• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 7

KAJIAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI

1. Pola dan Sebaran Permukiman Penduduk

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaanmaupun perdesaaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkunganhunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (SNI 03-1733-2004).

Permukiman menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman adalah, bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik dalam lingkup perkotaan maupu pedesaan, dan juga memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat hunian serta tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992, pasal 1 (satu) angka 4 (empat) : disebutkan pula bahwa, satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang tertentu, yang dilengkapi sistem prasarana dan sarana lingkungan, dan tempat kerja terbatas dan dengan penataan ruang terencana dan teratur sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Dengan demikian dapat dipahami bahwa permukiman terdiri dari komponen: perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana .

Pengertian permukiman juga dikemukan Rindarjono (2012:63) permukiman dimaksud adalah semua bentukan secara buatan maupun alami dengan segala perlengkapannya yang dipergunakan oleh manusia baik secara individual maupun kelompok, untuk bertempat tinggal sementara maupun menetap yang didalamnya juga termasuk semua sarana dan prasarana penungjang kehidupan penghuninya.

Permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah dimana penduduk terkonsentrasi dan hidup bersama menggunakan lingkungan setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidupnya. Pengertian pola dan sebaran permukiman memiliki

(2)

commit to user

hubungan yang sangat erat. Sebaran permukiman membincangkan hal dimana terdapat permukiman dan atau tidak terdapat permukiman dalam suatu wilayah, sedangkan pola permukiman merupakan sifat sebaran, lebih banyak berkaitan dengan akibat faktor-faktor ekonomi, sejarah dan faktor budaya.

Pola permukiman penduduk adalah bentuk umum sebuah permukiman penduduk yang terlihat mengikuti pola tertentu. Pola permukiman penduduk berbeda beda disetiap daerah. Permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah dimana penduduk terkonsentrasi dan hidup bersama menggunakan lingkungan setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidupnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola pemukiman penduduk adalah bentuk spasial dimana sebaran tempat tinggal penduduk berdasarkan karakteristik daerah masing masing. Untuk mengetahui pola permukiman Kecamatan Tasikmadu menggunakan delineasi berdasarkan interpretasi peta.

Point features berdasarkan Whyne-hammand,C. (1985) dalam Rindarjono (2010) sebagai berikut:

Gambar 2. 1. Point Features Keterangan :

1. Clustered : A. High Density; B. Medium Density; C. Low Density 2. Random

3. Systematican aktivitas

4. Clustered : A. Liniear; B. Square; C. Fan; dan D. Octopus

1 2 3 4

(3)

commit to user

Sebaran permukiman adalah hal dimana terdapat permukiman dan atau tidak terdapat permukiman merupakan sifat sebaran, lebih banyak berkaitan dengan akibat faktor faktor ekonomi, sejarah dan budaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pola persebaran penduduk adalah bentuk persebaran tempat tinggal penduduk berdasarkan kondisi alam dan aktivitas penduduknya.

2. Perumahan dan Permukiman

Gambar 2.2 Perumahan Gambar 2.3 Permukiman Kumuh Di Bantaran Sungai

Sumber :

http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals

Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, perumahan berada dan merupakan bagian dari permukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (pasal 1 ayat 2). Pembangunan perumahan diyakini juga mampu mendorong lebih dari seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan permukiman (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman ).

Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3, Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam

(4)

commit to user

berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur (pasal 1 ayat 3). Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah, tersedianya listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman berfungsi sebagaimana mestinya. Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung keluarga dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga sebagai status lambing social (Azwar, 1996; Mukono,2000).

Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992). Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan kelu arga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001). Menurut Suparno Sastra M. dan Endi Marlina, (Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, 2006:29) pengertian mengenai perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

3. Pertumbuhan Penduduk

Sejak dahulu kala masalah penduduk sudah menjadi perhatian manusia.

Para negarawan maupun kelompok ahli sudah memperbincangkan tentang besarnya jumlah penduduk. Sebelum memasuki abad ke – 17, masalah penduduk didasarkan atas pandangan akan pentingnya jumlah penduduk agar tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan. Namun sejak abad ini jumlah penduduk mulai menjadi pesat, bahkan terjadi peledakan penduduk pada abad ke -18, maka banyak

(5)

commit to user

pandangan yang menentang peningkatan jumlah penduduk (Ida Bagoes Mantra, 2003)

Pertumbuhan penduduk terlihat meningkat pada kira-kira 6000 – 9000 tahun lalu, ketika teknik bertani sudah dikenal dan mulai menyebar di beberapa bagian dunia. Kondisi ini memungkinkan untuk meningkatkan produksi pangan, yang berarti meningkatkan kemakmuran manusia. Arus suplai bahan pangan semakain lancar dari daerah-daerah perrtanian ke pusat-pusat pemungkiman penduduk. Padahal dengan makin meningkatnya angka pertumbuhan penduduk makin cepat pula penduduk menjadi dua kali lipat. Perkembangan penduduk yang cepat ini menyebabkan tingkat kepadatannya menjadi tinggi, karena itu di lain pihak tanah tidak menjadi tambah lebar. Di samping jumlah memjadi lebih pelik karena persebaran atau distribusinya tidak merata. Misalnya Pulau jawa dengan luas 7% dari luas wilayah Jawa pada tahun 1990 mempunyai penduduk sekitar 107 Juta jiwa atau tiga per lima penduduk Indonesia berada di pulau Jawa.

Dengan demikian kepadatan penduduk Jawa pun tertinggi dibandingkan dengan pulau pulau lainnya (Ida bagus Mantra, 2003:83). Tekanan masalah penduduk atas pembangunan, sesungguhnya tidak terlalu berhubungan dengan aspek jumlah, melainkan lebih terkait dengan variabel-variabel lain kependudukan dan karakteristik penduduk yang bersangkutan. Variabel-variabel lain itu kependudukan dan karakteristik penduduk yang bersangkutan. Variabel-variabel lain itu misalnya : sebaran, komposisi, kepadatan dan pertumbuhan penduduk, sedangkan karakteristik yang dimaksud misalnya tingkat pendapatan, kesehatan dan pendidikan.

4. Perkembangan Permukiman

Menurut Iwan Suprijanto (Vol. 32 : 162), menjelang berakhirnya abad 20, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia telah mencapai keberhasilan melalui kebijakan pembangunan perumahan massal yang dikenal sebagai pola pasokan. Pola pasokan tersebut diawali dengan penugasan kepada perumnas untuk menyediakan perumahan sederhana pada tahun 1974, yang kemudian juga dikembangkan oleh para pengembang swasta untuk melayani

(6)

commit to user

masyarakat golongan berpenghasilan menengah ke atas. Namun kenyataannya, masih terdapat sekitar 85% perumahan yang diupayakan sendiri oleh masyarakat secara informal.

Gambar 2.4 Pembangunan Perumahan Skala Kawasan dan Perkotaan Sumber : http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/

Sektor perumahan dan permukiman telah menjadi salah satu sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Investasi di sector perumahan berkisar antara 2 - 8 % Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi investasi perumahan terhadap PDB tersebut akan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Peran penting tersebut terkait dengan efek multiplier yang dapat diciptakan, baik terhadap penciptaan lapangan kerja maupun terhadap pendapatan nasional, yang ditimbulkan oleh setiap investasi yang dilakukan di sektor perumahan. Efek investasi di sektor perumahan atas penciptaan lapangan kerja di Indonesia adalah setiap milyar rupiah yang diinvestasikan di bidang perumahan dapat menghasilkan sekitar 105 orang-tahun pekerjaan secara langsung, sedangkan multiplier pekerjaan secara tidak langsung sekitar 3,5 kali. Efek investasi perumahan terhadap nasional pendapatan di Indonesia sekitar 1,7 kali, yaitu untuk setiap milyar rupiah investasi di bidang perumahan dapat menghasilkan pendapatan nasional sebesar Rp. 1,7 milyar.

Pada akhir abad 20, keterpurukan perekonomian tidak dapat terelakkan dan berdampak pada merosotnya kemampuan finansial pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Hal ini juga berdampak pada kinerja sektor perumahan dan permukiman, yang sebenarnya dapat berperan sebagai salah satu lokomotif

(7)

commit to user

kebangkitan ekonomi nasional. Selanjutnya seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang mengamanatkan desentralisasi di dalam penyelenggaraan tugas pembangunan, maka penyelenggaraan perumahan dan permukiman mulai menerapkan secara lebih intensif pola desentralisasi. Hal ini sebetulnya sangat sejalan dengan karakteristik persoalan perumahan dan permukiman yang memang khas lokal kontekstual.

5. Syarat permukiman

Menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan , dalam penentuan lokasi suatu permukiman, perlu adanya suatu kriteria atau persyaratan untuk menjadikan suatu lokasi sebagai lokasi permukiman. Kriteria tersebut antara lain:

a. Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial.

b. Bebas dari pencemaran air, pencemaran udara dan kebisingan, baik yang berasal dari sumber daya buatan atau dari sumber daya alam (gas beracun, sumber air beracun, dsb).

c. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan individu dan masyarakat penghuni.

d. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15 %, sehingga dapat dibuat sistem saluran air hujan (drainase) yang baik serta memiliki daya dukung yang memungkinkan untuk dibangun perumahan.

e. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan bangunan diatasnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

1) Lokasinya harus strategis dan tidak terganggu oleh kegiatan lainnya.

2) Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan, seperti pelayanan kesehatan, perdagangan, dan pendidikan.

3) Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air.

(8)

commit to user

4) Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.

5) Dilengkapi dengan fasilitas pembuangan air kotor, yang dapat dibuat dengan sistem individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik komunal.

6) Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman.

7) Dilengkapi dengan fasilitas umum, seperti taman bermain untuk anak, lapangan atau taman, tempat beribadah, pendidikan dan kesehatan sesuai dengan skala besarnya permukiman tersebut.

8) Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.

6. Permasalahan Perumahan dan Permukiman Permasalahan secara umum pada saat ini adalah:

a. Belum melembaganya sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

1) Secara umum sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman masih belum mantap, baik di tingkat pusat, wilayah, maupun lokal, ditinjau dari segi SDM, organisasi, tata laksana, dan dukungan prasarana serta sarananya.

2) Belum mantapnya pelayanan dan akses terhadap hak atas tanah untuk perumahan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan berpendapatan rendah.

3) Belum efisiennya pasar perumahan, karena adanya intervensi yang mengganggu penyediaan dan menyebabkan distorsi permintaan akan perumahan.

b. Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau.

1) Tingginya kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau masih belum diimbangi kemampuan penyediaan, baik oleh masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Secara nasional kebutuhan perumahan masih relatif besar, sebagai gambaran status kebutuhan perumahan pada tahun 2000 meliputi:

(i) kebutuhan rumah yang belum terpenuhi sekitar 4,3 juta unit rumah, (ii)

(9)

commit to user

pertumbuhan kebutuhan rumah baru setiap tahunnya sekitar 800 ribu unit rumah; serta (iii) kebutuhan peningkatan kualitas perumahan yang tidak memenuhi persyaratan layak huni sekitar 13 juta unit rumah (25%).

2) Ketidakmampuan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau serta memenuhi standar lingkungan permukiman yang responsif (sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan), karena terbatasnya akses informasi, terutama yang berkaitan dengan pertanahan dan pembiayaan perumahan.

3) Belum tersedianya dana jangka panjang bagi pembiayaan perumahan yang menyebabkan terjadinya mismatch pendanaan dalam pengadaan perumahan.

Di samping itu, sistem dan mekanisme subsidi perumahan bagi kelompok masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah masih perlu dimantapkan, baik melalui mekanisme pasar formal maupun melalui mekanisme perumahan yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat.

7. Resident Mobility

Menurut Oswar Mungkasa (2012 :5), pemikiran Turner timbul sebagai tanggapan terhadap kegagalan pemerintah dalam penyediaan perumahan di Negara berkembang. Turner meletakkan sumber masalah pada pelaksanaan sistem yang rumit dan birokratis (Ward, 1982). Turner menyarankan sejumlah konsep yang mempengaruhi dan merubah pemikiran terhadap perumahan masyarakat miskin pada dekade 1960 dan 1970. Pada setiap program perumahan sebaiknya masyarakat diberi kewenangan penuh terhadap pengambilan keputusan, misalnya bentuk dan desain lingkungan mereka. Dengan demikian, program terlepas dari kerumitan birokrasi atau pendekatan atas-bawah (top-down). Sebagai pelengkap pemberian kewenangan bagi masyarakat, Turner menggunakan konsep„ freedom to build ‟, yang diartikan sebagai „who decides’ . Alasannya bahwa hasil terbaik ketika penerima manfaat mengendalikan sepenuhnya desain, konstruksi danpengelolaan. Turner mengingatkan untuk tidak memisahkan kontribusi tenaga ( sweat equity ) dari ide kendali oleh masyarakat. Maksudnya untuk memastikan

(10)

commit to user

kontribusi tenaga tidak secara otomatis disamakan dengan membangun sendiri, sebagaimana yang sering terjadi.

Oswar Mungkasa (2012 :6), menyebutkan peran pemerintah tidak seharusnya berupa mendikte persyaratan pada masyarakat yang mampu melaksanakan pembangunan rumahnya. Dibutuhkan perubahan peran pemerintah dalam proses penyediaan rumah bagi penduduk miskin. Pemerintah sebaiknya (melalui peran dukungan) menyediakan beragam aspek yang tidak dapat disediakan sendiri oleh masyarakat seperti lahan, regulasi, peralatan, kredit, know- how dan land tenure. Kendali oleh masyarakat memastikan bahwa rumah lebih murah dan terjangkau baik oleh masyarakat atau pemerintah dan karenanya peran yang berbeda membuat hasilkegiatan lebih efektif. Sebagai ilustrasi, permukiman liar yang dibangun sesuai regulasi memungkinkan rumahdibangun lebih murah separuhnya dibanding jika dibangun oleh pemerintah ( Harris, 2003). Meskipun pada awalnya pembangunan dapat terlihat kurang rapi tetapi akhirnya akan membaik dengan berjalannya waktu seiring meningkatnya kondisi ekonomi mereka (Turner, 1976 ). Turner menyebutnya konsep “housing as a process

“(perumahan sebuah proses) dan “ progressive development ”(pembangunan berkemajuan). Turner mempertimbangkan rumah sederhana sebagai tempat tinggal yang selalu sedangdalam proses. Pemilik rumah akan membiayai perijinannya, dan lingkungan yang sehat tercipta,akhirnya rumah terbangun lengkap.

8. Persyaratan Dasar Perencanaan 8.1 Ketentuan umum

Pembangunan perumahan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan umum sehingga perlu dikembangkan secara terpadu, terarah, terencana serta berkelanjutan/

berkesinambungan. Beberapa ketentuan umum yang harus dipenuhi dalam merencanakan lingkungan perumahan di perkotaan adalah:

1) Lingkungan perumahan merupakan bagian dari kawasan perkotaan sehingga dalam perencanaannya harus mengacu pada Rencana Tata Ruang

(11)

commit to user

Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen rencana lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten.

2) Untuk mengarahkan pengaturan pembangunan lingkungan perumahan yang sehat, aman, serasi secara teratur, terarah serta berkelanjutan/

berkesinambungan, harus memenuhi persyaratan administrasi, teknis dan ekologis, setiap rencana pembangunan rumah atau perumahan, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha perumahan.

3) Perencanaan lingkungan perumahan kota meliputi perencanaan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas umum yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan perumahan perkotaan yang serasi, sehat, harmonis danaman. Pengaturan ini dimaksudkan untuk membentuk lingkungan perumahan sebagai satu kesatuan fungsional dalam tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya.

4) Perencanaan pembangunan lingkungan perumahan harus dilaksanakan oleh kelompok tenaga ahlinya yang dapat menjamin kelayakan teknis, yang keberadaannya diakui oleh peraturan yang berlaku.

5) Penyediaan prasarana dan sarana lingkungan perumahan merupakan bagian dari sistem pelayanan umum perkotaan sehingga dalam perencanaannya harus dipadukan dengan perencanaan lingkungan perumahan dan kawasan-kawasan fungsional lainnya.

6) Perencanaan pembangunan lingkungan perumahan harus menyediakan pusat-pusat lingkungan yang menampung berbagai sektor kegiatan (ekonomi, sosial, budaya), dari skala lingkungan terkecil (250 penduduk) hingga skala terbesar (120.000 penduduk), yang ditempatkan dan ditata terintegrasi dengan pengembangan desain dan perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana lingkungan.

7) Pembangunan perumahan harus memenuhi persyaratan administrasi yang berkaitan dengan perizinan pembangunan, perizinan layak huni dan sertifikasi tanah, yang diatur oleh Pemerintah Kota/ Kabupaten setempat dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(12)

commit to user

8) Rancangan bangunan hunian, prasarana dan sarana lingkungan harus memenuhi persyaratan teknis kesehatan dan keselamatan sesuai Standar Nasional Indonesia atau ketentuan-ketentuan lain yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah serta Pedoman Teknis yang disusun oleh instansi terkait.

9) Perencanaan lingkungan perumahan juga harus memberikan kemudahan bagi semua orang, termasuk yang memiliki ketidakmampuan fisik atau mental seperti para penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil, penderita penyakit tertentu atas dasar pemenuhan azas aksesibilitas (sesuai dengan Kepmen No. 468/ Thn. 1998), yaitu:

a) kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunanyang bersifat umum dalam suatu lingkungan;

b) kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempatataubangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan;

c) keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatulingkunganterbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang; dan

d) kemandirian, yaitu setiap orang harus dapat mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalamsuatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

10) Dalam menentukan besaran standar untuk perencanaan lingkungan perumahan kotayang meliputi perencanaan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan, menggunakan pendekatan besaran kepadatan penduduk.

11) Dalam merencanakan kebutuhan lahan untuk sarana lingkungan, didasarkan pada beberapa ketentuan khusus, yaitu:

a. Besaran standar ini direncanakan untuk kawasan dengan kepadatan penduduk < 200 jiwa/ha;

(13)

commit to user

b. Untuk mengatasi kesulitan mendapatkan lahan, beberapa sarana dapat dibangun secara bergabung dalam satu lokasi atau bangunan dengan tidak mengurangi kualitas lingkungan secara menyeluruh;

c. Untuk kawasan yang berkepadatan > 200 jiwa/ha diberikan reduksi 15-30% Terhadap persyaratan kebutuhan lahan; dan

d. Perencanaan prasarana lingkungan, utilitas umum dan sarana lingkungan harus direncanakan secara terpadu dengan mempertimbangkan keberadaan Prasarana dan sarana yang telah ada dengan tidak mengurangi kualitas dan kuantitas secara menyeluruh.

Dalam menentukan besaran standar untuk perencanaan kawasan perumahan baru dikota/ new development area yang meliputi perencanaan sarana hunian, prasarana dansarana lingkungan, pengembangan desain dapat mempertimbangkan sistem blok /grup bangunan/ cluster untuk memudahkan dalam distribusi sarana lingkungan dan manajemen sistem pengelolaan administratifnya. Apabila dengan sistem blok / grup bangunan/ cluster ternyata pemenuhan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan belum dapat terpenuhi sesuai besaran standar yang ditentukan, maka pengembangan desain dapat mempertimbangkan sistem radius pelayanan bagi penempatan sarana dan prasaran lingkungan, yaitu dengan kriteria pemenuhan distribusi sarana dan prasarana lingkungan dengan memperhatikan kebutuhan lingkungan sekitar terdekat mempertimbangkan sasaran pemakai yang dilihat dari tingkat pendapatan KK penghuni.

8.2 Persyaratan Lokasi

Lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1) Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat, dengan kriteria sebagai berikut:

(14)

commit to user

a) kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas bangunan pada area Bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan tinggi;

b) kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas ambang batas, pencemaran air permukaan dan air tanah dalam;

c) kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian (aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung atau tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana lingkungan tersedia);

d) kriteria keindahan/keserasian/keteraturan (kompatibilitas), dicapai dengan penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh rawa atau danau/setu/sungai/kali dan sebagainya;

e) kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana;

f) kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan jarak pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana-utilitas lingkungan;

g) kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/lokal setempat.

2) Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis.

3) Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta

(15)

commit to user

pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin tumbuh di kawasan yang dimaksud.

8.3 Persyaratan Fisik

Ketentuan dasar fisik lingkungan perumahan harus memenuhi faktor- faktor berikut ini:

8.3.1 Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali dengan rekayasa/ penyelesaian teknis.

8.3.2 Kemiringan lahan tidak melebihi 15% dengan ketentuan:

a) tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar landai dengan kemiringan 0-8%; dan

b) diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%

9 Kesesuaian Lahan untuk Perumahan 9.1 Kesesuaian lahan

Kesesuaian lahan bagi pengembangan sebuah kota harus mempertimbangkan beberapa aspek yaitu kondisi fisik, kondisi sosial ekonomi, aksesibilitas, lingkungan dan ekologi, potensi sumber daya lokal serta faktor politik (Golany, 1976:68). Pertimbangan berbagai aspek sangat diperlukan bagi penentuan pemanfaatan lahan yang ditunjukkan dengan adanya tindakan selektif dalam pemanfaatan lahan. Hal ini dikarenakan pemanfaatan lahan yang tidak optimal akan berdampak negatif baik terhadap lingkungan itu sendiri, sosial maupun ekonomi. Kondisi fisik dasar lahan sangat mempengaruhi daya dukung lahan yangselanjutnya mempengaruhi pula kesesuaian lahan bagi suatu aktivitas pembangunan atau tata guna lahan. Dengan kajian terhadap faktor-faktor fisik lahan dapat diketahui kemampuan lahan sehingga dapat diperkirakan pemanfaatan lahan tersebut tanpa menyebabkan penurunan kualitas lahan tersebut.

Perumahan menurut UU No. 4 tahun 1992 adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sedangkan permukiman dapat diartikan sebagai bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung yang

(16)

commit to user

berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal dan dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan serta penghidupan, yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana sehingga fungsi permukiman tersebut dapat berdayaguna dan berhasil guna. Disebutkan oleh Departemen Kimpraswil (2002), kawasan perumahan mempunyai beberapa persyaratan dasar fisik yaitu:

1. Aksesibilitas, yaitu kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan peru- mahan tersebut

2. Kompabilitas, kesesuaian dan keterpaduan antar kawasan yang menjadi lingkungannya

3. Fleksibilitas, kemungkinan pertumbuhan fisik atau pemekaran kawasan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan sarana

4. Ekologi, yaitu keterpaduan antara tatanan kegiatan alam yang mewa- dahinya.

Persyaratan diatas sangat dipengaruhi oleh karakteristik fisik lahan dan alam yang berupa:

a) Topografi, yaitu kondisi fisik permukaan tanah baik bentuk, karakter, tumbuhan, aliran sungai, kontur tanah dan lain-lain yang sangat berpengaruh pada transportasi, sistem sanitasi dan pola tata ruang

b) Sumber daya alam, yaitu semua potensi dan kekayaan alam yang dapat mendukung penghidupan dan kehidupan. Sumber alam ini selain sebagai sumber potensi ekonomi juga dapat memberikan matapencaharian bagi penghuninya

c) Kondisi fisik tanah, yaitu kondisi fisik dari tanah dimana perumahan akan dibangun di atasnya. Dengan batasan-batasan diantaranya tidak mengan- dung gas beracun (toksititas), tidak tergenang air serta memungkinkan untuk membangun sarana dan prasarana lingkungan permukiman

d) Lokasi atau letak geografis, yaitu posisi dari kawasan perumahan terhadap kawasan lainnya

(17)

commit to user

e) Tata guna tanah, pola tata guna tanah di sekeliling kawasan perumahan tersebut dimana keserasian dan keterpaduan antar kawasan sangat mempengaruhi perkembangan kawasan perumahan tersebut

f) Nilai dan harga tanah, yaitu nilai dari potensi dan ekonomi pada kawasan perumahan itu

g) Iklim, yaitu keadaan cuaca yang meliputi arah matahari, lamanya penyinaran matahari, temperatur rata-rata, kelembaban, curah hujan dan musim

h) Bencana alam, yaitu segala ancaman dari alam terhadap kawasan seperti angin puyuh, gempa bumi, erosi dan banjir

i) Vegetasi, yaitu segala macam tumbuhan yang ada dan mungkin tumbuh di kawasan dimaksud dengan memperhatikan jenis pohon atau tumbuhan, pengaruhnya terhadap lingkungan serta masa tumbuh dan usia yang dicapai.

9.2 Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Klasifikasi kesesuaian lahan merupakan perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan. Kesesuaian lahan ini dapat dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan secara kuantitatif maupun kualitatif tergantung pada data yang tersedia. Dalam hal kesesuaian lahan untuk permukiman ini yang dipakai adalah klasifikasi kesesuaian lahan secara kualitatif karena penilaian kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak dengan angka-angka) (Hardjowigeno, 2003). Kesesuaian lahan diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Menurut FAO (1976) struktur klasifikasi kesesuaian lahan dapat dibedakan menurut tingkatannya , yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas, dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global, dimana ia menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat Ordo kesesuaian lahan dibedakan antara

(18)

commit to user

lahan yang tergolong sesuai (S= Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=

Not Suitable).

Lahan yang termasuk pada golongan S atau sesuai merupakan lahan yang bisa digunakan dalam jangka waktu lama dan tidak terbatas pada penggunaan tertentu yang telah dipertmbangkan sebelumnya. Lahan yang masuk dalam ordo ini tidak akan memiliki kerusakan yang berarti saat digunakan. Sedangkan lahan yang masuk pada ordo N atau tidak sesuai merupakan lahan yang memiliki kesulitan-kesulitan yang sedemikian rupa sehingga menghambat penggunaan atau bahkan mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan.

Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo yang menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) dibedakan ke dalam dua kelas yaitu N1 (tidak sesuai pada saat ini) dan N2 (tidak sesuai untuk selamanya). (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).

Kelas S1 (sangat sesuai) : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.

Kelas S2 (cukup sesuai) : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas ini biasanya masih dapat diatasi dengan cukup mudah.

Kelas S3 (sesuai mariginal): Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap

(19)

commit to user

produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.

Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini): Lahan memiliki faktor pembatas yang sangat besar namun masih dapat digunakan setelah mengalami pengolahan dengan modal yang juga tidak sedikit.

Kelas N2 (tidak sesuai untuk selamanya): Lahan memiliki faktor pembatas yang permanen sehingga tidak memungkinkan digunakan untuk penggunaan lahan yang lestari dalam jangka waktu yang sangat lama.

Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat. Sedangkan subkelas merupakan pembagian tingkat lanjut dari subkelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas.

9.3 Penggunaan Lahan untuk Permukiman

Menurut UU RI No. 4 tahun 1992 permukiman adalah suatu kawasan perumahan memiliki luas wilayah dengan jumlah penduduk tertentu yang dilengkapi dengan sistem prasarana dan sarana lingkungan dengan penataan ruang yang terencana dan teratur, tempat kerja terbatas sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Pada penggunaan lahan untuk permukiman sangat penting untuk dikaji kesesuaian lahannya apakah dengan dibangunnya permukiman di atas sebuah lahan akan berpengaruh terhadap daya dukung lahan tersebut.

Terdapat sepuluh parameter penentu kelas kesesuaian lahan untuk permukiman yaitu:

1. lereng,

2. posisi jalur patahan (tidak ada, ada pengaruh)

3. kekuatan batuan,

(20)

commit to user

4. kembang kerut tanah,

5. sistem drainase,

6. daya dukung tanah,

7. kedalaman air tanah,

8. bahaya erosi,

9. bahaya longsor, dan

10. bahaya banjir.

B. PENELITIAN YANG RELEVAN

1. Eko Sapto Nugroho (2009) melakukan penelitian dengan judul : Pemanfaatan Citra Ikonos Untuk Kajian Permukiman Di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar.

Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk : (1) Mengetahui kemampuan citra ikonos untuk kajian kualitas permukiman di Kecamata Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009, (2) Mengetahui persebaran permukiman di Kecamata Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009 (3) Mengetahui kualitas permukiman di Kecamata Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009. Metode penelitiannya adalah dengan Interpretasi citra ikonos, analisis pengharkatan, survey lapangan. Hasil dari penelitian antara lain (1) Kecamatan Colomadu tahun 2009 pola permukiman menyebar pada semua desa. Hal ini dikarenakan bahwa Kecamatan ini memiliki relief datar sehingga persebaran permukiman merata. (2) Berdasarkan uji ketelitian interpretasi citra untuk penggunaaan lahan diperoleh ketelitian sebesar 96%

cocok dengan keadaan nyata dilapangan. (3) Sebagian besar kualitas permukiman diKecamatan colomadu memiliki kualitas sedang.

2. Bayu Sulistyo Hantoro (2008) melakukan penelitian dengan judul : Studi Pengaruh Pertumbuhan Penduduk Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo Tahun 1995 – 2005

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan penduduk di Kecamatan Grogol tahun 1995 – 2005, mengetahui perubahan penggunaan

(21)

commit to user

lahan pertanian di Kecamatan Grogol tahun 1995 – 2005, dan mengetahui pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap perubahan penggunaan lahan pertanian di Kecamatan Grogol tahun 1995 – 2005. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah pertumbuhan penduduk dengan menggunakan rumus pertumbuhan penduduk eksponensial, overlay peta penggunaan lahan pertanian korelasi dan regresi linier. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah (1) tingkat pertumbuhan penduduk di Kecamatan Grogol sebesar 1,95 % selama 10 tahun dari tahun 1995 – 2005, (2) perubahan penggunaan lahan pertanian di Kecamatan Grogol meliputi sawah satu kali panen padi dan satu kali panen palawija dalam setahun berkurang seluas 97,3108 hektar dan sawah dua kali panen padi dalam setahun berkurang seluas 168,2811 hektar dalam kurun waktu 10 tahun yaitu 1995 – 2005, (3) pertumbuhan penduduk berpengaruh sebesar 12,8 % terhadap perubahan penggunaan lahan pertanian di Kecamatan Grogol Tahun 1995 – 2005.

3. Sri firdianti (2010) melakukan penelitian dengan judul : Perkembangan Permukiman Penduduk di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali Tahun 1997-2007.

Tujuan dari penelitian tersebut adalah (1) Untuk mengetahui perubahan luas lahan permukiman penduduk di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali dari tahun 1997 - 2007. (2) Untuk mengetahui pola permukiman penduduk di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali tahun 1997 - 2007. (3) Untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman penduduk di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali. Metode penelitian tersebut adalah Deskriptif spatial. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah (1) Perkembangan luas lahan permukiman tersebut yaitu dari 6,7415 hektar menjadi 9.2955 hektar yang berarti seluas 2,554 hektar besar peningkatan lahan untuk permukimannya. (2) Berdasarkan dari beberapa langkah perhitungan dengan menggunakan teknik analisis tetangga terdekat diperoleh nilai T = 1,6. Nilai tersebut dapat menunjukan pola persebaranya berdasarkan pengelompokanya. T = 1,6 berarti pola persebaran permukiman di Kecamatan

(22)

commit to user

Ngemplak termasuk dalam klasifiksi Random (acak) yang berarti jarak antara lokasi satu permukiman dengan lokasi permukiman lainya adalah tidak teratur. (3) Dari analisis faktor yang menmpengaruhi perkembangan permukiman, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor lokasi tempat tinggal yang mendekati temapat bekerja sebanyak 44 %, faktor lainya adalah faktor lokasi yang stategis 30 % dan mencari tempat yang lebih luas karena harga tanah yang masih murah sebanyak 11%, Sarana fasilitas sosial yang memadahi dan semakin tinggi tingkat aksesibilitasnya

(23)

commit to user

29

29 NO NAMA

(TAHUN)

JUDUL PENELITIAN METODE PENELITIAN

HASIL PENELITIAN

1 Eko sapto nugroho (2009)

Pemanfaatan citra ikonos untuk kajian permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten karanganyar

Interpretasi citra ikonos, analisis pengharkatan, survey lapangan

1. Kecamatan Colomadu tahun 2009 pola permukiman menyebar pada semua desa. Hal ini dikarenakan bahwa Kecamatan ini memiliki relief datar sehingga persebaran permukiman merata.

2. Berdasarkan uji ketelitian interpretasi citra untuk penggunaaan lahan diperoleh ketelitian sebesar 96% cocok dengan keadaan nyata dilapangan.

3. Sebagian besar kualitas permukiman diKecamatan colomadu memiliki kualitas sedang.

2 Bayu Sulistyo Hantoro (2008)

Studi Pengaruh

Pertumbuhan Penduduk terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Di Kecamatan Grogol Kabupaten SukoharjoTahun 1995 - 2005. Skipsi Universitas Sebelas Maret

Deskriptif kualitatif dengan analisis data overlay peta, Korelasi dan

regresi, serta

Pertumbuhan penduduk secara eksponensial

Pertumbuhan penduduk secara

eksponensial.Grogol sebesar 1,95 % selama 10 tahun dari tahun 1995 – 2005Perubahan Penggunaan Lahan pertanian Di Kecamatan Grogol meliputi sawah satu kali panen padi dan satu kali panen palawija berkurang seluas 97,3108 Ha dan sawah dua kali panen padi dalam setahun berkurang seluas 168,2811 Ha.

Pertumbuhan penduduk berpengaruh sebesar 12,8

% terhadap perubahan penggunaan Lahan pertanian dari tahun 1995 -2005

3 Sri Firdianti (2010)

Perkembangan

Permukiman Penduduk

Deskriptif Spasial Perkembangan luas lahan permukiman tersebut yaitu dari 6,7415 hektarmenjadi 9.2955 hektar yang

(24)

commit to user

30 diKecamatan Ngemplak

Kabupaten Boyolali tahun 1997-2007. Skipsi Universitas Sebelas Maret

berarti seluas 2,554 hektar besar peningkatan lahanuntuk permukimannya.Berdasarkan dari beberapa langkah perhitungan dengan menggunaanteknik analisis tetangga terdekat diperoleh nilai T = 1,6.

4 Adi Dwi Susanto

Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Perumahan Di Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar Tahun 2014

Survey deskriptif -

(25)

commit to user

C. KERANGKA PEMIKIRAN

Meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun membuat Negara ini menghadapi masalah yang cukup serius untuk di bahas solusi pemecahan masalah oleh pemerintah. Terkonsentrasinya penduduk di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk di pulau ini sangat tinggi. Hal ini juga memicu tekanan penduduk untuk memperoleh tempat tinggal. Tekanan penduduk yang tinggi mengakibatkan berkurangnya lahan produktif menjadi lahan non produktif. Alih fungsi lahan yang kurang memperhitungkan kesesuaian lahan akn berdampak pada konservasi lahan itu sendiri.

Setiap perubahan spasial memiliki kecenderungan pola tertentu. Ada yang memanjang jalan, mengikuti alur sungai, ataupun tidak teratur. Dari pola inilah dapat diketahui sebaran dan juga pola perumahan di Kecamatan Tasikmadu ini.

Dari interpretasi citra IKONOS peneliti dapat mendeleneasi serta memetakan perumahan guna mengetahui seberapa besar luasan perumahan dan juga sebaran pola perumahan.

Ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran akan tempat tinggal memicu adanya alih funsi lahan yang kurang sesuai untuk lokasi perumahan. Berdasarkan fakta yang ditemukan dilapangan bahwa sebagian besar lahan beralih fungsi menjadi perumahan. Di era globalisasi ini sebagian masyarakat memilih perumahan sebagai alternative pemilihan tempat tinggal.

Tuntutan masyarakat untuk tempat tinggal menjadikan semakin berkembangnya perumahan perumahan baru di kecamatan Tasikmadu.

(26)

commit to user KERANGKA KONSEP

PENDUDUK

KEMIRINGAN LERENG

POPULASI LAHAN

SEBARAN PERUMAHAN

ANCAMAN BANJIR

KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERUMAHAN

POLA PERUMAHAN

SALURAN PEMBUANGAN

PENGATUSAN PERMUKAAN

MATERI AJAR KOMPETENSI DASAR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN UNTUK KELAS XI SMA

Referensi

Dokumen terkait

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Cilacap adalah Rumah Sakit milik Pemerintah Kabupaten Cilacap yang telah memenuhi persyaratan peningkatan kelas Rumah Sakit menjadi

Ada beberapa indikator utama dalam perumahan berkelanjutan yang tidak terlepas dari 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu indikator lingkungan, indikator sosial, dan

Denah yang baik untuk bangunan rumah di daerah gempa adalah sebagai berikut: (Sumber: (Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan.. Gempa,

Unit Usaha Kecil Menengah (UMKM) adalah suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh perorangan atau suatu badan tertentu dengan cakupan yang tergolong masih kecil atau

Yaitu suatu kredit yang diperuntukan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan atau perbaikan rumah yang

Dalam memilih lokasi pengembangan perumahan memerlukan suatu ketelitian dan survei-survei tertentu, bukan hanya dari aspek teknis saja yang harus memenuhi tetapi

Pendekatan tersebut dapat berupa kesukarelaan masyarakat untuk datang dan berpartisipasi, apabila hal ini dikaitkan dengan pembangunan partisipatif dalam Program

Menurut Depkes RI Tahun 2002 tentang Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat dalam Purnama 2017, persyaratan rumah yang dinilai adalah komponen rumah yang terdiri dari : langit-langit,