• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PELAKSANAAN STANDART PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RUMAH SAKIT ISLAM SITI HAJAR SIDOARJO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN PELAKSANAAN STANDART PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RUMAH SAKIT ISLAM SITI HAJAR SIDOARJO"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 1

HUBUNGAN PELAKSANAAN STANDART PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS

DI RUMAH SAKIT ISLAM SITI HAJAR SIDOARJO Oleh:

Sari Dewi Kusumawati, Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep Ns. Dya Sustrami, S.Kep., M.Kes., Ns. Diyah Arini, S.Kep., M.Kes.

Mahasiswa Prodi S1 Keperawatan Tahun Ajaran 2015

ABSTRAK

Pemasangan infus merupakan tindakan yang paling sering dilakukan di rumah sakit. Tindakan ini akan berkualitas dalam pelaksanaannya apabila mengacu pada prosedur tetap pemasangan infus. Jika prosedur ini tidak dilakukan dengan baik maka akan menimbulkan phlebitis. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis adanya hubungan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

Desain penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cohort. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang bertugas di IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo dan pasien yang sedang dilakukan pemasangan infus pada tanggal 11 Mei sampai 10 Juni 2015. Sampel berjumlah 36 orang yang dipilih secara probability sampling dengan teknik simple random sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan observasi pada standart prosedur operasional pemasangan infus dan phlebitis yang kemudian dianalisis menggunakan uji statistik Korelasi Spearman’s Rank dengan ρ ˂ 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar (47,2%) pemasangan infus dilakukan dengan baik dan sebagian besar (69,4%) responden mengalami phlebitis derajat 0 dengan ciri-ciri tidak ada tanda phlebitis.

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil ada hubungan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo dengan ρ = 0,000 (ρ ˂ 0,05).

Melihat hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa peran perawat sangat penting dalam mencegah terjadinya phlebitis. Semakin baik perawat dalam melaksanakan pemasangan infus sesuai standart prosedur operasional maka semakin kecil pula angka kejadian phlebitis pada pasien.

Kata kunci: Standart Prosedur Operasional Pemasangan infus, Kejadian Phlebitis

(2)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 2

ABSTRACT

The installation of infusion is an action that is most often performed in a hospital. These actions will be qualified in practice when referring to the procedure remains installation of infusion. If this procedure is not done properly it will cause phlebitis The purpose of this research is analyzed the existence implementation correlation standard procedure operational in the installation of infusion with the phlebitis incident in the islamic hospital Siti Hajar Sidoarjo.

This research design is used observational analytic method and cohort approach. The population in this research is nurses who work in IGD islamic hospital Siti Hajar Sidoarjo and medical patient who get the installation of infusion on May 11th up to June 10th 2015. Sample amount to 36 people who have chosen by probability sampling with simple random sampling technique. The data is taken by using observation in standard procedure operational installation of infusion and phlebitis, and then it is analyzed by using statistic experiment Spearman’s Correlation Rank with ρ ˂ 0,05.

The result of this research is showed that almost big partly (47,2%) the installation of infusion is done with good predicate and big partly (69,4%) respondent have gotten phlebitis 0 degree with there is no phlebitis mark. Based on the result of statistic experiment, it gets the correlation of standard procedure operational installation of infusion implementation with phlebitis incident in the islamic hospital Siti Hajar Sidoarjo ρ = 0,000 (ρ ˂ 0,05).

From this research result, it can conclude that nurse play is very important to restrain phlebitis incident. Nurse do better when perform the installation of infusion that appropriate with standard procedure operational, so, phlebitis incident will be get small percentage for medical patient too.

Keywords: Standard Procedure Operational installation of infusion, Phlebitis incident

(3)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 2

1. PENDAHULUAN

Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang paling sering dilakukan di rumah sakit.

Pemasangan infus adalah teknik penusukan atau pemasukan jarum atau kateter infus (abocath) melalui transkutan dengan stilet tajam, berbentuk kaku dan steril yang disambungkan dengan spuit (Kemenkes Maluku, 2011).

Pemasangan infus juga merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan dan elektrolit, obat intravena serta nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui intravena (Maramis, 2014).

Tindakan pemasangan infus akan berkualitas dalam pelaksanaannya apabila mengacu pada prosedur tetap pemasangan infus. Jika prosedur ini tidak dilakukan dengan baik maka akan menimbulkan suatu infeksi salah satunya adalah phlebitis. Phlebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang- kurangnya 3x24 jam (Darmadi, 2008). Menurut Infusion Nursing Society dalam Ariyanto (2011) phlebitis merupakan peradangan pada pembuluh darah vena yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus.

Berdasarkan fenomena di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo masih dijumpai bahwa prosedur pemasangan infus ini tidak dilakukan dengan baik seperti perawat tidak menggunakan

tourniquet karena untuk mempersingkat waktu sebab keadaan pasien gawat dan memerlukan penanganan cepat.

Selain itu perawat juga berpendapat bahwa pemasangan infus adalah hal yang sudah biasa dikerjakan.

Ketika diobservasi saat melakukan tindakan pemasangan infus ternyata ada beberapa point yang tidak dilaksanakan sesuai dengan isi protap, terutama masalah mencuci tangan.

Berdasarkan hasil penelitian di rumah sakit Amerika Serikat sekitar 20 juta dari 40 juta pasien dilaporkan menerima pengobatan intravena dengan angka phlebitis dilaporkan sebanyak 62%

(Lundgren dalam Widhori, 2014).

Data statistik yang didapat dari Yayasan Kesehatan mengenai infeksi nosokomial, phlebitis menempati peringkat pertama infeksi nosokomial di Indonesia yaitu sebanyak 16.435 kejadian phlebitis dari 588.328 pasien beresiko di Rumah Sakit Umum di Indonesia (±2,8%) dan sebanyak 293 kejadian phlebitis dari 18.800 pasien yang beresiko di Rumah Sakit Khusus atau Swasta di Indonesia (±1,5%) pada tahun 2006 (Depkes, 2007). Hasil dari penelitian di Rumah Sakit Immanuel Bandung tahun 2008 menunjukkan bahwa pelaksanaan pemasangan infus sebanyak 3 (21,7%) perawat yang melakukan tindakan sesuai standart prosedur tetap dan sebanyak 20 (78,3%) tidak dilakukan sesuai standart prosedur tetap (Widhori, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Hanafi (2009) di ruang rawat inap RSUD Achmad Muchtar Bukit Tinggi menunjukkan bahwa persentase

(4)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 3

kejadian phlebitis lebih banyak pada perawat yang tidak mencuci tangan dalam pemasangan terapi intravena atau pemasangan infus yaitu 70%. Berdasarkan penelitian Widhori (2014) yang diperoleh di RSUD Padang Panjang di ruang rawat inap RSUD Padang Panjang ditemukan sekitar 10 orang perawat belum ada yang melakukan tindakan sesuai prosedur tetap pemasangan infus, seperti menggunakan prinsip bersih dan steril pada handscoon, menggunakan perlak, dan torniquet. Data dari laporan surveilans hasil infeksi nosokomial Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo pada bulan November 2014 sebanyak 24 kejadian, bulan Desember 2014 sebanyak 19 kejadian, dan pada bulan Januari 2015 sebanyak 22 kejadian. Dari studi pendahuluan yang peneliti observasi di IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo pada tanggal 05 Maret 2015 didapatkan 5 orang yang sedang dilakukan tindakan pemasangan infus. Dari 5 orang tersebut terdapat 3 perawat yang melakukan pemasangan infus tidak sesuai standart prosedur operasional dan 2 perawat melakukan pemasangan infus sesuai standart prosedur operasional. Setelah diobservasi setiap hari dan dalam jangka waktu 4 hari pada tanggal 09 Maret 2015 didapatkan 3 orang (60%) mengalami phlebitis dan 2 orang (40%) tidak mengalami phlebitis.

Perawat yang tidak melaksanakan pemasangan infus secara standart prosedur operasional maka akan beresiko mengalami kejadian infeksi nosokomial yaitu phlebitis.

Dipandang dari faktor mekanik, phlebitis dapat timbul karena beberapa hal yaitu: diameter jarum kateter terlalu besar sehingga vena teregang, cara insersi kateter yang tidak baik, fiksasi yang tidak baik, kateter yang terbuat dari polivinil klorida, pasien banyak gerak, dan turbulensi atau teknik insersi. Jika dicermati dari faktor bakterial, phlebitis timbul karena pencemaran. Pencemaran ini terjadi ketika mikroorganisme dari kulit pasien atau tangan petugas pemasangan atau perawatan bersentuhan dengan kateter yang berhubungan langsung dengan pembuluh darah. Phlebitis dapat menyebabkan thrombus yang

selanjutnya menjadi

thrombophlebitis. Perjalanan penyakit ini jinak tetapi walaupun demikian jika thrombus terlepas kemudian ikut dalam aliran darah, masuk ke paru-paru dapat menyebabkan thrombo-emboli paru. Apabila thrombus terlepas dan diangkut ke aliran darah kemudian masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang menyumbat atrio ventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian. Hal ini menjadikan phlebitis sebagai salah satu permasalahan yang penting untuk dibahas dan selain itu juga phlebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan (Hingawati Setio dan Rohani, 2010).

Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. Pemasangan

(5)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 4

infus dilakukan oleh setiap perawat. Semua perawat dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang sesuai standart prosedur operasional guna untuk mengendalikan kejadian phlebitis. Menurut Perry dan Potter (2005), infeksi yang terkait dengan pemberian infus dapat dihindari dengan empat intervensi yaitu:

perawat melakukan teknik cuci tangan yang aktif untuk menghilangkan mikroorganisme gram negatif sebelum mengenakan sarung tangan saat melakukan prosedur pungsi vena, mengganti larutan intravena sekurang- kurangnya 24 jam, menggganti semua kateter vena perifer termasuk lok heparin sekurang- kurangnya 72 jam, dan juga mempertahankan sterilitas sistem intravena saat mengganti selang, larutan, dan balutan. Dengan kejadian tersebut diatas, terlihat bahwa peran perawat sangat penting dalam mencegah terjadinya phlebitis. Jika perawat bekerja dengan benar tentunya phlebitis tidak akan terjadi. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan Pelaksanaan Standart Prosedur Operasional Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo”.

2. METODE PENELITIAN 1.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik dengan pendekatan cohort.

Dimana peneliti ingin

mengobservasi pelaksanaan standart prosedur pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

1.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu 1 bulan yaitu pada tanggal 11 Mei sampai 10 Juni 2015. Tempat penelitian yaitu di IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

1.3 Populasi, Sampel, dan Sampling Desain

1.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang bertugas di IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo dan pasien yang sedang dilakukan pemasangan infus sebanyak 40 orang.

1.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah perawat yang bertugas di IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo dan pasien yang sedang dilakukan pemasangan infus yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Kriteria inklusi perawat dan

pasien:

a. Semua perawat yang bertugas di IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

b. Pasien yang baru masuk IGD.

c. Pasien yang sedang dilakukan pemasangan infus di IGD.

d. Pasien bersedia menjadi responden untuk diteliti.

2. Kriteria eksklusi perawat dan pasien:

a. Perawat yang sedang melakukan cuti.

(6)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 5

b. Pasien yang berumur < 7 tahun.

c. Pasien yang tidak kooperatif.

d. Pasien yang mendapatkan terapi kemo.

e. Cairan infus dan jenis obat suntik yang diberikan kepada pasien terlalu pekat.

f. Pemasangan infus yang sudah diganti oleh perawat ruangan.

g. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden.

1.3.3 Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini adalah 36 orang berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

2.3.4 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dengan menggunakan Probability Sampling dengan teknik

“Simple Random Sampling” dengan cara setiap elemen diseleksi secara acak. Jika sampling frame kecil, nama bisa ditulis pada secarik kertas, diletakkan di kotak, diaduk, dan diambil secara acak setelah semuanya terkumpul.

1.4 Identifikasi Variabel

2.4.1 Variabel Bebas (independent) Variabel independen dalam penelitian ini adalah pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus yang dilakukan di IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

2.4.2 Variabel Terikat (dependent) Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian phlebitis yang dialami pasien setelah pemasangan infus di IGD dan dirawat di ruang rawat inap

Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

2.5 Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

2.5.1 Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini instrument yang digunakan dalam standart prosedur operasional pemasangan infus berupa check list yaitu peneliti tinggal memberikan tanda check (x) pada daftar yang telah disediakan. Sedangkan kejadian phlebitis menggunakan observasi dengan lembar skala penelitian (rating scale) yaitu alat pengumpul data yang digunakan untuk mengelompokkan,

menggolongkan, dan menilai seseorang atau suatu gejala. Rating scale dalam penelitian ini yang diperoleh adalah data kuantitatif yang menggunakan skor.

2. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat ijin dari STIKES Hang Tuah Surabaya dan direktur Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo, peneliti datang ke lahan penelitian dan menemui kepala ruangan IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo. Peneliti meminta ijin untuk melakukan penelitian dalam mengobservasi pemasangan infus perawat sesuai dengan standart prosedur operasional pemasangan infus di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo tanpa sepengetahuan perawat yang akan melakukan tindakan tersebut.

Setelah mendapat ijin dari kepala ruangan IGD Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo, peneliti

(7)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 6

mulai mencari data jumlah perawat yang bekerja di IGD dan pasien yang masuk dari IGD dengan tujuan dirujuk ke ruang rawat inap.

Pengambilan data dimulai dari pukul 14.00 sampai dengan pukul 21.00 dengan dibantu oleh rekan peneliti. Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu menjelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada rekannya untuk menyamakan persepsi dan tidak terjadi kesalahpahaman. Setelah itu peneliti dan rekannya melakukan pendekatan dan memperkenalkan diri kemudian memberikan lembar persetujuan kepada responden.

Peneliti mulai membagikan lembar kuesioner untuk mengetahui data demografi responden yang meliputi: jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan berat badan. Dalam penelitian ini, peneliti memberikan informasi tentang tujuan dan manfaat penelitian ini untuk menghindari kesalahpahaman.

Calon responden yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini diminta untuk menandatangani lembar persetujuan penelitian (inform consent).

Dalam penelitian standart prosedur operasional pemasangan infus, peneliti akan mengobservasi dengan cara mengamati secara langsung perawat yang sedang melakukan pemasangan infus kemudian diberi tanda check (x) pada setiap standart prosedur operasional. Hasil pengukuran jika tidak sesuai diberi angka 0 dan jika sesuai diberi angka 1 kemudian dikelompokkan oleh peneliti dengan kategori kurang jika nilai

<56%, cukup jika nilai 56-75% , dan baik jika nilai 76-100%.

Untuk kejadian phlebitis, peneliti akan mengobservasi di ruang rawat inap sampai hari ke 4 setelah pemasangan infus pada pasien yang dilayani perawat IGD saat penelitian berlangsung dan dengan mengamati gejala phlebitisnya kemudian mencatatnya di lembar rating scale. Hal tersebut dilakukan peneliti untuk menganalisa hubungan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

2.5.2 Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, variabel data yang terkumpul melalui metode observasi kemudian diolah dengan tahapan sebagai berikut:

1. Editing

Hasil observasi yang didapat dari lapangan dilakukan editing terlebih dahulu untuk pengecekan dan perbaikan isian lembar observasi.

2. Scoring

Menentukan nilai sesuai dengan skala penelitian yang digunakan pada penelitian. Penilaian standart prosedur operasional pemasangan infus dengan hasil observasi diberikan skor 0 jika tidak sesuai Standart Prosedur Operasional dan nilai 1 jika perawat melaksanakan pemasangan infus sesuai standart prosedur operasional.

Sedangkan untuk penilaian kejadian phlebitis juga dengan hasil observasi dan diberikan skor 5 jika tergolong phlebitis derajat 0, skor 4 jika tergolong phlebitis derajat 1, skor 3 jika tergolong phlebitis derajat 2,

(8)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 7

skor 2 jika tergolong phlebitis derajat 3, skor 1 jika tergolong phlebitis derajat 4.

3. Coding

Mengklasifikasikan jawaban dari responden ke dalam kategori dengan cara memberi

tanda atau kode.

Mengklasifikasi data dengan memberi kode pada pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus baik diberi kode 3, pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus cukup diberi kode 2, dan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus kurang diberi nilai 1.

4. Tabulasi

Penyusunan data yang benar ke dalam bentuk tabel pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan penilaian kejadian phlebitis agar mudah dianalisa sesuai dengan analisa data.

5. Entry data

Data yang telah diberi kode (coding) kategori selanjutnya dimasukkan ke dalam tabel dan diuji dengan uji statistika korelasi menggunakan Korelasi Spearman’s Rank.

2.5.3 Analisa Data

Pada penelitian ini analisa yang digunakan adalah dengan analisis uji Korelasi Spearman’s Rank dimana hubungan antar variabel dengan derajat kemaknaan ρ < 0,05.

Apabila hasil uji statistik menunjukkan ρ < 0,05 maka H0 ditolak, H1 diterima yang artinya ada hubungan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan kejadian phlebitis.

Rumus uji korelasi spearman adalah:

r

s

Di mana:

rs = Koefisien Korelasi Spearman

= total kuadrat selisih antar ranking

n = jumlah sampel penelitian .

2.6 Etika Penelitian

1. Inform consent (Lembar persetujuan menjadi responden) Lembar persetujuan disebarkan sebelum penelitian dilaksanakan agar responden mengetahui

maksud dan tujuan

dilakukannya penelitian. Jika responden bersedia mengikuti penelitian maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan tersebut dan jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak- hak responden.

2. Anonimity (Tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data, lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.

3. Confidentiality (Kerahasiaan) Kerahasiaan informasi yang telah diperoleh dari subyek akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dengan tidak menyebarkan kepada orang lain yang tidak berhak. Hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan dan dilaporkan pada hasil riset.

(9)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 8

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian

3.1.1 Data Umum

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo periode Mei-Juni 2015 dengan n=36 orang.

No. Jenis Kelamin

Jumlah (f)

Prosenta se (%)

1 Laki-laki 15 41,7

2 Perempuan 21 58,3

TOTAL 36 100,0

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dari 36 responden yang berjenis kelamin perempuan 21 responden (58,3%) dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 responden (41,7%).

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo periode Mei-Juni 2015 dengan n=36 orang.

No. Usia Jumlah (f)

Prosentase (%)

1 7-14 tahun

3 8,3

2 15-24 tahun

9 25,0

3 25-34 tahun

8 22,2

4 35-44 5 13,9

tahun 5 45-54 tahun

8 22,2

6 55-64 tahun

2 5,6

7 65-74 tahun

1 2,8

TOTAL 36 100,0

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan usia dari 36 responden yang berusia 15-24 tahun sebanyak 9 responden (25,0%), usia 25-34 tahun sebanyak 8 responden (22,2%), usia 45-54 tahun sebanyak 8 responden (22,2%), usia 35-44 tahun sebanyak 5 responden (13,9%), usia 7-14 tahun sebanyak 3 responden (8,3%), usia 55-64 tahun sebanyak 2 responden (5,6%), dan sisanya usia 65-74 tahun sebanyak 1 responden (2,8%).

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tinggi Badan di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo periode Mei-Juni 2015 dengan n=36 orang.

No. Tinggi Badan

Jumlah (f)

Prosentase (%) 1 101-120

cm

1 2,8

2 121-140 cm

2 5,6

3 141-160 cm

23 63,9

4 161-180 cm

10 27,8

(10)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 9

TOTAL 36 100,0

Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan tinggi badan dari 36 responden yang memiliki tinggi badan 141-160 cm sebanyak 23 responden (63,9%), tinggi badan 161- 180 cm sebanyak 10 responden (27,8%), tinggi badan 121-140 cm sebanyak 2 responden (5,6%), dan sisanya yang memiliki tinggi badan 101-120 cm sebanyak 1 responden (2,8%).

4. Karakteristik Responden Berdasarkan Berat Badan di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo periode Mei-Juni 2015 dengan n=36 orang.

No. Berat Badan

Jumlah (f)

Prosentase (%)

1 31-40 kg 3 8,3

2 41-50 kg 8 22,2

3 51-60 kg 7 19,4

4 61-70 kg 11 30,6

5 71-80 kg 6 16,7

6 81-90 kg 1 2,8

TOTAL 36 100,0

Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan berat badan dari 36 responden yang memiliki berat badan 61-70 kg sebanyak 11 responden (30,6%), berat badan 41-50 kg sebanyak 8 responden (22,2%), berat badan 51-60 kg sebanyak 7 responden (19,4%), berat badan 71-80

kg sebanyak 6 responden (16,7%), berat badan 31-40 kg sebanyak 3 responden (8,3%), dan sisanya yang memiliki berat badan 81-90 kg sebanyak 1 responden (2,8%).

3.1.2 Data Khusus

Data khusus yang disajikan tabel data tentang hubungan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.Dari hasil tersebut dapat diketahui ada atau tidaknya hubungan yang kuat antara dua variabel tersebut dengan analisis uji statistik Korelasi Spearman’s Rank.

1. Karakteristik Pelaksanaan Standart Prosedur Operasional Pemasangan Infus di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo periode Mei-Juni 2015 dengan n=36 orang.

No .

Pelaksanaan Standart Prosedur Operasional Pemasangan

Infus

Juml ah (f)

Prosentas e (%)

1 Kurang 8 22,2

2 Cukup 11 30,6

3 Baik 17 47,2

TOTAL 36 100,0

Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dari 36 responden yang pemasangan infus dilakukan dengan kriteria baik sebanyak 17 responden (47,2%), pemasangan infus

(11)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 10

dengan kriteria cukup sebanyak 11 responden (30,6%), dan sisanya yang dilakukan pemasangan infus dengan kriteria kurang sebanyak 8 responden (22,2%).

2. Karakteristik Kejadian Phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo periode Mei-Juni 2015 dengan n=36 orang.

No Kejadian Phlebitis

Jumlah (f)

Prosentas e (%)

1 Derajat 2 5 13,9

2 Derajat 1 6 16,7

3 Derajat 0 25 69,4

TOTAL 36 100,0

Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan kejadian phlebitis dari 36 responden yang mengalami phlebitis derajat 0 sebanyak 25 responden (69,4%), phlebitis derajat 1 sebanyak 6 responden (16,7%), dan sisanya yang mengalami phlebitis derajat 2 sebanyak 5 responden (13,9%).

3. Hubungan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo periode Mei-Juni 2015 dengan n=36 orang.

Pelaksa naan

Phlebit is Pemasa

ngan

Deraj at 2

Derajat 1

Derajat 0

Total

Infus f % f % f % N %

Kurang 5 62,5 3 37,5 0 0 8 100 Cukup 0 0 3 27,3 8 72,7 11 100 Baik 0 0 0 0 17 100 17 100 Total 5 13,9 6 16,7 25 69,4 36 100 P value 0

, 0 0 0

Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan hubungan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan kejadian phlebitis dari 36 responden yang akan dipasang infus, 17 responden yang dilakukan pemasangan infus dengan baik dan kejadian phlebitis derajat 0 sebanyak 17 responden (100%). Sedangkan 11 responden dengan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional cukup, kejadian phlebitis derajat 0 sebanyak 8 responden (72,7%), dan sisanya 3 responden (27,3%) dengan kejadian phlebitis derajat 1. Sedangkan 8 responden dengan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional kurang, kejadian phlebitis derajat 2 sebanyak 5 responden (62,5%) dan sisanya 3 responden (37,5%) mengalami kejadian phlebitis derajat 1.

Menurut hasil uji statistik Korelasi Spearman’s Rank didapatkan hasil ρ = 0,000 ˂ 0,05, artinya secara statistik menunjukkan ada hubungan bermakna antara standart prosedur operasional pelaksanaan pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo

(12)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 11

dan dengan r = 0,799 yang artinya hubungan bersifat kuat.

1.2 Pembahasan

1.2.1 Pelaksanaan Standart Prosedur Operasional Pemasangan Infus di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

Berdasarkan data hasil penelitian didapatkan bahwa hampir sebagian pelaksanaan pemasangan infus di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo tergolong baik meskipun masih ada beberapa orang yang melaksanakan pemasangan infus yang cukup dan kurang. Berdasarkan data yang didapat dari 36 responden yang terpasang infus dan pemasangan infusnya dilakukan dengan baik sebanyak 17 responden (47,2%), 11 responden (30,6%) dengan pemasangan infus cukup, dan sisanya 8 responden (22,2%) dengan pemasangan infus kurang.

Pemasangan infus merupakan prosedur invasif yang paling sering dilakukan di rumah sakit. Pemasangan infus juga merupakan teknik penusukan atau pemasukan jarum atau kateter infus (abocath) melalui transkutan dengan stilet tajam, berbentuk kaku dan steril yang disambungkan dengan spuit (Kemenkes Maluku, 2011). Tujuan pemasangan infus salah satunya adalah memelihara nutrisi, memberikan obat-obatan intravena ke dalam tubuh, serta memonitor hemodinamik tubuh.

Standart Prosedur Operasional merupakan tata cara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Simamora, 2012).

Tujuan dibuatnya standart prosedur operasional adalah untuk

memperlancar tugas perawat, sebagai dasar hukum jika terjadi penyimpangan, mengarahkan perawat untuk sama-sama disiplin dalam bekerja, dan melindungi organisasi/

unit kerja dan perawat dari kesalahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam pelaksanaan standart prosedur operasional menurut Triwidyawati (2013) yaitu usia, jenis kelamin, lama kerja, dan pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perawat yang berusia 32-39 tahun dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan baik sebanyak 17 orang (47,2%) dibandingkan dengan perawat yang berusia 27-30 tahun dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan cukup sebanyak 7 orang (19,5%) dan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan kurang sebanyak 4 orang (11,1%).

Usia akan mempengaruhi jiwa seseorang yang menerima untuk mengolah kembali pengertian- pengertian atau tanggapan. Sehingga dapat dilihat bahwa semakin tinggi usia seseorang, maka proses pemikirannya untuk bekerja melakukan tindakan di rumah sakit lebih matang. Biasanya orang muda pemikirannya radikal sedangkan orang dewasa lebih moderat (Triwidyawati, 2013). Peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi usia maka kemampuan dalam berfikir dan bekerja lebih tanggap dan matang.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perawat yang berjenis kelamin perempuan dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan baik sebanyak 17

(13)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 12

orang (47,2%) dibandingkan dengan perawat yang berjenis kelamin laki- laki dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan kurang sebanyak 8 orang (22,2%) dan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan cukup sebanyak 4 orang (11,1%).

Menurut Triwidyawati (2013) pada umumnya wanita lebih patuh pada saat melakukan tindakan daripada pria karena wanita lebih peduli. Selain itu perempuan juga lebih mempunyai keunggulan dalam melakukan pekerjaan tertentu karena sifat perempuan yang lebih teliti dibandingkan dengan laki-laki.

Peneliti berasumsi bahwa perempuan pada dasarnya memiliki jiwa sosial yang lebih tinggi dalam hal peduli dibandingkan dengan laki-laki yang lebih agresif dalam bertindak.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perawat yang lama kerjanya 10-18 tahun dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan baik sebanyak 17 orang (47,2%) dibandingkan dengan perawat yang lama kerjanya 1-6 tahun dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan cukup sebanyak 11 orang (30,6%) dan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan kurang sebanyak 8 orang (23,2%).

Menurut Triwidyawati (2013) lama kerja atau pengalaman dapat berdampak kepada kinerja. Semakin lama seseorang bekerja maka makin terampil dan makin berpengalaman pula dalam melaksanakan pekerjaan.

Seseorang yang punya pengalaman akan selalu lebih pandai dalam menyiapi dari segala hal daripada

mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman. Peneliti berasumsi bahwa seseorang dengan pengalaman kerja lebih lama cenderung memiliki pengetahuan dan keterampilan yang profesional sehingga dapat menampilkan perilaku yang baik dalam bekerja.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perawat yang berpendidikan D3 keperawatan dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan baik sebanyak 17 orang (47,2%) dibandingkan dengan perawat yang berpendidikan S1 keperawatan dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan cukup sebanyak 3 orang (8,3%) dan pemasangan infus berdasarkan standart prosedur operasional dengan kurang sebanyak 3 orang (8,3%).

Pendidikan merupakan proses menumbuhkan kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran sehingga dalam pendidikan ini perlu dipertimbangkan usia. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah baginya untuk menerima informasi (Triwidyawati, 2013). Hal ini berbeda dengan pendapat Kristiawati (2013) yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan belum tentu dapat dikaitkan dengan kepatuhan seseorang dalam melakukan tindakan.

Peneliti berasumsi bahwa tidak ada jaminan kepatuhan dalam melaksanakan suatu pekerjaan bagi seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi.

1.2.2 Kejadian Phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

(14)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 13

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 36 responden, didapatkan bahwa 25 responden (69,4%) tidak mengalami phlebitis, sebanyak 6 responden (16,7%) mengalami phlebitis derajat 1, dan sisanya sebanyak 5 responden (13,9%) yang mengalami phlebitis derajat 2.

Menurut Infusion Nursing Society dalam Ariyanto (2011) phlebitis merupakan peradangan pada pembuluh darah vena yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Phlebitis juga merupakan inflamasi pada vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun

mekanik. Kondisi ini

dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan tempat di sekitar daerah insersi atau penusukan sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi dan pembengkakan (Mulyani, 2011). Phlebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi, 2008).

Berdasarkan hasil observasi peneliti, responden yang mengalami phlebitis derajat 1 sebanyak 6 responden (16,7%) dengan ciri-ciri merah atau sakit bila ditekan dan sisanya sebanyak 5 responden (13,9%) yang mengalami phlebitis derajat 2 dengan ciri-ciri merah, sakit bila ditekan dan edema.

Salah satu faktor penyebab phlebitis menurut (Ariyanto, 2011) karena bakteri. Berdasarkan hasil penelitian pelaksanaan pemasangan infus menunjukkan bahwa pelaksanaan mencuci tangan yang sesuai dengan standart prosedur

operasional sebanyak 24 responden (66,7%) dan yang tidak sesuai dengan standart prosedur operasional sebanyak 12 responden (33,3%).

Pemasangan infus dengan kriteria kurang yang tidak melakukan cuci tangan sebelum tindakan sebanyak 8 responden (66,7%). Sedangkan pemasangan infus dengan kriteria cukup sebanyak 4 responden (33,3%) dan pemasangan infus dalam kriteria baik tidak ada.

Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling sederhana dalam pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi (Potter & Perry, 2005). Menurut Sumurti (2008) dalam Saragih dan Rumapea (2012), cuci tangan dilakukan bertujuan untuk mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan, mencegah infeksi silang (cross infection), menjaga kondisi steril, melindungi diri dan pasien dari infeksi dan memberikan perasaan segar dan bersih. Mencuci tangan penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi (Nursalam dan Ninuk, 2007). Peneliti berasumsi bahwa pelaksanaan mencuci tangan yang tidak dilakukan sebelum melakukan

tindakan mengakibatkan

mikroorganisme dan kotoran yang menempel pada tangan lebih banyak sehingga terjadi phlebitis.

Berdasarkan hasil penelitian untuk pelaksanaan mensterilkan kulit yang akan ditusuk dengan alkohol swab sekali usap yang sesuai dengan standart prosedur operasional sebanyak 20 responden (55,6%) dan tidak sesuai dengan standart prosedur operasional sebanyak 16 responden (44,4%). Sebanyak 8 responden (50,0%) yang tidak melakukan

(15)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 14

pelaksanaan mensterilkan kulit yang akan ditusuk dengan alkohol swab sekali usap yang sesuai standart prosedur operasional termasuk dalam pemasangan infus dengan kriteria kurang. Sebanyak 6 responden (37,5%) termasuk dalam pemasangan infus kriteria cukup dan sebanyak 2 responden (12,5%) termasuk dalam pemasangan infus dengan kriteria baik.

Menurut Philips (2014) pada saat mendesinfeksi kulit dilakukan dengan cara sirkuler, dari center kearah luar dengan diameter 2 sampai 3 inchi dan tidak boleh dilakukan secara berulang. Setelah itu biarkan cairan sampai mengering. Kulit yang sudah didesinfektan tidak boleh disentuh lagi. Jika prinsip ini tidak dilakukan dengan tepat, maka dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya phlebitis. Peneliti berasumsi bahwa untuk mensterilkan kulit yang dilakukan secara berulang- ulang menyebabkan bakteri terkumpul pada area yang akan diinsersi.

Selain karena faktor bakteri, faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian phlebitis menurut Wayunah (2011) adalah jenis kelamin. Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 36 responden didapatkan 21 responden (58,3%) berjenis kelamin perempuan dan 15 responden (41,7%) berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sama kaitannya dengan menurut Campbell (1998) dalam Wayunah (2011) menemukan bahwa jenis kelamin perempuan meningkatkan resiko terjadinya phlebitis. Peneliti berasumsi bahwa perempuan memiliki pembuluh darah berukuran lebih kecil dibanding dengan ukuran pembuluh darah laki-laki yang terlihat lebih besar.

1.2.3 Hubungan Pelaksanaan Standart Prosedur Operasional Pemasangan Infus Dengan Kejadian Phlebitis di Rumah sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

Berdasarkan data hasil penelitian dari 36 responden yang akan dipasang infus, 17 responden yang dilakukan pemasangan infus dengan baik dan kejadian phlebitis derajat 0 sebanyak 17 responden (100%). Sedangkan 11 responden dengan pemasangan infus cukup, kejadian phlebitis derajat 0 sebanyak 8 responden (72,7%), dan sisanya 3 responden (27,3%) dengan kejadian phlebitis derajat 1. Sedangkan 8 responden dengan pemasangan infus kurang, kejadian phlebitis derajat 2 sebanyak 5 responden (62,5%) dan sisanya 3 responden (37,5%) mengalami kejadian phlebitis derajat 1.

Menurut hasil uji statistik Korelasi Spearman’s Rank didapatkan hasil ρ = 0,000 ˂ 0,05, artinya secara statistik menunjukkan ada hubungan bermakna antara standart prosedur operasional pelaksanaan pemasangan infus dengan kejadian phlebitis.

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden yang mengalami phlebitis dikarenakan pemasangan infus dengan kriteria kurang. Peneliti berasumsi bahwa pemasangan infus yang kurang ini salah satunya adalah tidak melakukan cuci tangan sebelum tindakan. Hasil penelitian didapatkan data bahwa untuk pelaksanaan pemasangan infus ternyata tidak melakukan cuci tangan sebelum tindakan akan mengalami phlebitis sebanyak 12 responden (33,3%) dengan kategori derajat 2 sebanyak 5 responden (41,7%), derajat 1 sebanyak 6 responden

(16)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 15

(50,0%), derajat 0 sebanyak 1 responden (8,3%). Sedangkan mencuci tangan dilakukan sebelum tindakan maka tidak akan mengalami phlebitis atau derajat 0 sebanyak 24 responden (66,7%). Mencuci kedua tangan merupakan prosedur awal yang dilakukan perawat dalam memberikan tindakan keperawatan yang bertujuan membersihkan tangan dari segala kotoran, mencegah terjadinya infeksi silang melalui tangan, dan mempersiapkan bedah atau tindakan pembedahan (Ato, 2013). Cuci tangan adalah suatu hal yang sederhana untuk menghilangkan kotoran dan meminimalisir kuman yang ada di tangan dengan mengguyur air dan dapat dilakukan dengan menambah bahan tertentu (Rachmawati dan Triyana, 2008). Menurut WHO (2005) ada 5 momen mencuci tangan yaitu sebelum berkontak dengan pasien, sebelum prosedur bersih atau aseptik, setelah terpapar atau resiko cairan tubuh pasien, setelah berkontak dengan pasien, dan setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien.

Phlebitis didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pembuluh darah balik atau vena (Hingawati Setio dan Rohani, 2010). Phlebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi, 2008). Salah satu faktor penyebab phlebitis menurut Infusion Nursing Society (2006) dalam Ariyanto (2011) adalah phlebitis bakteri. Phlebitis bakteri adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri.

Berdasarkan laporan dari The Centers for Control and Prevention (2002),

kuman yang sering dijumpai pada pemasangan kateter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negatif.

Tetapi dengan epidemik HIV / AIDS infeksi oleh jamur dilaporkan juga meningkat. Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :

1. Teknik cuci tangan yang tidak baik.

2. Teknik aseptik yang kurang pada saat penusukan.

3. Teknik pemasangan kateter yang buruk.

4. Pemasangan infus yang terlalu lama.

Menurut Perry dan Potter (2005), infeksi yang terkait dengan pemberian infus dapat dihindari dengan empat intervensi yaitu:

perawat melakukan teknik cuci tangan yang aktif untuk menghilangkan mikroorganisme gram negatif sebelum mengenakan sarung tangan saat melakukan prosedur pungsi vena, mengganti larutan intravena sekurang- kurangnya 24 jam, menggganti semua kateter vena perifer termasuk lok heparin sekurang-kurangnya 72 jam, dan juga mempertahankan sterilitas sistem intravena saat mengganti selang, larutan, dan balutan.

Semakin baik perawat dalam melaksanakan pemasangan infus sesuai standart prosedur operasional maka semakin kecil pula angka kejadian phlebitis pada pasien.

Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat. Semua perawat dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang

(17)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 16

sesuai standart prosedur operasional guna untuk mengendalikan kejadian phlebitis.

5.2 Keterbatasan

Keterbatasan merupakan kelemahan dan hambatan dalam penelitian. Pada penelitian ini keterbatasan yang dihadapi oleh penulis adalah:

1. Waktu penelitian yang terbatas sehingga jumlah sempel yang didapatkan belum cukup banyak.

2. Pemantauan yang kurang akurat sehingga kemungkinan masih ada faktor-faktor lain atau perancu dalam hasil observasi.

3. Memerlukan sarana dan pengelolaan yang rumit.

1. PENUTUP 4.1 Simpulan

Adapun simpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah:

1. Pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo rata-rata baik.

2. Sebagian besar responden yang mengalami phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo yang diobservasi selama 4 hari sebagian besar adalah derajat 0.

3. Ada hubungan pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo.

1.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang disampaikan pada pihak terkait adalah sebagai berikut:

1. Bagi Responden

Diharapkan kepada klien untuk menjaga kebersihan pada area yang terpasang infus dengan cara tidak menyentuh area dengan tangan kotor, meminimalkan gerakan pada area yang terpasang infus dan segera melaporkan kepada perawat jika pada area yang terpasang infus terlihat merah atau sakit bila ditekan untuk mengantisipasi keparahan dari phlebitis.

2. Bagi Tenaga Keperawatan a. Diharapkan untuk melakukan

evaluasi rutin terhadap kejadian phlebitis untuk memantau pencegahan dan pengendalian infeksi.

b. Diharapkan untuk setiap kali

melakukan tindakan

keperawatan agar lebih memperhatikan standart prosedur operasional yang sudah ditetapkan untuk mencegah kejadian phlebitis terutama dalam hal mencuci tangan sebelum tindakan, memakai

handscoon, dan

mempertahankan prinsip steril.

c. Diharapkan untuk dapat meningkatkan kesadaran diri untuk melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan standart prosedur operasional sehingga dapat memberikan pelayanan yang aman terhadap pasien.

3. Bagi Rumah Sakit

a. Diharapkan untuk memonitoring pelaksanaan standart prosedur operasional pemasangan infus oleh perawat pelaksana yaitu dengan cara meningkatkan kegiatan supervisi.

(18)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 17

b. Diharapkan untuk mengevaluasi kegiatan perawat khususnya pelaksanaan standart prosedur operasional keperawatan.

c. Diharapkan untuk membuat petunjuk tentang penilaian phlebitis sehingga mempunyai keseragaman untuk diagnosa phlebitis.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan agar meneliti dengan judul hubungan status gizi dengan kejadian phlebitis.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto, D. (2011). Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Phlebitis pada Pemberian Nutrisi Parenteral Di Ruang Bedah-Dalam RSUP dr.

Kariadi Semarang.

Universitas

Muhammadiyah. Skripsi.

Diunduh pada tanggal 30 Januari 2015 jam 18:32 WIB.

Ato & Engkus K. (2013). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan kebutuhan dasar manusia.

Bogor: In Media.

Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial: problematika dan pengendaliannya.

Jakarta: EGC.

Hawks H. & M. Black. (2009).

Medical Surgical Nursing:

Clinical Management for Positive Outcomes 8th Edition volume 2.

Singapore: Elsevier.

Hidayat,A.Aziz Alimul. (2010).

Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya:

Health Books Publishing.

Hingawati Setio & Rohani.

(2010). Panduan Praktik Keperawatan:

Nosokomial. Yogyakarta:

Citra Aji Parama.

Irawati, N. (2014). Gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian phlebitis di RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso kabupaten Wonogiri. Skripsi. Stikes Kusuma Husada. Diunduh pada tanggal 30 Januari 2015 jam 17.00 WIB.

Kemenkes Maluku, Poltekkes.

(2011). Penuntun praktikum ketrampilan kritis II. Jakarta: Salemba Medika.

Maria I, et al. (2012). Kepatuhan

perawat dalam

melaksanakan standart prosedur operasional pemasangan infus terhadap phlebitis. Jurnal STIKES volume 5, no.1

Juli 2012.

http://puslit2.petra.ac.id/ej ournal/index.php/stikes/art icle/download/18467/1828 1. Diunduh pada tanggal 30 Januari 2015 jam 15.57 WIB.

(19)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 18

Mustofa. (2007). Hubungan antara pengetahuan dan sikap perawat mengenai kontrol infeksi terhadap perilaku pencegahan phlebitis di ruang rawat inap RSUD Sunan Kalijaga Demak. Skripsi.

Universitas Diponegoro Semarang. Diunduh pada tanggal 30 Januari 2015 jam 16.00 WIB.

Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan pedoman skripsi, tesis, dan instrument penelitian keperawatan Edisi 2.

Jakarta: Salemba Medika.

. (2013). Metodologi penelitian ilmu keperawatan Edisi 3.

Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam, Ninuk. (2007). Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi. Jakarta:

Salemba Medika.

Potter & Perry.2005. Buku Ajar Fundamental

Keperawatan: konsep, proses, dan praktik vol 1 edisi 4. Jakarta : EGC

Philips, Sarah. (2014). Pungsi Vena dan Kanulasi. Jakarta:

EGC.

PPIRS. (2011). Laporan surveylans infeksi Rumah Sakit triwulan III (Juli, Agustus, September). Padang.

RSUP Dr.M.Jamil.

Prastika D, et al. (2011). Kejadian Phlebitis di Rumah Sakit

Umum Daerah

Majalaya.http://download.po rtalgaruda.org/article.php?arti cle=103607&val=1378.

Diunduh pada tanggal 31 Januari 2015 jam 05.42 WIB.

Price, Sylvia. (2005).

Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit vol 1 edisi 6. Jakarta: EGC.

Saputra, L. (2013). Pengantar kebutuhan dasar manusia.

Pamulang: Binarupa Aksara.

Saragih & Rumapea. (2012).

Hubungan karakteristik perawat dengan tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan di Rumah Sakit Columbia Medan. Jurnal Universitas

Darma Agung

Medan.http://digilib.unim us.ac.id/gdl.php?mod=bro wse&op=read&id=jtpuni mas-gdl-debiariyan-5756.

Diunduh pada tanggal 23 Januari 2015 jam 16.33 WIB.

Setiadi. (2007). Konsep dan penulisan riset keperawatan. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Simamora, R.H. (2012). Buku

ajar managemen

keperawatan. Jakarta:

EGC.

(20)

Oleh : Sari Dewi Kusumawati

STIKES Hang Tuah Surabaya 2015 Page 19

Wayunah. (2011). Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi inus dengan kejadian phlebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inap RSUD kabupaten Indramayu.

Tesis. Universitas Indonesia Jakarta.

Diunduh pada tanggal 30 Januari 2015 jam 16.08 WIB.

WHO. (2005). Pedoman perawatan pasien. Jakarta:

EGC.

Widhori.(2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap pemasangan infus di ruang rawat inap RSUD Padang Panjang.

.http://jurnal.umsb.ac.id/w p-

content/uploads/2014/09/j urnal-widhori.pdf.

Diunduh pada tanggal 30 Januari 2015 jam 17.08 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sistem mobile robot yang embedded dalam hal pengendalian maupun pengenalan gambar arah anak panah, juga mobile robot

• Memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya The People’s Choice dan Personal Influence, bahwa pilihan seseorang sudah terbentuk secara stabil sebelum pemilu dilakukan,

Puji syukurkepad Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih karunia-Nya yang telah diberikan Telah diberikan kepada penulis sehingga berhasil menyelesaikan penyusunan laporan skripsi

[r]

Asuhan kebidanan pada Ny “F” dilakukan secara berkelanjutan dimulai dari asuhan kehamilan pada Ny “F” pada usia kehamilan 38 minggu, dari hasil pemeriksaan tidak

Hasil penelitian rasio efisiensi protein pada Tabel 3, memperlihatkan bahwa dengan penambahan papain mulai dari 0,75% sudah mampu menghidrolisis protein dalam

Tabel 1. Dalam hal ini penilaian terhadap RPP yang sudah ada yang dibuat guru sebelumnya sebagai portofolio. Melalui hasil asesmen portofolio tersebut dapat disimpulkan

Kencana, Jakarta, hlm.. memaksakan sebuah penyelesaian tertentu. Dari sini terlihat jelas perbedaan antara upaya damai melalui mediasi dengan upaya damai yang diatur