• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meningkatkan penghayatan spiritualitas kaul ketaatan menurut Beato Francisco Palau dalam hidup berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries melalui katekese.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Meningkatkan penghayatan spiritualitas kaul ketaatan menurut Beato Francisco Palau dalam hidup berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries melalui katekese."

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

vii

SPIRITUALITAS KAUL KETAATAN MENURUT BEATO FRANCISCO PALAU DALAM HIDUP BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CARMELITE MISSIONARIES MELALUI KATEKESE. Penulisan judul ini bertitik tolak dari refleksi dan pengalaman penulis yang menunjukkan bahwa adanya kemunduran dalam penghayatan spiritualitas kaul ketaatan dalam hidup berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries. Permasalahan pokok yang terdapat dalam skripsi ini adalah, mengapa spiritualitas kaul ketaatan menurut beato Francisco Palau sangat penting bagi hidup berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries, hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh suster-suster Carmelite Missionaries dalam menghayati spiritualitas kaul ketaatan serta apa hubungan antara ketaatan dengan hidup berkomunitas. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode deskriptif analisis kajian pustaka.

Hasil akhir penelitian ini penulis menemukan bahwa metode katekese yang digunakan untuk meningkatkan penghayatan spiritualitas kaul ketaatan dalam hidup berkomunitas, Shared Christian Praxis dijadikan sebagai salah satu pendekatan yang tepat untuk kembali kepada penghayatan spiritualitas kaul ketaatan menurut beato Francisco Palau. Metode katekese Shared Christian Praxis merupakan salah satu metode yang efektif dan berdaya guna bagi para suster Carmelite Missionaries dalam meningkatkan mutu spiritualitas kaul ketaatan menurut beato Francisco Palau dalam hidup berkomunitas. Dengan demikian para suster Carmelite Missionaries

(2)

viii

THE PIRITUALITY OF THE VOW OF OBEDIENCE ACCORDING TO BLESSED FRANCISCO PALAU IN COMMUNITY LIVING OF THE CARMELITE MISSIONARIES THROUGH CATECHESIS. The writer chose this title based on the reflections and personal experiences in community living. The writer showed there was decreasing in Carmelite Missionaries sisters in living out the vow of obedience. The main concern of this thesis are why the spiritulity of obedience according to blessed Francisco Palau is very important in community life for the Carmelite Missionaries sisters, what are the hindrances in living out the spiritulity of obedience and the connection between obedience and community life. To answer those concerns above, this thesis is used analysis descriptive method.

(3)

KETAATAN MENURUT BEATO FRANCISCO PALAU DALAM HIDUP BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CARMELITE MISSIONARIES

MELALUI KATEKESE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Imelda Marselina Woli NIM : 081124059

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

seluruh anggota konggregasi Carmelite Missionaries

yang telah mendukung dengan doa, cinta dan perhatian

khususnya selama menjalani dan menyelesaikan studi

di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

(7)

v

”Go where obedience guides you and do not be afraid”.

Beato Francisco Palau, OCD

(8)
(9)

vii

SPIRITUALITAS KAUL KETAATAN MENURUT BEATO FRANCISCO PALAU DALAM HIDUP BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CARMELITE MISSIONARIES MELALUI KATEKESE. Penulisan judul ini bertitik tolak dari refleksi dan pengalaman penulis yang menunjukkan bahwa adanya kemunduran dalam penghayatan spiritualitas kaul ketaatan dalam hidup berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries. Permasalahan pokok yang terdapat dalam skripsi ini adalah, mengapa spiritualitas kaul ketaatan menurut beato Francisco Palau sangat penting bagi hidup berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries, hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh suster-suster Carmelite Missionaries dalam menghayati spiritualitas kaul ketaatan serta apa hubungan antara ketaatan dengan hidup berkomunitas. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode deskriptif analisis kajian pustaka.

Hasil akhir penelitian ini penulis menemukan bahwa metode katekese yang digunakan untuk meningkatkan penghayatan spiritualitas kaul ketaatan dalam hidup berkomunitas, Shared Christian Praxis dijadikan sebagai salah satu pendekatan yang tepat untuk kembali kepada penghayatan spiritualitas kaul ketaatan menurut beato Francisco Palau. Metode katekese Shared Christian Praxis merupakan salah satu metode yang efektif dan berdaya guna bagi para suster Carmelite Missionaries dalam meningkatkan mutu spiritualitas kaul ketaatan menurut beato Francisco Palau dalam hidup berkomunitas. Dengan demikian para suster Carmelite Missionaries

(10)

viii

THE PIRITUALITY OF THE VOW OF OBEDIENCE ACCORDING TO BLESSED FRANCISCO PALAU IN COMMUNITY LIVING OF THE CARMELITE MISSIONARIES THROUGH CATECHESIS. The writer chose this title based on the reflections and personal experiences in community living. The writer showed there was decreasing in Carmelite Missionaries sisters in living out the vow of obedience. The main concern of this thesis are why the spiritulity of obedience according to blessed Francisco Palau is very important in community life for the Carmelite Missionaries sisters, what are the hindrances in living out the spiritulity of obedience and the connection between obedience and community life. To answer those concerns above, this thesis is used analysis descriptive method.

(11)

ix

Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

MENINGKATKAN PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KAUL KETAATAN

MENURUT BEATO FRANCISCO PALAU DALAM HIDUP

BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CARMELITE MISSIONARIES

MELALUI KATEKESE.

Skripsi ini terinspirasi dari pengalaman merosotnya penghayatan nilai-nilai

spiritualitas kaul ketaatan yang terjadi dalam kongregasi Carmelite Missionaries

secara khusus penghayatan spiritualitas kaul ketaatan menurut pendiri beato Francisco

Palau. Oleh karena itu penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk membantu

meningkatkan penghayatan spiritualitas kaul ketaatan menurut Francisco Palau bagi

suster-suster Carmelite Missionaries dalam hidup berkomunitas. Skripsi ini ditulis

untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan pada

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan

Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara

langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini penulis dengan setulus

hati mengucapkan limpah terimakasih kepada:

1. Rm. Dr. J. Darminta, S.J., selaku dosen pembimbing utama yang telah

memberikan perhatian, meluangkan waktu, mendampingi, mengarahkan dan

membimbing serta memberikan masukan dan kritikan sehingga penulis dapat

lebih termotivasi dalam menuangkan ide-ide dan gagasan-gagasan dari awal

hingga akhir penulisan skripsi ini.

2. Bapak P. Banyu Dewa., S.Ag., M.Si., dosen wali dan dosen penguji II

yang terus mendampingi, membimbing dan memberi motivasi kepada

penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini dan juga telah

(12)
(13)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix-x DAFTAR ISI ... xi-xvi DAFTAR SINGKATAN ... xvii-xviii BAB I . PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Metode Penulisan ... ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. KAUL KETAATAN DALAM KONGGREGASI CARMELITE MISSIONARIES ... 12

A. RIWAYAT HIDUP ... 12

(14)

xii

5. Spiritualitas dan Karisma Carmelite Missionaries ... 23

B. TRIKAUL MENURUT BEATO FRANCISCO PALAU ... 24

1. Kaul-Kaul ... 24

2. Kaul Kemurnian ... 27

3. Kaul Kemiskinan ... 28

4. Kaul Ketaatan ... 28

5. Spiritualitas Kaul ... 39

C. KETAATAN DALAM TULISAN FRANCISCO PALAU ... 31

1. Membuka Hati Bagi Tuhan ... 31

2. Penyerahan Diri ... 32

3. Ketaatan Kepada Pemimpin ... 34

4. Ketaatan Menciptakan ”Communio” ... 37

5. Ketaatan Merupakan Pelayanan Misi ... 38

D. KETAATAN MENURUT KONSTITUSI KONGGREGASI CARMELITE MISSIONARIES ... 42

1. Ketaatan Sebagai Kaul ... 42

2. Ketaatan Kepada Pemimpin ... 49

3. ketaatan Terhadap Gerakan Roh Kudus ... 50

4. Ketaatan Maria ... 52

BAB III. KETAATAN DALAM HIDUP BERKOMUNITAS ... 54

A. PANGGILAN HIDUP BAKTI ... 55

1. Pengertian Panggilan Hidup ... 55

2. Aspek-Aspek Dalam Hidup Bakti ... 57

a. Pengakuan Iman akan Tritunggal Maha Kudus ... 57

b. Lambang Persaudaraan ... 58

B. SPIRITUALITAS KAUL KETAATAN ... 60

1. Dimensi Teosentris ... 62

2. Dimensi Kristologis ... 64

(15)

xiii

C. GAMBARAN DAN ASPEK HIDUP KOMUNITAS CARMELITE

MISSIONARIES ... 74

a. Komunitas Demi Karya/ Perutusan ... 80

b. Komunitas Untuk Roh ... 82

c. Komunitas Doa ... 84

d. Komunitas Sebagai Kebersamaan Hidup ... 86

D. PERGULATAN KAUL KETAATAN DALAM KOMUNITAS CARMELITE MISSIONARIES ... 88

1. Taat Pada karya ... 88

2. Taat Pada Hidup Bersama ... 90

3. Taat Kepada Roh Yang Memimpin Kepada Persatuan ... 92

4. Spiritualitas Komunio dan Kekudusan Komuniter ... 94

5. Taat Pada Pemimpin ... 96

a. Pelayanan Mendengarkan ... 98

b. Menciptakan suasana yang menyenangkan bagi dialog, sharing dan tanggung jawab bersama ... 99

c. Mengusahakan sumbangan dari semua demi kepentingan semua ... 101

d. Pelayanan pribadi dan komunitas ... 102

e. Discernment Komunitas ... 104

f. Discernment, Wewenang dan Ketaatan ... 105

g. Ketaatan Persaudaraan ... 106

(16)

xiv

PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KAUL KETAATAN

MENURUT BEATO FRANCISCO PALAU DALAM HIDUP

BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CARMELITE

MISSIONARIES ... 117

A. GAMBARAN UMUM KATEKESE ... 118

1. Pengertian Katekese ... 119

a. Pengertian katekese menurut arti kata ... 119

b. Pengertian katekese menurut Catechesi Trandendae ... 120

c. Pengertian katekese berdasarkan hasil PKKI II ... 121

b. Komunikasi Pengalaman Iman dalam Terang Kitab Suci ... 125

c. Komunikasi dengan tradisi Kristiani ... 126

d. Arah Keterlibatan Baru ... 126

5. Tugas Utama Katekese ... 126

a. Katekese memberitakan Sabda Allah, Mewartakan Kristus ... 127

b. Katekese Mendidik Untuk Beriman ... 127

(17)

xv

KETAATAN SUSTER-SUSTER CARMELITE MISSIONARIES ... 133

1. Pengertian Shared Christian Praxis ... 134

a. Shared-dialog ... 135

b. Christian ... 136

c. Praxis ... 137

2. Langkah-Langkah Katekese Model Shared Christian Praxis ... 138

a. Langkah O (Awal) : Pemusatan Aktivitas ... 139

b. Langkah pertama: Pengungkapan Praxis Faktual ... 140

c. Langkah kedua: Refleksi Kritis atau Sharing Pengalaman Faktual ... 141

d. Langkah ketiga: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau ... 142

e. Langkah keempat: Interpretasi Dialektis Antara Praxis dan Visi Peserta Dengan Tradisi dan Visi Kristiani ... 143

f. Langkah kelima: Keterlibatan Baru Demi akan Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia ... 144

E. CONTOH PERSIAPAN KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) ... 157

1. Identitas Katekese ... 157

2. Pemikiran Dasar ... 158

(18)

xvi

DAFTAR PUSTAKA ... 186

(19)

xvii

A. SINGKATAN KITAB SUCI

Flp : Filipi

Gal : Galatia

Ibr : Ibrani

Kis : Kisah Para Rasul

1Kor : Korintus

Luk : Lukas

Mark : Markus

Mat : Matius

Rom : Roma

Yoh : Yohanes

B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA

AA : Apostolicam Actuositatem: Dekrit tentang Kerasulan Awam. AG : Ad Gentes : Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja. CT : Catechesi Tradendae : Anjuran Apostolik tentang Katekese Masa Kini.

EN : Evangelii Nuntiandi : Imbauan Apostolik tentang Karya Pewartaan Injil dalam Zaman Modern.

GS : Gaudium et Spes : Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern.

LG : Lumen Gentium : Konstitusi dogmatis tentang Gereja. PC : Perfectae Caritatis : Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius.

PO : Presbyterorum Ordinis : Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam.

(20)

xviii

Bdk : Bandingkan

Bto : Beato

CM : Carmelite Missionaries

CV : Catechism of the Virtues

Frag : Fragmen

HP : Hand Phone

Kan : Kanon

KHK : Kitab Hukum Kanonik

Konst : Konstitusi

KTHB & LHB : Komisi Tarekat Hidup Bakti dan Lembaga Hidup

Kerasulan

KV. II : Konsili Vatikan II

LAI : Lembaga Alkitab Indonesia

Leg : Legacy

Let : Letters

MRel : My Relations With the Church

OCD : Ordo Carmelitarum Discalcetorum

SCP : Shared Christian Praxis

SL : Solitary Life

Sta : Santa

Sto : Santo

(21)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Hidup bakti merupakan salah satu dari karunia Roh atau kharisma dalam

Gereja. Hidup bakti secara khusus menjadikan semangat Injil sebagai pilihan

hidup yang dihayati secara total dan radikal kepada Tuhan. Hal ini berarti

hidup bakti berada pada inti Gereja sebagai unsur yang menentukan misi

Gereja yang menampilkan sifat batiniah panggilan Kristiani. Sifat batiniah

Kristiani yang dihidupi oleh para religius diwujudkan dalam kaul-kaul yakni;

kaul kemurnian, kaul kemiskinan dan kaul ketaatan yang dihidupi oleh

masing-masing anggota diwarnai oleh semangat pendiri, kharisma dan

spiritualitas kongregasi. Dengan mengucapkan kaul berarti seorang religius

menggabungkan diri dan berpartisipasi dalam mewujudkan dan melaksanakan

apa yang dikehendaki Tuhan lewat kongregasi. Dengan mengikrarkan ketiga

kaul berarti seorang religius berani menghadapi konsekuensi dari kaul itu

sendiri.

Konsili Vatikan II dikatakan tentang profesi religius sebagai berikut:

”Anggota-anggota lembaga religius itu perlu ingat bahwa dengan

memprofesikan nasehat-nasehat Injil mereka pertama-tama menanggapi

panggilan Ilahi, sehingga mereka tidak hanya mati dalam dosa (bdk. Rom.

6,11), tetapi juga meninggalkan dunia, supaya hanya hidup bagi Allah”

(22)

Memilih panggilan hidup bakti juga berdasarkan motif-motif tertentu

yang mendorong seseorang berani memutuskan untuk memilih hidup

membiara. Hidup bakti dipengaruhi oleh kuat lemahnya motivasi yang

dimiliki oleh seorang individu. Hal ini dapat diukur dari kesetiaan dan

pemberian diri dalam menjalankan nilai-nilai Injil yang tertera pada ketiga

kaul yakni kemurnian, kemiskinan dan ketaatan dalam hidup berkomunitas

dan kerasulan yang dijalaninya setiap hari.

Secara rohani hal yang mendorong orang untuk memilih hidup bakti

adalah iman. Iman mengarahkan orang untuk menyerahkan diri secara total

kepada Allah secara radikal. Pemilihan hidup bakti ini dilakukan sebagai

ungkapan jawaban atas panggilan Ilahi. Dengan rumusan yang agak berbeda,

ditegaskan juga dalam Dokumen KV II, bahwa orang beriman kristiani

mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasehat Injil (PC. 44).

Yesus mengabdikan diri seutuhnya kepada Allah yang dicintai-Nya

mengatasi segala sesuatu. Dengan demikian Yesus terikat untuk mengabdi

Allah serta meluhurkannya karena alasan yang baru dan istimewa. Karena

baptisan Yesus telah mati bagi dosa dan dikuduskan kepada Allah. Untuk

memperoleh buah-buah rahmat baptis yang lebih melimpah, Yesus

menghendaki mengikrarkan nasehat-nasehat Injil dalam Gereja dibebaskan

dari rintangan-rintangan, yang mungkin menjauhkan-Nya dari cinta kasih

yang berkobar dan dari kesempurnaan bakti kepada Allah. Adapun

(23)

tetap makin jelas dilambangkan Kristus, yang dengan ikatan tak terputuskan

bersatu dengan Gereja mempelai-Nya (1993, PC. 44).

Ketaatan religius memperoleh dasarnya dalam ketaatan Injil yang radikal

yang berlaku untuk umum dan semua orang, yaitu ketaatan kepada kehendak

Allah. Kehendak sendiri sebagai korban yang dipersembahkan kepada Allah.

Dengan demikian para religius secara tetap dan aman mempersatukan diri

dengan kehendak Allah yang menyelamatkan (PC:14).

Penghayatan mengenai kaul dalam komunitas religius suster-suster

Carmelite Missionaries khususnya kaul ketaatan, mengalami pengaburan

nilai-nilai religius. Pengaburan yang dimaksudkan adalah penyimpangan dari

penghayatan dan pemaknaan kaul ketaatan yang merupakan perwujudan

penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah. Para suster suster

Carmelite Missionaries meskipun sudah mengikrarkan kaul, ada yang belum

memahami makna dari kaul ketaatan itu sendiri, sehingga dirasa mengikat

dan sebagai penghambat perkembangan pribadi. Ini fakta yang terjadi dalam

kongregasi Carmelite Missionaries dewasa ini. Maka tidak heran kalau ada

anggota yang mudah berkata ”pemimpin itu kurang bijaksana, kurang adil

dalam memperhatikan kepentingan kita.”

Pelanggaran terhadap kaul ketaatan ini banyak terjadi dalam pelaksanaan

tugas perutusan dan persaudaraan khususnya saat pimpinan akan memberi

suatu kebijakan maupun penempatan tugas yang baru. Pelanggaran kaul

(24)

Mereka beranggapan bahwa kaul ketaatan hanya berlaku bagi

suster-suster yunior yang belum berkaul kekal sedangkan yang senior merasa telah

sampai pada tujuan yaitu kaul kekal sehingga merasa diri bebas dan tidak

perlu taat lagi. Pemahaman ini sangat keliru sehingga nilai-nilai religius

dalam kaul ketaatan menjadi kabur. Oleh karena itu setiap anggota kongregasi

Carmelite Missionaries baik suster senior maupun suster yunior harus

kembali kepada semangat pendiri dan ajarannya. Para suster diajak untuk

kembali kepada konstitusi yang berbicara tentang kaul ketaatan. Konstitusi

Carmelite Missionaries (art. 43 ) menegaskan:

” ... para suster pada gilirannya harus setia pada ketaatan meskipun dituntut suatu pengorbanan secara konkret. Kita semua hendaknya menjadi taat pada Roh Kudus yang telah menginspirasikan keduanya yakni kehendak dan tindakan yang dipilihnya. Para suster harus mencari kebaikan dari semua anggota komunitas dalam ketaatan dari karisma kita. Melalui jalan ketaatan akan menguatkan kebebasan kita. Menuntun kita pada penyerahan diri secara total dalam kasih dan menghantar kita pada kedewasaan Kristiani”.

Makna ketaatan yang dialami, dihayati dan dilaksanakan oleh parasuster

Carmelite Missionaries dalam panggilannya mencerminkan ketaatan yang

dilaksanakan oleh Beato Francisco Palau. Ketaatan menurut beato Francisco

Palau merupakan suatu bentuk keutamaan yang sangat besar. Ketaatan

merupakan suatu sarana yang tepat di mana kita harus mengikuti kehendak

Allah. Hal ini merupakan suatu bentuk keterbukaan dan kesediaan terhadap

kehendak Allah. Dalam suratnya kepada Sr. Juana Gratias, Francisco Palau

mengatakan ”Pergilah di mana ketaatan membimbingmu dan janganlah takut

Allah akan membimbingmu pada suatu jalan yang benar”. Pergi ke mana

(25)

suatu tempat yang aman (Letters, 54,2). Dengan demikian Francisco Palau

mau menegaskan bahwa sebagai seorang Carmelite Missionaries hendaknya

selalu memiliki hati yang siap sedia untuk menjalankan misi yang

dipercayakan kepada masing-masing anggota, karena Allah sendiri yang akan

memimpin pada jalan dan tempat yang aman.

Pada kenyataannya ada suster Carmelite Missionaries yang sungguh

memaknai dan menghayati kaul ketaatannya, namun ada pula yang kurang

menghayati dalam panggilannya sebagai pengikut Kristus. Beberapa suster

senior maupun yunior mengalami ketakutan dan ketidakbebasan. Mereka

terikat pada sahabat, kehormatan dan materi. Bagi suster yunior merasa takut

akan dikeluarkan dari biara, jika mereka tidak taat kepada pemimpin atau

atasan. Mereka merasa tidak bebas untuk mengkritik pemimpin atau suster

senior. Maka selama masa pendidikan yuniorat mereka menunjukkan sikap

taat yang baik melalui tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka. Mereka

sungguh patuh dan setia menaati semua peraturan. Ketika sudah kaul kekal

tindakan mereka kadang berbeda dengan ketika mereka masih di formasi.

Ketaatan pada kehendak Allah itu diwujudnyatakan secara konkret dalam

ketaatannya kepada pemimpin atau formator, karena kepada merekalah

wakil-wakil Kristus yang kelihatan. Tentu saja tidak semua kehendak dan perintah

pemimpin harus ditafsirkan sebagai suara/perintah Allah. Mereka tampil

sebagai wakil Kristus sejauh mereka memerintahkan sesuatu seturut

ketentuan konstitusi (KHK, kan. 601). Oleh karena itu, seorang yang tidak

(26)

untuk hidup sebagai seorang religius. Karena ia sulit untuk berubah lebih

lanjut, telah menutup kemungkinan bahwa ia keliru, kepribadian yang telah

beku, dan kurang mampu untuk mendengar sehingga ia menganggap bahwa

pimpinan atau formator itu sama dengan dirinya, jadi tidak perlu taat.

Dalam praktek ketaatan religius, ada pergeseran dalam sistem mengambil

keputusan. Tekanan lebih banyak diberikan pada sistem dialog dengan

bawahan dan peranan komunitas. Pergeseran ini sering kali membawa serta suatu

krisis ketaatan terhadap atasan. Dewasa ini banyak religius termasuk para suster

Carmelite Missionaries tidak suka lagi mendengar kata ”perintah atau ”komando”

dari atasan. Mereka menghendaki kebebasan dalam memilih karir, memilih

komunitas dan mengatur acara hidupnya sendiri.

Kesulitan-kesulitan yang dialami dalam kongregasi Carmelite Missionaries

adalah menghadapi suster-suster yang memiliki karakteristik kepribadian yang keras

dan mempunyai prinsip sendiri sehingga sulit untuk dibimbing dan akhirnya suster

tersebut tidak ingin mendengar dan menaati pimpinan atau peraturan yang sudah

ditetapkan. Dengan perkembangan jaman yang semakin maju turut mempengaruhi

gaya hidup suster-suster Carmelite Missionaries dalam penggunaan alat-alat

komunikasi elektronik (HP, kamera) tanpa sepengetahuan pemimpin.

Kesulitan lain yang dihadapi oleh formator atau pemimpin dalam

mendidik para suster yunior (intensif yunior maupun yunior yang sudah

berkarya) adalah kurangnya keterbukaan, kurang memiliki kemampuan untuk

memahami instruksi, kurang mengasimilasi dan menginternalisasikan

nilai-nilai hidup bakti, tertekan dengan luka batin masa lalu dan tidak memiliki

(27)

tidak jelas dari formandis. Kesulitan lain yang dialami adalah kurang

profesional dalam membimbing dan mendidik para suster di rumah formasi

maupun di rumah karya.

Melihat kesulitan dan masalah yang dihadapi oleh anggota suster

Carmelite Missionaries dalam menghayati spiritualitas kaul ketaatan,

menunjukkan bahwa apa yang diharapkan dan dicita-citakan oleh Bto.

Francisco Palau, OCD belum tercapai sebagaimana mestinya. Bertolak dari

situasi yang ada, maka hal ini menjadi keprihatinan penulis juga. Untuk itu

penulis ingin menyumbangkan gagasan-gagasan untuk anggota Carmelite

Missionaries dengan mengambil judul: MENINGKATKAN

PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KAUL KETAATAN MENURUT

BEATO FRANCISCO PALAU DALAM HIDUP BERKOMUNITAS

SUSTER-SUSTER CARMELITE MISSIONARIES MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Mengapa spiritualitas kaul ketaatan menurut beato Francisco Palau

sangat penting bagi hidup berkomunitas suster-suster Carmelite

Missionaries?

2. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi suster-suster Carmelite

Missionaries dalam menghayati spiritualitas kaul ketaatan dalam

(28)

3. Apa hubungannya antara ketaatan dan hidup berkomunitas

suster-suster Carmelite Missionaries?

4. Sumbangan katekese model apa yang dapat membantau para suster

Carmelite Missionaries dalam menghayati spiritualitas kaul ketaatan

menurut beato Francisco Palau?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Memaparkan beberapa gagasan pemikiran mengenai “Penghayatan

Spiritualitas Kaul Ketaatan Menurut Beato Francisco Palau Bagi

Hidup Berkomunitas Suster-suster Carmelite Missionaries”.

2. Membantu suster-suster Carmelite Missionaries selalu kembali pada

ajaran pendiri, dalam penghayatan spiritualitas kaul ketaatan dalam

hidup berkomunitas.

3. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para suster Carmelite

Missionaries dalam usaha mendalami penghayatan spiritualitas kaul

ketaatan dalam perutusan dan persaudaraan melalui katekese model

Shared Christian Praxis.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Memberi masukan bagi para pemimpin komunitas dan anggota

Carmelite Missionaries untuk lebih menghayati spiritualitas kaul

(29)

2. Membantu suster-suster Carmelite Missionaries menemukan

hambatan-hambatan dalam penghayatan spiritualitas kaul ketaatan

dalam hidup berkomunitas.

3. Bagi penulis.

Melalui pemaparan tulisan ini, penulis semakin mendalami, dan

menghayati panggilan sebagai seorang biarawati Carmelite

Missionaries, dalam menghidupi dan menghayati kaul ketaatan

dalam hidup sehari-hari baik di dalam komunitas maupun di luar

komunitas.

E. METODE PENULISAN

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskripsi

analisis melalui studi pustaka ditambah dengan mengembangkan refleksi

pribadi yang menggambarkan secara faktual pengalaman yang terjadi dalam

hidup berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Judul skripsi ini adalah MENINGKATKAN PENGHAYATAN

SPIRITUALITAS KAUL KETAATAN MENURUT BEATO

FRANCISCO PALAU DALAM HIDUP BERKOMUNITAS

(30)

suster-suster Carmelite Missionaries dalam menghayati kaul ketaatan

menurut beato Francisco Palau bagi hidup berkomunitas.

Untuk mencapai maksud tersebut penulis membagi skripsi ini menjadi

lima bab. Gambaran sistematis skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I, pendahuluan meliputi: latar belakang penulisan skripsi, rumusan

permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II, penulis menguraikan tentang kaul ketaatan dalam kongregasi

Carmelite Missionaries yang meliputi: riwayat hidup bto. Francisco Palau,

trikaul menurut bto. Francisco Palau, ketaatan dalam tulisan-tulisan bto.

Francisco Palau dan ketaatan menurut konstitusi Carmelite Missionaries.

Bab III, penulisakan menguraikan tentang ketaatan dalam hidup

berkomunitas, membahas tentang makna, tantangan, pergulatan dan

penghayatan kaul ketaatan dewasa ini dalam hidup berkomunitas.

Bab IV, membahas tentang model katekese yang dapat membantu

meningkatkan pemaknaan dan penghayatan kaul ketaatan dalam hidup

berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries meliputi: gambaran umum

katekese, peranan katekese dalam upaya meningkatkan penghayatan kaul

ketaatan, dalam hidup berkomunitas melalui katekese model Shared Christian

Praxis suatu model katekese yang sesuai untuk membantu meningkatkan

penghayatan spiritualitas kaul ketaatan dalam hidup berkomunitas

suster-suster Carmelite Missionaries, usulan program katekese dan contoh persiapan

(31)

Bab V, merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dari

pembahasan pokok permasalahan ketaatan dalam kongregasi Carmelite

Missionaries dan berupa saran yang dapat berguna bagi para suster Carmelite

Missionaries, serta yang membaca tulisan ini dalam membantu menemukan

penghayatan spiritualitas kaul ketaatan dalam hidup berkomunitas sebagai

(32)

12 BAB II

KAUL KETAATAN DALAM KONGREGASI CARMELITE MISSIONARIES

Mengikatkan diri pada suatu persekutuan hidup membiara ditandai

dengan kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Suster Carmelite

Missionaries (CM) sebagai suatu persekutuan hidup membiara mengucapkan

tiga kaul tersebut sebagai tanda ikatan pada kongregasi.

Kaul ketaatan dalam kongregasi Carmelite Missionaries akan dibahas

secara khusus dengan pokok-pokok sebagai berikut, yaitu riwayat hidup Bto.

Francisco Palau, trikaul menurut pendiri, ketaatan dalam tulisan-tulisannya,

ketaatan dalam konstitusi Carmelite Missionaries sebagai pedoman hidup.

A. RIWAYAT HIDUP

1. Masa Kecil dan Remaja Francisco Palau (tahun 1811-1828)

Francisco Palau Y. Quer dilahirkan di Aytona, Lerida, Spanyol pada

tanggal 29 Desember 1811, dari keluarga petani miskin, dan berasal dari

tradisi kristen Katolik yang saleh. Kelahirannya telah didahului oleh enam

kakak laki-laki dan perempuan. Ia dibaptis tepat pada hari kelahirannya. Pada

tanggal 11 April 1817, Francisco Palau menerima sakramen krisma. Orang

(33)

menanamkan sikap taat pada ajaran-ajaran kristiani dan kasih sayang dalam

keluarga (TCAG, 1997:7).

Ketika masih muda Francisco Palau melihat bahwa kehidupan akan

semakin bertambah sulit karena gangguan-gangguan sosial-politik sebagai

akibat invansi Perancis dan perang kemerdekaan yang terus terjadi

(1808-1814). Kendatipun demikian, kehidupan rumah tangga Palau-Quer selalu

menampilkan sikap jujur, menghargai dan saling menghormati. Di dalam

keluarga tumbuh kasih sayang, kekuatan kristiani dan tangguh menghadapi

tantangan. Tiada hari tanpa kegembiraan atau kedamaian yang mendalam.

Keluarga Francisco Palau selalu merasa puas dengan apa yang mereka miliki.

Francisco Palau mulai belajar membaca dan menulis di negaranya. Gurunya

meminta keluarga mencari pendidikan yang baik untuk diberikan kepada

Francisco Palau (TCAG, 1997:7).

Rupanya, penyelenggaraan Tuhan memberikan jalan. Kakaknya Rosa,

menikah dengan Ramon Benet pada tahun 1824 dan pindah ke Lerida. Di

dalam keluarga Rosa, Francisco Palau diterima sehingga ia dapat melanjutkan

studinya. Francisco Palau tinggal di sana selama empat tahun.

2. Kehidupan Francisco Palau di Seminari (1828-1832)

Francisco Palau merasa bahwa panggilannya yang sejati ialah

mendedikasikan seluruh hidupnya bagi Tuhan dan pelayanan kepada sesama

melalui jalan imamat. Untuk itu, Francisco Palau masuk seminari pada bulan

(34)

Tetapi, sebelumnya Francisco Palau telah dibekali dengan pengetahuan yang

cukup. Francisco Palau mulai studi di seminari-Lerida pada musim gugur

1828 hingga musim semi 1832. Ia menyelesaikan pendidikannya selama tiga

tahun. Dua tahun untuk pendidikan humaniora dan filsafat, dan satu tahun

untuk pendidikan teologi. Di seminari, Francisco Palau sungguh mengalami

kehidupan yang taat dan disiplin tinggi. Jadwal hariannya mendekati disiplin

militer. Ia mengerjakan tugas yang sama saja dan penuh kegiatan yang serba

rutin. Studi, doa bersama, pelajaran tatap muka dan rekreasi di dalam

kelompok merupakan keseharian yang perlu ia jalankan dengan tekun dan

taat (TCAG, 1997:11).

Selama empat tahun di seminari ia mempunyai waktu yang cukup untuk

memikirkan dan mempertimbangkan rencana-rencana hidupnya. Ia

mempergunakan waktu tersebut sebaik-baiknya dan berusaha sepenuh tenaga

menemukan arah hidupnya yang perlu ia pilih secara jelas dan terwujud. Ia

menginginkan sesuatu yang dapat memenuhi keinginan dan kemampuannya

mencinta. Pada tanggal 19 Desember 1829, ia menerima tonsura. Pada usia

21 tahun, Francisco Palau secara jiwani dan rohani telah cukup matang untuk

membuat keputusan-keputusan kehidupan yang penuh tanggung jawab.

Francisco Palau sungguh yakin bahwa ia dipanggil untuk hidup membiara.

Akhirnya ia sendiri mengakui bahwa ia masuk biara untuk mencari cinta

yang dapat dirasakan dan dapat memberi makna pada hidupnya (TCAG,

(35)

3. Kehidupan Francisco Palau di Biara Karmel Tak Berkasut

(1832-1835)

Pada musim panas, Francisco Palau memutuskan untuk tidak kembali ke

seminari. Tetapi ia sendiri memutuskan untuk masuk biara Karmel Santa

Teresa setelah sekian lama mengadakan novena kepada St. Elia. Pribadi Elia

tergambar secara hidup di dalam benaknya seperti nampak pada perilaku

santa Teresa dan pada keheningan kontemplatif Santo Yohanes dari Salib.

Semuanya itu menjadi pokok impiannya dan perwujudan cita-citanya.

Francisco Palau ingin mempelajari dan memasukkan semangat Teresa-Elia

pada dirinya, demikian juga keheningan kontemplatif Santo Yohanes dari

Salib selama masa novisiatnya. Hari demi hari Francisco Palau ingin

menjadikan semuanya itu miliknya (TCAG, 1997:13).

Pada tanggal 23 Oktober 1832, Francisco Palau meninggalkan

Lerida-Spanyol dan berangkat ke Barcelona. Di Barcelona Francisco Palau

menerima busana OCD di biara Karmel San Josĕ pada tanggal 14 November

1832, dan namanya diganti menjadi Francisco Yesus Maria Yosep. Ia

melaksanakan keteraturan hidup di novisiat dengan tertib. Novisiat biara San

Josĕ di Barcelona memungkinkan hal itu baginya. Komunitas tersebut sedikit

terganggu oleh tetangga-tetangga yang tidak bersahabat di Ramblas, kampung

yang dihuni orang-orang yang memperjuangkan revolusi (TCAG, 1997:13).

Francisco Palau sadar bahwa kehidupan religius di Spanyol dan di luar

Eropa sedang menghadapi kesulitan. Kendati demikian, ia tidak ragu akan

(36)

ia mengakui bahwa bila para pemimpinnya mengatakan kepadanya supaya ia

menerima tahbisan imamat, ia melakukannya, ”dengan begitu yakin bahwa

suatu kehormatan semacam itu sedikit pun tidak membuat aku jauh dari

profesi biaraku” (Solitary Life, 1988:17).

Meskipun situasi sangat kacau, keyakinan Francisco Palau akan

kehidupan religius menjadi defenitif di mana tahun terakhir dia diminta untuk

meneruskan panggilannya. Pada tanggal 15 November 1833, Francisco Palau

mengucapkan kaul-kaul hidup membiaranya secara meriah, dan ia

mempersembahkan dirinya kepada Tuhan. Pada tanggal 21 Desember 1833

Francisco Palau menerima tahbisan-tahbisan rendah dan subdiakon. Tanggal

22 Februari 1834 Francisco Palau ditahbiskan menjadi diakon. Francisco

Palau sering muncul di gereja Karmel San Josê untuk melaksanakan

pelayanan-pelayanan menuju imamat. Meskipun ia sadar akan tanggungjawab

yang dibebankan kepadanya, ia bertahan dengan sikap serius. Ia pun tidak

dapat menyembunyikan kegembiraan setiap kali mengenakan pakaian untuk

perayaan liturgi (TCAG, 1997:14, 15).

Irama hidup yang teratur selama studi, ketekunan melaksanakan

palayanan, doa yang mendalam, semuanya tidak berlangsung lama. Perang

revolusi menghancurkan tembok-tembok biara dan kehidupan komunitas.

Harapan untuk menjadi imam terhanyut juga. Tanggal 25 Juli 1835

muncullah kelompok-kelompok orang yang menyerang dan membakar

biara-biara di Barcelona. Para anggota biara-biara Karmel San Josê, seperti halnya

(37)

sehingga mereka terhindar dari kematian yang kejam. Ketika terjadi revolusi,

Francisco Palau berusia 23 tahun. Saat itu dalam dirinya memiliki keinginan

besar untuk melihat sejelas-jelasnya yang ia cintai, beradu pandang, dan ia

yakin tanpa terluka keluar dari kobaran api. Dalam tulisan tentang relasinya

dengan Gereja mengatakan bahwa “Kekasihku datang, mengulurkan tangan

kepadaku, dan aku keluar tanpa cedera dari reruntuhan biaraku” (TCAG,

1997:15).

Pada mulanya frater Francisco Palau tidak membayangkan betapa berat

keadaan yang menimpa hidup membiaranya. Sesudah terusir dari biara

dengan keterpaksaan seperti halnya dengan anggota biara-biara lain, ia

dikurung di Ciudadela-Barcelona. Ia sungguh menderita karena dikejar-kejar

secara brutal. Meskipun demikian para pemimpin biara dan anggota saling

berhubungan melalui surat. Selama menunggu kesempatan kembali ke

komunitas yang ia cintai, Francisco Palau berusaha semampunya menjalani

hidup dengan menepati kewajiban-kewajiban membiaranya. Kelak ia

menulis: “Saya menyesuaikan diri sedapat mungkin dengan

peraturan-peraturan hidup membiaraku” (TCAG, 1997:17). Francisco Palau

menjalankannya dengan menolong di paroki asalnya, paroki St. Antolin

sebagai diakon, lalu menyepi di dalam suatu gua kira-kira dua kilometer

jauhnya dari Aytona. Pelayanan pastoral dan kesendirian kontemplasi

merupakan dua hal yang saling melengkapi bagi panggilan karmel Santa

(38)

Harapannya untuk kembali ke biara ternyata merupakan suatu harapan

kosong. Hal ini disebabkan pada tanggal 9 Maret 1836 pemerintah

menetapkan peraturan-peraturan melawan keagamaan. Peraturan tersebut

menegaskan bahwa para anggota biara dilarang kembali ke biara-biara

mereka, mengenakan pakaian biara di tempat umum tidak diperbolehkan.

Semua yang menyangkut hidup imamat berada di bawah yuridiksi uskup

setempat. Kendati demikian diakon Francisco Palau diberi tahu oleh para

pembesarnya bahwa para uskup lah yang menginginkan dia mempersiapkan

diri untuk tahbisan imamat. Dengan ketaatan Francisco Palau menyetujuinya,

kemudian ia berangkat ke Barbastro, Huesca untuk ditahbiskan imam pada

tanggal 2 April 1836 oleh uskup Santiago Fort y Puig (TCAG, 2000:18).

Pada usia 25 tahun Francisco Palau telah menjadi seorang imam dan

biarawan. Ia bersedia menjadi imam tanpa meninggalkan panggilannya

sebagai biarawan Karmel St. Teresa. Suatu panggilan yang kokoh perlu dapat

berlangsung di dalam keadaan apa saja. Dalam salah satu catatan rohaninya

Francisco Palau menulis: “supaya dapat hidup di Karmel hanya satu hal yang

penting, ialah ‘panggilan’” (TCAG, 1997:18).

Setelah ditahbiskan menjadi imam di Barbastro pada tahun 1836,

Franscisco Palau memulai karya kerasulannya di Cataluna.

Gangguan-gangguan di negerinya sendiri memaksa dia untuk tinggal dalam kehidupan

pengasingan di Perancis dari tahun 1840 sampai tahun 1851, di mana

Francisco Palau menggantikan tugas kerasulannya dengan menghayati hidup

(39)

kelompok kaum muda dan mengarahkan mereka untuk berdevosi kepada

Bunda Maria di Livron, Dioses Mantauban (Solitary Life, 1988:35)

Francisco Palau kembali ke Spanyol pada tahun 1851 dan memulai

pelayanan kerasulannya. Di Barcelona, ia mendirikan sebuah sekolah yang

selanjutnya sekolah itu dinamakan “Sekolah Kebajikan.” Kemudian sekolah

itu dituduh melibatkan pekerja yang melanggar aturan di Barcelona dan telah

ditutup oleh para penguasa sipil. Francisco Palau sebagai direktur ”Sekolah

Kebajikan” ditahan di Ibiza sejak tahun 1854 hingga tahun 1860. Dalam

keheningan di Vedra, di pulau Ibiza, ia menghidupi semangat pengabdian

kepada Gereja yang sedang mengalami perubahan. Di pulau Balearic,

Francisco Palau mendirikan kongregasi para Bruder dan Suster Karmel pada

tahun 1860 sampai 1861 (Solitary Life, 1988:35).

Francisco Palau mewartakan misi di pulau Ibiza dan Peninsula,

meningkatkan devosi kepada Bunda Maria sebagaimana sering ia sampaikan

kepada orang-orang di sekitarnya. Pada tahun 1866, Francisco Palau

berangkat ke Roma, dan tahun 1870 ia berangkat lagi ke Roma untuk

menghadiri pertemuan Konsili Vatikan I bersama Paus dan para bapa konsili.

Francisco Palau meninggal di Taragona pada tanggal 20 Maret 1872. Gereja

memberinya gelar Beato pada tanggal 24 April 1988 (Soliotary Life,

(40)

4. Pendiri Kongregasi

Sebutan yang tak dapat diragukan dan yang paling dikenang orang pada

beato Francisco Palau ialah ”Bapa Pendiri Kongregasi”. Francisco Palau

dikenang oleh sejarah dan memberi semangat pada orang-orang yang merasul

di dalam Gereja. Sebagai Bapa Pendiri oleh putri-putri rohaninya yang

berjumlah begitu banyak di dalam kongregasi yang sekarang di beri nama

Carmelite Missionaries dan Carmelite Missionaries Teresa. Kedua

kongregasi ini sebagai pengikut beato Francisco Palau melanjutkan karya dan

semangatnya dari abad-19 sampai jaman sekarang di lima benua. Carmelite

Missionaries dan Carmelite Missionaries Teresa tidak secara kebetulan lahir

atau sebagai suatu akibat dari kejadian yang mendadak (TCAG, 1997:59).

Setelah kematian Francisco Palau para pengikutnya pecah menjadi dua.

Satu kelompok mengikuti Juan Nugues uskup setempat sebagai

pemimpinnya, kemudian lahirlah kongregasi Carmelite Missionaries Teresa.

Kelompok lain adalah kumpulan orang-orang yang menentang adanya

pemimpin baru, mereka adalah ahli waris yang setia dan taat pada ajaran

Francisco Palau sampai akhir hayatnya. Kelompok ini diberi nama kongregasi

Carmelite Missionaries. Kedua kongregasi ini menghidupi karisma dan

spiritualitas yang sama yakni spiritualitas Palautian.

Carmelite Missionaries merupakan buah yang masak dari suatu usaha

yang berkali-kali diupayakan oleh beato Francisco Palau, sampai pada

akhirnya ia berhasil mendirikan suatu kongregasi yang tahan jaman. Ia

(41)

panggilannya untuk menjadi bapa rohani, sebagai ”bapa jiwa-jiwa”, ”di dalam

dan untuk Gereja”. Ia berhasil mendirikan Tarekat Carmelite Missionaries

hanya setelah ia mempunyai pemahaman yang matang mengenai hakikat

Gereja dan setelah Gereja dengan segala misterinya menjadi sumber

kebijaksanaan yang memberi kehidupan kepadanya (TCAG, 1997:59).

Sebagai pendiri Francisco Palau tidak pernah lepas dari hubungannya

yang intim dengan Tuhan melalui doa dan kontemplasi yang ia lakukan di

tempat-tempat sunyi. Dalam kesunyian dan keheningan doa ia dapat

menemukan makna ketaatannya lewat peristiwa-peristiwa hidup yang

dialaminya. Tetapi hal itu tidak dapat bertahan tanpa iklim kesederhanaan

hidup yang sesuai, dedikasi tanpa pamrih dan pengorbanan. Bagi Francisco

Palau segala sesuatu dapat berarti jika ia mempunyai sikap pengikraran diri

yang tetap dan didukung oleh iman dan kasih (TCAG, 1997:70)

Carmelite Missionaries merupakan tunas dari pengalaman hidupnya di

dalam mencintai dan melaksanakan pelayanannya kepada Gereja. Cinta dan

pelayanan itu merupakan keparipurnaan pemenuhan perintah untuk mencinta,

sebab baik cinta kepada Allah di dalam Kristus maupun cinta kepada sesama

menjadi satu di dalam Gereja (TCAG,1997:61).

Sejak awal, Francisco Palau menginginkan supaya Carmelite

Misssionaries yang ia bangun ini mempunyai cap gerejani tersebut dan

terukir pada pokok tua dari Karmel St. Teresa. Untuk meneruskan

kharismanya kepada komunitasnya dan untuk membentuk para anggotanya,

(42)

semangat kerohanian St.Teresa. Ketika Francisco Palau menemukan makna

panggilannya sebagai seorang Karmel Teresa (Let, no. 93:1257), ia langsung

bekerja dan merenungkan segala kekayaannya ke dalam lembaganya yang

baru (TCAG, 1997:61).

Francisco Palau telah menciptakan suatu jalan baru, yakni menghayati

kehidupan kontemplasi dan pelayanan kerasulan. Hal itu merupakan suatu

percampuran mendalam antara nilai-nilai pribadi dan komunitas, antara doa

pribadi dan doa Gereja. Itu merupakan suatu jalan yang diberikan oleh

Francicso Palau sebagai peninggalan kepada para bruder ordo ketiga Karmel

dan para suster Carmelite Missionaries. Kelompok para bruder memang telah

tidak ada lagi, tetapi semangat dan karyanya dilanjutkan dan dikembangkan

oleh putri-putri rohani Francisco Palau (TCAG,1997:61).

Beato Francisco Palau selalu menyadari bahwa kesuksesannya sebagai

pendiri suatu kongregasi bukanlah hasil kerja dan usahanya semata-mata. Hal

ini dikarenakan dalam masa-masa pencariannya, ia selalu menyerahkan

seluruh hidupnya kepada Tuhan. Ia membiarkan Tuhan bekerja seutuhnya

dalam seluruh karyanya. Francisco Palau selalu peka untuk mendengarkan

bisikan suara Tuhan melalui keheningan doa dan kontemplasi serta taat pada

apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi diri dan misinya (Let, no. 54:1171).

Surat tersebut ditujukan kepada salah satu ahli warisnya bernama Juana

Gratias, ia menuliskan bahwa dalam hidup bersama para suster hendaknya

mampu melupakan dirinya sendiri, menyerahkan diri mereka pada

(43)

mereka. Dalam menjalankan suatu tugas perutusan hendaknya para suster

menaatinya dan tidak menjadi takut karena Tuhan sendiri akan memimpin

mereka pada suatu tempat yang aman.

Para suster Carmelite Missionaries ingin mewujudkan ketaatan yang

telah diterima sejak menggabungkan diri dalam keluarga Karmel, terutama

apa yang telah diterima dalam masa pembentukan. Hal ini sangat nampak

melalui kesetiaan dan ketekunan dalam melaksanakan kehendak Allah

sehari-hari. Menurut Francisco Palau, bukan banyaknya tahun yang dilewati dalam

biara, tetapi banyaknya usaha untuk menghayati tuntutan panggilan hari demi

hari. Francisco Palau memberi contoh bagi para suster Carmelite

Missionaries bagaimana harus menjadi tekun dan setia dalam menanggapi

panggilan Tuhan bagi setiap pribadi.

5. Spiritualitas dan Kharisma Carmelite Missionaries

a. Spiritualitas CM dirumuskan sebagai berikut:

Sebagai pengikut Bto. Francisco Palau, para suster CM menghidupi

spiritualitas Palautian yaitu: misteri persatuan Gereja (ecclesiality);

persekutuan hidup dalam Gereja; hidup rohani yang mendalam diekpresikan

lewat pelayanan dan kerasulan, suatu ungkapan cinta kasih kepada Gereja,

doa sebagai persatuan dengan tubuh mistik Kristus, yaitu Tuhan dan sesama

serta memandang Maria sebagai model Gereja yang sempurna (Kons. Art 7,

(44)

b. Kharisma CM dirumuskan sebagai berikut:

Menjadi tanda persatuan dalam Gereja. Ini merupakan inti kharisma Bto.

Francisco Palau yang diikuti oleh suster-suster CM sebagai pengikutnya

(konst. art 48, 49).

Untuk membagi kekayaan spiritualitas dan kharisma suster-suster CM

sebagai sumbangan kepada perubahan hidup rohani dalam Gereja. sebagai

para nabi persatuan dan harapan kami dipanggil untuk hidup sebagai ”Gereja

kecil”yang memberi saksi pada persatuan dann harapan dalam dunia yang

individualistis, materialistis dan terpecah belah. Untuk membentuk manusia

dan solidaritas dihargai dan di mana nilai-nilai moral Spiritualitas dan

kharisma yang dihidupi oleh para suster Carmelite Missionaries berdasarkan

konstitusi dan karisma pendiri serta pembaharuannya yang sesuai dengan

perkembangan kebutuhan Gereja dari waktu ke waktu.

B. TRI KAUL MENURUT BEATO FRANCISCO PALAU

1. Kaul-Kaul

Ajaran Francisco Palau tentang kaul-kaul dihubungkan dengan

pengalamannya akan Gereja. Ketika Francisco Palau berbicara tentang hidup

bakti ia tidak menyebutkan secara eksplisit, hal ini disebabkan ia menghidupi

kaul-kaulnya berdasarkan pengalaman penyerahan diri dan kehendaknya

secara total yang menghantarnya pada suatu hubungan mesra dengan yang

dicintainya yakni ”Gereja”. Terbuka terhadap misteri Gereja ia memperoleh

(45)

Dalam tulisannya tentang relasinya dengan Gereja ia mengatakan bahwa

dirinya tidak dapat melihat dan kontemplasi Putera Allah dalam bentuk dan

ide-ide apa pun, tetapi sebagai Kepala, dipersatukan pada Tubuh yang kudus

dari Gerejanya (My Reations with the Church. 4, 22:812). Dengan demikian

kaul-kaul religius menurut Francisco Palau merupakan satu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan seperti kepala dan tubuh.

Pencarian akan kehendak Allah selama dua puluh tahun merupakan

waktu yang cukup panjang bagi Francisco Palau. Segala perjuangan dan

pergulatan hidupnya membawakan suatu ketaatan yang sempurna yang

berasal dari kedalaman imannya akan penyelenggaraan Tuhan. Bukti

pemberian dan penyerahan dirinya secara total kepada Allah merupakan

jawabannya akan cinta Allah yang memanggil, ia bukan lagi miliknya sendiri

tetapi seluruh dirinya adalah milik Allah (My Reations with the Church,

Fragmen. III:750).

Dalam penyerahan diri seutuhnya kepada Allah, suster-suster Carmelite

Missionaries diharapkan rela melepaskan kehendak sendiri dan siap

berkorban bagi semua orang yang membutuhkan. Penyerahan diri ini

merupakan wujud kesetiaan kepada-Nya. Francisco Palau dalam pengalaman

mistiknya akan Gereja ia mempersembahkan seluruh hidupnya demi

menjawab cinta Tuhan dengan taat, setia dan tekun melakukan misinya di

tengah dunia.

Francisco Palau menegaskan dalam tulisannya tentang relasinya dengan

(46)

penuh hasrat dan semangat berkobar ia mau melayani dan hanya

menyenangkan Allah saja (My Relations with the Church. 9,7:866). Berawal

dari cinta yang total dan ekslusif ketiga kaul tidak dapat dipisahkan satu

dengan yang lain. Ketiga kaul tersebut terdapat hubungan yang erat dalam

tiga keutamaan teologi yakni; iman, harap dan kasih. Ketiga keutamaan ini

menurut Palau merupakan tanggapan atas pengalaman cinta yang tidak

beralasan dan tanpa syarat akan Allah dan Gereja.

Menurut Francisco Francisco Palau kaul-kaul merupakan suatu

pemberian, suatu rahmat yang ia minta. Baginya Kristuslah kepala dan Gereja

adalah tubuh. Sebagai ungkapan pemberian dirinya secara total kepada

Kristus dan Gereja mempelainya, Francisco Palau membuat suatu perjanjian

di hadapan Tuhan dan Gerejanya. Ia memberikan kepada Allah seluruh

dirinya, segala miliknya serta keinginannya dalam cinta, ketaatan, kemurnian

dan kemiskinan, dalam iman dan harapan (My Relelations with the Church

9,26:881,882). Demi pelayanannya kepada Allah dan sesama ia rela

merendahkan dirinya sebagai seorang budak, hamba dan pelayan (My

Relations with the Church. 5,6:823). Sebagaimana Yesus sendiri ialah teladan

ketaatan, yang turun dari surga bukan untuk menjalankan kehendak-Nya

sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus-Nya (Yoh 6:38; Ibr 10:5,7).

Dalam ketaatan-Nya sebagai Putera Ia mengenakan keadaan sebagai seorang

hamba (Flp 2:7-8).

Eulogio Pacho (2006:824) mengatakan bahwa dalam setiap pengalaman

(47)

senantiasa melakukan pembedaan Roh. Hal ini sebagai tanda kesetiaannya

dalam menghayati dan memaknai trikaul yang telah diikrarkannya (My

Relations with the Church, 9,1: 873). Janji trikaul yang diucapkan oleh

Francisco Palau merupakan jawabannya yang mantap dan yakin dalam

menanggapi panggilan Tuhan setiap saat, yakni dengan keberanian

melepaskan seluruh kehendaknya demi melaksanakan kehendak Allah.

2. Kaul Kemurnian

Kaul kemurnian menurut Francisco Palau merupakan suatu jawaban akan

cinta Allah secara eksklusif. Hal ini dibangun pada pengalaman di mana kita

sungguh merasa bahwa diri kita dicintai oleh Yesus, perasaan tersebut

dibangun atas dasar iman. Salah satu isi surat Francisco Palau kepada para

pengikut ”Maria” yang dibentuknya di Ciudadela ia menegaskan bahwa

Yesus Kristuslah satu-satunya pribadi yang harus mereka cintai. Untuk

mencintai Yesus secara total hanya melalui iman. Para suster diajak agar

selalu percaya dan menaruh seluruh keberadaan diri mereka hanya kepada

Yesus saja. Dengan demikian segala sesuatu dapat terpenuhi sesuai dengan

yang dikehendaki Allah (Letters, no. 88,3, 6,11: 1244).

Dengan demikian arti kaul kemurnian menurut Francisco Palau adalah

pengabdian kepada Allah dalam kesucian yang sempurna dengan niat yang

tetap utuh dalam hati dan pikiran. Maka kaul kemurnian menuntut suatu

(48)

3. Kaul Kemiskinan

Kaul kemiskinan menurut Francisco Palau adalah cara hidup miskin

termasuk di dalamnya keterbukaan, percaya dan berharap pada

penyelenggaraan Tuhan, menerima pemberian sebagai hadiah dan penuh rasa

syukur. Hal ini termasuk pelepasan, mati raga dan penyangkalan diri untuk

memikul salib, menerima kesulitan dan kegembiraan hidup dengan nilai-nilai

Injil (Letters, no. 37,6-7:1132).

Hal ini mau mengajak para suster CM agar tidak menciptakan

kebutuhan-kebutuhan yang tidak penting serta menjadi puas dengan apa yang

dimiliki secara material. Dengan demikian semua harta milik dan

barang-barang menjadi milik kongregasi. Keutamaan kemiskinan adalah keutamaan

Injili yang mendorong hati untuk melepaskan diri dari barang-barang fana.

Adapun inti dari kaul kemiskinan adalah meneladani Yesus yang menghayati

kemiskinan sejak lahir sampai wafat-Nya di salib.

4. Kaul Ketaatan

Kaul ketaatan menurut Francisco Palau merupakan suatu pengorbanan

yang sangat berkenan kepada Allah. Melalui pengorbanan, setiap orang akan

ditentukan oleh Allah jalan mana yang hendak mereka ikuti. Dalam

menanggapi panggilan Tuhan, kita tidak tahu tujuan kita. Hanya Tuhan saja

yang tahu, dan Dia akan menyampaikan kepada kita melalui suara ketaatan

dimana kita akan pergi. Francisco Palau menegaskan lagi bahwa dalam

(49)

memberinya misi lain yang sesuai dengan panggilannya (Letters,

no.87,1:1242). Dengan kaul ketaatan para suster CM berjanji pada Allah

untuk taat kepada para pemimpin yang sah dalam segala sesuatu yang mereka

perintahkan demi peraturan.

Para suster CM mengikrarkan kaul ketaatan dituntut untuk menyerahkan

kehendaknya kepada Kristus. Oleh karena itu dalam menjalankan kaul

ketaatan, para suster CM perlu mengembangkan pertama-tama adalah sikap

pasrah sebagaimana Kristus memasrahkan kehendak-Nya kepada Allah Bapa.

Melalui sikap itu para suster CM diharapkan dapat memaknai dan menghayati

tugas yang diembankan kepadanya sebagai suatu kesempatan untuk membuka

diri bagi kehendak Allah. Kedua, mengembangkan sikap rela berkorban.

Melalui sikap itu, para suster CM dilatih untuk meninggalkan kehendak

sendiri dan belajar untuk menerima kehendak Allah. Ketiga, mengembangkan

sikap penyerahan diri secara menyeluruh. Melalui sikap itu, para suster CM

dimampukan untuk menjalankan segala tugas dengan penuh kerelaan hati

sebab mereka tidak lagi memikirkan diri sendiri. Ada pun inti kaul ketaatan

menurut Francisco Palau adalah mengikuti cara hidup Yesus yang taat pada

Allah Bapa dan menerima kehendak Allah dalam keputusan para pemimpin

(Kons. art. 41:37).

5. Spritualitas Kaul

Urutan rumusan kaul yang tertulis dalam konstitusi Carmelite

(50)

kemurnian, kemiskinan dan ketaatan di dalam Kongregasi Carmelite

Missionaries menurut konstitusi kongregasi ini”. Dalam formula kaul

kebiaraan suster Carmelite Missionaries, kaul ketaatan diucapkan pada urutan

terakhir. Hal ini bukan karena kebetulan melainkan karena ada tujuan tertentu

yaitu bahwa dengan hidup murni dan miskin di hadapan Allah berarti para

suster CM berani untuk mejalankan setiap tugas dan keputusan dengan sikap

rendah hati. Pada dasarnya ketiga kaul tersebut saling melengkapi antara satu

dengan yang lainya.

Para suster Carmelite Missionaries menghidupi dan menjalankan

spritualitas ketiga kaul sebagaimana yang diajarkan oleh Francisco Palau

yang berakar pada cara hidup Yesus sendiri; di mana Yesus tidak menikah,

tidak memiliki harta kekayaan dan taat pada kehendak Allah Bapa.

Dengan demikian para suster Carmelite Missionaries diharapkan dapat

meneladan bapak pendiri Francisco Palau dalam menghidupi trikaul,

kemurnian, kemiskinan dan ketaatan dengan penuh keberanian dan setia

dalam doa dan kontemplasi, sehingga kehendak kita selaras dengan kehendak

Allah.

Ketiga kaul tersebut yang menjadi dasar kehidupan bagi para suster

Carmelite Missionaries di seluruh dunia dalam mewujudkan iman yang

radikal sesuai nasihat Injil. Bto. Francisco Palau berkeyakinan bahwa tiga hal

(51)

C. KETAATAN DALAM TULISAN-TULISAN FRANCISCO PALAU

Francisco Palau adalah sosok pribadi yang tidak kenal lelah untuk

mencari kehendak Allah dalam segala hal. Sikapnya yang tetap dan teguh

untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan Allah dalam mencari,

merenungkan, merefleksi dan menemukan apa yang menjadi objek utama

dalam pencariannya tentang Gereja dan misterinya.

Para suster CM sebagai pengikut semangat dan teladan Francisco Palau

ingin mewujudkan cintanya kepada Tuhan dengan mendengarkan-Nya

melalui keheningan kontemplasi, retret dan ketenangan diri yang dapat

membantu mereka untuk menemukan dan memberinya kekuatan serta

kesediaan untuk menaati-Nya. Kesediaan ini menuntut suatu penyangkalan

diri secara total, dimana apa yang menjadi kehendak Allah kadang-kadang

bertentangan dengan yang mereka kehendaki (Konst. art. 67:46 ).

1. Membuka Hati Bagi Tuhan

Kaul ketaatan merupakan tuntutan bagi setiap orang yang memilih untuk

hidup membiara. Ketaatan merupakan jalan menyeluruh dalam membina

kepekaan terhadap kehendak Allah lewat situasi dan peristiwa hidup.

Kepekaan dan keterbukaan merupakan dasar hidup seseorang yang

sungguh-sungguh taat. Dengan kaul ketaatan seseorang bebas untuk mencintai Tuhan,

mendengarkan dan melaksanakan kehendak-Nya dalam segala situasi dan

(52)

Dalam salah satu surat kepada para pengikutnya, Francisco Palau

mengatakan bahwa ketika Tuhan memanggilnya hendaknya ia mampu

melupakan dirinya sendiri dan mempercayakan seluruhnya pada

penyelenggaraan Ilahi yang akan membimbing dan mendampinginya (Letters,

no.54,1:1171).

Isi surat tersebut, Francisco Palau mau menegaskan bahwa dalam

menanggapi panggilan Tuhan hendaknya para suster CM semakin peka dalam

mendengarkan bisikan-Nya, sanggup memahami kehendak-Nya, siap sedia

melaksanakan rencana-Nya. Sikap hati yang terbuka bagi Tuhan

memungkinkan kita untuk mampu menghayati kaul ketaatan dan berusaha

memahami apa yang dikehendaki-Nya serta siap untuk melaksanakannya.

2. Penyerahan Diri

Fransisco Palau selama masa-masa pencariannya akan apa yang

diperlihatkan Tuhan tentang misteri Gereja kepadanya, sungguh menyerahkan

diri secara total kepada Tuhan. Ia membiarkan Tuhan bekerja dalam seluruh

hidupnya. Sebagai wujud penyerahan diri kepada Tuhan, ia menyerahkan

dirinya bagi sesama saudara (para suster dan bruder yang dibimbingnya) dan

orang lain yang menderita karena pengejaran dan penganiayaan akibat

pergolakan politik di Spanyol. Francisco Palau diutus oleh para uskup

Catalonia (pada waktu itu berada di wilayah yang dikuasai kelompok Carlist).

Dengan semangat berkobar-kobar dan ketekunan yang mengagumkan

(53)

berada di wilayah itu. Francisco Palau memiliki semangat merasul yang

sangat kuat. Ia dijuluki ”Rasul Terutus” oleh para uskup setempat

(TCAG,1997:19).

Pada bulan Juli 1840 partai Carlist mengalami kekalahan. Selama tiga

tahun Francisco Palau hidup dan menjalankan pelayanan sebagai imam di

daerah pengikut Carlist, tetapi Francisco Palau selalu taat dan setia terhadap

peraturan-peraturan yang berlaku di daerah tersebut. Ia tidak pernah berbuat

sesuatu yang lain di luar batas pelayanan pastoralnya. Namun pada saat itu

partai liberal yang menang menekankan pengaruh liberalnya pada mereka

yang tidak secara terbuka menggabungkan diri dengan partainya. Banyak

orang merasa takut termasuk Francisco Palau akan mengalami pembalasan.

Mereka melarikan diri ke Perancis untuk mencari keamanan. Meskipun

demikian Francisco Palau tetap menyerahkan dirinya pada penyelenggaraan

dan bimbingan Allah. Ia menjalani masa pengasingan selama 11 tahun di

Perancis. Francisco Palau sungguh mengalami kesulitan dengan

panggilannya. Baik pejabat pemerintahan maupun Gereja menganggapnya

sebagai imam biasa. Tetapi Francisco Palau sungguh menyadari bahwa

dirinya sebagai seorang biarawan melebihi apa pun, meskipun ia tidak

mempunyai harapan sedikit pun untuk dapat kembali ke biara. Pada saat itu

ordo Karmel dilarang di Spanyol dan Perancis. Francisco Palau tidak

mempunyai banyak pilihan. Ia tetap memegang teguh keinginannya untuk

(54)

melaksanakan kegiatan kerasulan di Aytona, lalu disusul dengan menyepi

untuk berdoa. (TCAG, 1997:19-21).

Francisco Palau meneladan cara hidup rohani yang diwariskan oleh St.

Teresa Avila dalam menyerahkan kehendak pribadinya dalam segala hal

kepada Allah. Francisco Palau senantiasa menyesuaikan cara hidupnya dan

selalu menginginkan agar kehendak-Nya yang terlaksana bukan kehendaknya

sendiri (Solitary Life, 1998:18).

3. Ketaatan Kepada Pemimpin

Dalam suratnya kepada para suster (Letters, 99,2:1268), Francisco Palau

menasehati demikian:

”Yang terutama dan terpenting, aturan itu merupakan hal yang paling pokok, aturan merupakan dasar dari ketaatan. Seluruh kesempurnaanmu akan tercapai dengan menuruti apa yang menjadi kehendak Allah, dan memenuhi perintah-Nya. Kehendak Allah akan dinyatakan kepadamu melalui mulut seseorang yang memimpin dan memerintahmu...yang disampaikan melalui para pemimpin”.

Dalam hidup berkomunitas dan sebagai suster yang berkaul ketaatan para

suster Carmelite Missionaries harus mampu untuk taat pada pemimpin

dengan damai dan bahagia. Oleh karena itu sebagai pemimpin ia harus

banyak meluangkan waktu untuk berdoa, sebagai bentuk komunikasi pribadi

dengan Tuhan, sehingga segala sesuatu yang menjadi keputusannya sesuai

dengan yang dikehendaki Allah. Di mana setiap keputusan yang di ambil oleh

seorang pemimpin dapat membawa suatu kegembiaraan dan tanggungjawab

bersama dalam komunitas. Dengan membiarkan diri dipimpin oleh Allah

(55)

Dalam suratnya kepada para suster di komunitas Lerida, Francisco Palau

menulis demikian:

”Oleh ketaatan hendaknya engkau patuh bagaikan seorang putri, kepada seorang suster yang memiliki semua tugas dan kewajiban dari seorang ibu yang baik. Setiap komunitas harus ada seorang kepala, meskipun hanya kamu berdua saja, dan untuk semua komunitas harus ada seorang suster yang akan memimpin semua anggotanya... engakau harus mentaati para suster yang di beri tugas dan tanggung jawab sebagai seorang ibu, dengan roh kesederhanaan, dengan setia, sesuaikan kehendakmu dalam segala hal, patuh pada perintahnya, ketika engkau tidak tahu kehendaknya dan dalam situasi mendadak, hendaknya ketaatan itu perlu dijelaskan”(Letters, no.12,2:1070).

Kaul ketaatan dalam komunitas tentu juga menyangkut ketaatan kepada

pemimpin. Taat tidak hanya berarti bahwa satu sama lain harus saling

terbuka, tetapi juga berarti bahwa setiap anggota harus terbuka kepada

pemimpin. Tetapi kita tetap dapat melakukan kehendak pemimpin dalam

iman, yang mengakui bahwa Roh itu tetap berhendak baik terhadap kita dan

bahwa mungkin kehendak baik itu belum kita mengerti karena alasan-alasan

tertentu, maka sebaiknya pemimpin harus menjelaskan kepada anggota

komunitas (lihat, Darminta 1975:45).

Para pemimpin dalam persatuan dengan mereka yang yang dipercayakan

kepadanya, dipanggil untuk membangun komunitas persaudaraan di dalam

Kristus, di mana Allah dicari dan dicintai di atas segala-galanya, untuk

memenuhi rencana penyelamatan Allah (lihat KTHB dan LHK, 2008:18-19).

Francisco Palau menghendaki agar para suster Carmelite Missionaries

yang diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dipanggil untuk

memajukan martabat manusia, memperhatikan setiap anggota komunitas dan

(56)

kepada setiap anggota komunitas serta menjaga rahasia yang dipercayakan

kepadanya. Seorang pemimpin hendaknya memiliki cinta terhadap semua

anggotanya, terutama punya hati seorang ibu kepada anggota yang

bermasalah.

Para pemimpin menjadi pelayan komunitas seperti Yesus yang

membasuh kaki para murid-Nya, supaya komunitas pun menjadi pelayan

Kerajaan Allah (Yoh 13:1-17). Dalam menjalankan wewenang di

tengah-tengah anggota komunitasnya berarti melayani mereka, dengan mengikuti

teladan Yesus Kristus sendiri yang ’telah memberikan hidup-Nya bagi

keselamatan banyak orang’ (Mark 10:4).

Dalam tulisannya tentang ”Marian Act” Francisco Palau menuliskan

tentang keutamaan ketaatan. Barangsiapa bersikap taat, dia menaruh dirinya

di bawah kekuasaan orang yang mengutusnya. Dia sendiri menerima

tanggung jawab oleh pengutusannya. Semakin sulit dan berat tanggung

jawabnya, semakin tampak keharuman kesetiaannya, kerendahan hati dan

ketaatannya. Dia menaruh dirinya di bawah kekuasaan orang yang

mengutusnya dalam nama Tuhan, dan dengan rendah hati ia menerima segala

perintah, hukum dan aturan-aturan. Hal ini berarti bahwa ia menunjukkan

hormat dan penghargaannya kepada atasannya. Ketaatan adalah suatu

keutamaan yang membuat kita dengan bebas menyerahkan diri kita di bawah

(57)

4. Ketaatan Menciptakan ”Communio”

Dalam menugaskan para suster untuk menjadi seorang pemimpin,

Francisco Palau selalu menasehati para suster yang dibimbingnya agar dalam

sebuah komunitas, wewenang atau otoritas sangat perlu mereka taati. Baginya

jika ada seorang yang memimpin, komunitas tersebut akan terpelihara rasa

damai dan persatuan. Hal ini sangat mendukung jika masing-masing anggota

komunitas saling kerjasama untuk menaati setiap peraturan dan keputusan

bersama. Francisco Palau menulis surat kepada para suster di komunitas

Lĕrida dan Aytona sebagai berikut:

”Hal ini sangat penting dianjurkan untuk menjadi taat karena saya berpikir bahwa kamu melakukan semuanya dengan sempurna. Ketaatan akan menghantar kamu pada kedamaian dan persatuan. Suatu komunitas tidak bisa tanpa seseorang yang mengatur dan orang yang tinggal di dalamnya harus taat(Letters, no. 5,2 :1047).

Francisco Palau menegaskan bahwa dalam hidup berkomunitas nilai

persatuan ”communio” dapat tercapai jika dalam komunitas para suster

menghidupi kebajikan-kebajikan secara konkret, seperti; kasih, dialog,

percaya, kesediaan, mengatasi penolakkan dalam diri atas rencana Tuhan,

tahu bagaimana mengesampingkan keinginan-keinginan pribadi, taat karena

iman, kerendahan hati, dll (Letters, no.12:1070; 54,2:1171; 42,1:1147;

62,4:1186; 11,3:1069; 121:1309). Dengan demikian jalan menuju kesucian

menjadi jalan yang ditempuh bersama oleh semua anggota anggota

komunitas. Itu bukan jalan bagi perorangan, melainkan terlebih pengalaman

Referensi

Dokumen terkait