• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. a. Struktur Anatomis Usus Halus. duodenum, jejunum, dan ileum (Drake et al., 2015).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. a. Struktur Anatomis Usus Halus. duodenum, jejunum, dan ileum (Drake et al., 2015)."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Usus Halus

a. Struktur Anatomis Usus Halus

Usus halus merupakan bagian dari traktus digestivus terpanjang yang membentang dari orificium pyloricum hingga plica ilecaecalis.

Bentuk usus halus menyerupai tabung dengan diameter yang semakin mengecil menuju ke bagian distal. Usus halus manusia memiliki panjang 6-7 meter yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum (Drake et al., 2015).

Duodenum merupakan bagian usus halus dengan letak paling proksimal, merupakan organ retroperitoneal, dan berbentuk melengkung seperti tapal kuda. Duodenum memiliki panjang sekitar 25 sentimeter dan terletak pada regio epigastrica serta umbilicalis abdomen. Duodenum memiliki bagian yang merupakan muara dari duktus koledokus dan duktus pankreatikus yang disebut dengan ampula vateri.

Jejunum merupakan bagian dari usus halus setelah duodenum.

Jejunum memiliki panjang sekitar 2-3 meter dengan bentuk berkelok-kelok. Karakteristik dari jejunum yang membedakkanya dengan ileum

(2)

adalah penampangnya yang lebih lebar, dinding otot polos yang lebih tebal, arkade arteri hanya 1-2 lapis, dan mengandung sedikit plak peyeri.

Ileum merupakan bagian terminal dari usus halus yang berhubungan dengan usus besar melalui katup ileosekal. Katup ileosekal berfungsi untuk mencegah terjadinya aliran balik dari usus besar kembali ke dalam ileum. Jejunum dan ileum memiliki alat penggantung yang disebut dengan mesenterium (Moore et al., 2014).

Gambar 2.1. Struktur Anatomis Usus Halus (Tortora & Derrickson,2011)

b. Struktur Histologis Usus Halus

Sebagai salah satu bagian saluran pencernaan, usus halus memiliki struktur dinding yang terdiri atas empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Lapisan mukosa usus halus disusun oleh sel epitel permukaan, lamina propia, dan muskularis mukosa. Vili-vili usus halus dilapisi oleh sel epitel kolumner selapis (sel absortif), sel goblet, sel paneth, sel enteroendokrin, dan sel punca. Kripte intestinal atau crypts of

(3)

Lieberkuhn terdapat diantara vili yang merupakan kanal dari kelenjar tubular. Selain mengandung jaringan ikat, pembuluh darah, dan pembuluh limfatik, lapisan submukosa usus halus juga mengandung pleksus submukosa. Lapisan muskularis disusun oleh sel-sel otot polos dan terbagi menjadi dua sublapisan, lapisan interna/sirkular dan lapisan eksterna/longitudinal. Lapisan serosa merupakan lapisan yang terdiri atas jaringan ikat longgar yang tipis, kaya akan vaskularisasi, pembuluh limfatik, dan jaringan adiposa, serta dilingkupi oleh mesotelium (Junqueira et al., 2012) .

Nodulus lymphoideus agregatus submucosus atau yang dikenal

sebagai plak Peyer merupakan kumpulan dari nodulus limfoid yang banyak ditemukan pada bagian terminal usus halus. Plak Peyer terletak pada lamina propia dan submukosa ileum. Plak Peyer mengandung banyak sel limfosit B, limfosit T, makrofag, dan ditutupi oleh sel epitel khusus yang disebut dengan sel M. Sel M tidak dapat ditemukan pada bagian usus lainnya. Sel M berfungsi dalam proses kekebalan tubuh dalam saluran pencernaan di usus halus dengan melakukan fagositosis benda yang dikenali sebagai antigen luminal dan menampilkannya kepada limfosit dan makrofag di lamina propia untuk merangsang terjadinya produksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut (Eroschenko, 2008).

(4)

Enterosit yang merupakan sel absortif dengan bentuk sel kolumner memiliki inti sel berbentuk oval yang terletak pada bagian basal. Bagian apeks dari setiap sel memiliki lapisan serupa yang disebut dengan brush border. Sel enterendokrin yang dapat ditemukan pada kelenjar intestinal meliputi sel S, sel CCK, dan sel K dengan produk berupa sekret sekretin, kolesistokinin, dan glukose- dependent insulinotropic peptide (GIP) (Tortora dan Derrickson, 2011).

c. Fungsi Usus Halus

Usus halus merupakan tempat utama terjadinya penyerapan sari-sari makanan. Dalam melakukan penyerapan sari-sari makanan, usus halus melakukan gerakan pencampuran dan peristaltik.

Gerakan pencampuran disebut juga gerakan segmentasi yang mencampur zat makanan dengan sekret pankreas, hepatobilier, dan usus halus. Aktivitas gerakan usus halus dipengaruhi oleh sinyal saraf dan hormon. Refleks gastroenterik yang dimulai dari distensi Gambar 2.2. Struktur Histologis Usus Halus : Duodenum Potongan Transversal

Pewarnaan Hematoksilin Eosin, Pembesaran 25 Kali (Eroschenko, 2008).

(5)

lambung akan diteruskan terutama melalui pleksus mienterikus ke sepanjang usus halus. Selain oleh sinyal saraf, hormon seperti hormon kolesistokinin, gastrin, insulin, motilin, dan serotonin dapat meningkatkan motilitas usus sedangkan hormon sekretin dan glukagon dapat menghambat motilisitas usus halus. Fungsi pergerakan peristaltik usus halus adalah mendorong kimus menuju ke katup ileosekal.

Penyerapan lemak dalam usus halus umumnya dimulai dari proses emulsifikasi lemak untuk memecah lemak secara fisik ke ukuran yang lebih kecil. Setelah mengalami emulsifikasi, hidrolisis trigliserida oleh lipase pankreas terjadi. Proses hidrolisis trigliserida merupakan proses yang bersifat reversibel. Garam empedu membantu mencegah terjadinya reaksi reversibel dari hidrolisis trigliserida dengan cara membentuk misel. Bentuk misel menjaga lemak menjadi larut dalam air dan stabil sampai dilakukan penyerapan ke dalam darah. Misel garam empedu juga memiliki peran untuk transportasi untuk mengangkut monogliserol dan asam lemak bebas menuju brush border epitel usus. Setelah melalui proses difusi pasif dan asam lemak diabsorpsi ke dalam darah, garam empedu dilepaskan kembali ke dalam kimus untuk dipakai sebagai medium transport berikutnya (Hall & Guyton, 2011).

(6)

2. Diet Tinggi Lemak

Secara umum, pola makan ideal adalah pola makan dengan komposisi zat gizi makanan yang tersusun oleh 50% karbohidrat dengan indeks glikemik rendah, 30% lemak, dan 20% protein. Diet tinggi lemak adalah pola konsumsi makanan yang dibuat dari bahan alami kaya kandungan lemak atau melalui proses masak yang menggunakan minyak.

Jenis lemak utama yang terkandung dalam makanan merupakan triasgliserol, fosfolipid, dan sterol (Barasi, 2007).

Salah satu jenis asam lemak yang dapat menganggu kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak adalah asam lemak tak jenuh “trans”.

Asam lemak tak jenuh “trans” banyak terdapat pada bahan makanan yang berasal dari produk hewani seperti susu dan daging. Selain itu, asam lemak tak jenuh “trans” dapat terbentuk dalam proses pengulangan penggorengan (deep frying) yang kadarnya meningkat seiring penggunaan minyak (Sartika, 2008). Pemberian asam lemak tak jenuh “trans” dari margarin yang dipanaskan dan minyak nabati yang dihidrogenasi mengakibatkan hipertrigliseridemia pada plasma tikus dan kenaikan berat badan (Tuminah, 2009). Konsumsi Asam lemak tak jenuh “trans” dapat meningkatkan kadar LDL (low density lipoprotein) dan menurunkan kadar lipoprotein protektif seperti HDL (high density lipoprotein) yang dapat meningkatkan jejas pada jaringan dan peningkatan risiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular (Silalahi & Nurbaya, 2011).

(7)

Metabolisme lemak yang dikonsumsi tubuh terus berlanjut setelah lemak dicerna dan melalui proses absorpsi di usus halus. Asam lemak dan monogliserol yang telah diabsorpsi akan kembali membentuk trigliserida dan bergabung bersama fosfolipid dan apolipoprotein untuk membentuk kilomikron dan melakukan transportasi ke dalam darah. Kilomikron mengalami absropsi ke dalam pembuluh lakteal dan masuk ke dalam pembuluhu limfatik menuju ke ductus thoracicus dan masuk ke peredaran darah melalui vena subclavia sinistra. Apo C-2, salah satu komponen yang membentuk kilomikron mengaktifkan enzim lipoprotein lipase pada jaringan endotel perifer untuk melepaskan asam lemak bebas (Free Fatty Acids, FFA). Asam lemak bebas dapat menuju ke adiposit atau miosit untuk

mengalami proses hidrolisis dan sintesis ATP atau disimpan dalam bentuk trigliserida. Asam lemak bebas yang berikatan dengan albumin dapat ditransportasikan ke bagian tubuh yang lain, seperti hepar (Tortora &

Derrickson, 2011; Hall & Guyton, 2011).

3. Kolesterol

a. Sumber, Metabolisme, dan Peran Kolesterol

Kolesterol merupakan salah satu komponen lipid yang terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan seperti kuning telur, hati, daging dan otak (Botham & Mayes, 2009). Sebesar 80%

kolesterol diproduksi oleh hati dan selebihnya diperoleh dari makanan. Kolesterol tidak mengalami perubahan bentuk saat melalui proses penyerapan, tetapi akan mengalami esterifikasi

(8)

menjadi kolesterol ester yang akan membentuk lipoprotein berupa kilomikron bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein.

Kilomikron adalah bentuk lemak yang akan beredar di peredaran darah (Adam, 2009).

Kolesterol merupakan komponen struktural yang dibutuhkan oleh tubuh. Kolesterol merupakan prekursor dari hormon steroid, vitamin D, hormon seks, dan asam empedu. Selain itu, kolesterol dapat berperan sebagai sumber energi (Graha, 2010). Faktor-faktor yang memengaruhi konsentrasi kolesterol, yaitu diet asam lemak jenuh, faktor genetik seperti hiperkolesterolemia familial, peningkatan jumlah kolesterol yang dicerna setiap hari, keadaan stress, kadar hormon esterogen, dan ada tidaknya kerusakan pada hati (Hall & Guyton, 2011).

b. Efek Hiperkolesterolemia pada Usus Halus

Peningkatan kadar kolesterol dalam plasma dapat menyebabkan hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemia dapat menyebabkan stress oksidatif akibat ketidakseimbangan aktivitas prooksidan dan antioksidan yang mengakibatkan produksi berlebih dari radikal bebas. Salah satu prooksidan yang berperan adalah reactive oxygen species (ROS). ROS dapat mengakibatkan

kerusakan sel jika tidak diimbangi oleh aktivitas antioksidan melalu tiga cara, yaitu peroksidasi lipid, kerusakan protein, dan kerusakan DNA (Kumar et al., 2013). Selain itu, kondisi hiperkolesterolemia

(9)

memiliki hubungan dengan polimorfisme gen yang mengakibatkan kerusakan mitokondria yang menyebabkan kegagalan dalam menangkal aktivitas radikal bebas (Duarte et al., 2009).

Perubahan lemak (fatty changes) dapat terjadi pada kondisi hiperkolesterolemia. Meningkatnya kadar kolesterol darah menyebabkan negative feedback berupa penurunan sintesis reseptor LDL. LDL-kolesterol yang tidak dapat masuk ke dalam sel akan mengalami proses oksidasi yang menyebabkan perubahan bentuk dan penurunan afinitas sehingga semakin sulit untuk dikenali oleh reseptor LDL. LDL teroksidasi akan mengalami proses uptake oleh makrofag yang mengekspresikan scavenger receptors. Makrofag tidak memiliki kemampuan untuk membatasi jumlah kolesterol yang masuk. Kondisi kolesterol yang tinggi dan menyebabkan proses uptake yang melebihi kapasitas makrofag mengakibatkan terjadinya pembentukan droplet/foam cells (Zak et al., 2014).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Chapman dan Sposito (2008) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas vascular endothelin-1, vasokonstriktor yang dihasilkan oleh sel endotel pembuluh darah dan berperan dalam meningkatnya kejadian iskemia pada organ tubuh, seperti otak dan jantung (Chapman &

Sposito, 2008). Perubahan lemak akibat iskemia dapat terjadi sebagai hasil dari proses perbaikan dan hipoperfusi jaringan (Nielsen et al., 2007).

(10)

Diet tinggi lemak dan kolesterol sebagai salah satu pemicu keadaan hiperkolesterolemia juga memiliki dampak terhadap perubahan struktur usus halus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Green et al (2011), panjang vili meningkat pada tikus yang diberi diet tinggi kolesterol. Hal ini berkaitan dengan efek proliferatif yang diberikan jalur biosintesis kolesterol yang menghasilkan zat yang berperan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel seperti asam mevalonik, farnesil firofosfat, dan kolesterol (Green et al., 2011). Ketebalan lapisan usus halus dilaporkan meningkat dengan perlakuan diet tinggi lemak dan kolesterol pada penelitian yang dilakukan oleh Suares et al (2015) yang berkaitan dengan retensi makanan dan berkurangnya motilitas usus. Jumlah sel goblet juga mengalami penurunan akibat stress pada retikulum endoplasma yang disebabkan oleh inflamasi (Suares et al., 2015).

Berdasarkan data dari National Cholesterol Educational Program (NCEP) tingkatan kolesterol total pada manusia dewasa

adalah < 200 mg/dl (optimal), 200-239 mg/dl (diinginkan), >240 (tinggi) (Adam, 2009). Kadar kolesterol total tikus putih (Rattus Norvegicus) menunjukkan angka rata-rata 113,99 ± 2,18 mg/dl dengan nilai minimum 57,14 mg/dl dan maksimum 200 mg/dl (Ihedioha et al., 2013).

(11)

4. Tanaman Kelor (Moringa oleifera, Lam.) 1. Taksonomi

Menurut Mishra et al. (2011), taksonomi tanaman kelor adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Dilleniidae Ordo : Capparales Famili : Moringaceae Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera, Lam. (Mishra e t al., 2011)

Gambar 2.3 Tanaman Kelor (Moringa Oleifera) (Leone et al., 2015)

(12)

2. Deskripsi Tumbuhan

Tanaman kelor (Moringa oleifera, Lam.) merupakan tumbuhan perdu dengan karakteristik daun yang sebesar ujung jari berbentuk bulat telur tersusun majemuk, berbatang lunak rapuh yang banyak dijumpai di daerah tropis dan subtropis. Tanaman kelor (Moringa oleifera, Lam.) dapat tumbuh subur dan dapat bertahan hidup dalam kondisi iklim yang keras atau kondisi kering (Anwar et al., 2007). Tanaman kelor (Moringa oleifera, Lam.) dapat tumbuh baik di dataran rendah sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (Nurcahyati, 2014). Tanaman kelor (Moringa oleifera) dapat dikembangbiakan melalui biji dan cangkok diantara

ph 4.5-8. Beberapa daerah di Indonesia merupakan tempat tumbuh baik bagi tanaman kelor (Moringa oleifera, Lam.), yaitu di Jawa, Sunda, Bali, Lampung, Buru, Madura, Flores, Gorontalo, Bugis, Sumba, Bima, dan Timor. Tanaman kelor (Moringa oleifera, Lam.) dapat berupa semak atau pohon dengan tinggi mencapai 12 meter.

Batang berkayu dengan jenis kayu lunak dan berkualitas rendah, warna kayu cokelat muda. Daun kelor bersirip tidak sempurna, kecil, bentuk seperti telur sebesar ujung jari. Helaian anak daun berwarna hijau sampai hijau kecoklatan, berbentuk bulat telur, tepi daun rata, berujung tumpul dan pangkal yang membulat. Warna kulit akar kuning pucat, bergaris halus terang dan melintang, bentuk tidak

(13)

beraturan, permukaan luar agak licin, permukaan dalam sedikit berserabut, dan konsistensi tidak keras (Anwar et al., 2007).

3. Kandungan Daun Kelor (Moringa oleifera, Lam.)

Daun kelor (Moringa oleifera, Lam.) mengandung zat gizi yang baik bagi kesehatan. Menurut penelitian Leone et al. (2015), kandungan senyawa polifenol dalam daun kelor adalah sebanyak 1600-3400 mgTAE/100g. Senyawa polifenol utama dalam daun kelor adalah flavonoid (quercetin &kaemferol) dan asam fenolat (asam khlorogenik). Senyawa flavonoid seperti quercetin merupakan antioksidan kuat dan dapat juga bekerja sebagai antiinflamasi (Das et al., 2013). Daun kelor juga mengandung senyawa fitokimia seperti alkaloids, sapponins, dan tannins. Selain itu, kandungan nutrisi dalam daun kelor (Moringa oleifera, Lam.) juga kaya akan vitamin dan zat mineral. Berdasarkan, penelitian Mahmood (2011), daun kelor memiliki kandungan vitamin C setara dengan 7 jeruk, kandungan vitamin A setara dengan 4 wortel, kalsium setara 4 gelas susu, dan kalium setara 3 pisang. Berikut merupakan komposisi dari kandungan zat gizi dalam daun kelor :

(14)

Tabel 2.1. Kandungan Vitamin Daun Kelor (Leone et al., 2015) Kandungan (/100gram)

Vitamin A

Vitamin B1-Tiamine

Vitamin B2-Riboflavin

Vitamin B3-Niacin

Vitamin C

Vitamin E- Tocoferol

Beta Karoten

Kalsium

Potasium

92,000 IU

0,24 mg

0.20 mg

3.20 mg

56 mg

16.21 mg

33.48 mg

440 mg

259

4. Manfaat Daun Kelor (Moringa oleifera, Lam.)

Bagian dari tanaman kelor (Moringa oleifera, Lam.) mulai dari akar, kulit, batang, daun, buah (polong), bunga, biji, dan minyak biji dapat dijadikan sumber nutrisi dan pengobatan tradisional seperti peradangan, hematologi, gastrointestinal, dan gangguan hepatorenal (Anwar et al., 2007). Selain itu, daun kelor (Moringa oleifera, Lam.) dapat menjadi bahan pengawet alami. Berdasarkan

(15)

penelitian Shah et al (2015), ekstrak daun kelor (Moringa oleifera, Lam.) dapat menjadi pengawet daging sebagai akibat dari tingginya kandungan senyawa phenolik yang dapat mencegah terjadinya oksidasi lemak pada daging segar selama penyimpanan. Tanaman kelor (Moringa oleifera, Lam.) juga telah diidentifikasi kandungan antioksidannya. Kandungan antioksidannya antara lain, saponins, alkaloids, tannins, fenolik, dan flavonoid (Rajanandh et al., 2012).

Penelitian Yahya dan Rosyida (2016) mengenai pengaruh pemberian ekstrak daun kelor terhadap gambaran histopatologi organ hepar dan ginjal tikus putih hiperkolesterolemia menggunakan dosis 40 mg/ 200gBB dan 80 mg/ 200gBB menunjukkan adanya perbaikan jaringan organ yang diteliti pada hewan coba (Yahya, 2016 ; Rosyida, 2016).

5. Mekanisme Daun Kelor (Moringa oleifera, Lam.) Terhadap Hiperkolesterolemia

Daun kelor memiliki kandungan senyawa polifenol, fitokimia, vitamin dan zat mineral. Bentuk utama senyawa flavonoid dalam daun kelor adalah dalam bentuk flavonoid (quercetin dan kaempferol) dan asam khlorogenik. Kedua zat ini, bersama dengan tannins dan saponins berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menjaga homeostasis mekanisme prooksidan dan antioksidan untuk mencegah terjadinya stress oksidatif (M. Calderon-Montano et al., 2011). Salah satu fitokimia yang terdapat dalam daun kelor adalah

(16)

alkaloid. Alkaloid termasuk dalam kelompok senyawa kimia alami dengan kandungan basa nitrogen yang berfungsi menurunkan lipid serum, seperti β-sitosterol dapat mengurangi kadar kolesterol melalui penurunan kadar low density lipoprotein cholesterol (LDLC) (Atsukwei, 2014). β – sitosterol adalah suatu fitosterol yang memiliki struktur serupa dengan kolesterol dan berkompetisi dengan kolesterol untuk menempati tempat kolesterol dalam misel di usus. Penyerapan kolesterol dalam usus diikuti oleh β – sitosterol yang ikut terserap, sehingga ketika di dalam darah kandungan kolesterol menjadi berkurang (Jain et al., 2010). Kandungan vitamin E melindungi lapisan fosfolipid membran sel dan komponen membran sel dari oksidasi radikal bebas. Kandungan Vitamin C (asam askorbat) mencegah terbentuknya lipid peroksida melalui reaksi dengan oksigen (Chambial et al., 2013).

(17)

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan : : menyebabkan : menghambat

Kerusakan Sel Usus Halus

Intake makanan tinggi lemak Ekstrak daun kelor

(Moringa oleifera, Lam.)

Monogliserol dan asam lemak di usus

Trigliserida dalam kilomikron di limfe

Kolesterol&trigliserida darah

Asam lemak bebas/Free Fatty Acid (FFA) di darah

Esterifikasi oleh hati, trigliserida di hati

Trigliserida berlebih disimpan dalam adiposa

Diedarkan ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah

diserap usus

disekresi ke limfe dan peredaran darah

Masuk ke dalam usus halus

Fagositosis kompleks lipid dengan makrofag dan monosit resident, efek proliferasi kolesterol, dan inflamasi

Perubahan Lemak (Fatty Change) Histopatologi : Panjang Vili

Jumlah Sel Goblet Ketebalan Dinding Usus Halus

Peningkatan aktivitas Vascular Endothelin 1

Vasokonstriksi Pembuluh Darah

Penurunan suplai darah ke dalam organ (usus halus)

β- Sitosterol Vitamin C,E Flavonoid (Quercetin dan

Kaemferol) Tannin, Astragalon, Asam

Khlorogenik

Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran

(18)

C. Hipotesis

Pemberian ekstrak etanolik daun kelor (Moringa oleifera, Lam.) terhadap tikus putih (Rattus norvegicus, L.) model hiperkolesterolemia berpengaruh terhadap gambaran histopatologi usus halus, berupa penurunan jumlah sel yang mengalami perubahan lemak, panjang vili, ketebalan dinding dan peningkatan jumlah sel goblet.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah diperoleh hasil ADD yang optimum dicoba pada sterol dari hasil isolasi ampas tahu dengan kondisi sebagai berikut, penambahan inhibitor enzim α, α’-dipiridil dengan

Pengaruh positif menunjukkan bahwa pengaruh sistim administrasi adalah searah dengan APBD berbasis kinerja atau dengan kata lain sistim administrasi yang

Ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), dan kakap merah (Lutjanus sebae) hanya memiliki sel fotoreseptor berupa sel kon tunggal (single cone) dan sel kon ganda (double

Sesuai isi dari Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/383/2020 tentang Protokol Pengawasan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri di Bandar Udara dan Pelabuhan dalam rangka

[npp pegawai dan password diinputkan] administrasi administrasi administrasi administrasi administrasi administrasi administrasi administrasi administrasi administrasi

Interaksi yang terjadi diantara ketiga obat utama gagal jantung kongestif berdasarkan level signifikansinya adalah digoksin- furosemid (level signifikansi 1) sebanyak

Sebagai pemilik website tentu ingin websitenya dikunjungi banyak orang, tapi kita tidak bisa tahu berapa banyak pengakses website kita tanpa bantuan aplikasi

This is to cerify that the Sarjana thesis of “The Effectiveness of Basic Questioning Technique toward the Students’ Ability in Writing Descriptive Text at