commit to user 7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Status Gizi
Anak merupakan aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan upaya yang penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Kualitas hidup anak dapat dilihat kesehatannya yaitu melalui keadaan status gizi yang baik dan merupakan salah satu indikator pembangunan. Status gizi pada anak merupakan satu dari delapan tujuan yang akan dicapai dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yang di adopsi dari PBB tahun 2000 (Todaro, 2005).
Kekurangan gizi pada anak akan meningkatkan kematian, di negara berkembang 60 % kematian anak diperkirakan berhubungan dengan malnutrisi.
Malnutrisi dapat menghalangi pertumbuhan fisik, meningkatkan resiko penyakit infeksi (gastroenteritis, pneumonia, tuberkulosis) dan dapat menyebabkan komplikasi obstetrik yang serius. Pendekatan diet yang penting untuk mengatasi masalah malnutrisi pada anak di negara yang berkembang termasuk suplementasi dengan nutrien tertentu (misal suplementasi besi untuk anak yang menderita anemi), fortifikasi bahan makanan yang sering dikonsumsi (misal iodisasi pada garam) dan perubahan makan (misal meningkatkan asupan makanan hewani atau mendorong metode pengolahan seperti fermentasi yang mengurangi fitat sereal serta tanaman polong yang tidak diolah) (Mann, Truswell, 2014).
Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tinggi badan dengan nilai IQ anak (Lawlor, Batty, Morton, et al. 2005). Anak berusia 3-6 tahun yang mengalami malnutrisi memiliki risiko 1,9 kali lebih besar untuk mengalami hambatan pertumbuhan dibandingkan anak yang status gizinya normal (Nanthamongkolchai, Ngaosusit, Munsawaengsub, 2007).
Anak usia sekolah merupakan tahapan yang memerlukan perhatian khusus mengenai asupan zat gizi. Hal ini dikarenakan pada anak usia sekolah pada
commit to user
umumnya berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan. Perkembangan anak usia sekolah berlangsung tetap dan laten. Pengaturan makanan yang dikonsumsi anak lebih diutamakan yang memenuhi kecukupan energi untuk metabolisme dan pertumbuhan rata-rata (Mahan and Stump, 2004). Anak usia sekolah (6-12 tahun) termasuk kelompok yang rentan mengalami masalah gizi yaitu kekurangan energi dan protein (Yulni, 2013). Menurut hasil penelitian Taras (2005) kekurangan atau kelebihan zat gizi akan terlihat pertumbuhan yang menyimpang dari pola standar yang telah ditetapkan.
Anak-anak sekolah dasar merupakan salah satu kelompok yang rawan mengalami gizi kurang yang diantara penyebabnya adalah tingkat ekonomi yang rendah, asupan makanan yang kurang seimbang dan rendahnya pengetahuan orang tua. Anak sekolah dengan pola makan yang seimbang cenderung memiliki status gizi yang baik (Hapsari, 2011). Bila konsumsi makan tidak baik berdampak pada gizi lebih atau gizi kurang (Anzarkusuma, 2014). Hal ini didukung penelitian Tahir, dkk (2013) bahwa pola konsumsi makan dapat mempengaruhi status gizi anak.
Status gizi anak yaitu keadaan kesehatan anak yang dapat ditentukan oleh zat-zat gizi yang didapatkan dari makanan yang dikonsumsi serta kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh fisik. Dampak fisik dari status gizi dapat diukur dengan metode antropometri (Suhardjo, 2003). Status gizi merupakan hasil dari keseimbangan atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu.
Misal: Gondok endemik merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran iodium dalam tubuh (Supariasa, 2014).
Keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi menentukan seseorang tergolong dalam kriteria status gizi tertentu, dan merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam rentang waktu yang cukup lama (Sayogo, 2011). Status gizi baik memungkinkan perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang paling tinggi (Almatsier, 2009).
Penilaian status gizi dengan pengukuran langsung berupa : antropometri, biokimia, klinis, dan biofisik; dan pengukuran tidak langsung berupa survei konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi. Di masyarakat cara pengukuran
commit to user
status gizi yang paling sering digunakan yaitu antropometri. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa parameter, antara lain : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit.
(Supariasa, 2002).
Indikator pertumbuhan dapat dilihat dari berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Indikator status gizi dapat menyebabkan keadaan kekurangan gizi pada anak yaitu berat badan kurang (underweight), pendek (stunting) dan kurus (wasting) (WHO, 2005).
Ada sedikit perbedaan mengenai klasifikasi status gizi pada anak usia sekolah dasar dengan balita. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1995/Menkes/SK/XII/2010 tahun 2011 tentang Standar Antropomentri Penilaian Status Gizi Anak, penentuan klasifikasi status gizi untuk anak usia SD (termasuk kelompok usia 5-18 tahun) menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U), yaitu:
Sangat Kurus : <-3 SD
Kurus : -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal : -2 SD sampai dengan 1 SD Gemuk : > 1 SD sampai dengan 2 SD Obesitas : > 2 SD
Menurut De Onis et al (2007), penentukan klasifikasi status gizi anak usia 5-10 tahun ke atas menggunakan indikator berat badan menurut umur (BB/U), usia 5-19 tahun menggunakan tinggi badan menurut umur (TB/U), dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) untuk usia 5-19 tahun. Indikator BB/U kurang bagus digunakan pada rentang usia 10-19 tahun karena tidak dapat membedakan tinggi badan dan massa tubuh di mana pada periode usia ini terjadi pubertas, sebagai contoh anak yang pada kenyataannya tinggi bisa saja terdeteksi mengalami kelebihan berat badan. Indikator IMT/U lebih direkomendasikan untuk menilai status gizi pada anak usia 10-19 tahun. Klasifikasi status gizi anak sebagai berikut :
commit to user
a. Klasifikasi status gizi anak usia 5-10 tahun menurut BB/U : Sangat Kurang : < -3 SD
Kurang : -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal : -2 SD sampai dengan 1 SD Lebih : > 1 SD
b. Klasifikasi status gizi anak usia 5-19 tahun menurut TB/U : Sangat pendek : < -3 SD
Pendek : -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal : -2 SD sampai dengan 3 SD Sangat tinggi : > 3 SD
c. Klasifikasi status gizi anak usia 5-19 tahun menurut IMT/U : Sangat Kurus : < -3 SD
Kurus : -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal : -2 SD sampai dengan 1 SD Gemuk : > 1 SD sampai dengan 2 SD Obesitas : > 2 SD
Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut (Riskesdas, 2013) :
a. Klasifikasi indikator TB/U:
1) Sangat pendek : Zscore < -3,0
2) Pendek : Zscore ≥ -3,0 s/d < -2,0 3) Normal : Zscore ≥ -2,0
b. Klasifikasi indikator IMT/U:
1) Sangat kurus : Zscore < -3,0
2) Kurus : Zscore ≥ -3,0 s/d < -2,0 3) Normal : Zscore ≥ -2,0 s/d ≤ 1,0 4) Gemuk : Zscore > 1,0 s/d ≤ 2,0 5) Obesitas : Zscore > 2,0
Hasil penelitian Sidiq (2013) menyatakan status gizi anak yang menderita GAKI di SD Negeri 02 Ngargoyoso Karanganyar Provinsi Jawa Tengah
commit to user
menunjukkan sebagian besar subjek memiliki status gizi stunted sebesar 51,9%, sedangkan anak yang tidak menderita GAKI menunjukkan sebagian besar subjek memiliki status gizi normal sebesar 98,1% hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan status gizi antara anak SD penderita GAKI dan non GAKI.
2. Zat Goitrogenik
Zat goitrogenik merupakan faktor lingkungan yang dapat memperberat Gangguan Akibat Kekurangan Iodium. Zat goitrogenik merupakan senyawa yang dapat mengganggu struktur fungsi hormon tiroid secara langsung dan tidak langsung, serta peran zat goitrogenik pada kelenjar tiroid tergantung pada macam senyawa goitrogenik dan senyawa antitiroid. Salah satu contoh zat goitrogenik adalah senyawa tiosianat. Kerja senyawa tiosianat atau senyawa mirip tiosianat yaitu menghambat ambilan iodium (iodida) oleh kelenjar tiroid dengan kata lain senyawa tiosianat akan mengganggu transport aktif iodium.
Molekul iodida dan tiosianat berkompetisi untuk diangkut ke dalam sel folikular, karena komposisi molekul tiosianat mirip dengan iodida ( Candra et al., 2008).
Penghambatan terhadap transpor aktif iodium ke dalam kelenjar tiroid hanya efektif bila kosentrasi iodium di dalam darah normal atau lebih rendah (Wilson dan Foster, 1992). Suplementasi iodium yang diberikan dalam jumlah yang cukup dan teratur dapat mengatasi masalah hambatan transpor aktif tersebut (Gaitan, 1986).
Tiosianat merupakan zat goitrogenik yang apabila masuk ke dalam tubuh akan bersaing dengan iodium dalam proses sintesis hormon tiroid (trapping) sehingga dapat menghambat penyerapan iodium (Lubis, 2013). Tiosianat terdapat pada sayuran dan umbi-umbian misal bayam, kangkung, kol, daun singkong, daun pepaya, terong, pare, buncis, kacang panjang, ubi, singkong, ganyong, talas, dan sebagainya. Bahan makanan tersebut sering dikonsumsi oleh orang di Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan (Murdiana, 2001;
Martha, 2006). Jenis bahan makan tersebut juga sering dikonsumsi oleh anak SD karena sejak usia 5 tahun makanan anak sudah sama dengan makanan orang dewasa (Thaha, 2002).
Beberapa senyawa dapat menjadi prekursor tiosianat, salah satunya adalah sianogenik glikosida yang terdapat pada beberapa makanan pokok seperti
commit to user
singkong atau ubi kayu. Batas maksimum asupan sianida yang aman dikonsumsi manusia adalah 10 mg (0.4 mmol) dan dosis yang lebih tinggi meningkatkan kadar methaemoglobin pada jaringan dan menimbulkan gejala keracunan (Lundquist, 1985). Adanya ensim rhodanese pada jaringan dan reaksi sulfan- sulfur (asam amino mengandung sulfur dari makanan) akan mengkonversi sianida yang berlebihan menjadi tiosianat yang kurang toksik dan diekskresi melalui urin (Rosling, 1994).
Pemeriksaan tiosianat yang lazim dilakukan adalah dengan mengukur kadar tiosianat dalam urin karena ekskresi tiosianat terbesar melalui urin (Banundari, Tjahjati, 2006). Rasio iodium/tiosianat (I/SCN) dapat digunakan untuk menentukan prevalensi gondok. Rasio iodium/tiosianat (I/SCN) pada keadaan normal yaitu > 7 µg/mg Rasio kritis terjadinya gondok endemik yaitu 3 µg/mg dan bila < 2 µg/mg terjadi kretin ( Delange F, 1989)
Penelitian di India menunjukkan adanya ekskresi tiosianat dalam urin, hal ini mengindikasikan adanya konsumsi bahan pangan sumber goitrogenik seperti kubis, ubi, sawi, dan lainnya pada populasi yang di teliti dan hal tersebut juga berdampak pada pembesaran kelenjar gondok (Chandra et al., 2008). Penelitian epidemiologi di kepulauan Maluku menemukan ada keterkaitan antar daerah endemik goiter dengan konsumsi makanan yang mengandung tiosianat dengan rendahnya kadar EIU (Thaha et al., 2002).
Penelitian Hardinsyah (2004) menyatakan bahwa keadaan ekonomi keluarga berpengaruh besar terhadap konsumsi pangan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendapatan terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan, yaitu pangan yang dikonsumsi akan lebih beragam, sehingga frekuensi konsumsi makanan dalam hal ini makanan sumber zat goitrogenik juga akan berkurang.
3. Iodium
a. Struktur kimia dan fungsi iodium
Iodium merupakan mikronutrien yang sangat dibutuhkan tubuh untuk sintesis hormon tiroid yang berperan sangat vital dalam pertumbuhan otak, sistem syaraf dan fungsi fisiologis organ tubuh (Zimmermann, 2010). Fungsi iodium sebagai bagian integral hormon tiroid, prohormon tiroksin (T4), dan bentuk aktif 3,5,3’ triiodotironin (T3) merupakan regulator utama yang mengatur
commit to user
berbagai proses penting di dalam sel. Hormon tiroid diperlukan untuk pertumbuhan yang normal dan perkembangan jaringan tubuh seperti otak, sistem syaraf pusat, maturasi seluruh tubuh dan diperlukan juga untuk produksi energi dan konsumsi oksigen dalam sel dengan demikian hormon ini akan mempertahankan kecepatan metabolik tubuh (Mann dan Truswell, 2014).
b. Kandungan iodium dalam tubuh
Kekurangan iodium dalam tubuh manusia disebabkan karena keadaan tanah, air dan bahan pangan kurang mengandung iodium. Suatu wilayah dapat menjadi kekurangan iodium disebabkan karena lapisan humus tanah sebagai tempat menetapnya iodium terkikis oleh karena erosi (Ritanto, 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Thaha, terlihat bahwa tidak ada perbedaan kandungan iodium air di daerah endemik GAKI dan non endemik GAKI akan tetapi kandungan iodium dalam tanah terlihat berbeda secara bermakna antara daerah endemik GAKI dan non-endemik (Thaha, 2002)
Iodium terdapat dalam jaringan tubuh dalam bentuk anorganik (iodida) dan organik yang terikat. Tubuh manusia dewasa mengandung sekitar 50 mg iodium dengan 70-80% iodium ditemukan dalam kelenjar tiroid (Mann, Truswell, 2014).
c. Defisiensi Iodium
Defisiensi atau kekurangan iodium dapat menyebabkan produksi hormon tiroid berkurang sehingga mengakibatkan kelainan yang disebut Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI). Kelompok yang rentan terhadap GAKI yaitu Wanita Usia Subur (WUS) yang jika hamil akan berdampak pada janin, ibu hamil, ibu menyususi dan anak-anak (Pusdatin Kemenkes RI, 2015). Menurut Song (2009), iodium merupakan unsur penting untuk perkembangan otak manusia, kekurangan iodium dapat menyebabkan keterbelakangan mental atau bahkan demensia total. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada semua kelompok umur tampak pada Tabel 2.1 :
commit to user
Tabel 2.1. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada semua kelompok umur Tahap perkembangan Kelainan GAKI
Janin/Fetus - Abortus
- Lahir mati (stillbirth)
- Angka kematian perinatal dan bayi meningkat
- Kretin dengan gejala keterlambatan mental, cebol, bisu tuli
- Gangguan psikomotorik
Neonatus - Gondok neonatal
- Hipotiroid neonatal
Anak dan remaja - Gondok, hipotiroid juvenile - Gangguan fungsi mental - Keterlambatan fisik
Dewasa - Gondok dengan segala akibatnya
- Hipotiroid dan gangguan fungsi mental
Semua umur - Gondok
- Hipotiroidisme
- Gangguan fungsi mental
- Peningkatan kerentanan terhadap radiasi nuklir
Sumber: WHO/NHD (2001) Assesment of Iodine Deficiency Disorder and Monitoring Their Elimination: A guide for programme managers, 2 nd end. Geneva, World Health Organization
Di Indonesia, penyakit kelenjar tiroid yang berhubungan dengan kekurangan hormon tiroid berada di antara sejumlah kelainan sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Diagnosis dan terapi berdasarkan kepada prinsip fisiologi dan biokimia hormon tiroid (Granner, 2003). Manifestasi klinis dari GAKI yaitu munculnya gondok atau goiter dan timbulnya kretin. Beberapa manifestasi dari GAKI adalah :
1) Gondok / Goiter
Penyakit gondok atau goiter merupakan salah satu akibat dari GAKI yang sudah dikenal sejak jaman Yunani kuno dan dengan pengobatannya
commit to user
menggunakan tumbuhan laut (sponge), pada tahun 1850 seorang dokter Perancis bernama Chatin menemukan bahwa kandungan iodium dalam tanah berhubungan dengan kejadian penyakit gondok dan mulai abad 20 iodium dikenal sebagai obat untuk penyakit gondok (Wildman dan Medeiros, 2000). Di beberapa negara prevalensi atau kejadian pembesaran kelenjar gondok dapat diturunkan dengan pemberian garam beriodium (Zhao, 1999; Delange, 2001) selain kejadian goiter juga dapat dikurangi dengan pemberian kapsul iodium (Tonglet et al., 1992).
Gondok endemik pada awalnya disamakan dengan GAKI, namun kini orang jelas memisahkannya, sebab gondok hanya merupakan sebagian kecil saja dari spektrum GAKI. Penyebab utama gondok memang defisiensi iodium, tetapi sebab lain juga dikenal : goitrogen, kelebihan iodium, serta status nutrisi pada umumnya (Stanbury, 1980). Mekanisme timbulnya goiter endemik adalah sebagai berikut : kekurangan iodium menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid dan sebagai akibatnya tidak terdapat hormon yang menghambat pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal ini memungkinkan hipofisis mensekresi TSH dalam jumlah berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresi tiroglobulin dalam jumlah besar (koloid) ke dalam folikel dan kelenjar tumbuh makin lama makin besar (Guyton, 1995).
Gondok atau goiter dapat juga disebabkan oleh sejumlah cacat metabolik langka yang diturunkan, yang melukiskan kepentingan berbagai tahapan dalam biosintesis hormon tiroid. Cacat ini meliputi (1) cacat pada pengangkutan atau transport, (2) cacat pada iodinasi, (3) cacat perangkaian, (4) defisiensi enzim deiodinase, dan (5) produksi protein teriodinasi yang abnormal (Granner, 2003).
Pada gambar 2.1 menunjukkan penderita gondok.
commit to user
Gambar 2.1. Penderita Gondok pada Wanita di Indonesia 2) Kretin Endemik
Kretin adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh hipotiroidisme ekstrem pada waktu bayi dan anak yang ditandai oleh kegagalan pertumbuhan (Guyton, 1995). Istilah kretin pada awalnya digunakan untuk bayi yang lahir di daerah dengan asupan iodium rendah serta goiter endemik. Gejala klinis kretin yang menonjol yaitu adanya retardasi mental, postur tubuh pendek, muka dan tangan tampak sembab serta seringkali disertai dengan tuli mutisme dan tanda-tanda kelainan neurologis yang sifatnya irreversible (Greenspan, 2004).
Konferensi Goroka pada tahun 1971 di Papua Nugini dipastikan ada dua komponen besar pada kretin endemik, yaitu hipotiroida dan kerusakan susunan saraf pusat (mental retardasi, tuli perseptif, retardasi neuromotor dan kerusakan batang otak) (Querido, 1971). Seseorang disebut menderita kretin endemik apabila ia lahir di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua atau lebih tiga gejala seperti ini : retardasi mental, tuli perseptif (sensorineutral) nada tinggi, gangguan neuromuskuler. Penderita ini dapat disertai atau tidak disertai dengan hipotiroidisme (Djokomoeljanto, 2002). Pada gambar 2.2 menunjukkan penderita kretin dan gambar 2.3 penderita kretin dan keluarga.
Pembesaran kelenjar gondok grade 2
commit to user
Gambar 2.2. Penderita kretin usia 9 tahun Gambar 2.3. Penderita kretin dan keluarga
di Indonesia di Indonesia
Di Zaire, tipe utama kretin yaitu miksudematus (terjadi atrofi kelenjar tiroid pada hampir semua kasus) (Delange, 1972). Sedangkan di tempat lain kebanyakan tipe neurologik atau campuran (Ibhertson, 1972). Kretin tipe miksedematous menunjukkan tanda retardasi mental dengan derajat yang lebih ringan dibanding dengan kretin tipe neurologi namun biasanya disertai dengan hipotiroid yang berat sejak lahir, gangguan pertumbuhan yang terhambat, gangguan kematangan seksual, kulit kering, maturitas tulang terganggu dan miksedema (Zimmermann, 2009).
Menurut Delong (1989) berkesimpulan bahwa pada kretin neurologik, gangguan klinis yang utama adalah defisiensi intelektual, tuli dan “motor- rigidity” yang mengisyaratkan keterlibatan neo cortex cerebri, ganglion basal dan cochlea (Delong, 1989). Bagian otak tersebut mengalami perubahan yang amat cepat pada trimester dua dan amat vurnerable terhadap kekurangan iodium yang bermanifestasi sebagai hipotiroidisme maternal pada saat ini.
3) Hipotiroidisme
Hipotiroidisme merupakan suatu sindrom klinis akibat dari defisiensi /kekurangan hormon tiroid yang dapat mengakibatkan perlambatan pada proses metabolik tubuh (Greenspan, 2004). Hipotiroidisme terlihat jelas pada kretin tipe miksudematus. Tetapi ternyata hipotiroidisme juga ditemukan pada populasi normal, sehingga hipotiroidisme dapat mengenai siapa saja, asalkan ia
Tinggi 80 cm ayah
ibu
Kakak normal
kretin
adik
commit to user
kekurangan iodium tingkat berat (Goslings, 1977). Pada orang dewasa kekurangan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan meningkatkan konsentrasi hormon Thyroid Stimulating Hormone (TSH) (Ristic-Medic et al., 2009). Sedangkan hipotiroidisme pada anak usia sekolah kadang-kadang tidak menimbulkan gejala atau gejala dapat muncul secara perlahan dan dapat diperbaiki dengan pemberian iodium. Gejala hipotiroid dapat muncul juga pada anak di atas usia sekolah antara lain adalah bradikardi, postur pendek, peningkatan berat badan, kulit kering, pucat, pembesaran kelenjar gondok, miksedema, kelemahan otot dan pubertas prekok (Debra, 2009).
Pada studi prospektif maupun retrospektif menunjukkan bahwa ibu hamil hipotiroid, maka risiko terjadinya abortus akan meningkat, IMR meningkat, retardasi mental dan kelainan kongenital bisa terjadi (Mc. Michael, 1980), sehingga faktor hipotiroidisme ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan fetus. Suatu sindrom yang banyak ditemukan di daerah endemis namun kurang disadari adalah cerebral hypothyroidism dimana gejala yang lain kurang mencolok, tetapi yang nampak hanya letargi dan apati. Hal ini disebabkan karena kekurangan tiroksin di otak dimana sel otak mendapatkan T3 dari hasil perubahan di selnya dengan perantaraan deiodinase II bukan dari produksi kelenjar tiroid (Djokomoeljanto, 2002).
4) Hipertiroidisme
Hipertiroidisme merupakan keadaan tiroid yang terlalu aktif (hiperaktif).
Keadaan ini dapat diketahui dengan cara pemeriksaan darah di laboratorium, jika kadar hormon T3, T4 tinggi dan kadar TSH rendah maka disebut hipertiroidisme. Beberapa jenis hipertiroidisme antara lain yaitu goiter toksika, tirotoksikosa, penyakit grave ( Guyton, et al 1997; Semiardji 2003)
Efek defisiensi iodium juga dapat merugikan kinerja mental anak sekolah tetapi tidak begitu nyata dan efek ini dapat memberikan konsekuensi sosial yang cukup merugikan bagi perkembangan nasional. Metaanalisis terhadap 18 penelitian memperkirakan bahwa skor IQ rata-rata dari anak-anak yang tinggal di daerah kekurangan iodium yang sedang hingga parah adalah 13,5 point lebih rendah daripada anak-anak yang tinggal di daerah yang cukup iodium. Anak- anak sekolah di Albania dengan defisiensi iodium sedang yang diberikan dosis
commit to user
bolus minyak poppyseed yang diberi iodium menunjukkan perbaikan hasil pada empat dari tujuh tes kognitif setelah waktu 24 minggu. Penelitian yang sama pada anak-anak sekolah di Selandia Baru dengan defisiensi ringan yang mengkonsumsi suplemen iodium setiap hari selama 28 minggu menunjukkan peningkatan pada dua hari dari empat tes kognitif jika dibandingkan dengan kelompok plasebo. Efek serebal tidak dicerminkan oleh kadar total hormon tiroid (Mann, Truswell, 2014).
d. Penilaian status iodium
Indikator status iodium dapat dilihat dari kadar iodium dalam urin atau Urinary Iodine Excretion (UIE) dan kadar Tiroglobulin dalam darah.
1) Kadar Iodium dalam Urin
Iodium di dalam urin merupakan indikator biokimia yang non invasive dan marker yang baik untuk menentukan asupan iodium terkini (WHO, 2007). Kadar Iodium dalam urin pada anak usia sekolah dan ibu hamil merupakan indikator yang baik untuk mengukur jumlah asupan iodium, karena 90 % iodium dalam tubuh akan dikeluarkan melalui urin (Zimmermann, 2008). Kadar iodium dalam urin dianggap sebagai penanda biokimia yang dapat digunakan untuk mengetahui asupan iodium dan status iodium populasi serta adanya defisiensi iodium dalam suatu wilayah atau populasi.
Pada Conggres Consultation tahun 1992 oleh WHO, UNICEF, ICCIDD telah disepakati bahwa pengambilan sampel urin untuk pemeriksaan UIE cukup menggunakan urin sewaktu dan tidak perlu lagi menggunakan rasio dengan kreatinin. Urin dapat ditampung dalam botol penampung yang tertutup rapat, tidak perlu dimasukkan dalam lemari es selama masa transportasi dan tidak perlu ditambahkan preservasi (pengawet urin). Setelah sampai laboratorium kemudian urin disimpan dalam lemari es. Dengan penyimpanan dalam lemari es sebelum diperiksa, urin dapat tahan sampai beberapa bulan (Dunn, 1993).
Eksresi Iodium Urin atau Urinary Iodine Excretion (UIE) yang dikumpulkan pagi hari cukup memadai untuk pengukuran iodium pada populasi, sehingga tidak memerlukan contoh urin selama 24 jam (WHO, 2001). Nilai UIE biasanya tidak terdistribusi dengan normal sehingga untuk menginterpretasikan nilai UIE populasi lebih tepat menggunakan median daripada angka rerata
commit to user
(WHO/UNICEF/ICCIDD, 1994). Pengukuran median kadar iodium dalam urin (UIE) pada anak usia sekolah, ibu hamil atau Wanita Usia Subur (WUS) merupakan salah satu indikator untuk menilai kecukupan iodium secara populasi. Gambaran nilai median UIE pada anak sekolah yang tampak pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kriteria epidemiologi pengukuran gizi iodium dalam populasi berdasarkan median dan/atau rentang nilai UIE
Median EIU (µ/L)
Asupan Iodium Status Iodium
Anak sekolah (> 6 tahun)
< 20 Kurang Kurang iodium berat
20–49 Kurang Kurang iodium sedang
50–99 Kurang Kurang iodium ringan
100–199 Cukup Cukup iodium
200–299 Lebih dari cukup Populasi ini berisiko kelebihan asupan iodium
≥ 300 Eksesif Risiko konsekuensi kesehatan
yang tidak diinginkan/ Iodine Induced Hyperthyroidism (IHH) Wanita hamil
< 150 Kurang
150-249 Cukup
250-499 Lebih dari cukup
≥ 500 Eksesif
Wanita menyusui
< 100 Kurang
> 100 Cukup
Sumber: WHO 2013 *)
*) WHO. 2013. Salt reduction and iodine fortification strategies in public health. Report of a joint technical meeting convened by WHO and The Georgr Institute for Global Health in collaboration with The ICCIDD Global Network, Australia, March 2013
Iodium yang masuk ke dalam tubuh akan dicerna dan diabsorpsi serta masuk ke dalam peredaran darah dengan cepat. Sisa iodium yang tidak
commit to user
diabsorpsi akan dikeluarkan melalui sebagian besar melalui urin dan sebagian kecil melalui keringat, feses dan udara pernafasan (Pernnington, 1988)
Penyebab utama seseorang memiliki kadar EIU rendah adalah kurangnya asupan iodium baik dari makanan, minuman ataupun penggunaan garam yang kurang beriodium. Faktor selain asupan antara lain adanya infestasi cacing yang mengganggu absorbsi iodium di usus halus dan konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik (Sulaika, 2010).
2) Tiroglobulin
Kadar iodium urin merupakan indikator yang sensitive untuk melihat konsumsi iodium harian dan untuk melihat konsumsi atau intake iodium mingguan atau bulanan kita bisa melihat dari kadar tiroglobulin darah (Zimmermann, 2008). Saat intake iodium dalam kondisi cukup maka sejumlah tiroglobulin disekresi ke dalam sirkulasi dan kadar serum tiroglobulin normal <
10 µ/liter (Spencer, 1995). Pada daerah endemik goiter akan terjadi peningkatan serum tiroglobulin disebabkan oleh pembesaran sel kelenjar tiroid namun kadar serum TSH, T3 dan T4 masih normal (Zimmermann, 2007).
Kadar hormon tiroid di daerah kekurangan iodium yang sedang sampai berat biasanya tidak berhubungan atau hubungannya sangat lemah dengan kadar iodium urin, namun kadar iodium dalam urin berhubungan erat dengan tiroglobulin serum dan pembesaran kelenjar tiroid (Thomson, 2001).
Tiroglobulin yang dirilis kedalam sirkulasi merupakan indikator ketidak cukupan asupan iodium. Asupan iodium yang rendah menyebabkan terjadi proliferasi sel tiroid yang menghasilkan hiperplasia dan hipertrofi. Keadaan ini meningkatkan kadar serum tiroglobulin (WHO 2001).
Tiroglobulin adalah protein tiroid yang merupakan precursor dalam sintesis hormon tiroid (WHO, 2007). Tiroglobulin merupakan suatu molekul glikoprotein besar yang mengandung 5496 asam amino dengan BM sekitar 660.000 kDa dan koefisien endapan sebesar 19S. Mengandung sekitar 140 residu tirosil dan sekitar 10% karbohidrat dalam bentuk manosa, N-asetilglukosamin, galaktosa, fukosa, asam sialat, dan sulfat kondroitin (Greenspan, 2004).
commit to user e. Asupan iodium dari makanan
Asupan iodium dari makanan sangat bervariasi tergantung dari lokasi geografis, kebiasaan makan dan penambahan iodium dalam garam. Asupan iodium yang adekuat adalah 100-150 µg/hari (Mann dan Truswell, 2014).
Kurangnya konsumsi makanan sumber iodium merupakan faktor resiko terjadinya kekurangan iodium. Kondisi ini disebabkan oleh kandungan iodium dalam makanan sangat kecil dan frekuensi makanan yang tidak menentu, diperberat lagi dengan penggunaan garam yang kandungan iodiumnya < 30 ppm sehingga konsumsi makanan sumber iodium saja tidak mencukupi kebutuhan iodium dalam tubuh (Mus, 2003).
Hasil penelitian di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara pada anak sekolah dasar menunjukkan adanya hubungan antara asupan iodium dengan EIU (p<0,05). Sebagian subyek yang memiliki asupan iodium kurang akan mempunyai kadar EIU yang kurang juga yaitu sebesar 44,9%. Selain itu subyek yang memiliki asupan iodium kurang berisiko untuk menderita GAKI sebesar 23,1% dan subyek yang memiliki asupan iodium kurang namun tidak menderita GAKI jumlahnya lebih besar yaitu 76,9% (Sihotang,Sudargo,Widagdo, 2008).
f. Kebutuhan iodium
Konsumsi iodium sehari-hari yang direkomendasikan WHO adalah 90 µg untuk anak usia pra sekolah (0-5 tahun), 120 µg untuk anak usia sekolah (6-12 tahun), 150 µg untuk orang dewasa ( diatas 12 tahun) dan 200 µg untuk wanita hamil dan menyusui.
Penyakit gondok muncul bila asupan iodium kurang dari 50 µg/hari, dan kretinisme terjadi bila asupan iodium ibu sebesar 30 µg atau kurang. Kebutuhan minimum untuk mencegah penyakit gondok berdasarkan ekskresi iodium dalam urine yang tinggi dalam populasi penduduk kurang lebih 1 µg/kg berat badan/hari. Di kebanyakan negara asupan yang direkomendasikan dalam kisaran 150-200 µg/hari. Jumlah asupan ini sudah cukup untuk mempertahankan fungsi tiroid normal yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Asupan iodium untuk ibu hamil lebih tinggi yaitu sebesar 200-230 µg/hari dan 200-290 µg/hari untuk ibu menyusui (Mann dan Truswell, 2014)
commit to user g. Sumber iodium
Selain garam beriodium dan kapsul minyak beriodium sumber iodium lainnya adalah makanan yang berasal dari laut, seperti ikan laut, cumi-cumi, udang, kerang-kerangan, hidangan laut dan rumput laut kaya akan iodium dan merefleksikan kansentrasi iodium yang lebih besar dalam air laut dibandingkan dengan dalam air segar Kandungan iodium dalam ikan laut rata-rata 832 μg/kg (Mann dan Truswell, 2014).
Sumber iodium di alam dalam bentuk iodida dengan sebaran yang meluas, tetapi dengan distribusi yang tidak merata. Laut merupakan tempat penampungan iodium yang besar dan salah satu jalan masuk iodium ke dalam rantai makanan manusia yaitu melalui transfer iodium dari laut ke atmosfer kemudian akan sampai ke tanah melalui hujan dan tersimpan ke dalam tanah dan kemudian masuk ke tumbuhan dan hewan (Chance et al., 2007).
Iodium di laut dalam bentuk iodida maupun iodat dan distribusinya tergantung kedalaman dan letak geografis. Bentuk termodinamik iodium yang stabil pada air laut adalah bentuk iodat. Di laut iodida diproduksi secara biological melalui reduksi dari iodat. Hanya 5 % iodium bentuk organik terdapat di permukaan laut, 40 – 80 % iodium bentuk organik terdapat di laut coastal (Chance et al., 2007; Ito et al., 2003).
Proses hilangnya iodium dari tanah terjadi saat tanah di daerah pegunungan ketika gletsernya meleleh menyebabkan kandungan iodiumnya juga hampir semuanya hilang, demikian pula tanah di sekitar sungai yang berkali-kali meluap. Proses ini berlangsung terus menerus dan berulang-ulang, sehingga tanah yang kekurangan iodium akan terus berkurang kadar iodiumnya dan tidak ada koreksi secara alamiah, sehingga defisiensi iodium menetap. Akibatnya, di daerah tersebut populasi manusia dan hewan yang sepenuhnya tergantung pada makanan yang tumbuh di daerah tersebut akan menjadi kekurangan iodium. Di daerah yang jauh dari laut, air tanahnya mengandung sedikit iodium (Iitaka, 2004; Abraham, 2006; Zimmermann, 2009).
Kadar iodium pada tanaman sangat tergantung pada kandungan iodida tanah dimana tanaman itu tumbuh atau tergantung pada pupuk yang digunakan. Sebagian besar iodium tumbuhan dalam bentuk anorganik (Matovinovic, 1988). Kadar
commit to user
iodium air minum juga tergantung pada kandungan iodium dari batu-batuan dan tanah sumber air berasal. Demikian juga kandungan iodium hewan tergantung pada tanaman yang dimakan dan pakan yang digunakan serta air minum.
Bahan makanan yang mengandung iodium alami banyak ditemukan pada sumber bahan makanan nabati dan hewani di laut. Makanan laut atau seafood merupakan sumber iodium yang baik daripada ikan segar dari air tawar maupun tumbuhan dari darat. Orang Jepang terbiasa mengkonsumsi kerang, rumput laut, dan makanan laut dalam jumlah besar, sehingga asupan iodium hariannya 1-3 mg/hr, dengan UIE yang jauh lebih tinggi daripada penduduk negara lain (Iitaka, 2004). Plankton, ganggang laut dan organisme laut lain berkadar iodium tinggi sebab organisme ini mengkonsentrasikan iodium dari lingkungan sekitarnya.
Ikan laut, cumi-cumi yang dikeringkan juga banyak mengandung iodium (Djokomoeljanto, 2006).
Masyarakat di daerah pegunungan karena jauh dari laut dan akses yang terbatas merupakan orang-orang yang berisiko mengalami kekurangan iodium karena kurangnya sumber iodium alami dalam sumber makanannya (Kennedy et al., 2003). Untuk memenuhinya tidak ada jalan lain kecuali dengan memasukkan unsur iodium dari luar seperti fortifikasi garam.
4. Garam Beriodium
Semua orang membutuhkan garam dan jumlah garam yang dikonsumsi relatif konstan setiap harinya. Pendekatan ini telah digunakan di berbagai negara yang berisiko defisiensi iodium. Target internasional untuk pencapaian konsumsi garam cukup iodium pada rumah tangga adalah 90 persen. Garam dikatakan cukup iodium jika iodium yang difortifikasi dalam garam sebesar > 15 ppm iodium (Zimmermann, 2009a; Andersson, de Benoist, Rogers, 2010).
Untuk mencegah terjadinya GAKI pada seseorang memerlukan iodium 100-150 µg hal ini dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi 6-10 garam beriodium setiap hari dengan asumsi kualitas garam iodium mengandung lebih dari 40 ppm kalium iodat (KIO3). Rendahnya kualitas garam yang dikonsumsi di tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kualitas garam yang beredar di pasar rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam tingkat produksi kehilangan iodium dapat terjadi karena efek kelembaban dan bahan
commit to user
pengepakan yang kurang baik atau keropos sehingga menyebabkan kehilangan 30-80% kadar iodium dalam waktu 6 bulan (WHO/UNICEF/ICCIDD, 2001).
Selain itu faktor cara penanganan garam di tingkat rumah tangga juga akan mempengaruhi kaualitas garam.
Hasil penelitian di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali menyatakan bahwa kadar iodium garam yang rendah merupakan faktor resiko terjadinya GAKI (Ritanto, 2002). Hasil penelitian di Kabupaten Gunung Kidul Propinsi DIY menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kualitas garam dengan tingkat konsumsi garam beriodium yaitu dengan tersediannya garam yang berkualitas baik maka tingkat konsumsi garam beriodium akan semakin baik (Irawati, Hadi, Widodo, 2011)
Garam beriodium dipilih untuk program penanggulangan GAKI jangka panjang karena harganya yang murah, nyaman, serta telah digunakan di banyak negara dan telah terbukti dapat mengeliminasi GAKI (Kartono, 2007). Selain itu, garam mudah ditambahkan pada produk makanan, tidak mengubah warna makanan dan apabila dicampurkan tidak menimbulkan reaksi kimia yang merugikan. Secara universal garam beriodium dapat diproduksi secara masal dari air laut (ICCIDD, 1997).
Pada tahun 1994 WHO dan UNICEF Joint Committee on Health merekomendasikan USI (Universal Salt Iodization) atau iodisasi semua garam merupakan cara yang aman, murah, strategis dan tepat untuk mencukupi kebutuhan iodium untuk semua individu (World Summit for Children, 1994).
Iodisasi garam merupakan strategi intervensi yang paling efektif untuk penanggulangan GAKI (Zimmermann et al., 2008).
Universal Salt Iodization (USI) dengan garam yang kandungan iodium cukup merupakan tanda keberhasilan program di berbagai negara dengan target 90 % lebih rumah tangga menggunakan garam beriodium (WHO, 2007).
Fortifikasi iodium pada garam memiliki beberapa keunggulan, yaitu : (1) garam merupakan salah satu dari sedikit bahan makanan yang dikonsumsi oleh hampir semua orang, asupan harian garam relatif konstan, penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa garam dikonsumsi 5-12 gr/hari (Zimmermann et al., 2002), (2) teknologi iodisasi sederhana dan relatif murah, penambahan iodium
commit to user
dalam garam tidak mempengaruhi warnanya, dan (3) pemantauan kadar iodium dalam garam dapat dimonitor secara sederhana dalam level produksi, retail dan rumah tangga (Zimmermann, 2009).
Kadar iodisasi garam yang sesuai tergantung pada konsumsi garam individu, tingkat endemisitas daerah dan hilangnya iodium dari produsen ke konsumen. Keadaan di tiap negara berbeda dan kadar iodisasi garam antar negara bervariasi dari waktu ke waktu (Delange et al., 2001).
WHO/Unicef/ICCIDD merekomendasikan bahwa dosis iodium yang ditambahkan sebesar 20-40 mg iodium/kg garam, tergantung pada tingkat konsumsi garam di daerah tersebut. Iodium dapat ditambahkan pada garam dalam bentuk kalium iodida (KI) atau kalium iodat (KIO3). Bentuk KIO3 memiliki stabilitas yang lebih tinggi dalam kondisi kelembaban, campuran garam, dan pengepakan yang tidak rapat. Iodium biasanya ditambahkan setelah garam dikeringkan (WHO/Unicef/ICCIDD, 2007).
Penelitian Zimmermann (2007) menunjukkan bahwa intervensi dengan menggunakan garam beriodium dapat mengendalikan GAKI pada kelompok rentan, yaitu : ibu hamil, ibu menyusui, bayi, serta anak-anak di bawah usia 2 tahun. Sedangkan penelitian di beberapa negara menunjukkan iodisasi garam dengan kadar iodium tinggi dapat menurunkan resiko hipotiroid dan menormalkan status iodium meskipun di sisi lain meningkatkan kejadian tirotoksikosis (Dunn, 2002).
Berdasarkan persyaratan SNI Nomor 01-3556.2-1994/Rev 2000 garam konsumsi beriodium harus mengandung iodium yang dihitung sebagai kalium iodat berkisar antara 30 - 80 ppm. Di Indonesia pendistribusian garam berstandar SNI dengan kadar iodium dalam garam > 30 ppm sebagai KIO3 untuk semua penduduk belum mencapai standar yang ditetapkan yaitu belum 90% rumah tangga yang menggunakan garam beriodium (DepKes, 2003).
5. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada Anak SD
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia. Dampak yang ditimbulkan GAKI cukup serius dan dengan spektrum gangguan yang luas dan dapat mengenai semua segmen manusia mulai dari janin hingga dewasa (WHO, 2007).
commit to user
Penyebab Gangguan Akibat Kurang Iodium karena kekurangan iodium.
(Zimmermann, 2010).
Gangguan Akibat Kurang Iodium merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia diantara beberapa masalah gizi yang lain. Masalah gizi di Indonesia yang saat ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014 yaitu masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI), anemia gizi besi, dan zat gizi mikro lainnya. Berdasarkan hasil Survei Nasional Pemetaan GAKI pada tahun 1998, prevalensi gondok endemik sebesar 9,8% dan sekitar 17 juta penduduk yang tinggal di daerah gondok endemik dengan cakupan kapsul yang rendah, sehingga berpotensi lahir kretin baru yang masih tinggi (Muhilal, 2000).
Berdasarkan hasil evaluasi proyek IP GAKI tahun 2003 di 28 provinsi di Indonesia, prevalensi gondok endemik meningkat menjadi 11% dengan nilai median ekskresi iodium urin sebesar 229 μg/ltr (Ditzi, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa asupan iodium sudah cukup, tetapi masalah gondok masih cukup besar, serta masih munculnya lahir kretin baru. Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa median kadar UIE diatas kebutuhan yaitu 224 µg/L dengan 21,9% dengan kandungan UIE > 300 µg/L atau exses. Segmen ini menurut WHO sudah beresiko untuk terjadinya abnormalitas atau iodine induced hyperthyroidism (IIH) (WHO, 2007).
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium merupakan fenomena gunung es dengan puncak manifestasi klinis yaitu kretin endemik. Gangguan akibat kekurangan iodium menghasilkan kumpulan gejala atau spektrum, yaitu mulai dari goiter endemik, hipotiroid, kretin, dan kelainan kongenital (Hess et al., 2002). Pada awalnya yang dimasukkan dalam spektrum GAKI hanya terbatas kepada gondok endemik, kretin endemik, dan hipotiroidisme. Secara epidemiologi spektrum GAKI menjadi lebih lebar dan lebih luas cakupannya.
Hetzel (2005) menyebutkan bahwa GAKI berpengaruh pada manusia dalam seluruh tahap perkembangan hidupnya, mulai dari masa prenatal sampai masa lanjut usia. GAKI dapat menyebabkan keguguran, disabilitas, kerusakan otak, menurunnya produktivitas, serta kualitas hidup. Kelompok rawan GAKI antara lain anak-anak, wanita usia subur, dan wanita hamil.
commit to user
Dampak serius GAKI dapat menyebabkan gangguan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas, kegagalan ekonomi, menurunkan daya tahan, meningkatkan kesakitan dan kematian (Depkes RI, 2004). Anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang rentan terhadap kekurangan iodium sehingga menyebabkan terjadinya kurang gizi (Semba, dkk., 2008).
Hetzel (2004), menyatakan kekurangan iodium mempengaruhi kerja hormon pertumbuhan yang tidak optimal, sehingga sintesis protein kurang optimal dan menyebabkan pertumbuhan tinggi badan pada anak terhambat.
Defisiensi/kekurangan iodium dalam makanan sehari-hari (<50 μg/h) dapat menyebabkan metabolisme zat gizi terutama protein tidak optimal. Metabolisme yang tidak optimal menyebabkan pembentukan organ-organ penting terhambat, sehingga proses pertumbuhan fisik terganggu dan tubuh terlihat pendek/stunted.
Hasil pengukuran antropometri menggunakan indikator tinggi badan menurut umur, anak sekolah yang kekurangan asupan iodium terlihat lebih pendek dibandingkan dengan anak sekolah yang asupan iodiumnya cukup (Hetzel, 2004).
Seseorang yang asupan iodiumnya rendah maka tidak bisa mengeluarkan hormon T3 dan T4 sehingga metabolisme karbohidrat dan protein terhambat, penyerapan kalsium dalam tulang berkurang sehingga hormon pertumbuhan tidak berfungsi secara optimal dan mengganggu pertumbuhan, maka seseorang yang kekurangan iodium cenderung berstatus gizi stunted (Wirjatmadi dan Andriani, 2006).
Gangguan Akibat Kurang Iodium tidak hanya menghambat pertumbuhan fisik tetapi juga menyebabkan rendahnya tingkat kecerdasan pada anak sekolah atau menurunnya kemampuan kognitif. Raven (1974), mendefinisikan kognitif sebagai kemampuan intelektual (intelegensi umum) pada setiap individu yang dapat diukur dengan tes intelegensi. Hasil meta-analisis dari 18 penelitian menunjukkan bahwa kekurangan iodium menyebabkan defisit intelligence quotient (IQ) sebesar 13,5 poin IQ, sehingga dapat disimpulkan tingkat kecerdasan (IQ) anak sekolah yang menderita GAKI lebih rendah dibandingkan anak sekolah yang tidak menderita GAKI (Hetzel, 2004).
commit to user
Hasil penelitian Sutomo (2007) menunjukkan di daerah endemik GAKI berat di wilayah Sulawesi Tenggara didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,01) antara status gizi penderita GAKI dan daerah non GAKI.
Penelitian yang dilakukan oleh Devi (2004), menyatakan bahwa anak yang mengkonsumsi garam tidak beriodium, tinggi badannya lebih pendek dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi garam beriodium.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang mengkaji hubungan status gizi, zat goitrogenik, asupan dan garam beriodium dengan kadar ekskresi iodium urin pada anak Sekolah Dasar, menurut sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun demikian terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
1. Panjaitan (2008) melakukan penelitian tentang Pengaruh karakteristik ibu dan pola konsumsi pangan keluarga terhadap status GAKI anak SD di Kabupaten Dairi tahun 2007. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh karakteristik ibu dan pola konsumsi pangan keluarga terhadap status GAKI anak SD di Kabupaten Dairi.
Metode penelitian survei dengan pendekatan explanatory dengan hasil penelitian : a. Variabel karakteristik ibu sebanyak 54,5% mempunyai tingkat pendidikan
sedang, 78,8 % bekerja, 52,6 % berpendapatan rata-rata diatas Upah Minimum Regional, 60,3 % jumlah tanggungan rata-rata 2-4 orang.
b. Seluruh responden (100%) mengkonsumsi nasi 2x/hari sebagai makanan pokok, 64,1 % mengkonsumsi ubi 1x/hari sumber goitrogenik, 60,9 % kualitas garam tidak memenuhi syarat dan 62,8 % tidak pernah mendapatkan suplemen makanan.
c. Variabel karakteristik ibu yang berpengaruh terhadap status GAKI anak SD meliputi pendidikan (p=0,006), pekerjaan (p=0,001), pengetahuan (p=0,027), pendapatan keluarga (p=0,000), dan jumlah anggota keluarga (p=0,000).
d. Variabel pola konsumsi pangan keluarga yang berpengaruh terhadap status GAKI anak SD adalah konsumsi makanan pokok (p=0.000), konsumsi sumber iodium (p=0,046), konsumsi sumber goitrogenik (p=0,000), kualitas garam (p=0,037) dan suplemen makanan (p=0,020)
commit to user
2. Delima, Sudargo (2007) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian GAKI di daerah pegunungan kapur Wonogiri, Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan GAKI pada anak usia sekolah di daerah pegunungan kapur di kecamatan Kismantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan rancangan penelitian studi cross sectional dengan hasil penelitian sebagai berikut :
a. Kandungan iodium tanah rata-rata 2,59 ppm dan kandungan iodium air rata-rata 2,7 ppb.
b. Hasil analisis regresi dari F test menunjukkan variabel anemia, pola konsumsi zat goitrogenik, protein, iodium, status gizi dan status infeksi bersama-sama berhubungan dengan kejadian GAKI (p < 0,05) dengan R2 0,483.
c. Berdasarkan uji t-test hanya status gizi dan anemia yang berhubungan terhadap status GAKI (p =< 0,05)
3. Shakya, Gelal, Kumar, Lamsal, Kumar, Kumar, Brodie, Shankar and Nirmal Baral (2015), melakukan penelitian tentang Urinary iodine excretion and thyroid function status in school age children of hilly and plain regions of Eastern Nepal.BMC Res Notes (2015) 8:374 DOI 10.1186/s13104-015-1359-6. Tujuan untuk mengetahui hubungan UIE, status fungsi tiroid pada anak sekolah dasar dan kualitas garam rumah tangga. Metode penelitian ini adalah studi cross sectional berbasis masyarakat dengan hasil penelitian :
a. Di Kabupaten Tehrathum dan Morang, 9,5 % dan 7,7% pada anak sekolah (SAC) memiliki nilai UIE <100 mg / L sedangkan 59,5 % dan 41% memiliki nilai gizi iodium > 299 mg / L, dengan median UIE masing-masing 345,65 mg/L dan 270,36 mg / L.
b. Median keseluruhan adalah sebagai berikut, Tg 14,29 mg / L, ft3 3,94 pmol / L, FT4 16,25 pmol / L dan TSH 3,61 mIU / L.
c. Ada korelasi negatif antara UIE dan Tg (r = -0,236, p = 0,003) dan korelasi positif antara UIE dan SIC (r = 0,349, p <0,0001).
d. Ditemukan 19,5%, n = 15 dan 16,7%, n = 13 kasus hipotiroid subklinis di Morang dan Tehrathum.
commit to user
e. Hasil Iodometri titrasi menunjukkan hanya 6,4% (n = 41) dari sampel garam beriodium di tinggat rumah tangga (SIC) <15 ppm.
f. Analisis multivariat mengungkapkan bahwa penggunaan garam beriodium di Kabupaten Tehrathum berkorelasi dengan UIE lebih tinggi.
3. Sarah, Bath, Combet, Scully, Zimmermann, Katharine, Hampshire, Rayman (2015), melakukan penelitian tentang A multi-centre pilot study of iodine status in UK schoolchildren, aged 8–10 years. Eur J Nutr DOI 10.1007/s00394-015-1014-y Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai status iodium pada anak sekolah dasar di Inggris. Metode penelitian ini adalah studi cross sectional dengan hasil penelitian : a. Sebanyak 165 urin sampel, Median konsentrasi iodium adalah 161 mg / L pada
sampel musim dingin (n = 134) dan 127 mg / L di sampel musim panas (n = 31).
Median konsentrasi iodium seluruh kelompok adalah 144 mg / L, untuk proporsi yang tidak sama dari sampel dari dua musim.
b. Anak-anak pada waktu musim panas di klasifikasikan mempunyai iodium cukup menurut Kriteria WHO ( 100-199 mg / L ).
c. Susu merupakan asupan yang positif terkait dengan status iodium.
4. Aburto, Abudou, Candeias, Wu (2014), melakukan penellitian tentang Effect and safety of salt iodization to prevent iodine deficiencydisorders: a systematic review with meta-analyses. WHO 2014, Library Cataloging-in-Publication Data. ISBN 978 92 4 150828 5 (NML Calssifixcation: QV 2823). Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efek dan keamanan konsumsi garam beriodium dalam pencegahan gangguan kekurangan iodium. Metode penilaian studi adalah acak terkontrol (RCT), non-RCT, quasiexperimental, kohort, dan studi cross-sectional dengan hasil penelitian :
a. Garam beriodium secara signifikan mengurangi risiko gondok (non-RCT RR = 0,59 [95% CI = 0,36-0,95]; kohort RR = 0,30 [95% CI = 0,23-0,41]; beberapa PR penampang = 0,18 [95% CI = 0,14-0,22]), kretinisme (multiple cross- sectional OR = 0,13 [95% CI = 0,08-0,20]), kecerdasan rendah (quasi experimental RR = 0,28 [95% CI = 0,21-0,36]; beberapa PR penampang = 0,24 [95% CI = 0,07 untuk 0.82]), dan ekskresi rendah iodium urin (multiple PR penampang = 0,45 [95% CI = 0,34-0,59]).
b. Garam beriodium meningkat secara signifikan intelligence quotient (quasi- eksperimental MD = 8 ∙ 18 [95% CI = 6 ∙ 71-9 ∙ 65]; beberapa MD penampang =
commit to user
10,45 [95% CI = 4 ∙ 79-16 ∙ 11]) dan iodium urin ekskresi (kohort MD = 59,22 [95% CI = 50,40-68,04]; beberapa MD penampang = 72 ∙ 35 [95% CI = 44 ∙ 54- 100,17]).
c. Hasil mengenai efek negatif dari hipotiroidisme menunjukkan tidak ada hubungan (kohort OR = 1,14 [95% CI = 0,84-1,53]; beberapa cross-sectional OR = 1,13 [95% CI = 0,94-1,36]),
d. Hipertiroidisme tidak konsisten dan tergantung pada studi desain (kohort OR = 1,36 [95% CI = 1,12-1,66]; beberapa cross-sectional OR = 0,96 [95% CI = 0,92 1,00]).
e. Garam beriodium memiliki dampak yang besar pada pengurangan risiko gondok, kretinisme, fungsi kognitif rendah dan kekurangan iodium.
f. Pemantauan yang kuat tentang iodisasi garam merupakan program yang penting, guna memastikan tingkat yang aman dan efektif untuk konsumsi iodium, karena negara melaksanakan program untuk mengurangi asupan garam populasi.
5. Yadav, Kumar, Chakrabarty, Pandav (2015), melakukan penelitian tentang A Reliable and Accurate Portable Device for Rapid Quantitative Estimation of Iodine Content in Different Types of Edible Salt. Indian J Public Health 2015;59:204-9 Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai perangkat portabel baru yaitu iCheck yang digunakan untuk memperkirakan kandungan iodium dalam garam. Metode penelitian yaitu validasi perangkat yang dilakukan di laboratorium, dengan hasil penelitian : iCheck Iodium merupakan perangkat handal dan menyediakan metode yang valid untuk estimasi kuantitatif kandungan iodium garam beriodium dalam berbagai jenis garam.
6. Andersson, Karumbunathan, and Zimmermann (2011), melakukan penelitian tentang Global Iodine Status in 2011 and Trends over the Past Decade 1–3. The Journal of Nutrition Epidemiology J. Nutr. 142: 744-750, 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai secara global status iodium regional tahun 2011 dan membandingkannya dengan status iodium WHO tahun 2003 dan 2007. Metode penelitian ini adalah survei konsentrasi iodium urine (UIC) pada anak usia sekolah (SAC) dengan hasil penelitian :
a. Jumlah negara yang kekurangan iodium menurun 54-32 dan sejumlah negara dengan asupan iodium yang cukup meningkat dari 67 ke 105. Secara global,
commit to user
29,8% (95% CI = 29,4, 30,1) Anak Usia Sekolah/SAC (241 juta) diperkirakan memiliki cukup intake iodium.
b. Asia Tenggara memiliki jumlah terbesar Anak Usia Sekolah/SAC dengan intake iodium rendah (76 juta) dan sedikit kemajuan di Afrika, di mana 39% (58 juta) memiliki asupan iodium tidak mencukupi.
c. Intervensi program harus diperpanjang untuk mencapai hampir sepertiga dari populasi global yang masih memiliki iodium tidak mencukupi.
7. Omar, Desouky (2015), Environmental, urinary iodine status and prevalence of goitre among schoolchildren in a high altitude area of Saudi Arabia, Pak J Med Sci 2015;31(2):414-419. Tujuan penelitian ini adalah menilai kekurangan yodium, prevalensi gondok antara sekolah dan mengukur yodium lingkungan di kota Taif, Arab Saudi. Metode: Sebuah multistage metodologi cross-sectional cluster sampling yang dilakukan pada 1887 anak sekolah dengan hasil penelitian :
a. Prevalensi gondok adalah 7,4% dan 71% sampel memiliki UIC kurang dari 100 μg/L, menunjukkan hubungan terbalik antara median UIC median dan prevalensi persen gondok.
b. Hasil pemeriksaan T3, T4 dan TSH yaitu 1.05 μg/dL, 6.81 μg/dL, dan 5.69 mIU/L menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara nilai rata-rata iodium urin dan nilai rata-rata dari kedua T3 dan T4.
c. Korelasi negatif yang signifikan antara nilai rata-rata iodium urin dan nilai rata- rata dari TSH
8. Irawati, Hadi, Widodo (2011). Tingkat konsumsi garam beryodium dan kaitannya dengan gangguan akibat kekurangan yodium ibu hamil, Jurnal Gizi Klinik Indonesia 2011,VIII(1). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan tingkat konsumsi garam beriodium ibu hamil dalam rumah tangga dan kaitannya dengan status GAKI ibu hamil. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan cross sectional dan pendekatan secara kualitatif dan kuantitatif dengan hasil penelitian :
a. Ketersediaan garam beryodium menurut : kualitas adalah 81,1% rendah dan 18,9% cukup; jenis garam adalah 17,6% krosok, 77,8% briket, dan 4,6% garam halus ; harga adalah 69,0% tinggi dan 31,0% tidak tinggi ; rasa adalah 36,8%
pahit dan 63,2% tidak pahit.
commit to user
b. Hasil analisis Pearson Chi-Square dengan Odds Ratio menunjukkan bahwa ada hubungan antara kualitas dan jenis garam dengan tingkat konsumsi garam beriodium di rumah tangga.
9. Sihotang, Sudargo, dan Widagdo, Asupan Iodium dan Asupan Goitrogenik Hubungannya dengan Status Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) pada Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatra Utara, Jurnal Gizi Klinik Indonesia, November 1st 2008. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan antara yodium dan asupan tiosianat dan IDD, dan untuk mengidentifikasi perbedaan iodium dan asupan tiosianat berdasarkan tingkat endemik. Metode penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Metode yang digunakan adalah palpasi kelenjar gondok untuk mengukur tingkat endemik, recall makanan, dan kuesioner frekuensi makanan (FFQ), mengukur asupan iodium dan asupan tiosianat, dengan hasil penelitian :
a. Hasil analisis chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan iodium dan IDD (p> 0,05, CI 95%: 0,34-1,18), ada hubungan yang signifikan antara asupan iodium dan iodium urin ekskresi (p <0,05, CI 95%: 2,2-7,2) dengan OR 3,9. Ada hubungan yang signifikan antara SLI dan asupan tiosianat (p <0,05, CI 95%: 3,0-11,3) dengan OR 5,9,tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan tiosianat dan iodium urin ekskresi (p>
0,05, CI 95%: 0,48-1,97).
b. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara iodium dan FFQ tiosianat dan IDD (p> 0,05); tidak ada hubungan yang signifikan (tapi ada kecenderungan) antara FFQ tiosianat dan IDD (p> 0,05).
c. Ada perbedaan yang signifikan dalam asupan iodium, asupan tiosianat, iodium FFQ dan tiosianat FFQ berdasarkan tingkat endemik (p> 0,05).
10. Sihite, Sudargo, dan Adiyanti., Hubungan antara Status Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Status Anemia dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatra Utara, Jurnal Gizi Klinik Indonesia, March 1st 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan GAKI beserta keadaan yang berhubungan erat dengannya pada anak sekolah dasar (SD). Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional selama 3 bulan dengan hasil penelitian :
commit to user
a. Ada hubungan antara status GAKI dan prestasi belajar antara anak-anak sekolah dasar (p = 0,000. Ada juga hubungan antara status anemia dan prestasi belajar antara SD anak-anak (p = 0,001, OR = 2,365), tetapi tidak ada hubungan antara status defisiensi iodium gangguan dan status anemia pada anak-anak sekolah dasar (p = 0,749).
b. Ada hubungan yang signifikan antara status GAKI, status anemia dan prestasi belajar anak SD (p = 0,001).
commit to user C. Kerangka Berpikir
Gambar 2.4. Kerangka berpikir hubungan status gizi, zat goitrogenik, asupan dan garam beriodium dengan kadar ekskresi iodium urin pada anak Sekolah Dasar
Variabel Bebas : Status gizi, zat goitrogenik, asupan dan garam beriodium Variabel Terikat : Kadar ekskresi iodium urin pada anak Sekolah Dasar (SD)
Faktor Internal : 1. Frekuensi, jenis,
jumlah/harian makanan yang dikonsumsi
2. Asupan pangan yang
mengandung zat goitrogenik 3. Kadar iodium dalam garam
(ppm) 4. Kecacingan
5. Status gizi (IMT/U)
Faktor Eksternal :
1. Daya beli dan ketersediaan pangan sumber iodium 2. Pengetahuan gizi ibu 3. Budaya gizi keluarga 4. Kebijakan garam beriodium
(Pemda setempat)
5. Operasi pasar kandungan iodium pada garam (Pemda setempat)
Kadar EIU pada Anak SD (Pemeriksaan EIU) Asupan Iodium/Anak/Hari
Pemeriksaan Zat Goitrogenik (ETU)
Pemeriksaan Garam Beriodium (Titrasi)
Recall 3 x 24 Jam
commit to user D. Hipotesis
1. Ada hubungan status gizi dengan kadar ekskresi iodium urin pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora.
2. Ada hubungan zat goitrogenik dengan kadar ekskresi iodium urin pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora.
3. Ada hubungan asupan iodium dengan kadar ekskresi iodium urin pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora.
4. Ada hubungan garam beriodium dengan kadar ekskresi iodium urin pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora.