commit to user
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. TinjauanTentangStrategiPembangunan Partisipatif a. Pengertian Strategi
Definisi strategi dapat dicermati melalui pendapat Kennet Endrews dalam buku karya Grant (1995) yang diterjemahkan oleh Thomas Secokusumo (1999: 10), bahwa strategi adalah “Bentuk dari tujuan-tujuan, kebijakan utama, dan rencana untuk mencapai tujuan tersebut, yang dipaparkan sedemikian rupa sehingga dapat menerangkan dalam usaha apa organisasi tersebut bergerak atau seharusnya bergerak.” Dari pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa strategi merupakan suatu kebijakan atau rencana untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kebijakan tersebut merupakan salah satu usaha yang dilakukan sebagai upaya pencapaian hasil yang optimal. Senada dengan hal tersebut, menurut James Brian Quinn mendefinisikan strategi sebagai suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan, dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi satu kesatuan yang utuh. Strategi yang diformulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber daya yang dimiliki perusahaan menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan. Strategi yang baik disusun berdasarkan kemampuan internal dan kelemahan perusahaan, antisipasi perubahan dalam lingkungan, serta kesatuan pergerakan yang dilakukan oleh mata-mata musuh (Grant, 1995) diterjemahkan oleh Thomas Secokusumo (1999: 10).
Berdasakan penjelasan dari James Brian Quinn di atas, dapat disimpulkan bahwa makna strategi mengacu pada kebijakan atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh suatu organisasi untuk mencapai suatu keinginan yang sebelumnya direncanakan. Hunger dan Wheelen (1996: 3) mendefinisikan strategi sebagai berikut:
commit to user
Strategic management is that set managerial decisions and actions that determines the long-run performance of a corporations. It includes environmental scanning, strategy formulation (strategic or long-range planning), strategy implementation, and evaluation and control. The study of strategic management therefore emphazises monitoring and evaluating enfironmental opportunities and threats in light of a corporation’s strengths and weaknesses.
Dalam kutipan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi merupakan suatu bentuk kebijakan dan tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Dalam hal ini strategi di sama artikan dengan kebijakan dan tindakan, pengartian tersebut mengisyaratkan adanya tindakan dari seseorang atau organisasi untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
Terdapat rumusan yang komperhensif mengenai strategi yang dinyatakan oleh Hax dan Mujluf (1991) sebagai berikut:
1. Ialah suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu, dan integral; 2. Menentukan dan menampilkan tujuan organisasi dalam artian
sasaran jangka panjang, program bertindak, dan prioritas alokasi sumber daya;
3. Menyeleksi bidang yang akan digeluti atau akan digeluti organisasi;
4. Mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama, dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal organisasi, dan kekuatan serta kelemahannya;
5. Melibatkan semua tingkat hierarki dari organisasi. (Salusu, 1996: 100-101)
Dalam pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi menjadi suatu kerangka yang bersifat fundamental atau integral tempat suatu organisasi mampu menyatakan eksistensinya. Sementara pada saat yang bersamaan strategi memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Strategi menjadi suatu tindakan yang mendasari pencapaian keberhasilan suatu program atau kebijakan, sehingga tingkat kegagalan dapat diantisipasi. Dari beberapa pendapat mengenai pengertian strategi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap pendapat memiliki kemiripan. Kemiripan tersebut antara lain, strategi sama-sama diartikan sebagai kebijakan, tindakan, program, dan juga keputusan. Strategi
commit to user
perlu diterapkan oleh setiap orang dan juga organisasi agar tujuan yang ingin dicapai dapat terealisasi. Untuk melaksanakan tujuan yang ingin dicapai maka perlu dipilih strategi yang paling tepat, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan. Berkaitan dengan hal tersebut, tipe-tipe strategi menurut Koteen (1991) antara lain:
1. Corporate Strategy (Strategi Organisasi)
Strategi ini berkaitan dengan perumusan misi, tujuan, nilai-nilai, dan inisiatif-inisiatif strategik yang baru. Pembatasan-pembatasan diperlukan yaitu apa yang dilakukan dan untuk siapa.
2. Program Strategy (Strategi Program)
Strategi ini lebih memberi perhatian pada implikasi-implikasi strategik dari suatu program tertentu. Apa kira-kira dampaknya apabila suatu program tertentu dilancarkan atau diperkenalkan, apa dampaknya bagi sasaran organisasi.
3. Resource Support Strategy (Strategi Pendukung Sumber Daya) Strategi pendukung sumber daya ini memusatkan perhatian pada memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber daya esensial yang tersedia guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi. Sumber daya itu dapat berupa tenaga, keuangan, teknologi dan sebagainya. 4. Institutional Strategy (Strategi Kelembagaan)
Fokus dari strategi institusional ialah mengembangkan kemampuan organisasi untuk melaksanakan inisiatif-inisiatif stratejik.
(Salusu, 1996: 105)
Tiap-tiap strategi di atas merupakan satu kesatuan yang saling menopang sehingga merupakan satu kesatuan yang kokoh yang mampu menjadikan organisasi sebagai satu lembaga kokoh pula, mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang tidak menentu. Dengan memperhatikan tipe-tipe strategi, maka suatu organisasi senantiasa dapat berfungsi di tengah keadaan yang tidak terprediksikan. Berkaitan dengan tipe-tipe strategi di atas, maka tipe strategi yang dipergunakan dalam menanggulangi rumah tidak layak huni di Kecamatan Sukoharjo yang juga merupakan salah satu program PNPM Mandiri Perkotaan, adalah tipe strategi Resource Support Strategy (Strategi Pendukung Sumber Daya). Hal tersebut dikarenakan dalam pelaksanaan pembangunannya, sumber daya manusia yang berupa tenaga, buah pikiran atau ide, keuangan dan lain sebagainya dicurahkan untuk mendukung program tersebut.
commit to user
Setiap strategi yang diterapkan pastinya diharapkan untuk menuai keberhasilan. Keberhasilan suatu strategi harus disertai dengan tindakan antisipasi untuk meminimalisir kegagalannya. Berkaitan dengan keberhasilan suatu strategi, Hatten dan Hatten (1988) yang dimuat dalam buku karya Armstrong (1996: 107-109), mengemukakan prinsip-prinsip untuk mensukseskan strategi, yaitu: Strategi haruslah konsisten dengan lingkungannya, setiap organisasi tidak hanya membuat satu strategi, strategi yang efektif hendaknya memfokuskan dan menyatukan semua sumber daya dan tidak menceraiberaikan satu dengan yang lainnya, strategi hendaknya memusatkan perhatian pada apa yang merupakan kekuatannya dan tidak pada titik-titik yang justru adalah kelemahannya, sumber daya adalah sesuatu yang kritis, strategi hendaknya memperhitungkan resiko yang tidak terlalu besar, strategi hendaknya disusun di atas landasan keberhasilan yang telah dicapai, dan yang terakhir adanya tanda-tanda dari suksesnya suatu strategi ditampakkan dengan adanya dukungan dari pihak-pihak yang terkait dan terutama dari para eksekutif dari semua pimpinan unit kerja dalam organisasi.
Masih berkaitan dengan prinsip kesuksesan suatu strategi, Fuchs and his colleagues (Fuch et al, 2000) mengemukakan bahwa:
“The Key dimensions of effective strategy development and implementation as orchestrating all the elements of strategy around a powerfull core theme and alignment of coherent product-market focus supported by operating capabilities and resources.” (International Journal of Eussines and Emerging Market, 2009: 214).
Berdasarkan jurnal di atas, dapat disimpulkan bahwa kunci keefektifan penerapan strategi adalah memaksimalkan kesesuaian antara produk dengan sasaran pasar dengan didukung adanya kemampuan pengoperasian dan sumber daya yang ada. Dengan memperhatikan sumber daya dalam organisasi maka suatu strategi dapat dimaksimalkan untuk menuai keberhasilan atas tujuan yang diinginkan.
commit to user
b. PengertianPembangunan
Sondang P. Siagian, (1981: 21) mendefinisikan pembangunan sebagai “Suatu usaha atau serangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara dan pemerintahan dalam usaha pembinaan bangsa.” Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam konsep pembangunan terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu harus ada usaha yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintahnya, dilaksanakan secara sadar, terarah dan berkesinambungan agar tujuan dari pembangunan itu dapat tercapai. Dari beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan tersebut, pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam suasana kehidupan yang penuh keharmonisan. Menurut Parson (1991) menjelaskan sebab-sebab terjadinya pembangunan sebagai beriku:
Pembangunan terjadi karena adanya perubahan status dari suatu interaksi sosial:
1) Adaptasi terhadap kebutuhan situasional 2) Pencapaian tujuan-tujuan
3) Integrasi atau pengaturan tata-hubungan, dan
4) Pola pemeliharaan atau pengurangan ketegangan dari pola budaya tertentu.
(Mardikanto, 2010: 11)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pembangunan dapat berlangsung ketika terjadinya suatu perubahan status dari suatu interaksi sosial, misalnya adanya kebutuhan-kebutuhan situasional yang dibutuhkan dalam suatu wilayah, akan mempengaruhi pembangunan yang ada. Dengan melihat kebutuhan yang ada, pembangunan dapat terjadi sebagai upaya pencapaian tujuan yang hendak di capai dari pembangunan yang dilakukan. Pembangunan sebagai paradigma baru dalam kehidupan di masyarakat, memiliki peran penting dalam rangka menyelamatkan kehidupan bangsa menjadi lebih sejahtera dan jauh dari keterpurukan. Keberadaan masyarakat sebagai suatu obyek dan juga subyek dilaksanakannya suatu pembangunan mampu memberikan nuansa lain yang lebih harmonis dalam
commit to user
suatu pembangunan. Pembangunan dilakukan dengan mengisyaratkan suatu perubahan, pergeseran, atau bahkan perombakkan suatu keadaan atau suatu obyek tertentu. Pengertian tersebut menegaskan bahwa pembangunan merupakan proses menuju perubahan. Perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi secara bermacam-macam. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain. Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Dengan menerapkan prinsip pembangunan yang menyangkut semua pihak dalam suatu bangsa, maka dampaknya bukan hanya melancarkan suatu tatanan pembangunan saja, namun juga mampu menjadikan masyarakat lebih responsif terhadap bentuk-bentuk pembangunan yang sedang dijalankan.
Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang di maksud adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan adalah pertumbuhan. Konsep dasar tersebut mampu memberikan gambaran awal mengenai keberadaan pembangunan, sehingga konsep yang terbangun dalam diri seseorang adalah pasti ada perubahan dalam suatu pembangunan. Namun untuk memberikan gambaran yang mendalam mengenai makna pembangunan, masyarakat umum harus diberikan pengetahuan mendalam mengenai makna sebuah pembangunan, namun seiring dengan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang seragam mengenai makna pembangunan. Dalam
commit to user
perkembangannya, seorang tokoh bernama Redfield, menyatakan bahwa “Pembangunan terjadi karena terjadinya perubahan masyarakat tradisional ke arah masyarakat perkotaan.” (Mardikanto, 2010: 11).
Pembangunan yang dilakukan dengan persiapan yang matang pada akhirnya akan melahirkan suatu perubahan dan perkembangan kedalam keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Berkaitan dengan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu usaha atau tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang atau kelompok orang, dimana usaha tersebut menghasilkan suatu perubahan dalam suatu keadaan ke keadaan yang lain, dan pada umumnya perubahan itu menghasilkan tatanan yang lebih baik dari pada yang sebelumnya. Dalam makna yang lebih sempit, pembangunan selalu mengindikasikan suatu perubahan atas suatu keadaan. Jika konsep pembangunan tersebut dikaitkan dalam pembangunan yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat, maka diperoleh konsep yang menyatakan bahwa pembangunan adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana, dilaksanakan terus-menerus oleh pemerintah bersama-sama segenap masyarakatnya atau dilaksanakan oleh masyarakat dengan dipimpin oleh pemerintah, dengan menggunakan teknologi yang terpilih, untuk memenuhi segala kebutuhan pembangunan.
c. PengertianPartisipasi
Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “participation” yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan. Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Pengertian tentang partisipasi dikemukakan Mikkelsen (2006) yang dikutip dalam buku Isbani Rukminto Adi (2008 : 106-107) menginventarisasi adanya enam tafsiran yang berbeda tentang partisipasi yaitu:
commit to user
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan
2. Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-proyek pembangunan
3. Partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengadung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk menggunakan hal itu
4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial
5. Partsipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.
Berdasarkan pendapat Mikkelsen di atas, maka bisa kita amati beberapa tafsiran mengenai makna dari partisipasi. Namun secara substansial dari beberapa artian tersebut memiliki makna yang sama, yaitu adanya keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan. Disamping itu, setiap orang yang secara suka rela berpartisipasi dalam komunitasnya, secara otomatis menimbulkan suatu kemanfaatan, Burke (2004: 52-54) keuntungan dan masalah partisipasi akan dilihat dalam konteks yang berbeda oleh setiap orang yang berkepentingan. Namun, secara umum keuntungan dari partisipasi adalah masyarakat akan merasa “memiliki” terhadap rencana kerja, memungkinkan adanya ide-ide segar, mendapat bantuan dalam bentuk barang atau sumber daya lainnya, masyarakat akan tetap merasa menjadi bagian dari pemecahan masalah jangka panjang karena mereka telah mempunyai rasa memiliki terhadap ide-ide awal, dan yang terakhir keikutsertaan dalam satu proyek atau program membangun kesadaran, kepercayaan dan keyakinan menjadi bagian penting pada proyek/kesempartan-kesempatan lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi yang dilakukan oleh setiap orang akan menimbulkan kemanfaatan baik bagi dirinya sendiri atau orang lain. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya pendapat yang diungkapkan oleh Burke di atas. Dengan berpartisipasi secara sukarela secara otomatis seseorang akan merasa bahwa ia dibutuhkan
commit to user
dalam proses pembangunan dan mampu untuk membantu orang lain dalam mencapai tujuan pembangunan yang dilakukan. Warga negara merupakan suatu perkumpulan masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang terdiri dari orang-orang yang dengan sadar secara resmi menjadi anggota dari negara tertentu. Jika dikaitkan dengan konsep partisipasi, maka dapat dikatakan bahwa partisipasi warga negara merupakan suatu pelibatan warga negara secara pernuh dalam suatu kegiatan atau tindakan tertentu.
d. TipePartisipasi
Berkaitan dengan tipe atau tipologi partisipasi, maka dapat dijelaskan melalui tabel berikut :
Tabel 2.1 Tipologi Partisipasi
Tipologi Karakteristik
Partisipasi pasif/ manipulatif
a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi
b) Pengumuman sepihak oleh manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat
c) Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran.
Partisipasi dengan cara memberikan informasi
a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti dalam kuesioner atau sejenisnya
b) Masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat dan memengaruhi proses penyelesaian
c) Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat.
Partisipasi melalui konsultasi
a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi b) Orang luar mendengarkan dan membangun
pandangan-pandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi
commit to user
tanggapan-tanggapan masyarakat
c) Tidak ada peluang bagi pembuat keputusan bersama d) Para profesional tidak berkewajiban mengajukan
pandangan-pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
Partisipasi untuk insentif materil
a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber daya seperti tenagakerja, demi mendapatkan makanan, upah, ganti rugi, dan sebagainya
b) Masyarakat tidak dilibatkan dalam eksperimen atau proses pembelajarannya
c) Masyarakat tidak mempunyai andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat insentif yang di sediakan/di terima habis.
Partisipasi fungsional
a) Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek b) Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada
keputusan-keputusan utama yang disepakati
c) Pada awalnya, kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar (fasilitator) tetapi pada saatnya mampu mandiri.
Self
mobilization (Mandiri)
a) Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki
b) Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan
c) Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada.
commit to user
Berdasarkan tabel di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam partisipasi masyarakat, dapat diketahui tipe atau tipologi partisipasi masyarakat dari tindakan-tindakan masyarakat dalam melakukan kegiatan di masyarakat. Melalui berbagai macam peran yang ditampilkan masyarakat dalam kehidupannya, secara tidak langsung dapat diketahui bagaimana tingkat partisipasinya, untuk selanjutnya apabila masyarakat dirasa belum mampu berpartisipasi dengan baik, melalui tipologi ini, pemerintah bersama masyarakat dapat melakukan tindak lanjut, agar partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan. Seperti halnya yang dinyatakan dalam tabel di atas, masyarakat yang diharapkan adalah masyarakat yang mampu mandiri yaitu masyarakat yang berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki, masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumber daya yang dibutuhkan, selain itu juga masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumbe daya yang ada.
e. TingkatanPartisipasi
Dilihat dari tingkatan atau tahapan partisipasi, Wilcox (1998) (Mardikanto, 2010: 99-100) mengemukakan adanya 5 (lima) tingkatan dalam partisipasi, yaitu :
1. Memberikan informasi (information)
2. Konsultasi (Consultation), yaitu menawarkan pendapat, sebagai pendengar yang baik untuk memberikan umpan-balik, tetapi tidak terlibat dalam implementasi ide dan gagasan tersebut).
3. Pengambilan keputusan bersama (deciding together), dalam arti memberikan dukungan terhadap ide, gagasan, pilihan-pilihan, serta mengembangkan peluang yang diperlukan guna pengambilan keputusan.
4. Bertindak bersama (Acting Together), dalam arti tidak sekedar ikut dalam pengambilan keputusan, tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam pelaksanaan kegiatannya.
5. Memberikan dukungan (Supporting independent community interest) dimana kelompok-kelompok lokal menawarkan pendanaan, nasehat, dan dukungan lain untuk mengembangkan agenda kegiatan.
commit to user
Dalam kutipan di atas diungkapkan mengenai tingkatan partisipasi yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam suatu kegiatan. Tingkatan di atas realistis, karena pada dasarnya manusia membutuhkan informasi mengenai kegiatan apa yang hendak dilakukan, konsultasi mengenai langkah yang hendak diambil, kemudian pengambilan keputusan bersama berdasarkan gagasan anggota, melakukan tindakan secara bersama dan memberikan dukungan terhadap kelompok lain atau anggota lain dalam mengembangkan agenda yang dijalankan. Apabila hal-hal seperti ini dilakukan dengan bersama-sama maka bukan tidak mungkin jika pembangunan yang dilakukan akan terlaksana sesuai dengan apa yang sudah direncanakan bersama. Dengan dilakukannya pembangunan secara partisipatif maka masyarakat dapat mengontrol sendiri pembangunan sesuai dengan kebutuhannya dalam pembangunan tersebut. Berdasarkan penjelasan mengenai tingkatan partisipasi tersebut, maka secara rinci dapat dijelaskan melalui gambar berikut :
Gambar 2.1 : Jenjang Tingkat Partisipasi Wilcox (Mardikanto, 2010: 100)
f. Langkah-langkahPembangunanPartisipatif
Untuk menjamin terjadinya proses belajar dari semua pelaku pembangunan baik di sektor pemerintah, swasta dan masyarakat maka langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pembangunan partisipatif mencakup kegiatan di berbagai tingkat, baik di tingkat pemerintah
commit to user
maupun di tingkat masyarakat (komunitas), sebagaimana materi yang disampaikan dalam Buku Pelatihan Dasar Bagi Relawan dan Lurah Kecamatan Sukoharjo Oleh PNPM-MP (2011: 38) sebagai berikut :
1. Di Tingkat Pemerintah atau Pihak Terkait
Mengingat pola pembangunan partisipatif meskipun berakar dari budaya bangsa tetapi dalam praktek manajemen pembangunan belum lazim dilakukan maka diperlukan beberapa kegiatan yang bersifat orientasi, konsultasi dan pelatihan untuk membuka wawasan sehingga terjadi pemahaman akan peran masing-masing dalam konteks demokratisasi pembangunan dan terjadi perubahan sikap dari perangkat pemerintah dan pihak terkait serta keterpaduan misi pembangunan makro.
2. Di Tingkat Komunitas atau Masyarakat
Berbentuk proses penyadaran, pelatihan dan pembentukan sikap yang melahirkan kesepakatan-kesepakatan pembangunan.
Dari adanya penjelasan langkah-langkah pembangunan partisipatif di atas, maka dapat dikatakan bahwa, dalam rangka melaksanakan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat dibutuhkan sebuah erangka kerja yang tersusun secara sistematis. Hal ini bisa ditunjukkan melalui urutan kerja yang ada di atas, apabila urutan kerja di atas dapat dilaksanakan dengan baik maka secara otomatis pelaksanaan pembangunan yang sebelumnya dirancang dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Koordinasi antar anggota masyarakat secara kolektif berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pembangunan dapat dirancang mulai dari perencanaan sampai pada evaluasinya.
Apabila mencermati pola pikir yang digunakan dalam menginventarisasi cara partsipasi tersebut, maka dapat dipahami bahwa partisipasi dalam perencanaan lebih dimaksudkan dalam rangka memperoleh masukan tentang kondisi dan permasalahan yang ada dalam masyarakat setempat. Masukan tersebut dapat diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari masyarakat dan merupakan hal yang dianggap penting bagi perumasan perencanaan terlepas dari apakah yang merumuskan perencanaan tersebut masyarakat sendiri atau bukan. Namun yang terpenting adalah, dengan dilaksanakannya pembangunan partisipatif yang terstruktur pembangunan yang dilakukan menjadi lebih terarah. Penjelasan di atas dapat dipahami secara rinci melalui
commit to user
sebuah kerangka yang menggambarkan suatu siklus pelaksanaan pembangunan partisipatif. Gambar kerangka yang dimaksud dapat dilihat sebagai berikut :
Gambar 2.2 : Siklus Pembangunan Partisipatif (Materi Pelatihan Relawan dan Lurah Kecamatan Sukoharjo; PNPM-MP (2011: 38-41)
g. Faktor-faktor Yang Menghambat Peran Serta Warga Negara Dalam Pembangunan
Menurut Bambang Panudju, terdapat beberapa hal yang menghambat partisipasi masyarakat dalam proses partisipasinya. Meskipun secara teoretis pengadaan perumahan dengan dengan peran serta masyarakat, ternyata realitanya tidak mudah, karena beberapa hambatan menurut Bambang Panudju (1999: 89-91), adalah hambatan yang berkaitan dengan birokrasi pemerintah, hambatan yang berkaitan dengan masalah pembentukan Organisasi Pelaksanaan, hambatan yang berkaitan dengan masalah pendanaan, hambatan yang berkaitan dengan pengadaan lahan dan prasarananya, dan hambatan yang berkaitan dengan masalah teknis pelaksanaan pembangunan rumah.
commit to user
Berkaitan dengan hambatan dari birokrasi pemerintahan, hampir di semua negara berkembang sikap dan perilaku sebagian birokrat cenderung menghalangi proses peran serta masyarakat. Bahkan sering kali ada pihak birokrat yang ingin mengeksploitasi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu struktur hukum dan birokrasi yang kaku, seringkali kurang liwes dalam menghadapi aspirasi mayoritas masyarakat. Para birokrat sering kali berpegang teguh pada standar yang berlebihan peraturan dan prosedur formal yang kompleks. Anzorena (Panudju, 1999: 89). Disamping itu, hambatan yang berkaitan dengan masalah pembentukan Organisasi Pelaksanaan, anggota masyarakat desa terutama yang berpenghasilan rendah kerap memiliki kesehatan yang lemah karena penyakit atau kekurangan makan, sehingga kemampuannya untuk menyumbangkan waktu dan tenahganya dalam kegiatan bersama sangat kecil. Kondisi kehidupan dan lingkungan yang buruk, ketakutan terhadap pejabat pemerintah dan ketidakpercayaan mereka pada orang luar, menyebabkan mereka secara psikologis tidak terbuka untuk turut berperan serta dalam suatu program. Penjelasan tersebut selaras dengan pendapat Oscar Lewis:
Seringkali sikap apatis mereka disebabkan karena rasa rendah diri akibat kegagalan mereka dimasa lalu maupun ketidakpercayaan terhadap pihak lain atau masalah lain yang perlu diungkap lebih jauh. Dengan kondisi masyarakat seperti itu tidaklah mudah untuk menarik dan mengorganisir mereka agar mau turut perperan serta dalam pengadaan perumahan tanpa memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi mereka terlebih dahulu.
(Panudju, 1986: 35)
Hambatan yang berkaitan dengan masalah pendanaan, dalam kondisi masyarakat terutama yang memiliki penghasilan rendah, tidak mungkin masyarakat tersebut dituntut untuk dapat menyediakan dana yang cukup besar untuk membengun rumahnya. Untuk dapat menarik peran serta mereka dalam pengadaan rumahnya, diperlukan suatu sistem pengadaan rumah khusus dan berbagai macam bantuan sumber dana dari berbagai pihak. (Panudju, 1999:
commit to user
39). Disamping hambatan-hambatan tersebut, hambatan juga bisa datang dari masalah teknis pelaksanaan pembangunan rumah. Keterbatasan kemampuan ekonomi dan pengetahuan masyarakat berpenghasilan rendah terutama dibidang teknis dan administratif menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi standar rancangan rumah sesuai dengan standar pemerintah, memecahkan masalah pengurusan izin pembangunan, dan melaksanakan pembangunan rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan serta kebersihan. Hal ini mengakibatkan rumah-rumah yang dibangun tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, seringkali dianggap dibawah standar sehingga tidak memiliki ijin-ijin yang diperlukan, sehingga menjadi korban penggusuran.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut di atas, secara spesifik Totok Mardikanto (2010: 107) mengemukakan pendapatnya menganai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat khususnya dalam pembangunan, juga dapat didekati mealui beragam pendekatan disiplin keilmuan, sebagai berikut (Gambar 2.4) :
Gambar 2.3 : Faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh-berkembangnya partisipasi. Totok Mardikanto (2010: 107)
Berdasarkan gambar di atas, maka dalam buku yang sama (Konsep-konsep pemberdayaan masyarakat), Mardikanto (2010: 107-108) menjelaskan sebagai berikut :
commit to user
a. Dalam konsep psikologi, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat sangat ditentukan oleh motivasi individu yang melatarbelakanginya, yang merupakan cerminan dari dorongan, tekanan, kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan yang dirasakan. b. Secara sosiologis, sikap merupakan fungsi dari kepentingan.
c. Dengan demikian tumbuh dan berkembangnya partisipasi dalam masyarakat, akan sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap tingkat kepentingan dari pesan-pesan yang disampaikan kepadanya.
d. Besarnya harapan, dalam konsep ekonomi, sangat ditentukan oleh besarnya peluang dan harga dari manfaat yang akan diperoleh. e. Tentang manfaat itu sendiri, dapat dibedakan dalam manfaat
ekonomi dan non-ekonomi (yang dapat dibedakan dalam kekuasaan, persahabatan/kebersamaan, dan prestasi).
Berkaitan dengan faktor yang dapat menghambat partisipasi di atas, maka apabila faktor-faktor tersebut tidak segera diantisipasi dapat menimbulkan dampak yang lebih fatal. Dampak tersebut antara lain, munculnya beberapa permasalahan partisipasi didalam pembangunan ataupun partisipasi masyarakat dalam kegiatan lainnya. Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat Soetrisno yang mengidentifikasi beberapa masalah kaitannya dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sebagai berikut :
1. Masalah pertama dan terutama dalam pembangunan partisipasi masyarakat adalah belum dipahaminya makna sebenar-benarnya tentang partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan.
a. Pada tataran perencanaan pembangunan, partisipasi didefinisikan sebagai kemauan masyarakat untuk secara penuh mendukung pembangunan yang direncanakan dan ditetapkan sendiri oleh (aparat) pemerintah.
b. Para pelaksana pembangunan di lapangan, pembangunan yang dirancang dan ditetapkan oleh pemerintah didefinisikan sebagai kebutuhan masyarakat.
c. Partisipasi masyarakat, sering didefinisikan sebagai kerjasama pemerintah dan aspirasi masyarakat cukup diakomodasikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
2. Masalah kedua adalah dengan dikembangkannya pembangunan sebagai ideologi baru yang harus diamankan dengan dijaga ketat, yang mendorong aparat pemerintah bersifat otoriter.
3. Masalah ketiga adalah banyaknya peraturan yang meredam keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.
commit to user
Berdasarkan penjelasan mengenai permasalahan dalam partispasi di atas, maka untuk mengantisipasi hal-hal atau pengaruh buruk dari luar yang dapat meredamkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi. Sehubungan dengan hal tersebut peran pemerintah dalam melakukan berbagai macam kegiatan pemberdayaan masyarakat harus digalakkan agar partisipasi masyarakat ikut meningkat. Permasalahan dalam partisipasi akan menghambat atau bahkan mematikan partisipasi dalam masyarakat apabila tidak segera ditanggulangi. Sehingga partisipasi masyarakat harus senantiasa dijaga agar pembangunan dalam masyarakat tetap berjalan.
h. TingkatPeranSertaMasyarakatDalamPembangunan
Menurut Bambang Panudju (1999: 103), dijelaskan bahwa meskipun masalah peran serta masyarakat telah banyak dibicarakan, yang seringkali masih menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh tingkat peran serta masyarakat diperlukan agar suatu usaha dapat berhasil dengan baik. Hal ini harus dipikirkan dengan baik, karena pada kenyataannya terdapat berbagai macam dan tingkat peran serta masyarakat yang tidak mudah diklasifikasikan. Berdasarkan pengamatannya di Amerika Serikat menurut Anstein diperkirakan ada 150 tingkat peran serta masyarakat yang seringkali sulit dibedakan secara tajam dan murni. Untuk mengurangi kerancuan dalam menganalisis persoalan ini, dari 150 macam peran serta oleh Arnstein disederhanakan menjadi delapan tipologi tingkat peran serta masyarakat. Menurut Sherry Arnstein pada makalahnya yang termuat di Journal of the American Institute of Planners dengan judul “A Ladder of Citizen Participation” yang dikutip dalam buku Bmbang Panudju (1999: 72-77), bahwa terdapat delapan tangga tingkat partisipasi berdasarkan kadar kekuatan masyarakatdalam memberikan pengaruh perencanaan, yaitu: Manipulation atau manipulasi, therapy atau penyembuhan, informing atau pemberian informasi, consultation atau konsultasi, placation atau perujukan, partnership atau kemitraan, delegated Power atau pelimpahan kekuasaan, dan yang terakhir adalah citizen Control atau masyarakat yang mengontrol.
commit to user
Manipulation atau manipulasi adalah yang paling rendah karena masyarakat hanya memakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasihat advising board. Dalam hal ini tidak ada peran serta masyarakat yang sebenarnya dan tulus, tetapi di selewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi dari pihak penguasa. Therapy atau penyembuhan, Istilah ini diambil dari group therapy atau kelompok penyembuhan. Dengan berkedok melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan, para perancang memperlakukan anggota masyarakat seperti proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy. Meskipun masyarakat terlibat daam banyak kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mengubah pola pikir masyarakat yang bersangkutan daripada mendapatkan masukan atau usulan dari mereka. Informing atau pemberian informasi yaitu informasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka, tanggungjawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam melaksanakan peran serta masyarakat. Meskipun demikian, yang sering terjadi penekanannya lebih pada pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kuasa kepada masyarakat. Tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat.
Consultation atau konsultasi, mengandung opini masyarakat, setelah memberikan informasi kepada mereka, dapat merupakan langkah penting dalam menuju peran serta penuh dari masyarakat. Akan tetapi, bila konsultasi dengan masyarakat tersebut disertai dengan cara-cara peran serta yang lain, cara ini tingkat keberhasilannya rendah, karena tidakadanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering dipergunakan adalah attitude surveys atau survey tentang arah pikir masyarakat. Neighbourhood meeting atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat.
Placation atau perujukan, pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya beberapa anggota
commit to user
masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintahan. Dengan sistem ini usulan atau keinginan dari masyarakat berpenghasilan rendah dapat dikemukakan. Partnership atau kemitraan, pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggungjawab perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan, dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapi. Delegated Power atau pelimpahan kekuasaan, pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini masyarakat mempunyai kewenangan untuk memperhitungkan bahwa program-program yang akan dilaksanakan bermanfaat bagi mereka. Citizen Control atau masyarakat yang mengontrol, pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan penuh dibidang kebijaksanaan aspek-aspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan “pihak-pihak luar” yang hendak melakukan perubahan.
Dari ke delapan tripologi tersebut, menurut Menurut Sherry Arnstein pada makalahnya yang termuat di Journal of the American Institute of Planners dengan judul “A Ladder of Citizen Participation”, (Panudju, 1999: 77) bahwa secara umum dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu sebagai berikut :
a. Tidak ada peran serta atau Non Partisipation yang meliputi peran serta pada tingkat manipulation dan therapy.
b. Peran serta masyarakat dalam bentuk tinggal menerima beberapa ketentuan yang diberikan atau degrees of tokenism yang meliputi peran serta pada tingkat irforming, consultation dan placation.
c. Peran serta masyarakat dalam bentuk mempunyai kekuasaan atau degrees of citizen power yang meliputi peran serta pada tingkat Partnership, delegated power dan Citizen Control.
commit to user
Berdasarkan tripologi tingkat peran serta masyarakat di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang melakukan partisipasi dalam bidang tertentu secara prinsipil dapat dikelompokkan dalam beberapa tahapan, mulai dari tidak berperan atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan sampai pada munculnya partisipasi seseorang dalam suatu kegiatan yang disertai ddengan kekuasaan tertentu. Hal tersebut mampu memberikan gambaran mengenai klasifikasi seseorang yang melakukan atau melibatkan diri dalam suatu kegiatan. Dengan mengetahui situasi masyarakat dalam melakukan partisipasinya, pemerintah bersama dengan masyarakat mampu mengarahkan dan membentuk pribadi masyarakatnya agar mau dan mampu berpartisipasi secara aktif dalam suatu kegiatan. Sehingga secara tidak langsung, dengan memperhatikan penjelasan di atas maka untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan mengetahui tingkat partisipasi individu atau keterlibatan individu dalam kegiatan bersama-sama yang dapat diukur dengan skala yang dikemukakan oleh Chapin, yaitu:
a. Keanggotaan dalam organisasi b. Kehadiran di dalam pertemuan c. Sumbangan-sumbangan
d. Keanggotaan di dalam kepengurusan e. Kedudukan anggota di dalam kepengurusan
(Slamet, 1993: 82-83)
Sementara itu, Goldhamer mengukur tingkat partisipasi masyarakat dengan menggunakan lima variabel yaitu:
a. Jumlah asosiasi yang dimasuki b. Frekuensi kehadiran
c. Jumlah asosiasi dimana dia memangku jabatan d. Lamanya menjadi anggota
e. Tipe asosiasi yang dimasuki (Slamet, 1993: 84)
commit to user
i. PengertianStrategiPembangunanPartisipatif
Konsep partisipasi dalam pembangunan dapat dilihat dari pendapat Nasikun (1993: 27) bahwa: “Paradigma pembangunan yang baru berprinsip bahwa pembangunan harus pertama-tama dan terutama dilakukan atas inisiatif dan dorongan kepentingan masyarakat, masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat dalam keseluruhan pembangunannya.” Sementara itu, Mikkelsen (2006: 64) menyatakan bahwa:
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri dalam rangka pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka dengan cara memantapkan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melaksnakan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek, agar mereka memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial yang ditimbulkan dengan keberadaan proyek pembangunan tersebut.
Pandangan lainnya, sebagaimana dinyatakan oleh Mubyarto (1984: 35), yaitu :
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan harus diartikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorban kepentingan diri sendiri”. Selanjutnya disebutkan pula bahwa dalam keadaan yang paling ideal keikutsertaan masyarakat merupakan ukuran tingkat partisipasi rakyat. Semakin besar kemampuan mereka untuk menentukan nasibnya sendiri, maka semakin besar pula kemampuan mereka dalam pembangunan.
Lebih lanjut, Nasikun (1993: 27) mengemukakan bahwa:
Partisipasi merupakan pelibatan diri secara penuh pada suatu tekat yang telah menjadi kesepakatan bersama antar anggota dalam satu kelompok/antar kelompok sampai dengan skala nasional dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari landasan konstitusional Negara Republik Indonesia maka partisipasi dapat disebut sebagai falsafah pembangunan Indonesia.
Dengan demikian sudah sewajarnya bila setiap pembangunan haruslah menerapkan konsep partisipasi. Konsep partisipasi dalam pembangunan kemudian disebut sebagai pembangunan partisipatif, yaitu pola pembangunan yang melibatkan berbagai pelaku pembangunan yang berkepentingan (sektor pemerintah, swasta dan masyarakat yang akan langsung menikmati hasil
commit to user
pembangunan) dalam suatu proses kemitraan dengan menerapkan konsep partisipasi, dimana kedudukan masyarakat adalah sebagai subyek pembangunan dan sekaligus sebagai objek dalam menikmati hasil pembangunan.
Penjelasan di atas senada dengan pernyataan Soemadi Rekso Putranto (1992: 51-52) “Peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan hendaknya masyarakat tidak dipandang sebagai obyek semata, tetapi harus dilibatkan sebagai pelaku aktif dalam pembangunan mulai sejak perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.” Selanjutnya hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah hendaknya masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan secara proposional sesuai dengan peranannya masing-masing. Dengan demikian sudah sewajarnya apabila partisipasi dalam masyarakat ditumbuhkan dalam setiap pembangunan yang dilakukan. Verhangen (1979) menyatakan bahwa :
Partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Tumbuhnya interaksi dan komunikasi tersebut dilandasi oleh adanya kesadaran yang dimiliki oleh yang bersangkutan mengenai :
a. Kondisi yang tidak memuaskan dan harus diperbaiki
b. Kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia atau masyarakatnya sendiri
c. Kemampuannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan
d. Adanya kepercayaan diri bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi kegiatan yang bersangkutan.
(Mardikanto, 2010: 94)
Pernyataan di atas logis dan sejalan dengan kehidupan masyarakat yang mampu melakukan perubahan sesuai dengan keadaan yang diinginkan, termasuk melalui usaha pembangunan atas sarana dan prasarana yang dirasa kurang sesuai. Kondisi yang tidak memuaskan dalam kehidupan manusia dapat memicu tumbuhnya keinginan untuk melakukan pembangunan karena secara langsung pembangunan yang dilakukan akan berdapak pada dirinya, lingkungannya, dan juga orang lain yang ikut menikmati hasil pembangunan. Pembangunan yang dilakukan dengan peran serta masyarakat di dalamnya,
commit to user
merupakan sebuah konsep pembangunan yang bermanfaat untuk kehidupan yang diinginkan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Theodorson (Mardikanto, 1994: 48) mengemukakan bahwa dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau masyarakat) dalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakat, diluar pekerjaan atau profesinya sendiri. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud bukanlah bersifat pasif, tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Dalam pengertian tersebut, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakat di lingkungannya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Jika dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka dalam hal ini masyarakat secara aktif ikut serta dalam proses pembangunan yang dilakukan di tempat ia berada.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila pengertian partisipasi di hubungkan dengan pembangunan dalam kehidupan masyarakat, maka partisipasi masyarakat bisa diartikan ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut, dalam hal pembangunan. Partisipasi masyarakat di bidang pembangunan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah pembangunan dalam kehidupan mereka. Di dalam hal ini, masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program pembangunan masyarakat. Sedangkan lembaga pemerintahan hanya sekadar memotivasi, memfasilitasi dan memberdayakan masyarakat yang bersangkutan.
Dalam mempelajari konsep pembangunan partisipatif, kita harus mengetahui terlebih dahulu pendekatan-pendekatan apa yang digunakan dalam partisipasi pembangunan, dalam hal ini Mikkelsen (2006) yang dikutip dalam buku Isbani Rukminto Adi (2008 : 65), menyebutkan bahwa secara garis besar ada dua pendekatan dalam hal partisipasi, yaitu:
commit to user
1. Partisipasi datang dari masyarakat sendiri, merupakan tujuan dalam proses demokrasi. Namun demikian sedikit saja masyarakat yang mau melakukan pendekatan partisipasi secara sukarela dalam kegiatan pembangunan;
2. Partisipasi dengan motivasi positif yang bersifat memaksa. Dengan pendekatan ini masyarakat dipaksa untuk melakukan partisipasi dalam pembangunan dengan motivasi agar dapat melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan secara lebih baik. Selanjutnya disebutkan bahwa partisipasi dapat dilaksanakan dengan tingkat paksaan dan sukarela yang berbeda-beda, serta tingkat keaktifan masyarakat yang berbedabeda pula. Namun demikian, guna mencapai keberhasilan pembangunan, partisipasi aktif dan sukarela merupakan hal ideal yang harus diupayakan.
Berdasarkan pendapat Mikkelsen tentang pendekatan partisipasi di atas, dapat diartikan bahwa dalam proses berjalannya partisipasi masyarakat dapat diketahui adanya pendekatan yang berbeda. Pendekatan tersebut dapat berupa kesukarelaan masyarakat untuk datang dan berpartisipasi, apabila hal ini dikaitkan dengan pembangunan partisipatif dalam Program Renovasi Rumah Tidak Layak Huni, maka masyarakat dengan pendekatan semacam ini merupakan masyarakat dengan tingkat partisipasi yang baik, karena masyarakat seperti ini secara sadar mau ikut serta dalam kegiatan pembangunan, karena ia tahu bahwa partisipasi adalah hal yang sangat ideal untuk diterapkan dalam pembangunan. Pendekatan yang kedua lebih mengarah kepada suatu tindakan yang dilakukan untuk memberikan stimulus kepada seseorang agar ia mau melakukan partisipasi.
Diana Conyers (1991) menyebutkan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat dalam pembangunan mempunyai sifat sangat penting. Tiga alasan yang dimaksud adalah :
Pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat, tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya partisiapsi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak
commit to user
demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. (Supardjan dan Hempri, 2003: 53)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penempatan manusia sebagai pihak yang penting dalam pembangunan adalah hal yang sifatnya mutlak. Secara tidak langsung sebenarnya pembangunan yang diarahkan demi perbaikan nasib manusia harus digalakkan untuk menuju masyarakat yang lebih baik. Konsep pembangunan yang menyertakan peran aktif masyarakat didalamnya, mampu menimbulkan dampak positif bagi terselenggaranya suatu pembangunan yang tepat sasaran, tepat guna, dan tepat waktu. Kehadiran masyarakat sebagai partisipan pembangunan dalam masyarakat, tentu harus dilakukan secara terprogram dan terstruktur. Hal ini dapat diketahui dengan melihat tahapan-tahapan dalam melakukan partisipasi pembangunan, agar partisipasi yang dilakukan dapat efektif dan efisien. Berkaitan dengan hal tersebut, Yadav (UNAPDI, 1980) mengemukakan tentang adanya empat macam kegiatan yang menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu :
1. Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak.
2. Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai partisipasi masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan.
3. Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat diperlukan.
4. Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan
Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan, merupakan unsur terpenting yang sering terlupakan.
(Mardikanto, 2010: 95-96)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi ini terutama berkaitan
commit to user
dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang menyangkut kepentingan bersama. Wujud partisipasi dalam pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat, partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas dapat dilihat dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari prosentase keberhasilan program. Keempat, partisipasi dalam evaluasi, partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan dengan pelaksanaan pogram yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya.
Pandangan di atas mencerminkan bahwa, partisipasi masyarakat dalam tahapan-tahapan pembangunan pada prinsipnya tidak hanya diartikan merupakan tahapan pengambilan keputusan tentang rencana yang hendak dilakukan. Tahapan selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan yaitu menerima manfaat secara proporsional, dan mengawasi program pembangunan yang dilaksanakan. Jika mereka merasa ikut memiliki dan merasakan manfaat program tersebut, maka diharapkan masyarakat dapat secara aktif melakukan pengawasan terhadap program, sehingga penyimpangan-penyimpangan dapat lebih dihindarkan, guna mencapai keberhasilan pembangunan sesuai tujuan yang telah direncanakan.
Adanya kesempatan yang diberikan, sering kali merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, karena kemauan akan sangat menentukan kemampuannya. Kemauan untuk berpartisipasi merupakan kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Sebab, kesempatan dan kemampuan yang cukup, belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk (turut) membangun. Sebaliknya, adanya kemauan akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemampuan dan aktif memburu
commit to user
serta memanfaatkan setiap kesempatan. Adanya kesempatan-kesempatan yang disediakan untuk menggerakkkan partisipasi masyarakat akan tidak banyak berarti, jika masyarakatnya tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Mardikanto (2010: 106) menjelaskan yang dimaksud dengan kemampuan di sini adalah :
1) Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidupnya).
2) Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.
3) Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka dapat dijabarkan bahwa seseorang yang ingin melakukan partisipasi dalam suatu kegiatan harus memiliki kemampuan-kemampuan tertentu agar partisipasi yang dilakukan dapat efektif. Beberapa diantaranya adalah kemampuan dalam memahami kesempatan untuk membangun. Hal ini sangat sesuai jika dikaitkan dengan konsep pembangunan, karena seseorang yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan harus mengetahui terlebih dahulu harus mengetahui kapan ada kesempatan untuk ikut dalam proses pembangunan. Yang kedua yautu adanya kemampuan untuk melakukan pembangunan. Seseorang dapat ikut serta dalam partisipasi pembangunan ketika orang tersebut memiliki kemampuan dalam melakukan pembangunan sehingga pembangunan yang dilakukan dapat efektif dan efisien. Yang ketiga adalah kemampuan untuk memecahkan masalah, bukan tidak mungkin jika suatu pembangunan mengalami permasalahan dalam pembangunannya, dalam hal inilah partisipasi masyarakat dalam rangka memecahkan masalah yang ada, dilakukan. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diharapkan suatu pembangunan dapat terlaksana dengan efektif dan efisien.
Kapasitas masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan yang hendak diterapkan, dapat dilakukan dengan berpartisipasi aktif dalam forum-forum perencanaan pembangunan ataupun kegiatan lain yang mengikutsertakan peran
commit to user
masyarakat. Dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, masyarakat dapat memberikan gagasan terutama untuk mengeksplorasi hal-hal yang menjadi hambatan dalam pembangunan ataupun juga dapat mengusulkan program kebijakan pembangunan. Masyarakat dapat menyampaikan gagasannya melalui lembaga kemasyarakatan yang ada. Apabila masyarakat mau serta mampu berpartisipasi masyarakat maka dapat dikatakan bahwa, masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang berdaya. Pernyataan tersebut senada dengan data yang diambil dari pendapat Adamson (2010) dalam jurnal internasional berjudul “Community Empowerment, Identifying The Barriers To Purposeful Citizen Participation” Vol. 30. No.3/4, 114 bahwa:
While the paper identifies barriers to empowerment that are recognised in the wider literature, it demonstrates that such barriers can prevail even within a highly participative policy framework such as Communities First. The paper also provides evidence of a clear sense of agency on the part of community members of regeneration partnerships and counters models which suggest regeneration partnerships are simple mechanisms of social control which diffuse community activism.
Dalam jurnal di atas, terdapat pernyataan mengenai hubungan antara masyarakat dengan lembaga kemasyarakatan dalam rangka memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan dapat melakukan kontrol sosial terhadap aktifitas masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, lembaga kemasyarakatan memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Melalui lembaga kemasyarakatan seperti Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), masyarakat dapat memberikan partisipasinya dalam memberikan buah pikiran, ide, ataupun gagasan berkaitan dengan agenda program pembangunan. ddengan demikian, pembangunan yang hendak direalisasikan bersifat partisipatif dan demokratis, karena peran masyarakat diikutsertakan dalam pembangunan.
Konsep pembangunan partisipatif akan sangat tepat jika dikaitkan dengan teori Pembangunan Berbasis Hak yang dicetuskan oleh Amartha Sen (Vietnam) pada tahun 2000, teori tersebut banyak mendasari sebuah proses pembangunan yang melibatkan masyarakat sebagai obyek yang berpengaruh
commit to user
dalam proses pembangunan, apabila dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan maka teori ini mampu mendasari kajian yang ada karena dalam teori ini mengisyaratkan berkembangnya partisipasi aktif masyarakat miskin dalam proses pembangunan, kesadaran akan perlunya partisipasi masyarakat sebagai sarana menciptakan suatu harmoni sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, pembangunan tidak dianggap sebagai pemberian cuma-cuma melainkan sebagai hak yang melekat. Berdasarkan penjelasan tersebut Teori Pembangunan Berbasis Hak mendukung adanya prinsip-prinsip keterlibatan masyarakat dalam suatu pembangunan, dalam teori ini keterlibatan secara aktif masyarakat miskin dalam proses pembangunan sangat diharapkan. Prinsip tersebut sesuai dengan pembangunan partisipatif yang diangkat dalam penelitian ini, karena dalam pembangunan partisipatif masyarakat pada umumnya dituntut untuk ikut terlibat dalam proses pembangunan. Sehingga dengan dikaitkannya pembangunan partisipatif ini dengan Teori Pembangunan Berbasis Hak maka pembangunan yang dilakukan menghasilkan individu-individu yang senantiasa memiliki kepekaan tentang keadaaan yang ada disekitarnya, dan dengan adanya kepekaan tersebut seluruh masyarakat mau dan mampu untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi terwujudnya harmoni sosial dalam masyarakat.
Dari beberapa pernyataan mengenai pengertian strategi pembangunan partisipatif di atas, dapat disimpulkan bahwa stategi dalam hal ini diartikan sebagai kebijakan atau program yang dilakukan dalam bidang pembangunan, dimana keterlibatan masyarakat ada didalamnya dan menjadi faktor penting penentu keberhasilan pembangunan. Dengan menerapkan strategi pembangunan yang partisipatif, maka masyarakat mampu mengarahkan laju pembangunan yang ada, sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
commit to user
2.-TinjauanTentangRumahTidakLayakHuni a. PengertianRumah
Dalam arti umum, rumah adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan, namun untuk istilah tempat tinggal yang khusus bagi hewan adalah sangkar, sarang, atau kandang. Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tingga atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, serta tempat pengembangan kehidupan keluarga.
Sebagai bangunan, rumah berbentuk ruangan yang dibatasi oleh dinding dan atap. Rumah memiliki jalan masuk berupa pintu dengan tambahan berjendela. Lantai rumah biasanya berupa tanah, ubin, babut, keramik, atau bahan material lainnya. Rumah bergaya modern biasanya memiliki unsur-unsur ini. Ruangan di dalam rumah terbagi menjadi beberapa ruang yang berfungsi secara spesifik, seperti kamar tidur, kamar mandi, WC, ruang makan, dapur, ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras dan pekarangan. Dalam kegiatan sehari-hari, orang biasanya berada di luar rumah untuk bekerja, bersekolah atau melakukan aktivitas lain. Aktifitas yang paling sering dilakukan di dalam rumah adalah beristirahat dan tidur. Selebihnya, rumah berfungsi sebagai tempat beraktivitas antara anggota keluarga atau teman, baik di dalam maupun di luar rumah pekarangan. Rumah dapat berfungsi sebagai tempat untuk menikmati kehidupan yang nyaman, tempat untuk beristirahat, tempat berkumpulnya keluarga dan tempat untuk menunjukkan tingkat sosial dalam masyarakat. Menurut Johan Silas (2002: 31) rumah mengandung pengertian :
a. Sebagai tempat penyelenggaraan kehidupan dan penghidupan keluarga; rumah harus memenuhi kebutuhan yang bersifat biologis seperti makan, belajar, dan lain-lain, juga memenuhi
commit to user
kebutuhan non biologis, seperti bercengkrama dengan anggota keluarga atau dengan tetangga.
b. Rumah berfungsi sebagai sarana investasi; rumah mempunyai nilai investasi yang bersifat moneter yang dapat diukur dengan uang dan non moneter yang tidak dapat diukur dengan uang, tetapi lebih pada keuntungan moral dan kebahagiaan keluarga. c. Rumah sebagai sarana berusaha; melalui rumah penghuni dapat
meningkatkan pendapatannya guna kelangsungan hidupnya. d. Rumah sebagai tempat bernaung harus memenuhi kebutuhan
ruang akan kegiatan bagi penghuninya. Terdapat beberapa ruang pokok yang ada pada sebuah rumah, yaitu ruang tidur, ruang belajar atau ruang kerja, ruang keluarga, ruang services seperti dapur, dan teras atau ruang tamu.
b. PengertianRumahLayakHuni
Rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Sebenarnya rumah tidak harus mewah untuk sekedar memenuhi standar rumah sehat dan layak huni. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat syarat-syarat rumah yang sehat dan layak huni, menurut Wislow yang dikutip dalam buku (Indan Entjan, 1991: 102-105) adalah sebagai berikut: memenuhi kebutuhan Fisiologis, yaitu suhu ruangan tidak banyak berubah berkisar antara 1 -20 C. Memenuhi kebutuhan psikologi Rumah bukan sekedar tempat untuk beristirahat, melainkan juga tempat untuk mendapatkan kesenangan kecintaan, dan kebahagiaan. Menghindari terjadinya kecelakaan. Menghindari terjadinya penyakit.
Berdasarkan penjelasan mengenai rumah yang layak huni di atas, maka dapat disimpulkan bahwa rumah yang memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : Suhu udara luar, pergeseran udara, kelembaban udara, suhu benda sekitarnya, cukup mendapatkan penerangan (sinar) baik siang maupun malam terutama pagi hari, cukup terjadinya pertukaran udar, ruang tetap segar karena cukup oksigen, cukup mempunyai jendela yang luas dan harus sering dibuka, cukup mempunyai isolasi udara. Selain itu harus memenuhi kebutuhan psikoligis, yaitu rumah bukan sekedar tempat untuk beristirahat, melainkan juga tempat untuk mendapatkan kesenangan kecintaan, dan kebahagiaan sehingga: cara
commit to user
pengaturannya harus memenuhi syarat keindahan, adanya jaminan kebebasan setiap anggota keluarga, ruangan bagi anggota yang telah dewasa harus memenuhi aspek privasi, harus ada tempat keluarga berkumpul, harus ada ruang tamu untuk bermasyarakat. Selanjutnya, rumah juga harus terhindar dari kemungkinan-kemungkinan terjadinya kecelakaan, yaitu konstruksi dan bahan bangunan yang kuat, ada sarana pencegahan kecelakaan di sumur, kolam terutama bagi anak-anak, tidak mudah terbakar, ada alat pemadam kebakaran. Terakhir, rumah juga harus terhindar dari kemungkinan terjadinya penyakit, antara lain: adanya sumber air yang sehat, cukup dari sisi kualitas dan kuantitas, ada tempat pembuangan kotoran, sampah dan air limbah yang baik, dapat mencegah tempat berkembangnya vektor penyakit, cukup luas ruang antara 7-10 m² atau lebih.
c. PengertianBantuanRenovasiRumahTidakLayakHuni
Pada dasarnya, makna dari bantuan renovasi rumah tidak layak huni ini sama dengan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Hingga saat ini, PNPM Mandiri Perkotaan terus mendampingi Pemda dan masyarakat dengan memberikan technical assistance atau bantuan teknis. Langkah ini dilakukan agar dukungan serta peran serta Pemda terhadap PNPM Mandiri Perkotaan terus menguat dari waktu ke waktu. Program Renovasi Rumah Tidak Layak Huni atau yang di singkat RTLH merupakan suatu program yang diberikan pemerintah melalui PNPM-MP atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan. Program ini diberikan atau diterapkan di masyarakat sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin dalam segi papan. Program kebijakan seperti ini sangat perlu dilakukan, untuk memberikan akses kepada masyarakat agar memiliki rumah yang layak untuk dihuni. Permintaan terhadap rumah akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, karena rumah merupakan kebutuhan dasar bagi manusia di samping pakaian dan makanan. Meningkatnya kebutuhan rumah bagi masyarakat harus diikuti dengan kebijakan pemerintah yang dapat
commit to user
membenatu tercukupinya kebutuhan masyarakat terhadap rumah. Program Renovasi Rumah Tidak Layak Huni ini merupakan salah satu upaya yang tepat untuk dilakukan agar kebutuhan masyarakat terutama masyarakat miskin terhadap rumah dapat tercapai.
Renovasi dan pembangunan perumahan merupakan salah satu komponen kegiatan lingkungan PNPM Mandiri Perkotaan, rehabilitasi dan pembangunan perumahan tersebut diperuntukkan bagi masyarakat miskin di kelurahan PNPM Perkotaan yang memiliki hak atas tanah dan memiliki rumah yang tidak layak huni bila dilihat dari aspek kesehatan, kenyamanan dan keamanan penghuninya.
Penerapan Program Renovasi Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Sukoharjo, selalu bekerjasama dengan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) termasuk di wilayah Kecamatan Sukoharjo. Dalam penerapan Program Renovasi Rumah Tidak Layak Huni ini terdapat sasaran dan pembiayaannya bagi masyarakat penerima manfaat. Adapun sasaran menurut Prosedur Operasional Baku (POB) PNPM-Mandiri Perkotaan (2012: 4) sebagai berikut:
Sasaran
Renovasi dan pembangunan rumah di diperuntukkan khusus bagi masyarakat miskin (PS2) di kelurahan PNPM Mandiri Perkotaan dengan ketentuan:
1) Penerima manfaat memiliki lahan untuk kebutuhan pembangunan rumah
2) Penerima manfaat memiliki bukti surat syah atas kepemilikan tanah 3) Penerima manfaat memiliki bukti atas kepemilikan rumah yang
kurang layak bila dilihat dari aspek kesehatan dan keamanan penghuninya.
Berdasarkan penjelasan mengenai sasaran penerima program renovasi rumah tidak layak huni di atas, maka secara terperinci Prosedur Operasional Baku (POB) PNPM-Mandiri Perkotaan (2012: 4) menyatakan pula mengenai penjelasan pembiayaan dalam Program Renovasi Rumah Tidak Layak Huni sebagai berikut:
Biaya rehabilitasi/renovasi dan pembangunan rumah yang berasal dari BLM PNPM Perkotaan hanya sebagai stimulan bagi masyarakat untuk