• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst. Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis (Wirjono Prodjodikoro, 1991:17). Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan, penulis katakan “salah satu” karena selain perjanjian atau persetujuan masih ada sumber perikatan lagi yaitu undang-undang. Telah diketahui bahwa perjanjian adalah salah salah satu sumber perikatan, tetapi yang perlu diketahui dan dibahas lebih mendalam lagi ialah apa sebenarnya perjanjian itu menurut undang-undang dan ilmu pengetahuan hukum.

Menutut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud perjanjian sebagaimana dirumuskan pasal tersebut yaitu sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Mengenai pengertian Perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih ada beberapa kelemahan.

Oleh karena itu beberapa ahli mencoba untuk menyempurnakannya.

Dari ketentuan pasal tersebut, Abdulkadir Muhammad merasas kurang memuaskan karena mempunyai kelemahan-kelemahan seperti yang diuraikan berikut: (Abdulkadir Muhammad, 1990: 78-79)

1) Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.”

(2)

Kata kerja mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu

“saling mengikatkan diri”, jadi ada consensus para pihak.

2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus

Dalam pengertian kata “perbuatan” tidak mencakup adnya suatu konsesus, merupakan tindakan tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung suatu konsensu. Kata yang lebih tepat seharusnya kata “persetujuan”.

3) Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang Hukum Keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan perjanjian, yang diatur dalam Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat kepribadian (personal).

4) Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pengertian perjanjian tidak dijelaskan dengan mengenai tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak mempunyau tujuan yang jelas.

Sehubungan dengan alasan-alasan diatas, Abdulkadir Muhammad berpendapat perlu diadakan perbaikan dan perumusan apa yang dimaksud dengan perjanjian. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan (Abdulkadir Muhammad, 1990:78)

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.

Sedangkan mengenai perikatan, disebutkan dalam Pasal 1233

(3)

KUHPerdata bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.

Adanya hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju, untuk melakukan sesuatu. (Subekti,2005:1)

Selain itu, kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian.

Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. (Ricardo Simanjuntak, 2011:30-32)

Secara singkat, perjanjian/persetujuan menimbulkan perikatan.

Perikatan itu kemudian disebut sebagai kontrak apabila memberikan konsekuensi hukum ang terkait dengan kekayaan dan mengikat para pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian.

Sesuai dengan pengertian diatas, dalam skripsi ini penulis akan menggunakan kata Perjanjian, karena pengertian perjanjian sama dengan arti dari persetujuan, perikatan, serta kontrak tertulis.

b. Asas-Asas Perjanjian

1) Asas Kepribadian (Pasal 1315 KUHPerdata)

Disebut juga asas personalitas, bahwa persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihakt yang membuatnya tidak dapat membawa kerugian maupun manfaat karenanya bagi pihak ketiga.

2) Asas Konsensualisme (Pasal 1320 KUHPerdata)

Dengan adanya kata sepakat (consensus) maka mengikat para pihak Konsensualisme selain merupakan sifat hukum perikatan juga merupakan asas hukum perjanjian. Kata sepakat harus

(4)

dinyatakan dalam bentuk tertulis/lisan/tanda-tanda yang dapat diterjemahkan.

3) Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata)

Asas kebebasan berkontrak atau system terbuka adalah kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan, kepatutan, dan ketertiban umum.

4) Asas Pacta Sunt Servanda (Pasal 1338 KUHPerdata)

Asas ini disebut juga asas kepastian hukum yang pada intinya perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya juga kepentingan orang lain.

5) Asas Itikad Baik (Good Faith) (Pasal 1338 jo. Pasal 1965 KUHPerdata)

Itikad baik atau bonafides (bahas Romawi), artinya kedua belah pihak harus berlaku terhadap yang lain berdasarkan kepatutan diantara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya, tipu muslihat, dan tanpa akal-akalan, tidak hanya melihat kepentingan diri sendiri.

c. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Maksud “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”

adalah bahwa dalam perjanjian mutlak diperlukan adanya kesepakatan sebagai sebuah landasan adanya perjanjian.

Menurut Subekti (Subekti, 2002:17) sepakat atau yang dinamakan dengan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat setuju atau setia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki

(5)

oleh pihak yang lain. Mereka mengehendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Terjadi hubungan timbal balik diantara mereka yang membuat perjanjian. Hubungan yang timbal balik itu juga menandakan bahwa kedua belah pihak saling menghendaki satu sama lain.

Kesepakatan bisa dibatalkan apabila adanya rasa kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan (Pasal 1321), yang selebihnya diatur dalam KUHPerdata, yaitu:

a) Pasal 1322 KUHPerdata, Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yangdengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan.

b) Pasal 1324 KUHPedata, Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa hingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.

c) Pasal 1328 KUHPerdata, Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat.

Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.

2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian

(6)

Pada hakekatnya seseorang yang cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang yang cakap untuk berbuat hukum.

Menurut Subekti orang yang berbuat suatu perjanjian apabila ia memenuhi persyaratan di dalam undang-undang. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum (Subekti, 1996:17)

Pada Pasal 1329 KUHPerdata, dinyatakan, tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika dinyataka tidak cukup cakap.

Dalam Pasal 1330 KUHPerdata dinyatakan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu:

a) orang-orang yang belum dewasa: (Pasal 330 KUHPerdata) b) mereka yang berada dibawah pengampuan: (Pasal 433

KUHPerdata)

c) orang-orang perempuan dalam hal ini yang ditetapkan oleh undang-undang.

3) Mengenai suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah segala sesuatu yang diperjanjikan itu harus jelas terperinci atau sekurang-kurangnya dapat diperinci, sebagaimana diatur dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata, yaitu:

a) Pasal 1332 KUHPerdata,

“Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan.”

b) Pasal 1333 KUHPerdata, yang berbunyi:

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

c) Pasal 1334 KUHPerdata:

“Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk melepaskansuatu warisan yang

(7)

belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu, hal ini tidak mengurangi ketentuan pada Pasal 169, 176, dan 178.”

Obyek perjanjian berupa suatu prestasi yang harus dipenuhi dan apa yang diperjanjikan harus jelas, ditentukan jenisnya mengenai jumlah tidak disebut asal dapat dihitung. Perjanjian harus mengenai hal tertentu artinya apa yang dapat diperjanjikan harus jelas hak dan kewajibannya bagi para pihak apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.

4) Suatu sebab yang halal

Pengertian sebab yang halal dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu suatu sebab adalah terlarang, apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Pada hakekatnya undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab pada pihak dalam mengadakan perjanjian.

Undang-undang hanya memperdulikan isi dari perjanjian tersebut, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjajian, sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu.

Konsekuensi yuridis apabila syarat subyektif tidak terpenuhi dalam suat perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan batalnya suatu perjanjian haru sdimintakan pembatalan kepada pengadilan negeri yang berwenang, sedangkan konsekuensi yuridis apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum dan batalnya suatu perjanjian tidak perlu lagi dimintakan pembatalan

(8)

karena tanpa adanya pembatalan perjanjian tersebut akan di anggap batal dengan sendirinya.

d. Jenis Perjanjian

Menurut Sutarno, perjanjian dapat di bedakan menjadi beberapa jenis yaitu: (Sutarno. 2008:82)

1) Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.

2) Perjanjian sepihak

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah, dalam hibah ini kewajiban hanya ada pa da orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.

3) Perjanjian dengan percuma

Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.

4) Perjanjian konsensuil, riil dan formil

Perjanjian konsensuil adalah perjan jian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat

(9)

perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum Notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.

5) Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ketiga Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang- undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.

Sedangkan menurut Achmad Busro, jenis perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut: (Achmad Busro. 1985:4)

1) Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak yang melakukannya. Misalnya kewajiban yang timbul dalam perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kewajiban pokok menyerahkan barang yang dijualnya, dipihak lain pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga yang telah disepakati. Perjanjian sepihak yaitu perjanjian dimana salah satu pihak saja yang dibebani suatu kewajiban. Misal, dalam

(10)

perjanjian pemberian hibah, hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban.

2) Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alas hak membebani

Perjanjian cuma-cuma yaitu suatu perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak tanpa adanya imbalan dari pihak lain. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang lain, antara prestasi dan kontra prestasi tersebut terdapat hubungan menurut hukum meskipun kedudukannya tidak harus sama. Misal, disatu pihak berprestasi sepeda, di pihak lain berprestasi kuda. Jadi disini yang penting adanya prestasi dan kontra prestasi.

3) Perjanjian konsensuil, riil dan formil

Perjanjian konsensuil yaitu adanya suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat dari para pi hak. Misalnya, masing- masing pihak sepakat untuk mengadakan jual beli kambing.

Perjanjian riil yaitu perjanjian disa mping adanya kata sepakat masih diperlukan penyerahan bendanya. Misalnya dalam jual beli kambing tersebut harus ada penyerahan dan masih diperlukan adanya formalitas tertentu. Adapun untuk perjanjian formil dalam perjanjian jual beli kambing di atas dengan dibuatkan akta tertentu.

4) Perjanjian bernama, tidak bernama dan perjanjian campuran.

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah ada namanya seperti dalam Buku III KUHPerdata Bab V samp ai dengan Bab XVIII. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ada namanya. Ketentuannya diatur dalam buku III KUHPerdata Bab I sampai dengan Bab IV yang merupakan ketentuan umum. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang

(11)

terdiri dari beberapa perjanjian bernama juga kemungkinan pula terdapat perjanjian tidak bernama.

5) Perjanjian kebendaan dan obligatoir

Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian untuk menyerahkan hak kebendaan. Sedangkan perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban kepada pihak-pihak, misal jual beli.

6) Perjanjian yang sifatnya istimewa

a) Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian untuk membebaskan dari kewajiban. Misal dalam Pasal 1438 KUHPerdata mengenai pembebasan hutang dan Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata.

b) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak sepakat menentukan pembuktian yang berlaku bagi para pihak.

c) Perjanjian untung-untungan, seperti yang ada dalam Pasal 1774 yaitu perjanjian yang pemenuhan prestasi nya digantungkan pada kejadian yang belum tentu terjadi.

d) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa. Contohnya adalah perjanjian yang dilakukan antara mahasiswa tugas belajar (ikatan dinas).

Abdulkadir Muhammad juga mengelompokkan perjanjian menjadi beberapa jenis, yaitu: (Abdulkadir Muhamad. 1982:86) 1) Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaanyang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya

(12)

perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan bangunan, tukar menukar.

2) Perjanjian Sepihak

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajib an menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.

Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut Pasal 1266 KUHPerdata. Menurut pasal ini salah satu syarat ada pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.

3) Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani

Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahkan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai

(13)

perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata).

4) Perjanjian bernama dan tidak bernama.

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

5) Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.

Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst ,deliverycontract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, tim bullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

6) Perjanjian konsensual dan perjanjian real.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan yata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata). Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap prbuatan hukum (perjanjian) yang

(14)

obyeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjadi peralihan hak. Hal ini disebut

"kontan dan tunai".

e. Akibat Hukum Perjanjian

1) Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, dinyatakan bahwa perjanjian yang sah mempunyai akibat hukum sebagai berikut:

a) Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

Pihak-pihak yang mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang jika ada yang melanggar, maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang dan mempunyai akibat hukum yang berupa sanksi yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

b) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak dan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali. Dapat ditarik kembali apabila ada persetujuan dari pihak lain atau ada alasan yang cukup kuat menurut undang-undang.

c) Pelaksanaan dengan ikhtikad baik

Iktikad baik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

(1) Iktikad baik subyekif, yang dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan perbuatan hukum yaitu apa yang terletak dalam sikap batin seseorang pada saat melakukan perbuatan hukum.

(2) Iktikad baik obyektif merupakan pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat.

Dalam pelaksanaan perjanjian dengan iktikad baik, kebiasaan tidak boleh menyampingkan atau menyingkirkan

(15)

undang-undang dan apabila ia bertentangan dengan undang- undang maka undang-undang yang dipakai. Ini berarti bahwa undang-undang tetap berlaku meskipun sudah ada kebiasaan yang mengatur.

2) Akibat hukum perjanjian yang tidak sah

Menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang tidak sah dapat terjadi karena perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat subyektif dan obyekti.

Dengan demikian akibat hukum dar perjanjian yang tidak sah, yaitu:

a) Perjanjian dapat dibatalkan dan batalnya suatu perjanjian harus dimintakan pembatalan kepada pengadilan negeri yang berwenang. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian, misalnya karena masih dibawah umur serta masih dibawah pengampuan. Oleh Karena itu apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.

b) Perjanjian batal demi hukum dan batalnya suatu perjanjian tidak perlu lagi dimintakan pembatalan karena tanpa adanya pembatalan perjanjian tersebut akan dianggap batal dengan sendirinya/perjanjian dianggap tidak pernah ada.

Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, misalnya obyek perjanjian tidak ada atau perjanjian tidak didasari dengan itikad baik.

f. Wanprestasi dan Sanksi

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi, ia alpa, lalai atau ingkar janji atau juga ia melanggar perjanjian bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu:

(16)

1) Tidak melakukan apa yang di sanggupi akan dilakukannya.

2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana di janjikan.

3) Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat dipenuhi.

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan (Any Isfandyarie, 2006: 7).

Terhadap kelalaian si berutang / si debitur (pihak yang wajib melakukan sesuatu) diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.

Sanksi bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu :

1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan ganti rugi.

2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian.

3) Peralihan risiko

4) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim (Subekti, 1996 :45).

2. Tinjauan Tentang Malpraktek a. Pengertian Malpraktek

Malpraktek memiliki istilah yang sering di dengar dalam rumpun kesehatan, antara lain, malprakti, malapraktek, malapraktik dan sebagainya. Ditinjau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan oleh Balai Pustaka istilah yang benar ialah “malapraktik”, sedangkan dalam kamus kedokteran adaklah

“malapraktik” (Y.A Triana Ohoiwutun, 2007:47). Secara harafiah istilah “malapraktik” artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang jelek. Dikatakan buruk karena merupakan salah dan menyimpang dari yang seharusnya.

Malpraktek sebagaimana definisi yang ada bukanlah suatu rumusan hukum yang diatur dalam undang-undang, melainkan suatu kumpulan dari berbagai perilaku menyimpang yang dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct

(17)

tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang mahiran / ketidak kompetenan yang tidak beralasan (profesional misconduct). Profesional misconduct ini dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, disiplin profesi, hukum administratif (Administrative Malpractice), hukum perdata (Civil Malpractice) dan hukum pidana (Criminal Malpractice). (Widodo Tresno N. 2015:491)

Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktik. Masing-masing pendapat diantaranya, yaitu:

1) Veronica Komalawati menerangkan bahwa malpraktik adalah kesalahan dalam menjalankan suatu profesi yang timbul akibat dari adanya kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh dokter. (Veronica Komalawati, 1998:87).

2) Harmien Hadiati Koeswadji menjelaskan secara harafiah pengertian malpraktik adalah bad practice atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medic dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri- ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice the medical science and technology”, yang erat hubungan dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek, maka Hermien lebih cenderung mengunakan istilah “maltreatment”. (Jurnal Riska Andi: 2016: 89)

3) Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga meyebutkan istilah malpraktik dengan malpraktik yang diartikan dengan “praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik”.

4) Menurut Niniek Mariyanti, S.H, malpraktek memiliki pengertian yang sangat luas. Dalam artian umum malpraktek adalah suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi. Sedangkan dalam artian khusus (dari segi pasien) malpraktek terjadi dalam

(18)

menentukan diagnosis; menjalankan operasi; selama menjalankan perawatan; dan sesudah perawatan. (Niniek Mariyanti, 1988:38)

Berdasarkan pengertian diatas, penulis mengambil kesimpulan tentang pengertian malpraktek, yaitu suatu praktik buruk yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional yang telah di tentukan. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa profesi. Khusus dalam penulisan skripsi ini, penulis menganggap dalam malpraktek kedokteran

b. Unsur-Unsur Malpraktek

Dikemukakan adanya “Three Elements of Liability” antara lain:

1) Adanya kelalaian yang dapat dipermasalahkan (culpability);

2) Adanya kerugian (damaged); dan

3) Adanya hubungan kausal (causal relationship). (Van der Mijn, dalam Y.A Triana Ohoiwatun, 2007:64)

Unsur-unsur tersebut berlaku kumulatif, artinya harus terpenuhi seluruhnya. Dokter dikatakan malpraktik jika:

1) Dokter kurang menguasai IPTEK kedokteran yang umum berlaku di kalangan profesi kedokteran;

2) Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi;

3) Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan yang tidak hati-hati; dan

4) Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hukum.

(M. Jusuf Hanafiah, 1998:88)

Suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila dipenuhi ketiga syarat berikut:

1) Mempunyai indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang kongkrit;

2) Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran; dan

(19)

3) Telah mendapat persetujuan pasien. (Danny Wiradharma, 1996;87-88)

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka penggugat harus membuktikan 4 (empat) unsur sebagai berikut:

1) Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien;

2) Dokter telah melanggar standar pelayanan medis yang lazim dipergunakan;

3) Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya; dan

4) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah standar. (M. Jusuf Hanafiah, 1998:89)

Dalam bidang kedokteran suatu kesalahan kecil dapat menimbulkan akibat berupa kerugian besar. Pada umumnya masyarakat tidak dapat membedakan mana yang merupakan kasus pelanggaran etik dan mana yang dikategorikan melanggar hukum. Tidak semua pelanggaran etik merupakan malpraktek, sedangkan malpraktek sudah pasti merupakan pelanggaran etik profesi medis.

c. Aspek Hukum Malpraktek

Aspek hukum malpraktek terdiri dari 3 hal, yaitu sebagai berikut:

1) Peyimpangan dari Standar Profesi Medis;

2) Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian; dan

3) Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian materiil atau non materiil maupun fisik atau mental. (Danny

3. Tinjauan Tentang Perjanjian Terpeutik a. Pengertian Perjanjian Terapeutik

Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter disebut dengan istilah perjanjian terapeutik (Al Purwohadiwardoyo, 1989:13)

(20)

Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi, perjanjian terapeutik, adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. (Bahder Johan N. 2005:11)

Jadi secara hukum, objek dari perjanjian terapeutik bukanlah kesembuhan pasien, namun usaha mencari upaya agar pasien dapat sembuh.

b. Pola Hubungan Perjanjian Terapeutik

Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola hubungan vertical paternalistic seperti antara bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistic (Hermien Hadiati. K, 1998:36).

Dalam hubungan ini, kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat (Talcott Parsons, 1969:336), yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.

Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya.

Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit dan dalam hal ini, dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnnya dan memberikan bantuan pertolongan (hulpverlenen).

Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih tinggi daripada pasien.

Pola hubungan vertical yang melahirkan sifat paternalistic dokter terhadap pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertical yang melahirkan konsep hubungan paternalistic ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Namun, dapat juga menimbulkan dampak negatif jika tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam upaya

(21)

penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertical paternalistic ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.

Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal kontraktual yang bersifat “inspanningverbintenis” (Hermien Hadiati.K, 1998:37), yang merupakan hubungan hukum antara dua subyek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat menglahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian) Karena objek dari hubungan hukum itu berupa upaya maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan penuh ketegangan oleh dokter berdasarkan olmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Sikap hati-hati dan penuh ketegangan dalam mengupayakan kesembuhan pasien itulah yang dalam kepustakaan disebut sebagai met zorg en inspanning, oleh karenanya merupakan inspanningverbintenis dan bukan sebagaimana halnya suatu risiko verbintenis yang menjanjikan suau hal yang pasti.

Szasz dan Hollender mengemukakan (Benyamin Lumenta, 1987:73), beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter, yang masing-masing didasarkan atas suatu prototype hubungan orang tua dan anak, hubungan orantua dan remaja, hubungan antar orang dewasa.

1) Pola hubungan Aktif – Pasif

Secara historis, hubungan ini sudah dikenal dan merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik.

Secara social, hubungan ini bukanlah merupakan hubungan yang sempurna karena hubungan ini berdasarkan atas kegiatan seorang (dokter) terhadap orang lain (pasien) sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran secara aktif.

Dalam hubungan hukum tersebut, pasien sekadar menjadi penerima pelayanan, tidak dapat memberikan respons dan tidak

(22)

dapat menjalankan suatu peran. Semua tindakan kedokteran yang tidak membutuhkan sumbangan peran dari pihak pasien merupakan hubungan aktif-pasif. Pola hubungan aktif-pasif ini menempatkan dokter pada pihak yang sepenuhnya berkuasa.

Menurut Jones (Jones, 1951) dan Marmor, hubungan ini menberikan kepada dokter suatu perasaan superior dan menjadikan dokter menguasai seluruh keadaan.

2) Pola Hubungan Membimbing dan Bekerja Sama

Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan pasien dengan dokter, yakni jika keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia tetap sadar dan memiliki perasaan dan kemauan sendiri. Karena pasien tersebut menderita penyakit dan disertai kecemasan dan perasaan tidak enak, ia mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama dengan orang yang mengobatinya. Demikian pula, seorang dokter mempunyai pengetahuan kedokteran yang melebihi pengetahuan pasien. Namun, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan dapat bekerja sama dengan pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat dokter, malaksanakan diet, melakukan sesuatu, atau berpantang melakukan sesuatu.

Dalam hubungan membimbing dan bekerja sama, dokter berperan memberikan nasihat dan bimbingan kepada pasien dan peran pasien dalam bentuk kerja sama tersebut adalah melaksanakan apa yang diharapkan oleh dokter. Dokter tidak menganggap pasien sebagai benda biomedis belaka, namun pasien itu mempunyai potensi yang dapat diajak untuk bekerja sama dalam upaya penyembuhan penyakitnya.

3) Pola hubungan saling berperan serta

Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua manusia memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan ini lebih berdasarkan pada struktur social yang demokratis.

(23)

Sedangkan secara psikologis, berperan serta saling bergantung berlandaskan proses identifikasi atau pengenalan yang amat kompleks.

Dalam hubungan ini dapat terjadi antara dokter dan pasien yang ingin memelihara kesehatannya, yakni pada waktu pemeriksaan medis (medical check up). Pasien dapat pula menceritakan pengalamannya sendiri berkaitan dengan penyakitnya dan dapt membantu dokter secara aktif dalam menetapkan situasi sebenarnya, dan memberikan nasihat dan pengobatan yang tepat.

Dari ketiga pola ini, yang terpenting adalah terciptanya rasa puas di antara kedua belah pihak, baik dari dokter maupun pasiennya. Dokter merasa puas dalam menjalankan perannya menyembuhkan penyakit penderita dan pasien merasa puas atas nasihat dan tindakan dari dokter yang merawatnya.

c. Asas Hukum Dalam Perjanjian Terpaeutik

Oleh karena transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dengan pasien, maka berlaku beberapa asas hukum yang mendasari atau terkandung di dalam berbaga peraturan yang mendasarinya, (Veronica Komalawati, 1999:126-130)

1) Asas Legalitas

Di dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009, asas ini tersirat dari ketentuan Pasal 50, yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan medis hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam perundang-undangan.

Asas ini memberikan kapasitas dan diperlindungi bagi terlaksananya otonomi professional seorang dokter dalam memberikan pelayanan medis. Otonomi professional yang dimaksud adalah suatu bentuk kebebasan bertindak selaku profesional di bidang kedokteran, yaitu untuk mengambil keputusan sesuai dengan rencana upaya yang ditentuka sendiri

(24)

yang didasarkan keahlian, keterlampilan dan ketelitian yang dimiliki guna memberikan bantuan kepada pasien yang membutuhkannya. Otonomi dalam hal ini memiliki 2 unsur, pertama, kemampuan untuk mengambil keputusan tentang rencana bertindak, yang berarti dokter tersebut harus mampu memeriksa alternative yang ada dan membedakannya karena harus dapat menjelaskannya kepada pasien yang bersangkutan.

Kedua, kemampuan untuk mewujudkan rencana itu menjadi kenyataan karena cara melaksanakan rencana itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab dokter selaku professional.

2) Asas Keseimbangan

Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, asas ini terkandung dalam Pasal 2, yaitu asas perikehidupan dalam keseimbanngan. Menurut asas ini, penyelenggaraan kesehatan harus diselenggarakan seccara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan medis, dapat diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, serta antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan. Asas ini erat kaitannya dengan masalah keadilan dan telah terkandung pula dalam Pasal 2 (d), yaitu asas adil dan merata. Merumuskan isi atau norma keadilan tidak semudah merumuskan hakikat keadilan, yang berartikan pernilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan seseorang terhafap orang laindengan menggunaka suatu norma yang menurut pandangan subjjektif melebihi norma lainnya. Dalam pelayanan medis, keadilan yang dimaksud adalah keadlian yang bersifat kasuitis karena menyangkut pula alokasi sumber daya dalam palayanan kesehatan, dimana terdapat pembagi rataan yang adil mencangkup, manfaat dan beban; serta penggunan sarana dan jasa. Namun, menentukan standar yang adil ini yang menjadi permasalahan sepanjang masa.

3) Asas Tepat Waktu

Asas ini sangat diperlukan karena akibat kelalaian memberikan pertolongan tepat pada saat diperlukan, dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Dalam Pasal 58 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas ganti kerugian akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dokter selaku professional di bidang medis, seharusnya dapat bertindak tepat pada saat dibutuhkan. Berdasarkan asas ini, suatu tindakan yang harus segera dilakukan dalam rangka pelayanan medis, demi kepentingan pasien tidak dapat ditunda-tunda semata-mata demi kepentingan pribadi dokter.

4) Asas Itikad Baik

(25)

Dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (geode trouw), namun pasal ini tidak dijelaskan arti dari itikad baik itu sendiri. Namu, jika itikad baik dilihat dari terjemahan bona fides (bona = saleh; fides = percaya) dalam hukum Romawi, berbuat sesuai itikad baik berarti berbuat berdasarkan pengertian yang baik, jujur, dan lurus. Dalam pasal diatas, maka penataan kewajiban yang timbul dalam suatu perjanjian ditentukan oleh kelayakan dan kepatutan menurut norma subyektif yang berlaku di dalam masyarakat, yaitu norma yang berdasarkan penalaran dapat dipertanggungjawabkan.

4. Tinjauan Tentang Informed Consent a. Pengertian Informed consent

Informed consent / persertujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Definisi ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.

Untuk dapat dilakukan tindakan medis tertentu, berupa diagnostic maupun terapeutik, maka diperlukan adanya informed consent yang dalam hal ini merupakan kosntruksi dan persesuaian kehendak yang harus dinyatakan, baik oleh dokter maupun pasien setelah masing- masing menyatakan infomasi secara bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah informasi.

(Endang Kusuma, 2009:129)

Persetujuan dari pasien, dalam hal ini mempunyai arti yang cukup luas sebab dengan sekali pasien membubuhkan tanda tangannya di formulir persetujuan tindakan medis, maka diangaap pasien telah informed dan telah menyerahkan nasibnya kepada dokter, serta dokter boleh melaksanakan apa yang menurut dokter baik. Penandatanganan ini mempunyai konsekuensi telah tercapai apa yang dinamakan sepakat para pihak yang mengikatkan diri, untuk sebagai syarat tahunya perjanjian untuk melaksanakan tindakan medis. Persetujuan ini

(26)

mempunyai kekuatan mengikat, dalam arti mempunyai kekuatan hukum, berarti dokter telah menjalankan kewajibannya memberikan informasi untuk melakukan tindakan medis.

b. Informasi yang Harus Disampaikan Kepada Pasien

Informasi yang diberikan kepada pasien merupakan informasi yang rinci serta mengenai persetujuan tindakan dokter, yang diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu: persetujuan dapat dimintakan kepada pasien, apabila pasien sudah menerima informasi mengenai:

1) diagnosis dan tata cara tindakan medis, 2) tujuan tindakan medis yang dilakukan, 3) alternative tindakan lain dan resikonya,

4) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi , dan 5) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Informasi yang harus diberikan kepada pasien adalah informasi yang selangkap-lengkapnya, yaitu informasi yang adekuat tentang perlunya medis yang bersangkutan dan risiko yang ditimbulkannya.

Informasi yang disampaikan berisikan tentang keuntungan dan kerugian dari tindakan medis yang dilaksanakan, baik diagnostic maupun terapeutik.

Hakikat informed consent merupakan sarana legitimasi bagi dokter untuk melakukan intervensi medis yang mengandung resiko serta akibat yang tak menyenangkan, oleh karenanya hanya dapat membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum atas terjadinya risiko serta akibat yang tak menyenangkan saja.

Hakikatnya, informed consent mengandung dua unsur esensial, yaitu: (Hermien Hadiati Koeswadji, 1998:74)

1) Informasi yang diberikan oleh dokter (information for consent) dan

2) Persetujuan yang diberikan oleh pasien (statement of informed consent).

(27)

Ada dua sandaran yang dikenal untuk menetapkan cukup tidaknya informasi yang diberikan kepada pasien oleh dokter agar dapat mencapai persetujuan pasien, yaitu: (Jr. Roach, 1985:162-163)

1) Standar professional atau standar yang layak dari dokter.

2) Standar materiil atau standar yang layak dari pasien.

Standar professional digunakan oleh beberapa Negara maju sedangkan standar materiil digunakan oleh beberapa Negara berkembang. Didasarkan pada standar materiil, luas dari tugas seorang dokter untuk memberikan informasi ditentukan oleh informasi yang dibutuhkan oleh pasien.

Oleh karena individu itu otonom, diperlukan informasi untuk mengadakan pertimbangan agar dapat bertindak sesuai dengan pertimbangannya tersebut. Prinsip inilah yang oleh para ahli etik disebut dengan doktrin informed consent.

c. Bentuk Informed Consent

1) Informed Consent yang Dinyatakan secara Tegas a) Informed Consent yang dinyatakan secara lisan

Informed consent dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko, misalnya, pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis.

Sedangkan untuk tindakan medis yan mengandung risiko, misalnya pembedahan, informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien.

b) Informed Consent yang dinyatakan secara tertulis

Informed consent secara tertulis ialah bentuk yang paling tidak diragukan namun, jika dilakukan secara lisan juga sah, kecuali ada syarat hukum tertentu yang menuntut informed consent tertulis untuk prosedur tertentu. Jadi, informed consent dapat dinyatakan secara lisan, bahkan dinyatakan dengan sikap menyerah pada prosedur yang telah dispesifikasikan.

(28)

2) Informed Consent yang Dinyatakan secara Diam-Diam/Tersirat Informed consent juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat pada gerakan pasien yang diyakini oleh dokter. Dengan anggukan kepala, maka dokter dapat menangkap isyarat tersebut sebagai tanda setuju. Atau pasien membiarkan dokter untuk memeriksa bagian tubuhnya, dengan pasien menerima atau membiarkan atau tidak menolak, maka dokter menganggap hal ini sebgai suatu persetujuan untuk dilakukan suatu pemeriksaan guna mendapatkan terapi dari penyakitnya. Demikian pula dalam hal persetujuan tindakan medis yang dilakukan oleh pasien jika pasien telah menyetujui ataupun tidak bertanya lebih lanjut tentang infomasi dari dokter, dianggap telah mengerti penjelasan dokter.

Pada dasarnya, persetujuan lisan yang diberikan oleh orang yang berhak sudah cukup bagi dokter untuk dijadikan dasar bagi intervensi medis. Bahkan, dapat pula diberikan dalam bentuk siratan, yaitu dengan menunujukan sikap-sikap yang memberikan kesan seyuju. Namun, kedua cara ini dapat merepotkan dokter jika dibelakang hari diingkari, kecuali ada saksi yang ikut menyaksikan. Hanya saja, keberadaan saksi non tenaga kesehatan saat dokter memberikan penjelasan sampai pasien menyatakan persetujuannya dapat dipersoalkan dari aspek konvidensialitas medis.

d. Dasar Hukum Informed Consent

Di Indonesia terdapat ketentuan tentang informed Consent, yaitu:

1) Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981

2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis pada Bab I Pasal 1 Huruf a.

“Persetujuan tindakan medis / informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau

(29)

keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.”

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 yang ditindaklanjuti dengan SK Dirjen Yanmed 21 April 1999 yang berisi 8 Bab dan 16 Pasal, mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan informed consent berisi, antara lain:

3) Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang Informed Consent terdapat pada Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 319/PB/A.4/88

5. Tinjauan Tentang Kelalaian Medis a. Pengertian Kesalahan

Kesalahan dokter timbul sebagai akibat terjadinya tindakan yang tidak sesuai, atau tidak memenuhi prosedur medis yang seharusnya dilakukan. (Bahder Johan. 2005:50). Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena adanya faktor kesengajaan atau kelalaian dokter.

Pasien merasa dirugikan apabila terjadi suatu tindakan sengaja yang dilarang oleh undang-undang, namun dilakukan oleh dokter.

Perbuatan ini menurut hukum termasuk golongan “Dolus” karena ada kesengajaan terhadap perbuatan tersebut (delicta commisionis).

Menurut Simons: kesalahan adalah keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannnya dengan perbuatan yang dilakukannya yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tersebut. (Bahder Johan. 2005:54)

b. Pengertian Kelalaian

Kelalaian adalah tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Sedangkan. Kesalahan adalah melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. (Dikutip dari Pak Arief Suryono.

Rekaman tgl 19 Juli 2019)

Definisi yang diperoleh dari sengketa Bost vs Rilley di Hammom dan Caltamba Memorial Rumah Sakit 1979 adalah:

(30)

“Negligence is the lack of ordinary care. It is the failure to do whata reasonable careful and prudent person would have done or the doing of something which a reasonably person would not have done the occasion in question.”

Kelalaian adalah sikap kurang hati-hati menurut ukuran wajar.

Karena tidak melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati yang wajar akan melakukan atau sebaiknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati yang wajar tidak akan melakukan di dalam situasi tersebut. Kelalaian mencakup dua hal, yaitu arena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau karena sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Kelalaian atau nebligence menurut Keeton: Medical Negligence- The Standard of Care 1980 (J. Guwandi. 2005:54), adalah suatu sikap- tindakan yang oleh masyarakat dianggap menimbulkan bahaya secara tidak wajar dan diklasifikasi demikian, karena orang itu bisa membayangkan atau seharusnya membayangkan bahwa tindakan itu bisa mengakibatkan orang lain harus menanggung resiko dan bahwa sifat dari risiko itu sedemikian beratnya, sehingga seharusnya ia bertindak dengan cara yang lebih hati-hati.

Secara umum, seseorang yang karena kelalaiannya sampai merugikan orang lain, dapat dianggap telah berbuat kesalahan. Tolok ukurnya adalah seseorang yang wajar (reasonable man), yang normal dan bersikap hati-hati sepantasnya menurut ukuran wajar, baik dalam urusan pribadi maupun dalam menjalankan profesinya. Untuk profesi dokter: “a reasonable skilled doctor”. Stolker mengutip Giesen yang mengatakan bahwa dari seorang dokter diharpkan bahwa:

“That he should show a fair, reasonable and competent degree of skill.”

Jika seorang dokter tidak mencapai norma ini, pada prinsippnya bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan karena tindakannya (the carrying out of treatment can be contra lege artis

(31)

[malpractice] if it is done without the proper and reasonable standard of skill, care and competence of the medical profession).

Setiap anggota masyarakat, termasuk profesi dokter harus tunduk dan menaati norma-norma teliti dan hati-hati (oplettendheid of zorgvuldigheid) yang wajar dianut di dalam masyarakat. Adalah fungsi hukum untuk mengadakan tata tertib di dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga hubungan manusia berjalan lancar seorang dokter bisa dianggap bertanggung jawab terhadap professional negligence jika sikap atau perbuatannya tidak berdasarkan standar yang umum berlaku dalam profesinya sehingga pasien sampai cidera karena kelalaiannya (juga karena tidak termasuk standar). Seseorang bagi anggota masyarakat dalam segala tindakan harus menjaga agar jangan sampai merugikan atau mencelakakan sesama anggota masyarakat, baik dalam urusan pribadinya (mengendarai mobil) maupun sampai pada melaksanakan tugas profesinya. Ciri dari kelalaian adalah kurang berpikir, kurang tahu (ignorance), dan kurang bijaksana dibandingkan dengan rata-rata dokter pada umumnya.

c. Unsur-Unsur Kesalahan

Menurut C. Berkhouver & L.D. Vortsman, suatu kesalahan terjadi dalam suatu profesi dikarenakan adanya 3 faktor, yaitu: (Bahder Johan. 2005:50)

1) Kurangnya pengetahuan, 2) Kurangnya pengalaman 3) Kurangnya pengertian.

Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam mengambil keputusan atau menentukan penilaian, baik pada saat diagnosa maupun pada saat berlangsungnya terapi pada pasien.

d. Unsur-Unsur Kelalaian Medis

Negara Anglo Saxon telah memberikan tolok-ukur dari kelalaian yang dikenal dengan “4-D” dari Negligence. Konsep 4D terdiri dari duty, derilection of duty, damage, dan direct causation.

(32)

1) Duty, artinya tugas atau kewajiban yang dimiliki oleh dokter.

Artinya, dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang muncul asli karena kedokteran dan juga dokter memiliki kewajiban akibat dari adanya hubungan dokter dengan pasien yaitu kontrak terapeutik,

2) Derilection of duty, artinya dokter menelantarkan tugas yang dibebankan pada pundaknya. Kewajiban atau tugas tersebtu tidak dilaksanakan oleh dokter, padahal dokter harus menyerahkan prestasinya kepada pasien.

3) Damage, artinya kerusakan yang terjadi pada pasien. Kerusakan pada pasien diartikan sebagai adanya kejadian tidak diinginkan.

Kejadian tidak diinginkan tersebut dapat menimbulkan kecurigaan adanya malpraktek; dan

4) Direct causation, artinya hubungan langsung antara derilection of duty dan damage yaitu adanya penelantaran kewajiban yang dilakukan oleh dokter secara langsung mengakibatkan adanya kerusakan. (Hari Wujoso, 2008:20)

6. Tinjauan Tentang Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional a. Pengertian Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasionl

Pada Pasal 50 dan 51 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik kedokteran, menyatakan tentang standar profesi dan standar prosedur operasional. Dimana memiliki pengertian sebagai berikut: standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secra mandir yang dibuat oleh organisasi profesi.

Menurut Koeswadji (1992:104), standar profesi adalah niat atau iktikad baik dokter yang didasari oleh etika profesinya, bertolak dari suatu tolak ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi.

Sedangkan yang dimaksud standar prosedur operasional/standar prosedur adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

Standar prosedur memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan

(33)

dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.

Standar profesi dan standar prosedur operasional adalah pedoman dan memberi arah praktik kedokter. Karena itu mengikat pekerjaan- pekerjaan profesi kedokteran. Pengingkaran terhadap isi standar profesi dan standar prosedur operasional serta nilai-nilai etika, dapat terjebak pada masalah malapraktik kedokteran apabila menimbulkan kerugian kesehatan, luka-luka tubuh atau hilangnya nyawa pasien. (Adami Chazawi, 2016: 23).

Profesi dokter adalah bersifat otonom, segala sesuatu ketentuan yang menyangkut pelaksanaan pekerjaan profesi ditentukan sendiri oleh kelompok profesi. Kelompok profesi menentukan sendiri isi standar pelayanan yang dianggap benar, tidak juga oleh pemerintah.

Melalui peraturan perundang-undangan pemerintah sekadar menentukan kewajiban dokter untuk menaati isi standar profesi yang dibuat kelompoknya dan memberikan ancamansanksi hukum terhadap yang melanggar.

Pasal 51 huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran junto Pasal 58 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan yang mewajibkan dokter dalam menjalankan profesinya untuk mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

b. Unsur-Unsur Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional Leenen dan van der Mijn berpendapat bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada tiga ukuran umum yang juga merupakan unsur dari standar profesi kedokteran, yaitu (Adami Chazawi, 2016: 24)

1) Kewenangan

Kewenangan menurut sifatnya ada dua landasan yang dapat dibedakan tetapi suatu kesatuan yang bulat dan tidak dapat dipisahkan. Pertama, kewenangan berdasarkan keahlian yang

(34)

dimiliki dokter. Kewenangan ini disebut dengan kewenangan keahlian atau kewenangan materiil, yang semata-mata melekat pada individu dokter. Kedua, kewenangan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, disebut kewenangan formil.

Seorang dokter dapat melakukan praktik kedokteran jika memiliki kedua-duanya. Seorang dokter wajib terlebih dahulu memiliki kewenangan mengenai keahliannya, yaitu pendidikan kedokteran. Pasal 35 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 juncto Pasal 62 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2014 menyatakan bahwa “dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki…”. Akan tetapi tidak cukup seorang lulusan fakultas kedokteran, meskipun spesialis sekalipun sebagai dokter yang mempunyai kewenangan untuk melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki kewenangan yang berdasakan hukum atau kewenangan formil.

Menurut Pasal 29 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 juncto Pasal 44 ayar (1) UU No. 36 Tahun 2014, wajib terlebih dahul memiliki kewenangan yakni memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).

Menurut Pasal 36 juncto Pasal 46 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2014 wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Melanggar salah satu atau kedua kewajiban tersebut dapat membuka jalan menuju malpraktik kedokteran, dann akan benar-benar menjadi malpraktik setelah menimbulkan akibat kerugian kesehatan atau nyawa pasien. Setiap pelanggaran kewajiban administrasi praktik kedokteran adalah bersifat melawan hukum dan membuka jalan menuju malpraktik.

Dua kewenangan dokter tersebut haruslah berada dalam 1 kesatuan. Seorang dokter karena keahliannya ia berwenang menjalankan praktik kedokteran hanya sesuai dengan keahliannya. Apabila melakukan suatu tindakan tetapi bukan

(35)

merupakan keahliannya, dan terjadi malpraktik, maka hal ini menjadi bukti bahwa praktik tanpa kewenangan yang disebabkan bukan bidang keahliannya, atau bukan ahli bidang tertentu, dapat menimbulkan akibat fatal bagi pasien.

2) Kemampuan Rata-Rata

Bidang kemampuan rata-rata adalah tiga kemampuan yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 5 UU No. 29 Tahun 2004, yakni kemampuan dalam knowledge, kemampuan dalam skill, dan kemampuan dalam professional attitude.

Kemampuan rata-rata tiga bidang ini tidak mudah ditentukan. Banyak faktor yang memengaruhinya (Wila Chandrawila, 2001:53). Faktor tersebut antara lain pengalaman berdasarkan banyaknya atau seringnya praktik, lamanya praktik, daerah praktik, fasilitas praktik, dan pergaulan sesama kolega profesi. Berdasarkan alasan tersebut, walaupun mungkin standar profesinya sama namun penerapannya pada kasus-kasus dugaan malpraktik tidak sama dan harus disesuaikan ddengan keadaan atau faktor-faktor tersebut. Salah satu ukuran pertimbangan kelalaian dalam hukum adalah didasarkan pada ukuran objektif (ajaran culpa objektif) pada keadaan-keadaan dan situasi yang sama dengan si pembuat yang dianggap lalai tersebut.

3) Ketelitian yang Umum

Kewajiban dokter dalam perjanjian terpaeutik adalah berbuat sesuatu dalam praktik kedokteran secara cermat, teliti, penuh kehati-hatian, dan tidak ceroboh. Kecermatan dan kehati- hatian diukur secara umum, artinya ketelitian dan kehati-hatian dokter dalam melaksanakan tindakan medis yang sama. Dalam hal melakukan pekerjaan/tindakan medis yang sama bagi semua dokter haruslah memiliki atau menjalankan ketelitian dan keseksamaan yang sama pula.

(36)

Kerangka Berpikir

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Pelayanan Medis

Hubungan Dokter dan Pasien

Malpraktik

Pejanjian Terapeutik Informed Consent

Tindakan Medis

Pidana Perdata Administrasi

(37)

Keterangan:

Kerangka pemikiran tersebut menjadi langkah-langkah bagi penulis untuk menjelaskan mengenai alur pemikiran penulis dalam mengangkat, membahas, menjelaskan, memaparkan, dan menjabarkan mengenai rumusan masalah dalam penelitian hukum ini. Kerangka pemikiran diatas berawal dari adanya pelayanan medis dari dokter kepada pasien. Dimana hubungan antara dokter dan pasien dimulai sejak datangnya pasien ke dokter untuk mendapatkan penyembuhan penyakit yang dideritanya. Hal ini dapat memunculkan hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang menimbulkan hak dan kewajiban yang disebut perjanjian terapeutik. Tindakan yang selanjutnya diambil ketika pasien akan diperiksa lebih lanjut yaitu adanya persetujuan pasien yang mempercayakan kesembuhannya kepada dokter dengan menandatangani informed consent. Dengan adanya persetujuan antara dokter dan pasien, maka tindakan medis pun dilakukan.

Timbulnya malpraktek apabila dilanggarnya Pasal 51 ayat (1) huruf (a) jo Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran jo Pasal 58 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga kesehatan. Tanpa adanya pelanggaran tersebut, maka dokter dianggap tidak melakukan tindakan malpraktik

Referensi

Dokumen terkait

 Yaitu suatu program yang merusak program lain secara kasar, sehingga bisa dipastikan program yang diserang akan rusak dan tidak bisa digunakan lagi..  Program trojan horse

Berdasarkan penjelasan bunyi Pasal 1 angka 6 KUHAP, secara tegas menyatakan terdapat perbedaan antara jaksa dan penuntut umum. Yang dimaksud dengan penuntut umum

Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan, yaitu: Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang

Kebebasan yang diberikan kepada para pihak yang menciptakan perjanjian-perjanjian khusus itu para pihak tidak terlepas dari aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata,

Sama seperti kartu kredit kebanyakan, ketika printed circuit (lempengan emas) dimasukkan ke dalam card reader, lempengan ini akan menyediakan energi listrik untuk microprocessor

bahwa dalam rangka menyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/ Jasa Secara Elektronik atau E- Procurement dan sesuai dengan ketentuan Pasal 111 ayat (2)

 Siswa diminta menganalisis hubungan posisi, kecepatan dan waktu pada gerak parabola di titik tertentu.  Guru menilai kinerja kelompok  Guru mendampingi

Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685) telah diubah