i
SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES DI RUMAH SAKIT SUAKA INSAN BANJARMASIN
SESUAI PEDOMAN HIDUP
SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Eka Riani NIM: 061124034
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
USAHA MENINGKATKAN HIDUP KOMUNITAS SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES
DI RUMAH SAKIT SUAKA INSAN BANJARMASIN SESUAI PEDOMAN HIDUP
SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS
Oleh: Eka Riani NIM: 061124034
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
iii
SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES DI RUMAH SAKIT SUAKA INSAN BANJARMASIN
SESUAI PEDOMAN HIDUP
SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS
Dipersiapkan dan ditulis oleh Eka Riani
NIM: 061124034
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 19 Mei 2011
dan dinyatakan memenuhi syarat
SUSUNAN PANITIA PENGUJI
Nama: Tanda tangan
Ketua : Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J. ………
Sekretaris : F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. ……… Anggota : 1. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. ………
2. Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum. ……… 3. Catharina Sukarni, C.B., M.Pd. ………
Yogyakarta, 19 Mei 2011
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
Skripsi ini saya persembahkan bagi:
para Suster Santo Paulus dari Chartres (SPC) Distrik Indonesia, secara khusus para Suster komunitas Rumah Sakit Suaka Insan,
v
“Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna”
vi
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 19 Mei 2011
Penulis
vii
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Eka Riani
Nomor Mahasiswa : 061124034
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: USAHA MENINGKATKAN HIDUP KOMUNITAS SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES DI RUMAH SAKIT SUAKA INSAN BANJARMASIN SESUAI PEDOMAN HIDUP SUSTER-SUSTER SANTO
PAULUS DARI CHARTRES MELALUI KATEKESE MODEL SHARED
CHRISTIAN PRAXIS beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta,
pada tanggal 19 Mei 2011
Yang menyatakan
viii
Skripsi ini berjudul “USAHA MENINGKATKAN HIDUP
KOMUNITAS SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES DI RUMAH SAKIT SUAKA INSAN BANJARMASIN SESUAI PEDOMAN HIDUP SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS”. Pemilihan judul ini bertitik tolak dari keprihatinan penulis mengenai kehidupan komunitas khususnya di komunitas Rumah Sakit Suaka Insan, yang kurang menghayati cinta kasih persaudaran di dalam komunitas sesuai Pedoman Hidup SPC. Hal ini nampak dalam kehidupan harian para suster yang kurang setia pada jadual komunitas, menghindar dari tanggung jawab di komunitas, mudah membicarakan kesalahan dan kekurangan sesama, serta kurang rendah hati untuk mengampuni sesama. Persoalan pokok yang hendak diungkapkan dalam skripsi ini adalah usaha-usaha apa yang dilakukan para suster komunitas Rumah Sakit Suaka Insan dalam membangun hidup komunitas yang sesuai dengan Pedoman hidup SPC serta masalah-masalah apa yang muncul sehubungan dengan usaha yang telah dilakukan tersebut. Untuk menjawab persoalan pokok, penulis menggunakan studi pustaka dan wawancara dengan para suster.
Para suster SPC mempunyai buku Pedoman Hidup yang berfungsi untuk mengarahkan hidup serta karya para suster SPC dan menjadi sarana yang berharga dalam melaksanakan cinta kasih Kristiani secara sempurna khususnya dalam hubungan bersama di komunitas. Selain itu Pedoman Hidup memuat nilai-nilai hidup bersama yang bila sungguh dihidupi akan membantu para suster untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam hidup bersama di komunitas.
ix
The Title of this Thesis is “THE EFFORT TO IMPROVE THE COMMUNTIY LIFE OF THE SISTERS OF SAINT PAUL OF CHARTRES (SPC) IN THE HOSPITAL OF SUAKA INSAN AT BANJARMASIN IN ACCORDANCE WITH THE CONSTITUTION OF THE SISTERS OF SANIT PAUL OF CHARTRES THROUGH THE MODEL OF CATECHISM SHARED CHRISTIAN PRAXIS”. This title was chosen as a point of departure of the author’s concern towards the community life, particularly in the community of Suaka Insan Hospital, where the sisters live, by which the sisters do not live fully the brotherly love in the community, in accordance with Rules and constitution of the SPC. This is so visible in the daily life of the sisters who are not faithful to the community schedule, trying to avoid the responsibility in the community, prone to speak about the mistakes and weakness of the fellow sisters and there is no virtue of humility to forgive the others. Taking into consideration of this fact, the key issue which is analyzed here in this Thesis is the efforts which can be done by the Sisters in the community of Suaka Insan Hospital to build up a community according to the Rule and constitution of the SPC and to salve the problems which arise in connection with the same effort which has done already. To answer to this main issue, the writer uses applied a literary study book which, personal reflection and an interview with the sisters.
The SPC Sisters have a Life-Guidence functions to direct the life and also the Apostolate of the Sisters of SPC and to become a valuable means in the practice of perfect Christian Charity, particularly of the mutual relationship in the community. Beside that, the Constitution contains the values of Community life if lived devoutly will be helpful for the Sisters to over come the problems which arise in the community life.
x
Syukur dan pujian kepada Allah Bapa yang Maha Baik, yang telah berkenan melimpahkan rahmat dan kasih-Nya, melalui berkat, bimbingan dan pendampingan Roh-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul USAHA MENINGKATKAN HIDUP KOMUNITAS SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES DI RUMAH SAKIT SUAKA INSAN BANJARMASIN SESUAI PEDOMAN HIDUP SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik. Selain itu penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi komunitas Rumah Sakit Suaka Insan dalam usaha membantu para suster membangun hidup komunitas yang sesuai dengan Pedoman Hidup SPC. Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, perhatian serta keterlibatan, baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Maka perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan terutama kepada:
xi
pembimbing akademik, yang telah banyak memberikan perhatian, bimbingan, dukungan, sumbangan pemikiran dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini serta berkenan menguji penulis.
3. Sr. Catharina Sukarni, C.B., M.Pd., selaku penguji ketiga, yang telah memberikan dukungan, perhatian, bimbingan serta berkenan menguji penulis. 4. P. Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, yang berkenan memberikan kelonggaran waktu dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. P. Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed., dan P. Dr. C. Putranto, S.J., yang dengan caranya masing-masing memberikan perhatian dan cintanya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh Staf dosen dan Karyawan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, membimbing dan memberi bekal pengetahuan serta teladan yang bermanfaat sehingga membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.
xii
yang telah membantu dan memperkenankan penulis melakukan wawancara di komunitas Rumah Sakit Suaka Insan.
9. Para suster komunitas Rumah Studi Bunda Maria dari Chartres, yang telah memberi dukungan, perhatian, pengertian dan penerimaan selama hidup bersama di komunitas Yogyakarta.
10.Ayah Yuvinus Yarsen (almarhum), ibu Adriana Lunce, kakak-kakak dan keponakanku semua, yang selalu memberikan kasih, perhatian, dukungan, semangat dan segala bentuk ungkapan cinta yang penulis terima dan alami selama penulisan skripsi hingga selesai.
11.Rekan-rekan mahasiswa, khususnya angkatan 2005/2006 yang telah banyak mendukung dan bekerja sama dengan penuh perhatian sampai terselesainya penulisan skripsi ini.
12.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah berkenan memberikan bantuan dalam bentuk apa saja dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, semoga Allah yang Maha Baik, senantiasa melimpahkan kasih-Nya dan memberkati semua pihak yang telah membantu penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.
xiii Hidup SPC
Yogyakarta, 19 Mei 2011
Penulis
xv
Rumah Sakit Suaka Insan ... 18
1. Jumlah Suster Senior, Medior dan Yunior ... 18
2. Pendidikan Para Suster ... 18
3. Asal Para Suster ... 19
4. Macam-macam Karya yang Ditangani Para Suster di Komunitas Rumah Sakit Suaka Insan ... 19
5. Acara Harian Para Suster ... 20
D. Usaha-usaha Membangun Hidup Komunitas dalam Komunitas Rumah Sakit Suaka Insan ... 22
1. Usaha Komunitas ... 22
2. Usaha Pribadi ... 25
E. Masalah-masalah yang Dihadapi Para Suster SPC dalam Membangun Hidup Komunitas Rumah Sakit Suaka Insan ... 31
1. Kurangnya Komunikasi yang Terbuka dan Mendalam antar Suster ... 31
2. Kurangnya Kesetiaan pada Jadual Komunitas ... 32
3. Menghindar dari Tanggung Jawab, Kesalahan dan Konflik antar sesama di balik Anggota Komunitas yang Banyak ... 32
1. Pengertian Hidup Komunitas pada Umumnya dalam Hidup Religius……….. 36
2. Landasan Hidup Komunitas menurut Kitab Suci Perjanjian Baru ... 37
3. Landasan Hidup Komunitas menurut Dokumen Vita Consecrata, Bertolak Segar dalam Kristus, Perfectae Caritatis dan Kitab Hukum Kanonik 1983 ... 43
xvi
xvii
LAMPIRAN ... 146 Lampiran 1: Panduan Wawancara di Komunitas Rumah
Sakit Suaka Insan ... (1) Lampiran 2: Hasil Wawancara dengan Suster yang Bertugas
di Bagian Sekretariat Distrik ... (3) Lampiran 3: Hasil Wawancara dengan 2 (dua) Suster
Senior di Komunitas Rumah Sakit Suaka
Insan ... (5) Lampiran 4: Hasil Wawancara dengan Suster-suster Senior
dan Medior di Komunitas Rumah Sakit
Suaka Insan ... (7) Lampiran 5: Hasil Wawancara dengan Suster-suster
Yunior di Komunitas Rumah Sakit Suaka
Insan ... (9) Lampiran 6: Cerita “Bunda Luar Biasa” ... (11) Lampiran 7: Jadual Harian Komunitas Rumah Sakit
xviii A. SINGKATAN KITAB SUCI
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar danCcatatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal., 8.
B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA
BSK : Bertolak Segar dalam Kristus, Instruksi Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik tentang Komitmen Hidup Bakti yang dibaharui di Milenium ketiga, 16 Mei 2002.
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para Uskup, Klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.
PC : Perfectae Caritatis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, 28 Januari 1965.
xix AKPER : Akademi Perawat Art : Artikel
Bdk : Bandingkan Dkk : Dan kawan-kawan Dll : Dan lain-lain Hal : Halaman Kan : Kanon
KHK : Kitab Hukum Kanonik
KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia MB : Madah Bakti
Mgr : Monsigneur
MSF : Missionari Sanctae Familiae No : Nomor
PB : Perjanjian Baru Pedoman
Hidup : Pedoman Hidup dan Tata Hidup Kongregasi SPC, yang sudah disahkan oleh Kongregasi Suci para Religius di Roma, tanggal 13 April 1988
PH : Pedoman Hidup
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia Puskat : Pusat Kateketik
xx S2 : Strata Dua
SCP : Shared Christian Praxis SD : Sekolah Dasar
SJ : Societas Jesu (Serikat Yesus) SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hidup bersama dalam suatu komunitas merupakan salah satu ciri pokok
hidup religius. Penghayatan konkrit hidup religius sehari-hari terlaksana dalam
suatu komunitas. Dalam komunitas itu hidup bersama mendapat bentuk konkrit
dan pengaturan yang menunjang tumbuh dan berkembangnya hidup rohani
maupun terlaksananya tugas perutusan.
Komunitas adalah kelompok biarawan-biarawati yang hidup
bersama (bahasa Latin Communis) dalam satu rumah biara menurut aturan-aturan dan semangat rohani ordo atau kongregasi yang bersangkutan (Heuken, 2005: 20).
Menurut Tom Jacobs (1987: 137) Komunitas religius tidak dinilai sebagai
satu keluarga atau kumpulan teman akrab. Hubungan antara para anggota tidak
mungkin seperti kakak adik atau antara orang tua dan anak. Sebab kenyataannya
mereka bukan kakak beradik yang mempunyai ayah dan ibu yang sama. Bila niat
baik seorang anggota mulai dicurigai dan disangsikan, maka tidak hanya
semangat anggota itu sendiri dicekik, tetapi seluruh komunitas sebenarnya
diancam kehidupannya. Sebab komunitas hanya dapat hidup atas dasar kesatuan
dalam panggilan, padahal kesatuan itu adalah kesatuaan iman, yang harus
diterima tidak hanya dari Tuhan tetapi justru dari semua anggota dalam
komunitas.
Orang tidak datang ke komunitas dengan panggilannya sendiri, ia
kontak dengan saudara-saudarinya yang dipanggil bersama maka yang pokok
dalam hidup bersama adalah kepercayaan terhadap panggilan bersama. Orang
yang mau mencari Tuhan dengan seluruh hidupnya, hanya mempercayakan diri
kepada orang lain yang mempunyai cita-cita yang sama, sebab hanya merekalah
yang mau mewujudkan kehidupan dengan tujuan yang sama. Kepercayaan adalah
sikap dasar yang memungkinkan keterbukaan pribadi dalam menghayati cita-cita
yang sama. Tanpa kepercayaan tidak mungkinlah keterbukaan dan tanpa
keterbukaan mustahillah hidup komunitas. Dasar hidup komunitas adalah iman
akan Tuhan yang memanggil dan kepercayaan kepada manusia yang ikut
menjawab panggilan (Jacobs, 1987: 138).
Di zaman yang semakin maju ini pengaruh zaman modern juga tak dapat
dihindari dalam hidup bersama. Unsur-unsur zaman modern yang mempengaruhi
hidup bersama antara lain: sifat kompetitif, sifat individualisme, sifat hedonistik
dan munculnya kesadaran akan kebebasan. Sifat kompetitif adalah sifat yang
membuat seseorang mempunyai kecenderungan untuk bersaing memperoleh
atau mencapai tujuan pribadi dan kelompoknya. Seringkali persaingan
berlangsung tanpa memperdulikan perjuangan dan kesulitan orang lain. Ciri
menonjol yang muncul adalah perasaan seakan-akan tidak membutuhkan orang
lain, bahkan mau menjatuhkan orang lain (Riyanto, 2006: 79).
Sifat individualisme nampak dari orang yang hanya menomorsatukan
kepentingan pribadi dan kemudian melindas orang lain dengan seenaknya.
Seringkali muncul sikap “elu elu, gue gue” yang kadang menjelma dalam
tindakan membiarkan orang lain “jungkir balik”, asal tidak mengganggu hidup
adanya spesialisasi dan profesionalisme yang memunculkan pribadi-pribadi yang
terkotak-kotak. Pribadi yang hanya sibuk dengan profesi dan spesialisasinya,
tanpa mampu melihat dan memperhatikan kebutuhan sesamanya (Riyanto, 2006:
79).
Munculnya kesadaran akan kebebasan kadang kala dipahami keliru yaitu
kebebasan yang sebebas-bebasnya. Akibatnya, kebebasan individu yang satu
memakan kebebasan individu yang lain. Orang menjadi gigih memperjuangkan
kebebasannya, tetapi lupa untuk menghargai dan menjunjung tinggi kebebasan
pribadi lain, hidup bersama tidak damai lagi. Rasa tanggung jawab akan
kebersamaan dan orang lain melemah. Dengan kata lain, seorang pribadi menjadi
orang yang tidak mau peduli (Riyanto, 2006: 79-80).
Sifat hedonistik membuat orang mengkonsumsi barang hanya karena
rangsangan lahiriah dan demi pemenuhan nafsu kepemilikan belaka. Orang
menjadi serakah tak bisa menunda kesenangan dan tidak tahan merasakan hidup
prihatin. Rangsangan kenikmatan mata dan telinga membuat orang cenderung
sibuk dan asyik dengan dirinya sendiri, lupa akan keberadaan orang lain. Muncul
kecenderungan untuk menjadi mudah mengumbar nafsu dengan cara apa pun dan
akibatnya menjadi sulit untuk mengatur pikiran, perasaan dan kehendak (Riyanto,
2006: 81).
Selain pengaruh zaman modern kehidupan berkomunitas jaga dipengaruhi
oleh budaya. Pengaruh budaya yang cukup menonjol dalam kehidupan bersama
adalah sifat munafik, tidak berani berterus terang. Budaya Timur yang kadang
dinilai luhur, sering kali menjadi penyebab terbesar terjadinya kehancuran
tidak berani berterus terang, baik dalam menegur orang lain, mengakui kesalahan
sendiri, maupun dalam memberikan penilaian obyektif terhadap orang lain. Kalau
hal ini terjadi maka setiap pribadi menjadi takut menghadapi kenyataan dalam
hidup bersama, sehingga kerukunan yang ada hanya merupakan kerukunan semu
(Riyanto, 2006: 81-82).
Pengaruh-pengaruh zaman modern dan budaya yang telah diuraikan di
atas juga mempengaruhi kehidupan para suster SPC yang ada di komunitas
Rumah Sakit Suaka Insan. Hal ini nampak dari kehidupan harian para suster yang
kurang setia pada jadual komunitas, kurang bertanggung jawab dengan tugas yang
ada di komunitas, sibuk dengan urusan dan kepentingan sendiri, kurang terbuka
terhadap komunitas, kurang berani mengakui kesalahan dan ada kecenderungan
akrab hanya dengan suster-suster yang berasal dari satu daerah.
Para suster di komunitas RSSI telah mengusahakan banyak cara melalui
berbagai kegiatan, untuk mengatasi setiap masalah dalam hidup bersama baik
secara bersama maupun pribadi. Usaha yang dilakukan secara bersama antara
lain: melakukan devosi kepada Hati Yesus yang Maha Kudus dan Bunda Maria,
mengadakan pertemuan komunitas, mengadakan rekreasi bersama dan
mendoakan komunitas-komunitas yang ada di Indonesia. Sedangkan usaha yang
dilakukan secara pribadi antara lain: menerima diri apa adanya, membaca,
merenungkan dan merefleksikan Pedoman Hidup, melaksanakan tugas komunitas dengan tekun dan setia serta rela berkorban untuk komunitas, meningkatkan hidup
doa, mengendalikan diri menggunakan alat-alat komunikasi, setia kepada jadwal
komunitas, berpandangan positif terhadap sesama suster, rendah hati untuk
saling memperhatikan dalam hidup bersama. Selain usaha-usaha yang dilakukan,
para Suster Santo Paulus dari Chartres (SPC) memiliki buku Pedoman Hidup yang berfungsi untuk menjadi pedoman yang mengarahkan hidup serta karya
para Suster SPC, dan menjadi sarana yang berharga dalam melaksanakan cinta
kasih kristiani secara sempurna secara khusus dalam hubungan bersama di
komunitas. Selain itu Pedoman Hidup juga berfungsi untuk menghadapi pengaruh perkembangan zaman modern dan pengaruh budaya yang mempengaruhi hidup
bersama para suster di komunitas.
Melalui skripsi ini, penulis ingin mengajak para suster komunitas RSSI
untuk lebih mendalami hidup komunitas dengan mendalami nilai-nilai hidup
bersama yang termuat dalam Pedoman Hidup SPC. Pendalaman Pedoman Hidup SPC dilakukan melalui katekese model Shared Christian Praxis (SCP). Katekese model SCP yang berawal dari pengalaman hidup peserta dapat membantu para
suster untuk merefleksikan secara kritis pengalaman hidup berkomunitas yang
telah dijalani, maka berdasarkan pemikiran ini judul skripsi yang penulis buat
adalah: USAHA MENINGKATKAN HIDUP KOMUNITAS
SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES DI RUMAH SAKIT
SUAKA INSAN BANJARMASIN SESUAI PEDOMAN HIDUP
SUSTER-SUSTER SANTO PAULUS DARI CHARTRES MELALUI KATEKESE
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan akan penulis
rumuskan sebagai berikut :
1. Usaha apa yang dilakukan oleh Para Suster SPC dalam membangun hidup
komunitas yang sesuai dengan Pedoman Hidup SPC di Rumah Sakit Suaka Insan?
2. Nilai-nilai hidup komunitas apa saja yang menjadi landasan hidup bersama,
sesuai Pedoman Hidup SPC?
3. Sumbangan apa yang dapat diberikan kepada para suster komunitas Rumah
Sakit Suaka Insan dalam membangun komunitas yang sesuai dengan
Pedoman Hidup SPC?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui usaha-usaha yang dilakukan Para Suster SPC komunitas Rumah
Sakit Suaka Insan dalam membangun komunitas yang sesuai dengan
Pedoman Hidup SPC.
2. Mengetahui nilai-nilai hidup komunitas apa saja yang menjadi landasan hidup
bersama, sesuai Pedoman Hidup SPC.
3. Memberikan usulan program katekese model Shared Christian Praxis bagi para Suster SPC komunitas Rumah Sakit Suaka Insan dalam membangun
komunitas yang sesuai dengan Pedoman Hidup SPC.
4. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata 1 (S1), Ilmu Pendidikan,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
D. MANFAAT PENULISAN
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi komunitas Rumah Sakit Suaka Insan.
Memberikan bahan pemikiran bagi para anggota komunitas RSSI untuk
membangun hidup komunitas yang sesuai dengan Pedoman hidup SPC, sehingga dalam kehidupan sehari-hari para suster dapat hidup rukun,
damai, saling mengasihi dan membantu satu sama.
2. Bagi penulis.
Membantu penulis untuk lebih menghayati hidup berkomunitas,
mengetahui masalah-masalah yang terjadi dalam hidup komunitas serta
menemukan usaha yang dilakukan dalam menghadapi masalah tersebut
sehingga dapat membangun hidup komunitas yang sesuai dengan
Pedoman Hidup SPC.
E. METODE PENULISAN
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Deskriptif Analitis
yang dilakukan lewat Wawancara untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan
dalam membangun hidup komunitas yang sesuai dengan Pedoman Hidup SPC serta menemukan masalah-masalah yang dihadapi para suster komunitas RSSI
dalam hidup berkomunitas. Selain itu penulis mengembangkan hasil dari
buku-buku yang mendukung agar diperoleh wawasan yang luas dalam penulisan
dan pembahasan.
F. SISTIMATIKA PENULISAN
Dalam sistimatika penulisan ini, penulis ingin memaparkan hal-hal
sebagai berikut:
Dalam bab I penulis menguraikan pendahuluan yang memberikan
gambaran umum penulisan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan skripsi.
Bab II menyampaikan gambaran komunitas para suster SPC di komunitas
Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin yang meliputi: sejarah berdirinya
kongregasi di Indonesia, gambaran komunitas SPC di Indonesia, gambaran
komunitas para suster SPC di komunitas Rumah Sakit Suaka Insan, usaha-usaha
membangun hidup komunitas dalam komunitas Rumah Sakit Suaka Insan, dan
masalah-masalah yang dihadapi para suster SPC dalam hidup komunitas di
komunitas Rumah Sakit Suaka Insan.
Bab III membahas tentang hidup komunitas dalam hidup religius yang
meliputi: pengertian hidup komunitas pada umumnya dalam hidup religius,
landasan hidup komunitas menurut Kitab Suci Perjanjian Baru, landasan hidup
komunitas menurut Dokumen-dokumen Gereja dan Kitab Hukum Kanonik 1983,
bentuk-bentuk hidup komunitas dan unsur-unsur komunitas. Bagian berikutnya
secara khusus membahas tentang hidup komunitas dalam hidup religius menurut
SPC, pola hidup komunitas SPC, hidup bersama dalam komunitas, hidup
komunitas sebagai kesaksian kerasulan dan peran komunitas dalam penghayatan
ketiga nasehat Injili.
Bab IV membahas usulan program pendampingan yang meliputi:
pengertian, tujuan, isi, unsur-unsur, model-model katekese umat, shared christian praxis sebagai salah satu model katekese, alasan rumusan tema dan tujuan, rumusan tema dan tujuan katekese, penjabaran program kerja, petunjuk
pelaksanaan program dan contoh persiapan SCP.
Bab V merupakan bagian penutup penulisan skripsi yang berisi
kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas dan saran yang diharapkan dapat
membantu para suster anggota komunitas Rumah Sakit Suaka Insan dalam
BAB II
GAMBARAN HIDUP KOMUNITAS PARA SUSTER SPC
DI KOMUNITAS RUMAH SAKIT SUAKA INSAN
BANJARMASIN
Hidup komunitas merupakan salah satu ciri khas hidup religius. Di dalam
komunitas terjadi perjumpaan antara pribadi-pribadi yang disatukan oleh
panggilan Allah sendiri. Gambaran tentang hidup komunitas yang nyaman dan
sehati sejiwa merupakan harapan setiap anggota komunitas. Sehubungan dengan
hidup komunitas, kami mengadakan wawancara secara langsung mengenai
realitas hidup komunitas para suster SPC di komunitas RSSI yang meliputi:
sejarah berdirinya kongregasi SPC di Indonesia, gambaran umum komunitas SPC
di Indonesia, gambaran komunitas para suster SPC di Komunitas RSSI tahun
2009, usaha-usaha membangun hidup komunitas dalam komunitas RSSI dan
masalah-masalah yang dihadapai para suster dalam membangun hidup komunitas
di komunitas RSSI.
A. SEJARAH BERDIRINYA KONGREGASI DI INDONESIA
Kongregasi SPC merupakan Kongregasi Internasional yang sudah berusia
314 tahun. Sejarah masuknya kongregasi SPC di Indonesia tidak lepas dari
sejarah berdirinya SPC di dunia.
1. Sejarah Berdirinya Kongregasi SPC
Pada tahun 1694, dalam usia 30 tahun Pastor Lois Chauvet diangkat
km sebelah tenggara kota Chartres, Perancis. Pastor Lois Chauvet ke Levesville
ditemani oleh saudari perempuannya Genevieve, yang membantunya dalam
mengurus masalah rumah tangga (Reuter, 1986: 9).
Levesville-la-Chenard merupakan sebuah desa kecil, terpencil, tidak
dikenal dan berada di pinggiran dataran Beauce yang sulit dijangkau oleh
pengaruh luar. Penduduk desa Levesville kebanyakan buta huruf, percaya pada
takhyul, penuh curiga, rewel, tak beraturan dan suka memberontak. Ekonomi
penduduk rata-rata menengah ke bawah dan sangat miskin, situasi ini semakin
diperburuk dengan sifat penduduk yang sangat malas untuk mengerjakan sesuatu
demi kemajuan. Gereja paroki dalam situasi yang rusak dan tidak terurus,
sekolah satu pun belum ada di desa Levesville-la-Chenard (Reuter, 1986: 9).
Pastor Lois Chauvet tidak tinggal diam melihat situasi umat parokinya
yang sangat memprihatinkan, Ia mulai mendekatkan diri dengan orang-orang
miskin, orang sakit dan anak-anak. Dalam memulai karyanya bagi orang miskin,
Pastor Lois Chauvet menyadari ia tidak dapat melakukannya sendiri, maka ia
mencari orang-orang yang dapat membantunya. Mereka diharapkan dari antara
pemudi yang berjiwa besar, berani dan tidak mementingkan diri sendiri.
Akhirnya ia mendapatkan 3 (tiga) orang sukarelawan yang siap membantu kaum
paling miskin untuk bangkit dari kemiskinannya. Mereka ini adalah: Maria
Michau dari Levesville, yang baru berusia 17 tahun. Baerbe Foucauld dari dukuh
frency-L’Eveque, tinggal tidak jauh dari desa Levesville. Marie Therese du
Tronchay, yang terampil, penuh semangat yang berasal dari istana Beauce tidak
Pertama-tama yang dilakukan oleh Pastor Lois Chauvet adalah melatih
ketiga gadis muda ini untuk membaca, menulis dan menjahit sehingga mereka
kelak dapat mengajari orang-orang desa serta anak-anak mereka. Marie Anne de
Tilly adalah seorang gadis dari keluarga bangsawan yang bersedia membantu
mendidik ketiga gadis tersebut, bahkan Marie Anne de Tilly memutuskan untuk
tinggal bersama para putri desa itu. Keempat gadis inilah yang menjadi cikal
bakal Suster-suster komunitas SPC. Satu-satunya peraturan yang mereka pegang
adalah menghayati cinta kasih Yesus Kristus dalam diri sesamanya maupun umat
yang mereka layani (Reuter, 1986: 10).
Pastor Lois Chauvet dengan setia mendampingi keempat pemudi yang
memutuskan untuk menyerahkan diri demi melayani sesama. Keempat suster
pertama menyadari bahwa komunitas mereka dibentuk untuk membawa Kristus
kepada orang yang buta pengetahuan dan kepada umat yang meninggalkan
Gereja. Dengan gembira mereka mengajar murid-murid di sekolah. Dengan
keberanian mereka mengunjungi orang miskin dan orang sakit di rumah dan
dengan semangat cinta akan Kristus dalam pelayanan kepada sesama para suster
SPC telah merubah citra desa Levesville menjadi desa yang lebih maju (Reuter,
1986: 13).
Pada 22 Juni 1710 Pastor Lois Chauvet meninggal dunia, buah-buah
yang terlahir dari ketulusan dan cintanya kepada kaum miskin semakin menyebar
mulai dari Levesville, Chartres, Perancis hingga ke lima benua di seluruh dunia
antara lain Alaska, Kanada, United States, Haiti, Guadeloupe, Martinique,
Colombia, Peru, French Guiana, Brasil, Ireland, England, Ukraine, Switzerland,
Mongolia, Rusia, Korea, Cina, Hongkong, Laos, Thailand, Indonesia, Vietnam,
Taiwan, Jepan, Philipina, Timor-timur, Australia. Dengan jumlah 4000 suster
(Reuter, 1986: 16). “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah
dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak
buah” (Yoh 12:24).
2. Sejarah Masuknya SPC di Indonesia
Pada 24 September 1967, tujuh orang suster SPC dari Philiphina
mendarat untuk pertama kalinya di Indonesia. Para suster SPC datang ke
Indonesia atas undangan Mgr. Wilhelmus Demarteau, MSF uskup Banjarmasin.
Beliau telah lama mencari suster-suster yang bersedia membantu melayani umat
dalam bidang kesehatan di keuskupannya. Dengan susah payah Mgr. Demarteau,
MSF mencoba mendapatkan suster-suster dari Jawa, Sulawesi, Negeri Belanda,
Jerman bahkan sampai India, tetapi tidak ada satu kongregasi pun yang bersedia
untuk membantu beliau (Reuter, 1986: 83).
Ketika mengikuti Konsili Vatikan II pada November 1962 di Roma, untuk
pertama kalinya beliau bertemu dengan Suster-suster St. Paulus dan atas
bantuan Pastor Merck, MSF Vikaris Jenderal MSF yang sering merayakan misa di
Generalat Suster-suster St. Paulus di Roma, Mgr. Demarteau, MSF dapat bertemu
dengan Sr. Marie Paul, SPC, Pemimpin Jenderal Suster-suster SPC. Pada
pertemuan ini Sr. Marie Paul, SPC berjanji akan minta bantuan dari pemimpin
Provinsial Philipina (Reuter, 1986 : 83).
Awal tahun 1963, suster Provinsial dari Philipina menyatakan kesediaan
misionaris pertama mendarat di Banjarmasin. Keenam Misionaris pertama ini
diantar oleh Pemimpin Provinsial dari Philipina. Kedatangan para Misionaris
pertama ini disambut baik oleh Mgr. W. Demarteau, MSF, para Imam, Bruder
Suster dan umat Katolik dari Banjarmasin pada waktu itu baru satu Tarekat yang
berkarya di Keuskupan Banjarmasin yaitu para Suster Fransiskanes Dongen.
Untuk beberapa waktu lamanya para Misionaris ini tinggal bersama para Suster
Fransiskanes di Kelayan sambil menunggu pembangunan Komunitas dan RSSI.
Sebagaimana tujuan awal mereka diundang adalah untuk mengelola Rumah Sakit
yang pada waktu itu sedang dibangun, maka setelah mengenal lingkungan dan
situasi sekitar, mereka mulai mempelajari bahasa Indonesia, sambil menjalankan
Poliklinik Suaka Insan di Kelayan. Pada tahun 1972, Rumah Sakit di jalan
Pembangunan selesai dibangun. Para suster mulai melayani masyarakat dalam
bidang kesehatan di Rumah Sakit Suaka Insan. Pada waktu itu tenaga
keperawatan masih sangat terbatas. Para suster merasa perlu untuk mendidik
putra-putri Indonesia yang berkemauan melayani sesama di bidang kesehatan,
maka pada tahun 1972 dibukalah Sekolah Perawat Kesehatan Umum (SPKU)
yang dari tahun ke tahun terus berkembang menjadi AKPER dan STIKES
(Reuter, 1986: 84).
Karya para Suster SPC di Indonesia terus berkembang dari tahun ke
tahun. Beberapa komunitas dibuka antara lain: Tahun 1972 membuka Komunitas
yang menangani Sekolah Misi Katolik di Sampit Kalimantan Tengah. Tahun
1978 membuka rumah Novisiat di Banjarbaru untuk menerima para calon Suster
SPC dari Indonesia. Tahun 1985 membuka dua komunitas yaitu di Kuala Kapuas
rumah Yuniorat. Tahun 1993, membuka komunitas baru di Suai Timor Timur
yang pada waktu itu masih bergabung dengan Indonesia. Tahun 1997 membuka
komunitas di Kandui Kalimantan Tengah. Tahun 1999 membuka komunitas di
Palangka Raya. Tahun 2009 para suster mulai memasuki Nusa Tenggara Timur
dengan membuka komunitas baru di Ruto.
Pertambahan jumlah karya menuntut juga pertambahan jumlah tenaga oleh
karena itu, pembukaan Novisiat di Banjarbaru Kalimantan Selatan
memungkinkan para pemudi pribumi bergabung dalam konggregasi SPC,
sehingga sampai saat ini Suster-suster SPC tersebar di berbagai daerah di
ndonesia antara lain: Banjarmasin, Banjarbaru, Kuala Kapuas, Palangka Raya,
Sampit, Bangkal, Kandui, Yogyakarta, Jakarta dan Ruto, dengan jumlah 63 orang
suster yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
B. GAMBARAN KOMUNITAS PARA SUSTER SPC DI INDONESIA
Sejak kedatangan suster SPC di Indonesia pada bulan September 1967
sampai saat ini, jumlah para suster berkembang dengan pesat dan tinggal di
beberapa komunitas dalam kepulauan Indonesia. Mereka berasal dari berbagai
daerah, berbagai latar belakang pendidikan, berada di beberapa komunitas, dan
melayani berbagai karya.
1. Jumlah Komunitas SPC yang Ada di Indonesia
Komunitas SPC telah menyebar ke berbagai kepulauan yang ada di
Indonesia. Sampai tahun 2009 komunitas SPC telah berjumlah 10 (sepuluh)
Nusa Tenggara Timur. Di Kalimantan Selatan terdapat 2 (dua) komunitas yaitu
komunitas RSSI di Banjaramasin dengan 17 (tujuh belas) suster dan Komunitas
Novisiat di Banjarbaru dengan 11 (sebelas) suster. Kalimantan Tengah terdapat
5 (lima) komunitas yaitu di Kuala Kapuas dengan 4 (empat) suster, Komunitas
Kandui dengan 4 (empat) suster, komunitas Palangka Raya dengan 3 (tiga)
suster, komunitas Sampit dengan 4 (empat) suster dan Komunitas Bangkal
dengan 2 (dua) suster. Di Jawa ada 2 (dua) komunitas yang terdapat
di Komunitas Rumah Studi Bunda Maria dari Chartres Yogyakarta dengan 5
(lima) suster dan komunitas Jakarta dengan 6 (enam) suster. Di Nusa Tenggara
Timur terdapat 1 (satu) komunitas yang terdapat di Ruto dengan 3 (tiga) suster
[Lampiran 2: (3)].
2. Asal Para Suster SPC
Para suster SPC berasal dari berbagai daerah di kepulauan Indonesia yaitu
dari Flores, Timor, Jawa, Kalimantan, Toraja dan Sumatera. Selain itu ada
beberapa suster misionaris Philipina yang masih tinggal di Indonesia. Para suster
yang berasal dari Flores berjumlah 26 (dua puluh enam) suster, dari Timor
berjumlah 2 (dua) suster, dari Kalimantan berjumlah 6 (enam) suster, dari Toraja
berjumlah 8 (delapan) suster, dari Sumatera berjumlah 2 (dua) suster, dari Jawa
berjumlah 14 (empat belas) suster dan misionaris dari Philipina berjumlah 5
(lima) suster [Lampiran 2: (3)].
3. Pendidikan Para Suster SPC
Salah satu syarat untuk masuk menjadi anggota suster SPC adalah
anggota SPC, pendidikan para suster ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan
bidang karya pelayanan. Sampai tahun 2009 pendidikan para suster SPC adalah
S2, S1, Diploma dan SMA. Para suster yang bependidikan S2 berjumlah 8
(delapan) suster, berpendidikan S1 berjumlah 13 (tiga belas) suster, berpendidikan
Diploma berjumlah 14 (empat belas) suster, sedang kuliah untuk meraih gelar S1
berjumlah 16 (enam belas) suster dan SMA berjumlah 13 (tiga belas) suster
[Lampiran 2: (3)].
4. Karya-karya yang Ditangani Para suster SPC
Para suster SPC berkarya dalam bidang pendidikan, kesehatan dan
pastoral. Dalam bidang pendidikan para suster telah mendirikan TK, SD, SMP,
AKPER dan STIKES. Dalam bidang kesehatan para suster SPC mendirikan
Rumah Sakit dan Poliklinik. Sedangkan dalam bidang pastoral para suster SPC
melayani pastoral secara khusus bagi umat di pedalaman Kalimantan. Sampai
tahun 2009 di bidang pendidikan telah didirikan 3 (tiga) TK yang berada di
Jakarta, Kuala Kapuas dan Ruto. Untuk SD dan SMP masing- masing ada 2
(dua) yang berada di Jakarta dan Kuala Kapuas. Sedangkan pendidikan dalam
bidang kesehatan ada 1 (satu) AKPER dan 1 (satu) STIKES yang berada di
Banjarmasin. Di bidang kesehatan sampai tahun 2009 telah didirikan 1 (satu)
Rumah Sakit yang berada di Banjarmasin dan 3 (tiga) poliklinik yang berada di
Kuala Kapuas, Sampit dan Kandui. Untuk bidang pastoral para suster melayani 3
C. GAMBARAN KOMUNITAS PARA SUSTER SPC DI KOMUNITAS
RUMAH SAKIT SUAKA INSAN
Komunitas RSSI merupakan komunitas pertama yang ditempati oleh para
suster misionaris Philipina yang datang pada tahun 1967. Di komunitas RSSI
inilah para suster memulai tugas pelayanan mereka dalam melayani umat yang
ada di sekitar sungguh memberi yang mayoritas beragama Islam. Dari komunitas
RSSI para suster menyebar ke seluruh Indonesia. Komunitas RSSI terdiri dari
beberapa generasi, pendidikan, asal, dan macam-macam bidang karya yang
dilayani.
1. Jumlah Suster Senior, Medior dan Yunior
Para suster yang tinggal di komunitas RSSI pada tahun 2009 berjumlah 17
(tujuh belas) suster. Para suster tersebut terdiri dari suster senior, medior dan
yunior. Suster senior adalah suster yang telah berkaul kekal lebih dari 15 (lima
belas) tahun. Suster medior adalah suster yang mengikralkan kaul kekal kurang
dari 15 (lima belas) tahun. Sedangkan Suster Yunior adalah para suster muda
yang telah mengikralkan kaul pertama 1 (satu) sampai 5 (lima) atau 7 (tujuh)
tahun. Suster senior berjumlah 5 (lima) suster. Suster medior berjumlah 7 (tujuh)
suster dan suster yunior berjumlah 5 (lima) suster [Lampiran 3: (5)].
2. Pendidikan Para Suster
Pendidikan Para suster yang tinggal di komunitas RSSI adalah S2, S1,
Diploma dan SMA. Para suster menempuh pendidikan baik di dalam negeri
suster, dari ketujuh suster tersebut ada 3 (tiga) Lulusan sekolah Perawat, 1 (satu)
suster lulusan Farmasi, 1 (satu) suster lulusan sekolah Gizi, 1 (satu) suster lulusan
sekolah Akuntansi dan 1 (satu) suster lulusan sekolah Analis. Para suster yang
berpendidikan S1 berjumlah 3 (tiga) suster, dari ketiga suster tersebut 1 (satu)
suster sekolah Farmasi, 1 (satu) suster lulusan sekolah arsitek dan 1 (satu) suster
lulusan sekolah ilmu Sejarah. Para suster yang berpendidikan Diploma berjumlah
5 (lima) suster, dari kelima suster tersebut 1 (satu) suster lulusan sekolah Gizi, 1
(satu) suster lulusan sekolah Akademi Perawat, 1 (satu) suster sekolah pertanian,
1 (satu) suster bidang spritualitas dan 1 (satu) suster sekolah Analis. Selain itu ada
2 (dua) suster lulusan SMA yang sedang menempuh pendidikan 1 (satu) suster
Akademi Perawan dan 1 (satu) S1 Akuntansi [Lampiran 3: (5)].
3. Asal Para Suster
Para suster yang tinggal di komunitas RSSI berasal dari berbagai daerah di
Indonesia yaitu dari Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Jawa, sumatera dan
Toraja. Selain itu ada beberapa suster misionaris dari Filiphina. Para suster
berjumlah 17 (tujuh belas) suster, dari ketujuh belas suster tersebut ada 5 (lima)
suster berasal dari Nusa Tenggara Timur, 4 (empat) suster berasal dari Jawa, 1
(satu) suster dari Kalimantan, 1 (satu) suster dari Sumatera, 1 (satu) suster dari
Toraja dan 5 (lima) suster misionaris dari Filiphina [Lampiran 3: (5)].
4. Macam-macam Karya yang Ditangani Para Suster di Komunitas Rumah
Sakit Suaka Insan
Dari semua komunitas yang ada di Indonesia, komunitas RSSI merupakan
pendidikan dan kesehatan. Di bidang Pendidikan ada 3 (tiga) suster yang
menangani Akademi Perawat (AKPER) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
(STIKES), dari ketiga suster tersebut 2 (dua) suster bertugas sebagai Dosen dan 1
(satu) suster bertanggung jawab di bagian Administrasi Sekolah. Dalam bidang
Kesehatan ada 9 (Sembilan) suster melayani di RSSI, dari kesembilan suster
tersebut 2 (dua) suster bertanggung jawab di bagian Apotik RSSI, 1 (satu) suster
melayani di bagian Laboratorium RSSI, 1 (satu) suster dipercaya sebagai
Administrator RSSI, 1 orang suster bertanggung jawab di bagian Gizi RSSI, 1
orang suster menangani persediaan barang-barang RSSI, 1 (satu) suster
mengelola di bagian Tata Usaha RSSI, 1 (satu) suster melayani Pastoral RSSI,
dan 1 (satu) suster bertugas di bagian mesin RSSI. Selain para suster yang sudah
berkarya di komunitas RSSI juga terdapat 3 (tiga) suster yang masih kuliah, 1
(satu) suster kuliah di Akademi Perawat, 1 (satu) suster kuliah S1 Akuntansi dan 1
(satu) suster kursus bahasa Perancis di Paris. Di komunitas RSSI suster
Pemimpin Distrik dan Sekretariat Distrik tinggal dan melaksanakan seluruh
urusan Distrik Indonesia [Lampiran 3: (5)-(6)].
5. Acara Harian Para Suster
Acara harian para suster di komunitas RSSI sudah terjadual dengan baik
yang membantu para suster untuk melaksanakan tugas karya, hidup doa serta
hidup berkomunitas.
Waktu Hari Biasa Hari Minggu Hari Libur
06.30 Sarapan Meditasi Sarapan
07.00 Sarapan
07.30 Karya
10.00 Minum Minum Minum
10.30 Karya Examen (Pemeriksaan Batin)
17.00 Bacaan Rohani Bacaan Rohani (Pribadi) Bacaan Rohani
(Pribadi)
17.30 Rosario Rosario (Pribadi) Rosario (Pribadi) 18.00 Visit Visit dan Ibadat Sore
(Pribadi)
Visit dan Ibadat Sore (Pribadi) 18.30 Doa Sore Makan Malam Makan Malam 19.00 Makan malam
20.00 Ibadat Malam Ibadat Malam (Pribadi) Ibadat Malam (Pribadi)
22.00 Istirahat Istirahat Istirahat
Selain jadual harian yang dilaksanakan secara rutin ada kegiatan lain yang
berkaitan dengan hidup doa dan hidup komunitas yaitu: Adorasi kepada
Sakramen Maha Kudus dilaksanakan setiap hari Rabu malam setelah makan
malam dan Jumat pertama. Rekoleksi bulanan dilaksanakan minggu pertama.
Sharing komunitas dilaksanakan setelah rekoleksi. Rekreasi bersama dilaksanakan
dua bulan sekali. Dalam acara organized joy para suster diberi kesempatan untuk saling menghibur dan menampilkan talentanya masing-masing dalam bentuk
nyanyian, permainan dan lain-lain [Lampiran 7: (13)].
D. USAHA-USAHA MEMBANGUN HIDUP KOMUNITAS DALAM
KOMUNITAS RUMAH SAKIT SUAKA INSAN
Dalam rangka membangun hidup komunita, setiap suster diharapkan
terlibat dan mengusahakannya secara sungguh-sungguh, meskipun disadari bahwa
Allah bekerja pada orang-orang yang dipanggil-Nya. Akan tetapi setiap suster
tetap memiliki kelemahan dan tak luput dari berbagai tantangan serta godaan
yang melemahkan. Oleh karena itu setiap waktu para suster berusaha membangun
hidup komunitas yang sesuai dengan Pedoman Hidup SPC baik secara bersama maupun pribadi.
1. Usaha Komunitas
Usaha-usaha yang dilakukan secara bersama oleh para suster komunitas
RSSI untuk membangun hidup komunitas dalam kurun waktu ini meliputi: Devosi
kepada Hati Yesus dan Bunda Maria, pertemuan komunitas, rekreasi bersama,
doa untuk komunitas-komunitas yang ada di Indonesia.
a. Devosi Kepada Hati Yesus dan Bunda Maria
Suster-suster di komunitas RSSI dan di komunitas lainnya mempunyai
melakukan adorasi atau yang dalam kongregasi SPC disebut dengan Jam Suci.
Dalam Adorasi ini para suster menimba inspirasi dari Kitab Suci. Adorasi atau
Jam Suci diprioritaskan oleh para suster SPC karena dalam Adorasi tersebut para
suster dapat mengenang kembali penebusan cinta yang dilakukan oleh Kristus.
Para suster menimba semangat cinta dalam Adorasi sehingga mampu mencinta
sesama seperti Yesus mencintai. Melalui Adorasi para suster mempunyai
kesempatan berdoa bagi panggilan setiap suster yang ada di komunitas [Lampiran
4: (7); bdk. Lampiran 5: (9)].
Selain devosi kepada Hati Kudus Yesus para suster juga berdevosi kepada
Bunda Maria yang menjadi teladan bagi para suster SPC. Devosi dilakukan setiap
hari dengan melakukan rosario bersama. Pada bulan Mei berdasarkan kesepakatan
di dalam komunitas para suster menyediakan waktu untuk mengadakan ziarah ke
Gua Maria. Bunda Maria juga memberi teladan kesetian dan ketaatan kepada
kehendak Allah. Bunda Maria mengundang kepada kesiagaan batin yang
mempersiapkan para suster untuk menjawab kehendak Allah dalam kebersamaan
di komunitas. Bunda Maria juga mengajak untuk percaya, terbuka dan
menyerahkan diri secara total kepada kebaikan hati Bapa. Bersama Bunda Maria
para suster memohon rahmat agar mampu hidup rukun dan damai seperti dalam
Keluaga Nazareth [Lampiran 4: (7); bdk. Lampiran 5: (9)]. Devosi kepada Hati
Yesus dan Bunda Maria sudah menjadi jadual tetap para suster di komunitas
RSSI. Usaha ini cukup membantu para suster dalam membangun sikap batin yang
terbuka pada kehendak Allah dan juga terbuka untuk mengasihi di dalam
b. Pertemuan Komunitas
Sebulan sekali di komunitas RSSI diadakan pertemuan komunitas.
Pertemuan diadakan setelah rekoleksi hari Sabtu dan Minggu pertama dalam
bulan. Dalam pertemuan komunitas para suster mempunyai kesempatan untuk
mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan di komunitas, memberi masukan
bila ada yang perlu diperbaiki dan membuat kesepakatan bersama. Pertemuan ini
sangat membantu para suster untuk mengungkapkan apa yang menjadi ganjalan
di hati setiap suster, membantu menyatukan pandangan antara generasi tua dan
generasi muda, dan menghindari tindakan membicarakan kesalahan dan
kelemahan sesama suster di “belakang’ suster yang dibicarakan. Pertemuan
komunitas yang dilakukan secara rutin membuat para suster semakin merasa
disatukan di dalam komunitas [Lampiran 4: (8); bdk. Lampiran 5: (9)].
c. Rekreasi Bersama
Komunitas RSSI merupakan komunitas yang mempunyai banyak anggota
di antara komunitas lain di Indonesia. Jumlah anggota yang cukup banyak
membuat waktu bersama kadang sulit dilakukan, namun para suster menyadari
betapa penting kebersaman di dalam komunitas, untuk mengatasai kesulitan
dalam mencari waktu bersama, para suster membuat kesepakatan mengadakan
rekreasi bersama dua kali seminggu yaitu hari Selasa dan Jumat setelah makan
malam. Acara yang dilakukan dalam rekreasi bersama adalah bermain kartu
bersama, menyanyi bersama, menari bersama dan berbagai kegiatan yang
tahun 2008, membantu para suster semakin akrab satu sama lain [Lampiran 4: (8);
bdk. Lampiran 5: (9)].
d. Doa untuk Komunitas-komunitas yang ada di Indonesia
Setiap hari dalam ibadat bersama para suster mendoakan komunitas yang
ada di Indonesia secara bergiliran. Dalam doa para suster semakin diteguhkan
untuk bersatu dengan Kristus dan juga bersatu dengan sesama yang ada di
komunitas. Isi doa yang dipanjatkan antara lain mohon rahmat bagi para suster
agar mampu melaksanakan tugas karya yang dipercayakan kepada mereka,
rahmat untuk mampu menghadapi kesulitan dan tantangan dalam karya dan
rahmat untuk mampu hidup damai dan saling mendukung dalam komunitas. Doa
untuk komunitas-komunitas yang ada di Indonesia mulai dilaksanakan sejak tahun
2009 dan ini membantu menyatukan para suster dalam doa dan kebersamaan
[Lampiran 5: (9)].
2. Usaha Pribadi
Usaha-usaha pribadi yang dilakukan para suster komunitas RSSI dalam
rangka meningkatkan hidup komunitas meliputi: merenungkan dan merefleksikan
Pedoman Hidup kongregasi, menerima diri apa adanya, membangun relasi tanpa membedakan latar belakang, membaca, melaksanakan tugas komunitas dengan
tekun dan setia, meningkatkan hidup doa, membatasi dan mengendalikan diri
dalam menggunakan alat-alat komunikasi, setia pada jadual komunitas,
orang lain, rendah hati untuk mengampuni dan diampuni, terbuka, sederhana,
saling mendukung dan saling memperhatikan dalam hidup bersama.
a. Membaca, Merenungkan dan Merefleksikan Pedoman Hidup Kongregasi
Setiap hari para suster menyediakan waktu untuk membaca, merenungkan
dan merefleksikan Pedoman Hidup khususnya yang berkaitan dengan hidup dalam semangat persaudaraan secara pribadi. Dengan membaca Pedoman Hidup setiap suster akan semakin hafal, mengerti dan memahami makna hidup bersama.
Dengan merenungkan, mendorong setiap suster untuk melakukan refleksi
sehubungan dengan tindakannya dalam hidup bersama, dan dari hasil refleksi
membawa suster kepada kesadaran dan niat baru untuk memperbaiki apa yang
masih kurang dalam membangun hidup bersama seperti yang dicita-citakan
[Lampiran 5: (10)]. Membaca, merenungkan dan merefleksikan Pedoman Hidup
telah dilaksanakan dan menjadi jadual tetap komunitas namun karena
dilaksanakan secara pribadi, para suster memahami hidup bersama menurut daya
tangkap masing-masing sehingga kadang tidak sesuai dengan para suster lain di
komunitas, maka dibutuhkan suatu kegiatan yang dapat menyatukan pemikiran
dan pemahaman para suster terhadap nilai-nilai hidup bersama yang termuat
dalam Pedoman Hidup.
b. Menerima Diri Apa Adanya
Usaha yang dilakukan para suster dalam menerima diri apa adanya adalah
dengan cara bersyukur atas segala anugerah yang diberikan Tuhan seperti bakat,
kemampuan, kesempurnaan fisik(tidak cacat) dan rahmat panggilan. Selain itu
kelemahan masing-masing. Sikap penerimaan kepada diri sendiri membantu para
suster untuk mampu menerima sesama anggota komunitas yang lain [Lampiran 4:
(8); bdk. Lampiran 5: (9)].
c. Melaksanakan Tugas Komunitas dengan Tekun dan Setia serta rela
berkorban untuk komunitas
Beberapa suster berusaha melaksanakan tugas dengan tekun dan setia serta
rela berkorban untuk melaksanakannya. Wujud konkrit yang dilakukan para suster
adalah belajar mencintai pekerjaannya walau sekecil apapun, melaksanakannya
dengan penuh tanggung jawab, berani dan rendah hati bertanya kepada suster
yang lebih tahu bila mengalami kesulitan, berusaha sekuat tenaga untuk mengerti
dan memahami pekerjaannya, memberikan waktu, tenaga dan perhatian kepada
kebutuhan sesama suster. Kerelaan para suster untuk melaksanakan tugas
komunitas dengan tekun dan setia serta rela berkorban untuk komunitas
membantu para suster semakin mencintai komunitas dan membangun sikap sense of belonging[Lampiran 4: (8); bdk. Lampiran 5: (11)].
d. Meningkatkan Hidup Doa
Para suster secara pribadi meningkatkan hidup doa. Cara-cara yang
ditempuh untuk meningkatkan hidup doa adalah: tekun dan setia mengikuti
Ekaristi, ibadat bersama, kunjungan Sakramen Maha Kudus, Examen, Adorasi
dan Rosario bersama. Setiap mengalami peristiwa yang kurang menyenangkan
dengan sesama suster di komunitas, peristiwa tersebut dibawa dalam doa
dapat mengampuni dan menerima sesama para suster menyadari hidup doa
adalah hal paling pokok dan mendasar yang membantu memulihkan kekuatan,
semangat dan peneguhan, sehingga dapat mengolah pengalaman harian bersama
Allah [Lampiran 4: (8); bdk. Lampiran 5: (10)].
e. Membatasi dan Mengendalikan Diri dalam Menggunakan Alat-alat
Komunikasi
Setiap suster berusaha bertindak bijaksana dalam menggunakan alat-alat
komunikasi seperti televisi, internet dan handphone. Para suster membatasi dan mengendalikan diri dalam menggunakan alat-alat komunikasi dengan cara:
menonton televisi pada hari dan jam yang telah disepakati, menggunakan internet
seperlunya sesuai tuntutan karya, tidak menggunakan handphone pada waktu-waktu bersama dan selalu ingat bahwa alat-alat tersebut merupakan benda mati
yang tidak bisa menggantikan sesama suster yang ada di komunitas. Kesadaran
para suster menggunakan sarana komunikasi dengan bijaksana membantu para
suster untuk memberi perhatian pada kebersamaan di dalam komunitas [Lampiran
5: (10)].
f. Setia pada Jadual Komunitas
Para suster membuat jadwal harian secara bersama-sama dan berusaha
setia pada jadwal komunitas yang telah disepakati bersama tersebut. Kesetiaan
pada jadwal komunitas diungkapkan dengan hadir tepat waktu pada
kegiatan-kegiatan bersama di komunitas seperti waktu doa, waktu rekreasi bersama,
suster mulai melalaikan jadwal harian komunitas dengan sengaja, suster yang lain
punya kewajiban untuk mengingatkan dengan penuh cinta kasih. Setia pada
jadwal komunitas mendorong para suster semakin terikat satu sama lain sehingga
relasi para suster semakin mendalam [Lampiran 4: (8); bdk. Lampiran 5: (10)].
g. Berpandangan Positif terhadap Sesama dan Tidak Mudah
Membicarakan Kelemahan Orang Lain
Usaha yang dilakukan para suster dalam membangun pandangan positif
terhadap sesama antara lain: membangun kesadaran bahwa setiap suster
mempunyai kelemahan dan kelebihan sehingga bisa menerima sesama apa
adanya, membangun kesadaran bahwa sesama adalah anugerah Allah bagi
komunitas. Usaha yang dilakukan agar tidak mudah membicarakan kelemahan
orang lain adalah berani terus terang dan mengungkapkan secara terbuka bila ada
suster yang berbuat salah, selalu ingat bahwa setiap suster tidak punya hak untuk
menghakimi dan menilai jelek sesama susternya. Segala usaha yang dilakukan
para suster dalam membangun pandangan positif terhadap sesama dan tidak
mudah membicarakan kelemahan orang lain membantu menciptakan suasana
yang nyaman dalam komunitas [Lampiran 4: (8)].
h. Rendah Hati untuk Mengampuni dan Diampuni
Para suster berusaha bersikap rendah hati untuk mengampuni dan
diampuni. Usaha yang dapat dilakukan adalah berani mengakui kesalahan yang
dilakukan dan minta maaf kepada suster yang telah disakiti dan dari pihak suster
telah menyakitinya. Kerendahan hati untuk mengampuni dan diampuni ini
membantu membuat suasana komunitas menjadi nyaman tanpa ada yang merasa
tersakiti [Lampiran 4: (8)].
j. Terbuka, Sederhana, Saling Mendukung dan Saling Memperhatikan
dalam Hidup Bersama
Dalam hidup berkomunitas setiap suster berusaha menghidupkan dan
mengembangkan sikap saling terbuka, sederhana, saling mendukung dan saling
memperhatikan. Bentuk konkrit dari usaha ini antara lain: berani terbuka kepada
sesama suster baik dalam suka dan duka, terbuka menerima kritik dan masukan
yang membangun. Usaha dalam hal kesederhanaan, menggunakan atau menerima
pakaian, makanan dan sarana yang ada. Dalam hal saling mendukung, berusaha
saling mendukung dalam panggilan, bila ada suster lain yang kelihatan goyah
dalam panggilannya, sebagai saudari sekomunitas tidak segan-segan mengajaknya
berbicara dan membantunya menemukan jalan keluar dari masalah yang
dihadapinya tidak menghakimi dan semakin menyudutkan. Sedangkan dalam hal
saling memperhatikan, setiap suster berusaha memberi perhatian seorang
terhadap yang lain. Apabila dalam acara bersama ada seorang suster yang tidak
hadir, maka sebagai saudari mencari tahu keberadaan suster tersebut. Dasar dari
semua usaha yang dilakukan tersebut adalah kejujuran, sikap saling percaya dan
kasih yang mempersatukan semuanya. Sikap terbuka, sederhana, saling
mendukung dan saling memperhatikan dalam hidup komunitas membuat
komunitas menjadi tempat yang semakin menyuburkan panggilan para suster
E. MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI PARA SUSTER SPC
DALAM MEMBANGUN HIDUP KOMUNITAS DI KOMUNITAS
RUMAH SAKIT SUAKA INSAN
Setiap anggota komunitas berusaha menciptakan komunitas yang damai,
saling mendukung, saling menghargai, saling membantu dalam pengabdian,
saling mengingatkan, saling mempercayai, saling menasehati, saling
memperhatikan dan saling menguatkan dalam panggilan satu sama lain. Kendati
demikian masih ditemukan masalah-masalah sehubungan dengan mewujudkan
komunitas sehati sejiwa. Masalah-masalah yang dimaksud meliputi: masalah
kurangnya komunikasi yang terbuka dan mendalam di antara para suster,
kurangnya kesetiaan pada jadwal komunitas, menghindar dari tanggung jawab,
kesalahan dan konflik antar sesama di balik anggota komunitas yang banyak,
membicarakan kesalahan dan kekurangan sesama, kurangnya keteladanan dalam
hidup.
1. Kurangnya Komunikasi yang Terbuka dan Mendalam antar Suster
Komunikasi yang terjadi di antara para suster dirasakan kurang nyaman
sehingga relasi yang terjadi kurang mendalam. Hal ini diungkapkan dari beberapa
suster yang mengalami kesulitan untuk berkomunikasi karena dibayangi oleh
perasaan tidak nyaman, tidak percaya dan takut apa yang diungkapkan akan
dilaporkan kepada pemimpin. Perasaan ini muncul pada 2 (dua) suster yunior
yang pernah sharing kepada suster medior tentang kesulitan, kemarahan dan
melaporkan apa yang diungkapkan kepada suster lain dan kepada pemimpin.
Pengalaman ini membuat suster yang bersangkutan menjadi takut untuk terbuka
dan menjadi tidak percaya kepada sesama susternya. Ketidakterbukaan ini juga
berkaitan dalam hal memberi kritik terhadap anggota komunitas yang melakukan
kesalahan [Lampiran 4: (7); bdk. Lampiran 5: (9)].
2. Kurangnya Kesetiaan pada Jadwal Komunitas
Beberapa suster mengungkapkan di komunitas RSSI ada suster yang
kurang setia pada jadwal komunitas yang telah disepakati bersama.
Ketidaksetiaan ini terlihat dari tindakan yang tidak mau bergabung dengan suster
lain pada waktu rekreasi bersama di komunitas, suster tersebut lebih memilih
menonton televisi atau melakukan pekerjaan lain yang tidak penting.
Ketidaksetiaan pada jadwal komunitas juga nampak dari beberapa suster yang
seringkali terlambat masuk ke kapel pada waktu doa bersama [Lampiran 4: (7);
bdk. Lampiran 5: (9)].
3. Menghindar dari Tanggung Jawab, Kesalahan dan Konflik antar Sesama
di balik Anggota Komunitas yang Banyak
Beberapa suster mengungkapkan ada suster yang memanfaatkan
banyaknya anggota di komunitas untuk menghindar dari tanggung jawab, hal ini
nampak dari sikap yang mudah melepas tanggung jawab dalam melaksanakan
tugas-tugas komunitas karena beranggapan ada suster lain yang bisa
bukan pada tempatnya yang membuat suster lain terganggu, suster yang
melakukan hal itu tidak mau mengakui kesalahannya dan karena banyaknya
anggota sulit bagi suster lain untuk mengetahui siapa yang meninggalkan barang
tersebut. Selain itu waktu terjadi konflik di antar dua suster, konflik tersebut tidak
cepat teratasi karena kedua suster yang sedang konflik memilih saling menghindar
di antara anggota komunitas yang lain [Lampiran 4: (7); bdk. Lampiran 5: (9)].
4. Membicarakan Kesalahan dan Kekurangan Sesama
Beberapa suster mengungkapkan ada suster yang mudah membicarakan
kekurangan sesamanya di komunitas dan pada suster lain yang bukan anggota
komunitas RSSI. Selain membicarakan kesalahan dan kekurangan sesama di
komunitas, ada pula suster yang dengan mudah mengungkapkan masalah atau
rahasia komunitas kepada orang lain di luar komunitas. Kebiasaan ini membuat
suster yang dibicarakan menjadi tidak percaya dan menjadi tertutup pada
komunitas [Lampiran 5: (9)].
5. Kurangnya Keteladanan dalam Hidup Bersama
Para suster khususnya suster yunior mengungkapkan kesulitan untuk
menemukan teladan hidup religius dari para seniornya. Dalam hal penghayatan
kaul kemiskinan para suster yunior menemukan ada suster senior dan medior
yang mempunyai uang pribadi pemberiaan dari keluarga, menikmati hiburan
yang berlebihan dengan menonton film terus menerus sampai mengabaikan
ada beberapa suster senior dan medior yang sulit untuk taat kepada pemimpin
bahkan kadang berani membantah atau menolak tugas karya yang dipercayakan
kepadanya dengan alasan karya itu bukan bidangnya. Dalam hidup bersama
dengan yang lain ada beberapa suster senior yang bersikap acuh tak acuh pada
BAB III
HIDUP KOMUNITAS MENURUT PEDOMAN HIDUP
PARA SUSTER SPC
Komunitas hidup religius selalu menempatkan Kerajaan Allah di atas
segala-galanya, karena karya perutusan para religius adalah memaklumkan
Kerajaan Allah dan mencarinya melebihi segala sesuatu (Mat 6:33). Hidup
religius selalu dihayati di dalam komunitas, di mana para religius bersama-sama
menantikan kedatangan Tuhan dalam kepenuhan keadilan-Nya, agar Allah
menjadi semua di dalam semua (1 Kor 15:28). Di dalam komunitas para religius
bertumbuh dan berkembang dalam iman, pengharapan, dan cinta kasih, serta
mengabdikan seluruh hidupnya untuk Kerajaan Allah dan menjawab panggilan
Allah. Dalam komunitas SPC, para suster SPC menghayati kebersamaan hidup
sebagai saudara dalam Yesus Kristus. Melalui Dia para suster SPC menemukan
rahmat panggilan dalam hati dan hidup masing-masing. Hidup komunitas akan
dipaparkan lebih lanjut dalam dua bagian besar yaitu hidup komunitas dalam
hidup religius dan hidup komunitas dalam hidup religius menurut Pedoman Hidup para suster SPC.
A. HIDUP KOMUNITAS DALAM HIDUP RELIGIUS
Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain. Manusia
hanya dapat berkembang secara utuh sebagai manusia, bila ia tinggal di dalam
komunitas manusia dan berinteraksi dengan sesama karena dalam interaksi yang
memperkembangkan hidup para religius sebagai mahluk sosial. Hidup komunitas
tergantung dari pemahaman para religius tentang pengertian hidup komunitas
pada umumnya dalam hidup religius, landasan hidup komunitas menurut Kitab
Suci Perjanjian Baru, Landasan hidup komunitas menurut Dokumen-dokumen
Gereja dan Kitab Hukum Kanonik 1983, bentuk-bentuk hidup komunitas, dan
unsur-unsur komunitas.
1. Pengertian Hidup Komunitas pada Umumnya dalam Hidup Religius
Banyak para ahli menjelaskan pengertian hidup komunitas dalam hidup
religius antara lain:
Heuken (2005: 20) dalam Eksiklopedi Gereja Jilid V menjelaskan bahwa “komunitas adalah sekelompok biarawan atau biarawati yang hidup
bersama (= Communis; Lat) di satu rumah/biara, hidup menurut aturan-aturan dan semangat rohani ordo atau kongregasi yang bersangkutan”.
Tom Jacobs (1987: 134) dalam Hidup Membiara: Makna dan Tantangannya mengartikan komunitas bukan sebagai “rumah“ atau “pimpinan” atau “suster-suster tua” tetapi komunitas adalah teman secita-cita”. Di dalam
komunitas itu para biarawan/biarawati hidup bersama dengan mempunyai
cita-cita yang sama mengikuti Kristus secara khusus. Persekutuan dibangun dilandasi
iman dan kepercayaan yang besar kepada Yesus. Atas dasar iman kepercayaan
tersebut para religius mempersembahkan seluruh hidup mereka kepada Yesus
serta terbuka pada karya Roh Kudus dalam hidup sehari-hari.
tidaknya penghayatan hidup religius sangat tergantung dari berhasil atau tidaknya
membangun hidup bersama dalam suatu komunitas. Hidup komunitas merupakan
tempat para religius menjawab panggilan Tuhan. Komunitas merupakan
ungkapan penghayatan hidup bersama. Hidup bersama dalam suatu komunitas
merupakan tuntutan mutlak bagi seorang religius. Maka salah satu syarat
seseorang diterima dalam suatu tarekat religius ialah tidak ada hambatan yang
berat untuk membangun dan menghayati hidup bersama, dengan kata lain
seseorang dapat diterima dalam suatu tarekat religius dituntut adanya kemampuan
untuk mudah hidup bersama.
Dalam hidup bersama di suatu komunitas religius, terjadilah pertemuan
dalam iman, di mana setiap pribadi menghayati spiritualitas dan kharisma Tarekat
yang sama, mengikuti Kristus, merasul, berdoa, berbagi rasa dalam hidup dan
pengalaman, berbagi milik dan harta, berbagi kesediaan dan kemauan untuk
mengabdi Kristus (Kis 2:41-47). Secara singkat, hidup bersama merupakan hidup
dalam persekutuan, di mana orang sanggup dan rela untuk saling membantu,
menopang, menghibur dan memberi semangat maupun saling memberi koreksi.
Dasar dari persekutuan adalah cinta, sebab setiap manusia dipanggil untuk
hidup dalam cinta (Darminta, 1982: 7).
2. Landasan Hidup Komunitas menurut Kitab Suci Perjanjian Baru
Yesus Kristus selama hidup-Nya tidak pernah bermaksud membentuk
hidup religius. Ia memanggil beberapa orang untuk menjadi murid-Nya, supaya
mereka mengalami keselamatan. Maksud Yesus membentuk komunitas para