MELALUI KATEKESE
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Agato
NIM : 041124006
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
“Berikanlah kepada setiap orang yang meminta kepadamu;
Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini tidak memuat karya
orang lain kecuali seperti yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka,
sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Juni 2008
Penulis
Judul dari skripsi ini adalah “MENINGKATKAN PENGHAYATAN KAUL
KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN KONGREGASI
BRUDER MARIA TAK BERNODA (MTB) MELALUI KATEKESE”. Judul ini
dipilih karena penulis melihat adanya permasalahan yang dihadapi para Bruder MTB
dalam penghayatan kaul kemiskinan dan ingin memberi gagasan untuk membantu
meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan tersebut. Kenyataannya, penghayatan
kaul kemiskinan zaman sekarang mulai mengendor. Mengendornya penghayatan
kaul kemiskinan ini karena kurangnya pemahaman tentang makna kaul kemiskinan
dan kurang mampu mengendalikan diri dari tawaran-tawaran dunia yang memberi
kenikmatan sesaat serta ingin memiliki barang-barang dengan model terbaru karena
takut kolot atau ketinggalan zaman.
Kongregasi Bruder MTB berusaha mengikuti kemiskinan Yesus yang
merendahkan diri dan hidup miskin di tengah orang miskin, dan kemiskinan Santo
Fransiskus Assisi yang diwariskan oleh pendiri. Menghayati hidup miskin perlu
bercermin pada hidup Yesus yang bersikap lepas bebas untuk mencapai
kesederhanaan dengan rela melepaskan miliknya dan sungguh hidup miskin.
Kemiskinan Yesus tampak dalam kata-kata dan perbuatan. Untuk melaksanakan
kemiskinan zaman sekarang tidaklah gampang. Untuk itu, perlu pertobatan terus
menerus, mampu bersikap lepas bebas dan giat bekerja yang ditopang oleh semangat
doa.
The title of this skription is “DEVELOPMENT OF THE VOW OF POVERTY
LIFE IN THE SERVICE AND FRATERNITY OF THE CONGREGATION
BROTHERS OF THE IMMACULATE OF MARY (MTB) THROUGH
CATECHISM”. This title is chosen by the writer to see the problems that faced by
MTB Brothers in the life of poverty and to give ideas to help the development of the
vows of the religious life especially the vow of poverty. In the reality life we see that
the spirit of the vow poverty is decreasing. One of the reason why the decreasing of
the poverty life because of understanding about the vow of poverty is less and there is
lack of ability of self govern toward the invitation of the world which give pleasure in
short term self satisfaction and the will to have many kind of the new model things in
order not to be said “live in classic time”.
The congregation of MTB Brothers try to make effort to follow the poverty of
Jesus who humble himself and live in poverty together with the people in His time
and the poverty life of St. Fransis of Asissi and what was heirloomed by the founder
of MTB Brothers. To live in poverty life we need the mirror of the life of Jesus who
free himself in order to reach the simplicity of life and give away what we have and
really live in poverty. The poverty life of Jesus appear in words and deeds. To live in
poverty in this time is not eassy. For that, we need the repentance anytime and work
hard, ride the spirit of prayer.
Puji dan syukur kepada Allah yang Mahakasih dan karunia-Nya yang melimpah
. “Semoga penghayatan kaul kemiskinan sungguh-sungguh dihayati dengan benar”.
Itulah ungkapan yang terlontar dalam hati penulis ketika menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul “MENINGKATKAN PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN
DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN KONGREGASI BRUDER
MARIA TAK BERNODA (MTB) MELALUI KATEKESE”. Skripsi ini ditulis
bertolak dari pengalaman dan keprihatinan penulis terhadap penghayatan kaul
kemiskinan zaman sekarang yang mulai mengendor. Penyusunan skripsi ini
membantu para Bruder MTB meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan yang telah
diikrarkan sebagai jalan mengikuti Yesus. Selain itu, skripsi ini diajukan dalam
rangka salah satu sarat memperoleh Sarjana Pendidikan di Program Studi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma.
Penulis juga menyadari bahwa dalam rangka penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari banyak pihak yang terlibat baik secara langsung maupun secara tidak langsung
memberikan perhatian, semangat, dukungan, pemikiran dalam rangka mengolah dan
menyususn skripsi ini. Untuk itu, perkenankanlah penulis menghaturkan rasa terima
kasih kepada:
1.
Segenap Staf Dosen program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan
Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik, memberikan
bekal pengetahuan yang sangat berharga serta belajar khususnya dalam
penyusunan skripsi ini.
2.
Dr. J. Darminta, SJ selaku pembimbing utama dan dosen penguji I yang dengan
sabar, setia, teliti, membimbing serta mengarahkan dari awal sampai berakhirnya
penulisan skripsi ini.
5.
Br. Gabriel Tukan, MTB (Bruder Propinsial MTB) yang telah memberikan
kesempatan dan kepercayaan serta semangat bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6.
Para Bruder MTB di komunitas Alverna Ngadikan, Yogyakarta yang dengan
caranya masing-masing telah banyak mendukung penulis.
7.
Rekan-rekan Mahasiswa IPPAK Universitas Sanata Dharma, khususnya angkatan
2004/2005 yang telah turut serta memberi semangat dan dukungan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
penulis sangat membutuhkan kritikan serta sumbang saran dari siapa saja yang
membangun, memperkembangkan dan penyempurnaan pemikiran-pemikiran yang
tertuang dalam skripsi ini. Penulis berharap agar pokok-pokok pikiran yang tertuang
dalam skripsi ini dapat membantu anggota Kongregasi dalam menghayati nilai-nilai
khas Kongregasi.
Yogayakrta,
26
Juni
2008
Penulis
HALAMAN JUDUL………
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………
HALAMAN PENGESAHAN………
HALAMAN PERSEMBAHAN………
MOTTO………
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………
ABSTRAK………
ABSTRACT……….
KATA PENGANTAR………
DAFTAR ISI………
DAFTAR SINGKATAN...
BAB I PENDAHULUAN………
A.
Latar Belakang………
B.
Rumusan Masalah………
C.
Tujuan Penulisan………
D.
Manfaat Penulisan………
E.
Metode Penulisan………
F.
Sistematika Penulisan………
BAB II KAUL KEMISKINAN DALAM HIDUP MEMBIARA………
A.
Hidup Membiara………
1.
Hidup Membiara Dalam Gereja………
2.
Panggilan Khas Kenabian………
3.
Radikalisme Melalui Kaul………
4.
Kaul Sebagai Persembahan Diri………
B.
Kaul Kemiskinan Religius………
C.
Tantangan Dan Pergumulan Kemiskinan Dewasa Ini…………
1.
Sekularisme………
2.
Kesenjangan Sosial Ekonomi………
3.
Gaya Hidup Modern………
4.
Korupsi………
D.
Nilai Kesaksian Kemiskinan Zaman Sekarang……….
1.
Keterlibatan Kaum Religius Terhadap Kaum Miskin………
2.
Solider Dengan Kaum Miskin……….
3.
Kerelaan Berbagi……….
BAB III KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN
PERSAUDARAAN BRUDER MARIA TAK BERNODA
(MTB)………...
A.
Kemiskinan Dalam Kongregasi Maria Tak Bernoda
(MTB)……...
1.
Mengikuti Kristus Yang Miskin Melalui Teladan Fransiskus
Dari Assisi………...
2.
Kemiskinan Dalam Anggaran Dasar Ordo Ketiga Regular
Santa Fransiskus Dari Assisi………
3.
Kemiskinan Dalam Konstitusi Kongregasi………..
4.
Dasar Penghayatan Kaul Kemiskinan Dalam Kongregasi…...
B.
Dimensi Penghayatan Kaul Kemiskinan Dalam Kongregasi……
1.
Miskin Harta………...
2.
Miskin Radikal………
3.
Miskin Dalam Roh………..
3.
Hidup Dalam Pertobatan………
D.
Kemiskinan Sebagai Penjiwa Hidup……….
1.
Dalam Persaudaraan………
2.
Dalam Karya………..
BAB IV KATEKESE SALAH SATU UPAYA MEMBANTU
MENINGKATKAN PENGHAYATAN KAUL
KEMISKINAN…...
A.
Landasan Usaha Meningkatkan Penghayatan Kaul
Kemiskinan…...
B.
Gambaran Umum Katekese………..
1.
Pengertian Katekese………....
2.
Tujuan Katekese………...
3.
Isi Katekese………...
4.
Proses Katekese………...
5.
Unsur-Unsur Katekese………...
C.
Peran Katekese Dalam Meningkatkan Penghayatan Kaul
Kemiskinan………
D.
Upaya Katekese Dalam Meningkatkan Penghayatan Kaul
Kemiskinan………...
1.
Pembinaan………..
2.
Retret Dan Rekoleksi………
E.
Shared Christian Praxis
(SCP) Sebagai Model Katekese Yang
Dapat Membantu Meningkatkan Penghayatan Kaul
Kemiskinan……...
1.
Pengertian
Shared Christian Praxis
………
2.
Langkah-Langkah
Shared Christian Praxis
(SCP)………..
2.
Pengertian Program………...
3.
Tujuan Program………
4.
Isi Program………
5.
Contoh Program………
G.
Contoh Persiapan Katekese………...
BAB V PENUTUP……….
A.
Kesimpulan……….
B.
Saran………....
DAFTAR PUSTAKA………..
LAMPIRAN………
Lampiran 1 : Pakailah Daku...
Lampiran 2 : Orang Muda yang Kaya...
A.
SINGKATAN KITAB SUCI
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini diambil dari singkatan Kitab Suci
Perjanjian Baru: Arnoldus Ende.
B.
SINGKATAN DOKUMEN GEREJA
.
CT
:
Catechesi Tradendae
.
EN
:
Evangeli Nuntiandi
KHK
: Kitab Hukum Kanonik
LG
:
Lumen Gentium
PC
:
Perfectae Caritatis
PKKI :
Pertemuan
Kateketik
Antar Keuskupan Se-Indonesia
VC
:
Vita Consecrata
C.
SINGKATAN LAIN-LAIN
AD
: Anggaran Dasar Ordo Regular Fransiskan
AngTBul : Anggaran Dasar Tanpa Bula
AngBul
: Anggaran Dasar Dengan Bula
Art
: Artikel
1 Cel
: Thomas dari Celano 1
HP
: Hand Pone
MTB
: Maria Tak Bernoda
Konst :
Konstitusi
KSM
: Kelompok Swadaya Masyarakat
LCD :
Liquid Cristal Display
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang kaul kemiskinan tidak terlepas dari hidup membiara
yang ditandai dengan kaul-kaul yang dihayati. Dengan kaul, seseorang akan
mengikat diri dengan Tarekat/Kongregasi/Ordo yang akan mewarnai dan
sekaligus menjadi pola hidupnya. Dengan berkaul berarti seseorang
menggabungkan diri pada sekelompok orang yang dengan bersama-sama rela dan
bersedia melaksanakan visi dan misi Tarekat/Kongregasi/Ordo. Hidup religius
yang dihayati merupakan perwujudan dari penyerahan diri seseorang secara total
kepada Allah. Penyerahan diri ini merupakan suatu persembahan diri yang murni
dari setiap pribadi yang ingin menggabungkan diri ke dalam
Tarekat/Kongregasi/Ordo tertentu melalui pengikraran ketiga kaul yakni kaul
kemiskinan, kaul kemurnian, dan kaul ketaatan. Penghayatan kaul oleh
masing-masing anggota diwarnai dengan semangat dasar dan kharisma pendiri serta
spiritualitas Kongregasi. Pengikraran kaul merupakan suatu keputusan dan pilihan
yang bebas untuk mengikat diri pada suatu persekutuan dalam mengembangkan
diri sesuai dengan nasehat Injil untuk mencari Allah dalam setiap peristiwa hidup.
Memilih dan memasuki salah satu Tarekat/Kongregasi/Ordo berarti berani
mengikuti Yesus Kristus yang miskin secara radikal.
Pada kesempatan ini penulis akan memfokuskan satu kaul yaitu kaul
Kongregasi Maria Tak Bernoda (MTB) adalah salah satu Kongregasi yang
bernaung pada spiritualitas Fransiskus dari Assisi. Kongregasi Bruder Maria Tak
Bernoda (MTB) berusaha mengikuti Yesus Kristus menurut teladan dan semangat
hidup Santo Fransiskus dari Assisi yang bersemangat hidup miskin. Fransiskus
berusaha keras menyerupai hidupnya dengan hidup Yesus yang mencintai
kemiskinan. Hidup miskin bagi Fransiskus bukan hanya tidak memiliki sesuatu,
tetapi ada hati untuk hidup di tengah-tengah orang yang putus harapan dan
hidupnya sangat sederhana. Namun pada kenyataannya banyak terjadi
penyelewengan dalam tugas pelayanan dan persaudaraan. Adapun tugas dan
pelayanan yang dikelola Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda bergerak dalam
bidang karya pendidikan, karya sosial, pembinaan kaum muda (asrama), pastoral,
dan katekese di paroki. Oleh karena itu penting adanya pemahaman yang sungguh
akan kaul kemiskinan agar dapat menghayatinya dengan baik dan benar.
Kemiskinan menjadi salah satu ciri khas Bruder Maria Tak Bernoda
(MTB) yang harus dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh setiap anggota
Kongregasi. Demi kelancaran tugas dan pelayanannya para Bruder berhak
memiliki segala sesuatu yang diperlukan untuk kebutuhan hidup di dunia dan
karyanya, tetapi tetap diusahakan jangan sampai memberi kesan mewah,
mendapatkan keuntungan yang berlebihan dan penumpukan harta. Penulis
melihat dan mengalami banyak para Bruder telah mengikrarkan kaul kemiskinan
kurang menghayati makna kaul kemiskinan atau pura-pura tidak tahu bahkan
sengaja melanggarnya. Akibatnya banyak para Bruder yang secara sadar atau
banyak tawaran dan peluang untuk memiliki atau mendapatkan harta hingga
akhirnya menyeleweng dari kaul kemiskinan. Kaum biarawan-biarawati sering
mendapat cibiran dari umat “mereka yang mengucapkan kaul, kami yang
melaksanakannya”. Keinginan memiliki barang-barang secara berlebihan banyak
dipengaruhi faktor orang lain (mendapat hadiah dari kenalan), terlalu lama
berkarya di suatu tempat khususnya daerah basah sehingga sulit untuk
dipindahkan, pengaruh zaman modern agar tidak dipandang kolot, pengaruh iklan
yang menimbulkan keinginan untuk memiliki sesuatu walaupun tidak sungguh
dibutuhkan. Karena kurangnya penghayatan terhadap kaul kemiskinan maka
dengan sendirinya penghayatan terhadap kaul kemiskinan akan menurun dan tidak
terlaksana sebagai mana diwariskan oleh pendiri dan semangat Santo Fransiskus
dari Assisi. Selain itu ada juga Bruder yang menggunakan barang bersama
seolah-oleh milik pribadi sendiri dan tak terpisahkan dari padanya. Kelekatan pada
barang, harta, materi akan menimbulkan adanya egoisme, iri hati, pertengkaran,
serakah, ingin menang sendiri, ingin melebihi orang lain, bahkan lupa akan tugas
dan lain-lain. Melalui situasi ini ternyata masih banyak para Bruder yang kurang
paham akan makna kaul kemiskinan dalam hidup membiara. Diharapkan setiap
anggota Kongregasi harus kembali kepada konstitusi/statuta yang berbicara
tentang kaul kemiskinan agar para anggota dapat memahami dan menghayatinya
dengan baik.
Kemiskinan yang dihayati oleh para anggota Kongregasi Bruder Maria Tak
Bernoda (MTB) belumlah mencerminkan penghayatan akan kaul kemiskinan
kenyataannya banyak anggota yang sudah berkaul terutama yang berkaul
sementara, dan bahkan yang berkaul kekal cenderung untuk memiliki
barang-barang duniawi. Banyak para Bruder sepertinya berlomba untuk mendapatkan
barang-barang duniawi. Bahkan barang yang tidak terlalu penting, tetapi hanya
karena ingin mengikuti tawaran-tawaran masa kini dan kesenangan sendiri.
Akhirnya barang dipandang seakan-akan menjadi tujuan bukan lagi sebagai sarana
untuk pelayanan yang sampai pada penyerahan diri kepada Allah. Kita diajak
untuk dengan segenap hati berusaha untuk menghayati kaul kemiskinan dalam
keseluruhan aktivitas diri khususnya dalam tugas pelayanan. Kita harus kembali
kepada cita-cita dan semangat pendiri.
Dengan mengikrarkan kaul kemiskinan seseorang dapat membebaskan diri
dari segala yang mengikat atau yang menghambat kasih Allah. Pengosongan diri
seperti yang dilakukan oleh Yesus merupakan suatu usaha penelanjangan diri
secara total bagi kita sehingga kasih Allah dicurahkan ke dalam hati dengan
berlimpah. Dengan pengosongan diri, kita mampu rendah hati sesuai dengan
semangat Santo Fransiskus dari Assisi yang diwariskan kepada pengikutnya.
Melihat masalah dan keprihatinan yang dialami para Bruder Maria Tak
Bernoda (MTB) dewasa ini dalam menghayati kaul kemiskinan menunjukkan
bahwa semangat kemiskinan dan cita-cita pendiri belum tercapai sebagai mana
mestinya. Hal ini menjadi keprihatinan penulis. Untuk itu dalam tulisan ini,
penulis ingin menyumbangkan gagasan-gagasan yang berguna bagi anggota
Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB) untuk menghayati kaul
KAUL KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN
KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (MTB) MELALUI
KATEKESE”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
a) Bagaimana kaul kemiskinan religius memberikan nilai kesaksian di zaman
sekarang.
b) Bagaimana upaya membangun sikap dan kesadaran diri dalam menghayati
makna kaul kemiskinan dalam dunia modern ini?.
c) Apa sumbangan katekese dalam usaha meningkatkan penghayatan kaul
kemiskinan dalam pelayanan dan persaudaraan.
C. Tujuan Penulisan
Skripsi ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran yang jelas tentang kaul kemiskinan religius yang
bernilai kesaksian di zaman sekarang.
2. Membantu para Bruder MTB untuk dapat membangun sikap dan
kesadaran diri dalam memahami dan menghayati kaul kemiskinan.
3. Memberi sumbangan pemikiran bagi para Bruder MTB dalam usaha
meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan dalam pelayanan dan
4. Memenuhi persyaratan kelulusan Sarjana Strata 1 (S1) pada Program Studi
Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas
Sanata Dharma.
D. Manfaat Penulisan
1. Religius akan mendapat sumbangan pemikiran dalam memaknai kaul
kemiskinan yang bernilai kesaksian di zaman sekarang.
2. Mendorong para Bruder Maria Tak Bernoda (MTB) agar semakin
memperdalam penghayatannya terhadap kaul kemiskinan.
3. Menjadi sebuah bahan refleksi bagi penulis sebagai seorang religius
Bruder MTB yang telah berjanji untuk hidup menghayati kaul
kemiskinan.
E. Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
pendekatan dekriptif analisis melalui pengalaman penulis maupun studi pustaka
tentang buku-buku yang berbicara tentang kaul kemiskinan.
F. Sistematika Penulisan
Judul skripsi yang dipilih ini adalah: “Meningkatkan Penghayatan Kaul
Kemiskinan Dalam Pelayanan dan Persaudaraan Kongregasi Bruder Maria Tak
BAB I Pendahuluan yang terdiri dari lima bagian : bagian pertama terdiri
dari latar belakang penulisan yang memuat tiga unsur (fakta, ideal dan aktual)
yang menjadi alasan bagi penulis untuk memilih judul ini. Bagian ke dua adalah
rumusan masalah. Pada bagian ini, penulis mencoba untuk merumuskan
permasalahan-permasalahan dalam beberapa kalimat tanya berdasarkan latar
belakang yang telah dipaparkan. Rumusan masalah ini juga akan membantu
penulis untuk memecahkan permasalahan yang akan dikaji dalam daftar pustaka.
merupakan identifikasi masalah . Identifikasi masalah ini merupakan jarak yang
terjadi antara fakta dan ideal. Bagian ketiga adalah tujuan penulisan yang
memaparkan tujuan penulis memilih judul ini. Bagian keempat adalah manfaat
penulisan. Penulis merumuskan manfaat dari judul yang akan didalami.
Sedangkan bagian kelima adalah metode penulisan yang memaparkan bahwa
dalam penulisan skripsi ini penulis mengunakan studi pustaka
BAB II berbicara tentang kaul kemiskinan dalam hidup membiara yang
meliputi: hidup membiara, kaul kemiskinan religius, tantangan dan pergumulan
kemiskinan dewasa ini, dan nilai kesaksian kemiskinan zaman sekarang.
BAB III membahas mengenai penghayatan kemiskinan dalam pelayanan dan
persaudaraan Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda yang meliputi: kemiskinan
dalam Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda, dimensi-dimensi penghayatan kaul
Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda dan kemiskinan sebagai penjiwaan hidup
dalam pelayanan dan persaudaraan.
BAB IV membahas tentang upaya meningkatkan penghayatan kaul
kemiskinan dalam pelayanan dan persaudaraan Bruder Maria Tak Bernoda
melalui katekese yang meliputi : landasan usaha meningkatkan penghayatan kaul
kemiskinan, gambaran umum katekese, pengertian katekese, tujuan katekese,
pemilihan model katekese, usulan program katekese, dan contoh katekese.
BAB V merupakan bagian penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari
seluruh hasil yang telah penulis sajikan dari bagian pendahuluan, BAB I – BAB
IV, sekaligus membantu siapa saja yang membaca tulisan ini untuk selanjutnya
BAB II
KAUL KEMISKINAN DALAM HIDUP MEMBIARA
Hidup membiara selalu ditandai dengan adanya kaul kebiaraan yaitu :
kemurnian, ketaatan dan kemiskinan. Dalam bab II ini penulis akan membahas
kaul kemiskinan dalam hidup membiara yang meliputi: hidup membiara, kaul
kemiskinan religius, tantangan dan pergumulan kemiskinan dewasa ini dan nilai
kesaksian kemiskinan zaman sekarang.
A. Hidup Membiara
Hidup membiara merupakan salah satu bentuk hidup menggereja yang
membaktikan dirinya secara khusus bagi tugas pelayanan seturut panggilan dan
dilaksanakan melalui ketiga nasehat Injil.
1. Hidup Membiara Dalam Gereja.
Ladjar (1993:7) mengatakan : “hidup membiara merupakan suatu panggilan
dari Tuhan dan merupakan salah satu kharisma roh atau kharisma dalam gereja”.
Hidup membiara tidak dengan sendirinya muncul tetapi karena adanya panggilan
dari Allah dengan meneladan Kristus seperti diungkapkan dalam anjuran
Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti (VC,1996 art 1) sebagai
berikut:
umat beriman diarahkan kepada misteri Kerajaan Allah yang sudah berkarya dalam sejarah meskipun masih mendambakan perwujudannya sepenuhnya di surga”.
Di zaman sekarang banyak orang yang terpanggil untuk memenuhi
panggilan Allah dan memilih secara khusus untuk mengikuti Yesus Kristus
dengan hati yang terbagi (1 Kor 7:34). Orang-orang yang terpanggil masuk dalam
hidup membiara berusaha membantu misi Gereja yang memancarkan sinar demi
pembaharuan masyarakat. Jacobs (1987:19) mengatakan: “Hidup membiara
berarti menjawab panggilan Kristus dalam hubungan pribadi yang semakin nyata
sehingga semakin menemukan arti hidupnya sendiri”.
Dari pernyataan ini hidup membiara dipahami sebagai jawaban akan
panggilan Allah secara khusus dalam gereja dan membantu pewartaan Injil demi
pembaharuan hidup masyarakat. Tentang hidup membiara dan gereja, Kongregasi
untuk Tarekat Hidup Bakti Dan Serikat Hidup Apostolik (2002: 14) mengatakan:
“Kaum hidup bakti menerima panggilan untuk pengudusan baru dan khas untuk
kebaikan Gereja, yang mendorong mereka untuk menghayati hidup mengikuti
jejak Yesus Kristus, Sang Perawan, dan para Rasul dengan kasih yang
meluap-luap”. Dalam pewartaannya para religius bercermin pada jejak hidup Kristus
untuk dapat memancarkan kasih Allah yang dalam. Anjuran Apostolik Paus
Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti (VC,1996 art 3 dikatakan: “Hidup
membiara berada pada inti gereja sendiri sebagai unsur yang banyak menentukan
misinya, karena menampilkan sifat batiniah panggilan Kristiani”.
Hidup membiara tidak mengandung unsur paksaan tetapi dengan penuh
panggilannya secara pribadi. Penghayatan akan panggilan sangat penting
sebagaimana diungkapkan oleh Darminta (1975: 8): “Panggilan itu bersifat bebas
dan merdeka, suasana kebebasan dan kemerdekaan itulah yang mewarnai hidup
membiara”. Penghayatan akan panggilan yang mengandung kebebasan dan
kemerdekaan yang telah diterimanya dapat membantunya untuk menjalani
panggilan hidup mengikuti jejak Kristus.
Hidup membiara merupakan bentuk konkret dari penghayatan panggilan
melalui kaul-kaul kebiaraan. Status kebiaraan diadakan dengan pengikraran
nasehat-nasehat Injil (LG, art 44). Dengan mengucapkan kaul seseorang
menggabungkan diri pada Tarekat/Kongregasi/Ordo tertentu untuk menepati
ketiga nasehat Injil yaitu kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian dengan bebas
tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Hidup membiara selalu diwarnai dengan
hidup berkomunitas sebagai tempat bagi orang-orang yang mempunyai cita-cita
yang sama untuk mengungkapkan diri pada hadirat Allah. Kebersamaan
menghayati hadirat Allah dituangkan dalam aturan hidup dalam bentuk konstitusi
yang memberi arah pengungkapan amanat hidup religius. Pendalaman amanat itu
sebagai tugas bersama ditegaskan oleh Darminta (1975:15) sebagai berikut:
Masing-masing tarekat, komunitas dan anggota diharapkan untuk selalu mampu mengungkapkan amanat hidup membiara di tengah masyarakat sebagai kesaksian hidup membiara yang diungkapkan dalam karya dan pengabdiannya. Untuk melaksanakan tugas itu perlu kesadaran akan hadirat Allah yang dibina lewat doa, refleksi dan renungan.
Tugas memberikan kesaksian kepada masyarakat mengajak kaum religius
untuk tidak menutup telinga terhadap jeritan dan kegelisahan manusia. Kaum
dan umat secara konkrit. Dalam Konsili Vatikan II (LG, art 14) dikatakan: “Hidup
rohani orang-orang religius harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh
gereja”. Di sini pihak religius di tuntut supaya melaksanakan tugas pelayanan
mengemban hadirat Allah dengan memperhatikan jeritan dan kegelisahan
masyarakat di sekitarnya. Kehadiran biara sangat diharapkan untuk menjalankan
tugas kenabian dalam gereja dan masyarakat.
2. Panggilan Khas Kenabian.
Dengan baptisan semua orang kristiani mendapat tugas kenabian. Hidup
membiara juga mendapat tugas kenabian sebagai mana seluruh umat Allah
mendapat tugas kenabian. Hidup kenabian dapat dilaksanakan dan dihayati dalam
kesaksian hidup sehari-hari. Hidup membiara sebagai salah satu cara hidup yang
mengkhususkan perhatian akan Kerajaan Allah dan memiliki kekhasan melalui
kesaksian kenabian. Darminta (1995: 20-22) mengungkapkan:
Hidup religius melanjutkan kenabian Yesus Kristus, yang memperjuangkan perubahan, pembaruan dalam hidup ini, supaya umat manusia tidak akan mengalami malapetaka yang semakin memburuk dengan konsekwensi berani hidup dalam semangat dan tatapan bahwa tata kehidupan baru tidak hanya harus berkembang tetapi harus berubah menjadi lebih adil, merdeka serta berperan aktif dalam menentukan tatanan baru.
Hidup membiara memiliki kesaksian kenabian sebagaimana ditegaskan
dalam anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti (VC, 1996
art 84) di katakan: “Kesaksian kenabian dicetuskan dengan mengecam apapun
yang bertentangan dengan kehendak Ilahi, dan dengan menjajagi cara-cara baru
untuk menerapkan Injil pada situasi dan peristiwa sejarah sambil mendambakan
Injil (kemiskinan, keperawanan, ketaatan) merupakan kehidupan yang
mengabdikan diri secara total kepada Kerajaan Allah yang merupakan kesaksian
yang bersifat kenabian. Kaum religius secara terbuka memberikan perhatian
terhadap orang-orang miskin yang ada di sekitarnya, baik miskin material, rohani,
maupun miskin perhatian. Dalam Apostolik Paus Paulus VI tentang karya
pewartaan Injil di zaman moden (EN, 1975 art 69) dikatakan:
Berkat penyerahan diri mereka berkesanggupan besar dan bebas untuk meninggalkan segala-galanya, serta untuk mewartakan Injil di seluruh dunia. Mereka giat dalam usaha serta kerasulannya kerap kali ditandai oleh keorisinilan (keaslian), oleh kepandaian yang patut dikagumi. Mereka murah hati, kerap kali mereka tinggal di tempat-tempat terpencil dan mereka berani mempertaruhkan kesehatan dan nyawanya.
Pernyataan di atas hendak mengatakan bahwa orang yang menyerahkan diri
secara total kepada Allah berarti berani mengambil resiko meninggalkan
segala-galanya demi Kerajaan Allah tanpa mengkhawatirkan hidupnya sendiri. Kesaksian
kenabian memerlukan usaha terus menerus dan penuh semangat mencari
kehendak Allah, penyerahan diri sendiri, hidup dalam persekutuan sepenuhnya
dalam Gereja (VC, 1996 art 24). Dengan demikian hidup kenabian dapat
diwujudkan melalui kaul-kaul hidup membiara. Seluruh hidup membiara
merupakan tugas kenabian di tengah-tengah masyarakat di mana kita diutus. Para
anggota hidup bakti diharapkan memberi kesaksian di manapun juga dengan
keberanian seorang nabi yang tidak takut menghadapi resiko hidupnya (VC, 1996
art 85). Mereka yang menghayati kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan
3. Radikalisme Melalui Kaul
Pengucapan kaul dalam hidup membiara merupakan sarana untuk mengikuti
Yesus Kristus. Dengan mengucapkan kaul seseorang telah mengikuti Yesus
Kristus dan mempersembahkan seluruh hidupnya dengan hidup perawan, miskin
dan taat. Hidup religius merupakan pemberian diri karena cinta mengikuti Kristus
dari dekat dan mau menjadi milik Kristus. Dengan kaul para religius dapat
mengikuti Kristus dengan penuh kebebasan seperti diungkapkan oleh Darminta
(1981: 14):
Melalui kaul-kaul, hidup religius secara langsung dan khusus diperuntukkan bagi Tuhan, bagi kemuliaan dan pelayanan. Hidup religius menjadi tanda yang khas dari kemauan dan usaha terus menerus mencari Tuhan, tanda cinta tak terbagi kepada Kristus dan tanda dari penyerahan diri yang absolut bagi pertumbuhan Kerajaan-Nya.
Berani mengikuti Kristus secara lebih dekat memungkinkan seorang religius
untuk menyerahkan seluruh kemampuan, bakat dan talenta sebagai tanda cinta
yang utuh. Mengikuti Kristus sepenuhnya menjadikan mereka milik Kristus
sehingga mau tidak mau harus ikut ambil bagian dalam misi pewartaan Kristus
serta mengikuti seluruh pola hidupnya. Hidup membiara yang ditandai dengan
adanya kaul, akan memberi kesan aneh bila tidak memahami makna dan arti yang
sebenarnya dari kaul tersebut. Misalkan, mereka mengucapkan kaul kemiskinan
tetapi pada kenyataannya mereka tidak hidup miskin. Oleh karena itu perlu diberi
kesadaran bahwa mengikuti Kristus dengan menghayati nasehat Injil merupakan
turut ambil bagian dalam hidup Kristus. Demikian yang ditegaskan oleh Darminta
(1975: 27):
kemungkinan untuk mengungkapkan hadirat Allah. Melalui keterbukaan kepada situasi, sesama manusia dan barang-barang kita mau mencapai hadirat Allah dalam hidup. Maka kaul dalam hidup membiara tidak mengandung unsur penolakan dan penekanan terhadap situasi, sesama dan benda, tetapi lebih berarti suatu penerimaan terhadap unsur-unsur itu sebagai tempat menemukan hadirat Allah.
Kaul merupakan radikalisme untuk mengikuti Kristus. Hanya melalui kaul
kita mengambil bagian dalam hidup Kristus secara utuh dan menyeluruh
walaupun sebenarnya hal itu dapat juga dalam hidup perkawinan. Namun perlu
disadari bahwa dalam hidup perkawinan mereka mempunyai keterbatasan waktu
yang kurang untuk mengungkapkan hadirat Allah secara lebih jelas.
4. Kaul Sebagai Persembahan Diri.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kaul berarti niat yang diucapkan
secara sungguh-sungguh sebagai janji untuk melakukan sesuatu. Dengan kaul
kemiskinan seseorang berjanji mengikatkan diri untuk hidup miskin, kaul
keperawanan mengikatkan diri untuk tidak kawin, dan kaul ketaatan mengikuti
aturan hidup Ordo/Kongregasi/Tarekat yang telah dipilihnya. Berani
menggabungkan diri dalam salah satu Ordo/Kongregasi/Tarekat merupakan
panggilan khusus yaitu untuk mengenal Allah secara lebih dalam melalui ketiga
nasehat Injil. Panggilan Allah ditanggapi secara bebas dengan mempersembahkan
seluruh hidupnya yang diungkapkan dalam pengikraran ketiga kaul.
Kaul sebagai persembahan cinta yang perlu dilihat dari segala aspek dan
dimensinya. Kaul harus didasarkan atas suatu keyakinan bahwa itu merupakan
sarana untuk memanusiawikan hidup dan harus dihayati dengan kebebasan dan
religius. Persembahan diri bukan berarti meninggalkan dunia melainkan berperan
melibatkan diri dalam hidup bermasyarakat. Pernyataan tersebut diungkapkan
oleh Darminta (1981: 13) sebagai berikut:
Mempersembahkan diri dengan hati tak terbagi merupakan hakekat fundamental hidup religius dan mencakup seluruh hidup manusia. Secara konkret orang juga mencoba mengikuti Kristus, yang mempersembahkan diri dengan hati tak terbagi kepada Bapa-Nya dengan hidup perawan, miskin dan taat.
Mengikuti Kristus dengan menghayati nasehat-nasehat Injil yang dikaulkan
merupakan bentuk konkret penghayatan untuk ambil bagian kesucian Kristus.
Yesus menegaskan agar kita rela mempersembahkan diri tanpa hati terbagi.
Memilih hidup religius berarti ikut bersama Yesus mempersembahkan diri agar
mengikuti Allah dengan segala pola hidupNya. Tujuan hidup religius
pertama-tama supaya para anggotanya mengikuti Kristus dan bersatu dengan Allah melalui
pengikraran ketiga nasehat Injil (PC, 1992 art 2). Berdasarkan uraian tersebut,
keputusan untuk mengikuti Kristus dan mempersembahkan diri merupakan unsur
hidup religius yang sebenarnya. Kaul keperawanan, kemiskinan dan ketaatan
merupakan perwujudan kesanggupan para religius menjadi pengikut Kristus
sekaligus menjadi sarana untuk memberikan diri sepenuhnya secara bebas.
Melalui ketiga kaul, hidup religius diperuntukkan bagi Tuhan demi kemuliaan dan
pelayanan sehingga berani meninggalkan segala-galanya. Dengan kaul
kemiskinan orang dibebaskan dari kelekatan pada harta dunia, kedudukan,
pangkat dan segala yang sering menghambat orang bersatu dengan Tuhan.
Ketiga nasehat Injil yang dirumuskan dalam kaul merupakan sarana bagi
kebebasan. Cinta dan keinginan untuk mengikuti Kristus merupakan dorongan
untuk menghayati kaul. Persembahan cinta dalam kaul mempunyai nilai karena
hidup sendiri mempunyai nilai religius.
B. Kaul Kemiskinan Religius
Kaul kemiskinan merupakan salah satu sarana untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah dan sesama dalam penyerahan diri secara total dan penuh.
Pengikraran kaul kemiskinan merupakan ungkapan semangat kemiskinan yang
dihayati. Mengucapkan kaul kemiskinan berarti mengikuti Kristus yang miskin
dan penuh cinta kasih yang diwujudkan dalam pelayanan terhadap mereka yang
tidak mampu dan tidak berdaya. Seperti yang diungkapkan oleh Suparno (2007:
96) sebagai berikut: “Kita menjadi dan memilih hidup miskin untuk dapat lebih
bebas membantu orang lain sesuai dengan panggilan Allah”. Kaul kemiskinan
bukan tujuan karena tujuan ditentukan oleh Tarekat/Kongregasi/Ordo dalam
konstitusi menurut kharisma pendiri masing-masing karena setiap
Tarekat/Kongregasi/Ordo harus memahami apa peran dan makna kaul kemiskinan
dalam pelayanan.
1. Peranan Kaul Kemiskinan
Banyak orang menganggap kemiskinan merupakan hal yang tidak masuk
akal dan selalu mengidentifikasikannya dengan kepemilikkan dan kekayaan. Para
religius yang mengucapkan kaul kemiskinan harus mengetahui peran kaul
Mendobrak semangat kaya, tidak puas dengan yang ada, selalu serakah mau milik orang lain, menipu, menimbun harta. Semangat kemiskinan akan mendorong orang melepaskan diri dari godaan, kemewahan, menunjukan kebahagiaan dalam hidup sederhana dan bahagia, ikut merasakan akibat nyata kemiskinan.
Ada orang yang dengan sengaja menolak semangat kaya dengan kaul
kemiskinan. Namun ada juga yang sulit meninggalkan semangat kaya. Di sini
berlaku apa yang dikatakan Yesus “Alangkah sukarnya orang kaya masuk ke
dalam Kerajaan Allah, lebih mudah seekor unta untuk masuk melewati lobang
jarum (Mrk 10:23-25)”. Kata-kata Yesus ini merupakan teguran bagi para religius
agar bersedia berbelarasa dan berpihak pada kaum miskin. Kesaksian kemiskinan
akan nampak jika para religius meningkatkan semangat kemiskinan sehingga ia
mau berpartisipasi dengan kaum miskin.
a). Kaul Kemiskinan Sebagai Ikatan.
Kaul kemiskinan yang diucapkan merupakan menyucian diri kepada Tuhan
dalam hidup bakti dan berfungsi untuk membebaskan manusia dari ikatan dan
kelekatan pada harta milik duniawi sehingga ia bebas menyerahkan diri dalam
pengabdian kepada Tuhan. Akan tetapi untuk masing-masing
Ordo/Tarekat/Kongregasi penekanan penghayatan kaul kemiskinan berbeda sesuai
dengan rumusan dalam konstitusi masing-masing. Hal ini senada dengan
ungkapan Soenarja (1984: 94) sebagai berikut:
Hubungan antar Tarekat dan anggotanya yang telah menyerahkan diri
dengan ikatan kaul diatur atas hukum gereja (KHK kan 670) yang mengatakan:
“Lembaga atau Tarekat harus mencukupi para anggotanya dengan segala sesuatu,
yang menurut konstitusi diperlukan untuk melaksanakan tujuan mereka
dipanggil”. Para anggota Tarekat tidak perlu memikirkan mengenai masalah
kepemilikan harta duniawi karena telah diatur sejauh itu mendukung dalam tugas
dan pelayanan. Sudah sangat jelas bahwa kaul kemiskinan merupakan suatu usaha
ikatan ke dalam biara. Maksudnya dengan mengucapkan kaul kemiskinan
seseorang menggabungkan diri ke dalam Tarekat tertentu. Oleh karena itu sebagai
anggota mempunyai kewajiban untuk mematuhi segala peraturan yang ada dalam
Tarekat termasuk mengenai kepemilikan harta duniawi.
b). Kaul Kemiskinan Sebagai Pembangkit Semangat.
Mengucapkan kaul kemiskinan berarti melepaskan segala milik pribadi
menjadi milik bersama yang akan dipergunakan sejauh dibutuhkan dan
mendukung karya pelayanan. Dengan kaul kemiskinan kita sungguh berkeinginan
untuk mengungkapkan hadirat Allah dengan mengambil sikap yang wajar
terhadap harta benda. Kemiskinan merupakan sarana perjumpaan kita dengan
Allah, dan mengajak kita untuk menggunakan barang-barang sesuai dengan
keperluan. Semangat kemiskinan sungguh nampak kalau orang tidak hanya
berusaha melanggar peraturan kemiskinan dalam konstitusi tetapi berusaha
mencari kebersihan dan kemurnian hatinya dengan menggunakan barang
merupakan suatu kesempatan untuk mawas diri, memurnikan motivasi dengan
semangat tanpa pamrih seperti yang ditegaskan oleh Soenarja (1984: 95) sebagai
berikut:
Semangat kemiskinan menolak mentah-mentah sikap “aji mumpung”, panggilan dijadikan jalan untuk mencapai “kemajuan” material pada tangga masyarakat. Semangat kemiskinan tidak menggerutu, tidak menuntut, tetapi merasa senang dan puas, sekali-sekali mengalami akibat kemiskinan, menderita kekurangan, dan mungkin menanggung ejekan.
Semangat itu bukanlah tuntutan, tetapi suatu bukti nyata bahwa orang
merasa puas, mapan dan mencintai kemiskinan. Orang yang menggunakan aji
mumpung akan menggunakan kesempatan secara pamrih dengan berusaha
memperkaya diri tanpa memikirkan orang lain. Semangat kemiskinan akan
mendorong kita untuk menolak arus konsumtif yang ingin memiliki barang serba
mewah, tetapi dengan semangat kemiskinan seseorang akan lebih senang memilih
yang sederhana dan secukupnya sesuai dengan kebutuhan.
2. Makna Kaul Kemiskinan.
Makna kaul kemiskinan tidak terletak pada apa yang dimiliki secara pribadi
maupun bersama, melainkan bagaimana bersikap pada kekayaan tersebut.
Kemiskinan yang diucapkan para religius sangat bermakna untuk membantu
pembaharuan hidup rohani bagi kaum miskin. Hadisumarta (1980: 305-306)
mengatakan:
Dengan kaul-kaul kebiaraan termasuk kaul kemiskinan diharapkan dapat
mendatangkan Kerajaan Allah di tengah-tengah kaum miskin. Kemiskinan
menurut Injil yang kita hayati dengan pertolongan kaul bukanlah sekedar melepas
diri dari pelbagai hal atau barang melainkan mampu bersikap tepat terhadap Allah
dan terhadap dirinya sendiri dalam menggunakan harta benda. Dasar kemiskinan
injili adalah keyakinan dan pengalaman akan cinta Allah, akan keagungan-Nya
dan kesadaran bahwa kita sebenarnya tidak berarti apapun di hadapan Allah.
Ajaran Yesus tentang kemiskinan dalam injil yang diwartakan melalui
teladan-Nya terdapat dalam pelepasan diri yakni semangat lepas bebas. Semangat lepas
bebas itu dimaksudkan agar kita sebagai manusia memang lebih mengutamakan
Tuhan. Kita ingin menyatu dengan Tuhan dan semua hal yang lain dianggap
sebagai sarana. Menurut Hadisumarta (1980: 307), “Pelepasan diri terdiri dari dua
segi yang merupakan satu kesatuan yaitu segi teologis dan segi insani. Segi
teologis kemiskinan yang dialami Yesus merupakan diri dari kemuliaanNya dan
menjadi manusia, sedangkan segi insani kemiskinan-Nya adalah seluruh hidup di
dunia mulai dari kelahiran-Nya di kandang Betlehem sampai kematianNya di
kayu salib”.
Yesus sungguh-sungguh memberikan teladan kemiskinan bagi kita. Ia rela
mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama
dengan manusia (Flp 2:7). Ia rela menghampakan diri dari tingkat Ilahi ke tingkat
manusiawi bahkan memasuki golongan kaum miskin. Lebih lanjut Hadisumarta
a) Allah diberi prioritas melebihi segala sesuatu. Pengalaman batin/rohani
mengenai Allah dalam cinta dan keagunganNya, sedangkan segala lainnya
tidak berarti.
b) Pelepasan diri (renunsiasi): kemiskinan harus dilaksanakan atas pilihan
sendiri, bukan sekedar sebagai pelaksanaan kewajiban, harus dialami, baik
dalam sikap pribadi dalam batin, maupun dalam bentuk lahiriah.
c) Kerendahan hati: Tertulianus, seorang Bapa Gereja berkata: tiada seorangpun
miskin hatinya, kecuali orang yang rendah hati. Sebab kemiskinan kristiani tak
dapat ada bersama dengan kesombongan, sebab yang satu akan
menghancurkan yang lain.
d) Pengabdian: merupakan suatu dimensi/segi horisontal kemiskinan. Dimensi
vertikal kemiskinan ialah hubungannya dengan Allah, sedangkan dimensi
horisontal ialah hubungannya dengan semua ciptaan Allah: kaum miskin,
tertindas dan tersamping. Seperti kehampaan Kristus, “kenosis Kristus”
ditujukan untuk mengisi dan memenuhi orang lain, untuk memperkaya orang
lain, begitu juga kemiskinan kita ditujukan untuk mengabdi orang lain.
3. Kemiskinan Ungkapan Kenabian
Ungkapan yang sering kali muncul dari kalangan biarawan-biarawati,
demikian: “kami tidak perlu memikirkan kebutuhan sehari-hari karena kami
mempunyai rumah bagus, kebutuhan selalu terpenuhi, tak usah memikirkan soal
makanan dan pakaian”. Pernyataan ini sering memunculkan pertanyaan yang tidak
membiara?”. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali melihat tujuan
hidup membiara yang terungkap dalam Anjuran Apostolik Paus Paulus II tentang
Hidup Bakti (VC, 1996 art 22) sebagai berikut: “...hidup bakti berarti mengikuti
Kristus dari lebih dekat dan terus menerus mewujudkan dalam Gereja melalui
ketiga kaul”. Ketiga kaul diucapkan sebagai perwujudan Kerajaan Allah. Dengan
kaul-kaul yang diucapkan seorang religius mendapat tugas perutusan memberi
kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya harta kekayaan manusia yang sejati.
Kita dapat belajar dari kemiskinan Yesus yang rela mempersembahkan
segala milik-Nya bahkan diri-Nya kepada Bapa. Sikap-Nya menerima sepenuhnya
rencana Bapa nampak dalam sikap-Nya yang tidak melekat pada harta benda
duniawi. Kemiskinan Yesus dapat dikonkretkan dengan membagikan kepada
orang lain segala yang dimiliki-Nya, waktu, bakat dan kepandaian. Praktek
kemiskinan sebagai penghayatan terhadap kaul kemiskinan dapat dilaksanakan
dalam berbagai bentuk misalnya kemiskinan harta benda (jasmani) dan
kemiskinan dalam roh (miskin batin). Kemiskinan religius terhadap harta benda
dianggap tidak relevan lagi karena dalam melaksanakan karya pelayanan
membutuhkan sarana yaitu kekayaan. Melalui pelayanan para religius dapat
memberi kesaksian dan pewartaan terhadap orang lain. Kemiskinan religius
mengungkapkan satu kenyataan dasar pada manusia yakni dia sepenuhnya
tergantung pada Allah. Kemiskinan dapat dihayati sebagai sikap batin seperti
yang diungkapkan oleh Ladjar (1983: 50) sebagai berikut:
sesama yang lebih membutuhkan. Ia tidak memegahkan diri entah atas harta kekayaan materiil atau atas harta milik rohani serta kemampuan yang dapat menjadi jaminan bagi dirinya.
Maksudnya adalah pertemuan pribadi dengan Kristus, maka kemiskinan
pertama-tama terletak dalam ikatan cinta kasih dengan Kristus, sehingga orang
mampu mempercayakan diri kepada Tuhan dengan meninggalkan harta miliknya.
Sikap ini menunjukkan bahwa manusia tergantung sepenuhnya kepada Allah
sebagai wujud sabda pengutusan Yesus yang melarang para pengikut-Nya
membawa dan memiliki harta benda dalam perjalanan mewartakan Kerajaan
Allah (Luk 10:1-12). Ketergantungan dalam tugas pewartaan merupakan
ungkapan iman akan Allah dan kesediaan untuk ikut serta dalam penghampaan
diri Kristus. Pewartaan akan Allah melalui kaul kemiskinan dapat dilakukan
dengan memberi perhatian dan kesaksian terhadap kaum miskin. Pewartaan
melalui kaul kemiskinan merupakan suatu ungkapan kenabian di tengah
masyarakat dengan pengorbanan dan perjuangan. Para religius harus mampu
memberi kesaksian dengan hidup sederhana dan rendah hati, serta terbuka
terhadap situasi di sekitarnya.
C. Tantangan dan Pergumulan Kemiskinan Dewasa Ini
Kemiskinan bukanlah suatu hal yang mudah dilaksanakan. Pelaksanaan
kemiskinan dewasa ini banyak mengalami tantangan karena pengaruh arus
perkembangan zaman. Situasi zaman sekarang membuat orang semakin tidak
memiliki arah hidup yang jelas. Demikianpun kehidupan di kalangan para
(2002: art 45) menegaskan: “Keinginan memiliki, mengumbar kenikmatan,
berhala kekuasaan menjadi akar kejahatan masa kini yang hanya bisa diatasi bila
nilai Injil kemiskinan, kemurnian dan pelayanan ditemukan kembali”. Tantangan
kemiskinan memasuki diri kita untuk memiliki harta yang sebanyak-banyaknya.
Tantangan dan pergumulan ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
1. Sekularisme
Sekularisme berarti suatu pandangan hidup bahwa agama atau
pertimbangan-pertimbangan religius diabaikan dan ditiadakan dengan sengaja.
Unsur-unsur religi seperti keyakinan, praktek moral dan perayaan liturgis kian
diabaikan (Dermawan, 1997: 295). Pandangan ini menjelaskan dan memikirkan
segala sesuatu secara duniawi. Sekularisme semakin marak di tengah-tengah
kehidupan masyarakat seturut dengan kemajuan zaman yang meningkat pesat.
Manusia seakan-akan menyelam dan tenggelam oleh buaian kenikmatan. Akibat
mobilitas yang tinggi gaya hidup menjadi instan, hedonisme dan konsumtivisme
semakin dikejar. Dengan sekularisme manusia telah berusaha untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya dan menjadikannya Tuhan dan
tuan yang menguasai dunia. Hal ini menjadi suatu tantangan besar bagi Gereja dan
hidup membiara karena manusia secara perlahan-lahan mulai melepas unsur
religius dengan mengutamakan nilai-nilai manusiawi. Pembangunan mall-mall
yang besar menarik orang untuk menciptakan pemuasan nafsu dan hasrat duniawi.
Orientasi masyarakat bertumpu pada hasil melulu sehingga manusia mengejar
yang diwarnai sekularisme seperti yang diungkapkan oleh Dermawan (1997: 297)
demikian:
Arus-arus informasi yang menggiurkan, kemudahan-kemudahan yang ditawarkan maupun sajian-sajian duniawi yang membangkitkan rangsangan tidak luput dari kehidupan mereka. Mereka seakan-akan ditarik untuk mengikuti dan menikmati hasil-hasil dunia yang kerap kali mengaburkan nilai-nilai religius.
Tidak mengherankan juga kalau kita menemukan kaum religius
menimbunkan barang-barang di kamar, bergaya perlente biar dipandang modern,
menghabiskan waktunya menonton televisi berjam-jam demi mencari kepuasan
dan kesenangan. Untuk mengatasi situasi ini para religius perlu belajar dari
kehidupan Yesus. Di tengah kesibukan mengadakan kegiatan pewartaan-Nya
Yesus tetap menyisihkan waktu untuk berdoa. “Pagi-pagi benar, waktu hari masih
gelap, Ia bangun dan pergi keluar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di
sana” (Mrk 1:35). Hal ini mau menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang erat
antara dunia sekular dan dunia religi di mana dunia religi menjadi dasar hidup di
dunia. Para religius diharapkan agar dapat menjadi terang di tengah dunia yang
diwarnai oleh sekularisme yang memilah-milah mana kehidupan duniawi dan
mana kehidupan religi. Para religius diharapkan membangun jembatan yang sudah
dirintis oleh Yesus antara dunia sekular dan dunia religi.
2. Kesenjangan Sosial Ekonomi
Kemiskinan yang terjadi di masyarakat tidak lepas dari kemiskinan sosial
ekonomi. Kita bisa melihat situasi di negara Indonesia ini. Di balik
bawah kolong-kolong jembatan, kumuh bahkan tidak mendapatkan penampungan.
Bangunan mall-mall yang megah dan canggih mengalahkan pasar tradisional.
Ibu-ibu yang menjunjung bakul sudah hilang ditelan oleh arus zaman dan banyaknya
anak gelandangan, pengemis dan putus sekolah adalah bukti kemiskinan. Hal ini
menunjukkan adanya kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat Indonesia.
Sorita (1966: 8-11) mengatakan:
Penyebab kemiskinan adalah akibat dari kemalasan, pemabukan, kerakusan, kelobaan, kekikiran, hidup mewah melimpah, penjajahan, malapetaka, bencana alam. Kemiskinan juga terletak pada manusia itu sendiri. Pada hubungan manusia dengan manusia, golongan dengan golongan, masyarakat dengan masyarakat yang tidak mengindahkan hukum ketidak adilan.
Situasi tersebut terjadi akibat adanya ketidakadilan dan perampasan hak
pihak kaum miskin. Kemiskinan yang mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi
terjadi karena adanya kemalasan dan pemabukan dari pihak miskin yang membuat
mereka semakin miskin. Situasi ini menjadi tantangan dan pergumulan bagi para
religius. Kehadiran para religius harus dapat membawa kesaksian, membantu
meneguhkan dan membangkitkan semangat mereka bukan menjadi pelaku ketidak
adilan bagi mereka. Di tengah masyarakat yang majemuk ini kita tidak boleh lari
dari situasi yang demikian.
3. Gaya Hidup Modern
Gaya hidup modern ternyata sangat berpengaruh terhadap kehidupan para
religius. Dampak dari gaya modern ini karena ada perasaan takut kalau dikatakan
ketinggalan zaman. Gaya hidup modern sebagai arus kecenderungan bagaimana
bergulir. Gaya hidup modern yang merupakan proses pergeseran sikap dan
mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan
masa kini disebut modernisasi. Lebih lanjut Drost (1997: 497) mengatakan: “
Usaha modernisasi dapat bermotifkan keinginan menyesuaikan diri dengan apa
yang sekarang berlaku atau bermotifkan kesadaran akan keharusan meninggalkan
barang yang sudah usang demi perbaikan hidup”. Hal ini dapat dipahami bahwa
manusia berusaha sungguh untuk menyesuaikan diri dengan segala yang baru,
misalkan saja dalam hal berpakaian, berbicara dan penggunaan sarana. Sikap yang
mendasari keinginan menyesuaikan diri tersebut bukanlah modernisasi melainkan
konformisme (ikut-ikutan). Gaya hidup modern dewasa ini juga sudah menjadi
bagian dalam kehidupan para religius. Sudarminta (1997: 489) mengatakan:
Ciri-ciri gaya hidup modern adalah semakin sentralnya peran teknologi, khususnya teknologi transfortasi, telekomunikasi dan informasi dalam kehidupan manusia. Orang semakin tergantung pada teknologi. Teknolgi menjadi semacam lingkungan yang kedua tempat manusia hidup. Sistem ekonomi kapitalistik terus menerus merangsang orang melalui iklan untuk membeli produk-produk baru.
Hal ini mau menunjukkan bahwa gaya hidup modern merupakan suatu
tantangan bagi penghayatan hidup religius yaitu sikap materialistik, hedonistik
dan konsumtif. Menghadapi gaya hidup yang demikian, hidup religius ditantang
untuk menegaskan kembali identitas diri dan misinya. Di satu pihak gaya hidup
modern membawa arus sekularisasi ke biara, namun di lain pihak diharapkan dari
biara dapat memberikan kesegaran rohani bagi orang-orang yang hidup di tengah
a) Materialisme
Muncul dalam benak kita ketika mendengar kata materialistik yang
menunjukkan bahwa seseorang hanya mementingkan materi. Manusia sangat
mudah terobsesi bagaimana untuk mendapatkan uang yang sebanyak-banyaknya
sebagai pemuasan dalam hidupnya. Tantangan kemiskinan zaman sekarang yakni
materialisme yang haus akan harta milik, tanpa mengindahkan
keperluan-keperluan dan penderitaan-penderitaan rakyat yang paling lemah (PC, 1996 art
88). Untuk memenuhi sikap materialistik ini manusia akan melakukan apa saja
untuk mendapatkan yang diinginkannya bahkan sampai mengorbankan orang lain.
Akhirnya orang akan mudah melupakan persaudaraan dengan orang lain karena
mementingkan harta. Gaya hidup seperti ini akan mendapat tantangan untuk dapat
hidup sederhana dalam arti yang secukupnya. Lebih jelas Darminta (1997: 61)
mengatakan:
Melepaskan diri dari perbudakan dorongan pemilikkan barang dan uang sebagai tanda kualitas hidup baik dan terhormat itulah perjuangan rohani serta moral orang zaman sekarang. Dalam situasi seperti itu kaum religius harus berani mengatakan; kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Luk 16:13).
Para religius diharapkan untuk dapat memperhatikan kehidupan bersama
dengan tidak mementingkan diri sendiri. Para religius berani bersikap sederhana
bersama mereka yang hidup sederhana, semangat mau berbagi dengan orang lain,
solidaritas sosial dengan mereka yang miskin dan menderita dalam arti yang
b) Hedonisme
Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 302) dikatakan :
“Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan
kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup”. Penganut paham hedonisme
merupakan korban sekularisme yang meyakini ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam hidup modern. Dengan sistem media komunikasi yang daya jangkaunya
cepat menyebar, para pemilik modal berusaha mengeruk harta kekayaan dari
orang yang bermodal lemah, misalnya saja iklan HP berhasil menguasai dunia
bisnis komunikasi. Hal ini menjadi kepuasan tersendiri bagi para pemilik modal,
sedangkan bagi mereka pemeran iklan merupakan kesenangan tersendiri karena
telah dibayar tinggi dan penampilannya dapat dinikmati banyak orang. Selain itu
yang paling marak terjadi dalam masyarakat sekarang ini adalah dunia hiburan.
Media hiburan semakin berkembang baik berupa majalah maupun melalui film.
Para redaktur majalah dan media hiburan merasa puas dengan usaha mereka,
namun mereka lupa bahwa orang lain yang menjadi korban. Kaum wanita dan
anak-anak di bawah umur dieksploitasi berlebihan. Inilah kenyataan hidup yang
terjadi di dunia. Hal semacam ini sangat mungkin terjadi di kalangan para religius.
Namun diharapkan para religius harus berani bersikap tegas agar tidak mudah
terpengaruh dengan semuanya ini melainkan dengan kehadiran mereka dapat
c) Konsumerisme
Konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap
barang-barang sebagai ukuran kebahagiaan. Sikap konsumerisme yang dimiliki seseorang
adalah akibat dari maraknya informasi iklan baik melalui televisi, radio, koran,
ataupun majalah. Ini menunjukkan adanya ketergantungan kepada barang-barang
hasil produksi seperti alat-alat teknologi. Dengan demikian tidaklah heran banyak
orang berlomba ingin memiliki fasilitas yang lengkap dalam hidup. Sudarminta
(1997: 492) menegaskan:
Mengenai ketergantungan pada alat-alat teknologi tengok saja misalnya bagaiman acara di TV cukup berpengaruh terhadap penentuan jadwal dan dinamika hidup berkomunitas di cukup banyak rumah biara. Demikian juga telepon dan fax rupanya sudah semakin menjadi kebutuhan banyak anggota komunitas, sehingga kadang jadi barang rebutan.
Gaya hidup modern telah berpengaruh besar pada kehidupan religius dewasa
ini. Situasi ini dapat membawa dampak positif karena mempermudah untuk
memenuhi karya pelayanan. Tapi juga ada dampak negatif karena tidak pernah
merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki. Corak masyarakat konsumeristis
berarti sikap masyarakat yang didorong untuk terus menerus menambah tingkat
konsumsi, tidak lagi karena membutuhkan tapi demi status (Teguh Kusbiantoro,
1995: 205). Di kalangan para religius sekarang sering terjadi penumpukan harta.
Lihat saja banyak para religius yang punya fasilitas lengkap seperti mengendarai
mobil pribadi, komputer pribadi, telepon seluler, LCD, sepeda motor. Semua
serba lengkap, padahal bukan hanya kelengkapan fasilitas yang menjamin
besarnya produktivitas kerja dan kualitas pelayanan. Darminta (1997: 62)
yang dibius secara halus melalui iklan sehingga manusia dibentuk menjadi
manusia penyerap barang-barang konsumsi baik makanan maupun barang untuk
dimiliki”. Untuk mendapatkan semuanya ini manusia akan mencari jalan pintas
dengan menghalalkan segala cara.
Bagi kita para religius perlu dipertanyakan, “Sungguhkah kita memerlukan
semuanya itu?”. Beranikah kita mengatakan: “Ini sudah cukup bagiku, tanpa
memiliki itupun aku dapat bekerja dengan baik”. Dengan sikap seperti ini aspek
kenabian dari penghayatan kaul kemiskinan akan sangat relevan, seperti yang
diungkapkan oleh Sudarminta (1997: 492): “Kebebasan batin terhadap harta
milik, kesederhanaan hidup, sikap ugahari, semangat mau berbagi dengan orang
lain, solidaritas sosial dengan mereka yang miskin dan menderita merupakan
sikap dan nilai yang relevan”. Para religius harus berani melihat hidupnya secara
jujur, apakah dalam hidupnya ia menjadi manusia pelahap atau tidak khususnya
lewat karya mereka. Kalau para religius dapat memberikan kesaksian nyata
tentang nilai-nilai hidup, maka hidup religius tidak hanya berfungsi kritis dan
korektif untuk Gereja, tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan.
4. Korupsi
Korupsi sudah merajalela khususnya di Indonesia, dan merupakan hal yang
tidak langka lagi. Korupsi dari hal yang besar hingga hal-hal yang kecil. Tidak
mengherankan kalau korupsi terjadi di setiap lapisan masyarakat mulai dari
kalangan bawah hingga kalangan atas dengan merasa diri tak bersalah sedikitpun.
lebih banyak dengan memeras orang lain secara halus. Perampasan hak-hak
masyarakat kecil dari pihak penguasa dengan tujuan untuk memperkaya diri sndiri
sehingga terjadi pemiskinan bagi yang lemah. Kejujuran adalah kunci untuk
memberantas korupsi yang telah menjamur di setiap lapisan masyarakat. Para
religius harus berani bersikap jujur tanpa mengusahakan penyimpangan dalam
karya yang dirasa membawa untung bagi diri sendiri dan merugikan orang lain.
Hak milik ditentukan oleh perubahan masyarakat dengan tolok ukur kesejahteraan
umum. Untuk mencapai perubahan pasti ada kepastian hukum yang didasarkan
atas kesadaran dan ketertiban untuk membangun kepercayaan satu sama lain.
Sebagaimana ditegaskan dalam buku Iman Katolik (1996: 112) sebagai berikut:
Sebab justru kepercayaanlah yang sering dihancurkan oleh suap, pemerasan, nepotisme (mementingkan diri sendiri, keluarga, dan golongan), korupsi, penipuan dan lain sebagainya. Hanya dengan kesadaran bahwa masing-masing orang bertanggung jawab membangun relasi dengan sesama akan terjamin pembangunan yang intergral. Untuk itu perlu bukan hanya kesaksian yang benar melainkan keberanian untuk berkata sejujurnya, sebagaimana dikatakan Yesus: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37).
Dalam hal ini mau dikatakan bahwa seorang religius haruslah bersikap jujur
dan percaya diri. Tidaklah perlu berusaha untuk mengejar harta milik demi
kepentingan diri sendiri atau karya pelayanan dengan cara menghalalkan segala
macam cara karena merupakan pelanggaran terhadap kaul kemiskinan. Harta
bukanlah tujuan utama tetapi dimanfaatkan sebagai sarana mempersembahkan diri
D. Nilai Kesaksian Kaul Kemiskinan Zaman Sekarang
Kaul kemiskinan yang diucapkan para religius merupakan tanda sukarela
untuk mengikut Kristus yang mempunyai nilai kesaksian hidup mereka di tengah
masyarakat zaman sekarang. Kemiskinan itu hendaknya dihayati dengan tekun
oleh para religius. Nilai kesaksian tersebut diwujudkan dalam rangka mewartakan
Kerajaan Allah di tengah kaum miskin agar nilai kesaksian dapat terwujud maka
para religius harus terlibat dalam kehidupan kaum miskin.
1. Keterlibatan Kaum Religius Terhadap Kaum Miskin
Dengan mengikrarkan kaul kemiskinan diharapkan seseorang mampu
memberikan kesaksian tentang kemiskinan di hadapan kaum miskin secara
konkret. Hendaknya kemiskinan itu dihayati dengan tekun oleh para religius.
Penghayatan itu diwujudkan dengan keterlibatan kaum religius terhadap kaum
miskin merupakan ungkapan paling nyata dengan tindakan konkret seperti yang
dianjurkan dalam Konsili Vatikn II (PC, 1992 art 13) yang mengatakan: “
Hendaknya mereka dengan sukarela menyumbangkan sesuatu dari harta milik
mereka untuk ikut memenuhi kebutuhan-kebutuhan Gereja lainnya dan ikut
menanggung keperluan hidup kaum miskin”. Tindakan memberi sedekah secara
otomatis mempunyai keterlibatan terhadap kaum miskin tetapi menuntut kepekaan
akan kebutuhan mereka. Memberi sedekah dengan hati yang tulus tanpa
mengharapkan imbalan atau balas jasa, seperti sabda Yesus: “Jika engkau
memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan
Sebastian (1994: 104) adalah: “Tangan dan hatinya akan terbuka dan terulur untuk
memberi serta membagi kepada para miskin, namun tetap tengadah dan terarah
kepada pemberian dari para miskin itu, entah itu jagung bakar atau ketela rebus
atau bahkan ucapan terima kasih melulu”. Keterlibatan kaum religius pada kaum
miskin tergantung pada penghayatan terhadap orang miskin. Bila seseorang
menghayati kemiskinan secara konsekwen maka keterlibatan terhadap kaum
miskin belum cukup kalau kita hanya bergerak ‘turun ke bawah’ tetapi lebih-lebih
merupakan suatu usaha untuk menjadi pendamping yang sehati seperasaan. Kita
bercermin pada Kristus, “...Ia turut serta dalam kepapaan dan kehinaan manusia.
Ia merasa kerasan tinggal di tengah-tengah kaum papa, miskin dan kaum hina
dina, sebab Dia menganggap diri-Nya termasuk golongan mereka” (Bruyan, 1984:
107). Keterlibatan dengan kaum miskin merupakan usaha menjadi sama dengan
mereka dalam arti kita mengalami langsung kehidupan kaum miskin.
2. Solider Dengan Kaum Mskin
Bersikap solider atau solidaritas harus kita hayati dalam hidup sehari-hari di
mana saja kita berada. Yesus sendiri hadir dalam diri orang-orang kecil, lemah,
miskin, dan tertindas. “Dan Raja itu menjawab mereka: Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudaraku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40). Orang –
orang berbuat sesuatu untuk salah satu dari mereka berarti telah berbuat sesuatu
untuk Yesus, karena Yesus mengindentikkan diri-Nya dengan orang-orang lemah,
menjadi solider dengan manusia yang menderita, kitapun hendaknya demikian
pula”. Bentuk solider Yesus adalah Ia mendatangi dan hidup bersama kaum
miskin, lemah dan tertindas. Orang-orang itu miskin tidak punya harta dan
dipandang rendah. Mereka ini perlu pertolongan dan bantuan melalui penghiburan
seperti disabdakan Yesus: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah
karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah” (Mat 5:3). Untuk dapat solider
dengan kaum miskin, para religius perlu membuka hati bagi sesama. Orang-orang
miskin itu merupakan saudara. Meskipun orang miskin tidak tahu berterima kasih,
bahkan menyulitkan dan mengecewakan kita, namun mereka tetap saudara kita.
“Bila kamu hanya mengasihi orang yang mengasihi kamu, manakah pahalamu
kelak?” (Mat 5:46). Sikap mengakui sesama yang miskin sebagai saudara inilah
yang dapat membuka hati dan mengembalikan martabatnya sebagai manusia.
Solider terhadap kaum miskin merupakan kekuatan rohani untuk
mengalahkan kekuatan egoisme yang menguasai dunia dan diri kita sendiri.
Jacobs (1987: 100) mengatakan: “Kemiskinan menuntut kita bekerja keras.
Penghayatan kemiskinan bersama menciptakan suasana di mana kemalasan tidak
mungkin dan pengangguran bikin malu”. Hal ini makin dipertegaskan lagi dalam
Konsili Vatikan II (PC, 1992 art 13) dikatakan: “Hendaknya dalam tugas mereka
masing-masing para anggota merasa diri terikat pada keharusan umum untuk
bekerja”. Para religius diharapkan mampu untuk bekerja keras. Apapun yang
diperoleh adalah hasil kerja sendiri bukan menunggu uluran tangan dari orang
kepada semua orang” (Gal 6:10). Tindakan solider dengan kaum miskin
mewujudkan nilai kesaksian di tengah masyarakat.
3. Kerelaan Berbagi
“Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, jualah segala milikmu dan
berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di
surga, kemudian datanglah kemari dan ikutilah Aku” (Mat 19:21). Gagasan pokok
yang terdapat di dalamnya adalah larangan menumpukkan harta di dunia,
melainkan rela untuk berbagi harta yang dimiliki kepada sesama saudara yang
menderita kekurangan.. Seandainya kita tidak dapat membantu secara materiil,
sumbangan kata-kata dapat sungguh merupakan bantuan yang besar nilainya.
Berbagi bukan hanya soal rejeki yang kita dapatkan tapi bakat, kemampuan dapat
juga kita bagikan. Kerelaan berbagi sangat erat hubungannya dengan mengikuti
Yesus. Hubungan ini dapat ditemukan dalam Konsili Vatikkan II (PC, 1992 art
13) yaitu: “Kemiskinan sukarela dan rela berbagi merupakan tanda mengikuti
Kristus, dan kemiskinan itu hendaknya dihayati para religius dengan tekun”. Di
sini Yesus ditampilkan sebagai teladan dan model untuk rela berbagi. Sebagai
mana Yesus rela menjadi miskin untuk memperkaya kita, demikianpun kita harus
rela berbagi untuk memperkaya sesama kita. Kerelaan berbagi dapat dilihat
sebagai tanda mengikuti Kristus. Mengikuti Kristus merupakan suatu anugerah,
inisiatifnya datang dari Kristus, karena Kristuslah yang mengundang ataupun
memanggil. Kristuslah yang memperkenalkan diri dan menganugerahkan
Yesus, maka tekad seseorang mengikuti Yesus mengakibatkan adanya sikap lepas
bebas. Santo Paulus, hidupnya sungguh dikuasai Kristus sehingga ia berani
berkata: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang
kuanggap rugi karena Kristus. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan
semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Flp
3:7-8). Bagi Santo Paulus hidup adalah Kristus. Santo Paulus merasa begitu
bahagia dan beruntung bahwa ia diperkenankan mengenal Kristus. Baginya
pengenalan akan Kristus lebih bernilai daripada apapun. Berdasarkan pengalaman
Santo Paulus yang bersikap lepas bebas karena relasinya dengan Kristus.
Harjawiyata (2003: 242) memberi penekanan mengenai kerelaan berbagi sebagai
berikut: “Pengenalan akan Kristus itu menjadikan orang lepas bebas dan
mendorongnya untuk rela berbagi. Sikap lepas bebas yang terungkap dalam
kerelaan berbagi diakibatkan oleh anugerah pengenalan akan Kristus. Bukan
kemiskinan, melainkan Kristuslah yang membebaskan”. Orang-orang miskin
patut dibantu dan diperhatikan karena sungguh membutuhkan pertolongan.
Berbagi dengan orang yang hina dina berarti berbagi dengan Kristus yang kita
BAB III
KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN
BRUDER MARIA TAK BERNODA (MTB)
Setelah berbicara seputar hidup membiara dan kaul kemiskinan secara
umum dalam bab II, maka dalam bab III ini kaul kemiskinan akan dibicarakan
secara lebih khusus sehubungan dengan pelayanan dan persaudaraan Bruder
Maria Tak Bernoda (MTB).
A. Kemiskinan Dalam Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB)
Mengh