i
PROPOSAL
PENELITIAN PROFESSORSHIP UNIVERSITAS LAMPUNG
MODEL KEBIJAKAN PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT OLEH PEMERINTAH DAERAH BERBASIS HUKUM PROGRESIF
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
ii DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul ... i
Daftar Isi ... ii
Ringkasan ... iii
Bab 1. Pendahuluan ... 1
Bab 2. Tinjauan Pustaka ... 3
Bab 3. Metode Penelitian ... 7
A. Jenis Penelitian ... 7
B. Data dan Sumber data ... 7
C. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum/Data ... 8
D. Analisis Bahan Hukum/Data ... 8
E. Tahap-Tahap Penelitian ... 8
Bab 4. Biaya dan Jadwal Penelitian ... 10
A. Biaya ... 10
B. Jadwal Penelitian ... 11
Referensi... 17
iii RINGKASAN
Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi telah mengamanatkan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya sepanjang masih hidup tetap diakui dan dihormati keberadaannya. Hal ini kemudian didukung oleh berbagai peraturan perundang-undangan nasional dan sektoral yang juga telah mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat, termasuk hak yang melekat padanya yaitu hutan adat. Kendatipun hutan adat telah diakui di berbagai peraturan perundang-undangan, namun dalam implementasinya sampai saat ini konflik lahan terkait adat masih terus terjadi. Dari aspek hukum, kondisi demikian itu terjadi karena instrumen hukum di tingkat daerah belum mampu memberikan perlindungan yang holistik terhadap masyarakat hukum adat.
Penetapan hutan adat merupakan hal penting dalam rangka implementasi hak konstitusional masyakarat hukum adat. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 menjadi langkah progresif dengan menetapkan hutan adat bukan lagi bagian hutan Negara. Namun pasca putusan tersebut, masih ada proses panjang yang harus dilalui Masyarakat Hukum Adat untuk memperoleh haknya. Hal ini terbukti dari capaian yang sangat sedikit dalam penetapan hutan adat dibandingkan dengan realitas luas wilayah dan hutan adat di Indonesia.
Kebutuhan akan kebijakan hukum daerah dalam pemenuhan hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat perlu mendapat prioritas dari Pemerintah Daerah. Daerah dalam hal ini sangat berperan penting merealisasikan pemenuhan hak tersebut. Penelitian ini akan menggunakan basis hukum progresif dalam menemukan model kebijakan percepatan hutan adat oleh Pemerintah Daerah.
Penelitian ini bertujuan khusus untuk mengisi kekosongan hukum dan menemukan model yang ideal dalam percepatan penetapan hutan adat, hal ini kemudian akan menjadi landasan hukum bagi Masyarakat Hukum Adat untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat.
Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan socio legal approach, yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan dan fenomena hukum.
Hasil yang diharapkan melalui penelitian ini adalah terbentuknya model kebijakan percepatan penetapan hutan adat berbasis hukum progresif. Luaran yang ditargetkan yaitu luaran wajib dan luaran tambahan. Luaran wajib berupa publikasi artikel di Jurnal Internasional terindeks SCOPUS (Q3) dan diseminasi hasil penelitian pada pertemuan ilmiah LPPM. Target jurnal SCOPUS yaitu Law, Culture and the Humanities (Q3). Serta, luaran tambahan berupa kekayaan intelektual yakni hak cipta berupa buku referensi. Adapun sesuai dengan indikator yang ada maka TKT penelitian ini berada pada level 6.
Kata kunci: Hutan Adat, Masyarakat Hukum Adat, Model Kebijakan, Hukum Progresif.
1 BAB 1
PENDAHULUAN
Negara memiliki kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat melalui optimalisasi pengelolaan hutan, termasuk hutan adat yang tidak merupakan bagian dari hutan negara.1 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012, tahapan baru bagi masyarakat adat sebagai subjek pengelola hutan adat berdampak positif terhadap transformasi pengelolaan kawasan hutan dan sumber daya alam di Indonesia.2 Namun dalam implementasinya, meskipun MK telah mengeluarkan putusan No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat bukan dari bagian hutan negara, masyarakat hukum adat tidak serta merta dapat mengelola dan memanfaatkan hutan adat tersebut.
Melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK, menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. P. 32/ Menlhk-Setjen/ 2015 tentang Hutan Hak yang menjadi salah satu dasar hukum penetapan hutan adat, dan memberikan jawaban terhadap kebuntuan proses pengakuan hutan adat di Indonesia.3 Tahapan tersebut dalam prakteknya sangat panjang dan memiliki hambatannya masing-masing. Setelah ada produk hukum daerah juga masih masih memerlukan proses validasi dokumen dan verifikasi lapangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berdasarkan data, dari 8,3 juta hektar, saat ini baru hanya ±17.000 hektar bagi hutan adat yang telah memperoleh penetapan. Hal ini mengindikasikan bahwa sangat sulit mencapai hak konstitusi bagi masyarakat adat.4 Oleh karenanya kebijakan hukum penetapan hutan adat, dalam implementasinya belum memberikan keadilan bagi masyarakat hukum adat sehingga menimbulkan
1 Wahyu Nugroho, Konstitusionalitas Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Hutan Adat: Fakta Empiris Legalisasi Perizinan, Jurnal Konstitusi Vol.11 Nomor 1, Maret 2014.
2 Muki T. Wicaksono dan Malik, Konteks Politik Hukum di Balik Percepatan Penetapan Hutan Adat: Catatan Ke Arah Transisi 2019, Jurnal Hukum Lingkungan Vol.4 Issue 2, Februari 2018.
3 Malik, Arizona, Yance dan Muhajir, Mumu. 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Masyarakat Adat,” Jakarta: Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015.
4 Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Periode 2017-2022.
Dalam Muki T. Wicaksono dan Malik, Konteks Politik Hukum di Balik Percepatan Penetapan Hutan Adat: Catatan Ke Arah Transisi 2019, Jurnal Hukum Lingkungan Vol.4 Issue 2, Februari 2018.
2 dampak yang luas bagi masyarakat hukum adat, salah satunya dampak ekonomi dalam pemanfaatan hutan adat.
Pemerintah Daerah turut andil dalam upaya pemenuhan hak Masyarakat Hukum Adat ini. Berdasarkan UU Nomor 23/2014 sebagaimana termuat dalam lampirannya, pemerintah memiliki wewenang dalam pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan penetapan tanah ulayat. Hal ini dipertegas dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, Pasal 67 ayat (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pengakuan hak masyarakat hukum adat atas pemanfaatan hutan selalu menjadi tuntutan bagi masyarakat hukum adat dan organisasi non-pemerintah yang mendukung hak-hak masyarakat hukum adat.5 Lambat dan sedikitnya penetapan hutan adat disebabkan oleh regulasi yang tidak efektif dan efisien.6 Pentingnya mendorong proses regularisasi dalam bentuk diskresi yang efektif untuk mengisi kekosongan hukum pada upaya percepatan penetapan hutan adat di Indonesia, sangat diperlukan. Penelitian ini menjadi sangat penting dalam menemukan dan menawarkan solusi atas kondisi dan permasalahan tersebut.
Pada prinsipnya keberadaan hukum sesungguhnya adalah untuk melindungi manusia sebagai pengguna (user) atas hukum. Hukum dibuat untuk manusia, sehingga hukum yang dibuat haruslah hukum yang berkemanusiaan.
Penelitian ini bertujuan khusus untuk mencari dan menemukan Model Kebijakan Percepatan Penetapan Hutan Adat Oleh Pemerintah Daerah Berbasis Hukum Progresif, sehingga nantinya pemenuhan hak Masyarakat Hukum Adat atas hutan adat dapat segera terealisasi dan konflik agraria terkait adat dapat menurun signifikan.
5 Almonika Cindy Fatika Sari, Hak Dan Akses Tenurial Masyarakat Hukum Adat Bengkunat Dalam Pemanfaatan Hutan Di Pesisir Barat, Lampung. Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, Vol. 6 No. 1 Mei 2020
6 Sukirno, Rekonstruksi Regulasi Untuk Akselerasi Penetapan Hutan Adat, Jurnal Hukum Progresif, Vol.7 No.1, April 2019.
3 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Secara normatif berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat. Adapun definisi Masyarakat Hukum Adat adalah Masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil Hutan di wilayah Hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.
Hak atas tanah Masyarakat Hukum Adat adalah merupakan kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat hukum adat.7 Konsep hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah yang menjadi hak masyarakat hukum adat sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Menurut Sumardjono aspek publik dalam hak ulayat tampak dalam kewenangan MHA dalam mengatur: (a) tanah/wilayah sebagai ruang hidupnya terkait dengan pemanfaatannya termasuk pemeliharaannya; (b) hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya; dan (3) perbuatan hukum terkait dengan tanah masyarakat hukum adat. Sementara itu, aspek privat dalam hak ulayat tampak dalam manifestasi hak ulayat sebagai kepunyaan bersama.8
Pengakuan terhadap masyarakat adat sangat penting. Pengakuan tersebut akan mendorong keberadaan masyarakat adat agar dilindungi oleh undang-undang serta perlindungan hak atas tanah mereka.9 Putusan MK No.35/PUU-X/2012
7Kusumadi Pujosewejo,dalam Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 69. Istilah Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah Adatrechtsgemeenschaap.
8 Sumardjono, MSW 2018, Regulasi pertanahan dan semangat keadilan agraria, STPN Press, Yogyakarta. Hlm.37
9 Ikhana Indah Barnasaputri, Jalan Panjang Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Peraturan Daerah: Beberapa Persoalan yang Belum Selesai, Notaire Vol.4 No.1, Februari 2021.
4 menjadi capaian progresif yang menyelesaikan miskonsepsi dari penetapan kawasan hutan di Indonesia. Putusan MK tersebut meluruskan kekeliruan UU Kehutanan, dengan memutuskan bahwa „hutan adat adalah bukan lagi bagian dari hutan negara, tetapi merupakan bagian dari hutan hak‟.
Myrna Safitri dalam tulisannya Dividing the Land: Legal Gaps in the Recognition of Customary Land in Indonesian Forest Areas, memperlihatkan bahwa terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pengakuan hutan adat di Indonesia, khususnya Pasca Putusan MK No.35/PUU-X/2012.
Ketiga faktor tersebut terdiri dari: i) inkonsistensi hukum nasional terkait payung hukum pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya; ii) masih bertahannya pola pikir di antara birokrat kehutanan yang memandang bahwa „kawasan hutan‟
adalah hanya hutan negara; dan iii) kuatnya motivasi politik-ekonomi di antara pemerintah daerah untuk memprioritaskan alokasi lahan untuk investasi skala besar daripada pengakuan wilayah adat.10
Oleh karenanya, diperlukan kebijakan hukum yang progresif dalam mengatasi persoalan hukum dalam penetapan hutan adat. Satjipto Raharjo memperkenalkan Teori Hukum Progresif dengan pemahaman: Pertama, bahwa hukum selalu ditempatkan untuk mencari landasan pengesahan atas suatu tindakan yang memegang teguh ciri prosedural dari dasar hukum dan dasar peraturan; Kedua, bahwa hukum dalam pembangunan adalah sifat instrumental yang mengalami pertukaran dengan kekuatan-kekuatan di luar hukum sehingga hukum menjadi sarana perekayasaan sosial.11
Gagasan hukum progresif, menurut Satjipto Rahardjo12 gagasan hukum progresif dimulai dari asumsi dasar filosofis bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Dengan demikian keberadaan hukum adalah untuk melayani dan melindungi manusia, bukan sebaliknya. Hukum dianggap sebagai suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,
10 Safitri, Myrna. 2015. „Dividing the Land: Legal Gaps in the Recognition of Customary Land in Indonesian Forest Areas‟ in Kasarinlan: Philippine Journal of Third World Studies 2015- 16 30 (2)-31 (1): p.31-48.
11 Danrivanto Budhijanto, (2014). Teori Hukum Konvergensi, Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. Viii.
12 Gagasan tentang hukum progresif pertama kali muncul tahun 2002 melalui artikel yang ditulis oleh Satjipto Rahardjo pada harian Kompas dengan judul ”Indonesia Membutuhkan Penegakan Hukum Progresif”, tanggal 15 Juni 2002.
5 sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.13
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya inefektifitas dan inefisien pengaturan kebijakan hukum dalam penetapan hutan adat sehingga hak-hak masyarakat hukum adat terabaikan. Satu sisi, masih terbatasnya pemerintah daerah membentuk regulasi dalam pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat adalah fakta yang saat ini terjadi. Penetapan hutan adat pada hakikatnya merupakan tanggungjawab pemerintah untuk segera dipenuhi.
Substansi hukum yang dibentuk pun juga berpengaruh terhadap implementasi pemenuhan hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat tersebut. Sehingga penelitian ini diperlukan untuk menjadi solusi atas kebutuhan hukum dengan berupaya menghasilkan temuan Model Kebijakan Percepatan Penetapan Hutan Adat Oleh Pemerintah Daerah Berbasis Hukum Progresif
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian peneliti sebelumnya, yaitu pertama, Dampak Politik Hukum Pertanahan yang Belum Berperspektif HAM bagi Masyarakat Hukum Adat (Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP, 2015). Kedua, penelitian tentang Rekonstruksi Politik Hukum Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Mesuji Propinsi Lampung yang Berperspektif HAM (Disertasi, 2017). Ketiga, Reformulasi Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang Berkeadilan (Laporan, 2018). Hasil penelitian tersebut membutuhkan langkah lanjutan untuk mengimplementasikannya. Dengan demikian, penelitian ini layak dilanjutkan untuk menghasilkan temuan ipteks berupa Model Kebijakan Percepatan Penetapan Hutan Adat Oleh Pemerintah Daerah Berbasis Hukum Progresif . Peta jalan penelitian digambarkan pada ragaan berikut.
13 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009), hlm 6.
6 Ragaan 1. Peta Jalan (roadmap) Penelitian.
Reformulasi Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang Berkeadilan (2018)
Model Kebijakan Percepatan Pengakuan Hutan Adat Oleh Pemerintah Daerah Berbasis Hukum Progresif (2021)
Inisiasi Model Kebijakan Percepatan Pengakuan Hutan Adat kedalam kebijakan hukum daerah (2022)
7 BAB 3
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (doctrinal research) yang hanya menggunakan data sekunder. Model penelitian hukumnya adalah kajian komprehensif dan analitis terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Mengingat penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, maka pendekatannya menggunakan pendekatan perundang- undangan (statute approach), pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach).14 Selanjutnya digunakan pendekatan socio-legal,15yang mengkaji praktik dan fenomena hukum terkait penatapan hutan adat yang ada di Indonesia khususnya di Lampung.
B. Data dan Sumber Data
Karena penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif, maka data yang digunakan hanya data sekunder. Data sekunder yang diperlukan itu adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang relevan dengan rumusan masalah yang akan dibahas, sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku dan jurnal yang sesuai dengan fokus penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini juga diperoleh dari hasil studi pustaka dan penelusuran di jaringan internet. Data lapangan berupa hasil wawancara dipakai sebagai penunjang untuk melengkapi analisis bahan hukum, yang bersumber dari instansi yang berwenang dan stakeholder yang terkait.
14 Peter MahmudMarzuki, 2005. Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
15TerryHutchinson,2002. Researching and Writing in Law, Lawbook‟s Co., Sydney.
Dalam penelitian socio-legal research ada dua aspek penelitian, yang pertama legal research yaitu aspek obyek penelitian tetap ada berupa bahan dalam arti norm, peraturan perundang- undangan dan kedua socio research yaitu digunakan metode dan toeri-teori ilmu sosial tentang hukum untuk membantu peneliti dalam melakukan analisis.
8 C. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum/Data
Pengumpulan data dilakukan melalui Studi Kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip, mencatat, dan memahami berbagai literatur yang terkait dengan objek penelitian baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Langkah selanjutnya, bahan data dikumpulkan melalui prosedur identifikasi, inventarisasi, klasifikasi dan sistematisasi bahan data sesuai permasalahan penelitian. Sedangkan data lapangan (untuk penelitian socio- legal), dikumpulkan dengan cara wawancara langsung dengan beberapa narasumber, dan pihak Masyarakat Hukum Adat yang mewakili. Bahan dan data yang terkumpul diperiksa kembali kelengkapannya (editing), lalu diklasifikasi dan sistematisasi secara tematik (sesuai pokok permasalahan), untuk selanjutnya dianalisis.
D. Analisis Data
Analisis terhadap data dilakukan secara kualitatif dengan cara preskriptif-analitik, yaitu menelaah konsep hukum dan norma hukum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Dari aspek ilmu hukum dogmatik, analisis bahan hukum dilakukan dengan cara pemaparan dan analisis tentang isi (struktur) hukum yang berlaku, sistematisasi gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis, interpretasi, dan penilaian hukum yang berlaku. Metode penalaran yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode deduktif.
E. Tahap-Tahap Penelitian
Penelitian ini merupakan kegiatan penelitian lanjutan peneliti dalam fokus kajian Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, selain sebagai cikal bakal pentingnya penelitian ini, juga menjadi pijakan dalam keberlanjutan peta jalan penelitian peneliti.
Selanjutnya, pelaksanaan penelitian ini meliputi beberapa tahapan dengan output dan indikator keberhasilan digambarkan dalam bagan alir berikut ini.
9 Bagan 1. Tahap-Tahap Penelitian
Indikator Capaian Hasil
Kegiatan
Tahap I
Inventarisasi dan identifikasi peraturan perundang-undangan nasional dan sektoral berkaitan hutan adat
Terinventarisasinya peraturan perundang- undangan nasional dan sektoral berkaitan dengan hutan adat
Tahap II
Analisis isi peraturan perundang-undangan nasional dan sektoral yang berkaitan dengan hutan adat
Ditemukan substansi pengaturan hutan adat yang telah ada
Lingkup pengaturan hutan adat
Wewenanang dan tanggungjawab pemerintah daerah
Serta pengaturan lainnya
Tahap III Perumusan dan penyusunan Model Kebijakan Percepatan Penetapan Hutan Adat Oleh Pemerintah Daerah Berbasis Hukum Progresif
Daftar Peraturan Perundang-undangan nasional dan sektoral berkaitan hutan adat serta lingkup pengaturannya.
Hasil akhir:
Model Kebijakan Percepatan Penetapan Hutan Adat Oleh Pemerintah Daerah Berbasis Hukum Progresif
Substansi pengaturan penetapan hutan adat yang progresif
Substansi pengaturan wewenang kelembagaan, dll
10 BAB 4
BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
A. Biaya
Biaya penelitian ini diperkirakan sebesar Rp.50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah). Adapun rincian rencana anggaran biaya penelitian disajikan pada tabel satu berikut ini:
Tabel 1. Rencana Anggaran Biaya Penelitian
No Kegiatan Justifikasi Vol. Satuan
Biaya Satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
I
Pengadaan Alat
dan Bahan
1
Buku Referensi &
Jurnal
Nota dan
kwitansi 37 buah 100.000 3.700.000
2
Fotocopy Bahan Hukum
Nota dan
kwitansi 3 paket 900.000 2.700.000
3
Fotocopy data penelusuran lapangan
Nota dan kwitansi
2 paket 750.000 1.500.000
4 Modem
Nota dan
Kwitansi 1 buah 500.000 500.000
5 Flash disk
Nota dan
Kwitansi 4 buah 250.000 1.000.000
6 Hardisk Eksternal
Nota dan
Kwitansi 1 buah 1.000.000 1.000.000
Sub-Total 10.400.000
II
Travel Expenditure
1
Bandar Lampung- Pemda Kota Bandar Lampung
(4 org x 1kali PP)
Nota dan kwitansi
2 Kali 600.000 1.200.000
2
Transport Lokal ke Pemda Provinsi Lampung
(4 org x 1 kali PP)
Nota dan kwitansi
2 Kali 600.000 1.200.000
3
Bandar Lampung- Mesuji
(4 org x 1 kali PP)
Nota dan kwitansi
2 Kali 1.500.000 3.000.000
4
Bandar Lampung- Lampung Barat (4 org x 1 kali PP)
Nota dan kwitansi
2 Kali 1.500.000 3.000.000
Sub-Total 8.400.000
ATK/BHP
11 III
1 Alat tulis kantor
Nota dan kwitansi 6
Paket/
bulan 500.000 3.000.000 2 Kuota Internet
Nota dan kwitansi 6
Paket/
bulan 300.000 900.000
3 Pulsa (5 orang)
Nota dan kwitansi 6
Paket/
bulan 200.000 1.800.000 4 Rapid test Covid-19
Nota dan
kwitansi 4 kali 250.000 1.000.000
Sub-Total 6.700.000
IV
Laporan/Diseminasi/
Publikasi
1 Penyusunan Laporan
Nota dan
kwitansi 1 paket 1.500.000 1.500.000 2. Cetak Buku
Nota dan
Kwitansi 1 paket 3.000.000 3.000.000
3
Publikasi jurnal Internasional SCOPUS Q3
Kwitansi
1 kali 15.000.000 15.000.000 4
International Conference
Kwitansi
1 kali 2.000.000 2.000.000 5
Focus Grup Discussion
Nota dan
kwitansi 1 kali 3.000.000 3.000.000
Sub-Total 24.500.000
Total Biaya 50.000.000
Terbilang: Lima Puluh Juta Rupiah
Jadi total biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah Lima Puluh Juta Rupiah.
B. Jadwal Penelitian
Penelitian ini diperkirakan akan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan.
Adapun jadwal pelaksanaan penelitian disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 2. Jadwal Penelitian
No. Kegiatan Bulan ke
1 2 3 4 5 6
1. Pembuatan Proposal 2. Koordinasi Tim 3. Persiapan/penyusunan
instrumen/administrasi 4. Pengumpulan data
5. Inventarisir Peraturan Perundang-
12 undangan
6. Identifikasi dan analisis Kepustakaan 7. Pengolahan dan analisis bahan data
dan hukum
8. Diskusi dan pengujian hasil penelitian
9. Penyusunan laporan penelitian 10. Pembuatan draft artikel
jurnal/publikasi
11. Penyusunan laporan keuangan 12. Publikasi
13 REFERENSI
1. Wahyu Nugroho, Konstitusionalitas Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Hutan Adat: Fakta Empiris Legalisasi Perizinan, Jurnal Konstitusi Vol.11 Nomor 1, Maret 2014.
2. Muki T. Wicaksono dan Malik, Konteks Politik Hukum di Balik Percepatan Penetapan Hutan Adat: Catatan Ke Arah Transisi 2019, Jurnal Hukum Lingkungan Vol.4 Issue 2, Februari 2018.
3. Malik, Arizona, Yance dan Muhajir, Mumu. 2015. Analisis Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Masyarakat Adat, Jakarta: Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015.
4. Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Periode 2017-2022.
5. Almonika Cindy Fatika Sari, Hak Dan Akses Tenurial Masyarakat Hukum Adat Bengkunat Dalam Pemanfaatan Hutan Di Pesisir Barat, Lampung.
Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, Vol. 6 No. 1 Mei 2020
6. Sukirno, Rekonstruksi Regulasi Untuk Akselerasi Penetapan Hutan Adat, Jurnal Hukum Progresif, Vol.7 No.1, April 2019.
7. Kusumadi Pujosewejo,dalam Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013.
8. Sumardjono, MSW 2018, Regulasi pertanahan dan semangat keadilan agraria, STPN Press, Yogyakarta.
9. Ikhana Indah Barnasaputri, Jalan Panjang Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Peraturan Daerah: Beberapa Persoalan yang Belum Selesai, Notaire Vol. 4 No.1, Februari 2021.
10. Myrna Safitri, 2015. Dividing the Land: Legal Gaps in the Recognition of Customary Land in Indonesian Forest Areas in Kasarinlan: Philippine Journal of Third World Studies 2015-16 30 (2)-31 (1)
11. Danrivanto Budhijanto, (2014). Teori Hukum Konvergensi, Bandung: PT Refika Aditama.
12. Satjipto Rahardjo pada harian Kompas dengan judul ”Indonesia Membutuhkan Penegakan Hukum Progresif”, tanggal 15 Juni 2002.
14 13. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009)
14. Peter MahmudMarzuki, 2005. Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
15. TerryHutchinson,2002. Researching and Writing in Law, Lawbook‟s Co., Sydney.