kebangkitan agama yang mengglobal

pada akhir abad ke 20 telah mengarahkan para presiden, pemimpin perusahaan,

ilmuwan, para profesional untuk melakukan perubahan haluan yang luas, mereka

dengan bebas mendiskusikan keyakinan dan moralitas mereka di media.

Munculnya kecenderungan religious resurgence patut diduga karena saat

ini peradaban manusia dihadapkan pada problem moralitas dan spiritualitas

(Smith, 2005). Problem moralitas dan problem spiritualitas menjadi isu penting

(14)

248-249). Hal senada juga dilansir oleh Ahmad Tafsir dengan mengutip sejumlah fakta

yang dikemukakan oleh Capra (lihat Ahmad Tafsir, 2006: 65-68).

Posisi Islam dalam hal ini menjadi strategis. Pandangan hidup Islam dapat

menjadi pilar terbentuknya peradaban yang bermoral. Untuk menjadikan Islam

sebagai pilar peradaban umat manusia memerlukan proses pendidikan agama

Islam yang baik yang dapat mengembalikan fungsi nilai-nilai dan spirit agama

sebagai landasan moral dan etika peradaban, sehingga secara nyata kehadiran

agama dapat di rasakan manfaatnya oleh segenap umat manusia. Proses

pendidikan agama yang baik adalah yang dirancang tidak hanya untuk

mewariskan dan memelihara (conserving) nilai-nilai agama tetapi memberikan

dampak perubahan nyata (transforming) dalam kehidupan beragama.

2. Amanah Yuridis Pendidikan Agama

Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Fungsinya sesuai dengan pasal 3 UU No.

20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi murid

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab.

Definisi pendidikan yang dikemukakan undang-undang seperti tersaji di

atas mengandung sejumlah konsep kunci yang relevan dalam konteks pendidikan

agama yaitu; kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

akhlak mulia. Disamping itu merujuk pada pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sisdiknas tercantum pula tiga buah konsep esensial (core) tujuan

pendidikan nasional yang meliputi; iman, takwa, akhlak mulia yang menjadi

material inti pendidikan agama. Dengan demikian sejatinya pendidikan agama

(15)

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007

Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1 disebutkan bahwa Pendidikan Agama adalah

”pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian,

dan keterampilan murid dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan

sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan

jenis pendidikan”. Selanjutnya dalam BAB II PENDIDIKAN AGAMA Pasal 2 berkait dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Agama dijelaskan bahwa

"Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu

menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.

Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan murid dalam

memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan

penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni".

Dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun

2007, pada ayat 5 sampai 7 berturut-turut di sebutkan lebih rinci mengenai tujuan

kognitif, afektif dan psikomotorik pendidikan agama serta pendekatan yang perlu

dikembangkan yaitu; Pendidikan agama membangun sikap mental murid untuk

bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya

diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab; Pendidikan agama

menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong

murid untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi,

seni, dan/atau olahraga; Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif,

inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian,

serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.

Mencermati konsep pendidikan agama yang dijabarkan dalam Peraturan

Pemerintah No. 55 Tahun 2007, dapat diidentifikasi aspek-aspek philosopical

(16)

Tabel 1.1 Fungsi, tujuan dan pendekatan penyelenggeraan pendidikan agama seperti tercantum dalam PP No. 55 tahun 2007.

Fungsi dan Tujuan Pend.

semangat untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih bermakna.

Penyelenggaraannya wajib dilaksanakan pada setiap jalur, jenjang dan jenis

pendidikan seperti yang diamanatkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang

Sisdiknas pada Bab X tentang Kurikulum pasal 36-37. Dalam hal ini setiap

jenjang pendidikan mengalokasikan setidaknya 2-3 jam pelajaran sebagaimana

diatur oleh Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Merujuk pada hasil kajian terhadap kebijakan kurikulum mata pelajaran

agama yang dilakukan oleh Departemen Agama bersama Lembaga Agama terkait

diperoleh rekomendasi bahwa pelaksanaan kurikulum pendidikan agama perlu

memperhatikan dan mengedepankan akhlak mulia (Depdiknas, 2007). Disamping

itu pendidikan agama perlu dioptimalkan pada setiap jenjang pendidikan, baik

dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Pada jenjang pendidikan dasar, proses

penyelenggaraan pendidikan agama dinilai sangat strategis karena pendidikan

dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan

menengah (pasal 17, UU No. 20 Tahun 2003).

3. Pendidikan Agama Islam dan Krisis Moral Spiritual Remaja

Saat ini terdapat jarak yang sangat lebar antara agama sebagai sistem nilai

(17)

Kecenderungan euphoria beragama terutama melalui berbagai kegiatan apresiasi

yang bersifat simbolik marak dimana-mana, namun pada saat yang sama

penyimpangan ajaran agama dengan berbagai pelanggaran moral spiritual juga

semakin marak bahkan dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Setiap hari

masyarakat disajikan tayangan berbagai kejahatan moral dan kemanusiaan baik

melalui televisi maupun media cetak. Kejahatan tersebut dilakukan oleh semua

tingkatan usia; orang dewasa sampai anak-anak.

Krisis moral-spiritual remaja kecenderungannya semakin meningkat serta

hadir dalam berbagai bentuk. Hasil-hasil penelitian serta ragam prilaku

menyimpang remaja (tawuran, free sex, penyalahgunaan obat terlarang, tindakan

kriminal) yang tersaji setiap hari baik di media cetak dan media elektronik

menunjukan kecenderungan krisis yang semakin meningkat dan bersifat masif.

(Djayadi Hanan, 2002:185; Bashori Muchsin, dkk. 2010: 63; Syamsu Yusuf,

2009:32-33; 2010:31).

Banyak faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab merosotnya

moral spiritual remaja saat ini. Pola asuh yang kurang baik di ruang domestik,

ditambah dengan lingkungan sosial yang tidak ramah, akses terhadap media

informasi dan teknologi yang tidak terkendali menjadi penyebab krisis moral di

masyarakat dan prilaku yang tidak sehat di kalangan remaja dan anak-anak yang

antara lain ditandai maraknya dekadensi moral, prilaku melawan hukum, norma

agama dan sosial; penyalahgunaan narkoba, minuman keras, pronografi, prilaku

seks bebas dan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak remaja, serta budaya

materialisme dan konsumerisme di kalangan masyarakat dan remaja (Syamsu

Yusuf, 2007: 15).

Faktor lain adalah kurangnya kebermaknaan pendidikan agama di tingkat

dasar. Pendidikan agama belum secara konsisten menggiring kepada peningkatan

perkembangan agama anak. Dalam konteks pendidikan agama Islam di sekolah

dasar, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis, telah

ditemukan bahwa pada anak-anak SD kelas 5 di sejumlah sekolah sampel untuk

keterampilan menjalankan agama, keterampilan berprilaku santun, keterampilan

(18)

serta kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut nilai-nilai moral dan spiritual masih

belum sesuai dengan harapan.

Prilaku remaja dan anak-anak terhadap media perlu menjadi perhatian.

Sebagai ilustrasi, penelitian AGB Nielsen Media Research (www.agbnielsen.com,

Juni 2011) yang terakhir menunjukkan bahwa dalam enam bulan, jumlah pemirsa

anak (5-14 tahun) meningkat 17%, terutama sejak bulan Februari. Potensi

penonton anak yang sebesar 12% (atau sekitar 1,2 juta anak) di bulan Februari

bertambah menjadi 13,4% (atau sekitar 1,4 juta anak) di bulan Juni seiring

dimulainya liburan sekolah. Bersamaan dengan bertambahnya potensi penonton

anak, jam menonton mereka pun bertambah 24 menit per hari dari rata-rata 4 jam

8 menit di bulan Februari menjadi ratarata 4 jam 32 menit per hari di bulan Juni.

Waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton siaran televisi dalam sepekan

rata-rata 28 hingga 35 jam. Jumlah tersebut lebih besar daripada jam sekolah

anak-anak yang biasanya berlangsung antara pukul 07.00 – 12.00 WIB, dikurangi

waktu istirahat. Masih berdasarkan data Nielsen, sebanyak 21 persen pemirsa TV

adalah anak-anak dengan usia 5-14 tahun. Waktu menonton TV bagi mereka

terutama pada pukul 06.00 – 10.00 dan antara pukul 12.00 – 21.00.Pada jam

tayang utama (18.00 – 21.00) ada sekitar 1,4 juta anak-anak yang menonton TV.

Padahal waktu tersebut seharusnya dipakai untuk belajar di rumah.

Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan sejumlah

dampak berbahaya nonton televisi bagi anak antara lain; berpengaruh terhadap

perkembangan otak, mendorong anak menjadi konsumtif, berpengaruh terhadap

sikap, mengurangi semangat belajar, membentuk pola pikir sederhana,

mengurangi konsentrasi, mengurangi kreativitas, meningkatkan kemungkinan

obesitas (kegemukan), merenggangkan hubungan antar anggota keluarga, matang

secara seksual lebih cepat (www.smallcrab.com, 2011).

Krisis moral spiritual remaja dan anak-anak seperti yang telah

dikemukakan di atas menjadi isu penting dalam konteks optimalisasi pendidikan

agama Islam di Sekolah Dasar. Perlu di sadari bahwa pendidikan agama saat ini

belum mampu berperan secara optimal dalam mengiringi perkembangan moral

spiritual anak-anak dan remaja. Padahal secara psikologis seperti dikemukakan

(19)

perkembangan remaja adalah memperoleh kematangan sistem moral untuk

membimbing prilakunya. Sistem moral yang kokoh ini dapat dibangun sejak dini

melalui proses pendidikan agama yang baik. Karena pendidikan agama yang baik

dapat berpengaruh terhadap kualitas kesadaran beragama sebagai dasar untuk

memperkokoh system moral yang dimiliki anak (Syamsu Yusuf, 2009: 17).

Pendidikan agama dapat membangun kesadaran beragama anak yang akan

memperkuat pembentukan dan pengembangan moral yang dimilikinya. Kesadaran

beragama dapat menggiring orientasi moral anak ke arah moral yang baik seiring

dengan perkembangan intelektual dan psikologisnya. Secara teoritik pembentukan

dan pengembangan moral pada anak melalui pendidikan agama akan menggiring

anak (meminjam gagasan Santrock) kepada; moral thought (pengembangan

proses berpikir tentang baik dan buruk), moral feeling (pengembangan sensitifitas

moral), moral behavior (pengembangan prilaku bermoral), dan moral personality

(pengembangan pribadi bermoral) (John W. Santrock, 2007:425).

Senada dengan Syamsu Yusuf, hasil penelitian yang dilakukan oleh

Carolyn McNamara Barry dan Larry J. Nelson (2008) membuktikan bahwa

religious beliefs (keyakinan agama) dan religious practices (pengamalan agama)

memberikan pengaruh terhadap moral. Penelitian yang dilakukan terhadap

sejumlah remaja berusia 18 tahun menyimpulkan bahwa seseorang yang

menempatkan keyakinan agama sebagai bagian penting dalam hidupnya, akan

menempatkan kehidupan bermoral sebagai hal yang penting. Demikian halnya

mereka yang menempatkan pengamalan agama (religious practices) sebagai hal

yang penting menetapkan kehidupan bermoral juga sebagai hal yang penting

(Barry, dkk. 2008:517-518).

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di muka dapat disimpulkan bahwa merosotnya

kesadaran moral spiritual keagamaan remaja dapat disebabkan oleh berbagai

faktor; 1) di ruang domestik kecenderungan pola pengasuhan yang tidak mendidik

oleh orang tua menjadi salah satu penyebab, misalnya dengan membiarkan anak

menonton televisi tanpa mengenal waktu; 2) lingkungan dimana anak tumbuh dan

berkembang kurang mendukung proses perkembangan moral keagamaan anak,

(20)

dalam masyarakat; 3) di sekolah proses pembelajaran pendidikan agama Islam

belum mampu membentuk kesadaran moral dan spiritual keagamaan, proses

pembelajaran belum menggiring pada pengembangan keberagamaaan anak sesuai

dengan tugas perkembangannya. Pembelajaran PAI hanya sebagai kegiatan

resitasi, belum menggiring kepada proses pembelajaran agama yang bermakna.

Pembelajaran pendidikan agama Islam belum artikulatif, ia baru menyentuh

pengetahuan agama anak. Pembelajaran pendidikan agama Islam belum

mengembangkan kesadaran beragama sesuai dengan tugas-tugas perkembangan

agama anak. Sedangkan pendidikan agama yang diperlukan saat ini adalah

pendidikan agama yang bisa mengantarkan murid menjadi being bukan hanya

knowing dan doing (Tafsir, 2006:228). Mengutip pernyataan Patrick Sherry

pendidikan agama yang diperlukan saat ini adalah “learning to be faithful and

religious” (Patrick Sherry, 1974:83). Bukan pendidikan tentang keimanan atau

agama.

Hasil penelitian Interfidei (Institut Dialog Antar Iman) yang berkerjasama

dengan Oslo Coallition Norwegia terhadap praktek pendidikan agama di sekolah

umum tahun 2004-2006 yang meliputi SD, SMP dan SMA di Yogyakarta terdapat

satu temuan bahwa praktek pengajaran agama pada umumnya membosankan.

Temuan senada juga muncul pada hasil penelitian Yusrina (2006:70) yang

menyimpulkan tidak adanya pengaruh signifikan dari praktek pembelajaran

agama terhadap akhlak murid, demikian pula tidak terdapat perbedaan antara

murid yang memiliki nilai tinggi dengan yang rendah dalam mata pelajaran agama

pada prilaku dan akhlak. Dengan demikian alih-alih menggiring murid untuk

mendalami ajaran agama, proses pembelajaran agama justru mengurangi rasa

ketertarikan murid terhadap pelajaran agama.

Disamping itu hasil kajian kebijakan kurikulum pendidikan agama yang

dilakukan oleh Departemen Agama dengan lembaga agama terkait diperoleh

temuan bahwa murid memiliki kemampuan dasar agama yang beragam sehingga

menyulitkan guru dalam mengelola proses pembelajaran (Depdiknas, 2007).

Kesesuaian antara tahap perkembangan murid pada aspek spiritual, intelektual,

emosional, sosial dan fisikal dengan materi serta pendekatan pembelajaran

(21)

modalitas belajar murid dan keragaman latar belakang murid baik kemampuan

dasar, sosial, budaya dan ekonomi menjadi salah satu keterampilan yang harus

dimiliki seorang guru.

Dalam pengelolaan materi pendidikan agama Islam, guru dihadapkan pada

masalah bagaimana mendahulukan apa. Hal ini terkait dengan banyaknya

komponen materi pendidikan agama Islam yang harus diberikan kepada murid

yang meliputi aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Masing-masing komponen

terdiri dari beberapa submateri yang harus diajarkan kepada murid dengan

keharusan menjangkau ranah knowing, doing dan lebih penting lagi being (Ahmad

Tafsir, 2006: 228). Dalam hal ini guru pendidikan agama Islam dihadapkan pada

masalah prioritas materi antara mendahulukan penguasaan instrumental agama

(keterampilan membaca al-Qur'an, menghapal ayat al-Qur'an, penguasaan praktek

ibadah) atau menginternalisasikan (meminjam istilah Ahmad Tafsir, 2006: 224)

nilai ajaran moral agama sehingga ajaran moral-spiritual ini being pada diri murid.

Materi pembelajaran agama Islam di sekolah dasar terlalu membebani

murid karena hampir semua aspek materi agama sudah diperkenalkan kepada

murid pada setiap jenjang. Penyajian materi agama dalam buku pelajaran agama

bersifat normatif dekriptif, kurang memberikan kontekstualisasi serta

ilustrasi-ilustrai yang bersifat artikulatif sehingga sangat membosankan dan tidak menarik.

C. Perumusan Masalah

Seperti telah dijelaskan dimuka, banyak faktor yang memberikan kontribusi

pada rendahnya kesadaran moral spiritual murid. Dalam konteks pendidikan

sekolah salah satunya adalah belum optimalnya proses pembelajaran pendidikan

agama Islam di Sekolah Dasar. Berkait dengan pengelolaan proses pembelajaran

pendidikan agama ini mengerucut pada cara mengajar guru, cara mengelola

belajar murid, cara mengelola lingkungan pembelajaran dan cara mengelola

materi pembelajaran dan mengevaluasinya. Empat aspek tersebut tersimpul pada

pentingnya pengembangan model pembelajaran.

Pengembangan model pembelajaran PAI sangat penting karena sejumlah

alasan yaitu; pertama, dampak pembelajaran agama terhadap perkembangan

moral dan spiritual murid belum nampak signifikan; kedua, nilai strategis jenjang

(22)

murid menghadapi jenjang berikutnya; ketiga, perlunya model pembelajaran

agama Islam yang berorientasi kepada penguatan kesadaran moral-spiritual agama

yang lebih artikulatif.

Dengan demikian masalah utama yang dipilih dalam penelitian ini adalah

“model pembelajaran agama Islam yang bagaimanakah yang dapat memperkuat kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar?”. Dengan merujuk pada rumusan

masalah tersebut maka penelitian ini di fokuskan pada upaya pengembangan

model pembelajaran agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual

pada murid di jenjang pendidikan dasar (SD). Berkait tema penelitian tersebut

dapat diidentifikasi tiga variabel kunci yaitu; 1) model pembelajaran agama

Islam; 2) kesadaran; 3) moral-spiritual.

Terdapat konsep kunci yang perlu dijelaskan dan diberi pengertian spesifik

berkait dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Konsep-konsep yang dimaksud

adalah:

1) Pengembangan Model Pembelajaran; dalam hal ini yang dimaksud adalah

kegiatan riset dan pengembangan yang dirancang secara sistematik dan

mendalam untuk menghasilkan produk model pembelajaran agama Islam

yang berorientasi kepada penguatan kesadaran moral-spiritual.

2) Kesadaran (conciousnes); yang dimaksud kesadaran dalam penelitian ini

adalah sensitifitas seseorang terhadap konsep baik dan buruk yang

bersumber dari keyakinan terhadap Tuhan dan ajaran agama serta

mengartikulasikannya dalam kebajikan-kebajikan sehari-hari. Konsep

variabel di atas diramu dengan merujuk kepada rumusan tentang kesadaran

yang dikemukakan Raymond D. Smith, 2005:66, Peter Jarvis, 1999: 38,

Michele Borba, 2001: 45 dan Carolin Kreber,dkk. 2007.

3) Moral-Spiritual; adalah seperangkat ajaran moral-spiritual yang diramu

serta disusun sebagai konten pembelajaran dengan mempertimbangkan

sejumlah pandangan para ahli serta pandangan ajaran Islam yang secara

umum meliputi; 1) pemahaman terhadap kehadiran dan derajat hubungan

dengan Allah SWT, 2) partisipasi dalam ibadah ritual, 3) values of being

(nilai-nilai dasar identitas dan jati diri), 4) values of giving (nilai-nilai

(23)

Untuk mengelola masalah yang telah dirumuskan di muka sehingga dapat

menjadi kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development plan)

yang sistematis maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Bagaimanakah penyelenggaraan pendidikan agama Islam Sekolah Dasar di Kab. Cirebon saat ini ?

2) Bagaimanakah desain model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid Sekolah Dasar di

Kb. Cirebon?

3) Bagaimanakah efektifitas model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral spiritual murid Sekolah Dasar di

Kab. Cirebon?

4) Bagaimanakah karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pengajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran

moral-spiritual yang dikembangkan tersebut? []

D. Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembelajaran

agama Islam untuk penguatan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar

(SD). Produk dari penelitian ini adalah model pembelajaran agama Islam untuk

penguatan kesadaran moral-spiritual (selanjutnya disingkat PKMS) yang secara

epistemologis memenuhi prosedur akademik ilmiah dan secara pragmatis dapat

diaplikasikan.

Merujuk kepada pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan

sistematis yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah;

1) Mengetahui profil kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar di Kab. Cirebon, termasuk faktor pendukung dan

penghambat optimalisasi kegiatan pembelajaran agama Islam saat ini.

2) Menemukan model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid Sekolah Dasar di Kab.

Cirebon.

3) Mengetahui efektifitas model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral spiritual murid Sekolah Dasar di

(24)

4) Mengetahui karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran

moral-spiritual yang dikembangkan tersebut.[]

E. Manfaat Penelitian

Karakteristik pembelajaran agama Islam di sekolah dasar (SD) pada

umumnya masih merujuk kepada model the banking concept education (Bashori

Muchsin, 201; 44). Model ini tidak memberikan ruang cukup untuk

mengeksplorasi potensi belajar yang dimiliki, serta menanamkan respect dan

responsibility, terutama dalam konteks pembelajaran agama Islam menggiring dan

menumbuhkan potensi moral-spiritual murid. Dalam keadaan demikian praktis

hasil pengajaran agama Islam mengalami stagnasi karena proses pembelajaran

hanya berputar pada kegiatan resitasi. Sementara tuntutan pengajaran agama Islam

tidak berhenti hanya pada penguasaan konsep dan aspek teoritik agama, sejatinya

ia menyentuh aspek ethos agama yang membatin pada diri murid serta

menumbuhkan kesadaran untuk mengartikulasikan nilai-nilai ajaran agama dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan pengembangan model pembelajaran yang

menyadarkan dengan orientasi kepada pemahaman otentik-articulative,

diharapkan menjadi pintu kepada proses pembelajaran yang menghasilkan

kegiatan knowing how to be (Unesco, 2002) . Disinilah penelitian memperoleh

signifikansinya.

Adapun manfaat hasil penelitian dan pengembangan akan nampak secara

umum pada peningkatan kualitas pembelajaran agama Islam di sekolah dasar.

Melalui proses pembelajaran agama Islam yang berorientasi kepada pemahaman

kontekstual-otentik dengan merujuk kepada model yang dikembangkan,

diharapkan dapat meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar.

Secara spesifik manfaat penelitian dan pengembangan dapat dirinci sebagai

berikut:

1. Model pembelajaran ini dapat menjadi pendekatan yang relatif baru

bagi pengajaran agama Islam di sekolah dasar. Penguatan terhadap

kesadaran moral-spiritual yang otentik-artikulatif menjadi salah satu

(25)

2. Model pembelajaran ini akan memproyeksikan murid sekolah dasar

kepada pengembangan kesadaran beragama sesuai dengan tugas-tugas

perkembangan keagamaan anak, serta memberikan sentuhan maksimal

pada sisi spiritualitas dan religiousitas yang dimiliki. Sehingga dapat

memperkokoh fondasi moral dan keberagamaan secara dini.

3. Bagi guru model pembelajaran ini dapat mendorong pengembangan

variasi pembelajaran dengan merujuk kepada karakteristik khas murid

sekolah dasar serta pengembangan modalitas latent dan manifest murid

sebagai cikal bakal manusia dewasa.

4. Bagi murid sekolah dasar, model pembelajaran ini relatif

menyenangkan serta membawa kepada pengalaman belajar yang lebih

bermakna dan membatin. []

F. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini disajikan menjadi lima bab. Bab pertama adalah bab

pendahuluan yang berisi (1) latar belakang masalah, (2) identifikasi masalah, (3)

perumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) struktur dan

organisasi disertasi.

Bab kedua menyajikan kerangka teoritik yang terdiri dari (1) kajian

terhadap teori model pembelajaran dan model pembelajaran moral-spiritual (2)

kajian terhadap teori kesadaran moral-spiritual (3) kajian terhadap teori

konseptual pembelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar.

Dalam ketiga adalah menyajikan pembahasan tentang metode penelitian

yang terdiri dari (1) lokasi penelitian, (2) metode dan desain penelitian, (3)

definisi operasional, (4) pengembangan instrumen penelitian, (5) analisis data, dan

(5) tahap-tahap pelaksanaan penelitian.

Bab ke empat menyajikan hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari

lima bagian pembahasan meliputi: (1) Bagian pembahasan deskriptif hasil

penelitian pendahuluan yang meliputi; a) keterampilan guru PAI mengelola

pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar; b) keterampilan guru PAI mengelola

materi pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar; c) persepsi murid terhadap

kegiatan pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar; dan d) moral-spiritual

(26)

pengembangan model yang meliputi; a) analisis hasil penelitian pendahuluan

sebagai dasar pengembangan model, b) pengembangan model konseptual dan

artikulasi model dalam desain pembelajaran. (3) Bagian pembahasan hasil

kegiatan uji coba model yang meliputi; a) analisis standar isi dan SK-KD

pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar, b) implementasi model PKMS yang

dikembangkan dalam uji coba terbatas, c) hasil uji coba terbatas, d) hasil uji coba

skala luas. (4) Bagian pembahasan hasil uji validasi model pembelajaran yang

meliputi; a) dampak model PKMS terhadap penguatan kesadaran moral spiritual

murid Sekolah Dasar, b) interaksi model PKMS. (5) Bagian pembehasan hasil

penelitian yang meliputi; a) desain model pembelajaran PKMS, b) implementasi

model pembelajaran PKMS pada kurikulum PAI di Sekolah Dasar, c) relevansi

model pembelajaran PKMS dengan posisi strategis pembelajaran PAI di Sekolah

Dasar, d) efektifitas model pembelajaran PKMS, e) kelebihan dan kelemahan

model pembelajaran PKMS.

Bab kelima adalah bab penutup yang menyajikan tiga hal; (1) kesimpulan

hasil penelitian, (2) implikasi hasil penelitian, (3) rekomendasi hasil penelitian.

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas (1) lokasi penelitian, (2) metode dan desain

penelitian, (3) definisi operasional, (4) pengembangan instrumen penelitian, (5)

analisis data, dan (5) tahap-tahap pelaksanaan penelitian.

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dan pengembangan model pembelajaran pendidikan agama Islam

untuk penguatan kesadaran moral spiritual (PKMS) murid sekolah dasar

dilaksanakan di Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon. Subjek penelitian adalah

guru pendidikan agama Islam Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon serta murid

Sekolah Dasar kelas 5 di Kabupaten Cirebon. Dalam hal ini satuan yang dipilih

sebagai sampel bukanlah individu melainkan sekelompok individu yang secara

alami berada bersama-sama di satu tempat (Donald Ary, 2004:200). Sampel

ditetapkan secara cluster (sampel area) yaitu dengan menetapkan UPTD

Pendidikan Kec. Talun. Penetapan UPTD Kec. Talun sebagai sampel disebabkan

memenuhi kriteria umumnya Sekolah Dasar di Kab. Cirebon. Pemilihan sampel

area (cluster sampling) diperbolehkan sepanjang individu-individu dalam

kelompok memiliki persamaan ciri yang ada hubungannya dengan variabel

penelitian (Donald Ary, 2004:200). Secara rinci penetapan sampel dalam

penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Untuk mendapatkan informasi tentang kondisi eksisting proses

pembelajaran agama Islam di sekolah dasar dilakukan penelitian terhadap

guru pendidikan agama Islam di Kabupaten Cirebon dengan menetapkan

Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan Kecamatan Talun.

Dengan mengambil secara acak 10 orang guru pendidikan agama Islam

(PAI) di 10 sekolah dasar Kec. Talun Kab. Cirebon. Penetapan UPTD Kec.

Talun didasarkan atas letak geografis dan kondisi sosial budaya masyarakat

Kab. Cirebon baik secara vertikal maupun mobilitas horisontal masyarakat.

Di kecamatan Talun terwakili masyarakat pendatang dan penduduk asli

dengan beragam kelas ekonomi, pendidikan dan ragam budaya. Komposisi

subjek penelitian guru dan sekolah dasar yang dijadikan sampel di UPTD

(28)

Tabel 3.1 Daftar Subjek Penelitian pada Kegiatan Penelitian

b. Untuk mendapatkan informasi tentang persepsi murid terhadap proses

pendidikan agama Islam yang telah di laksanakan, dan kondisi kesadaran

murid terhadap nilai-nilai moral spiritual, dilakukan penelitian terhadap 100

orang murid dari kelas 5 yang diambil secara acak (random) dari 10 Sekolah

Dasar di UPTD Kec. Talun yang telah ditetapkan sebagai sampel.

Komposisi masing-masing sampel dari 10 sekolah dasar dapat dilihat pada

tabel berikut:

c. Untuk melakukan uji coba model pembelajaran PKMS pada pendidikan

agama Islam di SD, maka ditetapkan 1 buah sekolah dasar yang dipilih dari

10 sekolah dasar yang telah ditetapkan sebagai sampel. Penetapan tersebut

(29)

uji coba. Dalam hal ini terutama kesediaan guru pendidikan agama Islam

untuk bekerjasama dengan peneliti melakukan uji coba penerapan model

pembelajaran yang sedang dikembangkan secara berkelanjutan sampai

ditemukan model yang dianggap memadai dan solid. Kerjasama guru pelaku

dengan penelitian dalam hal ini sangat penting agar proses pengembangan

berjalan lancar. SD yang ditetapkan sebagai tempat uji coba adalah SDN

Sampiran Kec. Talun Kab. Cirebon dengan guru sukarelawan bernama

Norman, S.Pd.I.

d. Setelah dilakukan proses uji coba terbatas, dilanjutkan dengan kegiatan uji

coba luas yang melibatkan tiga buah SD dengan tiga katagori yaitu; SDN

Kepongpongan 2 (katagori 1), SDN Kecomberan 1 (katagori 2) dan SDN

Cirebon Girang (katagori 3). Untuk membuktikan kehandalan model yang

telah dikembangkan dilakukan uji validasi. Uji validasi melibatkan tiga buah

SDN kelompok eksperimen dan tuga buah SDN kelompok kontrol.

Penetapan sampel baik kepada kelompok eksperimen maupun kelompok

kontrol dilakukan berdasar klasifikasi sekolah. Terutama dilihat dari

geografis sekolah dan kondisi sosial budaya orang tua murid. Penetapan

sekolah sampel dilakukan secara purposive dengan kriteria sekolah; berada

di pedesaan dengan kondisi masyarakat yang relatif homogen dan sekolah

yang berada di perkotaan dengan kondisi masyarakat yang relatif heterogen.

B. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian menggunakan metode penelitian dan pengembangan (research

and development). Model yang dipergunakan mengikuti model yang

dikembangkan Samsudi (2006) (dalam Sugiyono, 2010:434) atau Nana Saodih

Sukmadinta (2007) yang telah mengerucutkan sepuluh kegiatan penelitian dan

pengembangan menjadi tiga tahapan besar yaitu: a) Tahap studi pendahuluan, 2)

Tahap studi pengembangan, 3) Tahap evaluasi.

Langkah-langkah pengembangan model pembelajaran PKMS murid

Sekolah Dasar diawali dengan kegiatan membuat rancangan pembelajaran yaitu

proses menganalisis kebutuhan, menentukan isi apa yang harus dikuasai,

(30)

khusus dan melakukan uji coba serta melakukan revisi program berkenaan dengan

hasil belajar mengajar.

Dengan tiga tahapan utama seperti yang dipergunakan Samsudi (dalam

Sugiyono, 2010: 434) maka dalam kegiatan penelitian Pengembangan Model

Pembelajaran PKMS pada mata pelajaran pendidikan Agama Islam bagi murid

Sekolah Dasar ini dikelola melalui tahapan penelitian dan pengembangan sebagai

berikut:

1) Tahap studi pendahuluan yang meliputi kegiatan; a) studi lapangan

terhadap proses sistemik kegiatan pembelajaran agama Islam di sekolah

dasar, b) study literatur untuk menggali teori yang akan mendasari model

pembelajaran agama Islam yang akan dikembangkan, c) kajian normatif

terhadap ayat al-Qur'an untuk mendapatkan model al-uslub al-Qurany bagi

pembelajaran agama Islam di sekolah dasar, c) analisis normatif-teoritik

dan analisis temuan (faktual) untuk melahirkan model tentatif.

2) Tahap studi pengembangan yang meliputi kegiatan; a) pengembangan draft

desain model tentatif, b) validasi desain melalui jajak pendapat pengguna

(user) dalam hal ini guru-guru agama SD, c) validasi desain oleh ahli atau

pakar, d) ujicoba model terbatas, e) revisi model tahap 1, f) uji coba model

luas, g) revisi model tahap 2, h) model definitif.

3) Tahap evaluasi (validasi) yang meliputi kegiatan; a) implementasi model,

b) test akhir, c) konklusi implementasi model, d) model final.

Mengikuti urutan deskriptif di atas maka langkah-langkah kegiatan

Pengembangan Model Pembelajaran PKMS pada pendidikan Agama Islam Di

(31)

Gambar 3.1. Langkah-langkah Penelitian dan Pengembangan

1. Tahap Studi Pendahuluan

Kegiatan studi pendahuluan dilakukan dengan dua metode yaitu observasi

langsung dan survey. Kegiatan observasi dilakukan untuk melihat secara faktual

kecenderungan proses pembelajaran yang dilaksanakan, sedangkan kegiatan

survey merekam sikap responden terhadap pengelolaan proses pembelajaran.

Kegiatan survey dilakukan terhadap dua kelompok responden yaitu guru dan

murid; 1) survey terhadap guru dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang

proses pembelajaran agama Islam yang berlangsung di sekolah dasar. Data yang

diperoleh bukan untuk menguji hipotesis atau membuat kesimpulan tetapi

mendapatkan informasi secara deskriptif mengenai gambaran sampel (Sugiyono,

2010:208). Terutama gambaran data sampel diseputar; a) guru dan cara mengajar

agama Islam, b) kurikulum dan pengelolaan materi agama Islam; 2) survey

terhadap murid dilakukan untuk memperoleh gambaran resepsi murid terhadap

proses pembelajaran yang telah mereka terima, baik resepsi terhadap cara guru

mengajar, serta resepsi terhadap materi agama Islam secara keseluruhan.

Penelitian survey juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang

kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar sebagai dampak dari proses

pembelajaran yang telah mereka terima.

Hasil yang diperoleh dari studi pendahuluan dijadikan dasar untuk

(32)

untuk mengembangkan model. Sehingga model yang dikembangkan merupakan

model integratif dari fondasi normatif-teoritik dan kondisi faktual proses

pembelajaran agama Islam di sekolah dasar.

2. Tahap Studi Pengembangan

Pada tahapan ini desain model yang bersifat tentatif dikembangkan. Desain

model ini di bangun dengan merujuk kepada teori serta dasar normatif konsep

al-Qur'an dengan mengakomodir temuan yang diperoleh dalam kegiatan survey.

Model tentatif ini kemudian di validasi untuk memperoleh penilaian yang bersifat

rasional dengan melibatkan pakar dan sejawat disertai evaluasi keterbacaan model

oleh user dalam hal ini guru-guru sekolah dasar. Setelah dilakukan validasi dan

evaluasi keterbacaan model kemudian diujicobakan secara terbatas.

Proses uji coba mengikuti prosedur penelitian tindakan (action research).

Penelitian tindakan (action research design) di definisikan oleh Mills (dalam

Creswell, 2008:597) sebagai "systematic procedures done by teacher (or other

individuals in an educational setting) to gather information about and

subsequently improve the ways their educational setting operates, their teaching

and their student learning". Dengan demikian kegiatan peneltian dan

pengembangan model PKMS bersifat; a) fokus kepada praktek pembelajaran PAI

dengan model yang dikembangkan, b) guru menjadi peneliti (mengevaluasi) atas

prakteknya sendiri, c) dilaksanakan secara kolaboratif bersama guru pendamping,

d) berlangsung secara dinamis, e) kegiatan merencanakan tindakan, f) kegiatan

sharing untuk memantapkan model (Creswell, 2008:605). Dengan mengikuti

prosedur penelitian tindakan, proses penelitian dan pengembangan model

pembelajaran pendidikan agama Islam (PKMS) dilakukan dengan siklus berulang

sehingga menghasilkan model yang betul-betul mapan.

Proses uji coba untuk menghasilkan model pembelajaran PKMS dengan

pendekatan penelitian tindakan (action research) dilakukan pada semester

pertama di kelas lima di Sekolah Dasar Negeri Sampiran 1 di Kabupaten Cirebon,

dengan guru sukarelawan Bapak Norman, S.Pd. Dalam hal ini model yang

diujicobakan sudah dalam bentuk sebuah rencana tindakan (a plan of action) yang

kemudian akan mengikuti siklus berupa; a) identifikasi terhadap problem dalam

(33)

implementasi model, c) analisis dan interpretasi terhadap informasi yang telah

diperoleh, d) mengembangkan rencana tindakan berikutnya berupa hasil revisi

model.

Dalam proses penelitian dan pengembangan ini kerjasama yang erat antara

peneliti dengan guru sebagai client harus dibangun terutama untuk memperoleh

informasi tentang; a) keterbacaan draft model yang diuji coba, b) keterpakaian

draft model yang diuji coba (aplicablility), c) proses implementasi draft model, d)

efektifitas dan efisiensi model. Informasi ini dipergunakan untuk memperkokoh

disain model melalui kegiatan revisi yang berkelanjutan sampai mendapatkan

model yang solid atau model hipotetik.

3. Tahap Evaluasi/Validasi

Pada tahapan ini model yang sudah diuji coba dan di revisi sehingga

menjadi model hipotetik dilakukan uji validasi. Dalam validasi model ini

mencakup dua hal yaitu; 1) dampak penerapan model terhadap tugas guru dalam

menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan evaluasi hasil

belajar pendidikan agama Islam ; 2) dampak penerapan model PKMS terhadap

penguatan kesadaran moral spiritual Sekolah Dasar.

C. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini kegiatan di fokuskan kepada penelitian dan

pengembangan guna menghasilkan model pembelajaran pendidikan agama Islam

untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual pada murid di jenjang pendidikan

dasar (SD). Berkait tema penelitian tersebut dapat diidentifikasi tiga variabel

kunci yaitu; 1) model pembelajaran agama Islam; 2) kesadaran; 3)

moral-spiritual.

Dalam hal ini terdapat sejumlah konsep kunci yang perlu diberi penjelasan

dan diberi pengertian spesifik berkait dengan kepentingan dan tujuan penelitian.

Konsep-konsep yang dimaksud adalah:

1) Pengembangan Model Pembelajaran; yang dimaksud adalah kegiatan riset

dan pengembangan yang dirancang secara sistematik dan mendalam

dengan merujuk kepada kajian normatif-teoritik untuk menghasilkan

produk model pembelajaran pendidikan agama Islam yang berorientasi

(34)

2) Kesadaran moral (moral conciousnes); yang dimaksud kesadaran moral

dalam penelitian ini adalah perpaduan antara pengetahuan, sikap dan

keterampilan murid sekolah dasar terhadap konsep baik dan buruk meliputi

1) values of being (nilai-nilai dasar identitas dan jati diri), 2) values of

giving (nilai-nilai pemberian) yang bersumber dari ajaran agama yang

diperoleh melalui pembelajaran pendidikan agama Islam serta

mengartikulasikannya dalam kebajikan sehari-hari. Konsep variabel di atas

diramu dengan merujuk kepada rumusan tentang kesadaran yang

dikemukakan Raymond D. Smith (2005:66), Peter Jarvis (1999: 38),

Michele Borba (2001: 45) dan Carolin Kreber,dkk. (2007).

3) Kesadaran spiritual (spiritual conciousnes); yang dimaksud kesadaran

spiritual dalam penelitian ini adalah perpaduan pengetahuan, sikap dan

keterampilan murid sekolah dasar tentang keyakinan terhadap Tuhan yang

meliputi 1) pemahaman terhadap kehadiran dan derajat hubungan dengan

Allah SWT, 2) partisipasi dalam ibadah ritual yang diperoleh melalui

pembelajaran pendidikan agama Islam serta mengartikulasikannya dalam

kebajikan sehari-hari.

D. Pengembangan Instrumen Penelitian

Kegiatan penelitian ini difokuskan pada tiga hal; 1) pengetahuan tentang

kondisi eksisting proses pembelajaran agama Islam di sekolah dasar yang

diperoleh melalui observasi langsung terhadap sejumlah sekolah yang menjadi

sampel serta dengan menggunakan angket yang diberikan kepada guru dan kepada

murid sekolah dasar yang menjabdi sampel penelitian. 2) Penerapan model

pembelajaran PKMS pada pendidikan agama Islam di sekolah dasar sebagai

produk penelitian. 3) Uji validasi model telah dihasilkan.

1. Instrument Angket

Instrumen yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam penelitian

pendahuluan adalah instrumen angket (kuisioner). Instrumen ini dipergunakan

sebagai perangkat pengumpul data utama disamping observasi dan wawancara.

Instrumen kuisioner yang dipergunakan dalam penelitian pendahuluan ini

sebanyak dua buah yaitu: 1) Instrumen untuk mengetahui keberadaan pengelolaan

(35)

sebanyak 25 butir pernyataan yang meliputi; a) identitas pribadi, b) tentang guru

dan cara mengajar, c) pengelolaan materi PAI SD. 2) Instrumen untuk menjaring

data tentang resepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam dan derajat

kesadaran moral spiritual yang dimiliki masing-masing murid. Jumlahnya

sebanyak 37 butir yang mencakup; a) identitas pribadi, b) persepsi murid terhadap

proses pembelajaran agama Islam yang telah diterima, c) moral-spiritual

assessment inventory (yaitu menjaring data tentang tingkat kesadaran moral

spiritual murid) (Lihat di lampiran)

Angket disusun secara terstruktur atau tertutup yang berisi

pertanyaan-pertanyaan yang disertai dengan pilihan jawaban yang telah disediakan, serta

bersifat mencakup semua kemungkinan jawaban dan saling lepas (mutually

axclusive) (Arief Furchan, 2004:260) terutama untuk instrumen variabel

pengelolaan guru agama Islam terhadap proses pembelajaran. Sedangkan untuk

unstrumen variabel persepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam dan

kesadaran moral spiritual murid mempergunakan pernyataan dengan jawaban

model skala Likert.

Kusioner yang dipergunakan dalam penelitian ini harus teruji validitasnya.

Validitas instrumen mengacu kepada kemampuan instrumen untuk mengukur

terhadap apa yang seharusnya diukur (Arief Furchan, 2004: 293). Dalam hal ini

peneliti meyakini validitas instrumen yang dibuat karena butir-butir pernyataan

yang disusun mengacu kepada universum isi yang hendak diukur (validitas isi),

atau membandingkan isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah di

tetapkan (Sugiyono, 2010:182). Untuk memastikan adanya validitas isi ini

ditempuh melalui proses bertahap yang meliputi proses kognisi dan kajian teoritis,

yaitu mengkaji teori dari dimensi variabel, merumuskannya ke dalam kisi-kisi dan

menterjemahkannya menjadi butir pernyataan.

Disamping validitas isi, instrumen ini juga diyakini memenuhi validitas

konstruk (validitas bangunan pengertian) dan validitas eksternal. Validitas

konstruk menunjuk kepada sejauh mana hasil jawaban responden dapat

ditafsirkan menurut bangunan pengertian. Validitas konstruk merupakan

gabungan antara pendekatan logis dan empiris (Ary, 2007:302; Sugiyono, 2010:

(36)

gabungan dari unsur yang berkaitan antara peran guru dan cara mengajar, peran

murid dan cara belajar, pengelolaan materi, pengelolaan lingkungan belajar.

Secara empiris pilihan murid terhadap butir pernyataan memperkokoh konstruk

logis tadi. Sedangkan validitas eksternal instrumen diuji dengan membandingkan

antara kriteria yang ada pada isntrumen dengan fakta-fakta empiris yang terjadi

dilapangan (Sugiyono, 2010:183).

Untuk instrumen variabel persepsi murid terhadap proses pembelajaran

agama Islam yang telah dilaksanakan serta instrumen untuk mengetahui derajat

kesadaran moral spiritual murid dilakukan uji keterbacaan instrumen. Uji ini

dilakukan mengingat kemampuan memahami teks murid sekolah dasar kelas 5

yang bervariasi atau terbatas. Uji keterbacaan item instrumen ini dilakukan

kepada 10 orang murid sekolah kelas 5 dengan mempersilahkan mereka membaca

seluruh 37 instrumen dan menyebutkan isntrumen yang tidak difahami

maksudnya. Hasil dari uji keterbacaan item instrumen ini diperoleh kesimpulan

bahwa instrumen yang tidak difahami secara langsung oleh murid adalah

instrumen nomor; 2, 6, 8, 20, 26 sehingga perlu dilakukan perubahan redaksional.

Adapun kisi-kisi instrumen masing-masing variabel sebagai berikut:

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen variabel Guru dan Pengelolaan Pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar.

Variabel Komponen Indikator Jumlah

(37)

18.Efektifitas pembelajaran PAI 19.Kepuasan terhadap output

pembelajaran PAI

Jumlah 2 item

Teori-teori yang dipergunakan untuk menyusun kusioner ini mengacu

kepada teori yang dikembangkan Richard I Arend (2007: 105, 158, 187, 196, 198

dan 207) dalam "Learning to Teach; Belajar untuk Mengajar" dengan beberapa

modifikasi disesuaikan dengan tujuan penelitian.

Tabel 3.4 Kisi-Kisi Instrumen variabel resepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam yang dilaksanakan.

Variabel Indikator Jumlah

1 2 3

B. Murid dan Cara Belajar 6. Memperoleh akses terhadap proses pembelajaran

7. Mendapatkan cara belajar yang bervariasi

8. Memperoleh kemudahan mendapatkan

15. Relevansi materi dengan kebutuhan agama murid

16. Kebermaknaan materi bagi pengembangan sikap beragama murid.

4

Jumlah 16 item

(38)

dengan Tuhan 4. Merasa dibenci Tuhan

5. Menaruh harapan pada Tuhan B. Partisipasi dalam ibadah

Untuk menyusung angket kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar

mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh Lynn G. Underwood (2006)

tentang spiritality yang menetapkan diantara komponennya adalah; a) hubungan

dengan kehadiran tuhan, b) proses transendensi diri, c) adanya kekuatan dan

kenyamanan disamping tuhan, d) kedamaian, e) bantuan tuhan, f) bimbingan

tuhan, g) perasaan dicintai tuhan, h) perasaan kagum, i) perasaan tanpa pamrih, j)

rasa kasihan dan cinta, k) kesatuan dan kedekatan dengan tuhan. Sedangkan untuk

konsep morality merujuk kepada konsep Linda dan Richard Eyre (1993) dalam

bukunya Teaching Your Children Values yang membagi nilai moral pada dua

katagori yaitu; a) values of being dan b) values of giving.

Dari 21 buah indikator yang mewakili empat aspek kesadaran moral

spiritual tersebut diartikulasikan ke dalam 21 buah pernyataan yang harus disikapi

murid. Masing-masing pernyataan menyajikan empat pilihan jawaban yang terdiri

dari: selalu (4), sering (3), jarang (2), tidak pernah (1) untuk pernyataan yang

favorable. Sedangkan untuk pernyataan yang non favorable adalah: tidak pernah

(4), jarang (3), sering (2), selalu (1). Adapun cara memilih jawaban dari empat

Gambar

Tabel 1.1  Fungsi,   tujuan   dan   pendekatan    penyelenggeraan  pendidikan agama seperti tercantum dalam  PP No
tabel berikut:
Gambar 3.1. Langkah-langkah Penelitian dan Pengembangan
Tabel 3.3  Kisi-Kisi Instrumen variabel Guru dan Pengelolaan Pembelajaran agama
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan secara praktis adalah dapat dijadikan masukan bagi Sekolah Dasar Lazuardi Kamila GIS Surakarta, untuk pengembangan Pendidikan Agama Islam ke depannya dan

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan CD audio pembelajaran Asmaul Husna mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang baik bagi siswa kelas V

Penelitian bertujuan untuk (1) memotret model kurikulum pendidikan agama pada Sekolah Dasar Islam Terpadu di Kota Yogyakarya, (2) mengetahui implementasi pendidikan agama di

Dengan demikian, pendidikan agama Islam di sekolah dasar bertujuan untuk menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan,

Selain itu, dapat dilihat apakah dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam mampu memberikan pengaruh terhadap kecerdasan spiritual (SQ) siswa. Penelitian

Murid di Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Fityah Pekanbaru yaitu: faktor keluarga atau orang tua, teman, lingkungan, dan pengaruh televisi serta media elektronik lainnya

Adapun kegiatan ekstrakurikuler PAI di sekolah adalah kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang dilakukan diluar jam pelajaran intrakurikuler, yang

Berarti tidak ada korelasi yang signifikan antara kecerdasan spiritual dengan motivasi belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas Negeri