• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

(FOCUS UPMI)

Vol. 8 No. 1 (2019) 01 - 10 ISSN Media Elektronik: 1979-2204

Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Dayat Limbong1

1Magister Ilmu Hukum, Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia, Medan

Abstract

Humans are social creatures (zoon politicon), which are creatures that cannot escape from contact with others in order to meet their daily needs. In conducting the relationship sometimes it works fine, no problems occur, a similarity is reached in the relationship, but sometimes there can also be differences, disagreements that ultimately lead to disputes or conflicts in the relationship .Conflict or differences of opinion are common. Conflicts can occur anywhere and happen to anyone who has an interest. Conflict in trade unions cannot even be separated from the daily work of this labor organization. Problems always arise and are often mixed between organizational and personal ones. Of course this also applies in many other organizations or interest groups.

Keywords:Legal Aspects, Trade Unions, Industrial

Abstrak

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dalam melakukan hubungan tersebut adakalanya berjalan baik-baik saja, tidak terjadi masalah-masalah, tercapai suatu persamaan-persamaan dalam hubungan tersebut, tetapi adakalanya juga dapat saja terjadi suatu perbedaan-perbedaan, pertentangan-pertentangan yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan atau konflik dalam hubungan tersebut.Konflik atau perbedaan pandangan adalah hal biasa. Konflik dapat terjadi di manapun dan menimpa siapapun yang memiliki kepentingan. Konflik dalam serikat buruh bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseharian kerja organisasi buruh ini. Permasalahan selalu muncul dan kerap kali tercampur antara yang organisasional dengan yang personal. Tentu hal ini pun berlaku di banyak organisasi atau kelompok kepentingan lain.

Kata kunci: Aspek Hukum, Serikat Buruh, Industrial

© 2019 Jurnal Focus UPMI

1. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dalam melakukan hubungan tersebut adakalanya berjalan baik-baik saja, tidak terjadi masalah-masalah, tercapai suatu persamaan-persamaan dalam hubungan tersebut, tetapi adakalanya juga dapat saja terjadi suatu perbedaan- perbedaan, pertentangan-pertentangan yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan atau konflik dalam hubungan tersebut.

Konflik atau perbedaan pandangan adalah hal biasa.

Konflik dapat terjadi di manapun dan menimpa siapapun yang memiliki kepentingan. Konflik dalam serikat buruh bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseharian kerja organisasi buruh ini. Permasalahan selalu muncul dan kerap kali tercampur antara yang organisasional dengan yang personal. Tentu hal ini pun berlaku di banyak organisasi atau kelompok kepentingan lain.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya konflik antara lain adanya perbedaan pendapat dan pandangan, perbedaan tujuan, ketidaksesuaian cara pencapaian tujuan, ketidakcocokan perilaku, pemberian pengaruh negatif dari pihak lain pada apa yang akan dicapai oleh pihak lainnya, persaingan, kuranganya kerja sama dan lain-lain.

Secara sosiologis perselisihan dapat terjadi dimana- mana, di lingkungan rumah tangga, sekolah, pasar, terminal, perusahaan, kantor dan sebagainya. Secara psikologis perselisihan merupakan luapan emosi yang mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain.

Masalah perselisihan merupakan hal yang wajar karena telah menjadi kodrat manusia.

Terjadinya perselisihan di antara manusia, terkhusus dalam bidang ketenagakerjaan merupakan masalah lumrah yang akan dialami oleh para pengusaha dengan para buruh. Umumnya hal tersebut timbul dikarenakan adanya perasaan-perasaan kurang puas dari masing-

(2)

masing pihak. Pengusaha mengeluarkan kebijakan- kebijakan yang menurut pertimbangannya sudah baik dan pasti akan diterima oleh para pekerja/buruh, namun karena para pekerja/buruh juga memiliki pertimbangan yang berbeda-beda, maka buruh yang merasa puas dengan kebijakan para pengusaha akan menunjukkan semangat kerjanya dengan baik sedangkan buruh yang merasa tidak puas akan menunjukkan semangat kerja yang menurun dan buruk. Akibatnya, sudah dapat diterka akan timbul konflik atau perselisihan yang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disebut dengan perselisihan industrial.

Pengertian perselisihan industrial telah tercantum secara jelas dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial yakni perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diatur bahwa jenis perselisihan hubungan industrial meliputi empat (4) macam, yaitu :

1. Perselisihan hak

2. Perselisihan kepentingan

3. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan

4. Perselisihan pemutus hubungan kerja

Kenyataannya tidaklah mudah menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dan bahkan bukannya tercipta hubungan industrial yang tenang, dalam arti tenang bekerja dan tenang berusaha tetapi malah keteganganlah yang sering timbul dalam pelaksanaan hubungan industrial tersebut. Ketegangan antara pekerja dan pengusaha sering memicu terjadinya perselisihan hubungan industrial yang diakibatkan karena banyaknya kepentingan yang saling bertentangan. Konflik kepentingan itu terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepentingannya seseorang merugikan orang lain dan dalam kehidupan bersama konflik itu tidak dihindarkan.

Hubungan industrial yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan, baik dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan [2].

Adapun pokok pangkal perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada umumnya berkisar pada masalah-masalah [3]:

1. Pengupahan 2. Jaminan Sosial

3. Perilaku penugasan yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai kepribadian

4. Daya kerja dan kemampuan kerja yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang harus diemban

5. Adanya masalah pribadi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 untuk penyelesaian perselisihan dapat melalui pengadilan dan di luar pengadilan yaitu melalui perundingan bipatrit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengedepankan musyawarah untuk mufakat (win-win solution) agar dengan demikian, proses produksi barang dan jasa tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Penyelesaian melalui pengadilan dilakukan melalui pengadilan hubungan industrial. Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusah terhadap perselisihan hubungan industrial.

Namun berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menentukan bahwa setiap ada perselisihan hubungan industrial (termasuk perselisihan hak), maka wajib hukumnya untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pihak perusahaan tanpa ada pihak ketiga yang turut campur. Penyelesaian melalui perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusahan untuk menyelesaiakan perselisihan hubungan industrial .

Jadi ketentuan hal diatas mengedepankan suatu perselisihan kepentingan yang ada haruslah diselesaiakan terlebih dahulu melalui perundingan yang ada diluar pengadilan, yaitu melalui perundingan bipartit. Apabila upaya penyelesaian perselisihan secara bipartit gagal, maka perselisihan hak harus diselesaikan melalui mediasi (dimana yang menjadi mediator merupakan pegawai dari instansi pemerintah), ataupun dapat diselesaikan melalui konsiliasi (Konsiliator dari pihak swasta). Ataupun melalui arbitrase (arbiter dari pihak swasta dimana putusan arbitrase bersifat final dan mengikat). Dan setiap penyelesaian perselisihan melalui perundingan mediasi atau konsiliasi, haruslah dibuat

(3)

risalahnya dan ditandatangani para pihak. Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada pengadilan negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.

1.1 Pengertian Aspek Hukum

Adapun pengertian aspek hukum tidak didefenisikan secara bersamaan. Pengertian aspek hukum dipisahkan berdasarkan masing-masing definisi yang terdiri dari dua kata yakni aspek dan hukum.

Pengertian aspek menurut Wiktionary adalah [4] : 1. Tanda : linguis dapat mencatat dengan baik ucapan-ucapan yang mempunyai aspek fonemis

2. Sudut pandangan : mempertimbangkan sesuatu hendaknya dari berbagai aspek 3. Pemunculan atau penginterpretasian

gagasan, masalah, situasi, dsb. Sebagai pertimbangan yang dilihat dari sudut pandang tertentu.

Sedangkan pengertian hukum secara umum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Pengertian hukum menurut E. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum Indonesia,

“Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu” [5].

Hukum menurut Hans Kelsen, hukum adalah ilmu pengetahuan normatif dan bukan ilmu alam [6].

Lebih lanjut Hans Kelsen menjelaskan bahwa hukum merupakan teknik sosial untuk mengatur perilaku masyarakat [7].

Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan suatu pengertian tentang aspek hukum yakni ialah suatu pandangan atau sudut pandang yang berdasarkan hukum mengenai suatu permasalahan yang membicarakan bagaimana gagasan-gagasan, masalah atau situasi serta penginterpretasiannya sebagai pertimbangan yang dilihat dari sisi hukum

1.2 Pengertian Pekerja Buruh

Menurut Payaman Simanjuntak “pekerja adalah setiap penduduk dalam usia kerja yang melakukan kegiatan ekonomis, baik dalam hubungan kerja yang melakukan kegiatan ekonomi, baik dalam hubungan kerja di perusahaan maupun di luar hubungan kerja seperti pekerja mandiri, pekerja keluarga dan pekerja di sektor informal lainnya”

[8].

Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain.

Dalam definisi tersebut terdapat dua unsur yaitu orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain [9]. Hal tersebut berbeda dengan definisi dari tenaga kerja, dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa, “Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Pekerja atau buruh merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja, dibawah perintah pemberi kerja . Sedangakan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka (3) menyebutkan bahwa,

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Jadi pekerja/buruh adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja dibawah perintah pengusaha/pemberi kerja dengan mendapatakan uapah atau imbalan dalam bentuk lain.

Adapun pengertian pekerja/buruh juga sama berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja, yang mengartikan pekerja/buruh, adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pekerja/buruh lebih dikenal dengan istilah buruh (labor). Sehubungan dengan istilah buruh ini soepomo mengartikannya adalah “ia atau mereka yang bekerja dalam hubungan kerja, yaitu ada dibawah perintah orang lain dengan menerima upah” [10]. Pekerja/buruh sering pula disebut karyawan atau pegawai, sebetulnya adalah juga pengertian yang sama dengan pekerja/buruh.

Penggunaan istilah tersebut cenderung dipengaruhi oleh adanya klasifikasi, bahwa seolah-olah persoalan istilah ini melibatkan status dan diskriminasi, sehingga kalau pengertian karyawan atau pegawai berstatus terhormat, sedang pengertian buruh menunjuk ke pekerjaan kasar.

(4)

1.3 Pengertian Hubungan Industrial

Istilah hubungan industrial dari kata industrial relation, merupakan perkembangan dari istilah hubungan perburuhan (labour relation atau labour management relations). Menurut Sentanoe Kertonegoro, istilah hubungan perburuhan memberi kesan yang sempit seakan-akan hanya menyangkut hubungan antara pengusaha dan pekerja [11].

Pada dasarnya masalah hubungan industrial mencakup aspek yang sangat luas, yakni aspek sosial budaya, psikologi ekonomi, politik ekonomi dan hankamnas sehingga hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja, namun melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas. Dengan demikian, penggunaan istilah hubungan industrial dirasakan lebih tepat daripada hubungan perburuhan.

Pengertian hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pengertian di atas dapat diuraikan unsur-unsur dari hubungan industrial, yakni : adanya suatu sistem hubungan industrial; adanya pelaku yang meliputi pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah;adanya proses produksi barang dan/atau jasa [12].

Hubungan industrial di Indonesia, menurut Abdul Khakim mempunyai perbedaan dengan yang ada di Negara lain. Ciri-ciri itu adalah sebagai berikut [13] :

1. Mengakui dan meyakini bahwa pekerja bukan sekedar mencari nafkah saja, tetapi sebagai pengabdian manusia kepata Tuhannya, sesama manusia, masyarakat, bangsa dan Negara.

2. Menganggap pekerja bukan sebagai faktor produksi, melainkan sebagai manusia yang bermartabat.

3. Melihat antara pengusaha dan pekerja bukan dalam perbedaan kepentingan, tetapi mempunyai kepentingan yang sama untuk memajukan perusahaan.

2. Metode Penelitian 2.1 Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini lebih menitik beratkan pada penelitian yuridis normatif, dengan melihat, mempelajari, dan memahami materi hukum, terutama norma-norma yang

mengatur tentang kelembagaan serta mekanisme dari penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Untuk memahami aspek-aspek empiris dari proses atau mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial penulis akan melakukan analisa masalah yang akan disajikan secara deskriptif.

2.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data di dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data dalam rangka penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berkut :

1. Studi kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk mengumpulkan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer berupa Undang-Undang dan peraturan pemerintah maupun dari bahan hukum sekunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan dengan mencatat dan mengutip buku dan literatur yang berhubungan dengan penulisan ini.

2.3 Sumber Data

Sumber data merupakan hal yang sangat penting karena akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini bersumber data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan berbagai Peraturan Hukum Nasional yang mengikat antara lain : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dll.

2. Bahan Hukum Sekunder

Selain bahan hukum primer yang dimaksudkan, juga akan digunakan bahan hukum sekunder sebagai penunjang dan pelengkap dari bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder lainnya diperoleh dari hasil telaah dari bacaan ataupun kajian pustaka, buku-buku atau literature yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti, internet, artikel-artikel, dokumen, dan laporan yang bersumber dari lembaga terkait yang relevan dengan kebutuhan dalam penelitian.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus-kamus yang mendukung kejelasan data primer dan data sekunder.

(5)

2.4 Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis normatif kualitatif dengan cara menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan perundang-undangan. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif berarti analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan hukum terkait dan informasi baru.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) telah memberikan suatu cara untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di dalam hubungan antara pekerja dengan pengusaha atau lebih dikenal dengan sebutan hubungan industrial.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, dalam menyelesaiakan perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan, dapat ditempuh melalui 4 (empat) tahap, yaitu :

1. Tahap Pertama : Perundingan Bipartit 2. Tahap Kedua : Konsiliasi

3. Tahap Ketiga : Arbitrase 4. Tahap Keempat : Mediasi

Masing-masing lembaga tersebut mempunyai kewenangan absolut yang berbeda dalam menyelesaikan empat jenis perselisihan hubungan industrial.

1. Lembaga Perundingan Bipartit

Pengertian Lembaga Perundingan Bipartit berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 mewajibkan ada tahap perundingan bipartit untuk semua jenis perselisihan hubungan industrial. Artinya, semua jenis perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan lewat perundingan bipartit.

Selanjutnya, Pasal 3 menentukan bahwa perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika tahap ini tidak ada, maka tahap-tahap penyelesaian perselisihan hubungan industrial berikutnya tidak dapat ditempuh. Undang-undang telah menentukan secara tegas bahwa setiap perselisihan yang

terjadi (perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja) antara pekerja dengan pengusaha wajib hukumnya untuk diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, yaitu secara bipartit sebelum menempuh jalur penyelesaian yang lainnya. Ketentuan semacam ini adalah tepat sebab penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah untuk mencapai mufakat tanpa campur tangan pihak lain, sehingga mendapatkan hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.

Undang-Undang mewajibkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan dengan melalui suatu perundingan bagi kedua belah pihak yang berselisih. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan perundingan bipartit adalah [14]:

a. Pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya.

b. Apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan.

c. Pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung.

d. Dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing.

e. Dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat pekerja/buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan.

f. Dalam hal perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang. (Pasal 4 ayat (1) huruf a Permenakertrans No. 31 Tahun 2008.

2. Mediasi

Mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antarserikat

(6)

pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan, melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.

Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan. Mengenai kedudukan mediator adalah sebagai berikut :

a. Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah provinsi b. Mediator yang berkedudukan di instansi

yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota

c. Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang terjadi di wilayah kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal 11 Kepmenakertrans No. 92 Tahun 2004).

Adapun syarat-syarat yang ditentukan Undang-Undang supaya dapat diangkat menjadi mediator adalah sebagai berikut :

a) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b) Warga Negara Indonesia.

c) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter.

d) Menguasai peraturan perundang-

undangan di bidang

ketnagakerjaan.

e) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

f) Berpendidikan sekurang- kuranganya Strata Satu (S1) g) Syarat lain yang ditetapkan oleh

Menteri.

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang- Undang No. 2 Tahun 2004 telah menentukan bahwa mediasi merupakan

upaya penyelesaian semua jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh.

Lembaga Mediasi ini berwenang menyelesaikan perselisihan apabila dalam perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan/gagal dan kedua belah pihak atau salah satu pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi di bidang ketenagakerjaan setempat, yang selanjutnya instansi ketenagakerjaan ini menawarkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan, maka instansi ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian kepada mediator.

Jika di dalam lembaga mediasi tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator.

Perjanjian bersama ini didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak- pihak mengadakan perjanjian bersama.

Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Jika pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Jika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator membuat anjuran tertulis. Anjuran tertulis mediator ini disampaikan kepada para pihak. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-

(7)

lambatnya sepuluh hari kerja setelah menerima anjuran tertulis pendaftaran.yang berdasarkan Pasal 13 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Jika anjuran tertulis mediator ditolak oleh salah satu pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Jika Pasal 14 ayat (1) ini dihubungkan dengan Pasal 24 ayat (1), maka akan diperoleh kesimpulan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat ditempuh jika perselisihan tersebut telah melalui lembaga mediasi atau konsiliasi. Tidak ada kemungkinan lain.

3. Konsiliasi

Konsiliasi hubungan industrial yang yang untuk selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsoliator yang netral.

Konsoliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat sebagai konsoliator yang ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepetingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan.

Adapun syarat-syarat untuk dapat menjadi konsiliator dalam hubungan industrial adalah sebagai berikut :

a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Warga Negara Indonesia.Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun.

c. Pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S1)

d. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter.

e. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

f. Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 tahun.

g. Menguasai peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan.

h. Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 19 ayat (1) UUPPHI)

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 10 Tahun 2005, konsiliator mempunyai kewenangan :

a. Meminta keterangan kepada para pihak b. Menolak wakil para pihak apabila ternyata

tidak memiliki surat kuasa;

c. Menolak konsiliasi bagi para pihak yang belum melakukan perundingan bipartit;

d. Meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan;

e. Memanggil saksi atau saksi ahli;

f. Membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari pihak, instansi/lembaga terkait.

Sedangkan kewajiban konsiliator berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 10 Tahun 2005 adalah :

a. Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang diperlukan;

b. Mengatur dan memimpin konsiliasi;

c. Membantu membuat Perjanjian Bersama apabila tercapai kesepakatan penyelesaian;

d. Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

e. Membuat dan memelihara buku khusus dan berkas perselisihan yang ditandatangani;

f. Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial kepada Menteri melalui Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa tidak semua perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan melalui konsiliasi. Konsiliasi hanya berwenang menyelesaikan 3 (tiga) macam perselisihan, yaitu perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Sedangkan mengenai perselisihan hak lembaga konsiliasi tidak berwenang.

Didalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ditegaskan bahwa jika perundingan bipartit gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit dan mediasi telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak, instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menawari para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Propisi ini melahirkan kesimpulan bahwa menurut Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 lembaga konsiliasi maupun arbitrase merupakan penyelesaian sukarela berdasarkan kehendak dari para pihak.

(8)

4. Arbitrase

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan di luar pengadilan hubungan industrial melalaui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Sedangkan pengertian arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah cara menyelesaikan perselisihan sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Jika dibandingkan, pengertian arbitrase berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, terlihat jelas bahwa Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai alternatif penyelesaian perdata di luar pengadilan secara umum. Khusus mengenai arbitrase Undang-Undang Nomor 2 Taun 2004 merupakan Lex specialis derogat lex generalis terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Kekhususan yang ada di dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tertuang di dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 29 sampai dengan Pasal 54.

3.2 Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.

Rumusan ini menunjukkan bahwa semua jenis perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan lewat Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus,

1. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak, di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan,

di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antara serikat buruh.

Untuk dua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja ada upaya hukum, yaitu upaya hukum kasasi. Untuk dua perselisihan, yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh tidak ada upaya hukum.

Penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi. Ketentuan ini merupakan perwujudan asas cepat peradilan.

Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Salah satu contoh hal yang diatur secara khusus tersebut adalah ketentuan pasal 56.

Contoh lainnya adalah mengenai biaya. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang beracara tidak dikenakan biaya, termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial diawali dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.

Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, jika tidak dilampiri maka hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat. Karena upaya penyelesaian di luar pengadilan memiliki keterkaitan dengan mekanisme penyelesaian melalui pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang berbunyi “Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat”.

Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terdiri atas :

1. Hakim;

2. Hakim Ad Hoc;

3. Panitera Muda;

4. Panitera Pengganti.

Sedangkan susunan PHI pada Mahkamah Agung terdiri atas :

1. Hakim Agung;

2. Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung;

3. Panitera.

(9)

Setiap sidang dipimpin oleh Majelis Hakim yang terdiri atas 3 (tiga) orang hakim dengan komposisi 1 (satu) Hakim Karier sebagai Hakim Ketua, 2 (dua) Hakim Ad Hoc sebagai Hakim Anggota. Hakim Ad Hoc terdiri atas 1 Hakim yang diangkat atas usulan pengusaha, dan 1 Hakim yang diangkat atas usulan serikat pekerja.

Disamping adanya Hakim dalam PHI, proses pemeriksaan perkara juga membutuhkan petugas yang mengurusi masalah administrasi. Mulai dari administrasi pendaftaran perkara, pemanggilan para pihak, persidangan, putusan, penyampaian putusan sampai dengan eksekusi. Tugas-tugas ini dilaksanakan oleh Panitera dan Juru Sita Pengadilan. Tugas-tugas kejurusitaan yang dalam UUPPHI dilaksanakan oleh Panitera Pengganti, harus diartikan dilaksanakan oleh Juru Sita atau Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri yang ditugaskan oleh PHI dengan Surut Keputusan Khusus.

4. Kesimpulan 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, penulis mencoba memaparkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Aspek hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dapat diselesaiakan dengan dua cara yang telah diatur didalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dan melalui pengadilan. Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, dalam menyelesaiakan perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan, dapat ditempuh melalui 4 (empat) tahap, yaitu : tahap pertama, Perundingan Bipartit; tahap kedua, Konsiliasi; tahap ketiga, konsiliasi; tahap keempat, mediasi. Masing- masing lembaga tersebut mempunyai kewenangan absolut yang berbeda dalam menyelesaikan empat jenis perselisihan hubungan industrial.

2. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Rumusan ini menunjukkan bahwa semua jenis perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan lewat

Pengadilan Hubungan Industrial. Untuk dua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja ada upaya hukum, yaitu upaya hukum kasasi. Untuk dua perselisihan, yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh tidak ada upaya hukum. Sehubungan dengan itu, dalam pemeriksaan Penyelesaian Perselisihan Industrial terdapat 2 (dua) cara dalam proses pemeriksaan dengan acara biasa dan acara cepat terhadap sengketa perselisihan hubungan industrial.

4.2 Saran

Adapun saran penulis terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebaiknya Negara lewat Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas membuat dan merancang Undang-Undang, mampu mengkaji dan menganalisis kembali Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dirasa pengaturan Undang-Undang tersebut jauh dari kepastian hukum yang dieluh-eluhkan bagi pekerja/buruh ketika mereka menghadapi suatu permasalahan.

Hal ini dikarenakan banyaknya point-point penyelesaian non litigasi yang harus dibicarakan, dimusyawarahkan sebelum mengajukan permasalahan ke pengadilan dan tentunya hal tersebut cenderung merepotkan pekerja/buruh serta memakan waktu, sementara kondisi pekerja/buruh umumnya dalam kondisi lemah.

2. Sebaiknya Negara lewat Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas membuat dan merancang Undang-Undang, lebih lagi memperhatikan kondisi pekerja/buruh yang pada umumnya dalam kondisi lemah, dan membuat pengaturan hukum yang standart dan mampu mereka tempuh sendiri atau perorangan, baik juga perkelompok, serta pengaturan yang benar-benar menampung keluh kesah yang mereka rasakan disaat perselisihan hak ataupun perselisihan kepentingan itu ada.

Daftar Rujukan

[1] Zeni Asyahadie I, Peradilan Hubungan Industrial, (PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2009).

[2] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

[3] Gunawi Kartasapoetra, dkk seperti dikutip Zaeni Ashadie dalam bukunya, Dasar- Dasar Hukum Perburuhan, (PT. Raja Grafindo Persada, 2004).

[4] https://id.m.wiktionary.org.wiki/aspek diakses pada tanggal 28 Januari 2018. Pada pukul 01:26 WIB.

[5] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2004.

[6] Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan MK RI, 2006).

(10)

[7] Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, (Jakarta : Nusamedia, 2009).

[8] Payaman Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003.

[9] Miamun, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

[10] Prof. Imam Soepomo, SH. “Kitab Undang-Undang Hukum Perburuhan”, (Penerbit Jembatan, 1972).

[11] Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartit) dan pemerintah (Tripartit), (Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 1999).

[12] Asri Wijayanti, Hukum KetenagaKerjaan Pasca Reformasi, (Sinar Grafika, Jakarta, 2009).

[13] Abdul Khakim, Pengantar Hukum KetenagaKerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Edisi Revisi), (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003).

[14] Ugo, S.H., M.H. dan Pujiyo, S.H., Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Jakrta : Sinar Grafika, 2012).

Referensi

Dokumen terkait

Pada awalnya pasien mengeluhkan nyeri kepala cekot-cekot kurang lebih dua minggu sebelum masuk rumah sakit disertai kepala terasa berputar.. Karena nyeri

Untuk mengetahui kualitas media pembelajaran berbasis android dengan Program Adobe Flash CS5.5 untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP Kelas VIII pada

75% 75% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 50% 55% 75% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 30% 55% 55% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 10% Tabel

Apakah ada Polis atau SPAJ atau proses pemulihan untuk asuransi dasar, asuransi penyakit kritis, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan yang pernah diajukan atau masih dalam

Pada umumnya penutur-penutur bahasa Indonesia mengenal kata di mana sebagai kata tanya yang digunakan untuk menanyakan tempat (lokasi) di dalam kalimat tanya informasi (Wijana,

Skripsi ini meneliti tentang praktik jual beli padi dengan sistem tebas dan Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa transaksi jual beli padi

• Lokasi desa ditentukan, berdasarkan masukan dari konsultan/fasilitator PNPM dan pelaku lainnya di kecamatan, dengan mengutamakan desa-desa yang memiliki kinerja baik yang bisa

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dengan status hidrasi dan bertolak belakangnya hasil penelitian ini dengan teori dapat disebabkan