• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KOMUNITAS MANGROVE PASCA 12 TAHUN TSUNAMI DI PESISIR ACEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS KOMUNITAS MANGROVE PASCA 12 TAHUN TSUNAMI DI PESISIR ACEH"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMUNITAS MANGROVE PASCA 12 TAHUN TSUNAMI DI PESISIR ACEH

SKRIPSI

RIZKY KURNIAWAN SARAGIH 131201053

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(2)

ANALISIS KOMUNITAS MANGROVE PASCA 12 TAHUN TSUNAMI DI PESISIR ACEH

SKRIPSI

OLEH :

RIZKY KURNIAWAN SARAGIH 131201053

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(3)

ANALISIS KOMUNITAS MANGROVE PASCA 12 TAHUN TSUNAMI DI PESISIR ACEH

SKRIPSI

OLEH :

RIZKY KURNIAWAN SARAGIH 131201053

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan di Fakulas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

JudulPenelitian : Analisis Komunitas Mangrove Pasca 12 Tahun Tsunami di Pesisir Aceh.

Nama : Rizky Kurniawan Saragih

NIM : 131201053

Departemen : Budidaya Hutan

Disetujuioleh KomisiPembimbing

Ketua Anggota

Onrizal, S.Hut., M.Si., Ph.D

NIP. 197402252000031001 NIP. 197504022000031002 Dr. AlfanGunawan Ahmad, S.Hut., M.Si

Mengetahui

Ketua Departemen Budidaya Hutan

NIP. 197304212000121001

Mohammad Basyuni, S. Hut., M.Si., Ph.D

(5)

ABSTRACT

RIZKY KURNIAWAN SARAGIH : Analysis of Mangrove Community at 12 Years after the2004 Tsunami in Aceh Coasts. Under supervision of ONRIZALandALFAN GUNAWAN AHMAD.

After the 2004 tsunami, Aceh mangrove began to recover both natural and man made by various parties through many rehabilitation projects. However, the condition of mangrove recovery at 12 years after the tsunami is not known, yet.

This study aimed to examine the structure of mangrove vegetation, to analyze the composition of mangrove vegetation species, and to analyze the mangrove community groups at 12 years after the 2004 tsunami. Field research was conducted from December 2016 until January 2017 located on the north coast of Aceh, especially in Gampong Jawa Village, Banda Aceh City and west coast of Aceh, especially in Lamseunia Village, Aceh Besar District. The vegetation analyses was done by combination of line and quadrat method. Based on the study, there are 16 species of mangrove plants where 9 species and 11 species were distributed at west and north coasts of Aceh. Respectively, there were 3 species namely Avicennia marina, Bruguiera sexangula, and Sonneratia caseolaris that they distributed at all regions. Nypa fruticans dominated with important value index (IVI) of 162.12% at north coast of Aceh with vertical structure was dominated by heigh class of 6-<8 m (59 ind/ha). Subsequently, at the west coast of Aceh, Bruguiera sexangula was recorded as dominant species (IVI = 74.92%) and vertical structure was dominated by height class of 4-<6 m (673 ind/ha). Horizontal structure of trees both at west and north coasts of Aceh were dominated by diameter class of 0-<5 cm and 5-<10 cm. The mangrove community at west and north coasts of Aceh consisted of 8 groups of lower plants, 6 groups of seedling, 6 groups of sapling, and 5 groups of tree stage. Based on the results, there was differences in both vegetation structures, compositions and communities between west and north coast of Aceh. Therefore, appropriate management is required to consider the conditions of mangrove communities and the environment in each region as well as the regular monitoring is needed to evaluate the mangrove recovery.

Keywords: Mangrove, Vegetation Structure, Community, Tsunami, Banda Aceh, Aceh Besar

(6)

ABSTRAK

RIZKY KURNIAWAN SARAGIH : Analisis Komunitas Mangrove Pasca 12 Tahun Tsunami Di Pesisir Aceh. Dibimbing olehONRIZAL dan ALFAN GUNAWAN AHMAD.

Pasca tsunami 2004, mangrove Aceh mulai mengalami pemulihan baik secara alami maupun buatan oleh berbagai pihak melalui banyak proyek rehabilitasi. Namun, kondisi pemulihan mangrove pada 12 tahun setelah tsunami belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur vegetasi mangrove, menganalisis komposisi jenis vegetasi mangrove, dan menganalisis kelompok komunitas mangrove pada 12 tahun setelah tsunami 2004. Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Desember 2016 sampai Januari 2017 yang berlokasi di pantai utara Aceh khususnya di Desa Gampong Jawa, Kota Banda Aceh dan pantai barat Aceh khususnya di Desa Lamseunia Kabupaten Aceh Besar. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi jalur dan garis berpetak. Berdasarkan hasil penelitian, ada 16 jenis tanaman mangrove dimana 9 jenis dan 11 Jenis didistribusikan di pantai barat dan utara Aceh. Ada 3 spesies, yaitu jenis Avicennia marina,Bruguiera sexangula,danSonneratia caseolaris yang mereka disitribusikan disemua wilayah. Nypa fruticans merupakan jenis yang paling dominan dengan INP sebesar 162,12% di pantai utara Aceh dengan struktur vertikal didominasi oleh kelas tinggi 6-<8 m (59 ind/ha). Selanjutnya, di pantai barat Aceh, Bruguiera sexangula tercatat sebagai jenis dominan dengan INP 74,92% dan struktur vertikal didominasi oleh kelas tinggi 4-<6 m (673 ind/ha). Struktur horizontal pohon baik di pantai barat dan utara Aceh didominasi oleh kelas diameter 0-<5 cm dan 5-<10 cm. Komunitas tumbuhan pada kawasan pantai barat dan utara Aceh terdiri dari 8 kelompok tingkat tumbuhan bawah, 6 kelompok tingkat semai, 6 kelompok tingkat pancang, dan 5 kelompok tingkat pohon. Berdasarkan hasil penelitian, ada perbedaan dalam struktur vegetasi, komposisi dan komunitas antara pantai barat dan pantai utara Aceh. Oleh karenaitu, manajemen yang tepat diperlukan untuk mempertimbangkan kondisi komunitas mangrove dan lingkungan di masing- masing wilayah serta pemantauan rutin diperlukan untuk mengevaluasi pemulihan mangrove.

Kata kunci : Mangrove, Struktur Vegetasi, Komunitas, Tsunami, Banda Aceh, Aceh Besar

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas berkat dan Rahmat-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Analisis Komunitas Mangrove Pasca 12 Tahun Tsunami di Pesisir Aceh”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hibah bersaing dengan ketua peneliti Onrizal, S.Hut., M.Si., Ph.D yang di biayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jendral Riset dan Pengembangan dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi berdasarkan kontrak No.017/SP2H/LT/DRPM/II/2016 Tanggal 17 Februari 2016.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam pendidikan Strata-1 dan salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua, Ayah Agian Saragih dan Ibu Rujiah br Sitepu, atas dukungan dari segi moril maupun material serta kasih sayang tanpa batas. Setiap hal yang diberikan kedua orang tua kepada penulis merupakan semangat dalam perjuangan menyelesaikan Skripsi ini. Skripsi ini salah satu dari bukti cinta penulis kepada orang tua.

2. Bapak Onrizal, S.Hut., M.Si., Ph.D dan Bapak Dr. Alfan Gunawan Ahmad, S.Hut., M.Si selaku dosen Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.

(8)

3. Kepada adik kandung Risman Hadinata Saragih dan Risna Pitriani br Saragih yang telah memberikan semangat serta doa untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Teman teman penelitian Rizka Amelia, Muhammad Arif, Khairil Amri, Greys Simamora, Rika Agustini, dan Jon Mangara Saragih. Teman-teman Kehutanan Kelas B 2013, Martel Family, Rimbapala Kehuutanan USU. Serta seluruh teman-teman Budidaya Hutan 2013 yang telah memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Semua rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini yang telah membantu penulis dalam meyelesaikan skripsi ini

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun tekhnik penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.

Medan, Mei 2018

Rizky Kurniawan Saragih

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRCT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove ... 4

Ciri-ciri Ekosistem Hutan Mangrove ... 4

Vegetasi Hutan Mangrove ... 5

Zonasi Hutan Mangrove ... 6

Tsunami ... 8

Penyebab Terjadinya Tsunami ... 9

Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Mangrove ... 10

Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 12

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 13

Alat dan Bahan ... 13

Prosedur Penelitian ... 14

Analisis Data ... 15

Keanekaragaman Jenis ... 17

Struktur Vegetasi ... 17

Analisis Kelompok Komunitas Tumbuhan ... 18

HASIL PENELITIAN Struktur Vegetasi ... 19

Struktur Vertikal ... 19

Struktur Horizontal ... 21

(10)

Komposisi Jenis Hutan Mangrove di Pantai Barat ... 23

Kelompok Tumbuhan Bawah ... 23

Kelompok Semai ... 25

Kelompok Pancang ... 26

Kelompok Pohon ... 27

Komposisi Jenis Hutan Mangrove di Pantai Utara ... 29

Kelompok Tumbuhan Bawah ... 29

Kelompok Semai ... 30

Kelompok Pancang ... 32

Kelompok Pohon ... 33

Keanekaragaman Jenis ... 35

Analisis Kelompok Komunitas Tumbuhan ... 38

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... 51 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Hasil Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah di Pantai Barat Aceh ... 24

2. Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai di Pantai Barat Aceh ... 25

3. Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pancang di Pantai Barat Aceh ... 27

4. Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon di Pantai Barat Aceh ... 28

5. Hasil Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah di Pantai Utara Aceh ... 29

6. Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Semai di Pantai Utara Aceh ... 31

7. Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pancang di Pantai Utara Aceh ... 32

8. Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon di Pantai Utara Aceh ... 34

9. Indeks Keanekaragaman Vegetasi di Pantai Barat dan Pantai Utara Aceh ... 36

10. Daftar Jenis Tumbuhan Bawah yang dijumpai dan Mendominasi di Hutan Mangrove Pantai Barat dan Pantai Utara Aceh ... 40

11. Daftar Jenis Semai yang dijumpai dan Mendominasi di Hutan Mangrove Pantai Barat dan Pantai Utara Aceh ... 43

12. Daftar Jenis Pancang yang dijumpai dan Mendominasi di Hutan Mangrove Pantai Barat dan Pantai Utara Aceh ... 46

13. Daftar Jenis Pohon yang dijumpai dan Mendominasi di Hutan Mangrove Pantai Barat dan Pantai Utara Aceh ... 49

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Pola Zonasi Mangrove ... 6

2. Peta Lokasi Penelitian Hutan Mangrove di Pantai Barat dan Pantai Utara Aceh ... 13

3. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda Garis Berpetak ... 15

4. Struktur Vertikal Tegakan Pohon di Kawasan mangrove Pantai Barat dan Pantai Utara Aceh ... 19

5. Struktur Horizontal Tegakan Pohon di Kawasan mangrove Pantai ... Barat dan Pantai Utara Aceh ... 21

6. Tumbuhan bawah Jenis Derris trifoliata di Pantai Barat Aceh ... 23

7. Anakan Pohon Tingkat Semai Jenis Bruguiera sexangula di Pantai ... Barat Aceh ... 25

8. Anakan Pohon Tingkat Pancang Jenis Bruguiera sexangula di Pantai Barat Aceh ... 26

9. Tumbuhan bawah Jenis Acrostichum aureum di Pantai Utara Aceh... 29

10. Anakan Pohon Tingkat Semai Jenis Rhizophora mucronata di Pantai Utara Aceh ... 31

11. Anakan Pohon Tingkat Pancang jenis Rhizophora mucronata di Pantai Utara Aceh ... 32

12. Vegetasi tingkat Pohon Jenis Nypa fruticans di Pantai Utara Aceh ... 33

13. Dendogram Tingkat Tumbuhan Bawah ... 39

14. Dendogram Tingkat Semai ... 42

15. Dendogram Tingkat Pancang ... 45

16. Dendogram Tingkat Pohon ... 48

(13)

Latar Belakang

Mangrove merupakan ekosistem peralihan antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda dalam memelihara keseimbangan siklus biologi dalam suatu perairan laut. Mangrove juga memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena disamping dapat menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi juga berfungsi sebagai pelindung pantai dan daratan (Setyawan et al., 2006).

Struktur vegetasi mangrove merupakan dasar utama dalam kajian ekologi untuk mengetahui tentang struktur suatu tegakan mangrove. Struktur vegetasi dibatasi oleh tiga komponen yaitu susunan jenis tumbuhan secara vertikal atau stratifikasi vegetasi, susunan jenis tumbuhan secara horizontal atau sebaran individu dan kelimpahan tiap jenis tumbuhan yang ada. Kelimpahan (abudance) tumbuhan yang ada dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan nilai kerapatan (density) atau berat kering bahan atau bagian tumbuhan yang dihasilkan dalam persatuan luas (Fachrul, 2007).

Tsunami di Samudra Hindia pada 26 Desember 2004 tidak hanya menyebabkan korban jiwa, namun juga menyebabkan kerusakan vegetasi pesisir dan sumber daya alam lainnya. Tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi dengan kekuatan 9,0 SR telah merubah seluruh kawasan pesisir pantai barat dan pantai utara Aceh. Perubahan yang terjadi dilihat pada vegetasi pantai dan hutan mangrove yang ada di sekitar pesisir pantai. Akibat tsunami tersebut membuat keadaan pantai berubah, sehingga banyak sekali tumbuhan yang mati dan hanya beberapa jenis pohon yang masih bisa bertahan hidup pada kondisi tersebut

(14)

(Athukorala dan Resosudarmo, 2006). Keadaan yang demikian mempengaruhi vegetasi yang ada di sepanjang pesisir pantai Barat dan pantai Utara Aceh.

Perubahan yang dimaksud baik dalam hal struktur vegetasi, komposisikeanekaragaman jenis dan komunitas tumbuhan yang terdapat di dua wilayah tersebut.

Kawasan pesisir setelah tsunami mengalami kerusakan, sebagian besar vegetasi pelindung kawasan pesisir mati akibat hantaman gelombang. Vegetasi yang mati meliputi hutan mangrove, hutan pantai dan hutan hujan tropis dataran rendah. Akibatnya, hutan kawasan pesisir yang rusak tersebut secara alami juga akan mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena pusat terjadinya gempa berada di sekitar Samudera Hindia (Suryawan dan Mahmud, 2005). Kematian vegetasi di kawasan pesisir akibat tsunami terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Kematian vegetasi mangrove juga terjadi akibat faktor geomorfik.

Kematian ini terjadi di dalam habitat mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti terjadi erosi yang menyebabkan terjadi kematian mangrove dan vegetasi pantai.

Perubahan ekosistem mangrove setelah tsunami telah dilakukan sebelumnya di pantai barat dan pantai utara aceh dalam hal ini pemulihan hutan Mangrove setelah 11 tahun tsunami tahun 2004 di Aceh Tercatat sebanyak 23 spesies mangrove dan mereka memiliki kemampuan yang baik dalam regenerasi alami di daerah yang terkena tsunami. Pantai Aceh Utara tercatat sebagai kekayaan ekosistem yang memiliki 22 spesies manggrove. Ekosistem kekayaan Pantai Barat Aceh memiliki 7 spesies. Namun, berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa kegiatan telah terjadi yang berpotensi mengancam

(15)

berkelanjutan hutan mangrove. Kedua akibat regenerasi alami dan menanam bakau, seperti memotong ilegal dan konversi untuk penggunaan lahan lain di daerah pesisir (Onrizal, 2017). Pengamatan hutan mangrove perlu dilakukan agar menjaga keadaan struktur yang ada di dalam kawasan hutan manggrove. Struktur ekologis mangrove berpengaruh terhadap fungsi hutan dari ancaman masuknya pasang air laut maupun tsunami yang akan terjadi di daerah pantai barat dan pantai utara Aceh.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji struktur vegetasi mangrove pada 12 tahun pasca tsunami Aceh 2004 di pantai barat dan utara Aceh.

2. Untuk menganalisis komposisi keanekaragaman jenis vegetasi mangrove pada 12 tahun pasca tsunami Aceh 2004 di pantai barat dan utara Aceh.

3. Untuk menganalisis kelompok komunitas tumbuhan pada 12 tahun pasca tsunami Aceh 2004 di pantai barat dan utara Aceh.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi Pemerintah dan Masyarakat khususnya masyarakat Aceh terkait kondisi ekosistem hutan mangrove pasca tsunami yang terjadi di daerah pantai barat dan utara Aceh. Bagi kalangan akademisi dan dunia ilmu pengetahuan dapat memperoleh data-data perubahan kondisi mangrove yang ada pasca 12 tahun tsunami Aceh.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut serta komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana, 2009).

Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah tropik dan didominasi oleh tumbuhan yang mempunyai akar napas atau pneumatofora dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh di daerah perairan asin.

Jenis tumbuhan yang sering dijumpai dalam ekosistem mangrove adalah genus Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aigiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus (Indriyanto, 2006).

Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove

Ekosistem hutan mangrove disebut juga dengan hutan pasang surut karena hutan ini secara teratur atau selalu digenangi air laut, atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan terdapat di daerah litorial yaitu daerah yang berbatasan dengan darat. Ekosistem hutan ini juga disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 % dan 30 % (Indriyanto, 2006).

(17)

Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah :

• memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;

• memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;

• memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora;

• memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

(Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia, 2008).

Vegetasi Hutan Mangrove

Jenis mangrove yang banyak ditemukan di Indonesia antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tanjang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya (Irwanto, 2006).

Struktur hutan mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan daerah lainya, dapat ditemukan mulai dari tegakan Avicennia marina dengan ketinggian 1-2 meter pada pantai yang tergenang air laut, hingga tegakan campuran Bruguiera, Rhizophora dan Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Di daerah pantai terbuka, dapat ditemukan Nypa fruticans dan Sonneratia caseolaris. Umumnya tegakan mangrove jarang ditemukan yang rendah kecuali

(18)

mangrove anakan dan beberapa semak seperti Acanthus ilicifolius dan Acrotichum aureum (Noor et al., 2006).

Zonasi Hutan Mangrove

Zonasi mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin, toleransi terhadap lumpur (keadaan tanah), frekuensi tergenang oleh air laut. Zonasi yang menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat dinamis yang disebabkan oleh laju pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi tiap jenis akan menentukan komposisi jenis tiap zonasi (Prasetio et al, 2012).

Klasifikasikan hutan mangrove menjadi 6 (enam) zona hutan mangrove berdasarkan pada jenis pohon , yaitu (1) zona perbatasan dengan daratan, (2) zona semak-semak tumbuhan ceriops, (3) zona hutan Lacang, (4) zona hutan Bakau, (5) zona Api-api yang menuju ke laut, dan (6) zona Pedada (Ghufran, 2012).

Gambar 1. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004)

Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jening and Bird dalam Idawaty, 1999). Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2002), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk:

(19)

1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas:

a. Bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya: Avecennia spp, Xylocarpus, dan Sonerratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara.

b. Bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).

2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi:

a. Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.

b. Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.

c. Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.

Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sediment.

Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :

1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia).

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-

(20)

api (Avicennia spp.) dan prepat (Sonneratia spp.) dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora spp.).

2. Zona Bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp.) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp.).

3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.

Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp.) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

4. Zona Nipah (Nypa fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi- tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya.

Tsunami

Tsunami adalah gelombang pasang yang timbul akibat terjadinya gempa bumi di laut, letusan gunung api bawah laut atau longsoran di laut. Namun tidak semua fenomena tersebut dapat memicu terjadinya tsunami. Syarat utama timbulnya tsunami adalah adanya deformasi (perubahan bentuk yang berupa pengangkatan atau penurunan blok batuan yang terjadi secara tiba-tiba dalam

(21)

skala yang luas) di bawah laut (Wallace, 2000).

Penyebab Terjadinya Tsunami

Menurut Kawata (2000), tsunami disebabkan oleh 3 hal, yaitu:

1. Apabila gempa dengan patahan vertikal, baik patahan naik maupun turun (lebih dari beberapa meter secara mendadak dan vertikal) terjadi di laut dengan kedalaman mencapai ribuan meter. Secara empiris, jika gempanya berkekuatan lebih 6,5 SR, dan pusat gempa berada pada kedalaman kurang dari 60 km dari dasar laut, maka tsunami akan terjadi.

2. Adanya longsor besar yang disebabkan oleh gempa, kegiatan gunung berapi, atau longsor di dasar laut.

3. Letusan gunung berapi.

Gempa merupakan salah satu penyebab utama terjadinya tsunami. Selain itu, penyebab tsunami lainnya adalah meletusnya gunung berapi yang menyebabkan pergerakan air di laut/perairan sekitarnya menjadi sangat tinggi.

Tidak semua gempa bawah laut menimbulkan tsunami, tsunami baru terjadi jika sampai terjadi dislokasi vertikal pada dasar laut, yang biasanya disebabkan oleh gempa kuat yang sumbernya relatif dangkal. Bila terjadi patahan atau sesar (fault) pada dasar laut, dan massa batuan dalam jumlah yang sangat besar amblas tiba- tiba, maka seluruh kolom air diatasnya juga ikut tersentak jatuh. Akibatnya permukaan laut akan melakukan gerak osilasi naik turun untuk mencari keseimbangan baru dan timbulah gelombang tsunami yang kemudian merambat ke segala arah dengan energi yang sangat besar (Diposaptono dan Budiman, 2005).

(22)

Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Mangrove

Wibisono et al, (2006) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem pesisir yang ditimbulkan oleh tsunami setidaknya terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:

(a). Mekanisme pertama yaitu energi gelombang tsunami secara langsung menghantam pesisir sehingga menghancurkan hutan mangrove, tegakan cemara, kebun kelapa dan berbagai vegetasi lainnya. Dalam hal ini, kerusakan sebagai hantaman gelombang tsunami berjalan sangat cepat. Tanaman yang rusak karena hantaman energi gelombang umumnya dalam keadaan rusak atau telah tidak utuh lagi. Bahkan di lokasi yang hantamannya sangat kuat, banyak sekali pohon bakau yang tercabut dari substaratnya.

(b). Mekanisme kedua yaitu genangan air laut yang terbawa oleh gelombang tsunami. Genangan air laut yang salinitasnya tinggi membuat vegetasi yang ada dipesisir stres, kering dan mati. Kematian tanaman yang diakibatkan oleh genangan air asin selalu terjadi secara perlahan-lahan. Berbeda dengan kerusakan karena hantaman ombak yang dalam kondisi hancur, tanaman yang mati karena genangan umumnya dalam kondisi utuh namun mati berdiri.

Gelombang tsunami merambat ke segala arah dengan kecepatan yang bergantung pada kedalaman laut. Makin dalam laut makin tinggi kecepatan rambatnya. Pada kedalaman 5.000 m (kedalaman rata-rata di Samudera Pasifik) kecepatan rambat tsunami mampu mencapai 230 m/detik. Periode tsunami, yakni jangka waktu yang diperlukan untuk tibanya dua puncak gelombang yang berturutan dapat terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Jika sumbernya jauh, periodenya dapat mencapai lebih dari satu jam. Panjang gelombang tsunami, yaitu jarak dari satu puncak ke puncak lainnya dapat mencapai 200 km. Tinggi

(23)

gelombang tsunami di tengah samudera biasanya relatif kecil yaitu antara 0,25-0,5 m, namun apabila telah mendekati pantai yang semakin dangkal akan mendapat tahanan yang semakin besar dari dasar laut dan sebagai konpensasi energinya yang besar dikonversikan kearah permukaan sehingga menimbulkan tinggi gelombang mencapai puluhan meter. Teluk dengan bentuk menyerupai huruf V memberikan efek corong yang dapat menyebabkan gelombang tsunami sangat besar (Nontji, 1993).

Kota Banda Aceh merupakan kawasan ujung barat pulau sumatera yang lansung berhadapan dengan Selat Malaka dan Samudera Hindia dan juga merupakan salah satu kota yang paling parah diterjang gelombang tsunami tahun 2004. Sebagai objek penelitian di Kota Banda Aceh adalah Kecamatan Kuta Raja dimana pada kawasan ini terdapat ekosistem mangrove yang masih alami yaitu di Gampong Jawa serta sebagian Gampong Pande, sedangkan yang lainnya penanaman kembali yang melibatkan masyarakat. Luas mangrove di Kecamatan Kuta Raja tahun 2004 sebelum tsunami 66,25 ha dan tahun 2015 setelah tsunami 47,9 ha.

Kawasan pantai utara Aceh termasuk dalam wilayah Kota Banda Aceh.

Wilayah yang sangat parah di alami adalah didaerah Gampong Jawa. Didaerah ini tegakan mangrove alami yang menyatu di daerah hilir Krueng Aceh. Hutan mangrove didaerah ini di dominasi oleh jenis palem selain itu banyak ditemukan permudaan alami berbagai jenis pohon mangrove sejati lainnya meski tidak terlalu dominan yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora Bruguiera dan jenis pakis mangrove yang ada tumbuhan didaerah pantai utara.

(24)

Rehabilitasi Hutan Mangrove

Rehabilitasi hutan mangrove adalah penanaman kembali hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan. Agar rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan efisien perlu didahului survei untuk menetapkan kawasan yang potensial untuk rehabilitasi berdasarkan penilaian kondisi fisik dan vegetasinya.

Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai dengan manfaat dan fungsi yang seharusnya berkembang, serta aspirasi masyarakat (Kusmana, 2005).

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan berdasarkan pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No. 41/1999) menyatakan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:

1. Reboisasi, 2. Penghijauan, 3. Pemeliharaan,

4. Pengayaan tanaman, atau Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Mengingat pentingnya keberadaan dan peranan ekosistem hutan mangrove bagi daerah pantai. Dalam hal ini, salah satu upaya yang diperlukan adalah kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Untuk mendukung kegiatan tersebut, diperlukan adanya pedoman inventarisasi dan identifikasi hutan mangrove yang dapat memberikan dasar dan arahan bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan mangrove (Departemen Kehutanan, 2005).

(25)

Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pesisir Pantai Barat Aceh khususnya di Desa Lamseunia, Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar dan Pesisir Pantai Utara Aceh khususnya di Desa Gampong Jawa, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh.Penelitian dilakukan pada bulanDesember 2016 sampaiJanuari 2017.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian Hutan Mangrove di Pesisir Aceh

Alat dan Bahan

Bahan dan alat yang digunakan dalam analisis vegetasi meliputi: peta lokasi, program MVSP ver. 13.3d, kompas, Haga hypsometer, galah ukur, phi- band, roll meter, tali plastik atau tambang, Global Positioning System (GPS), tally sheet dan alat tulis.

(26)

Prosedur Penelitian Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi merupakan dasar utama kajian ekologi dalam mengetahui kondisi tumbuhan dari suatu ekosistem. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur hutan mangrove dan komposisi jenis, dibuat dengankombinasi metoda jalur dan metoda garis berpetak yaitu dengan pembuatan jalur yang tegak lurus dari garis pantai dan pembuatan PU pada setiap jalur.Pada setiap jalur dibuat PU dengan ukuran 10x10 m². Jarak antar PU adalah 10 m. Pada setiap jalur transek dilakukan pengukuran panjang jalur dimulai dari pinggir garis pantai hingga ke daratan vegetasi dengan kombinasi metode jalur dan garis berpetak. Jalur transek yang digunakan pada setiap wilayah yaitu dua jalur transek yang mewakili setiap wilayah di pesisir pantai barat dan pesisir pantai utara. Di wilayah pesisir pantai barat panjang transek keduanya yaitu jalur transek pertama dengan panjang 470 m dan jalur transek kedua dengan panjang 460 m. Sedangkan diwilayah pesisir pantai utara panjang transek pertama dengan panjang 750 m dan jalur transek kedua dengan panjang 460 m. Jarak antara setiap jalur transek adalah 100 m.

Pada setiap sub-PU semai dan pancang dilakukan identifikasi jenis dan dicatat jumlah setiap jenisnya, sedangkan pada setiap sub-PU pohon dilakukan identifikasi jenis, pengukuran diameter dan tinggi pada setiap individu pohon (Onrizal dan Kusmana, 2004).

(27)

10 m

10 m

Arah rintis

2 m

5 m

Gambar 3. Desain kombinasi metoda jalur dan metoda garis berpetak Keterangan :

• Petak ukuran 10 m x 10 m : pengamatan fase pohon

• Petak ukuran 5 m x 5 m : pengamatan fase pancang

• Petak ukuran 2 m x 2 m : pengamatan fase semai Kriteria tingkat permudaan yang digunakan adalah:

a. Pohon adalah pohon muda dan dewasa yang memiliki diameter ≥ 10 cm b. Pancang adalah anakan pohon dengan diameter < 10 cm dan tinggi > 1,5 m c. Semai adalah anakan pohon mulai berkecambah sampai tingginya ≤ 1,5 m.

Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling plot yang merupakan teknik pengukuran dan pengamatan yang dilakukan pada sepanjang jalur yang dibuat dengan diberi jarak antar petak ukur.

Analisa Data Komposisi Jenis

Dominansi jenis tumbuhan, yang ditentukan dari indeks nilai penting (INP). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Kerapatan suatu jenis (K) K=Σ individu suatu jenis

Luas petak contoh

(28)

b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) KR= K suatu jenis

K seluruh jenis

c. Frekuensi suatu jenis (F) F= Σ Sub petak ditemukan suatu jenis

Σ Seluruh sub petak contoh

d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR) FR= F suatu jenis

F seluruh jenis×100 e. Dominansi suatu jenis (D).

D untuk tumbuhan bawah D= Luas suatu jenis tumbuhan bawah

Luas petak contoh

D untuk pohon D= Lbds suatu jenis

Luas petak contoh

Lbds : Luas bidang dasar

D : Dominansi dalam satuan m²/ha f. Dominansi relatif suatu jenis (DR)

DR= Dsuatujeni

Dseluruhjenis×100 g. Indeks Nilai Penting (INP)

Untuk tingkat pohon adalah INP = KR + FR + DR

Untuk tingkat semai, pancang dan tumbuhan bawah adalah INP = KR+FR

(29)

Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis vegetasi dapat dianalisis dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman Shannon-Weiner, yaitu:

H'=-� ��ni n� ln⁡ �

ni n��

s

i=1

Keterangan:

Hˊ = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner S = Jumlah spesies pohon

Ni = Jumlah jenis i yang ditemukan

N = Jumlah seluruh individu yang ditemukan

Struktur Vegetasi

Struktur Vegetasi adalah susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karekteristik yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan strafikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan, dan tertekan. Struktur vertikal dan struktur horizontal sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya, yaitu toleransi satu jenis tumbuhan terhadap cahaya matahari (Gufran, 2012). Struktur horizontal hutan dapat diketahui dari hubungan antara kelas diameter dengan kerapatan individu disuatu lokasi hutan.

Untuk mengetahui struktur vertikal hutan mangrove di pesisir Aceh, maka setiap individu pohon yang dijumpai di dalam PU dikelompokkan berdasarkan kelas tinggi dengan interval 2 m. Sedangkan untuk mengetahui penyebaran diameter pohon di hutan mangrove di pesisir Aceh, maka setiap individu yang dijumpai di dalam PU dikelompokkan berdasarkan kelas diameter dengan interval 5 cm.

(30)

Analisis Kelompok Komunitas Tumbuhan

Analisis kelompok komunitas tumbuhan atau analisis kelompok dilakukan dengan metode hirarki dan menggunakan program Multivariate Statistical Package (MVSP) ver. 13.3d dengan mengikuti metode Unweight Pair-Group Using Arithmatic Averages (UPGMA). Dalam hal ini, utuk mengetahui indikator pada setiap vegetasi, dilakukan penghitungan kerapatan pada masing-masing vegetasi (Onrizal dan Mansor, 2016).

(31)

STRUKTUR VEGETASI Struktur Vertikal

Tegakan pohon di kawasan hutan mangrove pantai barat Aceh memiliki tinggi antara 1,5 - 8. Tinggi pohon yang paling banyak dijumpai pada kelas tinggi 4‒<6 m yaitu 43 ind/ha seperti yang terlihat pada Gambar 11. Dan kelas tinggi selanjutnya yang juga banyak dijumpai yaitu pada kelas tinggi 6‒<8 m yaitu 31 ind/ha. Sedangkan kelas tinggi pohon yang paling sedikit dijumpai adalah pada kelas tinggi <2 m yaitu 6 ind/ha. Vegetasi hutan mangrove di pantai barat terbanyak memiliki strata C dengan pohon tertinggi 8m, kemudian strata D dengan rata-rata tinggi 1-2 m. Stratifikasi pada kawasan pantai barat memiliki strata C dan D.

Gambar 4. Struktur vertikal tegakan pohon di kawasan mangrove pantai barat dan utara Aceh

Tegakan pohon yang dijumpai pada kawasan hutan mangrove pantai utara Aceh memiliki tinggi antara 1 – 7 m. Tinggi pohon yang paling banyak dijumpai pada kelas tinggi 2‒<4 m yaitu 427 ind/ha. Sedangkan kelas tinggi pohon yang

0 50 100 150200 250 300 350 400 450

0-<2 2-<4 4-<6 6-<8

Jumlah Pohon (ind/ha)

Kelas Tinggi (m)

Pantai Barat Pantai Utara

(32)

paling sedikit dijumpai adalah pada kelas tinggi <2 m yaitu 29 ind/ha. Berbeda dengan kawasan pantai barat, mangrove pantai utara memiliki jenis terbanyak namun tinggi pohon yang paling tinggi di kawasan ini hanya 7 m.

Pada Gambar 11 kurva menunjukan perbedaan yang sangat jelas struktur vertikal yang terjadi. Di pesisir pantai utara Aceh jumlah tertinggi di kelas 2-<4 m dan kelas 4-<6 m dimana bentuk kurva menunjukan naik turun dari jumlah rendah naik ke jumlah tinggi lalu turun lagi ke jumlah rendah, sedangkan di pesisir pantai barat Aceh jumlah tertinggi di kelas 4-<6 m dan kelas 6-<8 m dimana bentuk kurva menunjukan kenaikan dari jumlah rendah ke jumlah tinggi tanpa penurunan yang jauh ke kelas tinggi berikutnya.

Pertumbuhan pohon mangrove secara vertikal paling besar terlihat pada vegetasi mangrove di kawasan pantai utara yaitu pada kelas 2-<4 m dengan jumlah 427 ind/ha dibandingkan dengan vegetasi mangrove pada kawasan pantai barat yang memiliki tinggi dengan jumlah paling banyak pada kelas 4‒<6 m.

Terlihat bahwa pertumbuhan mangrove pada kawasan pantai utara lebih baik. Hal ini dapat disebabkan oleh kerapatan vegetasi yang lebih tinggi pada kawasan mangrove pantai utara sehingga mengakibatkan tingginya kompetisi antar vegetasi yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Djufri (2012) bahwa tingkat sturktur vegetasi pada kawasan hutan mangrove di pantai barat tergolong rendah yang mempengaruhi secara ekologi bila keanekaragaman rendah pada suatu kawasan maka tingkat kesetabilan komunitas di tempat tersebut kurang baik.

(33)

Struktur Horizontal

Pohon di kawasan hutan mangrove pantai barat Aceh diperoleh diameter tegakan pohon yang berkisar antara 2,23 - 29,94 cm seperti yang terlihat pada Gambar 12. Kelas diameter yang paling banyak dijumpai pada kawasan pesisir pantai barat Aceh adalah pada kelas diameter 10 ‒ <15 cm yaitu 39 ind/ha. Kelas diameter yang paling sedikit dijumpai adalah pada kelas diameter 0‒<5 cm

dengan jumlah pohon 4 individu dan kelas ini merupakan kelas terendah yang ada di jumpain di hutan mangrove pantai barat Aceh. Kelas Diameter tertinggi di wilayah mangrove pesisir pantai barat Aceh adalah pada kelas 25-<30 dengan diameter terbesar pada diameter 30 cm.

Gambar 5. Struktur horizontal tegakan pohon di kawasan pantai barat dan utara Aceh Struktur horizontal pada kawasan hutan mangrove pantai utara Aceh memiliki kelas diameter antara 1,72-53,50 cm. Tegakan pohon mangrove yang paling banyak dijumpai pada kawasan pantai utara Aceh adalah pada kelas diameter 5 - <10 cm yaitu 241 ind/ha. Pada kelas diameter 40-<45 cm juga banyak dijumpai tegakan pohon dengan 174 ind/ha. Kelas diameter yang paling jarang dijumpai adalah pada kelas diameter 20-<25 cm yaitu 5 ind/ha.

0 50 100 150 200 250 300

Jumlah Pohon (ind/ha)

Kelas Diameter Pohon (cm)

Pantai Barat Pantai Utara

(34)

Pada Gambar 12 kurva menunjukan pertumbuhan pohon pada mangrove wilayah pesisir pantai utara tertinggi di Diameter 5 - <10 cm dan grafik kurva turun di diameter 10 - <15 cm, 15 - <20 cm, dan sampai keterendah di diameter 20 - 25 cm sampai kurva naik lagi hingga ke diameter 45 - <50 cm. Hal ini menunjukan pertumbuhan pohon di diameter 20 - <25 cm sangat sedikit jumlah pohonnya. Pada diameter 10 - <15 cm sampai di diameter 20 - <25 cm pertumbuhan pohon di pesisir pantai barat Aceh lebih tinggi di bandingkan di pesisir pantai utara Aceh.

Diameter pohon yang terkecil ke pohon yang berdiameter besar relatif menurun dan naik. Pada Gambar 12 kurva menunjukan pertumbuhan pohon pada mangrove wilayah pesisir pantai utara lebih tinggi hingga sampai diameter 55 cm sedangkan pada hutan mangrove pantai barat pertumbuhannya lebih rendah hanya sampai diameter 30 cm. Kurva menunjukan pertumbuhan pohon yang baik terjadi di pantai utara kerena diameter pohon dimulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sidiyasa dan hidayat (2009) bahwa kurva berbentuk “J” terbalik yang menunjukan kondisi hutan berada dalam kondisi normal/seimbang dimana jumlah individu dengan pohon yang berdiameter kecil ke pohon berdiameter besar berjumlah seimbang sehingga proses regenerasi dapat berlangsung baik sehingga sebaran struktur jumlah pohon dapat menunjukan satu komunitas hutan yang dinamis.

(35)

Komposisi Jenis Hutan Mangrove di Pantai Barat Aceh Kelompok Tumbuhan Bawah

Tumbuhan bawah yang terdiri dari herba, rumput dan semak belukar pada hutan mangrove di pantai barat diperoleh 8 jenis vegetasi seperti yang pada Tabel 1. Vegetasi yang paling sering dijumpai pada subPU tumbuhan bawah adalah jenis Derris trifoliata dengan frekuensi relatif 22,5%. Sedangkan jenis vegetasi tumbuhan bawah yang paling jarang dijumpai adalah Sesuvium por-tulacastrum dengan tingkat frekuensi relatif 2,5%. Jenis Derris trifoliata juga memiliki INP tertinggi yakni 45% yang menunjukkan bahwa jenis ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem mangrove di pantai barat.

Gambar 6. Tumbuhan bawah jenis Derris trifoliata di pantai barat Aceh

Jenis Ipomoea pes-caprae juga memiliki INP terendah yakni 13,61% yang menunjukan bahwa jenis ini tidak mendominasi. Pertumbuhan pada tingkat tumbuhan bawah di hutan mangrove pantai barat cukup tinggi dikarenakan kondisi di wilayah ini sebelum tsunami Aceh 2004 adalah bekas pemukiman masyarakat Leupung dan sesudah tsunami Aceh 2004 berubah menjadi hutan mangrove liar yang bergabung dengan jenis tumbuhan pantai. Faktor tersebutlah

(36)

yang menimbulkan pertumbuan jenis tumbuhan bawah didaerah pantai barat Aceh lebih tinggi dibandingkan di daerah pesisir pantai utara Aceh.

Tabel 1. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di pantai barat Aceh.

No Nama Jenis F FR D DR INP

(m²/ha) (%) (m²/ha) (%) (%)

1 Acanthus ilicifolius 0,23 13,75 0,25 10,00 23,75

2 Acrostichum aureum 0,34 20 0,44 17,74 37,74

3 Calotropis gigantean 0,34 20 0,24 9,75 29,75

4 Derris trifoliate 0,38 22,5 0,44 17,77 40,27

5 Ipomoea pes-caprae 0,15 8,75 0,12 4,86 13,61

6 Sesuvium por-tulacastrum 0,04 2,5 0,3 12,00 14,50

7 Spinifex littoreus 0,06 3,75 0,43 17,33 21,08

8 Stachytarpheta jamaicensis 0,15 8,75 0,26 10,57 19,32

Total 1,70 100 2,50 100 200,00

Jenis Derris trifoliata adalah jenis yang dominan dijumpai pada tingkat tumbuhan bawah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noor dkk (2006) yang menyatakan bahwa Derris trifoliata merupakan agen monitoring kondisi lingkungan ekosisem mangrove, dimana bila terjadi pertumbuhan Derris trifoliata yang cukup banyak maka salah satu penyebab rusaknya pertumbuhan mangrove yang cukup besar. Di daerah hutan mangrove pantai barat ekosistem mangrove di wilayah ini cukup mengalami gangguan dikarenakan adanya pertumbuhan Derris trifoliata yang cukup besar.

(37)

Kelompok Semai

Jenis vegetasi pada tingkat semai di kawasan hutan mangrove pantai barat Aceh ditemukan 6 jenis vegetasi, seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.

Bruguiera sexangula merupakan jenis yang paling dominan dijumpai di kawasan pantai barat Aceh pada tingkat semai dengan kerapatan relatif sebesar 32,69%

yang jauh lebih tinggi dari kerapatan relatif jenis lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Bruguiera sexangula memiliki kareteristik tempat tumbuh yang tidak terlalu basah dengan kondisi lingkungan bekas rumah penduduk yang di terjang tsunami Aceh 2004 lalu sehingga Bruguiera sexangula lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan anakan pohon tingkat semai lainnya.

Gambar 7. Anakan pohon tingkat semai jenis Bruguiera sexangula di pantai barat Aceh Tabel 2. Hasil analisis vegetasi anakan pohon tingkat semai di pantai barat Aceh

No Nama Jenis K KR F FR INP

(Ind/ha) (%) (m²/ha) (%) (%)

1 Avicennia marina 691,49 25 0,15 20 45

2 Bruguiera sexangula 904,26 32,69 0,23 31,43 64,12

3 Cocos nucifera 159,57 5,77 0,06 8,57 14,34

4 Rhizophora gymnorrhiza 265,96 9,62 0,09 11,43 21,04 5 Sonneratia caseolaris 638,30 23,08 0,17 22,86 45,93

6 Xylocarpus granatum 106,38 3,85 0,04 5,71 9,56

Total 2765,96 100 0,74 100 200

(38)

Hanley dkk (2008) menyatakan bahwa jenis tumbuhan ini memiliki batang akar yang dalam atau akar melintang yang dapat menyebar dengan cepat bila situasi memungkinkan. Tanaman mudah beradaptasi pada lingkungan yang tidak bersahabat termasuk tingkat toleransi terhadap kadar garam yang tinggi, tiupan angin yang kencang dan kekeringan. Memiliki tingkat INP yang tertinggi, terlihat bahwa Bruguiera sexangula memiliki peranan penting pada tingkat semai dalam menjaga kestabilan ekosistem hutan pantai di kawasan pantai barat Aceh dengan INP 64,12%.

Kelompok Pancang

Vegetasi yang dijumpai pada anakan pohon tingkat pancang di pantai barat terdapat 10 jenis seperti pada Tabel 3. Jenis yang paling sering dijumpai adalah Bruguiera sexangula seperti yang terlihat pada gambar 6, dengan kerapatan relatif 34,43% dan jenis ini yang memiliki INP yang paling tinggi yaitu 66,50%. Hal ini menunjukkan bahwa Bruguiera sexangula merupakan jenis yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Jenis vegetasi yang paling jarang dijumpai adalah Rhizophora mucronata,dan Termenelia catappa dengan kerapatan relatif masing-masing 1,64%.

Gambar8. Anakan pohon tingkat pancang jenis Bruguiera sexangula di pantai barat Aceh Tabel 3.Hasil analisis vegetasi tinkat pancang di pantai barat Aceh

(39)

No Nama Jenis K KR F FR INP (Ind/ha) (%) (m²/ha) (%) (%)

1 Avicennia alba 34,13 6,56 0,09 7,55 14,10

2 Avicennia marina 102,39 19,67 0,21 18,87 38,54

3 Bruguiera sexangula 179,18 34,43 0,36 32,08 66,50

4 Rhizophora gymnorrhiza 25,60 4,92 0,04 3,77 8,69

5 Sonneratia caseolaris 76,79 14,75 0,17 15,09 29,85

6 Thespesia populnea 34,13 6,56 0,09 7,55 14,10

7 Xylocarpus granatum 34,13 6,56 0,09 7,55 14,10

8 Ceriops decandra 17,06 3,28 0,04 3,77 7,05

9 Rhizophora mucronata 8,53 1,64 0,02 1,89 3,53

10 Termenelia catappa 8,53 1,64 0,02 1,89 3,53

Total 520,48 100 1,13 100 200

Jenisyang memiliki INP yang paling rendah yaitu jenis Rhizophora mucronata dan jenis Termenelia catappadengan INP masing-masing sebesar 3,53%. Jenis Bruguiera sexangulamerupakan jenis yang hidup mendominasi diwilayah mangrove pantai barat dimana tingkat semai, pancang, dan pohon mendominasi dari jenis Bruguiera sexangula. Kondisi keadaan tempat merupakan faktor utama dalam pertumbuhan tingkat pancang dimana kondisi hutan mengrove diwilayah pantai barat merupakan katagori hutan mangrove liar bekas terjadinta tsunami Aceh 2004 silam.

Kelompok Pohon

Tegakan pohon dijumpai 9 jenis vegetasi di kawasan pantai barat Aceh seperti yang tersaji pada Tabel 4. Vegetasi yang memiliki tingkat kerapatan relatif yang paling tinggi adalah Bruguiera sexangula, dengan kerapatan relatif 32,14%.

Hal ini terlihat dari tingkat kerapatan Bruguiera sexangula yang tinggi yaitu 57,45 ind/ha, sedangkan jenis Termenelia catappa dan Thespesia populnea hanya memiliki tingkat kerapatan 4,26 ind/ha.

Tabel 4. Hasil analisis vegetasi pohon di pantai barat Aceh

(40)

N

o Nama Jenis K KR F FR D DR INP

(Ind/ha

) (%) (m²/ha

) (%) (m²/ha

) (%) (%)

1 Avicennia marina 44,68 25 0,30 19,72 3,52 9,63 54,35 2 Bruguiera sexangula 57,45 32,14 0,47 30,99 4,31 11,79 74,92 3 Ceriops decandra 8,51 4,76 0,09 5,63 4,55 12,45 22,84 4 Cocos nucifera 6,38 3,57 0,06 4,23 10,36 28,34 36,14 5 Rhizophora

gymnorrhiza 8,51 4,76 0,09 5,63 2,05 5,60 15,99

6 Sonneratia caseolaris 34,04 19,05 0,32 21,13 2,88 7,88 48,05 7 Termenelia catappa 4,26 2,38 0,04 2,82 2,75 7,53 12,73 8 Thespesia populnea 4,26 2,38 0,04 2,82 3,21 8,77 13,97 9 Xylocarpus granatum 10,64 5,95 0,11 7,04 2,93 8,02 21,01

Total 178,7

2 100 1,51 100 36,56 100 300 Jenisyang memiliki INP yang paling tinggi yaitu jenis Bruguiera sexanguladengan INP sebesar 74,92 %, sedangkan INP yang paling rendah yaitu jenis Termenelia catappa. Vegetasi mangrove yang dijumpai pada kawasan pantai barat Aceh terdapat 9 jenis. 8 jenis dijumpai pada tingkat tunbuhan bawah, 2 jenis anakan pohon tingkat semai, 10 jenis tingkat pancang dan 9 jenis tingkat pohon.

Pada setiap tingkat anakan pohon maupun pohon, jenis yang mendominasi adalah Bruguiera sexangula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noor dkk (2006) bahwasanya Bruguiera sexangula tumbuh disepanjang jalur air/tambak pada berbagai tipe substrat yang tidak tergenang, Toleran terhadap air asin, payau, dan tawar. Ukuran tinggi pohon manroveBruguiera sexangulabisa mencapai 30 m dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu bakar, tiang, dan arang sehingga pohon mangrove Bruguiera sexangulasering ditebangi untuk menambah perekonomian masyarakat setempat.

Komposisi Jenis Hutan Mangrove di Pantai Utara Aceh Kelompok Tumbuhan Bawah

(41)

Kawasan hutan mangrove pantai utara Aceh dijumpai 8 jenis vegetasi seperti yang terlihat pada Tabel 5. Berbeda dengan kawasan hutan mangrove di kawasan pantai barat Aceh, jenis tumbuhan bawah yang paling sering dijumpai pada kawasan ini adalah Acrostichum aureum dengan tingkat frekuensi relatif 40,66%. Sedangkan jenis tanaman yang memiliki INP yang tertinggi tetap pada jenis Acrostichum aureum yakni sebesar 81,32%. Jenis vegetasi tumbuhan bawah yang jarang dijumpai adalah Sesuvium por-tulacastrum dengan tingkat frekuensi relatif 4,40%.

Gambar 9. Tumbuhan bawah jenis Acrostichum aureum di pantai utara Aceh Tabel 5. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di pantai utara Aceh

No Nama Jenis F FR D DR INP

(m²/ha) (%) (m²/ha) (%) (%)

1 Acanthus ilicifolius 0,22 17,58 0,25 10,14 27,72

2 Acrostichum aureum 0,51 40,66 0,46 19,09 59,74

3 Calotropis gigantean 0,07 5,49 0,12 4,93 10,42

4 Derris trifoliate 0,07 5,49 0,48 19,71 25,20

5 Ipomoea pes-caprae 0,08 6,59 0,17 6,84 13,44

6 Sesuvium por-tulacastrum 0,06 4,40 0,24 9,75 14,15

7 Spinifex littoreus 0,13 9,89 0,36 14,96 24,85

8 Stachytarpheta jamaicensis 0,13 9,89 0,36 14,60 24,49

Total 1,26 100 2,44 100 200,00

Pada kondisi hutan mangrove di pesisir pantai utara Aceh terkhusus pada tumbuhan bawah jenis Acrostichum aureumdilihat bawah tumbuhan ini sangat banyak terdapat di hutan mangrove pesisir pantai utara dengan kondisi keadaan

(42)

tempat bekas lahan tambak dan areal rehabilitasi hal ini sesuai dengan pernyataan Noor dkk (2006) yang menyatakan tumbuhan Acrostichum aureumtumbuh di areal bekas lahan tambak, dimana tingkat toleransi terhadap genangan air tidak terlalu tinggi. tumbuhan Acrostichum aureumdijumai pada habitat yang rusak dan suka tumbuh pada keadaan yang terbuka.

Kelompok Semai

Jenis vegetasi anakan pohon tingkat semai di kawasan mangrove pantai utara Aceh ditemukan 9 jenis vegetasi seperti pada Tabel 6. Jenis vegetasi yang paling sering dijumpai adalah Rhizophora mucronata dengan kerapatan relatif 48,70% seperti yang terlihat pada Gambar 8. Sedangkan jenis yang paling sedikit dijumpai adalah Terminalia catappa dengan kerapatan relatif 0,87%. Munculnya berbagai jenis vegetasi tersebut sebelumnya memang sudah direncanakan ketika dilakukan penanaman. Hanley dkk (2008) menyatakan bahwa terdapat potensi lain untuk mempertimbangkan menanam spesies yang lebih kecil seperti misalnya Rhizophora stylosa, terutama jika tujuannya untuk menciptakan jalur hijau yang

lebih lebat dan bervariasi. Rhizophora mucronata merupakan jenis yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan merupakan jenis yang mendominasi pada tingkat semai di kawasan pantai utara Aceh terlihat dari INP 89,79%.

(43)

Gambar 10. Anakan pohon tingkat semai jenis Rhizophora mucronata di pantai utara Aceh

Tabel 6. Hasil analisis vegetasi anakan pohon tingkat semai di pantai utara Aceh

No Nama Jenis K KR F FR INP

(Ind/ha) (%) (m²/ha) (%) (%)

1 Avicennia marina 555,56 13,91 0,14 13,70 27,61

2 Bruguiera sexangula 451,39 11,30 0,11 10,96 22,26

3 Leucaena leucocephala 69,44 1,74 0,03 2,74 4,48

4 Nypa fruticans 659,72 16,52 0,24 23,29 39,81

5 Rhizophora apiculata 69,44 1,74 0,01 1,37 3,11

6 Rhizophora mucronata 1944,44 48,70 0,42 41,10 89,79

7 Rhizophora stylosa 69,44 1,74 0,03 2,74 4,479

8 Sonneratia caseolaris 138,89 3,48 0,03 2,74 6,22

9 Terminalia catappa 34,72 0,87 0,01 1,37 2,24

Total 3993,06 100 1,01 100 200

Vegetasi yang dijumpai di kawasan pantai utara Aceh lebih banyak jenisnya dari pada vegetasi yang berada di kawasan pantai barat Aceh. Hal ini dikarenakan pada hutan pantai di kawasan pantai utara Aceh dibatasi oleh laut dan rumah penduduk dan dijumpai banyak aktifitas manusia pada kawan tersebut yang kemudian memungkinkan untuk lebih banyak jenis vegetasi yang tumbuh dikarenakan tekstur kondisi yang di dominasi lumpur yang sudah bercampur dengan tanah. Berbeda dengan hutan pantai di kawasan mangrove pantai barat Aceh yang memiliki pembatas jalan raya dan hutan pantai yeng mengakibatkan sedikitnya vegetasi mangrovedi daerah mangrove pantai barat.

(44)

Kelompok Pancang

Kawasan pantai utara Aceh dijumpai 4 jenis vegetasi pada tingkat pancang seperti yang disajikan pada Tabel 7. Jenis yang paling sering dijumpai adalah Rhizophora mucronata dengan kerapatan relatif 51,85% seperti yang terlihat pada Gambar 9 dan jenis ini juga memiliki INP yang paling tinggi yaitu 98,61%. Jenis vegetasi yang paling jarang dijumpai adalah Bruguiera sexangula, dengan kerapatan relatif 8,02%.

Gambar 11. Anakan pohon tingkat pancang jenis Rhizophora mucronata di pantai utara Aceh

Tabel 7. Hasil analisis vegetasi mangrove tingkat pancang di pantai utara Aceh

No Nama Jenis K KR F FR INP

(Ind/ha) (%) (m²/ha) (%) (%)

1 Avicennia marina 216,67 24,07 0,25 23,38 47,45

2 Bruguiera sexangula 72,22 8,02 0,11 10,39 18,41

3 Rhizophora mucronata 466,67 51,85 0,5 46,75 98,61 4 Rhizophora stylosa 144,44 16,05 0,21 19,48 35,53

Total 900 100 1,07 100 200

Pada wilayah pesisir pantai utara Aceh populasi mangrove tingkat pancang lebih sedikit dibandingkan diwilayah pesisir pantai barat Aceh, dikarenakan wilayah pantai utara Aceh merupakan lahan rehabilitas bekas tsunami dengan keanekaragaman mangrove adalah jenis yang sama yang ditanam secara besar- besar sesudah tsunami. Faktor tersebutlah jenis Rhizophora mucronatamendominasi

(45)

baik dari tingkat semai dan pancang. (Noor dkk, 2006) menyatakan bahwa Rhizophora mucronata merupakan jenis yang lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan pasir dalam menjaga keseimbangan ekosistem di sekitarnya. pada tingkat anakannya sering dimakan kepiting yang banyak bernaung pada jenis ini sehingga anakan tingkat pancang tumbuh pada naungan yang lebih besar seperti naungan pada pohon agar pertumbuhannya tidak rusak dari gangguan kepiting.

Kelompok Pohon

Kawasan pantai utara Aceh dijumpai 11 jenis vegetasi pohon yang disajikan pada Tabel 9. Sama seperti pada kawasan pantai barat Aceh, jenis vegetasi yang paling sering dijumpai adalah Nypa fruticans dengan tingkat kerapatan 838,89 ind/ha. Nypa fruticans merupakan jenis yang memiliki nilai INP tertinggi yaitu dengan 162,12%. Jenis yang paling sedikit dijumpai adalah Bruguiera gymnorriza,dengan tingkat kerapatan 1,39 ind/ha.Nypa fruticans banyak tumbuh didaerah pantai utara dimana jenis ini tumbuh bersamaan dengan jenis Rhizophora mucronata. Pada kawasan ini merupakan kawasan rehabilitasi pasca tsunami yang ditanam mangrove secara besar-besaran sehingga jenis yang dijumpai tampak terlihat jelas dari luas kawasan hutan mangrovenya.

Gambar 12. Vegetasi tingkat pohon jenis Nypa fruticans di pantai utara Aceh.

(46)

Tabel 8. Hasil analisis vegetasi pohon di pantai utara Aceh

No Nama Jenis K KR F FR D DR INP

(Ind/ha) (%) (m²/ha) (%) (m²/ha

) (%) (%)

1 Avicennia marina 33,33 2,68 0,19 11,67 1,17 4,08 18,42 2 Bruguiera

gymnorriza 1,39 0,11 0,01 0,83 0,42 1,47 2,42

3 Bruguiera parviflora 4,17 0,33 0,01 0,83 0,89 3,10 4,27 4 Bruguiera sexangula 45,83 3,68 0,10 5,83 0,61 2,14 11,65 5 Leucaena

leucocephala 9,7 0,78 0,04 2,5 1,89 6,56 9,84

6 Nypa fruticans 838,89 67,34 0,47 28,33 19,11 66,4 5

162,1 2 7 Rhizophora

apiculata 15,28 1,23 0,10 5,83 0,66 2,28 9,34

8 Rhizophora

mucranata 277,78 22,30 0,60 35,83 0,55 1,93 60,06 9 Rhizophora stylosa 2,78 0,22 0,03 1,67 0,49 1,72 3,61 10 Sonneratia

caseolaris 13,89 1,11 0,08 5 0,91 3,16 9,28

11 Terminalia catappa 2,78 0,22 0,03 1,67 2,05 7,11 9,00

Total 1245,83 100 1,67 100 28,76 100 300 Nypa fruticans merupakan jenis yang mendominasi pada kawasan mangrove pantai utara Aceh. Jenis ini ditemukan pada semua tegakan yaitu pada tingkat pohon. Noor dkk (2006), menyatakan bahwa Nypa fruticans merupakan jenis palmae yang tumbuh hingga tinggi 4-9 m dilingkungan hutan bakau dan sebagai penyusun dalam rehabilitasi lahan dan merupakan tanaman penyangga naiknya air laut ke daratan. Jenis Nypa fruticansjarang dijumpai pada zona pantai biasanya tumbuh pada tegakan yang berkelompok memiliki sistem perakaran yang rapat dan kuat yang tersusaikan lebih baik terhadap perubahan masukan air.

Nypa fruticansbanyak dimanfaatkan oleh masyarakat seperti membuat sirup, kripik, jika bunganya diambil pada yang tepat dapat digunakan untuk memproduksi gula yang memiliki kandungan sukrosa yang tinggi.

(47)

Keanekaragaman Jenis

Indeks keanekaragaman tingkat tumbuhan bawah di pantai barat dan utara Aceh tergolong pada kategori keanekaragaman rendah dengan nilai H' masing- masing 1,89 dan 1,76. Pada tingkat semai diketahui indeks keanekaraman rendah pada kawasan hutan mangrove pantai utara dan pada kawasan pantai utara tergolong keanekaragaman rendah dengan H'=1,54. Hal ini terlihat dari jumlah spesies yang dijumpai di hutan mangrove pantai utara jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah spesies yang dijumpai di hutan mangrove pantai barat seperti yang terlihat pada Tabel 9. Untuk tingkat pancang, terlihat perbedaan indeks keanekaragaman sedikit jauh. Jumlah jenis pancang yang dijumpai pada pantai utara hanya 4 jenis dengan nilai H'= 1,18 Dalam hal ini indeks keanekaragaman pada tingkat pancang tergolong rendah dan indeks keanekaragaman pancang di pantai barat tergolong rendah namun nilai H'= 1,90.

Vegetasi hutan mangrove dijumpai 9 jenis vegetasi pohon pada kawasan pantai barat Aceh dan lebih sedikit dibandingkan di kawasan hutan mangrove di pantai utara dengan di jumpai 11 jenis. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh indeks keanekaragaman sebesar 1,02 pada hutan mangrove di pantai utara dan 1,78 di hutan mangrove pantai barat. Indeks keanekaraman tingkat pohon di kawasan hutan mangrove pantai utara Aceh tergolong lebih rendah dibandingkan mangrove pantai barat Aceh. Menurut Indriani dan Marisa (2009), kriteria keanekaragaman dilihat dari nilai indeks keanekaragaman Shannon-Weiner dimana: H' < 1 (keanekaragaman rendah), 1 ≥ H' ≤ 3 (keanekaragaman sedang), dan H' > 3 (keanekaragaman tinggi).

Gambar

Gambar 1. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004)
Gambar 2. Peta lokasi penelitian Hutan Mangrove di  Pesisir Aceh
Gambar 3. Desain kombinasi metoda jalur dan metoda garis berpetak    Keterangan :
Gambar 4. Struktur vertikal tegakan pohon di kawasan mangrove pantai barat dan utara Aceh
+7

Referensi

Dokumen terkait

endofit diformulasi dengan beberapa limbah berpengaruh terhadap jumlah anakan total, panjang malai, berat 100 butir gabah bernas dan bobot kering tanaman, namun

Secara keseluruhan faktor dominan yang memengaruhi kinerja tenaga kependidikan di IPB tidak hanya dilihat dari pengaruh secara langsung tapi juga dari faktor yang

Selain itu berdasarkan berat kering pucuk pada mahoni yang diinokulasi, perkembangan bagian pucuk lebih kecil daripada yang tidak diinokulasi, sedangkan pada seru dihasilkan

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan sebagai pertimbangan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng untuk menjaga occupancy rate dan meminimalisir hambatan yang

Pemimpin Redaksi: membantu presiden direktur dalam urusan perusahaan, dan terutama bertanggung jawab penuh atas seluruh isi pemberitaan yang dibantu oleh wakil

Adapun yang menjadi acuan dengan pendekatan antropologi dalam studi agama secara umum, adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang meliputi

Peningkatan tersebut ditunjukan melalui kondisi pra siklus dimana dari seluruh siswa hanya terdapat 55.88% siswa yang tuntas pada muatan bahasa Indonesia dengan rata-rata