• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HIDUP KOMUNITAS MENURUT PEDOMAN

A. Hidup Komunitas dalam Hidup Religius

4. Bentuk-bentuk Hidup Komunitas

Berkembang dan terbentuknya persekutuan hidup dalam suatu komunitas religius sangat tergantung dari bentuk dan corak persekutuan yang hendak dicapai. Bentuk dan corak persekutuan hidup inilah yang merupakan ikatan praktis dan konkret untuk membentuk hidup komunitas (Darminta, 1981: 9).

Setiap Tarekat mempunyai cara dan penekanan berbeda dalam hidup berkomunitas. Penekanan ini bukan berarti mengabaikan aspek-aspek lain dalam hidup religius, namun penekanan secara khusus mau menampakkan keanekaragaman spiritualitas dan kharisma tarekat yang memberi pola dan warna tertentu kepada setiap komunitas (Darminta, 1981: 11).

Sebagai bantuan untuk memperoleh gambaran yang memadai mengenai komunitas, berikut ini akan dipaparkan bentuk-bentuk hidup komunitas dari segi penghayatan dan pendekatan terhadap hidup komunitas Tradisional, komunitas Social-Psikologis, komunitas Pelayanan, komunitas Kesaksian lewat hidup Komunitas, komunitas Kesaksian Sabda, komunitas Rohaniah, dan komunitas Pneumatis:

a. Komunitas Tradisional

Komunitas tradisional memberi tekanan pada tempat. Tempat dianggap elemen konstitutif dari komunitas. Persaudaraan dalam arti bibles juga mendapat tekanan. Kehadiran secara fisik merupakan tuntutan bagi anggota komunitas. Doa dianggap sebagai sarana memupuk kebersamaan dalam komunitas begitu pula kerasulan, setiap anggota mempunyai kecenderungan untuk mempunyai karya apostolat satu dan sama, kerapkali keanekaragaman karya dianggap sebagai gangguan hidup bersama. Faktor penentu pengambilan keputusan adalah demi kepentingan bersama. Pembinaan dan pembentukan anggota baru diarahkan untuk membantu pribadi masing-masing belajar menghayati hidup bersama, menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan masing-masing maupun harapan dengan apa yang mungkin diterima dan diharapkan komunitas. Jadi pada intinya keyakinan dasar yang dihayati oleh komunitas tradisional adalah hidup bersama dalam komunitas. Komitmen dan penyerahan diri terungkap dalam bentuk kehadiran dan keterlibatan secara fisik. Tujuannya ialah mempermudah pelaksanaan hidup komunitas, supaya dapat berdoa, bekerja dan hidup bersama dengan damai dan melaksanakan karya kerajaan Allah (Darminta, 1981: 14-15).

b. Komunitas sosial-psikologis

Tekanan komunitas sosial-psikologis adalah pada setiap pribadi. Maka yang menjadi perhatian utama adalah perkembangan dan pertumbuhan pribadi masing-masing, kehadiran secara psikologi merupakan tuntutan yang diharapkan disadari oleh anggotanya. Doa bersama dalam komunitas dihayati sebagai bantuan dan dukungan bagi tiap pribadi dalam menghadapi saat-saat yang sukar

dan penuh tantangan. Keanekaragaman dalam kerasulan diterima sebagai konsekuensi yang tak terelakkan bagi perkembangan bakat-bakat dan kemampuan anggota komunitas. Pembinaan dan pembentukan anggota baru diarahkan untuk membantu menemukan, memperkembangkan dan mengarahkan bakat-bakat dalam konteks komunitas yang menekankan perjumpaan antara pribadi. Keyakinan model komunitas Sosial-Psikologis ialah komunitas ada untuk melayani kebutuhan masing-masing pribadi. Setiap anggota mengharapkan terjadinya perkembangan dan pertumbuhan pribadi serta ikut ambil bagian dalam memberikan sumbangan untuk pertumbuhan dan perkembangan anggota komunitas (Darminta, 1981: 15-16).

c. Komunitas Pelayanan

Komunitas pelayanan sering disebut juga dengan komunitas karya. Tekanannya ada pada pelayanan ke luar seperti yang ditunjukkan dalam karya karitatif Gereja, seperti; Rumah Sakit, Pendidikan, Karya social, dst. Melalui pelayanan-pelayanan ini, komunitas mewujudkan semangat Tarekatnya, sama seperti Yesus yang mewujudkan Kerajaan Allah lewat karya dan Sabda-Nya maupun sikap membagikan hidup-Nya (Mat 8:1-14; bdk. Luk 4:16-44). Dengan demikian segala aspek maupun unsur hidup berkomunitas dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan, yaitu melayani masyarakat luas. Doa bersama merupakan peristiwa yang jarang dilakukan, lebih banyak waktu untuk berdoa pribadi (Darminta, 1981: 16-17).

Kerasulan aktif sangatlah penting, maka bagi komunitas pelayanan keanekaragaman karya kerasulan menjadi hal yang memungkinkan komunitas

untuk semakin mampu melayani lebih banyak orang. Setiap anggota baru dalam tahap pembinaan diharapkan untuk memperoleh pengalaman atau dorongan pelayanan sebagai unsur utama dari hidup religiusnya. Maka keyakinan dasar komunitas pelayanan merupakan bantuan bagi anggota masing-masing untuk melayani kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Komitmen kepada pelayanan kerasulan merupakan kriterium untuk mengadakan evaluasi dan refleksi diri yang didasarkan pada harapan untuk membangun dunia yang lebih baik, di mana manusia dapat hidup dengan lebih merdeka, adil dan manusiawi (Darminta, 1981: 16-17).

d. Komunitas kesaksian lewat hidup komunitas

Dalam komunitas kesaksian lewat hidup komunitas, cara hidup dan penghayatan hidup antar pribadi dinilai sebagai kesaksian atas nilai hidup komunitas kepada masyarakat luas. Dalam arti tertentu komunitas ada demi nilai hidup komunitas. Komunitas merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Persaudaraan seperti dalam Gereja purba dan tugas profetis (kenabian) dengan pewartaan Sabda merupakan bagian yang integral. Untuk tugas kesaksian itu, pelayanan ke luar dirasa sangat penting. Hidup dan berdoa bersama merupakan wadah untuk sharing iman dan hidup. Mengundang orang luar untuk ikut ambil bagian dalam hidup dan doa bersama merupakan bagian untuk memberi kesaksian atas hidup bersama. Pembinaan dan pembentukan pada anggota baru diarahkan agar mampu menghayati hidup komunitas sebagai yang bernilai demi kesaksiaan dan pelayanan pada masyarakat di sekitarnya (Darminta, 1981: 17-18).

Keyakinan dasar dari komunitas kesaksian lewat hidup komunitas ialah komunitas kristiani secara keseluruhan merupakan saksi hidup bersama dalam masyarakat manusia yang lebih luas, yang mengalami karya penyelenggaraan Allah. Yang menjadi tuntutan dalam menghayati hidup dalam komunitas kesaksian lewat hidup komunitas adalah harapan bahwa setiap anggota komunitas akan menghayati hidup dan karyanya sedemikian, sehingga masyarakat luas akan semakin merasakan, tertarik, untuk menyadari dan merindukan pelayanan komunitas yang manusiawi dan kristiani (Darminta, 1981: 17-18).

e. Komunitas Kesaksiaan Sabda

Komunitas kesaksian Sabda memberi tekanan pada pewartaan Sabda Allah. Komunitas ini berkomitmen dasar mewartakan Sabda kepada semua orang. Pelayanan atau karya lebih diutamakan yang berpautan dengan pewartaan Sabda. Setiap anggota yang berada di komunitas lebih banyak bergerak ke luar. Doa komunitas akan berbentuk suatu doa yang memungkinkan anggota-anggotanya memahami, meresapkan dan mengintegrasikan Sabda itu ke dalam hidup mereka sendiri. Mereka diharapkan mampu memberikan kesaksian tentang panggilan dan kekuatan Sabda itu dalam dunia. Pelayanan atau karya lebih mengutamakan yang berpautan dengan pewartaan Sabda (Darminta, 1981: 18).

Pembinaan, pembentukan dan pengolahan hidup anggota-anggota baru, harus berlandas pada Kitab Suci. Oleh karena itu, mereka mempelajari dengan ketat Kitab Suci dan amanatnya untuk masa sekarang, seperti keterampilan-keterampilan dalam menyampaikan dan memberikan kesaksian dengan efektif. Keyakinan dasar komunitas Kesaksian Sabda ialah komunitas ada untuk

membantu anggota-anggotanya memberi kesaksian Sabda dan kekuatan penyelamatan Sabda dalam dunia masa kini. Dengan demikian, menghayati hidup yang mewartakan Sabda merupakan komitmen yang diharapkan dari setiap anggota. Harapan komunitas Kesaksian Sabda adalah, dengan memberi kesaksian Sabda, anggota komunitas membuat Sabda sungguh-sungguh hadir dan mempengaruhi, baik dirinya sendiri maupun masyarakat luas (Darminta, 1981: 18).

f. Komunitas Rohaniah

Dalam komunitas rohaniah tempat tetap menjadi hal yang penting. Hidup komunitas berpusat kepada tempat, khususnya tempat beribadat. Ini merupakan peringatan akan para murid yang dahulu bersama berkumpul di ruang perjamuan, bertekun sehati dalam doa bersama-sama. Dengan kata lain komunitas rohaniah memberi tekanan pada ibadat itu sendiri. Setiap orang serta komunitas secara keseluruhan dipanggil ke kesucian, ke komitmen kepada doa, ke hidup cinta yang kaya bersama Allah. Dalam arti tertentu komunitas rohaniah lebih merupakan usaha untuk menjadi komunitas yang ambil bagian hidup triniter. Doa bersama mempunyai nilai tinggi, karena itu merupakan bantuan bagi anggota masing-masing maupun komunitas keseluruhan untuk melaksanakan komitmen mereka yang utama (Darminta, 1981: 18-19).

Kerasulan aktif meski penting, tidaklah sepenting doa. Doa dinilai sebagai kerasulan. Doa bersama mempunyai nilai tinggi, karena merupakan bantuan bagi anggota masing-masing maupun komunitas secara keseluruhan untuk melaksanakan komitmen mereka yang utama. Doa bersama, sharing iman,

perayaan Ekaristi merupakan ungkapan komunitas dan pribadi masing-masing atas penyerahan diri kepada Tuhan. Pembinaan dan pembentukan anggota baru diarahkan pada perkembangan, pemupukan dan pertumbuhan hidup doa yang kaya baik secara pribadi maupun secara bersama. Keyakinan dasar komunitas rohaniah ialah setiap anggota dipanggil untuk hidup dalam cinta bersama Allah, dan komunitas ada untuk memupuk hubungan cinta ini dengan doa sepanjang hidup. Tuntutan komunitas ini adalah penyerahan terhadap doa. Harapan komunitas rohaniah adalah agar anggotanya mampu memusatkan hidup dan cinta

tanpa syarat kepada Allah dan sesama (Darminta, 1981: 18-19).

g. Komunitas Pneumatis

Dalam komunitas Pneumatis yang menjadi ikatan ialah keterbukaan hati untuk dan mengikuti gerak Roh Kudus. Bagi mereka, komunitas itu seluas dengan gerak dan pengaruh Roh Kudus, yang dahulu juga dialami oleh Jemaat Gereja purba di mana Rohlah yang mendorong para murid (Kis 2:1-12). Doa diutamakan, sebagaimana doa merupakan penantian dan pencariaan akan bimbingan Roh. Doa dan penegasan rohani merupakan pengalaman dari hari ke hari, maka tidak begitu ditetapkan apakah akan ada kerasulan bersama atau kerasulan macam-macam, sebab Roh mungkin pada suatu waktu menggerakkan untuk kerasulan bersama dan pada waktu lain untuk kerasulan yang berbeda-beda (Darminta, 1981: 19-20).

Pembinaan dan pendidikan anggota baru merupakan karya Roh sendiri. Yang menjadi tugas para pendamping adalah membantu anggota-anggota baru menemukan jalan dan cara Roh bekerja, mendengarkan dan menegaskannya.

Dasar komunitas Pneumatis adalah keyakinan, bahwa Roh meresapi seluruh hidup, dan dengan begitu komunitas berada di mana-mana. Yang menjadi tuntutan adalah bahwa anggota masing-masing menyerahkan diri kepada bimbingan Roh Kudus. Harapan komunitas Pneumatis ialah agar pengaruh Roh Kudus selalu meliputi hidup mereka, hidup komunitas dam masyarakat manusia (Darminta, 1981: 19-20).

5. Unsur-unsur Komunitas

Secara nyata komunitas dalam hidup sehari-hari, hidup dalam dan menurut unsur-unsur yang ada. Pada umumnya unsur-unsur komunitas terdiri dari rumah sebagai tempat tinggal, anggota, struktur, pekerjaan atau kerasulan dan kepemimpinan.

a. Rumah

Rumah yang dimaksud bukan sekedar gedung belaka, tetapi sebagai tempat tinggal untuk berteduh dan hidup bersama. Maka arti rumah di sini juga mencakup masalah kerumahtanggaan, harta kekayaan komunitas, fasilitas hidup maupun bekerja. Secara khusus sebagai rumah religius diperlukan fasilitas rumah untuk keperluan rohani, seperti kapel atau ruang berdoa, fasilitas buku-buku baik untuk hidup rohani maupun ilmu pengetahuan. Fasilitas-fasilitas tersebut memungkinkan para biarawan-biarawati untuk mengalami dan menghayati keheningan dalam Tuhan serta kebersamaan dengan semua anggota komunitas (Darminta, 1983: 95).

b. Anggota

Anggota merupakan unsur yang sangat penting, sebab komunitas religius ada, karena ada anggota-anggota yang bergabung di dalamnya. Anggota-anggota komunitas terdiri dari pribadi-pribadi yang berbeda satu sama lain entah umur, pengalaman hidup membiara, watak, bakat, asal-usul dan sebagainya. Semuanya disatukan dalam sebuah komunitas maka diharapkan para anggota sadar bahwa mereka mempunyai tanggung jawab untuk membangun komunitas sebagai komunio hidup (Darminta, 1983: 93).

Hidup bersama dibangun dari hari ke hari oleh angota-anggotanya, maka komunitas akan menjadi kuat bila masing-masing menyumbangkan kemampuan pribadinya. Persatuan hati dan budi dihayati dalam hidup bersama dengan saling memberi diri. Setiap anggota saling membuka diri dalam kasih persaudaraan yang penuh cinta. Hidup bersama berlandaskan pada kasih, kemerdekaan, kepercayaan, keterbukaan satu sama lain dan komunikasi. Memberikan diri membuat biarawan-biarawati mampu untuk menerima sesama anggota komunitas dengan segenap hati, segenap budi, segenap jiwa dan segenap tenaga (Darminta, 1982: 12-13). Sama seperti Yesus mengajarkan hukum utama kepada orang Farisi dan ahli Taurat (Mat 22:37-39).

Biarawan-biarawati juga perlu memupuk perasaan bahwa ia adalah milik komunitas “Sense of belonging” kesadaran menjadi milik komunitas merupakan dasar dan sumber untuk terus menerus memperbaharui diri dalam komunitas. Kesadaran menjadi milik orang lain memberi arti dan kekuatan untuk menghayati hidup, sebab ia menemukan bahwa dirinya berarti bagi orang lain. Perasaan dan kesadaran menjadi milik komunitas tumbuh dan berkembang dengan adanya

perkembangan penerimaan serta pengakuan bahwa dirinya berada dalam komunitas karena menjadi anggota komunitas dituntut suatu pemahaman yang bebas atas anggota atau pribadi-pribadi lain dalam komunitas termasuk pemahaman terhadap kecenderungan-kecenderungan afektif yang ada dalam dirinya dan sesama anggota yang lain. Dengan begitu tumbuh suatu hubungan pribadi yang terjalin dalam aksi dan reaksi hubungan afektif satu sama lain, dengan siapa ikatan-ikatan itu dibangun untuk hidup bersama. Taraf kesadaran yang dicapai ialah orang lain mempunyai nilai bagi dirinya. Kesadaran itu terwujud dalam sikap, perbuatan, tingkah laku yang mempererat hubungan antar anggota komunitas (Darminta, 1981: 23).

c. Struktur

Hidup bersama dalam komunitas memerlukan struktur yang menunjang terlaksananya kesatuan dan persekutuan hidup. Struktur dibuat berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama serta disesuaikan dengan ciri khas tarekat masing-masing. Struktur itu mencakup pengaturan ritme hidup dalam komunitas, aturan harian, aturan penggunaan fasilitas, aturan hubungan karya dengan komunitas (Darminta, 1983: 13.93-94). Termasuk kontrak kerja dengan Keuskupan, Tarekat lain, atau Otoritas atau penguasa setempat. Struktur hidup dalam komunitas merupakan sarana untuk menjalin hubungan cinta antar anggota, sebab struktur tidak mengganti hukum hati dan hukum cinta, tetapi mempermudah dan memperjelas penghayatannya dalam cara hidup, berdoa dan bekerja bersama-sama. Namun perlu diingat bahwa struktur itu sendiri perlu terbuka, tidak kaku dan senantiasa diperbaharui serta ditinjau, supaya selalu

menjadi sarana yang menunjang hidup bersama dalam persaudaraan serta membantu penghayatan hidup berkaul dan hidup berapostolat sesuai dengan spiritual dan kharisma tarekat (Darminta, 1982: 13).

d. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan unsur keempat dalam hidup komunitas, secara nyata pekerjaan dalam komunitas dapat dibagi menjadi dua, Pertama yang sifatnya intern yaitu pelayanan demi lancar dan terselenggaranya hidup dalam komunitas sehingga kehidupan dalam komunitas terjamin kereligiusannya, mencakup pelayanan rohani dan jasmani. Kedua yang sifatnya ekstern atau disebut juga dengan kerasulan. Dapat terjadi dalam satu komunitas terdapat aneka macam kerasulan. Konsekuensi dalam hidup berkomunitas cukup besar. Aneka macam pengalaman dan pertemuan terjadi dalam komunitas. Begitu pula aneka macam minat perlu ditampung dan didengarkan. Aneka macam kesulitan dalam bekerja juga akan dibawa dalam komunitas. Begitu pula kelelahan-kelelahan dan kegembiraan yang satu sama lain berbeda waktu dan ritmenya. Membangun komunitas haruslah memperhatikan kenyataan ini.

e. Kepemimpinan

Pimpinan dalam komunitas, betapa pun kecilnya komunitas itu, merupakan syarat mutlak terbentuknya komunitas religius. Hidup berkomunitas mencakup tiga hal pokok yang mau dihayati, ialah kenyataan rohani, religius dan kerasulan. Untuk menjamin hidup rohani, religius dan apostolis, komunitas religius harus mempunyai pemimpin, karena komunitas religius pada dasarnya

merupakan persekutuan hidup dalam cinta dan pelayanan, maka pemimpin adalah manisfestasi ikatan cinta dan pelayanan dalam kharisma dan kerohaniaan bersama. Pimpinan merupakan tanda kekuatan ikatan antar anggota dengan komunitas, tarekat, kharisma, Gereja dan Kristus, sekaligus merupakan tanda kesatuan dalam pelayanan (Darminta, 1982: 14; bdk. Darminta, 1983: 94).

Jacobs (1987: 149) mengungkapkan bahwa menjadi seorang pemimpin berarti menjadi pelayan dan hamba, seperti yang diajarkan oleh Yesus “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaknya ia menjadi yang terakhir dan pelayan bagi semua” (Mrk 9:35). Maka seorang pemimpin diharapkan selalu hadir di tengah komunitas sebagai seorang yang siap sedia untuk melayani anggota komunitas yang dipercayakan oleh tarekat kepadanya. Ia bertanggung jawab atas terlaksananya hidup bersama sehari-hari dan kerasulan serta pertumbuhan dan perkembangan kesucian masing-masing anggota dengan berpegang pada kerohanian dan kharisma tarekat. Dari seorang pemimpinlah diharapkan adanya penyemangatan, penyatuan, pembinaan dan bimbingan atas komunitas serta untuk mengenal dan mencari kehendak Allah dan mewujudkannya dalam kesatuan hati dan budi (Darminta, 1982: 14).

Tugas kepemimpinan ini memang bukan hal yang mudah, sangat diperlukan semangat iman yang kuat. Maka yang diharapkan dari teman-teman sebiara ialah peneguhan dan iman serta keterbukaan dan kepercayaan kepada pemimpin, karena pemimpin itulah yang akan membantu mengarahkan hidup bersama dan hidup setiap anggotanya dalam mengejar kesucian dan kesempurnaan hidup, membantu terwujudnya hidup bersama, membantu

terlaksananya penghayatan kaul, membantu terjalinya kesatuan, membantu pertumbuhan hidup setiap anggota (Darminta, 1982: 14).

B. HIDUP KOMUNITAS DALAM HIDUP RELIGIUS MENURUT PEDOMAN HIDUP PARA SUSTER SPC

Konstitusi adalah peraturan dasar untuk pengarahan hidup dan karya para anggota hidup bakti, serta aturan tentang cara hidup Tarekat yang memberi warna, wajah dan identitas konkret sebuah Tarekat Religius (Heuken, 2005: 49). Konstitusi sebagai cara hidup Tarekat mempunyai kekuatan yang mewajibkan semua anggota Tarekat untuk menepati semua norma yang tertulis di dalamnya. (Darminta, 1983: 36). Dalam Kongregasi Suster-suster St. Paulus dari Chartres, konstitusi disebut sebagai Pedoman Hidup yang berfungsi untuk menjadi pedoman dan mengarahkan hidup serta karya para Suster SPC, serta menjadi sarana yang berharga dalam melaksanakan cinta kasih kristiani secara sempurna. Pedoman Hidup yang menjadi pedoman para suster SPC memuat pula beberapa hal menyangkut hidup komunitas antara lain Landasan hidup komunitas SPC, Pola hidup komunitas SPC, hidup bersama dalam komunitas hidup komunitas sebagai kesaksian kerasulan dan peran hidup komunitas dalam penghayatan ketiga nasehat Injili.