• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Implementasi Kebijakan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kabupaten Kuningan: Studi Kasus Zona Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Ciremai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Strategi Implementasi Kebijakan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kabupaten Kuningan: Studi Kasus Zona Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Ciremai"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Strategi Implementasi Kebijakan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kabupaten Kuningan: Studi Kasus Zona Pemanfaatan

Taman Nasional Gunung Ciremai

Nana Diana1, Bambang Heru Purwanto1, Ipik Permana1

1Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon Email Korespondensi: Nana76.kngn@gmail.com

Abstract

The conservation of Gunung Ciremai National Park is based on Law Number 5 of 1990 concerning the Conservation of Biological Natural Resources and Their Ecosystems. In practice, many conflicts occur between local governments, local communities and the management of TNGC. This is generally due to restrictions on local community access to the area and the lack of fair use of natural resources in the area. This research aims to analyze the problems and obstacles in the implementation of biodiversity conservation policies in the utilization zone in Gunung Ciremai National Park. The research method used is a mix method with a concurrent embedding strategy.

Collecting data using survey methods, interviews, documentation, and questionnaires as supporting data. The research uses the MSN-Approach Kadji theory with data analysis using the Miles and Huberman approach. The implementation strategy is formulated using SWOT analysis.

From the results of the research, it can be concluded that the implementation of conservation policies has not been effective due to several factors: policy implementers have not implemented policies in a fair and balanced manner and the central government's role in management is still dominant. For this reason, several implementation strategies are formulated to overcome the existing problems.

Keywords: Strategy, Policy Implementation, Conservation.

Abstrak

Konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam praktiknya, banyak terjadi konflik antara pemerintah daerah, masyarakat lokal dan pengelola TNGC. Hal ini umumnya disebabkan oleh terbatasnya akses masyarakat lokal ke kawasan tersebut dan kurangnya pemanfaatan sumber daya alam di kawasan tersebut secara adil. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan dan hambatan dalam implementasi kebijakan konservasi keanekaragaman hayati pada zona pemanfaatan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran dengan strategi embedding konkuren. Pengumpulan data menggunakan metode survei, wawancara, dokumentasi, dan angket sebagai data pendukung. Penelitian ini menggunakan teori MSN-Approach Kadji dengan analisis data menggunakan pendekatan Miles dan Huberman. Strategi implementasi dirumuskan dengan menggunakan analisis SWOT. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan konservasi belum efektif karena beberapa faktor: pelaksana kebijakan belum menerapkan kebijakan secara adil dan seimbang dan peran pemerintah pusat dalam pengelolaan masih dominan. Untuk itu, beberapa strategi implementasi dirumuskan untuk mengatasi permasalahan yang ada.

Kata Kunci: Strategi, Implementasi Kebijakan, Konservasi.

(2)

Pendahuluan

Dari segi keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman genetik, Kabupaten Kuningan kaya akan keanekaragaman hayati. Hal menuntut tanggung jawab yang besar terhadap pelestarian dan pemanfaatannya.

Tantangan utama dalam mengelola keanekaragaman hayati adalah menjaga keseimbangan antara mempertahankan fungsi (lingkungan) dan mempertahankan keuntungan (ekonomi). Tantangan ini tidak mudah untuk dihadapi. Hal ini karena sebagian besar keanekaragaman hayati merupakan sumber daya lintas batas dan dikelola oleh berbagai pihak/sektor.

Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan telah menetapkan Kabupaten Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi. Perwujudannya bertujuan untuk mengurangi tekanan penurunan keanekaragaman hayati sekaligus mendorong pemanfaatan sumber daya hayati lokal tanpa mengurangi pendapatan lokal.

Keberadaan Taman Nasional Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan menjadi asset pembangunan yang sangat berharga, dikarenakan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada didalamnya merupakan manifestasi keragaman sumberdaya hayati yang ada di wilayah Kabupaten Kuningan.

Beberapa spesies flora dan fauna yang ada di dalam kawasan ini, merupakan spesies flora dan fauna yang hampir punah dan terancam punah keberadaannya.

Beberapa lainnya merupakan flora dan fauna endemik wilayah setempat. Pada tahun 2006, BKSDA Jabar II menginventarisir beberapa jenis satwa yang ditemukan di kawasan TNGC. Diantaranya terdapat 12 jenis mamalia, 3 jenis reptil, dan 76 jenis burung. Sesuai status IUCN, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori sebagai berikut: Kritis (Critically endangered), Terancam Punah (Endangered), Rentan (Vulnerable), dan Beresiko rendah (Least concern).

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan dasar kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati khususnya di kawasan Taman Nasional ini, yang menjadi benteng pelestarian dalam upaya menjaga eksistensi sumber daya hayati yang saat ini semakin terancam keberadaannya.

Implementasi kebijakan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan TNGC merupakan upaya Pemerintah Pusat yang dibantu pemerintah daerah untuk mengamankan habitat-habitan penting dalam ekosistem alam yang ada pada kawasan ini.

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis implementasi kebijakan konservasi keanekaragaman hayati di Kabupaten Kuningan, khususnya di zona pemanfaatan kawasan TNGC.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat dan mendukung pelaksanaan kebijakan konservasi keanekaragaman hayati di kawasan TNGC

3. Mencari solusi tentang strategi yang perlu dilakukan agar kebijakan konservasi keanekaragaman hayati bisa dilaksanakan untuk pembangunan berkelanjutan.

Metode

Lokasi objek penelitian ini adalah pada zona pemanfaatan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Pemilihan objek penelitian didasarkan pada alasan bahwa pada lokasi ini terdapat keanekaragaman flora dan fauna yang cukup tinggi sekaligus sangat rentan terhadap perubahan fungsi kawasan. Didukung adanya status Gunung

(3)

pengelolaan serta pengamanan kebijakannya.

Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix method) dengan menggunakan strategi embedded concurrent. Metode penelitian kualitatif digunakan sebagai metode primer dengan didukung data-data kuantitatif sebagai data embedded.

Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui wawancara langsung dan mendalam dengan para informan seperti Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kepala Bappeda, Kepala Balai TNGC, Kepala Kebun Raya Kuningan, serta para pemerhati lingkungan di Kabupaten Kuningan. Disamping itu juga dilakukan studi dokumentasi dari data-data yang diperoleh peneliti melalui Balai Taman Nasional, maupun BKSDA Jawa Barat. Dan untuk melengkapi data, dilakukan juga pengumpulan data melalui kuisioner pada 30 responden dari desa-desa di sekitar TNGC untuk memperoleh gambaran kondisi yang berkembang di masyarakat terkait pelaksanaan Kebijakan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kawasan TNGC ini.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Umum Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)

Secara administratif, kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai terbagi ke dalam tiga wilayah administratif yaitu wilayah Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka dan sebagian masuk ke wilayah Kabupaten Cirebon. Kawasan TNGC yang masuk wilayah Kabupaten Kuningan seluas 8.792,21 Ha (59,24%), yang masuk wilayah Kabupaten Majalengka seluas 6.031,26 Ha (40,64%), dan yang masuk wilayah Kabupaten Cirebon 17,83 Ha (0,12%). Batas administratif TNGC sebelah utara adalah Kecamatan Dukuhpuntang Kabupaten Cirebon, sebelah timur Kabupaten Kuningan, sebelah selatah adalah Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan, dan sebelah barat adalah Kabupaten Kuningan. Dilihat dari luasnya, sebagian besar kawasan TNGC berada pada wilayah Kabupaten Kuningan. Ini sekaligus menunjukan bahwa luas area konservasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah Kabupaten Kuningan khusunya di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai sangat besar.

Secara umum, kawasan TNGC yang masuk dalam wilayah administratif Kab.

Kuningan meliputi:

1. Kec. Darma, meliputi: Desa Gunung Sirah, Desa Karangsari, Desa Situsari dan Desa Sagahariang.

2. Kec. Cigugur, meliputi: Desa Babakanmulya, Desa Cigugur, Desa Puncak dan Desa Cisantana.

3. Kec. Kramatmulya, meliputi: Desa Pajambon.

4. Kec. Jalaksana, meliputi: Desa Sadamantra, Desa Sukamukti, Desa Babakanmulya, Desa Sangkanerang, Desa Manis Kidul, dan Sayana.

5. Kec. Cilimus, meliputi: Desa Bandorasa Kulon, Desa Linggasana, Desa Linggajati, Desa Setianegara dan Desa Cibeureum.

6. Kec. Mandirancan, meliputi: Desa Sukasari, Desa Randobawagirang, Desa Trijaya dan Desa Seda.

7. Kec. Pasawahan, meliputi: Desa Cibuntu, Desa Paniis, Desa Singkup, Desa Pasawahan, Desa Padabeunghar, Desa Kaduela, dan Desa Padamatang.

Sesuai Surat keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) No.: SK.176/KSDAE/SET/KSA.0/4/2018 tanggal 16 April 2018, ditetapkan zonasi TNGC dengan Luas 14.841,30 Ha sebagai berikut:

1. Zona Inti, seluas 5.988,25 Ha (40,35%)

(4)

2. Zona Rimba, seluas 3.695,71 Ha (24,90%) 3. Zona Pemanfaatan, seluas 1.194,46 Ha (8,05%) 4. Zona Rehabilitasi, seluas 3.914,62 Ha (26,37%) 5. Zona Khusus, seluas 39,63 Ha (0,27%)

6. Zona Religi, Budaya dan Sejarah, seluas 8,63 Ha (0,06%)

Pembagian zonasi Taman Nasional ini didasarkan pada analisa dengan overlay peta kerentanan kawasan dengan peta aktivitas masyarakat. Hasil analisa ini kemudian dipetakan ke dalam peta indikasi zonasi. Analisa juga dilakukan dengan kajian nilai manfaat perlindungan hutan sebagai fungsi konservasi keanekaragaman hayati dan manfaat ekonomi untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat.

Gambar 1. Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Pola Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)

Untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan seperti diamanatkan pada tujuan pembangunan pada Kementerian LH dan kehutanan tahun 2015 – 2019, pengelolaan TN Gunung Ciremai sejak tahun 2015 – 2016 menggunakan pola pengelolaan secara partisipatif kawasan lindung dengan melibatkan masyarakat sekitar.

Tujuan yang ingin dicapai melalui pola pengelolaan partisipatif ini adalah terwujudnya sistem konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya yang tetap mengedepankan prinsip kelestarian alam dengan pemanfaatan ekologi, sosial, maupun ekonomi oleh masyarakat secara efektif.

Saat ini pengelolaan TN Gunung Ciremai difokuskan dalam 3 bidang kelola, yaitu:

1. Pengelolaan ekologis; 2. Pengelolaan ekonomi; 3. Pengelolaan sosial budaya.

Pengelolaan ekologis ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi dumber daya hayati dan ekosistemnya. Pengelolaan ekonomi bertujuan untuk pencapaian nilai pemanfaatan hutan untuk peningkataan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan. Dan pengelolaan sosial budaya dimaksudkan untuk menguatkan status masyarakat dengan kearifan lokalnya dan berinteraksi membangun nilai-nilai dengan ekosistem TNGC.

(5)

potensi permukaan, potensi di atas permukaan, serta potensi pada kanopi. Pengelolaan ekologis TNGC mencakup ke empat potensi ini. Bawah tanah TN Gunung Ciremai menyimpan berbagai potensi kekayaan sumber daya alam, seperti potensi air tanah, mineral, panas bumi, dll. Pada bagian permukaan atau lantai hutan bisa ditemukan berbagai tumbuhan seperti semak, rerumputan dan serasah. Serasah merupakan guguran dedauan hutan, ranting, batang yang merupakan sumber humus bagi flora yang hidup di tempat tersebut. Serasah juga menjadi rumah bagi berbagai serangga dan mikroorganisme lain. Potensi di atas permukaan diisi oleh berbagai pepohonan atau tumbuhan dengan berbagai spesies. Pengelolaan pada ruang di atas permukaan ini adalah upaya pemanfaatan serta pelestarian berbagai jenis tumbuhan baik tumbuhan produksi maupun tumbuhan yang perlu dilestarikan. Potensi pada bagian kanopi adalah tajuk-tajuk pepohonan yang menutupi lantai dan ruang hutan yang bermanfaat untuk menjaga masuknya sinar matahari sehingga terjaga kelembabannya.

Pengelolaan ekonomi dilaksanakan melalui pemanfaatan keberadaan TNGC dengan berbagai keunikan di dalamnya untuk memberi nilai ekonomi lebih kemajuan dan kemandirian bangsa serta kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan ekonomi ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan untuk berkolaborasi memanfaatkan potensi-potensi yang ada melalui kegiatan-kegiatan pariwisata, penelitian dan ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

Saat ini, TNGC telah memiliki stasiun pusat penelitian (research center station) yang pembangunannya dibiayai oleh CSR PT. Pertamina Asset 3 Jatibarang dan selesai pembangunannya pada Mei 2016. Stasiun Pusat Penelitian TNGC menyediakan fasilitas bagi seluruh pemangku kepentingan dalam dan luar negeri untuk melakukan kegiatan penelitian. Disamping sebagai pusat penelitian, TNGC juga memberikan nilai jasa lingkungan Obyek Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) sebanyak 38 lokasi dimana 25 lokasi telah dipungut PNBP sedangkan sisanya 13 lokasi ODTWA masih dalam proses persiapan sarana dan prasarana serta peningkatan kapasitas SDM kelompok masyarakat pengelolanya. Nilai ekonomi ikutan (multiplier effect) terjadi akibat adanya aktifitas wisata di Kawasan Hutan TNGC yang memberikan nilai manfaat ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai pendapatan bruto pengelola wisatanya. Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan jasa lingkungan wisata dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Lokasi – lokasi wisata alam yang baru pun terbentuk dan dibuka untuk umum seperti Obyek wisata Batu Luhur, Bukit Seribu Bintang, Gunung Putri, Tenjo Laut, Bukit Seribu Harapan, dan Panenjoan Cibalukbuk di sekitar desa-desa sekitar kawasan TNGC. Hal ini menunjukan bahwa aktifitas wisata yang ada telah ikut mempengaruhi perputaran ekonomi masyarakat di daerah penyangga sekitarnya.

Pengelolaan sosial budaya dilakukan di desa-desa sekitar kawasan TNGC.

Pengelolaan sosial budaya ini dilakukan melalui peluncuran lembaga masyarakat desa yang misinya memperkuat status masyarakat sebagai aktor yang memperoleh manfaat dan kesejahteraan dari pengeloaan TNGC, baik dari segi tanggung jawab maupun kapasitas untuk menerima keberadaan TNGC, memperkenalkan potensi TNGC dan kearifan masyarakat lokal dalam membangun interaksi nilai-nilai dengan ekosistem dan pengelolaan TNGC.

Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)

Taman Naisonal Gunung Ciremai dimanfaatkan untuk hal-hal sebagai berikut:

1. Kegiatan Penelitian, Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

(6)

Kegiatan Penelitian, Pendidikan dan Ilmu pengetahuan dilaksanakan melalui: 1.

Pendampingan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati; 2.Perlindungan dan Pengamanan Kawasan. Kegiatan pendampingan meliputi kegiatan pendampingan masyarakat dalam penelitian dan pendidikan yang dilakukan di kawasan TNGC, membawa manfaat ekonomi sebesar Rp. 102.255.000 kepada masyarakat. Identifikasi plasma nutfah yang bernilai penting dalam mendukung keanekaragaman mikro organisme di kedaulatan pangan dan kawasannya, khususnya kawasan TNGC.

Rhizobium leguminosarum dan Bacillus sp telah dapat diidentifikasi sebagai mikro organisme berdasarkan hasil uji laboratorium. Khusus untuk aplikasi mikroorganisme telah terbukti dapat memberikan solusi bagi penngembangan areal bekas tambang di wilayah kerja Pabrik Semen Cibinong yang dilaksanakan bekerjasama dengan fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam (MIPA) IPB.

2. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan

Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan kawasan TNGC dilaksanakan menuju perlindungan kawasan hutan sebagai habitat flora fauna dan pengawetan kekayaan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya secara efektif. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya dirancang sasaran kegiatan secara tematik pada obyek kekayaan hutan yang spesifik seperti, kegiatan patroli habitat satwa, patroli ekosistem rawan kebakaran, pengamanan habitat flora mengandung atsiri (kilemo, huru sintok dan tumbuhan berkhasiat lainnya). Kegiatan ini bertujuan agar fungsi kawasan hutan dan lingkungannya dapat tercapai secara optimal dan lestari serta dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat

3. Jasa Lingkunngan

Kawasan hutan TNGC memiliki potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) sebanyak 38 lokasi dimana 25 lokasi telah dipungut PNBP sedangkan sisanya 13 lokasi ODTWA masih dalam proses persiapan sarana dan prasarana serta peningkatan kapasitas SDM kelompok masyarakat pengelolanya. nilai ekonomi pemanfaatan kawasan untuk wisata yang diperoleh oleh masyarakat pada tahun 2015 sebesar Rp.

19.585.052.500 dan tahun 2016 meningkat menjadi sebesar Rp. 28.356.405.500 . Nilai ekonomi ikutan (multiplier effect) terjadi akibat adanya aktifitas wisata di Kawasan Hutan TNGC yang memberikan nilai manfaat ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai pendapatan bruto pengelola wisatanya.

Dalam pemanfaatan jasa lingkungan air, telah dilakukan pencermatan terhadap 6 (enam) permohonan proposal Izin Usaha Pemanfaatan Air (IUPA) dari perusahaan swasta dan telah selesai diterbitkan 6 (enam) rekomendasi pertimbangan teknis dari Balai TNGC. Nilai pemanfaatan jasa lingkungan air yang nyata adalah nilai kompensasi pemanfaatan sumber daya air yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan yang berasal dari Pemerintah Kabupaten Cirebon, Pemerintah Kota Cirebon, PT. Pertamina Cirebon, PT. Indocement Cirebon dan PDAM Kabupaten Kuningan (Tabel 7). Menurut data terakhir, penerimaan tahun 2016 untuk kompensasi tahun 2015 adalah sebesar Rp. 4.641.318.709 (Rismunandar, 2016).

Hambatan Implementasi Kebijakan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)

Dari hasil survey lapangan, analisa wancaran dengan para informan serta analisa kuisioner terhadap 30 responden ditemukan beberapa hambatan pelaksanaan kebijakan konservasi keanekaragaman Hayati di kawasan TNGC ini, antara lain:

(7)

tidak tercapainya keseimbangan peran dari 3 dimensi Policy of Stakeholders yaitu tidak terlihatnya peran strategis dari Pemerintah Daerah serta Peran Masyarakat sekitar dengan Kearifan lokalnya.

2. Belum adanya transparansi pola pengelolaan dan pemanfaatan hasil SDA dan obyek-obyek Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA). Pemanfaatan SDA dianggap hanya memberi keuntungan bagi Pemerintah Pusat (BTNGC) dan belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.

3. Lemahnya jaringan kerjasama / kemitraan dalam pelaksanaan kebijakan. Balai TNGC sebagai pengelola kawasan belum memberi kesempatan yang seimbang kepada pihak swasta dan Masyarakat umum untuk berperan aktif dalam mengelola kawasan maupun pemanfaatannya. Kerjasama yang sudah dikembangkan hanya sebatas dengan kelompok-kelompok tertentu

4. Hambatan eksternal berupa gangguan deforestasi, illegal loging serta perburuan satwa menjadi ancaman serius dalam upaya penegakan kebijakan konservasi dalam kawasan ini.

Menurut Kadji (2015), “Sebuah kebijakan publik akan menjadi aktual dan terarah dalam implementasinya, jika menggunakan atau memperhatikan paling tidak apa yang disebut model MSN-Approach atau pendekatan Mentality, Sistems, dan Networking (jejaring kerjasama) antar tiga dimensi Policy of Stakeholders yaitu Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat Sipil”.

Pengelolaan Kawasan konservasi TNGC berusaha ‘men-sterilkan’ Kawasan dari manusia. Konflik masyarakat yang banyak terjadi sekitar TNGC umunya terjadi karena pengelola TNGC berusaha memindahkan warga dari dalam Kawasan yang telah ditetapkan menjadi Taman Nasional. Kebijakan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemanya tidak mengintegrasikan manusia dan perilakunya sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya alam hayati. Kondisi ini banyak melahirkan konflik antar masyarakat dengan pihak pengelola TNGC. Pola pengelolaan hutan yang dulu dikerjakan masyarakat melalui program PHBM saat ini tidak bisa lagi dilakukan, karena TNGC menjadi kawasan yang tertutup untuk masyarakat dalam pengelolaan hasil hutan. Berbagai hasil hutan non kayu yang pernah ditanam masyarakat setempat, kini tidak lagi bisa dikelola, bahkan hasil pemanfaatannya pun hanya sebagian kecil yang bisa dirasakan masyarakat. Dari hasil survey lapangan serta Analisa data kuisioner dari 30 responden dari desa-desa disekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai diperoleh data bahwa 73.3 % dari seluruh responden (masyarakat) menjawab tidak ikut dilibatkan dalam pemanfaatan TNGC, dan 26.7% menjawab tidak tahu.

Sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) No.: SK.176/KSDAE/SET/KSA.0/4/2018 tanggal 16 April 2018, ditetapkan zonasi pemanfaatan TNGC adalah seluas 1.194 Ha (8.05%) yang tersebar di 31 Desa di Kab. Kuningan. Keberadaan zona ini diharapkan bisa sepenuhnya dimanfaatkan masyarakat setempat untuk pariwisata, pemanfaatan ekologis, maupun untuk kegiatan lainnya. Pada pelaksanaannya subjek pemanfaat dari kawasan ini hanya sebagian kecil kelompok saja dan tidak menyentuh masyarakat umum secara luas.

Akibatnya masyarakat menilai pembagian zona pemanfaatan seperti ini tidak efektip untuk memberi peran yang seimbang bagi kepentingan kelompok masyarakat yang lebih besar.

Pengelolaan kawasan TNGC sudah seharusnya dilaksanakan dalam bentuk kerjasama antar 3 dimenti Policy of Stakeholders yaitu Pemerintah, swasta, dan Civil

(8)

Sociaty. Pada implementasinya, Pemerintah Pusat masih memainkan peran yang sangat dominan dalam pengelolaan kawasan. Pemerintah Daerah maupun masyarakat sekitar kurang benar-benar dilibatkan dalam pengelolaan SDA&E maupun pemanfaatannya.

Kesimpulan

Implementasi kebijakan konservasi Keanekaragaman Hayati di Zona Pemanfaatan Taman Nasional belum berjalan secara efektif, karena para pelaksana kebijakan belum melaksanakan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 yakni mewujudkan tujuan penyelenggaraan konservasi secara adil dan berimbang. Aspek Perlindungan, pengawetan, dan pemafaatan Sumber Daya Hayati secara lestari yang dilaksanakan di TNGC belum benar-benar ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata.

Kurangnya keterlibatan Pemerintah Daerah dan masyarakat/Civil Society dalam pengelolaan dan pemanfaatan menjadi salah satu hambatan dan fakta belum tercapainya indikator kolaborasi yang seimbang antar Pemerintah Pusat, daerah, maupun dengan masyarakat sebagai subjek dan objek implementasi kebijakan. Pada kenyataannya, pemerintah pusat masih memainkan peran dominasi dalam pengelolaan TNGC.

Hambatan lain dalam implementasi kebijakan ini adalah tidak adanya keterpaduan peran dan kerjasama antar multi stake holder dalam pengelolaan kawasan. Balai Taman Nasional menjadi implementor tunggal yang mampu memonopoli kebijakan konservasi menjadi hak pengusahaan penuh kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai tanpa melihat masukan-masukan dari Pemerintah Daerah maupun Masyarakat sekitar.

Upaya pengelolaan kawasan TNGC telah berusaha ‘men-sterilkan’ kawasan dari manusia. Bukan mengintegrasikan manusia itu sendiri sebagai bagian dari alam dan ekosistemnya. Akibatnya muncul berbagai konflik antar masyarakat dengan BTNGC sebagai pengelola kawasan.

Berdasarkan analisis SWOT dengan melihat faktor-faktor internal maupun faktor- faktor eksternal yang ada maka dirumuskan strategi yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini antara lain:

1. Mengembangkan wisata alam dengan memanfaatkan secara maksimal kekayaan keanekaragaman hayati;

2. Memanfaatkan kearifan lokal dalam mengembangkan studi dan penelitian;

3. Mengembangkan pemanfaatan potensi SDA panas bumi dengan tetap memperhatikan prinsip pelestarian keanekaragaman hayati.

4. Mengurangi dominasi peran pemerintah pusat dalam pengelolaan SDA terutama pada objek daya tarik wisata alam;

5. Mengutaman prinsip transparansi dalam pemanfaatan SDA untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

6. Memperkuat jaringan kerjasama/kemitraan dengan berbagai pihak terutama dalam penelitian atau pengembangan pemanfaatan potensi SDA seperti potensi panas bumi.

7. Memanfaatkan kearifan lokal untuk menghadapi ancaman kerusakan habitat alam atau alih fungsi kawasan;

8. Memaksimalkan fungsi Balai Pengelola dalam patroli pengamanan kawasan untuk ancaman perburuan satwa dan illegal loging.

9. Memperkuat jaringan kemitraan dengan multy stakeholder untuk mengurangi ancaman perburuan satwa;

(9)

konflik sosial berupa tuntutan perubahan status References

Ariyani, N. A., & Kismartini, K. (2017). Implementasi Kebijakan Konservasi Pengawetan dan Pemanfaatan Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Karimunjawa. In Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and Learning (Vol. 14, No. 1, pp. 206-213).

Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. (2021): Info Kawasan. Retrieved from https://tngciremai.menlhk.go.id.

Edwards III, G. C. (1980). Implementing Public Policy. Washington, D.C.: Congressional Quarterly Press.

Hamdi, M. (2013). Kebijakan Publik Proses, Analisis dan Partisipasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kadji, Y. (2015). Formulasi dan Implementasi Kebijakan Publik, Kepemimpinan dan Perilaku Birokrasi dalam Fakta Realitas. Gorontalo: UNG Press

KSDAE. (2020): Executive Summary. Retrieved from

http://ksdae.menlhk.go.id/executive-summary.html

Kusumanegara, S. (2009). Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik. Purwokerto:

Gava Media

Mardikanto, T. & Soebianto, P. (2012). Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Moleong, L. J. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyadi, D. (2015). Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik, Konsep dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik Berbasis Analisis Bukti untuk Pelayanan Publik. Bandung: Alfabeta.

Mulyadi, M. (2012). Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Pencapaian Pembangunan Milenium (MDGs). Info Singkat. Jakarta: Puslit DPR RI.

Mulyadi, M. (2014). Kemiskinan Identifikasi Penyebab dan Penanggulangannya. Jakarta:

Publica Press.

Mulyadi, M. (2016). Metode Penelitian Praktis Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Publica Press.

Rosen, M. (2017). A Case of Policy Implementation Failure?. Sustainability, 9(2), 1-17.

Siagian, S. P. (2000). Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi dan Strateginya. Jakarta:

Bumi Aksara

Soleh, C. (2014). Dialektika Pembangunan dengan Pemberdayaan. Jatinangor: Fokusmedia Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Surat Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: SK.176/KSDAE/SET/KSA.0/4/2018 tentang Perubahan Atas Keputusan Dirjen PHKA Nomor: SK.87/IV-SET/2015 tanggal 30 Maret 2015 tentang Zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka Provinsi Jawa Barat. Kementerian LHK.

Syah, R. F. (2017). Analisa kebijakan sektor lingkungan: Permasalahan implementasi kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Journal of Governance, 2(1), 2- Theresia, A., Andini, K. S., Nugraha, P. G., & Mardikanto, T. (2014). Pembangunan Berbasis 17.

Masyarakat: Acuan Bagi Praktisi, Akademisi, dan Pemerhati Pengembangan Masyarakat.

Surakarta: Alfabeta.

(10)

Tiza, A. L., Hakim, A., & Haryono, B. S. (2014). Implementasi Program Pembangunan Desa Mandiri Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera (Anggur Merah) (Studi di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara). Wacana Journal of Social and Humanity Studies, 17(1), 58-67.

Tjiptoherijanto, P., & Manurung, M. (2017). Paradigma Administrasi Publik dan Perkembangannya. Jakarta: Rineka Cipta.

Tresiana, N. & Djuaji, N. (2017). Kebijakan Publik Teori dan Praktek Model-model Pengelolaan Pembangunan Daerah. Bandar Lampung: Suluh Media.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Wahab, S. A. (2012). Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Malang: Bumi Aksara.

Wahyudi, J. (2016). Implementasi Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT):

Pengalaman Tata Kelola Pemerintahan di Kabupaten Sumbawa Barat. Hasanuddin University.

Gambar

Gambar 1. Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)  Pola Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan larutan limbah bubuk teh hitam hingga konsentrasi tanin 0,25% dalam pengasinan telur itik Pegagan dapat mempertahankan

[r]

Pengembangan perangkat menggunakan model pengembangan 4D (Define, Design, Develop, dan Disseminate) dan diujicobakan pada mahasiswa semester II program studi

Sedangkan untuk respon teknis yang paling berkontribusi dalam menjawab suara konsumen dan harus diperhatikan oleh industri kendang jimbe berdasarkan prioritasnya

Menurut Suma’mur (1976) Kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja/ masyarakat pekerja

3. Peneliti memberikan tes karakteristik kemampuan berpikir lntuitif kepada siswa gaya tipe juding. Peneliti memberi kesempatan kepada subjek untuk menyelesaikan lembar

Penduduk Desa Sukasari memiliki latar belakang yang bisa di bilang cukup memprihatinkan,karena jika melihat dari segi lokasi yang mereka tinggali saat ini masih banyak

)3isiko deteksi adalah risiko bahwa prosedur yang dilaksanakan oleh auditor  untuk menurunkan risiko audit ke tingkat yang dapat diterima tidak akan mendeteksi suatu kesalahan