• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELTIAN MANDIRI KONVENSI WINA DALAM HUBUNGAN DENGAN EKSTRADISI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN PENELTIAN MANDIRI KONVENSI WINA DALAM HUBUNGAN DENGAN EKSTRADISI TINDAK PIDANA NARKOTIKA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELTIAN MANDIRI

KONVENSI WINA DALAM HUBUNGAN

DENGAN EKSTRADISI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Oleh

Anak Agung Ngurah Wirasila, SH.MH Bagian Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2017

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya panjatkan atas asung wara nugraha kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, dapatlah saya selesaikan laporan penelitian mandiri ini yang berjudul KONVENSI WINA DALAM HUBUNGAN DENGAN EKSTRADISI TINDAK PIDANA NARKOTIKA.

Dengan selesainya laporan penelitian ini adalah berkat segala daya dan usaha yang peneliti miliki, meskipun hasil yang disajikan dirasakan masih jauh dari harapan dan kesempurnaan bagi semua pembaca, apalagi diukur dan dikaji dari kadar keilmiahannya, oleh karena keterbatasan dan kekurangan kemampuan saya sebagai seorang peneliti.

Namun setidak-tidaknya saya dapat memberikan suatu informasi kepada semua pembaca tentang “Konvensi Wina Dalam Hubungan Dengan Ekstradisi Tindak Pidana Narkotika“.

Bagi saya, penelitian ini sangat dirasakan manfaatnya dalam pengembangan ilmu hukum pidana itu sendiri dan merupakan pelaksanaan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Sebagai akhir kata, saya peneliti melalui laporan penelitian ini, mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengadakan penelitian

2. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH.MH, sebagai Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan petunjuk dan arahan dalam penelitian ini

3. Kepada semua dosen, terutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana dan semua pihak yang telah membantu serta memberikan masukan dalam laporan penelitian ini

Dengan selesainya penyusuan laporan penelitian ini, dengan segala kerendahan hati dan kekurangan-kekurangan yang saya miliki, sangat mengharapkan bagi semua pihak terutama yang bergerak dibidang ilmu hukum, untuk dapat memberikan kritik dan saran dalam penyempurnaan karya tulis lebih lanjut

Denpasar, ....Desember 2017 Peneliti

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN USULAN PENELITIAN MANDIRI

1.Judul Penelitian : Konvensi Wina Dalam Hubungan Dengan Ekstradisi Tindak Pidana Narkotika

a. Bidang Ilmu : Ilmu Hukum b. Katagori : Penelitian Mandiri 2.Ketua Peneliti :

Nama : Anak Agung Ngurah Wirasila, SH.MH Jenis Kelamin : Laki-laki

Pangkat (Gol)/NIP : Penata Tk I (IIId) / 195805141987021001 Jabatan : Lektor

Fakultas : Hukum Universitas Udayana

3.Alamat Ketua Peneliti : Jalan Singosari Gang. Belibis Nomer 26, Banjar Hita Buana, Desa Peguyangan, Denpasar Utara

Kantor : Jalan Pulau Bali No. 1 Denpasar / (0361) 222666 4.Jumlah Anggota : 1 orang

5.Lokasi Penelitian : 6.Kerjasama :

7.Jangka waktu : 2 ( dua ) bulan

8.Biaya : Rp. 5.000.000,- ( Lima Juta Rupiah )

Mengetahui Denpasar, ....Desember 2017

Ketua Bagian Hukum Pidana Kepala Proyek Penelitian

( Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH.MH ) ( Anak Agung Ngurah Wirasila,SH.M) NIP. 19620605198803 1 020 NIP. 19580514198702 1 001

Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum Unud

( Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.M.Hum ) NIP. 19650221199003 1 005

(4)

iv

Daftar Isi

Judul dan Cover Penelitian...

Kata Pengantar... ii

Halaman Pengesyahan Usulan Penelitian Mandiri... iii

Daftar Isi... iv

BAB I : Pendahuluan... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1.2. Permasalahan... 5

1.3.Tujuan Penelitian... 5

1.4. Landasan Teoritis... 6

BAB II : Metode Penelitian... 8

BAB III : Pembahasan dan Hasil... 11

BAB IV : Penutup... 22

4.1. Simpulan... 22

4.2. Saran... 23 Daftar Pustaka

(5)

1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Setiap suatu organisasi yang ingin tumbuh, berkembang dan terpelihara dengan baik secara terus menerus, memerlukan suatu aturan-aturan untuk menentukan dan melaksanakan kehendaknya, menetapkan tujuannya, kewenangannya dan mengatur tata hubungan secara timbal balik antara dirinya dengan anggota-anggotanya, demikian pula halnya negara sebagai suatu organisasi memerlukan tata / aturan-aturan, baik yang bersifat kedalam maupun bersifat keluar yang dapat dianggap sebagai suatu konstitusi.

Dengan demikian, konstitusi bagi suatu negara adalah keseluruhan sistim aturan yang menetapkan dan mengatur tata kehidupan kenegaraan melalui sistim pemerintahan negara dan tata hubungan secara timbal balik antara pemerintah negara dan orang perseorangan yang berada baik didalam pemerintahanya (negara) maupun yang berada diluar pemerintahannya (negara) atau dalam hubungannya dengan negara-negara lain didunia.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum/rechstaat, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka / machtsstaat. Hal ini berarti bahwa negara, termasuk didalamnya Pemerintah dan Lembaga-Lembaga Negara didalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum serta dijiwai oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan harus dapat dipertanggung jawabkan segala tindakan dan perbuatannya. Dengan demikian pemerintah Negara Republik Indonesia harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, ikut untuk terciptanya perdamaian abadi dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam alinea ke IV (empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar 19451.

Apabila kita berbicara tentang masyarakat suatu bangsa, sudah tentu kita juga berbicara masalah manusia, baik sebagai mahluk pribadi maupun sebagai mahluk sosial

1 Bahan Penataran P-4 dan Undang-Undang Dasar 1945, 1996, diterbitkan oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Jakarta, hal. 15

(6)

dalam hidup dan kehidupannya didalam suatu masyarakat atau suatu negara. Setiap manusia sebagai mahluk individu sudah tentu mempunyai dan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dengan manusia lainnya. Hal ini tidak jarang akan terjadi dan tidak tertutup kemungkinan akan timbulnya gesekan-gesekan atau pertentangan- pertentangan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, didalam upaya mengejar dan memenuhi kebutuhan dan kepentingan tersebut. Sudah tentu manusia didalam mengatasi tingkat persaingan hidup akan semakin ketat dan selektif untuk memenuhi dan mengatasi kebutuhan hidupnya. Masalah modernisasi jaman dalam segala aspek kehidupan manusia bila telah didukung oleh kesiapan mental dan kemampuan individu, akan dapat membawa kenikmatan, kebahagian, kesenangan dan semuanya terasa mudah untuk menjangkau sesuatu bila digunakan untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat dan positif.. Akan tetapi bila penguasaan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk hal-hal yang negatif, maka hal ini sudah tentu akan dapat menimbulkan dan mendatangkan sesuatu yang merugikan, baik terhadap manusia itu sendiri, bangsa dan negara. Demikian juga modernisasi jaman sering membawa ketidak stabilan dan sering menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu manusia yang tidak siap rohani dan jasmani menghadapai perubahan dan perkembangan, lebih- lebih bagi manusia yang tidak memiliki mental atau moral yang baik dan kemampuan individu untuk menyerap dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, akan timbul akibat yang cukup fatal terhadap dirinya dan dapat melakukan perbuatan- perbuatan yang menyimpang dari bingkai hukum yang berlaku. Oleh karena itu, memang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sahetapy bahwa modernisasi jaman turut serta bertanggung jawab dalam melahirkan banyak bentuk dan sifat kriminalitas2

Bentuk dan sifat kriminalitas yang timbul dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan, karena telah menimbulkan korban terhadap harta benda yang tidak kecil dan telah beberapa nyawa manusia yang menjadi korban kejahatan, sehingga ketentraman dan ketenangan serta kedamaian hidup dalam masyarakat akan terganggu.

Demikian pula tujuan hukum tidak akan dapat tercapai, dimana tujuan hukum itu adalah mengatur pergaulan secara damai. Jadi hukum menghendaki perdamaian, apa yang kita sebut tertib hukum mereka sebut damai. Kejahatan berarti pelanggaran perdamaian,

2Sahetapy, 1981 : Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologi, Alumni, Bandung, hal. 86

(7)

penjahat dinyatakan tidak damai yaitu dikeluarkan dari perlindungan hukum. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan- kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya3.

Kejahatan itu adalah merupakan masalah sosial, oleh karena manusia lahir dalam masyarakat dan sifat manusia dimana pun tidak selalu sama antara yang satu dengan lainnya dan kadangkala untuk mencapai sesuatu tidak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan yang dikehendaki. Sebagaimana dengan asumsi yang sering kita dengar, bahwa dimana ada manusia, disitu ada hukum dan ada kejahatan Dengan demikian kejahatan tidak mungkin dapat dihapus sama sekali, meskipun dengan mengadakan sanksi yang tegas dan tajam untuk melawan perbuatan yang irrasional yang bersumber pada dorongan nafsu manusia. Kejahatan akan selalu ada berulang-ulang seperti musim, makin kompleks suatu masyarakat, semakin sukar dicegahnya dan semakin banyak pula kegagalan yang akan kita temukan, semakin bertambahnya undang-undang, semakin banyak pula kejahatan dalam masyarakat4. Pengertian kejahatan dari sudut kriminologi merupakan kelakuan yang tidak susila dan merugikan yang menimbulkan begitu banyak ketidak tenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakukuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut5.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi modern yang telah memasuki hampir disegala aspek kehidupan manusia saat ini, seakan-akan dunia semakin sempit. Oleh karena ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi modern telah membuat manusia didalam mengadakan hubungan terhadap sesama manusia antar daerah, antar negara seolah-olah tidak memiliki batas. Informasi dan perkembangan dalam segala bidang kehidupan manusia atau hal-hal lain disuatu daerah atau negara dengan cepat dapat diketahui oleh daerah atau negara lain. Tentu tidak lepas pula terhadap informasi dan perkembangan penjahat dan kejahatan yang dewasa ini perkembangannya telah demikian pesat, tidak saja terjadi didalam suatu negara, tetapi sudah menjadi lintas negara atau transnasional bahkan internasional. Teknik dan modus operandi serta sebab-sebab

3Apel Doorn, 2004 : Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 10 - 11

4B.Simanjuntak, 1981 : Pengantar Kriminologi dan Patalogi Sosial, Tarsito, Bandung, hal. 137

5B.Bosu, 1982 : Sendi-Sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, hal. 19

(8)

atau motif timbulnya suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang telah demikian berbeda dari masa ke masa, sebagai akibat bantuan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dimana perbuatan kejahatan dapat dilakukan seorang diri dan dapat juga secara terorganisir ( organized crime ), dapat dilakukan dalam suatu negara pelaku atau diluar negara pelaku, dapat ditujukan terhadap negara sipelaku itu sendiri dan dapat pula ditujukan terhadap negara lain. Kejahatan-kejahatan yang dapat ditimbulkan dari bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ini misalnya kejahatan dibidang perbankan, kejahatan pencucian uang / money laundering, kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan yang berhubungan dengan hak kekayaan intelektual ( Haki ), kejahatan terorisme, kejahatan computer / internet atau kejahatan mayantara / cyber crime dan sebagainya. Dimana pelaku kejahatan dapat melakukan baik dari dalam maupun dari luar negaranya sipelaku, demikian pula dapat ditujukan baik terhadap negara sipelaku sendiri maupun negara lain, yang sudah tentu akan menimbulkan kerugian material dan immaterial yang demikian besar. Setelah niat atau keinginan sipelaku selesai untuk melakukan suatu kejahatan dengan segala akibat yang ditimbulkan dalam suatu negara, tidak tertutup kemungkinan sipelaku kejahatan itu akan melarikan diri kesuatu negara yang dianggap aman dan dapat memberikan perlindungan.

Hal ini tentu akan membuat dan menimbulkan kesulitan bagi aparat penegak hukum, untuk melakukan penangkapan, penyidikan, penuntutan, menjatuhkan pidana dan pelaksanaan pidana sesuai dengan tingkat dan jenis kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Lebih sulit lagi bila suatu negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara lain atau bila suatu kejahatan yang telah dilakukan itu bukan merupakan suatu kejahatan dinegara yang menjadi tempat pelarian sipelaku. Tentu hal ini tidak terlepas dalam hubungannya dengan aspek-aspek hukum internasional, antara negara dimana kejahatan itu dilakukan dengan negara tempat sipelaku melarikan diri dalam upaya memperoleh perlindungan

1.2. Permasalahan

Berdasarkan pemaparan singkat tersebut diatas, maka dengan demikian timbul suatu pertanyaan yaitu : Apakah perjanjian ekstradisi merupakan satu-satunya upaya

(9)

untuk mengembalikan sipelaku kejahatan Narkotika dan Psikotropika kepada negara dimana kejahatan itu dilakukan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan penelitian ini tentang Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika di Propinsi Bali, diharapkan nantinya memiliki manfaat secara teoritis dan secara praktis, yaitu :

2.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini nantinya dapat diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan tentang ekstradisi dalam Konvensi Wina 1988 dan seluk beluk serta kesulitan / hambatan dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi

2.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan bagi mereka-mereka yang akan melakukan atau terlibat didalam dunia praktek tentang ekstensi Konvensi Wina 1998 yang mengatur ekstradisi dan perjanjian ekstradisi antar 2 (dua) negara serta pengganti ekstradisi sebagai suatu pejanjian

1.4. Landasan Teoritis

Penanggulangan itu adalah merupakan suatu proses atau cara untuk mengatasi sesuatu atau suatu perbuatan dalam menanggulangi sesuatu6. Dalam hal ini sudah tentu merupakan suatu proses atau cara melakukan perbuatan untuk menanggulangi kejahatan dan penyalahgunaan narkotika. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu ” strafbaarfeit ”, di Indonesia dikalangan sarjana hukum diartikan atau diterjemahkan kedalam berbagai istilah seperti : ” tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan pidana ”. Dimana istilah strafbaarfeit itu adalah terdiri dari kata straf, yang diterjemahkan dengan ” pidana dan hukum ”, kata baar

6W.J.S. Porwadarminto, 2007 : Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1204

(10)

diterjemahkan dengan ” dapat dan boleh ”, kata feit diterjemahkan dengan ” tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan ”7. Secara singkat Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa tindak pidana adalah : ” suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana ”8. Simons mengatakan strafbaarfeit adalah : ” kelakuan ( handeling ) yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum,yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab ”. Van Hamel menyatakan strafbaarfeit itu adalah : ” sebagai kelakuan orang ( menselijke gedraging ) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana ( strafwaardig ) dan dilakukan dengan kesalahan ”9. Sedangkan Moeljatno menggunakan istilah ” perbuatan pidana ”, yaitu : ” sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut ”10. Leo Polak mengatakan bahwa pidana adalah : ” pidana termasuk juga tindakan bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang yang dikenai ”11. Sudarto mengatakan bahwa pidana adalah : ” suatu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada oran yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu ”. Sedangkan Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana itu adalah : ” reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu ”. Bila dicermati pengertian pidana itu, maka pidana mengandung unsur-unsur : 1). Pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan, 2). Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan / oleh orang yang berwenang dan 3). Dikenakan pada seseorang

yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang12. Untuk memberikan suatu pengertian tentang narkotika dewasa ini tidaklah begitu

menimbulkan kesulitan, oleh karena narkotika bukan lagi merupakan sesuatu hal yang baru bagi kita, terutama dikalangan ilmuwan dan praktisi dari beberapa disiplin ilmu.

Apalagi saat ini masalah narkotika sangat gencar diberitakan hampir setaip hari, baik

7Adami Chazawi, 2002 : Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 67-69

8Adami Chazawi, 2002, ibid, hal. 75

9I Made Widnyana, 2010 : Asas-Asas Hukum Pidana, PT Fikahati Aneska, Jakarta, hal. 34-35

10Moeljatno, 1983 : Asas-Asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, hal. 55

11I Made Widnyana, 2010, op.cit, hal. 77

12Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984 : Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 2-4

(11)

melalui media massa cetak maupun media massa elektronik. Kata narkotika itu berasal dari kata “ Narke “ yang berarti terbius, sehingga tidak merasakan apa-apa. Jadi narkotika adalah merupakan suatu bahan-bahan yang menumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya13. Dari istilah farmakologi yang digunakan adalah kata “ drug “, yaitu sejenis zat yang bila dipergunakan akan membawa effek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh sipemakai, seperti mempengaruhi kesadaran dan memberikan ketenangan, merangsang dan menimbulkan halusinasi14.

Dikalangan para sarjana / ilmuwan banyak telah memberikan pengertian tentang narkotika seperti :

a. B.Bosu, memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang apabila dipergunakan atau dimasukan kedalam tubuh sipemakai akan menimbulkan pengaruh-pengaruh seperti berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan/ halusinasi15.

b. B.W. Bawengan, memberikan pengertian tentang narkotika adalah :

“ narkotika dalam bentuk aslinya sebenarnya berasal dari sejenis tanaman papaver somniferum yaitu berupa getah putih seperti susu, setelah dijemur dan kering menjadi serbuk warnanya coklat, maka disebut sebagai candu, khasiatnya untuk membuat orang tertidur dan menghilangkan rasa sakit “16. c. Soedjono D, memberikan pengertian narkotika adalah suatu zat atau sejenis zat

yang bila digunakan dalam artian dimasukan kedalam tubuh, akan membawa pengaruh terhadap tubuh sipemakai yang dapat berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan/ halusinasi17.

d. Didalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebut narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

13Soedarto, 1981 : Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 36

14Soedjono D. 1977 (1), Narkotika dan Remaja, PT. Alimni, Bandung, hal. 3 ( Selanjutnya disebut Soedjono D. 1 )

15B. Bosu, 1982 : op.cit, hal. 68

16B.W. Bawengan, 1977 : Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibat, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 72

17Soedjono. D, 1977 : Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Penerbit Karya Nusantara, Bandung, hal. 5 (Selanjutnya disebut Soedjono. D, 2)

(12)

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Sedangkan jenis-jenis narkotika sebagaimana terlihat dan diatur dalam Bab II, Pasal 2 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 terdiri atas 3 (tiga) golongan yaitu :

1. Narkotika golongan I ( terdiri dari 26 zat) yang hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuhan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya ( Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 ).

2. Narkotika golongan II ( terdiri dari 87 zat ), dimana golongan ini berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi tinggi yang mengakibatkan ketergantungan ( Pasal 4 ).

3. Narkotika golongan III ( terdiri dari 14 zat ), dimana golongan ini berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi yang mengakibatkan ketergantungan meskipun sifatnya ringan ( Pasal 4 ).

Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini pelaku dan kejahatannya sudah sedemikian rupa menimbulkan kecemasan dan ketakutan bagi setiap orang, oleh karena akibat kerugian yang ditimbulkan telah menyangkut beberapa aspek negatif, seperti aspek sosial-budaya, ekonomi, sarana prasarana dan kerugian immateriil lainnya. Demikian juga pelakunya, tidak saja dilakukan oleh warga negara sendiri, juga dapat dilakukan oleh warga negara asing. Hal ini dapat dimaklumi oleh karena Negara Indonesia tidak terlepas dari hubungannya dengan pergaulan dunia internasional, baik hubungan yang menyangkut perekonomian, pariwisata, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun hubungan diplomatik. Dengan demikan banyak warga negara asing yang datang ke Indonesia dengan berbagai maksud dan tujuan yang positif, namun tidak tertutup kemungkinan ada juga yang memiliki maksud dan tujuan yang negatif, sehingga sering timbul suatu kejahatan misalnya dibidang narkotika dan psikotropika, dibidang

(13)

perekonomian dan perbankan atau dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi / cyber crime. Kemudian sipelaku melarikan diri keluar wilayah Negara Indonesia, atau jika

sipelaku tertangkap oleh aparat penegak hukum Indonesia, tidak tertutup kemungkinan pemerintah negara sipelaku akan meminta kepada Negara Indonesia untuk membawa sipelaku kenegaranya dan diadili menurut hukum negaranya atau sebaliknya. Tentu hal akan dapat menimbulkan kesulitan dan permasalahan, bila antara Negara Indonesia dengan negara sipelaku kejahatan tidak memiliki suatu perjanjian ekstradisi.

Dimana pengertian ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhkan hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya18. Sedangkan pengertian ekstradisi dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 yaitu : penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan diluar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Maksud dan tujuan diadakan / dilaksanakan ekstradisi ini adalah agar sipelaku / tersangka suatu kejahatan tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, meskipun melarikan diri dan berlindung di negara lain yang tidak memiliki yurisdiksi / kewenangan menuntut dan mengadili sipelaku kejahatan tersebut. Sehingga dengan demikian memang sepatut / sewajarnya dan tepat sekali sipelaku / sipenjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang memiliki yurisdiksi /

18I Wayan Parthiana, 1990 : Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 12 – 13 ( Selanjutnya disebut I Wayan Parthiana 1 )

(14)

kewenangan untuk mengadili / memidana atas diri sipelaku kejahatan / sipenjahat tersebut19.

Namun dalam praktek ketatanegaraan, masalah ekstradisi ini sering mengalami berbagai kendala / masalah, seperti masalah penelitian dokumen permintaan ekstradisi yang tidak lengkap dan prosedur yang panjang , karena penuh dengan pertimbangan- pertimbangan dari berbagai aparatur negara sebelum mengeluarkan izin terhadap negara peminta.

19Budiarto, 1980 : Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Atas Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 13

(15)

11 2.1 Jenis Penelitian

Didalam penelitian ini yang akan digunakan adalah jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, oleh karena dilihat dari sudut karakter objeknya mengkhusus pada aturan-aturan hukum positif tertentu dan tidak terbatas pada norma-norma hukum, tetapi juga pada asas-asas hukum dan pedoman-pedoman yang berlaku20. Didalam penelitian hukum normatif untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi tentang apa yang seharusnya diperlukan sebagai sumber penelitian, yang menurut Peter Mahmud Marzuki, sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder21

2.2 Jenis Pendekatan

Didalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan, untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek tentang isu yang sedang diteliti atau sedang dicari jawabannya. Ada beberapa jenis pendekatan seperti Pendekatan Undang-Undang ( Statuta Approach ), Pendekatan Kasus ( Case Approach ), Pendekatan Historis / Sejarah ( Historical Approach ), Pendekatan Komperatif / Perbandingan ( Comperative Approach ). Jenis pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah Pendekatan Undang-Undang ( Statuta Approach ) dan Pendekatan Kasus ( Case Approach ) dan Pendekatan Perbandingan ( Comperative Approach ) yang dilakukan dengan menelaah beberapa undang-undang, kasus yang terjadi dan pedoman yang berhubungan dengan penelitian ini22.

20Jan Gijseis, Mark Van Hocke, 2000, Teori Hukum Itu ?. Terjemahan B. Arief Sidharta, Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung, hal 199-110

21Peter Mahmud Marzuki, 2008 : Penelitian Hukum, Kencana Prenadi Media Group, Jakarta, hal.

141

22Bambang Waluyo, 1991 : Penelitian Hukum dan Praktik, Sinar Grafindo, Jakarta, Cetakan 1, hal. 30

(16)

2.3 Sumber Bahan Hukum

Sebagai suatu penelitian yang bersifat normatif, maka sumber bahan hukum yang akan digunakan adalah :

1. Sumber bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat atau bahan hukum yang bersifat autoritatif, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Undang – Undang Nomer 35 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Narkotika, Undang-Undang Ekstradisi dan Konvensi Wina 1988

2. Sumber bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan kelengkapan / kejelasan kepada bahan hukum primer, seperti bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian ini, hasil penelitian, artikel makalah atau pedoman-pedoman / petunjuk-petunjuk atau konsep-kensep pelaksanaan yang menunjang penelitian ini

3. Sumber hukum tertier, yaitu sebagai bahan hukum yang memberikan petunjuk, meliputi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia atau ensiklopedia

2.4 Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer dilakukan dengan cara menginventaris, mempelajarai dan mendalami peraturan perundang-undangan dibidang KUHP, Hukum Tindak Pidana Narkotika dan Undang-Undang Ekstradisi. Sedangkan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan mempergunakan sistem kartu yang akan mencatat satu objek / topik, seperti mencatat sumber, nama penulis, tahun terbitan, judul, penerbit, dimana diterbitkan dan halaman yang akan dikutip untuk memudahkan mengambil pada saat diperlukan.

2.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum dikumpulkan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi interpretasi, sistematisasi evaluasi

(17)

dan argumentasi23. Pendeskripsian / penggambaran dilakukan untuk menentukan isi dari suatu bahan hukum yang disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas, sedangkan interpretasi merupakan salah satu penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang jelas tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup sudah ditetapkan sehubungan dengan suatu peristiwa tertentu.

23 Anonim, 2003 : Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar, hal. 8-9

(18)

14

Pada dasarnya tidak ada suatu negara didunia manapun yang menghendaki dan menginginkan terjadinya suatu kejahatan didalam wilayah / yurisdiksi teritorial dinegaranya. Demikian pula suatu negara tidak menghendaki dan menginginkan seorang warga negaranya menjadi penjahat dan menimbulkan kejahatan, lebih-lebih dilakukan diluar negara sipelaku atau kejahatan itu telah merugikan suatu negara. Sudah tentu negara sipelaku akan dapat menjadi tercemar terhadap nama baik dan kehormatannya dimata pergaulan dunia internasional, bahkan tidak tertutup kemungkinkan negara sipelaku dianggap sebagai sumber pelaku kejahatan yang berakibat negara sipelaku akan dapat diasingkan dari pergaulan dunia internasional. Memang kita semua tidak memungkiri bahwa akibat dari suatu kejahatan, lebih-lebih bersifat transnasional atau internasional akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa dan berimplikasi yang demikian luas. Perkembangan kejahatan dewasa ini telah mengalami perubahan, dari yang bersifat dan modus operandi konvensional / tradisional ke modern dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Negara Republik Indonesia sebagai salah satu negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak terlepas dari pergaulan atau hubungannya dengan negara-negara lain didunia. Hal ini bila dikaitkan dengan makna dan arti dari Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yaitu dari kalimat untuk turut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi, sudah tentu memiliki tanggung jawab dan kewajiban moral untuk terlibat dan berperan serta secara aktif didalam memerangi serta memberantas suatu kejahatan, baik yang bersifat konvensional / tradisional maupun yang modern dengan dukungan ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi tinggi.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan bahagia sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 adalah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala aspek kehidupan manusia, mulai dari masalah sosial ekonomi, pendidikan, budaya dan politik.

Namun disatu sisi, tidak tertutup kemungkinan penggunaan ilmu pengetahuan dan

(19)

teknologi tinggi akan dapat digunakan sebagai alat atau sarana untuk melakukan suatu kejahatan, baik kejahatan biasa maupun kejahatan khusus.

Dimana akibat negatifnya demikian besar bagi kehidupan umat manusia, karena akan dapat menghancurkan tatanan sosial, lumpuh dan hancurnya sistim perekonomian, kacaunya sistim pertahanan dan keamanan suatu negara, misalnya kejahatan perbankan, komputer atau kejahatan mayantara (cyber crime) yang menggunakan teknologi komunikasi dan informasi. Kejahatan-Kejahatan ini sangat sulit dideteksi / diprediksi dan diantisipasi, oleh karena pelaku dan kejahatannya dapat dilakukan dari negara lain diluar jangkauan yurisdiksi teritorial suatu negara Meskipun ada suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang sebagai warga negara tertentu, tetapi setelah melakukan kejahatan dan menimbulkan akibat, kemudian sipelaku melarikan diri kesuatu negara yang menurut perkiraannya dapat memberikan perlindungan. Sudah tentu hal ini, membuat pemerintah beserta jajarannya (aparat penegak hukum) menjadi kesulitan untuk menangkap, menyidik, menuntut dan menjatuhkan pidana terhadap para pelaku kejahatan tersebut, apalagi tidak didukung oleh aturan-aturan hukum yang pasti dan memadai untuk mengatasi kejahatan-kejahatan semacam ini.

Tetapi didalam praktek hubungan dunia internasional antar negara, ternyata ada juga yang bersedia mengekstradisi seorang pelaku kejahatan, meskipun antara kedua negara itu belum memiliki perjanjian ekstradisi. Oleh karena diantara negara-negara tersebut dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang berhubungan dengan ekstradisi, berpegangan dengan adanya asas-asas dan kaedah-kaedah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh sebagian terbesar negara- negara didunia24 Dengan demikian norma-norma dan kaedah-kaedah hukum senantiasa terlambat mengantisipasi yang menyangkut esktradisi dijaman ilmu pengetahuan dan teknologi ini, oleh karena itu memang tepat apa yang dikatakan oleh Cahyana Ahmadjayadi bahwa hukum dalam masalah ini belum mampu mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga terkesan hukum selalu

24I Wayan Parthiana, 2003 : Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, hal.128 ( Selanjutnya disebutI Wayan Parthiana 2)

(20)

tertinggal oleh konvergensi teknologi komunikasi dan informasi, namun bukan berarti kejahatan cyber / kejahatan dunia maya tidak dapat diatasi25.

Dewasa ini telah timbul berbagai macam kejahatan dengan berbagai sebab atau motifnya, demikian pula para pelaku suatu kejahatan tidak harus mendatangi tempat dimana akan dilakukannya suatu kejahatan, karena operasional suatu kejahatan telah didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dimana pelaku suatu kejahatan, saat ini dapat dilakukan oleh warga negara atau warga negara asing, yang merugikan suatu negara yang menjadi objek suatu kejahatan, tidak tertutup kemungkinan setelah si pelaku melakukan suatu kejahatan, kemudian akan melarikan diri kesuatu negara yang menurut perkiraan sipelaku dapat memberikan perlindungan. Kita juga telah mengetahui bahwa ruang lingkup berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUH), yang bukan merupakan sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan hukum pidana. Demikian juga didalam sejarah hukum pidana, kita juga mengetahui bahwa sudah sejak lama orang mengenal apa yang oleh Mayer disebut

“ elementer prinsip “ atau yang oleh van Hamel disebut “ grondbeginsel “, yang kedua- duanya dapat kita terjemahkan dengan perkataan “ asas dasar “. Dimana asas ini menentukan bahwa “ pada waktu mengadili seseorang tertuduh telah melakukan suatu tindak pidana itu, hakim tidak dibenarkan memberlakukan Undang-Undang Pidana lain, kecuali yang berlaku dinegaranya sendiri26.

Disamping itu kita juga mengenal asas berlakunya hukum pidana atau batas berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang yaitu : (a) asas teritorialiteit / territorialiteits-beginsel / asas wilayah, dimana asas ini terlihat didalam Pasal 2 KUHP yang intinya mengatur siapa saja yang melakukan suatu perbuatan pidana didalam wilayah hukum Negara Indonesia, maka akan diberlakukan hukum pidana yang berlaku di Negara Indonesia, (b) asas personaliteit / personaliteits beginsel / asas kebangsaan / asas nasionaliteit aktif/asas subjektif, asas ini terlihat didalam Pasal 5 KUHP yang merupakan berlakunya hukum pidana Indonesia terhadap warga negaranya dimanapun

25Cahyana Ahmadjayadi, 2004 : Dampak Teknologi Komunikasi dan Informasi Terhadap Kegiatan Terorisme, dalam Majalah Hukum Nasional No. 2, BPHN, Dep.Keh dan HAM, hal. 180

26P.A.F. Lamintang, 1997 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 87.

(21)

berada, meskipun ada beberapa persyaratan untuk memberlakukannya (c) asas perlindungan / beschermings-beginsel / asas nasional pasif, asas ini diatur dalam Pasal 4 KUHP, dimana asas ini bukan merupakan perlindungan hukum seseorang sebagai individu / pribadi, tetapi merupakan perlindungan hukum untuk kepentingan kehormatan dan martabat bangsa dan negara Indonesia (hukum pidana Indonesia), yang dapat diterapkan terhadap setiap orang yang melakukan suatu kejahatan di luar Indonesia dan (d) asas universaliteit / unversaliteits-beginsel atau asas persamaan, asas ini merupakan perlindungan yang bersifat kolektif dari suatu bangsa dan negara. Dimana asas ini akan lebih bertumpu pada kepentingan hukum yang lebih luas, yaitu kepentingan perlindungan terhadap penduduk dunia atau bangsa-bangsa didunia. Dengan demikian terkesan asas ini tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah tertentu dan bagi orang-orang tertentu atau dengan kata lain akan berlaku dimanapun dan terhadap siapapun yang melakukan suatu kejahatan. Keberadaan asas ini memiliki maksud dan tujuan adalah untuk menjaga ketertiban, keamanan, ketentraman atau kenyamanan bagi warga / orang-orang dari negara-negara didunia27.

Dengan memperhatikan dan mencermati asas-asas dasar dalam hukum pidana tersebut diatas serta berlakunya menurut tempat dan orang, sudah semestinya suatu negara dimana kejahatan itu dilakukan, kemudian sipelaku melarikan diri ke negara lain, maka negara dimana tempat terjadinya kejahatan dapat meminta agar sipelaku diserahkan oleh negara yang menjadi pelarian sipelaku kejahatan. Karena pada dasarnya tidak satu negara didunia manapun menginginkan terjadinya suatu kejahatan, apalagi negaranya dipakai sebagai perlindungan para pelaku kejahatan, yang dapat berimbas negatif terhadap warga negaranya sendiri. Misalnya seorang warga negara melakukan kejahatan dinegara lain dan kembali kenegaranya setelah melakukan suatu kejahatan, meskipun terdapat asas nasional aktif dalam hukum pidana, maka negara sipelaku kejahatan itu harus mengembalikan dan menyerahkan sipelaku ke negara dimana kejahatan itu terjadi bila diminta. Hal ini bukan berarti akan dapat merendahkan derajat dan martabat atau nama baik negara sipelaku dimata pergaulan dunia internasional, justru dianggap turut serta secara aktif menjaga kedamain dan ketertiban dunia. Demikian juga terhadap asas universal dalam hukum pidana, yang menurut hemat penulis disini adalah semua negara-

27Adami Chazawi, 2002 : op.cit, hal.199-217

(22)

negara didunia memiliki persepsi atau pandangan yang sama terhadap suatu kejahatan yang harus menerima hukuman atau ganjaran setimpal dengan perbuatannya, oleh karena asas ini tidak mengenal batas waktu, tempat atau orang didalam suatu kejahatan.

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa saat ini pelaku dan kejahatannya sudah sedemikian rupa menimbulkan kecemasan dan ketakutan bagi setiap orang, oleh karena akibat kerugian yang ditimbulkan telah menyangkut beberapa aspek negatif, seperti aspek sosial-budaya, ekonomi, sarana prasarana dan kerugian immateriil lainnya. Demikian juga pelakunya, tidak saja dilakukan oleh warga negara sendiri, juga dapat dilakukan oleh warga negara asing. Hal ini dapat dimaklumi oleh karena Negara Indonesia tidak terlepas dari hubungannya dengan pergaulan dunia internasional, baik hubungan yang menyangkut perekonomian, pariwisata, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun hubungan diplomatik. Dengan demikan banyak warga negara asing yang datang ke Indonesia dengan berbagai maksud dan tujuan yang positif, namun tidak tertutup kemungkinan ada juga yang memiliki maksud dan tujuan yang negatif, sehingga sering melakukan kejahatan dan timbul kejahatan misalnya dibidang narkotika dan psikotropika, dibidang perekonomian dan perbankan atau dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi / cyber crime. Kemudian sipelaku melarikan diri keluar wilayah Negara Indonesia, atau jika sipelaku tertangkap oleh aparat penegak hukum Indonesia, tidak tertutup kemungkinan pemerintah negara sipelaku akan meminta kepada Negara Indonesia untuk membawa sipelaku kenegaranya dan diadili menurut hukum negaranya atau sebaliknya.

Tentu hal akan dapat menimbulkan kesulitan dan permasalahan, bila antara Negara Indonesia dengan negara sipelaku kejahatan tidak memiliki perjanjian ekstradisi.

Dimana pengertian ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhkan hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya28. Sedangkan pengertian ekstradisi dalam

28I Wayan Parthiana 1, 1990 : op.cit, hal. 12 – 13

(23)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 yaitu : penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan diluar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Maksud dan tujuan diadakan / dilaksanakan ekstradisi ini adalah agar sipelaku / tersangka kejahatan tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, meskipun melarikan diri dan berlindung di negara lain yang tidak memiliki yurisdiksi / kewenangan menuntut dan mengadili sipelaku kejahatan tersebut. Sehingga dengan demikian memang patut dan tepat sipenjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang memiliki yurisdiksi/kewenangan atas sipelaku kejahatan/sipenjahat tersebut29. Akan tetapi didalam pelaksanaan atau prakteknya, masalah ektradisi ini sering mengalami kendala / kesulitan, baik yang bersifat yuridis maupun prosedural / diplomatik. Kendala yang menyangkut yuridis menyangkut proses penetapan oleh pengadilan dari negara yang dimintakan ekstradisi serta memerlukan pemeriksaan bukti-bukti secara hati-hati, teliti dan cermat, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama / panjang, juga beberapa persyaratan lainnya yang harus dipenuhi oleh negara peminta sesuai dengan ketentuan-ketentuan ekstradisi yang diakui secaraa internasional. Sedangkan kendala / kesulitan yang bersifat prosedural / diplomatik adalah pelaksanaan perjanjian ekstradisi yang dalam kenyataannya sering menimbulkan sensifitas hubungan diplomatik antar kedua negara yang terlibat didalam pelaksanaan ekstradisi tersebut30

Bertitik tolak dari kesulitan-kesulitan yang bersifat yuridis dan terlalu prosedural dalam ekstradisi yang menyangkut suatu kejahatan, ada baiknya juga kita memperhatikan isi Konvensi Wina 1998 yaitu : United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Konvensi tentang Narkotika dan Psikotropika), yang atas prakarsa dan diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa serta dihadiri oleh 106 negara didunia. Ternyata konvensi menjadi perhatian negara- negara didunia yang memiliki masalah terhadap kejahatan ini, yang telah menjelma menjadi kejahatan transnasional / lintas negara. Dimana kejahatan ini membawa aspek

29Budiarto, 1980 : op.cit, hal. 13

30Romli Atmasasmita, 2000 : Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 25

(24)

negatif yang demikian luas, bahkan sering menjadi penyebab utama timbulnya beberapa kriminalitas didalam suatu negara. Bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadinya tindak pidana subversif sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa China pada tahun 1839 – 1842, yang hancur karena politik candu Inggris31

Didalam pokok-pokok pikiran yang mendorong lahirnya konvensi ini dinyatakan bahwa :

a. Didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya penyalahgunaan dan kejahatan narkotika dipasaran gelap yang terjadi baik dalam suatu negara atau secara transnasional maupun internasional.

b. Mengingat saat ini tidak satupun negara didunia yang terlepas dari penyalahgnaan dan kejahatan ini, yang sudah bersifat transnasional/internasional dan terorganisir secara rapi dan rahasia antar lintas negara, maka PBB meminta kepada negara peserta agar memberikan perhatian dan prioritas utama untuk mengatasi masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

c. Penyalahgunaan dan kejahatan ini memiliki dimensi atau relevansi negatif yang cukup luas dalam kehidupan manusia didunia.

d. Konvensi ini dapat dijadikan landasan hukum untuk melakukan ekstradisi bagi kejahatan ini, meskipun antar negara tersebut belum memiliki perjanjian ekstradisi khusus atau konvensi tidak mengurangi arti dan eksistensi perjanjian ekstradisi yang telah ada antar negara anggota.

Didalam convensi Wina 1988 tersebut, ternyata Pasal 6 nya mengatur masalah ekstradisi yaitu :

1.This article shall apply to the offences established by the parties in accordanse with article 3, paragraph 1. ( Pasal ini akan diterapkan untuk pelanggaran narkotika yang ditegaskan dalam konvensi ini oleh negara peserta, sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 )

2.Each of the offences to which this article applies shall be deemed to be included as an extraditable offences in any extradition treaty axisting between parties.

The parties undertake to include such offences as extraditable offences in every

31Soedjono D. 1, 1977 : op.cit, hal. 122-128

(25)

axtradition treaty to be concluded between them.( Setiap pelanggaran yang terdapat dalam pasal ini, dianggap termasuk sebagai sebuah pelanggaran yang dapat di ekstradisi didalam semua perjanjian ekstradisi yang disepakati antar peserta )

3.If a Party which makes axtradition conditional on the existence of a treaty receives a request for extradition from another Party with which it has no extradition treaty, it may concider this Convention as the legal basis for extradition in respect of any offence to with this article applies. The Parties which require detailed legislation in order to use this Convention as a legal basis for extradition shall consider enacting such legislation as may be necessary.

(Jika salah satu peserta konvensi ini melakukan ekstradisi dengan peserta lainnya, tetapi tidak terdapat perjanjian ekstradisi diantaranya, maka konvensi ini dapat dijadikan landasan hukum untuk dilakukannya ekstradisi tersebut) 4.The Paties which do not make extradition conditional on the existence of a

treaty shall recognize offences to which this article apllies as extraditable offences between yhemselves (Peserta yang tidak membuat persyaratan ekstradisi yang akan dipergunakan dalam perjanjian ekstradisi nantinya, dapat menggunakan persyaratan ekstradisi dalam pasal ini).

5.Extradition shall be subject to be conditions provided for by the law of the requested Party or by apllicable extradition treaties, including the grounds upon which the requessted Party may refuse extraditin

6.In considering requests reciverd pursuant to this article, the requested State may refuse to comply with such requests where there are substantial grounds leading its judicial or order copetent authorities to believe that compliance would facilitate the prosecution or punishment of any person on account oh his race, religion, nationality or political opinions, or would cause prejudice for any of those reasons to any person affected by the request

7.The Parties shall endeavour to expedite extradition procedures and simplify evidentiary requirements relating there to in respect of any offence to which this article applies (Peserta akan berusaha keras untuk memperlancar agar ekstradisi menjadi lebih effektif).

(26)

8.Subject to the provisions of its domestic law and its extradition treaties, the requested Party may, upon being satisfied that the circumstances so warrant and are urgent, and the request of the requesting Party, take a person whose extradition is sought and is present in its territory into custody or take orther appropriate measures to ensure his presence at extradition proceedings

9.Without prejudice to the exercise of many criminal jurisdiction established in accordance with its domestic law, a Party in whose territory an alleged offender is found shall :

( a ). If it does not extradite him in respect of an offence established in accordance with article 3, paragraph 1, on the grounds set forth in article 4, paragraph 2, subparagraph (a), submit the case to its competent authorities for the purpose of prosecution, unless otherwise agreed with the requesting Party ( b). If it does not extradite him in respect of such an offence and has established

its jurisdiction in relation to that offence in accordance with article 4, paragraph 2, subparagraph (b), submit the case to its competent authorities for the purpose of prosecution, unless otherwise requested by the requesting Party for the purpose of preserving its legitimate jurisdiction

10. If extradition, sought for purposes of enforcing a sentence, is refused because the person sought is a national of the requested Party, the requested Party shall, if its law so permits and in conformity with the requirements of such law, upon application of the requesting Party, consider the enforcement of the sentence which has been imposed under the law of the requisting Party, or the remainder there of

11. The Parties seek to conclude bilateral and multilatereal agreements to carry out or to enhance the effectiveness of extradition (Peserta dapat melihat perjanjian bilateral dan multilateral agar ekstradisi menjadi lebih effektif).

12. The Parties may consider entering into bilateral or multilateral agreements, whether ad hoc or general, on the tranfer to their country of persons sentenced to imprisonment and other forms of deprivation of liberty for offences to which this article applies, in order that they may complete their sentences there (Peserta dapat mempertimbangkan untuk memasukan perjanjian bilateral atau

(27)

multilateral, baik sebagian maupun seluruhnya/semuanya dalam memindahkan tahanan kedalam negeri mereka sendiri).

Bertitik tolak dari pokok-pokok pikiran dan ketentuan Pasal 6 Konvensi Wina 1988 tersebut diatas, ternyata menurut hemat penulis dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk melakukan ekstradisi tanpa perjanjian khusus tentang ekstradisi diantara anggota peserta konvensi narkotika dan psikotropika. Oleh karena sebagaimana disebutkan diatas bahwa tidak ada satupun negara didunia saat ini yang bebas dari hal ini, demikian juga penyalahgunaan dan kejahatan serta peredaran gelapnya sudah bersifat lintas negara atau transnasional atau internasional serta berdemensi negatif yang luas. Dengan adanya penanda tanganan seluruh negara peserta konvensi, maka menurut hemat penulis itu berarti konvensi ini bersifat mengikat dan harus dihormati serta diikuti seluruh ketentuan- ketentuan yang terdapat didalam konvensi. Hal ini didukung dengan adanya suatu kasus kejahatan narkotika transnasional, dimana pelakunya Alfreido Riberru Gonzales seorang warga Negara Kolombia yang menyelundupkan narkotika jenis kokain ke Negara Spanyol dalam jumlah yang besar. Kemudian tertangkap aparat penegak hukum Negara Spanyol dan sudah dijatuhi pidana penjara 5 tahun. Beberapa bulan kemudian sipelaku ini dapat meloloskan diri dari penjara Negara Spanyol dan melarikan diri ke Negara Kuba. Aparat penegak hukum meminta bantuan kepada Interpol / Internasional Criminal Police Organization ( ICPO ) untuk melacak keberadaan sipelaku, ternyata informasi kebearadaan si pelaku itu ada di Negara Kuba. Atas dasar konvensi ini yang juga diikuti oleh Negara Spanyol, Negara Kolombia dan Negara Kuba, maka dibentuklah kerjasama untuk menyelidiki dan menangkap si pelaku. Setelah melalui pengintaian yang cermat, maka sipelaku tertangkap di pinggiran Negara Kuba. Kemudian Negara Spanyol meminta secara resmi melalui saluran diplomatik kepada Negara Kuba, agar si pelaku diserahkan kembali ke Negara Spanyol untuk menjalani sisa hukumannya. Akhirnya Negara Kuba menyerahkan si pelaku, sedangkan Negara Kolombia tidak dapat berbuat apa-apa karena sipelaku ditangkap di Negara Kuba32.

32Sugiantoro, 2001 : Penyerahan Kejahatan Narkotika Atas Dasar Konvensi Wina 1988, dalam Harian Kompas, tanggal 14 Maret 2001, hal. 7

(28)

Dengan demikian menurut hemat penulis, ternyata penerapan Konvensi Wina 1998 tentang Narkotika dan Psikotropika, khususnya Pasal 6 yang mengatur masalah ekstradisi dapat dipakai sebagai landasan hukum untuk menyerahkan sipelaku kejahatan, meskipun dalam hal ini bersifat khusus yaitu terhadap kejahatan narkotika. Disamping kemungkinan dasar pemikiran negara Negara Kuba bahwa yang diserahkan itu bukanlah warga negaranya atau mungkin berpandangan bahwa agar sipelaku tidak mengembangkan kejahatannya di Negara Kuba yang berdemensi negatif sangat luas atau mungkin juga ikut membantu negara-negara yang ingin membasmi dan memberantas tentang kejahatan narkotika ini

(29)

25 4.1. Kesimpulan

Disamping adanya perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi antar dua negara atau lebih yang dibuat secara resmi untuk menanggulangi masalah kejahatan, ternyata Konvensi Wina 1988 tentang narkotika dan psikotropika juga dapat dipakai sebagai sarana dan landasan hukum untuk melakukan ekstradisi tentang kejahatan narkotika, meskipun bersifat khusus dan asalkan negara itu turut meratifikasi konvensi itu 4.2. Saran

Oleh karena Negara Indonesia ikut dalam konvensi dan ikut menanda tangani konvensi itu, maka bila terjadi kejahatan narkotika dan psikotropika, kemudian pelakunya melarikan diri keluar Negara Indonesia, hendaknya konvensi ini dipakai sebagai dasar / landasan hukum dan sarana untuk meminta kepada negara dimana sipelaku itu melarikan diri, asalkan negara itu sebagai peserta dan turut meratifikasi / menandatangani konvensi Wina 1988 itu

(30)

DAFTAR BACAAN

Apel Doorn, 2004 : Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya paramita, Jakarta.

Adami Chazawi, 2002 : Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta B.W. Bawengan, 1977 : Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibat, Penerbit Pradnya

Paramita, Jakarta

B.Simanjuntak, 1981 : Pengantar Kriminologi dan Patalogi Sosial, Tarsito, Bandung B.Bosu, 1982 : Sendi-Sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya

Budiarto, 1980 : Masalah Eksradisi dan Jaminan Perlindungan Atas Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, jakarta Timur

Bambang Waluyo, 1991 : Penelitian Hukum dan Praktik, Penerbit Sinar Grafindo, Jakarta

Cahyana Ahmadjayadi, 2004 : Dampak Teknologi Kominikasi dan Informasi Terhadap kejahatan Terorisme, dalam Majalah Hukum Nasional No. 2 BPHN, Dep.Keh. dan HAM

Jan Gijseis, Mark Van Hocke, 2000 : Teori Hukum Itu ?, Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Laboratorium Universitas Parahyangan, Bandung

Lamintang. P.A.F, 1977 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung

Moeljatno, 1983 : Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984 : Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung

Parthiana. I.Wayan, 1990 : Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung ( 1 )

---, 2003 : Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung ( 2 )

Peter Mahmud Marzuki, 2008 : Penelitian Hukum, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Purwadarminto, W.J.S, 2007 : Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pusta, Jakarta

(31)

Romli Atmasasmita, 2000 : Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung

Soedjono. D, 1977 : Narkotika dan Remaja, Penerbit Alumni, Bandung (1)

---, 1977 : Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Penerbit PT Karya Nusantara, Bandung (2)

Soedarto, 1981 : Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT Alumni, Bandung

Sahetapy. J.E, 1981 : Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologi, Alimni, Bandung

Widnyana, I Made. 1983 : Asas-Asas Hukum Pidana, PT Fikahati Aneska, Jakarta

---,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )

---,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi ---,Anonim, 2007 : Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan

Tesis Hukum Normatif, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar

---,United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988

---,Bahan Penataran P-4 dan UUD 1945, diterbitkan oleh Badan Pembinaan Pelaksanaan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila, Jakarta

---,Harian KOMPAS 14 Maret 2001, tulisan Sugiantoro : Penyerahan Kejahatan Narkotika Atas Dasar Konvensi Wina 1988

(32)

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2015, usaha yang dapat dilakukan BAZNAS Kota Bogor agar efisien yaitu harus mengurangi biaya operasional, biaya sosialisasi, dan meningkatkan dana

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Cahyono (2015), mengenai efisiensi kinerja Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di Indonesia dengan pendekatan Data Envelopment

Oleh karena kualitas layanan yang baik dan terukur akan meningkatkan citra, kepuasan dan kesetiaan pelanggang terhadap pemakaian jasa Hotel Asyra Makassar adalah

Alt sınır, üst sınır, sınıf değeri, sıklık ve göreli sıklık bilgilerinin oluşturduğu çizelgeye Sıklık Çizelgesi (Çizelge 1) ve Alt sınır, üst sınır; sınıf

Salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan dan kelulushidupan pada perkembangan awal larva sampai spat tiram mutiara (Pinctada maxima) adalah pemberian pakan alami yang kurang

Untuk itu, saya berterima kasih kepada Rwe Bhinda beserta orang-orang di dalamnya, yang telah memberi saya kesempatan untuk bekerja selama lebih dari 1,5 tahun ini.. Following

Sebelumnya sudah ada sejumlah penelitian tentang pembangunan Sitem Pendukung Keputusan yang dilakukan oleh banyak pihak, tetapi pembangunan sistem pendukung

Dalam surat al-Qiya>mah ayat 37-39 telah dijelaskan bahwa ‚manusia dahulu berasal dari mani yang ditumpahkan (kedalam rahim) kemudian mani itu menjadi segumpal darah,