BAB IV. PROGRAM KATEKESE UMAT MODEL SCP UNTUK
A. Gambaran Umum Katekese Umat
6. Shared Christian Praxis sebagai Model Katekese
Shared Christian Praxis merupakan salah satu bentuk arternatif dari katekese Umat model pengalaman hidup. Groome (1997: 1) menyatakan bahwa katekese SCP berawal dari kebutuhan para katekis untuk menemukan suatu pendekatan berkatekese yang handal dan afektif, artinya suatu model yang sungguh memiliki dasar teologis, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki keprihatinan pastoral yang jelas. Sebagai suatu pendekatannya, model SCP menekankan segi proses berkatekese yang bersifat dialogal dan partisipatif, yang bertujuan mendorong peserta mengkomunikasikan antara “tradisi” dan “visi” hidup mereka dengan “Tradisi” dan “Visi” Kristiani, sehingga mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup manusia. Penyelenggara katekese hendaknya memperhatikan komponen-komponen SCP, langkah-langkah SCP dan refleksi umum pemakaian SCP.
a. Komponen dalam SCP
Model katekese SCP mempunyai tiga komponen pokok yang saling berkaitan sebagaimana diungkapkan oleh Groome (1997: 2-4) yaitu Shared, Christian dan Praxis.
1) Shared
Istilah Shared menunjuk pada pengertian komunikasi timbal balik, sikap partisipasi, aktif dan kritis dari semua peserta dan keterbukaan pada kedalaman diri pribadi, kehadiran sesama maupun rahmat Tuhan. Sahred berarti berbagi rasa
pengalaman, pengetahuan serta saling mendengarkan pengalaman orang lain. Kata Shared mengandung hubungan dialektis antara pengalaman hidup faktual peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani. Dalam model SCP baik peserta maupun pendamping dapat menjadi nara sumber. Peran peserta sangat dihormati dan diakui eksistensinya sebagai subyek yang unik, otonom dan bertanggungjawab. Hubungan antar subyek yang mendatangkan perjumpaan antar pribadi dapat menelorkan suatu kesadaran akan pentingnya rasa solidaritas karena memiliki perjuangan dan visi yang sama. Peserta menjadi partner yang aktif terlibat dan secara kritis mengolah pengalaman mereka serta keadaan faktual masyarakat. Kesadaran kritis-reflektif dalam suasana dialogis mendorong peserta untuk membuat penegasan dan penilaian serta mengambil keputusan yang mendorong pada keterlibatan baru (Groome, 1997: 4).
Dialog yang terjadi dalam sharing dimulai dari diri sendiri dan diungkapkan selaras dengan pengalaman sendiri dalam suasana penuh persaudaraan dan cinta kasih. Dalam dialog ada 2 (dua) unsur penting, yakni: membicarakan dan mendengarkan. Membicarakan berarti menyampaikan apa yang menjadi kebenaran dan pengalamanku dan mengatakan apa yang tejadi dalam diriku sebagaimana adanya, bukan apa yang didengar dari orang lain saja, atau apa yang dipikirkan atau diperkirakan. Membicarakan didasari oleh sikap keterbukaan dan kejujuran serta kerendahan hati untuk mengungkapkan pengalaman dan pengetahuan yang nyata sebagaimana terjadi dan yang diyakininya (Sumarno Ds, 2009: 16).
Mendengarkan berarti mendengar dengan hati dan rasa tentang apa yang dikomunikasikan oleh orang lain. Dengan mendengarkan orang lain maka peserta
katekese dapat menemukan diri sendiri dan menemukan kehendak Allah. Mendengarkan melibatkan keseluruhan diri sehingga dalam mendengarkan timbullah gerak hati, empati terhadap apa yang dikomunikasikan orang lain (Sumarno Ds, 2009: 17).
Syarat-syarat yang perlu untuk melakukan sharing adalah: cinta akan dunia dan manusia yang menjadi dasar berkomunikasi, sikap kerendahan hati mau menerima dan memberi pengalaman pribadi, pengalaman iman yang mendalam yang melibatkan kepercayaan pada manusia lain dengan jujur dan terbuka, suasana saling berharap akan kekuatan dan dukungan dari sesama, bijaksana terhadapa apa yang mau di-sharing-kan dan yang diterima dari hasil sharing dengan orang lain (Sumarno Ds, 2009: 17).
2) Christian
Katekese model SCP mengusahakan supaya kekayaan iman kristiani sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau, dekat dan relevan untuk kehidupan peserta pada zamannya. Kekayaan iman yang ditekankan dalam model Christian meliputi 2 (dua) unsur pokok yaitu pengalaman hidup iman Kristiani sepanjang sejarah (Tradisi) dan Visinya (Groome, 1997: 3).
Tradisi dalam Gereja adalah seluruh pengalaman iman umat dalam bentuk apapun yang sudah terungkap dan yang sudah dibakukan oleh Gereja dalam rangka menanggapi perwahyuan Allah di dunia ini. Tradisi Gereja meliputi: seluruh corak kehidupan Kristiani, Kitab Suci tertulis, ajaran Gereja resmi, interpretasi/tafsir, penelitian para teolog, praktek suci, ibadat, sakramen, simbol, ritus, pesta/peringatan, hiasan atau lukisan yang menjadi ekspresi iman umat akan
pengalamannya berhadapan dengan Allah, berdasarkan peristiwa historis, khususnya kehadiran Allah dalam hidup, mati dan kebangkitan Kristus (Sumarno Ds, 2009: 17). Selain itu Tradisi sebagai sabda yang dihidupi menyediakan perangkat nilai yang berguna untuk pemupukan identitas Kristiani dan memberi inspirasi serta menyediakan makna bagi manusia untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Tradisi berkaitan dengan kejadian masa lampau (Groome, 1997: 3).
Pengertian Visi dalam Gereja tidak bisa dilepaskan dari Tradisi, karena Visi itu bukan sekedar suatu pengetahuan tertentu saja, tetapi suatu kenyataan hadirnya atau manisfestasi konkrit dari isi Tradisi, dan yang menjadi jawaban hidup orang beriman terhadap apa yang ditawarkan dalam pengalaman iman Kristiani. Jadi Visi merupakan manisfestasi konkrit dari jawaban manusia terhadap janji Allah yang terwujudkan dalam sejarah atau Tradisi. Visi adalah Tradisi yang dikonkritkan dengan keadaan sekarang (Sumarno Ds, 2009: 17). Visi kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia. Visi lebih menunjuk pada proses sejarah kehidupan umat kristiani yang berkesinambungan dan bersifat dinamis, mengundang penilaian, penegasan, pilihan dan keputusan (Groome, 1997: 3).
3) Praxis
Praxis dalam pengertian model katekese SCP mengacu pada tindakan manusia ynag mempunyai tujuan untuk tercapainya suatu trasformasi kehidupan yang di dalamnya terkandung antara praktek dan teori (yang membentuk suatu kreativitas), antara refleksi kritis dan kesadaran historis (mengarah kepada
keterlibatan baru). Praxis merupakan suatu praktek yang didukung oleh refleksi teoritis dan sekaligus suatu refleksi teoritis yang didukung praktek. Praxis merupakan ungkapan pribadi yang meliputi ungkapan fisik, emosional, intelektual, spiritual dari hidup manusia. Tindakan itu meliputi sesuatu yang dimiliki, dirasakan dan yang dialami (Groome, 1997: 2; bdk. Sumarno Ds, 2009: 15). Praxis mempunyai tiga kompunen pembentuk yang saling berkaitan: aktivitas, refleksi dan kreativitas. Ketiga komponen ini berfungsi membangkitkan perkembangan imaginasi, meneguhkan kehendak dan mendorong praxis baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral (Sumarno Ds, 2009: 15).
• Aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik bersama yang semuanya merupakan medan masa kini untuk perwujudan diri manusia. Karena bersifat historis, tindakan manusia perlu ditempatkan dalam konteks waktu dan tempat tertentu. • Refleksi menekankan refleksi kritis terhadap tindakan historis pribadi dan
sosial dalam masa lampau, terhadap praxis pribadi dan kehidupan bersama masyarakat serta terhadap “Tradisi” dan “Visi” iman Kristiani sepanjang sejarah.
• Kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang menekankan sifat tresenden manusia dalam dinamika menuju masa depan untuk praxis baru.
b. Langkah-langkah dalam SCP
Model katekese SCP mempunyai lima langkah pokok yang sistematis dan berurutan. Kelima langkah SCP adalah pengungkapan pengalaman faktual, refleksi kritis pengalaman faktual, mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani lebih terjangkau, interpretasikan dialektis antara praksis dan visi peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani dan keterlibatan baru demi makin terwujudnya kerajaan Allah di dunia. Kelima langkah pokok tersebut didahului oleh langkah O (Groome, 1997: 5).
1) Langkah Nol: Pemusatan Aktivitas
Langkah ini bertujuan mendorong peserta menemukan topik pertemuan yang bertolak dari kehidupan konkret peserta sehingga menjadi tema dasar yang sungguh-sungguh mencerminkan pokok-pokok hidup, keprihatinan, permasalahan dan kebutuhan peserta (Sumarno Ds, 2009: 18).
Pemusatan aktivitas mau mengungkapkan keyakinan bahwa Allah senantiasa aktif mewahyukan di tengah kehidupan manusia, melalui refleksi, sejarah hidup manusia dapat menjadi medan perjumpaan antara pewahyuan Allah dan tanggapan manusia terhadap-Nya. Pemilihan tema dasar yang dilakukan hendaknya sungguh-sungguh mendorong peserta terlibat aktif dalam pertemuan. Pemilihan tema dasar harus konsisten dengan model Shared Christian Praxis yang menekankan partisipasi dan dialog serta tidak bertentangan dengan iman kristiani. Peran pembimbing dalam langkah ini adalah menciptakan suasana psikososial dan fisik yang mendukung, memilih sarana yang tepat dan membantu peserta merumuskan prioritas tema yang tepat (Sumarno Ds, 2009: 18-19).
2) Langkah Pertama: Pengungkapan Praksis Faktual
Langkah pertama bersifat obyektif yang bertujuan mengajak peserta untuk mengungkapkan pengalaman hidup dan keterlibatan mereka dalam kehidupan konkret yang diungkapkan bisa dalam bentuk cerita, puisi, tarian, nyanyian, drama pendek atau bentuk apa saja yang penting bentuk itu dapat dimenerti oleh peserta yang lain (Groome, 1997: 5).
Dalam proses yang berlangsung peserta mensharingkan pengalaman hidup yang sungguh-sungguh mereka alami. Peserta dapat menggunakan perasaan mereka, menjelaskan nilai, sikap, kepercayaan dan keyakinan yang melatarbelakangi apa yang mereka ungkapkan. Dengan cara tersebut diharapkan peserta menjadi sadar dan bersikap kritis terhadap pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup yang diungkapkan adalah pengalaman hidup peserta itu sendiri, atau dari permasalahan yang terjadi di masyarakat (Groome, 1997: 5).
Peran dan tanggung jawab pendamping adalah sebagai fasilitator menciptakan suasana pertemuan menjadi hangat sehingga membantu peserta untuk berani membagikan praxis hidupnya sesuai dengan tema dasar. Merumuskan pertanyaan yang jelas, terarah, tidak menyinggung harga diri seseorang, sesuai dengan latar belakang peserta dan bersifat terbuka serta obyektif. Sikap yang perlu dimiliki pendamping adalah ramah, sabar, hormat dan bersahabat (Sumarno Ds, 2009: 19).
3) Langkah Kedua: Refleksi Kritis Pengalaman Faktual
Groome (1997: 5-6) dalam Shared Christian Praxis memaparkan bahwa tujuan langkah kedua adalah membantu peserta untuk memperdalam refleksi,
mengantar peserta pada kesadaran akan keterlibatan mereka, akan asumsi dan alasan (pemahaman), motivasi, sumber historis (pengenangan), kepentingan dan konsekwensi yang disadari dan hendak diwujudkan (Imajinasi).
Langkah kedua bersifat analitis dan kritis yang bertujuan mendorong peserta untuk lebih aktif, kritis dan kreatif dalam memahami dan mengolah ketelibatan hidup mereka sendiri dan keterlibatan mereka dalam masyarakat. Dengan merefleksikan pengalaman konkret yang dialami secara kritis, para peserta diharapkan sampai pada nilai dan visinya yang pada langkah keempat akan dikonfrontasikan dengan pengalaman iman Gereja sepanjang sejarah (Tradisi) dan Visi Kristiani (Groome, 1997: 5-6).
Tanggung jawab pendamping pada langkah kedua adalah menciptakan suasana pertemuan yang menghormati dan mendukung setiap gagasan serta sumbang saran peserta, mengundang refleksi kritis setiap peserta, mendorong peserta supaya mengadakan dialog dan penegasan bersama yang bertujuan memperdalam, kenangan dan imajinasi peserta, mengajak setiap peserta untuk berbicara tapi diusahakan jangan memaksa; menggunakan pertanyaan yang menggali, menyadari kondisi peserta terlebih peserta yang tidak biasa mengadakan refleksi terhadap pengalaman hidupnya (Sumarno Ds, 2009: 20).
4) Langkah Ketiga: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani lebih Terjangkau
Langkah ketiga bertujuan mengkomunikasikan nilai-nilai Tradisi dan Visi Kristiani agar lebih terjangkau dan mengena dalam kehidupan peserta yang memiliki konteks dan latar belakang kebudayaan berbeda (Groome, 1997: 6).
Tradisi dan Visi pada langkah ketiga dijelaskan secara lengkap dan diinterpretasikan supaya lebih relevan bagi kehidupan peserta. Tradisi adalah iman Kristiani yang sungguh dihidupi dan diperkembangkan Gereja dalam sejarahnya, maka Tradisi Gereja tidak terbatas pada pengajaran Gereja (dogma) tetapi juga merangkum Kitab Suci, spiritualitas, devosi, kebiasaan hidup beriman, aneka kesenian Gereja, liturgi, kepemimpinan. Sedangkan Visi adalah merefleksikan harapan dan janji, mandat dan tanggungjawab yang muncul dari Tradisi suci yang bertujuan mendorong dan meneguhkan iman jemaat dalam keterlibatannya untuk mewujudkan kehadiran nilai-nilai Kerajaan Allah (Groome, 1997: 6).
Peranan pendamping adalah menghormati Tradisi dan Visi Kristiani sebagai suatu yang otentik dan normatif, memberi informasi dan membantu peserta agar nilai-nilai Tradisi dan Visi Kristiani menjadi miliknyamemakai sarana audio-visual yang murah; bersikap tidak mendikte tetapi mengantar peserta ke tingkat kesadaran dan ada kalanya bersikap sebagai murid yang siap belajar, penafsiran yang dibuat pendamping perlu mengikutsertakan kesaksian iman, harapan dan hidupnya sendiri dan yang terakhir supaya menjadi pendamping yang sesuai dengan tujuan langkah ketiga pendamping perlu membuat persiapan yang matang dan studi pribadi (Sumarno Ds, 2009: 21).
5) Langkah Keempat: Interprestasi Dialektis antara Tradisi dan visi Peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani
Langkah keempat bertujuan mengajak peserta supaya dapat meneguhkan, mempertanyakan, memperkembangkan dan menyempurnakan pokok-pokok
penting yang ditemukan pada langkah pertama dan kedua. Selanjutnya pokok-pokok penting itu dikonfrontasikan dengan hasil interpretasi Tradisi dan Visi Kristiani yang diperoleh pada langkah ketiga. Lewat proses konfrontasi tersebut diharapkan peserta dapat menemukan nilai-nilai hidup yang hendak digarisbawahi, sikap-sikap pribadi yang picik yang hendak dihilangkan serta nilai-nilai baru yang hendak diperkembangkan. Dengan kesadaran baru yang diperoleh diharapkan peserta dapat lebih bersemangat dalam mewujudkan imannya sehingga nilai-nilai kerajaan Allah makin dapat dirasakan di tengah-tengah kehidupan bersama (Groome, 1997: 7).
Interpretasi yang dialektis pada langkah keempat ini akan membantu peserta untuk menginternalisasi dan mensosialisasi nilai Tradisi dan Visi Kristiani menjadi bagian hidup peserta. Selain itu perwujudan iman yang baru dapat semakin memperkaya dinamika Tradisi dan Visi Kristiani. Dengan proses yang berlangsung pada langkah keempat ini diharapkan iman peserta semakin mendalam, aktif, misioner dan dewasa (Groome, 1997: 7).
Peran pendamping pada langkah keempat adalah menghormati kebebasan dan hasil penegasan peserta termasuk peserta yang menolak tafsiran yang diberikan oleh pendamping, meyakinkan peserta bahwa mereka mampu mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai Tradisi dan Visi Kristiani, mendorong peserta untuk merubah sikap dari yang awalnya hanya menjadi pendengar pasif berkembang menjadi pihak yang aktif, menyadari bahwa tafsiran pembimbing bukan kata yang mati, mendengar dengan hati tanggapan, pendapat dan pemikiran peserta (Sumarno Ds, 2009: 22).
6) Langkah Kelima: Keterlibatan Baru Demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia
Langkah kelima bertujuan mendorong peserta agar sampai pada keputusan konkret bagaimana menghidupi iman kristiani pada konteks hidup yang telah dianalisa dan dipahami, direfleksikan secara kritis, dinilai secara kreatif dan bertanggungjawab. Inilah tanggapan praktis peserta terhadap situasi konkrit mereka yang telah dikonfrontasikan dengan Tradisi dan nilai Kristiani. Keprihatinannya adalah praktis, yakni mendorong keterlibatan baru dengan mengusahakan metanoia: pertobatan pribadi dan social yang kontinyu. Keputusan konkret dari langkah kelima merupakan puncak dan buah dari model SCP (Groome, 1997: 7; bdk. Sumarno Ds, 2009: 22).
Keputusan yang diambil pada langkah kelima dapat beraneka ragam bentuk dan sifatnya ; subyek dan arahnya, karena dipengaruhi oleh topik dasar. Bentuknya, ada yang menekankan aspek kognitif (pemahaman), aspek afektif (perasaan), dan tingkah laku (praktis-politis). Sifatnya, bisa menyangkut tingkat personal, interpersoanal, atau social-politis. Subyeknya, dapat bersifat aktivitas pibadi atau tindakan bersama. Arahnya, dapat lebih intern untuk kepentingan kelompok atau ektern untuk kepentingan di luar kelompok atau keterlibatan kepada sesama (Sumarno Ds, 2009: 22).
Peranan pendamping pada langkah kelima adalah menyadari hakekat praktis, inovatif dan transformatif dari langkah kelima, merumuskan pertanyaan-pertanyaan operasional, menekankan sikap optimis yang realistis pada peserta, merangkum hasil langkah pertama sampai keempat supaya dapat membantu peserta, mengusahakan supaya peserta sampai pada keputusan pribadi dan
bersama dan memimpin perayaan liturgi sederhana untuk mendoakan keputusan (Sumarno Ds, 2009: 22).
c. Refleksi Umum Pemakaian Shared Christian praxis
Shared Christian Praxis dapat dilaksanakan dengan lebih baik bila memperhatikan beberapa catatan refleksi sebagaimana yang diungkapkan oleh Sumarno Ds (2009: 22-24) yaitu: variasi dan urutan langkah, pemilihan waktu dalam SCP, lingkungan untuk SCP yang meliputi lingkungan Emosional dan lingkungan physis.
1) Variasi dan Urutan Langkah
SCP bukan suatu metode pedagogis, melainkan suatu pendekatan umum yang di dalamnya terdapat bermacam-macam metode yang bisa dipakai. Keterampilan, penguasaan dan pengetahuan katekis terhadap tugas pokok setiap langkah akan sangat membantu dalam mengembangkan daya cipta dan imajinasi proses SCP (Sumarno Ds, 2009: 22).
Pada umumnya urutan SCP secara ringkas adalah: mengungkapkan pengalaman hidup konkret peserta, merefleksikannya, menghadirkan Tradisi iman Kristiani yang berhubungan dengan tema, kemudian disusul adanya kesempatan bagi peserta mengkonfrontasikan pengalaman hidup mereka dengan pengalaman iman Kristiani, dan akhirnya peserta diajak untuk mengambil keputusan terhadap jawaban Kristiani pribadi untuk hidup sehari-hari peserta sebagai perwujudan keterlibatan baru pada dunia. Kelima langkah SCP ini tidak harus diikuti secara berurutan, katekis dapat mengikuti urutan lain dan mengatur langkah-langkah itu dalam kombinasi yang berbeda-beda serta memberikan
tekanan yang berbeda dari satu unit ke unit yang lain. Yang paling pokok adalah semua langkah SCP mengalir dalam suatu kesatuan yang menyeluruh dan bukan langkah-langkah yang terlepas (Sumarno Ds, 2009: 22-23).
2) Pemilihan Waktu dalam SCP
Katekese model SCP merupakan salah satu model katekese Umat yang pelaksanaannya dari segi waktu dapat dimasukkan ke dalam setiap usaha pendidikan Kristiani. Dalam waktu sepuluh menit pendekatan SCP dapat dipakai yaitu dengan mengajak peserta untuk mengungkapkan dan merefleksikan pengalaman, memberikan sedikit masukan dari tradisi iman Kristiani sejauh mengenalnya, dan mengajak peserta menerimanya dalam cahaya pengalaman mereka sendiri dan mengambil keputusan tentangnya untuk langkah hidup selanjutnya (Sumarno Ds, 2009: 23).
Dalam suatu kelas waktu terpendek untuk menyelesaikan suatu unit adalah 40 (empat puluh) menit. Untuk waktu yang begitu singkat ini akan membatasi kedalaman, keluasan refleksi dan dialog. Cara yang dilakukan oleh Groome adalah dengan membagi kelima langkah SCP dalam seluruh kurikulum satu semester baik untuk SMA maupun tingkat Sarjana Muda. Jangka waktu yang demikian memberikan kesempatan cukup untuk refleksi, dialog, penelitian dan bahasan masukan. Untuk SMA yang pelajarannya berlangsung satu jam sekali dalam seminggu, dapat disusun unit-unit yang berlangsung selama enam minggu, dan memberikan dua pertemuan untuk Pengalaman dan Visi Kristiani. SCP juga dapat digunakan dalam rekoleksi atau retret akhir pekan atau simposium dengan cara menyusun acara pertemuan berdasarkan kelima langkah SCP.
Waktu,lingkungan dan tempat yang longgar sangat ideal untuk memberi perhatian cukup kepada setiap langkah SCP. Jadi kelima langkah SCP cukup fleksibel untuk dipergunakan dengan efektif dalam kerangka waktu yang berbeda-beda (Sumarno Ds, 2009: 24).
3) Lingkungan untuk SCP
Lingkungan untuk pelaksanaan SCP merupakan sesuatu yang vital untuk menjamin mutu/kualitas pendampingan yang dilaksanakan. Ada dua dimensi lingkungan yaitu: lingkungan emosional dan lingkungan physis (Sumarno Ds, 2009: 24).
a) Lingkungan Emosional
Lingkungan emosional adalah lingkungan yang dilingkupi oleh suasana saling menerima, hangat, terbuka dan saling percaya. Dalam SCP peserta perlu merasakan bahwa mereka diterima, bebas dan santai sehingga mereka merasa bebas mengungkapkan dirinya dengan kata-kata mereka sendiri dan bukan dari yang didengar dari kelompok. Kesediaan untuk mendengar menjadi suatu yang diperlukan dalam SCP (Sumarno Ds, 2009: 24).
Suatu kepercayaan sangat penting dalam proses katekese karena tanpa ada kepercayaan antar peserta SCP tak mungkin dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kepercayaan dapat dibangun sejak awal katekese. Bisa terjadi pada tahap permulaan hanya ada saling percaya dalam tingkat yang masih rendah, tetapi sementara proses dialog dan bergumul dalam SCP berjalan tingkat saling
percaya akan cepat bertumbuh. Peran pendamping sangat penting untuk membangun suasana saling percaya (Sumarno Ds, 2009: 24).
b) Lingkungan Physis
Lingkungan physis yang ideal untuk pelaksanaan SCP adalah lingkungan yang memberi kesan hangat, mesra dan terbuka. Untuk menciptakan lingkungan tersebut perlu memperhatikan cahaya, cara mengatur tempat duduk, susunan warna, tutup lantai, hiasan dan lain-lain (Sumarno Ds, 2009: 24).
Besar kecilnya kelompok merupakan bagian dari lingkungan physis. Jumlah ideal anggota dalam kelompok SCP adalah 12 orang. Jika memungkinkan semua peserta harus dapat berkontak terhadap semua peserta lain. Bentuk lingkaran sangat cocok dalam model ini. Bila peserta SCP dalam jumlah besar, maka pendamping perlu kreatif membagi peserta dalam kelmpok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 atau 5 orang. Pembagiaan dalam kelompok kecil bertujuan membantu setiap peserta memperoleh kesempatan untuk berbicara, namun besar atau kecil jumlah peserta bukan menjadi suatu halangan yang terpenting adalah setiap peserta mempunyai kesempatan minimal satu kali dalam salah satu langkah SCP (Sumarno Ds, 2009: 24).
B. USULAN PROGRAM PENDAMPINGAN KATEKESE
Program merupakan suatu perencanaan atau rancangan dari usaha-usaha yang ingin dilaksanakan sehubungan dengan adanya suatu kegiatan. Program pendampingan merupakan prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi dan urutan acara-acara pendampingan yang akan dilaksanakan yang
menyangkut sasaran, isi, pendekatan dan metodenya. Kata pendampingan yang dilaksanakan mengandaikan adanya usaha kedua belah pihak yaitu antara pendamping dengan yang didampingi dengan titik tolaknya adalah peserta yang mempunyai potensi dapat dijadikan kenyataan (Mangunhardjana, 1986: 16).
Program yang akan dibuat adalah program katekese model SCP, salah satu model katekese umat yang bertolak dari pengalaman hidup. SCP merupakan model katekese yang sangat cocok bagi para suster komunitas Rumah Sakit Suaka Insan karena menekankan proses berkatekese yang bersifat dialogis-partisipatif, yang sangat membantu dan mendorong para suster mengkomunikasikan ‘tradisi’ dan ‘visi’ hidup para suster dengan “Tradisi” dan “Visi Kristiani” sehingga baik pribadi maupun bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin terwujudnya hidup komunitas yang sesuai dengan Pedoman Hidup SPC (Groome, 1997: 1).
Model SCP bermula dari pengalaman hidup peserta yang selanjutnya direfleksikan secara kritis sehingga dapat memaknai setiap pengalaman hidup berkomunitas yang dialami para suster setiap hari. Pengalaman-pengalaman itu kemudian dikonfrontasikan dengan pengalaman hidup iman dan Visi Kristiani supaya muncul pemahaman, sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi baru dalam hubungan persaudaraan di komunitas. Maka berdasarkan alasan inilah