9 2.1. Landasan Teori
2.1.1 Pajak
Pajak ialah iuran dari rakyat kepada negara dengan berdasarkan undang- undang, sehingga dapat untuk dipaksakan, dan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Sementara pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan munculnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan penghasilannya kepada negara (Sari, 2013 : 35).
Terdapat beberapa pengertian pajak yang lainnya yang diungkapkan oleh para ahli dibidangnya, sebagai berikut:
Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Pasal 1 Tentang Perpajakan
“Pajak adalah sebuah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh setiap orang ataupun badan yang memiliki sifat memaksa, yang berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung serta digunakan guna kebutuhan negara dan kemakmuran rakyat”.
Menurut Dr. M.H.J. Smeets
“Pajak merupakan sebuah prestasi kepada pemerintahan yang terutang melalui norma-norma umum yang ditetapkan dan dapat dipaksakan tanpa adanya berbagai kontraprestasi terhadapnya, yang dapat ditunjukkan dalam hal-hal khusus, dimaksudkan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran negara”.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH
“Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Menurut Dr. Soeparman Soemohamijaya
“Pajak adalah iuran wajib bagi warga atau masyarakat, baik itu dapat berupa uang ataupun barang yang dipungut oleh penguasa dengan menurut berbagai norma hukum yang berlaku untuk menutup biaya produksi barang dan juga jasa guna meraih kesejahteraan masyarakat”.
2.1.1.1 Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil
Menurut Mardiasmo (2018 : 7) Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak.
Ada dua macam hukum pajak, yaitu
1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa-peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak dan hubungan antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh Undang-Undang Pajak Penghasilan 2. Hukum pajak formiil, memuat bentuk/tata cara utnuk mewujudkan
hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil).
Hukum ini memuat antara lain :
a. Tata cara penyelenggaraaan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan hak-hak Wajib Pajak. Misalnya mengajukan keberatan dan banding. Contoh : Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2.1.1.2 Fungsi Pajak
Menurut Waluyo (2008 : 6) ada dua fungsi pajak yaitu sebagai berikut :
1. Fungsi penerimaan (budgetair)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh:
dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan.
2.1.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga sistem (Mardiasmo, 2018 : 9), yaitu sebagai berikut :
1. Official Assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
2.1.1.4 Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2018 : 11) ada 4 macam tarif pajak yaitu : 1. Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh : Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%
2. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh : Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro nilai nominal berapapun adalah Rp 3.000,00
3. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh : pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
Tabel 2. 1
Tabel Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 5%
> Rp 50.000.000 s.d Rp 250.000.000 15%
> Rp 250.000.000 s.d Rp 500.000.000 25%
> Rp 500.000.000 30%
4. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
2.1.1.5 Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak menurut Sari (2013 : 43) yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Menurut Pembebanannya
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak langsung: pajak yang langsung dibayar sendiri oleh wajib pajak dan pajak ini langsung dipungut pemerintah dari wajib pajak, tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dipungut secara berkala.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) b. Pajak tidak langsung: pajak yang dipungut jika ada suatu peristiwa, seperti penggerakan barang tidak bergerak, pembuatan akte, dan lain-lain, serta pembayar pajak tidak dapat melimpahkan beban pajaknya kepada pihak lain serta pajak ini tidak mempergunakan surat ketetapan pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
2. Menurut Sifatnya
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak subjektif : Pajak yang erat hubungannya dengan subyek pajak dan besarnya dipengaruhi oleh keadaan wajib pajak..
b. Pajak objektif : Pajak yang erat hubungannya dengan obyek pajak, yang selain dari pada benda dapat pula berupa keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar.
3. Menurut Kewenangannya
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a. Pajak Negara (pajak pusat):pajak yang pemungutannya atau dikelola oleh pemerintah pusat dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara dan pembangunan (APBN).
b. Pajak Daerah: pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing.
2.1.2 Tax Avoidance
Menurut Zain (2008 : 49) Tax Avoidance adalah proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki dan suatu tindakan yang benar-benar legal. Dalam hal ini, tidak ada suatu pelanggaran hukum yang dilakukan dan sebaliknya akan diperoleh penghematan
pajak. Terdapat beberapa pengertian pajak yang lainnya yang diungkapkan oleh para ahli dibidangnya, sebagai berikut:
Menurut Harry Graham Balter
“Penghindaran pajak merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Menurut Ernest R. Mortenson
“Penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedemikian rupa untuk meminimkan atau menghilangkan beban pajak dengan memerhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya”.
Menurut N. A. Barr, S. R. James, A. R. Prest
“Penghindaran pajak dapat diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara legal, yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang”.
Menurut Robert H. Anderson
“Penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak”.
Terdapat tiga karakter dari Tax Avoidance menurut komite fiskal OECD (Suandy, 2011 : 7) :
1. Adanya unsur artificial arrangement
2. Seringkali memanfaatkan loopholes dari undang-undang atau menerapkan ketentuan-ketentuan legal untuk berbagai tujuan, yang berlawanan dari jiwa undang-undang sebenarnya.
3. Terdapat unsur kerahasiaan. Biasanya konsultan yang ditunjuk perusahaan untuk mengurus pajak perusahaan tersebut menunjukkan cara penghindaran pajak yang dilakukannya denga syarat wajib pajak harus menjaga kerahasiaannya sedalam mungkin.
Menurut Zain (2008 : 44) Tax Avoidance sering dikaitkan dengan perencanaan pajak (tax planning) karena keduanya merupakan cara yang legal yang dapat digunakan wajib pajak untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan beban pajaknya. Penghindaran pajak merupakan usaha untuk mengurangi, atau bahkan meniadakan hutang pajak yang harus dibayar perusahaan secara legal.
Variabel ini dihitung melalui Cash Effective Tax Rate (CETR) perusahaan yaitu kas yang dikeluarkan untuk biaya pajak dibagi dengan laba sebelum pajak. Dari nilai CETR ini dapat dilihat tingkat Tax Avoidance yang dilakukan oleh perusahaan. Naik-turunya CETR mengindikasikan naik-turunya tingkat Tax Avoidance. Tingkat CETR yang meningkat atau naik mengindikasikan adanya penurunan atau berkurangnya tingkat Tax Avoidance, sebaliknya jika CETR turun atau berkurang mengindikasikan adanya kenaikan atau peningkatan Tax Avoidance (Budiman dan Setiyono, 2012 : 15).
Penulis menggunakan CETR untuk menggambarkan kegiatan penghindaran pajak oleh perusahaan, karena CETR tidak terpengaruh dengan adanya perubahan estimasi seperti penyisihan penilaian atau perlindungan pajak.
Selain itu, CETR juga menggambarkan semua aktivitas tax avoidance yang mengurangi pembayaran pajak kepada otoritas perpajakan, karena CETR langsung dihitung dari kas yang dibayarkan untuk pajak dibagi dengan laba sebelum pajak.
2.1.3 Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber daya yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang perusahaan, dan lain sebagainya (Harahap, 2004 : 304).
Menurut Kasmir (2009 : 117) rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan.
Adapun jenis-jenis profitabilitas dalam Fahmi (2011 : 136), sebagai berikut:
a. Gross Profit Margin merupakan margin laba kotor. Rasio ini memperlihatkan hubungan antara penjualan dan beban pokok penjualan.
b. Net Profit Margin disebut juga dengan rasio pendapatan terhadap penjualan. Margin laba bersih sama dengan laba bersih dibagi dengan penjualan bersih. Ini menunjukkan kestabilan kesatuan untuk menghasilkan perolehan pada tingkat penjualan khusus.
c. Return On Investment atau Return On Assets merupakan rasio yang melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan yang diharapkan, serta investasi tersebut sebenarnya sama dengan aset perusahaan yang ditanamkan.
d. Return On Equity disebut juga dengan laba atas equity. Rasio ini mengkaji sejauh mana suatu perusahaan mempergunakan sumber daya yang dimiliki untuk mampu memberikan laba atas ekuitas.
Penelitian ini menggunakan ROA sebagai alat ukur untuk mengukur profitabilitas suatu perusahaan, karena ROA paling berkaitan dengan efisiensi perusahaan dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi rasio ini, maka perusahaan
semakin efektif dalam memanfaatkan aktiva untuk menghasilkan laba bersih setelah pajak, yang juga dapat diartikan bahwa kinerja perusahaan semakin efektif.
2.1.4 Ukuran Perusahaan
Menurut Machfoedz (1994 : 117) ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengklasifikasikan perusahaan menjadi perusahaan besar ataupun perusahaan kecil menurut berbagai cara (seperti total aktiva atau total aset perusahaan, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah penjualan).
Menurut Badan Standarisasi Nasional dalam Herry (2017 : 97), kategori ukuran perusahaan ada 3 yaitu :
1. Perusahaan Kecil (small firm)
Perusahaan dapat dikategorikan perusahaan kecil apabila perusahaan memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,- sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,- tidak termasuk bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,- sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,-.
2. Perusahaan Menengah (medium firm)
Perusahaan dapat dikategorikan perusahaan menengah apabila perusahaan memiliki kekayaan bersih lebih dari RP 500.000.000,- sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,- tidak termasuk bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,- sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,-.
3. Perusahaan Besar (large firm)
Perusahaan dapat dikategorikan perusahaan besar apabila perusahaan memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 10.000.000.000,- tidak termasuk bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 50.000.000.000,-.
Perusahaan yang memiliki total aset besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai kedalam tahap dewasa, dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang lebih lama, selain itu mencerminkan perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aset yang lebih kecil (Febriana, 2016 : 166)
Menurut Sudarmadji dan Sularto (2007 : 56) penelitian ini menggunakan total aset untuk mengukur ukuran perusahaan, sebab nilai aset relatif lebih stabil dibandingkan dengan penjualan. Total aset adalah segala sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan, dan merupakan hasil dari transaksi masa lalu dan diharapkan akan memberikan manfaat ekonomi bagi perusahaan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, total aset dapat dijadikan ukuran besar atau kecilnya sebuah perusahaan. Dan rumus untuk mengukur ukuran perusahaan adalah sebagai berikut :
(Tandean, 2015)
Dimana Ln = Logaritma Natural
Ukuran perusahaan diproksikan dengan menggunakan Log Natural mempunyai tujuan untuk mengurangi fluktuasi data yang berlebih. Oleh karena itu, dengan menggunakan Log Natural, jumlah aset yang bernilai ratusan miliar ataupun triliun akan disederhanakan, tanpa mengubah proporsi dari jumlah aset yang sesungguhnya
2.1.5 Karakter Eksekutif
Menurut Low (2008 : 1,2) perusahaan yang melakukan penghindaran pajak tentu saja juga melalui kebijakan yang diambil oleh pemimpin perusahaan itu sendiri. Setiap individu pimpinan perusahaan sebagai eksekutif memiliki dua karakteristik, yaitu :
1. Risk Taker
Eksekutif yang bersifat risk taker akan lebih berani mengambil resiko dalam berbisnis karena mereka yakin semakin tinggi resiko yang diambil, maka semakin tinggi juga keuntungan yang diperolehnya. Banyaknya keuntungan yang ditawarkan seperti kekayaan melimpah, penghasilan tinggi, kenaikan jabatan dan pemberian wewenang atau kekuasaan menjadi motivasi tersendiri bagi para eksekutif bersifat risk taker.
2. Risk Averse
Eksekutif yang bersifat risk averse adalah eksekutif yang cenderung tidak menyukai resiko sehingga kurang berani dalam mengambil keputusan bisnis. Eksekutif risk averse jika mendapatkan peluang maka dia akan memilih resiko yang lebih rendah. Biasanya eksekutif risk averse memiliki usia yang lebih tua, sudah lama memegang jabatan, dan memiliki ketergantungan dengan perusahaan Paligorova (2010 : 7) mengatakan untuk mengetahui jenis karakter dan menilai seberapa berani eksekutif perusahaan mengambil resiko dapat dilakukan dengan melihat risiko perusahaan (corporate risk). Corporate risk ini dapat diukur dengan menggunakan persamaan standar deviasi dari EBITDA (earning before interest, taxes, depreciation and amortization) dibagi dengan total aset perusahaan. Tingginya rendahnya corporate risk akan menunjukkan kecondongan karakter eksekutif tersebut risk taker ataupun risk averse.
Sedangkan rumus standar deviasi:
√∑ ∑
E= EBITDA
T = Jumlah data / Sampel
(Paligorova, 2010)
2.2. Penelitian Terdahulu
Tabel 2. 2
Penelitian - Penelitian Terdahulu
No Nama Judul
Penelitian
Variabel Penelitian Hasil Penelitian 1. Kurniasih
dan Sari (2013)
Pengaruh Return on Asset , Leverage, Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, dan
Kompensasi Rugi Fiskal pada Tax Avoidance
X1: Return on Asset X2: Leverage X3: Corporate Governance X4: Ukuran Perusahaan
X5: Kompensasi Rugi Fiskal
Y: Tax Avoidance
Hasil penelitian menunjukkan Return on Assets (ROA), Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal
berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Tax Avoidance, sedangkan Leverage dan Corporate
Governance tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Tax Avoidance pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2007- 2010.
2. Maharani dan Suardana (2014)
Pengaruh Corporate Governance, Profitabilitas, dan
Karakteristik Eksekutif pada Tax Avoidance
X1: Corporate Governance
X2: Profitabilitas X3: Karakteristik Eksekutif
Y: Tax Avoidance
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris, kualitas audit, komite audit yang merupakan proksi dari corporate governance dan
Perusahaan Manufaktur
ROA yang
merupakan proksi dari profitabilitas berpengaruh negatif, risiko perusahaan yang merupakan proksi dari karakteristik eksekutif
berpengaruh positif, sedangkan sisanya yaitu kepemilikan insitusional yang merupakan proksi dari corporate governance tidak berpengaruh terhadap tindakan Tax Avoidance yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia periode 2008-2012.
3. Dewinta dan Setiawan (2016)
Pengaruh Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, dan Pertumbuhan Penjualan Terhadap Tax Avoidance
X1: Ukuran Perusahaan
X2: Umur Perusahaan X3: Profitabilitas X4: Leverage X5: Pertumbuhan Penjualan
Y: Tax Avoidance
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance, umur perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance, Profitabilitas berpengaruh
positif terhadap tax avoidance, Leverage tidak berpengaruh terhadap tax avoidance, dan Pertumbuhan penjualan berpengaruh positif terhadap tax avoidance 4. Vivi
Adeyani Tandean (2015)
Pengaruh Good Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan terhadap Tax Avoidance
X1: Good Corporate Governance
X2: Ukuran Perusahaan Y: Tax Avoidance
Hasil penelitian menunjukkan bahwa good corporate governance berpengaruh secara signifikan terhadap tax avoidance,
sedangkan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap tax avoidance.
5. Kartana dan Wulandari (2018)
Pengaruh Karakter Eksekutif, Karakteristik Perusahaan, dan Corporate Governance terhadap Tax Avoidance
X1: Karakter Eksekutif
X2: Karakteristik Perusahaan X3: Corporate Governance Y: Tax Avoidance
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter eksekutif tidak berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance, karakteristik perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tax
avoidance, dan corporate
governance tidak berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance.
6. Budiman dan Setiyono (2016)
Pengaruh Karakter Eksekutif Terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
X: Karakter Eksekutif Y: Tax Avoidance
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter eksekutif memiliki pengaruh signifikan terhadap tax avoidance 7. Swingly
dan Sukartha (2015)
Pengaruh Karakter Eksekutif, Komite Audit, Ukuran Perusahaan, Leverage, dan Sales Growth Pada Tax Avoidance
X1: Karakter Eksekutif
X2: Komite Audit X3: Ukuran Perusahaan X4: Leverage X5: Sales Growth Y: Tax Avoidance
Risiko
perusahaan yang merupakan proksi dari karakter eksekutif berpengaruh positif pada tax avoidance,
komite audit tidak berpengaruh pada tax avoidance, total aset yang merupakan proksi dari ukuran perusahaan berpengaruh positif pada tax avoidance, leverage berpengaruh negatif pada tax avoidance, dan sales growth
tidak berpengaruh pada tax
avoidance.
8. Darmawan dan
Sukartha (2014)
Pengaruh Penerapan Corporate Governance, Leverage, Return on Assets, dan Ukuran Perusahaan pada
Penghindaran Pajak
X1: Corporate Governane
X2: Leverage
X3: Return on Assets X4: Ukuran
Perusahaan Y: Penghindaran Pajak
Corporate governance berpengaruh pada penghindaran pajak. Leverage tidak berpengaruh pada
penghindaran pajak. ROA berpengaruh pada penghindaran pajak. Ukuran perusahaan berpengaruh pada penghindaran pajak.
2.3. Kerangka Pemikiran
Pentingnya pajak di dalam suatu instansi atau perusahaan dikarenakan pajak merupakan sumber penerimaan bagi negara. Setiap pemasukan dari pajak bagi pemerintah diharapkan penerimaannya dapat optimal sesuai dengan target dan potensi yang telah ditetapkan karena pajak itu sangat berpengaruh bagi pembangunan nasional. Menurut Hardika dalam Dewinta dan Setiawan (2016 : 1586) Pajak dari sisi fiskus merupakan salah satu sumber pendapatan yang secara potensial dapat mempengaruhi dan meningkatkan penerimaan negara. Hal tersebut akan menyebabkan adanya perbedaan kepentingan antara fiskus dengan perusahaan, dimana fiskus sebagai prinsipal (pemangku kepentingan) menginginkan penerimaan pajak yang sebesar-besarnya dari masyarakat sedangkan perusahaan sebagai agen menginginkan pembayaran pajak yang seminimal mungkin kepada negara.
Oleh karena itulah, banyak perusahaan yang melakukan berbagai cara untuk mengefesienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, salah satunya dengan tax avoidance. Menurut Zain (2008 :49) tax avoidance adalah proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekuensi pajak yang tidak dikehendaki dan merupakan tindakan yang benar-benar legal. Perusahaan yang melakukan tax avoidance ini akan memperoleh penghematan pajak dengan cara mengatur tindakan yang menghindarkan aplikasi pengenaan pajak melalui pengendalian fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga terhindar dari pengenaan pajak yang lebih besar atau sama sekali tidak kena pajak.
Salah satu faktor yang mempengaruhi suatu perusahaan untuk melakukan tax avoidance, yaitu profitabilitas. Menurut Kasmir (2009 : 117) Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Semakin baik rasio profitabilitas maka semakin baik kemampuan suatu perusahaan untuk memperolehan keuntungan. Menurut Zain (2008 : 44) suatu perencanaan yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghindaran pajak yang dapat diterima oleh fiskus. Oleh karena itu, ketika laba yang diperoleh membesar, maka jumlah pajak penghasilan akan meningkat sesuai dengan peningkatan laba perusahaan, sehingga kecenderungan untuk melakukan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan akan meningkat. Profitabilitas terdiri dari beberapa rasio, salah satunya adalah Return On Assets (ROA). ROA berfungsi untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam penggunaan sumber daya yang dimilikinya.
Semakin tinggi rasio ini, maka perusahaan semakin efektif dalam memanfaatkan aktiva untuk menghasilkan laba bersih setelah pajak, yang juga dapat diartikan bahwa kinerja perusahaan semakin efektif. Menurut Darmawan dan Sukartha (2014 : 155) Semakin besar ROA, maka semakin baik perusahaan dalam mengelola total asetnya. Perusahaan yang mampu mengelola asetnya dengan baik akan memperoleh keuntungan dari insentif pajak dan kelonggaran pajak lainnya sehingga perusahaan tersebut akan terlihat melakukan tax avoidance. Oleh karena
itulah, perusahaan yang baik adalah perusahaan yang bisa melakukan pengelolaan yang baik terhadap aktivanya.
Faktor lain yang mempengaruhi suatu perusahaan melakukan tax avoidance adalah ukuran perusahaan. Menurut Machfoedz (1994 : 117) ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengklasifikasikan perusahaan menjadi perusahaan besar ataupun perusahaan kecil menurut berbagai cara (seperti total aktiva atau total aset perusahaan, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah penjualan). Menurut Suandy (2011 : 3, 32) suatu perusahaan melakukan perencanaan pajak mempunyai tujuannya, yaitu untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham dengan cara memaksimalkan nilai perusahaan.
Tujuan ini juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat di lingkungan sekitar perusahaan. Perusahaan selalu berupaya untuk menekan beban pajak seminimal mungkin untuk mendapatkan penghasilan yang optimal. Perusahaan dapat mengelola total asetnya untuk mengurangi penghasilan kena pajak yaitu dengan memanfaatkan beban penyusutan ataupun amortisasi yang timbul dari pengeluaran untuk memperoleh aset tersebut karena beban penyusutan dan amortisasi dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Dewinta dan Setiawan (2016 : 1609) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa semakin besar total aset mengindikasikan semakin besar ukuran perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin tinggi aktivitas tax avoidance di perusahaan yang disebabkan karena perusahaan dengan jumlah total aset yang relatif besar cenderung lebih mampu dan lebih stabil dalam menghasilkan laba.
Kondisi tersebut menimbulkan peningkatan jumlah beban pajak sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan praktik tax avoidance.
Faktor terakhir yang mempengaruhi suatu perusahaan melakukan tax avoidance adalah karakter eksekutif. Menurut Zain (2008 :42) predikat seorang eksekutif yang sukses kadang-kadang ditentukan pula oleh sukses tidaknya penyusunan suatu perencanaan pajakanya (tax planning). Perencanaan pajak itu sendiri sesungguhnya yaitu bagaimana seorang eksekutif tersebut mengendalikan dan dapat mengefesienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah,
melalui apa yang disebut sebagai tax avoidance. Menurut Low (2008 : 1,2) Perusahaan yang melakukan penghindaran pajak tentu saja juga melalui kebijakan yang diambil oleh pemimpin perusahaan itu sendiri. Setiap individu pimpinan perusahaan sebagai eksekutif memiliki dua karakteristik yaitu risk taker dan risk averse. Paligorova (2010 : 7) mengatakan untuk mengetahui jenis karakter dan menilai seberapa berani eksekutif perusahaan mengambil resiko dapat dilakukan dengan melihat risiko perusahaan (corporate risk). Naik-turunnya RISK (corporate risk) mencerminkan kecenderungan karakter eksekutif. Tingkat RISK yang lebih tinggi mengindikasikan karakter eksekutif bersifat risk taker, sebaliknya jika RISK rendah, mengindikasikan karakter eksekutif lebih memilih sifat risk averse. Semakin eksekutif bersifat risk taker, maka akan semakin tinggi tingkat tax avoidance (Budiman dan Setiyono, 2012 : 14).
Gambar 2. 1
Kerangka Pemikiran Keterangan :
= Parsial
= Simultan Profitabilitas
(X1)
Ukuran Perusahaan (X2)
Tax Avoidance (Y)
Karakter Eksekutif (X3)
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh antara profitabilitas, ukuran perusahaan, dan karakter eksekutif terhadap tax avoidance, yang akan dirumuskan sebagai berikut :
1. Secara Parsial
H1 :Profitabilitas berpengaruh terhadap Tax Avoidance H2 : Ukuran Perusahaan berpengaruh terhadap Tax Avoidance H3 : Karakter Eksekutif berpengaruh terhadap Tax Avoidance 2. Secara Simultan
H4 : Profitabilitas, Ukuran Perusahaan, dan Karakter Eksekutif berpengaruh terhadap Tax Avoidance