• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM CERITA RAKYAT PITO PUNTERI TUJUH PUTRI, HELANG DOHI, ALOR, NUSA TENGGARA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM CERITA RAKYAT PITO PUNTERI TUJUH PUTRI, HELANG DOHI, ALOR, NUSA TENGGARA TIMUR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM CERITA RAKYAT PITO PUNTERI “TUJUH PUTRI”, HELANG DOHI, ALOR,

NUSA TENGGARA TIMUR

RELIGIOUS VALUES OF FOLKLORE PITO PUNTERI ‘TUJUH PUTERI’ HELANG DOHI, ALOR, EAST NUSA TENGGARA

Erwin Syahputra Kembaren Kantor Bahasa Provinsi NTT

Jalan Jenderal Soeharto 57A, Naikoten, Kota Kupang

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai keagamaan dalam cerita rakyat Pito Punteri “Tujuh Putri”, Helang Dohi, Alor. Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif bersifat deskriptif. Data penelitian ini adalah cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi langsung dan wawancara. Lokasi penelitian ini berada di Desa Helang Dohi, Kecamatan Pantar, Kabupaten Alor. Data cerita rakyat dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil rekaman, catat, simak, wawancara, dan observasi. Penyajian hasil analisis data dengan menggunakan metode informal, yaitu cara penyajian dengan rumusan kata- kata biasa yang mudah dimengerti. Hasil dari penelitian ini adalah rumusan nilai- nilai keagamaan dalam cerita rakyat Pito Punteri dengan teori Glock dan Stark yang menyatakan bahwa ada lima dimensi religiositas, yaitu (1) Dimensi Keyakinan atau Ideologi; (2) Dimensi Praktik Agama atau Ritualistik; (3) Dimensi Pengalaman dan Pengetahuan; (4) Dimensi Ihsan atau Penghayatan; dan (5) Dimensi Pengamalan dan Konsekuensi.

Kata-kata kunci: nilai keagamaan, dimensi, pito, ihsan, Alor Abstract

This study aims to describe the religious values in the folklore of Pito Punteri “Tujuh Putri”, Helang Dohi, Alor. This research used descriptive qualitative method. The data studied is the folk tale of Pito Punteri ‘Tujuh Putri’. Data was collected conducting observation and interview of the people living in Helang Dohi Village, Pantar District, Alor Regency. These data then analyzed qualitatively from the result of recordings, notes, listening, interviews, and observations. The results of data analysis were presented using informal methods, it is the way of presenting the formulation of ordinary words that are easy to understand. The result of this research is the formulation of religious values in the folk tale of Pito Punteri in wich the theory of Glock and Stark was applied where they mentioned that there are five dimensions of religiosity, namely (1) Dimension of Belief or Ideology; (2) Dimension of Religious or Ritualistic Practice; (3) Dimension of Experience and Knowledge; (4) Dimension of Ihsan (good deed) or Appreciation. (5) Dimensions of Experiences and Consequences.

Keywords: religious values, dimension, pito, ihsan, Alor

Naskah Diterima 28 Februari 2020—Direvisi Akhir 22 Juni 2020—Diterima 23 Juni 2020

(2)

1. PENDAHULUAN

Pulau Kenari, dikenal masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk julukan khas Pulau Alor. Keragaman budaya, bahasa, dan suku bangsa di Pulau Alor, Pura, dan Pantar, menjadi tempat yang menarik untuk perkunjungan para peneliti bahasa, sastra, dan budaya untuk mengkaji tradisi dan sastra lisan di Kabupaten Alor.

Kekayaan tradisi lisan di wilayah ini, membuat Alor menjadi gudangnya folklor lisan.

Tercatat ada 16 kelompok etnis yang saling berbeda bahasanya satu sama lain di Pulau Alor (Sunarti, Atisah, Suryami, & Firdaus, 2019).

Cerita rakyat, dikategorikan sebagai salah satu jenis folklor lisan. (Danandjaja, 2015) menyatakan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-menurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Data terdahulu terkait tulisan tentang Alor (Powdermaker, Bois, Kardiner, & Oberholzer, 1945) mengatakan bahwa tradisi lisan di Alor cenderung menuju keterancaman karena orang-orang di Alor memiliki kecenderungan keretakan hubungan antara anak dan orang tua. Misalnya, sang ibu meninggalkan anaknya—10 hari sampai dengan dua minggu pascamelahirkan—untuk bekerja sepanjang hari di kebun. Sang ibu berperan penting dalam mencari nafkah dan mengerjakan tanah pertanian, sedangkan kaum pria sibuk berjualan gendang, gong, dan hewan peliharaan. Oleh karena itu, budaya kelisanan seperti cerita rakyat kerap dilupakan dan tidak diwariskan dalam sistem sosial dalam masyarakat Alor pada umumnya.

Masyarakat Alor dikenal kaya akan keunikan dan keragaman yang berkaitan dengan cerita rakyat. Bertahun-tahun melakukan pendalaman sastra lisan di Alor, peneliti memahami pola cerita yang berbeda antara masyarakat yang tinggal di gunung dan di pesisir laut. Menurut (Sunarti et al., 2019) masyarakat Alor membagi wilayah kultural mereka atas dua kelompok wilayah kultural, yakni masyarakat Nuh Mate

‘Gunung Besar’ dan Nuh Atinang ‘Gunung Kecil’. Tipe dan motif cerita di masyarakat gunung besar lebih cenderung ke arah manusia turun dari langit dan motif dalam cerita rakyat di gunung kecil cenderung ke arah motif manusia berasal dari laut.

Cerita rakyat Pito Punteri ‘tujuh bidadari’, sejenis cerita sage yang dituturkan di wilayah masyarakat Nuh Mate ‘Gunung Besar’. Hanya sedikit orang yang mengetahui cerita ini, bahkan dalam pengamatan peneliti di masyarakat Desa Helang Dohi, cerita ini mungkin hanya diketahui oleh beberapa orang tua saja. Cerita Pito Punteri dituturkan ketika peneliti mendatangi rumah adat di Helang Dohi dalam rangka menginventarisasi cerita rakyat tentang asal-usul manusia pada tahun 2017.

Penelitian terdahulu yang dapat dikaitkan dalam penelitian ini adalah (Sunarti, 2015) yang meneliti tentang cerita asal-usul nenek moyang di Pulau Alor, Pura, dan

(3)

Pantar. Hasil dari penelitian tersebut adalah melalui cerita asal-usul dapat dilakukan rekonstruksi sejarah lisan suatu suku atau bangsa, seperti rekonstruksi terhadap sejarah kedatangan utusan di suatu daerah dan menemukan motif migrasi suku-suku dari satu daerah ke daerah lain. Kemudian (Sanubarianto & Kembaren, 2020) yang meneliti tentang dimensi religiositas dalam mantra Boifanu. Dalam kajian ini dimensi spiritual terwujud dalam kepercayaan Hauteas yang bersanding dengan kepercayaan Kristen. Dimensi ritual tergambar dari laku Boifanu. Dimensi pengetahuan dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Amarasi Barat terhadap mekanisme penunjukan pemuka adat. Dimensi pengalaman dan pengamalan terproyeksi dari fungsi sosial Boifanu sebagai mantra permohonan sebelum masyarakat Amarasi Barat melakukan peperangan.

Dari uraian mengenai relevansi kajian-kajian terdahulu, perbedaan penelitian yang dilakukan terdahulu dengan penelitian saat ini, yaitu penelitian terdahulu objek kajiannya adalah syair mantra di Pulau Timor sedangkan penelitian ini adalah cerita rakyat. Persamaan antara penelitian terdahulu dengan saat ini adalah dalam menganalisis dimensi religiositas dari objek penelitian, peneliti menggunakan teori yang sama, yaitu Glock dan Stark. Dari perbedaan dan persamaan penelitian tersebut, dapat ditarik rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu apa saja nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’ di Desa Helang Dohi, Alor? Searah dengan rumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai keagamaan dalam cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’.

Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Inti penelitian kualitatif ialah menafsir makna yang terkandung dalam kata, bahasa dan perilaku sebagai fenomena. Dengan demikian, penelitian kualitatif tidak menghasilkan generalisasi, tetapi menghasilkan tipikasi, atau kekhasan suatu yang dibangun dari data yang diperoleh (Lexy J. Moleong, 2019). Data penelitian ini adalah cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi langsung dan wawancara. Teknik tersebut digunakan karena peneliti merupakan pihak luar yang datang untuk mendalami budaya, bahasa, dan cerita rakyat sebagai objek yang akan diteliti.

Data yang digunakan adalah hasil wawancara dengan tetua adat (Bapak Petrus Hirangtua, umur 90 tahun) yang berupa rekaman cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’. Lokasi penelitian ini berada di Desa Helang Dohi, Kecamatan Pantar, Kabupaten Alor. Pengumpulan data cerita rakyat menggunakan teknik wawancara dan observasi.

Observasi dilakukan dengan agar peneliti dapat melakukan pengamatan bebas untuk menemukan hal menarik yang tidak diamati atau diketahui informan sehingga

(4)

mungkin tidak diperoleh dari teknik wawancara. Dalam penerapannya, kedua teknik ini menggunakan beberapa teknik tambahan, yaitu teknik rekam, simak, dan catat (Ratna, 2010).

Data cerita rakyat dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil rekaman, catat, simak, wawancara, dan observasi. Penyajian hasil analisis data dengan menggunakan metode informal, yaitu cara penyajian dengan rumusan kata-kata biasa yang mudah dimengerti. Teknik yang digunakan adalah teknik induktif, yaitu penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat khusus terlebih dahulu kemudian ditarik suatu simpulan yang bersifat umum (Endraswara, 2006).

2. KAJIAN TEORI

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Glock dan Stark dalam (Clayton & Gladden, 1974) yang menyatakan bahwa ada lima dimensi religiositas dalam menelaah nilai-nilai dalam sebuah karya sastra, yaitu.

1. Dimensi keyakinan atau ideologi. Dimensi ini berisi pengaharapan-pengharapan yang didasarkan pada pandangan teologis tertentu. Penganut keyakinan ajaran tertentu akan mengakui dan melaksanakan kebenaran-kebenaran doktrin teologis yang dianutnya. Setiap keyakinan akan ketuhanan akan mempertahankan keyakinan tersebut dan menjadikan penganutnya untuk menaati dan melaksanakan keyakinan tersebut.

2. Dimensi praktik agama atau ritualistik. Dime nsi ini dijadikan tolok ukur tentang ketaatan seseorang dalam melaksanakan kewajiban keyakinan yang dipilihnya.

Misalnya, seberapa sering ia pergi ke rumah ibadah untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan yang dipilihnya. Dimensi ini direalisasikan dalam perilaku keberagamaan yang berupa peribadatan upacara-upacara keagamaan.

3. Dimensi pengalaman dan pengetahuan adalah dimensi yang memiliki korelasi dengan pengetahuan dan kemampuan dalam memahami ajaran-ajaran suatu keyakinan yang diyakininya. Minimal manusia yang religius memiliki pengetahuan- pengetahuan dasar tentang keyakinan yang dipilih, memiliki pengetahuan dasar tentang ritual-ritual yang harus dijalani dan memiliki pengetahuan dasar tentang kitab suci keyakinan yang dipilih.

4. Dimensi ihsan atau penghayatan. Dimensi ini berkaitan dengan keyakinan seseorang terhadap kedekatan diri dengan Tuhannya. Hal ini menyebabkan muncul suatu keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melihat dan mengawasi segala aktivitas yang dilakukan di dunia. Dimensi ini terealisasi dengan sifat dan perilaku syukur atas nikmat-Nya, dan kenikmatan dalam menjalankan ibadah.

5. Dimensi pengamalan dan konsekuensi yang memiliki korelasi yang sangat kuat dengan aktivitas-aktivitas pemilih keyakinan untuk merealisasikan ajaran-ajaran yang diyakini di lingkungan kehidupan sosialnya. Secara singkat, dikatakan

(5)

bahwa dimensi ini berkaitan dengan posisi individu sebagai makhluk sosial.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berorientasi pada kebaikan terhadap sesama.

Misalnya peduli terhadap sesama manusia, ramah, dan menjaga lingkungan.

3. PEMBAHASAN

3.1 Sinopsis Cerita Rakyat Pito Punteri

Di sebuah hutan yang berdampingan dengan sebuah kampung, ada seorang nenek yang tinggal di dalam rumpunan bambu. Suatu hari, datanglah seorang pemuda dari arah barat untuk menyiarkan ajaran agama Islam di Pulau Pantar, begitu perahu pemuda tersebut berlabuh di pesisir pantai, pemuda tersebut mulai berjalan ke arah gunung untuk menginap di Desa Helang Dohi. Sesampainya di desa pada malam hari, pemuda itu duduk santai dan bercerita dengan beberapa orang di desa. Sampai pada suatu cerita tentang keanehan di dalam hutan, seorang tetua adat mengatakan,

“Masyarakat takut untuk memasuki hutan karena biasanya penduduk yang ke dalam hutan hilang sampai sekarang”. Lalu pemuda itu berkata, “Besok pagi saya mencoba untuk pergi ke hutan itu dan menyelidikinya!” Apa kamu tidak takut mati? Ujar salah satu masyarakat. Pemuda itu menjawab “Insyaallah, kalau niat baik dan lurus, kita tidak perlu takut karena Allah yang menjaga”.

Penasaran dengan cerita itu, keesokan paginya pemuda itu pun masuk ke dalam hutan untuk membuktikan cerita masyarakat desa. Sesampainya di dalam hutan, pemuda itu melihat ada banyak tanaman bambu dan ketika pemuda itu memasuki rumpunan bambu, ada seorang nenek yang duduk di atas sebuah batu besar. Lalu, pemuda itu dengan gagap menyapa “Nenek, apakah nenek tinggal di sini sendiri?”

sang nenek pun menatap pemuda itu dan berkata “Benar, Nak, sedang apa Kamu di sini?” tanya nenek tersebut. Pemuda itu pun berkata “Kami sedang berkelana untuk menyiarkan agama kami”, lalu mengapa Nenek berada di tempat ini cukup lama?”

Lalu nenek berkata, “Saya diperintahkan oleh penguasa langit untuk menjaga sumur ini karena setiap hari Jumat siang, anak-anak saya turun dari langit untuk mandi”.

Pemuda itu penasaran atas apa yang dikatakan oleh nenek tersebut.

Untuk membuktikan perkataan nenek tersebut, pemuda itu berniat untuk melihat anak-anak yang dikatakan nenek. Akan tetapi, pemuda itu harus membuat tempat persembunyian agar tidak ketahuan oleh Nenek itu. Tiba pada Jumat pagi, matahari mulai terbit. Anak-anak nenek tersebut pun mulai turun dari atas langit, anak yang pertama turun dalam bentuk burung kakaktua, kedua dalam bentuk burung nuri, dan sampai ke tujuh juga berbentuk berbagai jenis burung, ketika burung-burung tersebut menginjakkan kaki ke tanah, maka burung-burung tersebut berubah menjadi tujuh putri cantik dan mereka mulai melepaskan selendangnya dan mulai mandi di sumur tersebut.

(6)

Pemuda tersebut pun terkejut melihat hal itu, ketika salah satu selendang anak yang ke tujuh berada di dekat persembunyiannya, pemuda itu pun mengambilnya dan pergi ke desa lalu menyembunyikan selendang itu di atas bubung rumah. Ketika tujuh putri itu selesai mandi di sumur maka mereka mulai mengambil selendangnya untuk kembali ke langit. Ketika para putri pertama sampai ke enam sudah mengambil selendang, sang adik si bungsu pun mulai mencari-cari selendangnya yang hilang, lalu ke tujuh putri tersebut pun mulai mencari-cari di sekeliling hutan namun tidak menemukan selendang itu.

Hari mulai malam, sebelum malam hari ketujuh putri itu harus kembali ke langit, sebelum penguasa langit marah, keenam putri itu berkata, “Nanti hari ketujuh kami akan kembali lagi turun ke bumi untuk menjemputmu kalau kamu sudah menemukan selendang itu”. Lalu keenam putri itu pun terbang ke langit dan tinggallah si bungsu bersama neneknya di hutan bambu tersebut. Lalu Pemuda tersebut pun kembali ke hutan dan berpura-pura mencari kayu, lalu mulai melakukan pendekatan kepada putri yang tinggal tersebut. Pemuda itu berjanji akan mencari selendangnya dan membuat gubuk di dalam hutan lalu tinggal berdampingan dengan nenek dan gadis tersebut.

Setiap hari sang putri pun mulai memperhatikan pemuda itu, sehari-hari pemuda itu rajin salat lima waktu dan seiring waktu berjalan, perempuan itu juga mulai mengikuti dan diajari salat lima waktu dan membaca Alquran. Setelah sekian lama mereka berteman, sang gadis pun jatuh cinta kepada pemuda tersebut, lalu mereka pun menikah. Setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Ketika lahiran putra pertama mereka, tidak lupa sang suami mengazankan ke telinga kanan anaknya dan mengikamahi ke telinga kiri. Sang suami rajin menangkap ikan dengan bubu yang dibuatnya untuk menangkap ikan di laut.

Ketika suatu pagi, Pemuda ingin pergi ke laut untuk menangkap ikan, Pemuda pun berpesan agar menjaga anak kita, nanti siang saya kembali. Lalu istri dan anaknya berada di rumah, ketika di dalam rumah mereka pun tidur. Setelah di atas tempat tidur sang istri melihat ada sepotong bambu yang diikat di atas bubungan, istrinya heran melihat bambu tersebut, dan mengambil bambu itu, alangkah terkejutnya sang istri ketika membuka isi bambu dan melihat ada selendang yang dia miliki yang telah hilang selama ini. Dengan hati yang sangat senang dan kecewa karena yang telah mencuri selendangnya tersebut adalah suaminya sendiri. Sang istri pun berencana akan kembali ke langit sepulang suaminya dari laut.

Setelah matahari meninggi, tengah hari kemudian sang Pemuda pun pulang ke rumah dengan membawa ikan hasil tangkapannya. Lalu sang suami menyuruh istrinya memasak ikan yang telah didapat. Mereka makan bersama-sama dengan anaknya menikmati ikan yang telah dimasak tadi. Setelah makan, sang istri bangkit berdiri dan berkata, “Suamiku, aku telah mendapatkan selendang yang aku cari selama

(7)

ini dan aku ingin berpamitan ingin kembali ke alamku di langit”. Sang Pemuda pun terkejut, melihat selendang yang dia sembunyikan selama ini, ada di tangan istrinya.

Suaminya pun berkata, “Lalu bagaimana dengan anak kita ini?” Apakah kamu tega meninggalkannya begitu saja, istriku?” Lalu sang istri pun dengan air mata mulai memakai selendangnya dan seketika berubah wujud menjadi seekor burung kakaktua dan terbang meninggalkan suami dan anaknya.

Suaminya sangat bersedih, menangis, dan kecewa selama berhari-hari karena sang istri pergi meninggalkannya. Sebulan berlalu, tidak patah semangat, sang Pemuda pun mendatangi nenek penjaga hutan dan bertanya bagaimana cara ke negeri langit tempat para peri itu berada? Lalu sang nenek menjawab, “Kalau saya tidak pernah pergi ke negeri langit, akan tetapi, saya bisa tanya pohon tua Kung dan Poku bagaimana cara pergi ke sana?” Lalu sang nenek menanyakan kepada pohon Kung dan Poku, lalu pohon itu berkata, “Nenek, kami tidak bisa ke sana, kami tidak tinggi”, Nenek pergi saja ke pohon rotan dia biasa mengantar. Lalu sang nenek memberitahukan Pemuda bahwa pohon rotan ajaib di ujung bukit yang bisa mengantarkannya ke negeri para peri. Lalu pohon rotan itu mengantar pemuda itu ke negeri langit.

Sesampainya di negeri langit, dia melihat hanya awan yang mengelilingi dan tidak ada siapa-siapa, lalu dia mencoba berjalan ke depan dan dia menjumpai sebuah surau. Kemudian dia salat di surau tersebut. Pemuda itu salat dan berdoa sepanjang hari di surau itu, lalu ada seorang putri melihat pemuda di surau itu dan melaporkannya kepada penguasa langit. Lalu, sang raja memerintahkan para penjaga langit menanyakan apa tujuan pemuda itu datang. Tidak lama kemudian, pengawal mendatangi dan membawa Pemuda tersebut ke hadapan raja, lalu sang raja bertanya,

“Wahai anak muda, apakah Engkau seorang muslim? Apa gerangan yang membawa Engkau ke tempatku? Lalu sang pemuda berkata, “Saya datang ke negeri ini, ingin menemui dan membawa pulang istri saya, yaitu putri raja yang paling bungsu, kami telah menikah di dunia dan memiliki seorang anak.” Lalu raja berkata, “Kalau memang benar kamu ingin membawa anak saya ke dunia dan menjadi istri kamu, kamu harus saya uji dahulu”. Lalu raja membawa dua tempurung, yang satu kosong dan yang satu berisi air laut, lalu raja berkata, “Wahai anak muda, kalau memang Engkau seorang muslim taat maka pisahkanlah air laut ini antara garam dan air tawar, apabila besok pagi Engkau belum bisa memisahkannya maka Engkau harus kembali”.

Lalu pemuda tersebut membawa tempurung itu kembali ke surau, dan mulai berdoa.

Setelah semalaman berdoa, datanglah seekor semut merah (kurlemar) dan berkata,

“Wahai anak muda, kenapa Engkau gelisah dan menangis?” Lalu pemuda tersebut menjawab, “Saya memiliki ujian untuk memisahkan air laut ini menjadi air tawar, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya?” Lalu semut merah itu berkata, “Baiklah kamu menangis semalaman dan tampunglah air matamu di tempurung tersebut”. Lalu sang pemuda menangis hingga air matanya memenuhi tempurung tersebut.

(8)

Lalu keesokan paginya pengawal raja datang dan meminta hasilnya, lalu pemuda tersebut memberikan tempurung yang telah berisi air tawar dan air laut tersebut. Lalu raja berkata, “Memang Engkau muslim sejati, saya akan memberikan ujian kedua, yaitu di situ ada tujuh sarumpak (tempat sirih) yang tersusun, kamu pilihlah sarumpak istrimu, kalau memang benar kamu adalah suaminya”. Maka pemuda tersebut kembali ke surau dan kembali berdoa, lalu datanglah lalat hijau dan berkata, “Apa yang kamu risaukan, wahai Anak Muda, kenapa Engkau menangis?” Lalu pemuda itu berkata,

“Saya ada masalah yang harus saya pecahkan, Raja menyuruh saya memilih salah satu sarumpak milik istri saya, kalau mau saya bawa istri saya kembali ke bumi”. Lalu lalat hijau berkata “Baiklah esok hari kamu memilih sarumpak yang saya hinggapi, dan ambilah sarumpak milik istrimu itu”. Lalu keesokan harinya di depan raja, pemuda tersebut melihat sarumpak yang berjumlah tujuh dan pemuda melihat ada seekor lalat hijau hinggap di salah satu sarumpak tersebut, lalu sang pemuda mengambil sarumpak itu dan memberikannya kepada raja. Lalu raja berkata, “Memang benar, kamu memilih sarumpak milik istrimu, namun saya harus menguji kamu kembali sebelum saya yakin kamu adalah suami dari anak saya”.

Ujian ketiga adalah belige (tempat tidur yang tergantung), maka ada tujuh belige yang ada di dalam kerajaan tersebut, lalu raja menyuruh pemuda itu memilih belige milik istrinya tersebut. Lalu pemuda kembali berdoa di surau semalam suntuk, lalu ada burung berwarna hijau (balang) yang hinggap di surau tersebut, dan berkata,

“Kenapa Engkau menangis?”, lalu pemuda itu berkata, “Saya ada ujian ketiga yang diberikan raja, yaitu saya harus memilih belige milik istri saya dari tujuh belige yang ada di kerajaan”. Lalu balang tersebut berkata, “Esok hari saya akan menghinggapi belige milik istri kamu dan kamu pilihlah belige itu”. Lalu keesokan harinya, balang itu hinggap di belige milik istrinya dan pemuda itu langsung memilih belige itu, lalu berkata kepada raja, “Inilah belige milik istri hamba, raja”, lalu raja melihatnya dan berkata, “Memang benar, kamu benar memilihnya”, maka sekarang kamu akan saya berikan ujian yang terakhir, apabila kamu melewati ujian ini dengan benar maka kamu akan saya berikan anak saya yang paling bungsu untuk menjadi istrimu turun ke dunia”.

Pada ujian ke empat, yaitu ujian terakhir yaitu raja menunjukkan pohon yang sangat besar, dan pemuda tersebut harus memotong pohon itu dalam sekali tebas.

Lalu pemuda tersebut pergi kembali ke surau dan berdoa, lalu ketika berdoa datanglah ane-ane ‘rayap’ dan berkata, “Wahai Pemuda, kenapakah Engkau menangis dan bersedih?” Lalu pemuda itu berkata, “Saya ada ujian terakhir, apabila saya melewati ujian ini maka saya dapat mengambil istri saya kembali. Ujiannya adalah saya harus memotong pohon yang sangat besar itu dalam sekali tebas, sedangkan saya tidak memiliki tenaga yang besar”. Lalu ane-ane tersebut berkata, “Baiklah kamu yakin saja, besok sekali tebas kamu akan menumbangkan pohon itu, setelah saya memberikan

(9)

tanda, yaitu bubuk kayu yang jatuh dari batang pohon tersebut, maka kamu akan tebas dengan sekuat tenaga”.

Lalu keesokan harinya, ane-ane sudah menggerogoti pohon itu dari dalam hingga tinggal sedikit saja penahan pohon itu dan bisa dipotong sekali tebas. Ketika raja menyuruh pohon itu di tebas, dan pemuda itu menebas pohon itu sekali tebas dan pohon tersebut pun tumbang. Lalu raja tersebut terkejut dan mengagumi pemuda itu, lalu berkata, “Memang kamu adalah orang yang tekun dan beriman maka saya akan memberikan kamu putri bungsuku dan aku akan memberikan kamu hadiah tongkat, tigis, mimbar, dan alat untuk sunat adat”.

Semua alat-alat itu dibungkus dengan kain milik istrimu, dan alat-alat tersebut berikanlah kepada bangsawan/raja yang memiliki tanda-tanda keilahian di bumi.

Melihat hal itu, pemuda tersebut sujud syukur dan berdoa di surau lalu dia pun pulang kembali ke bumi membawa alat-alat suci tersebut bersama istrinya ke bumi.

Sesampainya di bumi, pemuda itu mendatangi beberapa pemuda yang baik dan akrab yang selama ini dia kenal. Kemudian pemuda itu mengutus empat orang untuk menerima barang-barang suci itu. Orang-orang yang diutus tersebut bernama Sigogo, Sulemagogo, Himalasak, dan Makani yang diutus untuk menyiarkan agama Islam ke seluruh pulau di daerah timur.

3.2 Nilai-Nilai Keagamaan dalam Cerita Pito Punteri “Tujuh Putri”

Sastra lisan yang akan diteliti adalah cerita rakyat yang sudah lama ada di masyarakat Helang Dohi, Kabupaten Alor. Cerita rakyat merupakan sesuatu yang dianggap sebagai kekayaan milik rakyat yang kehadirannya di atas dasar keinginan untuk berhubungan sosial dengan orang lain (Semi, 1988). Untuk itu, kehadiran sastra di masyarakat bukanlah hanya sekadar hiburan semata, akan tetapi cerita rakyat merepresentasikan sebuah kekayaan tentang nilai-nilai moral yang terwujud dari sudut pandang penikmat sastra. Oleh karena itu, bagian dari setiap cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’ akan dibahas berdasarkan lima dimensi religiositas yang terkandung di dalamnya.

3.2.1 Dimensi Keyakinan/Ideologi

Dimensi keyakinan atau ideologi, hakikatnya berawal dari kepercayaan manusia untuk meyakini ajaran agama atau keyakinan yang dianut. Keyakinan tersebut bersifat absolut dan tidak mudah untuk menghilangkan ideologi terhadap kepercayaan yang diyakini oleh seseorang. Keyakinan tersebut berupa dogma terhadap suatu ajaran agama, seperti orang yang senang beramal akan selalu diberikan kemudahan, orang baik akan masuk surga, orang yang rajin dalam menjalankan ibadahnya akan selalu dilindungi, dan hal-hal lainnya yang ada di dalam suatu ajaran agama.

Dimensi keyakinan atau ideologi dalam cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’

(10)

dapat dilihat dari keyakinan tokoh pemuda yang datang untuk menyiarkan ajaran agamanya ke Desa Helang Dohi dan ketika keberaniannya untuk masuk ke hutan karena didasari keyakinan keselamatannya, berikut kutipan yang merepresentasikan dimensi keyakinan/ideologi dalam cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’,

...”Lalu pemuda itu berkata, “Besok pagi dia akan pergi ke hutan itu.” Salah satu masyarakat desa berkata “Apa kamu tidak takut mati?” Pemuda itu menjawab

“Insyaallah, kalau niat baik dan lurus, kita tidak perlu takut karena Allah yang menjaga.”

Dari penggalan kutipan percakapan tersebut, dimensi keyakinan/ideologi diwujudkan oleh tokoh pemuda dengan yakin dan percaya bahwa kekuasaan Tuhan akan melindungi umat yang berbakti pada-Nya. Salah satu sikap dan perilaku yang menunjukkan tingkat keyakinan atau keimanan manusia kepada Allah itu tinggi adalah ketika manusia mengakui akan kebesaran dan pertolongan Allah kepada umat yang dikasihinya. Mengakui bahwa Allah adalah sumber perlindungan yang tidak terbatas oleh apa pun menunjukkan bahwa Allah adalah causa prima untuk diyakini dan disembah oleh umatnya.

3.2.2 Dimensi Praktik Agama/Ritualistik

Dimensi praktik agama/ritualistik adalah bentuk praktik yang diyakini menjadi tolok ukur tentang ketaatan seseorang dalam menjalankan kewajiban ajaran agama yang dipilihnya. Berdoa dan meminta belas kasihan Tuhan adalah bentuk praktik agama yang secara langsung kita yakini bahwa Allah yang menciptakan seluruh alam semesta dan seluruh makhluk hidup maka Allah jugalah yang menjadi sumber pertolongan dalam setiap jalan keluar yang manusia hadapi. Dimensi praktik keagamaan dalam cerita Pito Punteri ‘Tujuh Putri’ dapat dilihat dari kutipan berikut.

...”Sesampainya di negeri langit, dia melihat hanya awan yang mengelilingi dan tidak ada siapa-siapa, lalu dia mencoba berjalan ke depan dan dia menjumpai sebuah surau. Kemudian dia salat di surau tersebut. Pemuda itu salat dan berdoa sepanjang hari di surau itu.”

... Lalu pemuda tersebut membawa tempurung itu kembali ke surau, dan mulai berdoa. Setelah semalaman berdoa, datanglah seekor semut merah (kurlemar) dan berkata “Wahai Anak Muda, kenapa Engkau gelisah dan menangis?” lalu pemuda tersebut menjawab, “Saya memiliki ujian untuk memisahkan air laut ini menjadi air tawar, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya?” lalu semut merah itu berkata,

“Baiklah kamu menangis semalaman dan tampunglah air matamu di tempurung tersebut. Lalu sang pemuda menangis hingga air matanya memenuhi tempurung tersebut.

... Maka pemuda tersebut kembali ke surau dan kembali berdoa, lalu datanglah lalat hijau dan berkata “Apa yang kamu risaukan, wahai Anak Muda, kenapa

(11)

Engkau menangis?” lalu pemuda itu berkata “Saya ada masalah yang harus saya pecahkan, raja menyuruh saya memilih salah satu sarumpak milik istri saya, kalau mau saya bawa istri saya kembali ke bumi”, lalu lalat hijau berkata “Baiklah esok hari Kamu memilih sarumpak yang saya hinggapi, dan ambilah sarumpak milik istrimu itu.

... Lalu pemuda kembali berdoa di surau semalam suntuk, lalu ada burung berwarna hijau (balang) yang hinggap di surau tersebut, dan berkata “Kenapa Engkau menangis?”, lalu pemuda itu berkata, ”Saya ada ujian ketiga yang diberikan raja, yaitu saya harus memilih belige milik istri saya dari tujuh belige yang ada di kerajaan”, lalu balang tersebut berkata, “Esok hari saya akan menghinggapi belige milik istri kamu dan kamu pilihlah belige itu.” Lalu keesokan harinya, balang itu hinggap di belige milik istrinya dan pemuda itu langsung memilih belige itu, lalu berkata kepada raja “Inilah belige milik istri hamba, raja.”

... Lalu pemuda tersebut pergi kembali ke surau dan berdoa, lalu ketika berdoa datanglah ane-ane ‘rayap’ dan berkata “Wahai pemuda, kenapakah Engkau menangis dan bersedih?” Lalu pemuda itu berkata “Saya ada ujian terakhir, apabila saya melewati ujian ini maka saya dapat mengambil istri saya kembali, ujiannya adalah saya harus memotong pohon yang sangat besar itu dalam sekali tebas”.

Beberapa kutipan dalam cerita rakyat tersebut merepresentasikan bahwa pemuda sebagai tokoh utama dalam cerita Pito Punteri ‘Tujuh Putri’ adalah seorang muslim yang taat dalam menjalankan ibadah agamanya. Hal itu, dapat dilihat dari sikap pemuda tersebut dalam mempraktikkan nilai-nilai ajaran agama dalam peribadatannya kepada Allah. Terlihat ketika pemuda tersebut mendapat masalah maka hal pertama yang pemuda itu lakukan adalah beribadah dan berdoa di surau kepada Tuhan untuk mendapatkan jalan keluar atas setiap masalah yang dihadapinya. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa beribadah adalah bentuk dari causa sine qua non bagi umat yang beriman.

Tokoh pemuda dalam cerita rakyat Pito Punteri adalah salah satu contoh dan tolok ukur manusia dalam menyikapi persoalan kehidupan yang dihadapi. Banyak orang-orang yang salah mengambil keputusan tatkala persoalan datang, sehingga keputusan yang diambil pun jauh dari hasil yang diharapkan. Dari cerita ini, dapat dijadikan contoh kehidupan seorang pemuda muslim yang taat dan setia dalam menjalankan ajaran agamanya sehingga ketika mendapati persoalan atau masalah di luar kemampuan logika manusia namun Tuhan memberikan jalan yang tepat dan waktu yang tepat dalam mengatasi masalah tersebut.

3.2.3 Dimensi Pengalaman/Pengetahuan

Dimensi pengalaman/pengetahuan terhadap ajaran agama merupakan suatu

(12)

pemahaman manusia dalam mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya ke dalam praktik perilaku kehidupan. Hal yang tersulit dalam mengamalkan nilai-nilai ajaran agama ke dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika manusia mendapatkan suatu cobaan dalam hidupnya maka manusia tersebut dituntut untuk dapat bertahan mempraktikkan pengetahuannya terhadap ajaran agamanya atau sebaliknya manusia tersebut jatuh ke dalam cobaan tersebut dan berakhir dalam kegagalan dan dosa. Dari analisis terhadap cerita Pito Punteri ‘Tujuh Putri’ terlihat bahwa pemuda tersebut memiliki pengetahuan terhadap amalan agamanya, hal itu terlihat dari kutipan cerita berikut.

...”Setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, ketika lahiran putra pertama mereka, tidak lupa sang suami mengazankan ke telinga kanan anaknya dan mengikamahkan ke telinga kiri.”

Kutipan dari cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’ tersebut dapat dikategorikan ke dalam dimensi pengalaman atau pengetahuan tentang agama, yaitu pengalaman atau pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam “Fikih”. Kutipan tersebut mempresentasikan bagaimana seharusnya anak-anak yang baru lahir harus diazani dan diistikamahkan oleh orang tuanya supaya anak yang baru lahir tersebut sudah meresapi keagungan Allah di dalam awal kehidupan dan orang tua yang mengazani tersebut memiliki tanggung jawab memulai kehidupan anak tersebut agar tetap berjalan di jalan Allah nantinya.

3.2.4 Dimensi Ihsan/Penghayatan

Dimensi ihsan atau penghayatan merupakan realisasi dari pengamalan nilai agama terhadap suatu hal yang dialami manusia, baik peristiwa suka atau duka, sehat atau sakit semuanya itu dapat diungkapkan dengan rasa syukur dalam hidup manusia.

Kesadaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang berujung pada kebaikan dan kebahagiaan merupakan bagian dari kepercayaan terhadap apa yang diyakini manusia dalam ajaran agamanya. Pencitraan dimensi ini dalam cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’ dapat dilihat dari kutipan berikut.

... ”Melihat hal itu, pemuda tersebut sujud syukur dan berdoa di surau lalu dia pun pulang kembali ke bumi membawa alat-alat suci tersebut bersama istrinya ke bumi.”

Kutipan dari cerita tersebut merupakan wujud penghayatan rasa syukur tokoh pemuda dalam cerita karena dapat bersama kembali dengan istrinya. Bentuk syukur adalah bentuk dari causa proxima terhadap apa yang menjadi akhir perjuangan manusia.

Rasa syukur kepada Allah dipresentasikan dalam bentuk doa. Bentuk doa syukur merupakan kesadaran seorang pemuda yang beriman terhadap ajaran agamanya agar menyikapi setiap hasil dari perjuangan itu dengan beribadah kepada Allah yang menjadi sumber jawaban di setiap persoalan kehidupan manusia.

(13)

3.2.5 Dimensi Pengamalan dan Konsekuensi

Dimensi pengamalan dan konsekuensi ini merupakan wujud dalam mengamalkan nilai-nilai keagamaan yang diyakini dalam bentuk ketaatan terhadap perintah agama, peduli terhadap sesama, dan menjaga lingkungan sosial dan lingkungan. Dimensi pengamalan dan konsekuensi dari cerita rakyat Pito Punteri ‘Tujuh Putri’ adalah sebagai berikut.

... Sesampainya di bumi, pemuda itu mendatangi beberapa pemuda yang baik dan akrab yang selama ini dia kenal. Kemudian pemuda itu mengutus empat orang untuk menerima barang-barang suci itu. Orang-orang yang diutus tersebut bernama Sigogo, Sulemagogo, Himalasak, Makani yang diutus untuk menyiarkan agama Islam ke seluruh pulau di daerah timur.

Dari kutipan cerita ini, tampak dari wujud pengamalan dan ketaatan pemuda itu dalam mematuhi amanat yang diberikan raja langit agar memberikan barang- barang suci pemberian raja kepada orang-orang yang tepat. Hal itu membuat dimensi pengamalan pemuda tersebut berorientasi pada tindakan-tindakan yang membawa dampak positif bagi orang lain atau lingkungan sosialnya. Pengamalan ajaran agama ke dalam praktik kehidupan merupakan perbuatan baik yang mendatangkan pahala hal itu dilakukan dengan tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia (memberi derma, membantu korban bencana, menolong penyandang cacat, orang jompo, dan yatim piatu).

4. SIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ada lima dimensi religiositas dalam cerita tersebut, yaitu.

1. Dimensi keyakinan diwujudkan melalui perilaku tokoh pemuda tersebut bahwa ke mana pun dia pergi kalau memiliki niat baik dan lurus maka Allah akan melindungi. Salah satu sikap dan perilaku yang menunjukkan tingkat keimanan manusia kepada Allah itu tinggi adalah ketika manusia mengakui akan kebesaran dan pertolongan Allah kepada umat yang dikasihinya.

2. Dimensi peribadatan diwujudkan melalui tokoh pemuda dalam cerita melalui sikap muslim yang taat dalam menjalankan kewajiban agamanya. Hal itu, dapat dilihat dari sikap pemuda tersebut ketika mendapat masalah maka hal pertama yang dilakukan adalah beribadah dan berdoa kepada sang pencipta untuk mendapatkan jalan keluar atas setiap masalah yang dihadapi.

3. Dimensi pengalaman/pengetahuan diwujudkan melalui tokoh pemuda dalam cerita yang menerapkan pengalaman atau pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam “Fikih”, yaitu bagaimana seharusnya anak-anak

(14)

yang baru lahir harus diazani dan diistikamahkan oleh orang tuanya agar anak baru lahir tersebut meresapi keagungan Allah di dalam awal kehidupannya dan orang tua yang mengazani tersebut memiliki tanggung jawab memulai kehidupan anak tersebut agar tetap berjalan di jalan Allah nantinya.

4. Dimensi ihsan/penghayatan diwujudkan melalui tokoh pemuda yang merepresentasikan wujud penghayatan syukur karena dapat bersama kembali dengan istrinya. Rasa syukur kepada Allah dipresentasikan dalam bentuk doa.

Doa syukur merupakan kesadaran seorang yang beriman kepada Tuhan dengan menyikapi setiap hasil perjuangan itu dengan beribadah kepada-Nya.

5. Dimensi pengamalan dan konsekuensi diwujudkan melalui tokoh pemuda dengan mematuhi amanat yang dititipkan agar memberikan barang-barang suci pemberian raja kepada orang-orang yang tepat. Hal itu membuat dimensi pengamalan pemuda tersebut berorientasi pada tindakan-tindakan yang membawa dampak positif bagi orang lain atau lingkungan sosialnya. Pengamalan ajaran agama ke dalam praktik kehidupan merupakan perbuatan baik yang mendatangkan pahala hal itu dilakukan dengan tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia (memberi derma, membantu korban bencana, menolong penyandang cacat, orang jompo, dan yatim piatu).

DAFTAR PUSTAKA

Clayton, R. R., & Gladden, J. W. (1974). The Five Dimensions of Religiosity: Toward Demythologizing a Sacred Artifact. Journal for the Scientific Study of Religion.

https://doi.org/10.2307/1384375

Danandjaja, J. (2015). Pendekatan folklor dalam penelitian bahan-bahan tradisi lisan.

In Metodologi kajian tradisi lisan (Rev. ed).

Endraswara, S. (2006). Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta. Jurnal Komunikasi Malaysian Journal of Communication.

Lexy J. Moleong, D. M. A. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT.

Remaja Rosda Karya. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.02.055

Powdermaker, H., Bois, C. Du, Kardiner, A., & Oberholzer, E. (1945). The People of Alor, A Social Psychological Study of an East Indian Island. American Sociological Review. https://doi.org/10.2307/2086147

Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. In Metodologi Penelitian.

Sanubarianto, S. T., & Kembaren, E. S. (2020). Dimensi Religiositas Masyarakat Amarasi Barat dalam Mantra Boifanu. Alayasastra. https://doi.org/10.36567/aly.v16i2.712 Semi, M. A. (1988). Anatomi Sastra. In M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa

Raya, 1988), Cet. Ke-1, h. 36.

(15)

Sunarti, S. (2015). Mendengar Nenek Moyang Turun dari Langit: Motif Cerita Asal- Usul Suku di Alor. In Laporan (1st ed.). Jakarta.

Sunarti, S., Atisah, A., Suryami, S., & Firdaus, W. (2019). Lego-Lego: An Attempt to Cultivate and Nurture Plurality and Multiculture in the Alor Tradition. https://doi.

org/10.4108/eai.8-12-2018.2283970

Referensi

Dokumen terkait

Capaian Sasaran Strategis Meningkatnya Kualitas Kinerja Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, Bebas KKN serta Meningkatnya Kualitas Perencanaan dan Implementasi

Penelitan mengenai Peningkatan Motivasi dan Prestasi Belajar IPS pada materi perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi melalui metode karya wisata telah dilaksankan

Negeri 1 Palembang ini merupakan sistem yang memberikan informasi kepada setiap guru mata pelajaran dan walikelas ketika ingin melakukan penginputan data nilai hasil

Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah suatu bentuk pendidikan dengan cara memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk hidup di tengah – tengah masyarakat di

Sumber primer adalah sumber asli atau data bukti yang sezaman dengan peristiwa yang akan diungkap. Sumber primer juga bisa disebut sumber langsung, antara lain

Kemampuan berkomunikasi yang baik sangat diperlukan dalam komunikasi antarbudaya. Dengan komunikasi yang baik suatu pesan akan lebih mudah untuk dipahami oleh penerima

Kondisi pertumbuhan dengan HD bands yang lebih dari satu tersebut tampaknya tidak hanya terjadi di daerah studi dan perairan pantai utara Jawa Tengah, namun juga terekam di

Kesengajaan untuk mencapai tujuan, si pelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku