• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (MTB) MELALUI KATEKESE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MENINGKATKAN PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (MTB) MELALUI KATEKESE"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

MELALUI KATEKESE

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Agato

NIM : 041124006

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

(5)

“Berikanlah kepada setiap orang yang meminta kepadamu;

(6)

Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini tidak memuat karya

orang lain kecuali seperti yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka,

sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Juni 2008

Penulis

(7)

Judul dari skripsi ini adalah “MENINGKATKAN PENGHAYATAN KAUL

KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN KONGREGASI

BRUDER MARIA TAK BERNODA (MTB) MELALUI KATEKESE”. Judul ini

dipilih karena penulis melihat adanya permasalahan yang dihadapi para Bruder MTB

dalam penghayatan kaul kemiskinan dan ingin memberi gagasan untuk membantu

meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan tersebut. Kenyataannya, penghayatan

kaul kemiskinan zaman sekarang mulai mengendor. Mengendornya penghayatan

kaul kemiskinan ini karena kurangnya pemahaman tentang makna kaul kemiskinan

dan kurang mampu mengendalikan diri dari tawaran-tawaran dunia yang memberi

kenikmatan sesaat serta ingin memiliki barang-barang dengan model terbaru karena

takut kolot atau ketinggalan zaman.

Kongregasi Bruder MTB berusaha mengikuti kemiskinan Yesus yang

merendahkan diri dan hidup miskin di tengah orang miskin, dan kemiskinan Santo

Fransiskus Assisi yang diwariskan oleh pendiri. Menghayati hidup miskin perlu

bercermin pada hidup Yesus yang bersikap lepas bebas untuk mencapai

kesederhanaan dengan rela melepaskan miliknya dan sungguh hidup miskin.

Kemiskinan Yesus tampak dalam kata-kata dan perbuatan. Untuk melaksanakan

kemiskinan zaman sekarang tidaklah gampang. Untuk itu, perlu pertobatan terus

menerus, mampu bersikap lepas bebas dan giat bekerja yang ditopang oleh semangat

doa.

(8)

The title of this skription is “DEVELOPMENT OF THE VOW OF POVERTY

LIFE IN THE SERVICE AND FRATERNITY OF THE CONGREGATION

BROTHERS OF THE IMMACULATE OF MARY (MTB) THROUGH

CATECHISM”. This title is chosen by the writer to see the problems that faced by

MTB Brothers in the life of poverty and to give ideas to help the development of the

vows of the religious life especially the vow of poverty. In the reality life we see that

the spirit of the vow poverty is decreasing. One of the reason why the decreasing of

the poverty life because of understanding about the vow of poverty is less and there is

lack of ability of self govern toward the invitation of the world which give pleasure in

short term self satisfaction and the will to have many kind of the new model things in

order not to be said “live in classic time”.

The congregation of MTB Brothers try to make effort to follow the poverty of

Jesus who humble himself and live in poverty together with the people in His time

and the poverty life of St. Fransis of Asissi and what was heirloomed by the founder

of MTB Brothers. To live in poverty life we need the mirror of the life of Jesus who

free himself in order to reach the simplicity of life and give away what we have and

really live in poverty. The poverty life of Jesus appear in words and deeds. To live in

poverty in this time is not eassy. For that, we need the repentance anytime and work

hard, ride the spirit of prayer.

(9)

Puji dan syukur kepada Allah yang Mahakasih dan karunia-Nya yang melimpah

. “Semoga penghayatan kaul kemiskinan sungguh-sungguh dihayati dengan benar”.

Itulah ungkapan yang terlontar dalam hati penulis ketika menyelesaikan skripsi ini

yang berjudul “MENINGKATKAN PENGHAYATAN KAUL KEMISKINAN

DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN KONGREGASI BRUDER

MARIA TAK BERNODA (MTB) MELALUI KATEKESE”. Skripsi ini ditulis

bertolak dari pengalaman dan keprihatinan penulis terhadap penghayatan kaul

kemiskinan zaman sekarang yang mulai mengendor. Penyusunan skripsi ini

membantu para Bruder MTB meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan yang telah

diikrarkan sebagai jalan mengikuti Yesus. Selain itu, skripsi ini diajukan dalam

rangka salah satu sarat memperoleh Sarjana Pendidikan di Program Studi Ilmu

Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma.

Penulis juga menyadari bahwa dalam rangka penulisan skripsi ini tidak terlepas

dari banyak pihak yang terlibat baik secara langsung maupun secara tidak langsung

memberikan perhatian, semangat, dukungan, pemikiran dalam rangka mengolah dan

menyususn skripsi ini. Untuk itu, perkenankanlah penulis menghaturkan rasa terima

kasih kepada:

1.

Segenap Staf Dosen program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan

Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik, memberikan

bekal pengetahuan yang sangat berharga serta belajar khususnya dalam

penyusunan skripsi ini.

2.

Dr. J. Darminta, SJ selaku pembimbing utama dan dosen penguji I yang dengan

sabar, setia, teliti, membimbing serta mengarahkan dari awal sampai berakhirnya

penulisan skripsi ini.

(10)

5.

Br. Gabriel Tukan, MTB (Bruder Propinsial MTB) yang telah memberikan

kesempatan dan kepercayaan serta semangat bagi penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

6.

Para Bruder MTB di komunitas Alverna Ngadikan, Yogyakarta yang dengan

caranya masing-masing telah banyak mendukung penulis.

7.

Rekan-rekan Mahasiswa IPPAK Universitas Sanata Dharma, khususnya angkatan

2004/2005 yang telah turut serta memberi semangat dan dukungan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,

penulis sangat membutuhkan kritikan serta sumbang saran dari siapa saja yang

membangun, memperkembangkan dan penyempurnaan pemikiran-pemikiran yang

tertuang dalam skripsi ini. Penulis berharap agar pokok-pokok pikiran yang tertuang

dalam skripsi ini dapat membantu anggota Kongregasi dalam menghayati nilai-nilai

khas Kongregasi.

Yogayakrta,

26

Juni

2008

Penulis

(11)

HALAMAN JUDUL………

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………

HALAMAN PENGESAHAN………

HALAMAN PERSEMBAHAN………

MOTTO………

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………

ABSTRAK………

ABSTRACT……….

KATA PENGANTAR………

DAFTAR ISI………

DAFTAR SINGKATAN...

BAB I PENDAHULUAN………

A.

Latar Belakang………

B.

Rumusan Masalah………

C.

Tujuan Penulisan………

D.

Manfaat Penulisan………

E.

Metode Penulisan………

F.

Sistematika Penulisan………

BAB II KAUL KEMISKINAN DALAM HIDUP MEMBIARA………

A.

Hidup Membiara………

1.

Hidup Membiara Dalam Gereja………

2.

Panggilan Khas Kenabian………

3.

Radikalisme Melalui Kaul………

4.

Kaul Sebagai Persembahan Diri………

B.

Kaul Kemiskinan Religius………

(12)

C.

Tantangan Dan Pergumulan Kemiskinan Dewasa Ini…………

1.

Sekularisme………

2.

Kesenjangan Sosial Ekonomi………

3.

Gaya Hidup Modern………

4.

Korupsi………

D.

Nilai Kesaksian Kemiskinan Zaman Sekarang……….

1.

Keterlibatan Kaum Religius Terhadap Kaum Miskin………

2.

Solider Dengan Kaum Miskin……….

3.

Kerelaan Berbagi……….

BAB III KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN

PERSAUDARAAN BRUDER MARIA TAK BERNODA

(MTB)………...

A.

Kemiskinan Dalam Kongregasi Maria Tak Bernoda

(MTB)……...

1.

Mengikuti Kristus Yang Miskin Melalui Teladan Fransiskus

Dari Assisi………...

2.

Kemiskinan Dalam Anggaran Dasar Ordo Ketiga Regular

Santa Fransiskus Dari Assisi………

3.

Kemiskinan Dalam Konstitusi Kongregasi………..

4.

Dasar Penghayatan Kaul Kemiskinan Dalam Kongregasi…...

B.

Dimensi Penghayatan Kaul Kemiskinan Dalam Kongregasi……

1.

Miskin Harta………...

2.

Miskin Radikal………

3.

Miskin Dalam Roh………..

(13)

3.

Hidup Dalam Pertobatan………

D.

Kemiskinan Sebagai Penjiwa Hidup……….

1.

Dalam Persaudaraan………

2.

Dalam Karya………..

BAB IV KATEKESE SALAH SATU UPAYA MEMBANTU

MENINGKATKAN PENGHAYATAN KAUL

KEMISKINAN…...

A.

Landasan Usaha Meningkatkan Penghayatan Kaul

Kemiskinan…...

B.

Gambaran Umum Katekese………..

1.

Pengertian Katekese………....

2.

Tujuan Katekese………...

3.

Isi Katekese………...

4.

Proses Katekese………...

5.

Unsur-Unsur Katekese………...

C.

Peran Katekese Dalam Meningkatkan Penghayatan Kaul

Kemiskinan………

D.

Upaya Katekese Dalam Meningkatkan Penghayatan Kaul

Kemiskinan………...

1.

Pembinaan………..

2.

Retret Dan Rekoleksi………

E.

Shared Christian Praxis

(SCP) Sebagai Model Katekese Yang

Dapat Membantu Meningkatkan Penghayatan Kaul

Kemiskinan……...

1.

Pengertian

Shared Christian Praxis

………

2.

Langkah-Langkah

Shared Christian Praxis

(SCP)………..

(14)

2.

Pengertian Program………...

3.

Tujuan Program………

4.

Isi Program………

5.

Contoh Program………

G.

Contoh Persiapan Katekese………...

BAB V PENUTUP……….

A.

Kesimpulan……….

B.

Saran………....

DAFTAR PUSTAKA………..

LAMPIRAN………

Lampiran 1 : Pakailah Daku...

Lampiran 2 : Orang Muda yang Kaya...

(15)

A.

SINGKATAN KITAB SUCI

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini diambil dari singkatan Kitab Suci

Perjanjian Baru: Arnoldus Ende.

B.

SINGKATAN DOKUMEN GEREJA

.

CT

:

Catechesi Tradendae

.

EN

:

Evangeli Nuntiandi

KHK

: Kitab Hukum Kanonik

LG

:

Lumen Gentium

PC

:

Perfectae Caritatis

PKKI :

Pertemuan

Kateketik

Antar Keuskupan Se-Indonesia

VC

:

Vita Consecrata

C.

SINGKATAN LAIN-LAIN

AD

: Anggaran Dasar Ordo Regular Fransiskan

AngTBul : Anggaran Dasar Tanpa Bula

AngBul

: Anggaran Dasar Dengan Bula

Art

: Artikel

1 Cel

: Thomas dari Celano 1

HP

: Hand Pone

MTB

: Maria Tak Bernoda

Konst :

Konstitusi

KSM

: Kelompok Swadaya Masyarakat

LCD :

Liquid Cristal Display

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara tentang kaul kemiskinan tidak terlepas dari hidup membiara

yang ditandai dengan kaul-kaul yang dihayati. Dengan kaul, seseorang akan

mengikat diri dengan Tarekat/Kongregasi/Ordo yang akan mewarnai dan

sekaligus menjadi pola hidupnya. Dengan berkaul berarti seseorang

menggabungkan diri pada sekelompok orang yang dengan bersama-sama rela dan

bersedia melaksanakan visi dan misi Tarekat/Kongregasi/Ordo. Hidup religius

yang dihayati merupakan perwujudan dari penyerahan diri seseorang secara total

kepada Allah. Penyerahan diri ini merupakan suatu persembahan diri yang murni

dari setiap pribadi yang ingin menggabungkan diri ke dalam

Tarekat/Kongregasi/Ordo tertentu melalui pengikraran ketiga kaul yakni kaul

kemiskinan, kaul kemurnian, dan kaul ketaatan. Penghayatan kaul oleh

masing-masing anggota diwarnai dengan semangat dasar dan kharisma pendiri serta

spiritualitas Kongregasi. Pengikraran kaul merupakan suatu keputusan dan pilihan

yang bebas untuk mengikat diri pada suatu persekutuan dalam mengembangkan

diri sesuai dengan nasehat Injil untuk mencari Allah dalam setiap peristiwa hidup.

Memilih dan memasuki salah satu Tarekat/Kongregasi/Ordo berarti berani

mengikuti Yesus Kristus yang miskin secara radikal.

Pada kesempatan ini penulis akan memfokuskan satu kaul yaitu kaul

(17)

Kongregasi Maria Tak Bernoda (MTB) adalah salah satu Kongregasi yang

bernaung pada spiritualitas Fransiskus dari Assisi. Kongregasi Bruder Maria Tak

Bernoda (MTB) berusaha mengikuti Yesus Kristus menurut teladan dan semangat

hidup Santo Fransiskus dari Assisi yang bersemangat hidup miskin. Fransiskus

berusaha keras menyerupai hidupnya dengan hidup Yesus yang mencintai

kemiskinan. Hidup miskin bagi Fransiskus bukan hanya tidak memiliki sesuatu,

tetapi ada hati untuk hidup di tengah-tengah orang yang putus harapan dan

hidupnya sangat sederhana. Namun pada kenyataannya banyak terjadi

penyelewengan dalam tugas pelayanan dan persaudaraan. Adapun tugas dan

pelayanan yang dikelola Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda bergerak dalam

bidang karya pendidikan, karya sosial, pembinaan kaum muda (asrama), pastoral,

dan katekese di paroki. Oleh karena itu penting adanya pemahaman yang sungguh

akan kaul kemiskinan agar dapat menghayatinya dengan baik dan benar.

Kemiskinan menjadi salah satu ciri khas Bruder Maria Tak Bernoda

(MTB) yang harus dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh setiap anggota

Kongregasi. Demi kelancaran tugas dan pelayanannya para Bruder berhak

memiliki segala sesuatu yang diperlukan untuk kebutuhan hidup di dunia dan

karyanya, tetapi tetap diusahakan jangan sampai memberi kesan mewah,

mendapatkan keuntungan yang berlebihan dan penumpukan harta. Penulis

melihat dan mengalami banyak para Bruder telah mengikrarkan kaul kemiskinan

kurang menghayati makna kaul kemiskinan atau pura-pura tidak tahu bahkan

sengaja melanggarnya. Akibatnya banyak para Bruder yang secara sadar atau

(18)

banyak tawaran dan peluang untuk memiliki atau mendapatkan harta hingga

akhirnya menyeleweng dari kaul kemiskinan. Kaum biarawan-biarawati sering

mendapat cibiran dari umat “mereka yang mengucapkan kaul, kami yang

melaksanakannya”. Keinginan memiliki barang-barang secara berlebihan banyak

dipengaruhi faktor orang lain (mendapat hadiah dari kenalan), terlalu lama

berkarya di suatu tempat khususnya daerah basah sehingga sulit untuk

dipindahkan, pengaruh zaman modern agar tidak dipandang kolot, pengaruh iklan

yang menimbulkan keinginan untuk memiliki sesuatu walaupun tidak sungguh

dibutuhkan. Karena kurangnya penghayatan terhadap kaul kemiskinan maka

dengan sendirinya penghayatan terhadap kaul kemiskinan akan menurun dan tidak

terlaksana sebagai mana diwariskan oleh pendiri dan semangat Santo Fransiskus

dari Assisi. Selain itu ada juga Bruder yang menggunakan barang bersama

seolah-oleh milik pribadi sendiri dan tak terpisahkan dari padanya. Kelekatan pada

barang, harta, materi akan menimbulkan adanya egoisme, iri hati, pertengkaran,

serakah, ingin menang sendiri, ingin melebihi orang lain, bahkan lupa akan tugas

dan lain-lain. Melalui situasi ini ternyata masih banyak para Bruder yang kurang

paham akan makna kaul kemiskinan dalam hidup membiara. Diharapkan setiap

anggota Kongregasi harus kembali kepada konstitusi/statuta yang berbicara

tentang kaul kemiskinan agar para anggota dapat memahami dan menghayatinya

dengan baik.

Kemiskinan yang dihayati oleh para anggota Kongregasi Bruder Maria Tak

Bernoda (MTB) belumlah mencerminkan penghayatan akan kaul kemiskinan

(19)

kenyataannya banyak anggota yang sudah berkaul terutama yang berkaul

sementara, dan bahkan yang berkaul kekal cenderung untuk memiliki

barang-barang duniawi. Banyak para Bruder sepertinya berlomba untuk mendapatkan

barang-barang duniawi. Bahkan barang yang tidak terlalu penting, tetapi hanya

karena ingin mengikuti tawaran-tawaran masa kini dan kesenangan sendiri.

Akhirnya barang dipandang seakan-akan menjadi tujuan bukan lagi sebagai sarana

untuk pelayanan yang sampai pada penyerahan diri kepada Allah. Kita diajak

untuk dengan segenap hati berusaha untuk menghayati kaul kemiskinan dalam

keseluruhan aktivitas diri khususnya dalam tugas pelayanan. Kita harus kembali

kepada cita-cita dan semangat pendiri.

Dengan mengikrarkan kaul kemiskinan seseorang dapat membebaskan diri

dari segala yang mengikat atau yang menghambat kasih Allah. Pengosongan diri

seperti yang dilakukan oleh Yesus merupakan suatu usaha penelanjangan diri

secara total bagi kita sehingga kasih Allah dicurahkan ke dalam hati dengan

berlimpah. Dengan pengosongan diri, kita mampu rendah hati sesuai dengan

semangat Santo Fransiskus dari Assisi yang diwariskan kepada pengikutnya.

Melihat masalah dan keprihatinan yang dialami para Bruder Maria Tak

Bernoda (MTB) dewasa ini dalam menghayati kaul kemiskinan menunjukkan

bahwa semangat kemiskinan dan cita-cita pendiri belum tercapai sebagai mana

mestinya. Hal ini menjadi keprihatinan penulis. Untuk itu dalam tulisan ini,

penulis ingin menyumbangkan gagasan-gagasan yang berguna bagi anggota

Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB) untuk menghayati kaul

(20)

KAUL KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN

KONGREGASI BRUDER MARIA TAK BERNODA (MTB) MELALUI

KATEKESE”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut:

a) Bagaimana kaul kemiskinan religius memberikan nilai kesaksian di zaman

sekarang.

b) Bagaimana upaya membangun sikap dan kesadaran diri dalam menghayati

makna kaul kemiskinan dalam dunia modern ini?.

c) Apa sumbangan katekese dalam usaha meningkatkan penghayatan kaul

kemiskinan dalam pelayanan dan persaudaraan.

C. Tujuan Penulisan

Skripsi ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran yang jelas tentang kaul kemiskinan religius yang

bernilai kesaksian di zaman sekarang.

2. Membantu para Bruder MTB untuk dapat membangun sikap dan

kesadaran diri dalam memahami dan menghayati kaul kemiskinan.

3. Memberi sumbangan pemikiran bagi para Bruder MTB dalam usaha

meningkatkan penghayatan kaul kemiskinan dalam pelayanan dan

(21)

4. Memenuhi persyaratan kelulusan Sarjana Strata 1 (S1) pada Program Studi

Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas

Sanata Dharma.

D. Manfaat Penulisan

1. Religius akan mendapat sumbangan pemikiran dalam memaknai kaul

kemiskinan yang bernilai kesaksian di zaman sekarang.

2. Mendorong para Bruder Maria Tak Bernoda (MTB) agar semakin

memperdalam penghayatannya terhadap kaul kemiskinan.

3. Menjadi sebuah bahan refleksi bagi penulis sebagai seorang religius

Bruder MTB yang telah berjanji untuk hidup menghayati kaul

kemiskinan.

E. Metode Penulisan

Metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

pendekatan dekriptif analisis melalui pengalaman penulis maupun studi pustaka

tentang buku-buku yang berbicara tentang kaul kemiskinan.

F. Sistematika Penulisan

Judul skripsi yang dipilih ini adalah: “Meningkatkan Penghayatan Kaul

Kemiskinan Dalam Pelayanan dan Persaudaraan Kongregasi Bruder Maria Tak

(22)

BAB I Pendahuluan yang terdiri dari lima bagian : bagian pertama terdiri

dari latar belakang penulisan yang memuat tiga unsur (fakta, ideal dan aktual)

yang menjadi alasan bagi penulis untuk memilih judul ini. Bagian ke dua adalah

rumusan masalah. Pada bagian ini, penulis mencoba untuk merumuskan

permasalahan-permasalahan dalam beberapa kalimat tanya berdasarkan latar

belakang yang telah dipaparkan. Rumusan masalah ini juga akan membantu

penulis untuk memecahkan permasalahan yang akan dikaji dalam daftar pustaka.

merupakan identifikasi masalah . Identifikasi masalah ini merupakan jarak yang

terjadi antara fakta dan ideal. Bagian ketiga adalah tujuan penulisan yang

memaparkan tujuan penulis memilih judul ini. Bagian keempat adalah manfaat

penulisan. Penulis merumuskan manfaat dari judul yang akan didalami.

Sedangkan bagian kelima adalah metode penulisan yang memaparkan bahwa

dalam penulisan skripsi ini penulis mengunakan studi pustaka

BAB II berbicara tentang kaul kemiskinan dalam hidup membiara yang

meliputi: hidup membiara, kaul kemiskinan religius, tantangan dan pergumulan

kemiskinan dewasa ini, dan nilai kesaksian kemiskinan zaman sekarang.

BAB III membahas mengenai penghayatan kemiskinan dalam pelayanan dan

persaudaraan Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda yang meliputi: kemiskinan

dalam Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda, dimensi-dimensi penghayatan kaul

(23)

Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda dan kemiskinan sebagai penjiwaan hidup

dalam pelayanan dan persaudaraan.

BAB IV membahas tentang upaya meningkatkan penghayatan kaul

kemiskinan dalam pelayanan dan persaudaraan Bruder Maria Tak Bernoda

melalui katekese yang meliputi : landasan usaha meningkatkan penghayatan kaul

kemiskinan, gambaran umum katekese, pengertian katekese, tujuan katekese,

pemilihan model katekese, usulan program katekese, dan contoh katekese.

BAB V merupakan bagian penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari

seluruh hasil yang telah penulis sajikan dari bagian pendahuluan, BAB I – BAB

IV, sekaligus membantu siapa saja yang membaca tulisan ini untuk selanjutnya

(24)

BAB II

KAUL KEMISKINAN DALAM HIDUP MEMBIARA

Hidup membiara selalu ditandai dengan adanya kaul kebiaraan yaitu :

kemurnian, ketaatan dan kemiskinan. Dalam bab II ini penulis akan membahas

kaul kemiskinan dalam hidup membiara yang meliputi: hidup membiara, kaul

kemiskinan religius, tantangan dan pergumulan kemiskinan dewasa ini dan nilai

kesaksian kemiskinan zaman sekarang.

A. Hidup Membiara

Hidup membiara merupakan salah satu bentuk hidup menggereja yang

membaktikan dirinya secara khusus bagi tugas pelayanan seturut panggilan dan

dilaksanakan melalui ketiga nasehat Injil.

1. Hidup Membiara Dalam Gereja.

Ladjar (1993:7) mengatakan : “hidup membiara merupakan suatu panggilan

dari Tuhan dan merupakan salah satu kharisma roh atau kharisma dalam gereja”.

Hidup membiara tidak dengan sendirinya muncul tetapi karena adanya panggilan

dari Allah dengan meneladan Kristus seperti diungkapkan dalam anjuran

Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti (VC,1996 art 1) sebagai

berikut:

(25)

umat beriman diarahkan kepada misteri Kerajaan Allah yang sudah berkarya dalam sejarah meskipun masih mendambakan perwujudannya sepenuhnya di surga”.

Di zaman sekarang banyak orang yang terpanggil untuk memenuhi

panggilan Allah dan memilih secara khusus untuk mengikuti Yesus Kristus

dengan hati yang terbagi (1 Kor 7:34). Orang-orang yang terpanggil masuk dalam

hidup membiara berusaha membantu misi Gereja yang memancarkan sinar demi

pembaharuan masyarakat. Jacobs (1987:19) mengatakan: “Hidup membiara

berarti menjawab panggilan Kristus dalam hubungan pribadi yang semakin nyata

sehingga semakin menemukan arti hidupnya sendiri”.

Dari pernyataan ini hidup membiara dipahami sebagai jawaban akan

panggilan Allah secara khusus dalam gereja dan membantu pewartaan Injil demi

pembaharuan hidup masyarakat. Tentang hidup membiara dan gereja, Kongregasi

untuk Tarekat Hidup Bakti Dan Serikat Hidup Apostolik (2002: 14) mengatakan:

“Kaum hidup bakti menerima panggilan untuk pengudusan baru dan khas untuk

kebaikan Gereja, yang mendorong mereka untuk menghayati hidup mengikuti

jejak Yesus Kristus, Sang Perawan, dan para Rasul dengan kasih yang

meluap-luap”. Dalam pewartaannya para religius bercermin pada jejak hidup Kristus

untuk dapat memancarkan kasih Allah yang dalam. Anjuran Apostolik Paus

Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti (VC,1996 art 3 dikatakan: “Hidup

membiara berada pada inti gereja sendiri sebagai unsur yang banyak menentukan

misinya, karena menampilkan sifat batiniah panggilan Kristiani”.

Hidup membiara tidak mengandung unsur paksaan tetapi dengan penuh

(26)

panggilannya secara pribadi. Penghayatan akan panggilan sangat penting

sebagaimana diungkapkan oleh Darminta (1975: 8): “Panggilan itu bersifat bebas

dan merdeka, suasana kebebasan dan kemerdekaan itulah yang mewarnai hidup

membiara”. Penghayatan akan panggilan yang mengandung kebebasan dan

kemerdekaan yang telah diterimanya dapat membantunya untuk menjalani

panggilan hidup mengikuti jejak Kristus.

Hidup membiara merupakan bentuk konkret dari penghayatan panggilan

melalui kaul-kaul kebiaraan. Status kebiaraan diadakan dengan pengikraran

nasehat-nasehat Injil (LG, art 44). Dengan mengucapkan kaul seseorang

menggabungkan diri pada Tarekat/Kongregasi/Ordo tertentu untuk menepati

ketiga nasehat Injil yaitu kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian dengan bebas

tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Hidup membiara selalu diwarnai dengan

hidup berkomunitas sebagai tempat bagi orang-orang yang mempunyai cita-cita

yang sama untuk mengungkapkan diri pada hadirat Allah. Kebersamaan

menghayati hadirat Allah dituangkan dalam aturan hidup dalam bentuk konstitusi

yang memberi arah pengungkapan amanat hidup religius. Pendalaman amanat itu

sebagai tugas bersama ditegaskan oleh Darminta (1975:15) sebagai berikut:

Masing-masing tarekat, komunitas dan anggota diharapkan untuk selalu mampu mengungkapkan amanat hidup membiara di tengah masyarakat sebagai kesaksian hidup membiara yang diungkapkan dalam karya dan pengabdiannya. Untuk melaksanakan tugas itu perlu kesadaran akan hadirat Allah yang dibina lewat doa, refleksi dan renungan.

Tugas memberikan kesaksian kepada masyarakat mengajak kaum religius

untuk tidak menutup telinga terhadap jeritan dan kegelisahan manusia. Kaum

(27)

dan umat secara konkrit. Dalam Konsili Vatikan II (LG, art 14) dikatakan: “Hidup

rohani orang-orang religius harus dibaktikan kepada kesejahteraan seluruh

gereja”. Di sini pihak religius di tuntut supaya melaksanakan tugas pelayanan

mengemban hadirat Allah dengan memperhatikan jeritan dan kegelisahan

masyarakat di sekitarnya. Kehadiran biara sangat diharapkan untuk menjalankan

tugas kenabian dalam gereja dan masyarakat.

2. Panggilan Khas Kenabian.

Dengan baptisan semua orang kristiani mendapat tugas kenabian. Hidup

membiara juga mendapat tugas kenabian sebagai mana seluruh umat Allah

mendapat tugas kenabian. Hidup kenabian dapat dilaksanakan dan dihayati dalam

kesaksian hidup sehari-hari. Hidup membiara sebagai salah satu cara hidup yang

mengkhususkan perhatian akan Kerajaan Allah dan memiliki kekhasan melalui

kesaksian kenabian. Darminta (1995: 20-22) mengungkapkan:

Hidup religius melanjutkan kenabian Yesus Kristus, yang memperjuangkan perubahan, pembaruan dalam hidup ini, supaya umat manusia tidak akan mengalami malapetaka yang semakin memburuk dengan konsekwensi berani hidup dalam semangat dan tatapan bahwa tata kehidupan baru tidak hanya harus berkembang tetapi harus berubah menjadi lebih adil, merdeka serta berperan aktif dalam menentukan tatanan baru.

Hidup membiara memiliki kesaksian kenabian sebagaimana ditegaskan

dalam anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti (VC, 1996

art 84) di katakan: “Kesaksian kenabian dicetuskan dengan mengecam apapun

yang bertentangan dengan kehendak Ilahi, dan dengan menjajagi cara-cara baru

untuk menerapkan Injil pada situasi dan peristiwa sejarah sambil mendambakan

(28)

Injil (kemiskinan, keperawanan, ketaatan) merupakan kehidupan yang

mengabdikan diri secara total kepada Kerajaan Allah yang merupakan kesaksian

yang bersifat kenabian. Kaum religius secara terbuka memberikan perhatian

terhadap orang-orang miskin yang ada di sekitarnya, baik miskin material, rohani,

maupun miskin perhatian. Dalam Apostolik Paus Paulus VI tentang karya

pewartaan Injil di zaman moden (EN, 1975 art 69) dikatakan:

Berkat penyerahan diri mereka berkesanggupan besar dan bebas untuk meninggalkan segala-galanya, serta untuk mewartakan Injil di seluruh dunia. Mereka giat dalam usaha serta kerasulannya kerap kali ditandai oleh keorisinilan (keaslian), oleh kepandaian yang patut dikagumi. Mereka murah hati, kerap kali mereka tinggal di tempat-tempat terpencil dan mereka berani mempertaruhkan kesehatan dan nyawanya.

Pernyataan di atas hendak mengatakan bahwa orang yang menyerahkan diri

secara total kepada Allah berarti berani mengambil resiko meninggalkan

segala-galanya demi Kerajaan Allah tanpa mengkhawatirkan hidupnya sendiri. Kesaksian

kenabian memerlukan usaha terus menerus dan penuh semangat mencari

kehendak Allah, penyerahan diri sendiri, hidup dalam persekutuan sepenuhnya

dalam Gereja (VC, 1996 art 24). Dengan demikian hidup kenabian dapat

diwujudkan melalui kaul-kaul hidup membiara. Seluruh hidup membiara

merupakan tugas kenabian di tengah-tengah masyarakat di mana kita diutus. Para

anggota hidup bakti diharapkan memberi kesaksian di manapun juga dengan

keberanian seorang nabi yang tidak takut menghadapi resiko hidupnya (VC, 1996

art 85). Mereka yang menghayati kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan

(29)

3. Radikalisme Melalui Kaul

Pengucapan kaul dalam hidup membiara merupakan sarana untuk mengikuti

Yesus Kristus. Dengan mengucapkan kaul seseorang telah mengikuti Yesus

Kristus dan mempersembahkan seluruh hidupnya dengan hidup perawan, miskin

dan taat. Hidup religius merupakan pemberian diri karena cinta mengikuti Kristus

dari dekat dan mau menjadi milik Kristus. Dengan kaul para religius dapat

mengikuti Kristus dengan penuh kebebasan seperti diungkapkan oleh Darminta

(1981: 14):

Melalui kaul-kaul, hidup religius secara langsung dan khusus diperuntukkan bagi Tuhan, bagi kemuliaan dan pelayanan. Hidup religius menjadi tanda yang khas dari kemauan dan usaha terus menerus mencari Tuhan, tanda cinta tak terbagi kepada Kristus dan tanda dari penyerahan diri yang absolut bagi pertumbuhan Kerajaan-Nya.

Berani mengikuti Kristus secara lebih dekat memungkinkan seorang religius

untuk menyerahkan seluruh kemampuan, bakat dan talenta sebagai tanda cinta

yang utuh. Mengikuti Kristus sepenuhnya menjadikan mereka milik Kristus

sehingga mau tidak mau harus ikut ambil bagian dalam misi pewartaan Kristus

serta mengikuti seluruh pola hidupnya. Hidup membiara yang ditandai dengan

adanya kaul, akan memberi kesan aneh bila tidak memahami makna dan arti yang

sebenarnya dari kaul tersebut. Misalkan, mereka mengucapkan kaul kemiskinan

tetapi pada kenyataannya mereka tidak hidup miskin. Oleh karena itu perlu diberi

kesadaran bahwa mengikuti Kristus dengan menghayati nasehat Injil merupakan

turut ambil bagian dalam hidup Kristus. Demikian yang ditegaskan oleh Darminta

(1975: 27):

(30)

kemungkinan untuk mengungkapkan hadirat Allah. Melalui keterbukaan kepada situasi, sesama manusia dan barang-barang kita mau mencapai hadirat Allah dalam hidup. Maka kaul dalam hidup membiara tidak mengandung unsur penolakan dan penekanan terhadap situasi, sesama dan benda, tetapi lebih berarti suatu penerimaan terhadap unsur-unsur itu sebagai tempat menemukan hadirat Allah.

Kaul merupakan radikalisme untuk mengikuti Kristus. Hanya melalui kaul

kita mengambil bagian dalam hidup Kristus secara utuh dan menyeluruh

walaupun sebenarnya hal itu dapat juga dalam hidup perkawinan. Namun perlu

disadari bahwa dalam hidup perkawinan mereka mempunyai keterbatasan waktu

yang kurang untuk mengungkapkan hadirat Allah secara lebih jelas.

4. Kaul Sebagai Persembahan Diri.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kaul berarti niat yang diucapkan

secara sungguh-sungguh sebagai janji untuk melakukan sesuatu. Dengan kaul

kemiskinan seseorang berjanji mengikatkan diri untuk hidup miskin, kaul

keperawanan mengikatkan diri untuk tidak kawin, dan kaul ketaatan mengikuti

aturan hidup Ordo/Kongregasi/Tarekat yang telah dipilihnya. Berani

menggabungkan diri dalam salah satu Ordo/Kongregasi/Tarekat merupakan

panggilan khusus yaitu untuk mengenal Allah secara lebih dalam melalui ketiga

nasehat Injil. Panggilan Allah ditanggapi secara bebas dengan mempersembahkan

seluruh hidupnya yang diungkapkan dalam pengikraran ketiga kaul.

Kaul sebagai persembahan cinta yang perlu dilihat dari segala aspek dan

dimensinya. Kaul harus didasarkan atas suatu keyakinan bahwa itu merupakan

sarana untuk memanusiawikan hidup dan harus dihayati dengan kebebasan dan

(31)

religius. Persembahan diri bukan berarti meninggalkan dunia melainkan berperan

melibatkan diri dalam hidup bermasyarakat. Pernyataan tersebut diungkapkan

oleh Darminta (1981: 13) sebagai berikut:

Mempersembahkan diri dengan hati tak terbagi merupakan hakekat fundamental hidup religius dan mencakup seluruh hidup manusia. Secara konkret orang juga mencoba mengikuti Kristus, yang mempersembahkan diri dengan hati tak terbagi kepada Bapa-Nya dengan hidup perawan, miskin dan taat.

Mengikuti Kristus dengan menghayati nasehat-nasehat Injil yang dikaulkan

merupakan bentuk konkret penghayatan untuk ambil bagian kesucian Kristus.

Yesus menegaskan agar kita rela mempersembahkan diri tanpa hati terbagi.

Memilih hidup religius berarti ikut bersama Yesus mempersembahkan diri agar

mengikuti Allah dengan segala pola hidupNya. Tujuan hidup religius

pertama-tama supaya para anggotanya mengikuti Kristus dan bersatu dengan Allah melalui

pengikraran ketiga nasehat Injil (PC, 1992 art 2). Berdasarkan uraian tersebut,

keputusan untuk mengikuti Kristus dan mempersembahkan diri merupakan unsur

hidup religius yang sebenarnya. Kaul keperawanan, kemiskinan dan ketaatan

merupakan perwujudan kesanggupan para religius menjadi pengikut Kristus

sekaligus menjadi sarana untuk memberikan diri sepenuhnya secara bebas.

Melalui ketiga kaul, hidup religius diperuntukkan bagi Tuhan demi kemuliaan dan

pelayanan sehingga berani meninggalkan segala-galanya. Dengan kaul

kemiskinan orang dibebaskan dari kelekatan pada harta dunia, kedudukan,

pangkat dan segala yang sering menghambat orang bersatu dengan Tuhan.

Ketiga nasehat Injil yang dirumuskan dalam kaul merupakan sarana bagi

(32)

kebebasan. Cinta dan keinginan untuk mengikuti Kristus merupakan dorongan

untuk menghayati kaul. Persembahan cinta dalam kaul mempunyai nilai karena

hidup sendiri mempunyai nilai religius.

B. Kaul Kemiskinan Religius

Kaul kemiskinan merupakan salah satu sarana untuk lebih mendekatkan diri

kepada Allah dan sesama dalam penyerahan diri secara total dan penuh.

Pengikraran kaul kemiskinan merupakan ungkapan semangat kemiskinan yang

dihayati. Mengucapkan kaul kemiskinan berarti mengikuti Kristus yang miskin

dan penuh cinta kasih yang diwujudkan dalam pelayanan terhadap mereka yang

tidak mampu dan tidak berdaya. Seperti yang diungkapkan oleh Suparno (2007:

96) sebagai berikut: “Kita menjadi dan memilih hidup miskin untuk dapat lebih

bebas membantu orang lain sesuai dengan panggilan Allah”. Kaul kemiskinan

bukan tujuan karena tujuan ditentukan oleh Tarekat/Kongregasi/Ordo dalam

konstitusi menurut kharisma pendiri masing-masing karena setiap

Tarekat/Kongregasi/Ordo harus memahami apa peran dan makna kaul kemiskinan

dalam pelayanan.

1. Peranan Kaul Kemiskinan

Banyak orang menganggap kemiskinan merupakan hal yang tidak masuk

akal dan selalu mengidentifikasikannya dengan kepemilikkan dan kekayaan. Para

religius yang mengucapkan kaul kemiskinan harus mengetahui peran kaul

(33)

Mendobrak semangat kaya, tidak puas dengan yang ada, selalu serakah mau milik orang lain, menipu, menimbun harta. Semangat kemiskinan akan mendorong orang melepaskan diri dari godaan, kemewahan, menunjukan kebahagiaan dalam hidup sederhana dan bahagia, ikut merasakan akibat nyata kemiskinan.

Ada orang yang dengan sengaja menolak semangat kaya dengan kaul

kemiskinan. Namun ada juga yang sulit meninggalkan semangat kaya. Di sini

berlaku apa yang dikatakan Yesus “Alangkah sukarnya orang kaya masuk ke

dalam Kerajaan Allah, lebih mudah seekor unta untuk masuk melewati lobang

jarum (Mrk 10:23-25)”. Kata-kata Yesus ini merupakan teguran bagi para religius

agar bersedia berbelarasa dan berpihak pada kaum miskin. Kesaksian kemiskinan

akan nampak jika para religius meningkatkan semangat kemiskinan sehingga ia

mau berpartisipasi dengan kaum miskin.

a). Kaul Kemiskinan Sebagai Ikatan.

Kaul kemiskinan yang diucapkan merupakan menyucian diri kepada Tuhan

dalam hidup bakti dan berfungsi untuk membebaskan manusia dari ikatan dan

kelekatan pada harta milik duniawi sehingga ia bebas menyerahkan diri dalam

pengabdian kepada Tuhan. Akan tetapi untuk masing-masing

Ordo/Tarekat/Kongregasi penekanan penghayatan kaul kemiskinan berbeda sesuai

dengan rumusan dalam konstitusi masing-masing. Hal ini senada dengan

ungkapan Soenarja (1984: 94) sebagai berikut:

(34)

Hubungan antar Tarekat dan anggotanya yang telah menyerahkan diri

dengan ikatan kaul diatur atas hukum gereja (KHK kan 670) yang mengatakan:

“Lembaga atau Tarekat harus mencukupi para anggotanya dengan segala sesuatu,

yang menurut konstitusi diperlukan untuk melaksanakan tujuan mereka

dipanggil”. Para anggota Tarekat tidak perlu memikirkan mengenai masalah

kepemilikan harta duniawi karena telah diatur sejauh itu mendukung dalam tugas

dan pelayanan. Sudah sangat jelas bahwa kaul kemiskinan merupakan suatu usaha

ikatan ke dalam biara. Maksudnya dengan mengucapkan kaul kemiskinan

seseorang menggabungkan diri ke dalam Tarekat tertentu. Oleh karena itu sebagai

anggota mempunyai kewajiban untuk mematuhi segala peraturan yang ada dalam

Tarekat termasuk mengenai kepemilikan harta duniawi.

b). Kaul Kemiskinan Sebagai Pembangkit Semangat.

Mengucapkan kaul kemiskinan berarti melepaskan segala milik pribadi

menjadi milik bersama yang akan dipergunakan sejauh dibutuhkan dan

mendukung karya pelayanan. Dengan kaul kemiskinan kita sungguh berkeinginan

untuk mengungkapkan hadirat Allah dengan mengambil sikap yang wajar

terhadap harta benda. Kemiskinan merupakan sarana perjumpaan kita dengan

Allah, dan mengajak kita untuk menggunakan barang-barang sesuai dengan

keperluan. Semangat kemiskinan sungguh nampak kalau orang tidak hanya

berusaha melanggar peraturan kemiskinan dalam konstitusi tetapi berusaha

mencari kebersihan dan kemurnian hatinya dengan menggunakan barang

(35)

merupakan suatu kesempatan untuk mawas diri, memurnikan motivasi dengan

semangat tanpa pamrih seperti yang ditegaskan oleh Soenarja (1984: 95) sebagai

berikut:

Semangat kemiskinan menolak mentah-mentah sikap “aji mumpung”, panggilan dijadikan jalan untuk mencapai “kemajuan” material pada tangga masyarakat. Semangat kemiskinan tidak menggerutu, tidak menuntut, tetapi merasa senang dan puas, sekali-sekali mengalami akibat kemiskinan, menderita kekurangan, dan mungkin menanggung ejekan.

Semangat itu bukanlah tuntutan, tetapi suatu bukti nyata bahwa orang

merasa puas, mapan dan mencintai kemiskinan. Orang yang menggunakan aji

mumpung akan menggunakan kesempatan secara pamrih dengan berusaha

memperkaya diri tanpa memikirkan orang lain. Semangat kemiskinan akan

mendorong kita untuk menolak arus konsumtif yang ingin memiliki barang serba

mewah, tetapi dengan semangat kemiskinan seseorang akan lebih senang memilih

yang sederhana dan secukupnya sesuai dengan kebutuhan.

2. Makna Kaul Kemiskinan.

Makna kaul kemiskinan tidak terletak pada apa yang dimiliki secara pribadi

maupun bersama, melainkan bagaimana bersikap pada kekayaan tersebut.

Kemiskinan yang diucapkan para religius sangat bermakna untuk membantu

pembaharuan hidup rohani bagi kaum miskin. Hadisumarta (1980: 305-306)

mengatakan:

(36)

Dengan kaul-kaul kebiaraan termasuk kaul kemiskinan diharapkan dapat

mendatangkan Kerajaan Allah di tengah-tengah kaum miskin. Kemiskinan

menurut Injil yang kita hayati dengan pertolongan kaul bukanlah sekedar melepas

diri dari pelbagai hal atau barang melainkan mampu bersikap tepat terhadap Allah

dan terhadap dirinya sendiri dalam menggunakan harta benda. Dasar kemiskinan

injili adalah keyakinan dan pengalaman akan cinta Allah, akan keagungan-Nya

dan kesadaran bahwa kita sebenarnya tidak berarti apapun di hadapan Allah.

Ajaran Yesus tentang kemiskinan dalam injil yang diwartakan melalui

teladan-Nya terdapat dalam pelepasan diri yakni semangat lepas bebas. Semangat lepas

bebas itu dimaksudkan agar kita sebagai manusia memang lebih mengutamakan

Tuhan. Kita ingin menyatu dengan Tuhan dan semua hal yang lain dianggap

sebagai sarana. Menurut Hadisumarta (1980: 307), “Pelepasan diri terdiri dari dua

segi yang merupakan satu kesatuan yaitu segi teologis dan segi insani. Segi

teologis kemiskinan yang dialami Yesus merupakan diri dari kemuliaanNya dan

menjadi manusia, sedangkan segi insani kemiskinan-Nya adalah seluruh hidup di

dunia mulai dari kelahiran-Nya di kandang Betlehem sampai kematianNya di

kayu salib”.

Yesus sungguh-sungguh memberikan teladan kemiskinan bagi kita. Ia rela

mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama

dengan manusia (Flp 2:7). Ia rela menghampakan diri dari tingkat Ilahi ke tingkat

manusiawi bahkan memasuki golongan kaum miskin. Lebih lanjut Hadisumarta

(37)

a) Allah diberi prioritas melebihi segala sesuatu. Pengalaman batin/rohani

mengenai Allah dalam cinta dan keagunganNya, sedangkan segala lainnya

tidak berarti.

b) Pelepasan diri (renunsiasi): kemiskinan harus dilaksanakan atas pilihan

sendiri, bukan sekedar sebagai pelaksanaan kewajiban, harus dialami, baik

dalam sikap pribadi dalam batin, maupun dalam bentuk lahiriah.

c) Kerendahan hati: Tertulianus, seorang Bapa Gereja berkata: tiada seorangpun

miskin hatinya, kecuali orang yang rendah hati. Sebab kemiskinan kristiani tak

dapat ada bersama dengan kesombongan, sebab yang satu akan

menghancurkan yang lain.

d) Pengabdian: merupakan suatu dimensi/segi horisontal kemiskinan. Dimensi

vertikal kemiskinan ialah hubungannya dengan Allah, sedangkan dimensi

horisontal ialah hubungannya dengan semua ciptaan Allah: kaum miskin,

tertindas dan tersamping. Seperti kehampaan Kristus, “kenosis Kristus”

ditujukan untuk mengisi dan memenuhi orang lain, untuk memperkaya orang

lain, begitu juga kemiskinan kita ditujukan untuk mengabdi orang lain.

3. Kemiskinan Ungkapan Kenabian

Ungkapan yang sering kali muncul dari kalangan biarawan-biarawati,

demikian: “kami tidak perlu memikirkan kebutuhan sehari-hari karena kami

mempunyai rumah bagus, kebutuhan selalu terpenuhi, tak usah memikirkan soal

makanan dan pakaian”. Pernyataan ini sering memunculkan pertanyaan yang tidak

(38)

membiara?”. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali melihat tujuan

hidup membiara yang terungkap dalam Anjuran Apostolik Paus Paulus II tentang

Hidup Bakti (VC, 1996 art 22) sebagai berikut: “...hidup bakti berarti mengikuti

Kristus dari lebih dekat dan terus menerus mewujudkan dalam Gereja melalui

ketiga kaul”. Ketiga kaul diucapkan sebagai perwujudan Kerajaan Allah. Dengan

kaul-kaul yang diucapkan seorang religius mendapat tugas perutusan memberi

kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya harta kekayaan manusia yang sejati.

Kita dapat belajar dari kemiskinan Yesus yang rela mempersembahkan

segala milik-Nya bahkan diri-Nya kepada Bapa. Sikap-Nya menerima sepenuhnya

rencana Bapa nampak dalam sikap-Nya yang tidak melekat pada harta benda

duniawi. Kemiskinan Yesus dapat dikonkretkan dengan membagikan kepada

orang lain segala yang dimiliki-Nya, waktu, bakat dan kepandaian. Praktek

kemiskinan sebagai penghayatan terhadap kaul kemiskinan dapat dilaksanakan

dalam berbagai bentuk misalnya kemiskinan harta benda (jasmani) dan

kemiskinan dalam roh (miskin batin). Kemiskinan religius terhadap harta benda

dianggap tidak relevan lagi karena dalam melaksanakan karya pelayanan

membutuhkan sarana yaitu kekayaan. Melalui pelayanan para religius dapat

memberi kesaksian dan pewartaan terhadap orang lain. Kemiskinan religius

mengungkapkan satu kenyataan dasar pada manusia yakni dia sepenuhnya

tergantung pada Allah. Kemiskinan dapat dihayati sebagai sikap batin seperti

yang diungkapkan oleh Ladjar (1983: 50) sebagai berikut:

(39)

sesama yang lebih membutuhkan. Ia tidak memegahkan diri entah atas harta kekayaan materiil atau atas harta milik rohani serta kemampuan yang dapat menjadi jaminan bagi dirinya.

Maksudnya adalah pertemuan pribadi dengan Kristus, maka kemiskinan

pertama-tama terletak dalam ikatan cinta kasih dengan Kristus, sehingga orang

mampu mempercayakan diri kepada Tuhan dengan meninggalkan harta miliknya.

Sikap ini menunjukkan bahwa manusia tergantung sepenuhnya kepada Allah

sebagai wujud sabda pengutusan Yesus yang melarang para pengikut-Nya

membawa dan memiliki harta benda dalam perjalanan mewartakan Kerajaan

Allah (Luk 10:1-12). Ketergantungan dalam tugas pewartaan merupakan

ungkapan iman akan Allah dan kesediaan untuk ikut serta dalam penghampaan

diri Kristus. Pewartaan akan Allah melalui kaul kemiskinan dapat dilakukan

dengan memberi perhatian dan kesaksian terhadap kaum miskin. Pewartaan

melalui kaul kemiskinan merupakan suatu ungkapan kenabian di tengah

masyarakat dengan pengorbanan dan perjuangan. Para religius harus mampu

memberi kesaksian dengan hidup sederhana dan rendah hati, serta terbuka

terhadap situasi di sekitarnya.

C. Tantangan dan Pergumulan Kemiskinan Dewasa Ini

Kemiskinan bukanlah suatu hal yang mudah dilaksanakan. Pelaksanaan

kemiskinan dewasa ini banyak mengalami tantangan karena pengaruh arus

perkembangan zaman. Situasi zaman sekarang membuat orang semakin tidak

memiliki arah hidup yang jelas. Demikianpun kehidupan di kalangan para

(40)

(2002: art 45) menegaskan: “Keinginan memiliki, mengumbar kenikmatan,

berhala kekuasaan menjadi akar kejahatan masa kini yang hanya bisa diatasi bila

nilai Injil kemiskinan, kemurnian dan pelayanan ditemukan kembali”. Tantangan

kemiskinan memasuki diri kita untuk memiliki harta yang sebanyak-banyaknya.

Tantangan dan pergumulan ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.

1. Sekularisme

Sekularisme berarti suatu pandangan hidup bahwa agama atau

pertimbangan-pertimbangan religius diabaikan dan ditiadakan dengan sengaja.

Unsur-unsur religi seperti keyakinan, praktek moral dan perayaan liturgis kian

diabaikan (Dermawan, 1997: 295). Pandangan ini menjelaskan dan memikirkan

segala sesuatu secara duniawi. Sekularisme semakin marak di tengah-tengah

kehidupan masyarakat seturut dengan kemajuan zaman yang meningkat pesat.

Manusia seakan-akan menyelam dan tenggelam oleh buaian kenikmatan. Akibat

mobilitas yang tinggi gaya hidup menjadi instan, hedonisme dan konsumtivisme

semakin dikejar. Dengan sekularisme manusia telah berusaha untuk

mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya dan menjadikannya Tuhan dan

tuan yang menguasai dunia. Hal ini menjadi suatu tantangan besar bagi Gereja dan

hidup membiara karena manusia secara perlahan-lahan mulai melepas unsur

religius dengan mengutamakan nilai-nilai manusiawi. Pembangunan mall-mall

yang besar menarik orang untuk menciptakan pemuasan nafsu dan hasrat duniawi.

Orientasi masyarakat bertumpu pada hasil melulu sehingga manusia mengejar

(41)

yang diwarnai sekularisme seperti yang diungkapkan oleh Dermawan (1997: 297)

demikian:

Arus-arus informasi yang menggiurkan, kemudahan-kemudahan yang ditawarkan maupun sajian-sajian duniawi yang membangkitkan rangsangan tidak luput dari kehidupan mereka. Mereka seakan-akan ditarik untuk mengikuti dan menikmati hasil-hasil dunia yang kerap kali mengaburkan nilai-nilai religius.

Tidak mengherankan juga kalau kita menemukan kaum religius

menimbunkan barang-barang di kamar, bergaya perlente biar dipandang modern,

menghabiskan waktunya menonton televisi berjam-jam demi mencari kepuasan

dan kesenangan. Untuk mengatasi situasi ini para religius perlu belajar dari

kehidupan Yesus. Di tengah kesibukan mengadakan kegiatan pewartaan-Nya

Yesus tetap menyisihkan waktu untuk berdoa. “Pagi-pagi benar, waktu hari masih

gelap, Ia bangun dan pergi keluar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di

sana” (Mrk 1:35). Hal ini mau menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang erat

antara dunia sekular dan dunia religi di mana dunia religi menjadi dasar hidup di

dunia. Para religius diharapkan agar dapat menjadi terang di tengah dunia yang

diwarnai oleh sekularisme yang memilah-milah mana kehidupan duniawi dan

mana kehidupan religi. Para religius diharapkan membangun jembatan yang sudah

dirintis oleh Yesus antara dunia sekular dan dunia religi.

2. Kesenjangan Sosial Ekonomi

Kemiskinan yang terjadi di masyarakat tidak lepas dari kemiskinan sosial

ekonomi. Kita bisa melihat situasi di negara Indonesia ini. Di balik

(42)

bawah kolong-kolong jembatan, kumuh bahkan tidak mendapatkan penampungan.

Bangunan mall-mall yang megah dan canggih mengalahkan pasar tradisional.

Ibu-ibu yang menjunjung bakul sudah hilang ditelan oleh arus zaman dan banyaknya

anak gelandangan, pengemis dan putus sekolah adalah bukti kemiskinan. Hal ini

menunjukkan adanya kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat Indonesia.

Sorita (1966: 8-11) mengatakan:

Penyebab kemiskinan adalah akibat dari kemalasan, pemabukan, kerakusan, kelobaan, kekikiran, hidup mewah melimpah, penjajahan, malapetaka, bencana alam. Kemiskinan juga terletak pada manusia itu sendiri. Pada hubungan manusia dengan manusia, golongan dengan golongan, masyarakat dengan masyarakat yang tidak mengindahkan hukum ketidak adilan.

Situasi tersebut terjadi akibat adanya ketidakadilan dan perampasan hak

pihak kaum miskin. Kemiskinan yang mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi

terjadi karena adanya kemalasan dan pemabukan dari pihak miskin yang membuat

mereka semakin miskin. Situasi ini menjadi tantangan dan pergumulan bagi para

religius. Kehadiran para religius harus dapat membawa kesaksian, membantu

meneguhkan dan membangkitkan semangat mereka bukan menjadi pelaku ketidak

adilan bagi mereka. Di tengah masyarakat yang majemuk ini kita tidak boleh lari

dari situasi yang demikian.

3. Gaya Hidup Modern

Gaya hidup modern ternyata sangat berpengaruh terhadap kehidupan para

religius. Dampak dari gaya modern ini karena ada perasaan takut kalau dikatakan

ketinggalan zaman. Gaya hidup modern sebagai arus kecenderungan bagaimana

(43)

bergulir. Gaya hidup modern yang merupakan proses pergeseran sikap dan

mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan

masa kini disebut modernisasi. Lebih lanjut Drost (1997: 497) mengatakan: “

Usaha modernisasi dapat bermotifkan keinginan menyesuaikan diri dengan apa

yang sekarang berlaku atau bermotifkan kesadaran akan keharusan meninggalkan

barang yang sudah usang demi perbaikan hidup”. Hal ini dapat dipahami bahwa

manusia berusaha sungguh untuk menyesuaikan diri dengan segala yang baru,

misalkan saja dalam hal berpakaian, berbicara dan penggunaan sarana. Sikap yang

mendasari keinginan menyesuaikan diri tersebut bukanlah modernisasi melainkan

konformisme (ikut-ikutan). Gaya hidup modern dewasa ini juga sudah menjadi

bagian dalam kehidupan para religius. Sudarminta (1997: 489) mengatakan:

Ciri-ciri gaya hidup modern adalah semakin sentralnya peran teknologi, khususnya teknologi transfortasi, telekomunikasi dan informasi dalam kehidupan manusia. Orang semakin tergantung pada teknologi. Teknolgi menjadi semacam lingkungan yang kedua tempat manusia hidup. Sistem ekonomi kapitalistik terus menerus merangsang orang melalui iklan untuk membeli produk-produk baru.

Hal ini mau menunjukkan bahwa gaya hidup modern merupakan suatu

tantangan bagi penghayatan hidup religius yaitu sikap materialistik, hedonistik

dan konsumtif. Menghadapi gaya hidup yang demikian, hidup religius ditantang

untuk menegaskan kembali identitas diri dan misinya. Di satu pihak gaya hidup

modern membawa arus sekularisasi ke biara, namun di lain pihak diharapkan dari

biara dapat memberikan kesegaran rohani bagi orang-orang yang hidup di tengah

(44)

a) Materialisme

Muncul dalam benak kita ketika mendengar kata materialistik yang

menunjukkan bahwa seseorang hanya mementingkan materi. Manusia sangat

mudah terobsesi bagaimana untuk mendapatkan uang yang sebanyak-banyaknya

sebagai pemuasan dalam hidupnya. Tantangan kemiskinan zaman sekarang yakni

materialisme yang haus akan harta milik, tanpa mengindahkan

keperluan-keperluan dan penderitaan-penderitaan rakyat yang paling lemah (PC, 1996 art

88). Untuk memenuhi sikap materialistik ini manusia akan melakukan apa saja

untuk mendapatkan yang diinginkannya bahkan sampai mengorbankan orang lain.

Akhirnya orang akan mudah melupakan persaudaraan dengan orang lain karena

mementingkan harta. Gaya hidup seperti ini akan mendapat tantangan untuk dapat

hidup sederhana dalam arti yang secukupnya. Lebih jelas Darminta (1997: 61)

mengatakan:

Melepaskan diri dari perbudakan dorongan pemilikkan barang dan uang sebagai tanda kualitas hidup baik dan terhormat itulah perjuangan rohani serta moral orang zaman sekarang. Dalam situasi seperti itu kaum religius harus berani mengatakan; kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Luk 16:13).

Para religius diharapkan untuk dapat memperhatikan kehidupan bersama

dengan tidak mementingkan diri sendiri. Para religius berani bersikap sederhana

bersama mereka yang hidup sederhana, semangat mau berbagi dengan orang lain,

solidaritas sosial dengan mereka yang miskin dan menderita dalam arti yang

(45)

b) Hedonisme

Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 302) dikatakan :

“Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan

kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup”. Penganut paham hedonisme

merupakan korban sekularisme yang meyakini ilmu pengetahuan dan teknologi

dalam hidup modern. Dengan sistem media komunikasi yang daya jangkaunya

cepat menyebar, para pemilik modal berusaha mengeruk harta kekayaan dari

orang yang bermodal lemah, misalnya saja iklan HP berhasil menguasai dunia

bisnis komunikasi. Hal ini menjadi kepuasan tersendiri bagi para pemilik modal,

sedangkan bagi mereka pemeran iklan merupakan kesenangan tersendiri karena

telah dibayar tinggi dan penampilannya dapat dinikmati banyak orang. Selain itu

yang paling marak terjadi dalam masyarakat sekarang ini adalah dunia hiburan.

Media hiburan semakin berkembang baik berupa majalah maupun melalui film.

Para redaktur majalah dan media hiburan merasa puas dengan usaha mereka,

namun mereka lupa bahwa orang lain yang menjadi korban. Kaum wanita dan

anak-anak di bawah umur dieksploitasi berlebihan. Inilah kenyataan hidup yang

terjadi di dunia. Hal semacam ini sangat mungkin terjadi di kalangan para religius.

Namun diharapkan para religius harus berani bersikap tegas agar tidak mudah

terpengaruh dengan semuanya ini melainkan dengan kehadiran mereka dapat

(46)

c) Konsumerisme

Konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap

barang-barang sebagai ukuran kebahagiaan. Sikap konsumerisme yang dimiliki seseorang

adalah akibat dari maraknya informasi iklan baik melalui televisi, radio, koran,

ataupun majalah. Ini menunjukkan adanya ketergantungan kepada barang-barang

hasil produksi seperti alat-alat teknologi. Dengan demikian tidaklah heran banyak

orang berlomba ingin memiliki fasilitas yang lengkap dalam hidup. Sudarminta

(1997: 492) menegaskan:

Mengenai ketergantungan pada alat-alat teknologi tengok saja misalnya bagaiman acara di TV cukup berpengaruh terhadap penentuan jadwal dan dinamika hidup berkomunitas di cukup banyak rumah biara. Demikian juga telepon dan fax rupanya sudah semakin menjadi kebutuhan banyak anggota komunitas, sehingga kadang jadi barang rebutan.

Gaya hidup modern telah berpengaruh besar pada kehidupan religius dewasa

ini. Situasi ini dapat membawa dampak positif karena mempermudah untuk

memenuhi karya pelayanan. Tapi juga ada dampak negatif karena tidak pernah

merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki. Corak masyarakat konsumeristis

berarti sikap masyarakat yang didorong untuk terus menerus menambah tingkat

konsumsi, tidak lagi karena membutuhkan tapi demi status (Teguh Kusbiantoro,

1995: 205). Di kalangan para religius sekarang sering terjadi penumpukan harta.

Lihat saja banyak para religius yang punya fasilitas lengkap seperti mengendarai

mobil pribadi, komputer pribadi, telepon seluler, LCD, sepeda motor. Semua

serba lengkap, padahal bukan hanya kelengkapan fasilitas yang menjamin

besarnya produktivitas kerja dan kualitas pelayanan. Darminta (1997: 62)

(47)

yang dibius secara halus melalui iklan sehingga manusia dibentuk menjadi

manusia penyerap barang-barang konsumsi baik makanan maupun barang untuk

dimiliki”. Untuk mendapatkan semuanya ini manusia akan mencari jalan pintas

dengan menghalalkan segala cara.

Bagi kita para religius perlu dipertanyakan, “Sungguhkah kita memerlukan

semuanya itu?”. Beranikah kita mengatakan: “Ini sudah cukup bagiku, tanpa

memiliki itupun aku dapat bekerja dengan baik”. Dengan sikap seperti ini aspek

kenabian dari penghayatan kaul kemiskinan akan sangat relevan, seperti yang

diungkapkan oleh Sudarminta (1997: 492): “Kebebasan batin terhadap harta

milik, kesederhanaan hidup, sikap ugahari, semangat mau berbagi dengan orang

lain, solidaritas sosial dengan mereka yang miskin dan menderita merupakan

sikap dan nilai yang relevan”. Para religius harus berani melihat hidupnya secara

jujur, apakah dalam hidupnya ia menjadi manusia pelahap atau tidak khususnya

lewat karya mereka. Kalau para religius dapat memberikan kesaksian nyata

tentang nilai-nilai hidup, maka hidup religius tidak hanya berfungsi kritis dan

korektif untuk Gereja, tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan.

4. Korupsi

Korupsi sudah merajalela khususnya di Indonesia, dan merupakan hal yang

tidak langka lagi. Korupsi dari hal yang besar hingga hal-hal yang kecil. Tidak

mengherankan kalau korupsi terjadi di setiap lapisan masyarakat mulai dari

kalangan bawah hingga kalangan atas dengan merasa diri tak bersalah sedikitpun.

(48)

lebih banyak dengan memeras orang lain secara halus. Perampasan hak-hak

masyarakat kecil dari pihak penguasa dengan tujuan untuk memperkaya diri sndiri

sehingga terjadi pemiskinan bagi yang lemah. Kejujuran adalah kunci untuk

memberantas korupsi yang telah menjamur di setiap lapisan masyarakat. Para

religius harus berani bersikap jujur tanpa mengusahakan penyimpangan dalam

karya yang dirasa membawa untung bagi diri sendiri dan merugikan orang lain.

Hak milik ditentukan oleh perubahan masyarakat dengan tolok ukur kesejahteraan

umum. Untuk mencapai perubahan pasti ada kepastian hukum yang didasarkan

atas kesadaran dan ketertiban untuk membangun kepercayaan satu sama lain.

Sebagaimana ditegaskan dalam buku Iman Katolik (1996: 112) sebagai berikut:

Sebab justru kepercayaanlah yang sering dihancurkan oleh suap, pemerasan, nepotisme (mementingkan diri sendiri, keluarga, dan golongan), korupsi, penipuan dan lain sebagainya. Hanya dengan kesadaran bahwa masing-masing orang bertanggung jawab membangun relasi dengan sesama akan terjamin pembangunan yang intergral. Untuk itu perlu bukan hanya kesaksian yang benar melainkan keberanian untuk berkata sejujurnya, sebagaimana dikatakan Yesus: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37).

Dalam hal ini mau dikatakan bahwa seorang religius haruslah bersikap jujur

dan percaya diri. Tidaklah perlu berusaha untuk mengejar harta milik demi

kepentingan diri sendiri atau karya pelayanan dengan cara menghalalkan segala

macam cara karena merupakan pelanggaran terhadap kaul kemiskinan. Harta

bukanlah tujuan utama tetapi dimanfaatkan sebagai sarana mempersembahkan diri

(49)

D. Nilai Kesaksian Kaul Kemiskinan Zaman Sekarang

Kaul kemiskinan yang diucapkan para religius merupakan tanda sukarela

untuk mengikut Kristus yang mempunyai nilai kesaksian hidup mereka di tengah

masyarakat zaman sekarang. Kemiskinan itu hendaknya dihayati dengan tekun

oleh para religius. Nilai kesaksian tersebut diwujudkan dalam rangka mewartakan

Kerajaan Allah di tengah kaum miskin agar nilai kesaksian dapat terwujud maka

para religius harus terlibat dalam kehidupan kaum miskin.

1. Keterlibatan Kaum Religius Terhadap Kaum Miskin

Dengan mengikrarkan kaul kemiskinan diharapkan seseorang mampu

memberikan kesaksian tentang kemiskinan di hadapan kaum miskin secara

konkret. Hendaknya kemiskinan itu dihayati dengan tekun oleh para religius.

Penghayatan itu diwujudkan dengan keterlibatan kaum religius terhadap kaum

miskin merupakan ungkapan paling nyata dengan tindakan konkret seperti yang

dianjurkan dalam Konsili Vatikn II (PC, 1992 art 13) yang mengatakan: “

Hendaknya mereka dengan sukarela menyumbangkan sesuatu dari harta milik

mereka untuk ikut memenuhi kebutuhan-kebutuhan Gereja lainnya dan ikut

menanggung keperluan hidup kaum miskin”. Tindakan memberi sedekah secara

otomatis mempunyai keterlibatan terhadap kaum miskin tetapi menuntut kepekaan

akan kebutuhan mereka. Memberi sedekah dengan hati yang tulus tanpa

mengharapkan imbalan atau balas jasa, seperti sabda Yesus: “Jika engkau

memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan

(50)

Sebastian (1994: 104) adalah: “Tangan dan hatinya akan terbuka dan terulur untuk

memberi serta membagi kepada para miskin, namun tetap tengadah dan terarah

kepada pemberian dari para miskin itu, entah itu jagung bakar atau ketela rebus

atau bahkan ucapan terima kasih melulu”. Keterlibatan kaum religius pada kaum

miskin tergantung pada penghayatan terhadap orang miskin. Bila seseorang

menghayati kemiskinan secara konsekwen maka keterlibatan terhadap kaum

miskin belum cukup kalau kita hanya bergerak ‘turun ke bawah’ tetapi lebih-lebih

merupakan suatu usaha untuk menjadi pendamping yang sehati seperasaan. Kita

bercermin pada Kristus, “...Ia turut serta dalam kepapaan dan kehinaan manusia.

Ia merasa kerasan tinggal di tengah-tengah kaum papa, miskin dan kaum hina

dina, sebab Dia menganggap diri-Nya termasuk golongan mereka” (Bruyan, 1984:

107). Keterlibatan dengan kaum miskin merupakan usaha menjadi sama dengan

mereka dalam arti kita mengalami langsung kehidupan kaum miskin.

2. Solider Dengan Kaum Mskin

Bersikap solider atau solidaritas harus kita hayati dalam hidup sehari-hari di

mana saja kita berada. Yesus sendiri hadir dalam diri orang-orang kecil, lemah,

miskin, dan tertindas. “Dan Raja itu menjawab mereka: Aku berkata kepadamu,

sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari

saudaraku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40). Orang –

orang berbuat sesuatu untuk salah satu dari mereka berarti telah berbuat sesuatu

untuk Yesus, karena Yesus mengindentikkan diri-Nya dengan orang-orang lemah,

(51)

menjadi solider dengan manusia yang menderita, kitapun hendaknya demikian

pula”. Bentuk solider Yesus adalah Ia mendatangi dan hidup bersama kaum

miskin, lemah dan tertindas. Orang-orang itu miskin tidak punya harta dan

dipandang rendah. Mereka ini perlu pertolongan dan bantuan melalui penghiburan

seperti disabdakan Yesus: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah

karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah” (Mat 5:3). Untuk dapat solider

dengan kaum miskin, para religius perlu membuka hati bagi sesama. Orang-orang

miskin itu merupakan saudara. Meskipun orang miskin tidak tahu berterima kasih,

bahkan menyulitkan dan mengecewakan kita, namun mereka tetap saudara kita.

“Bila kamu hanya mengasihi orang yang mengasihi kamu, manakah pahalamu

kelak?” (Mat 5:46). Sikap mengakui sesama yang miskin sebagai saudara inilah

yang dapat membuka hati dan mengembalikan martabatnya sebagai manusia.

Solider terhadap kaum miskin merupakan kekuatan rohani untuk

mengalahkan kekuatan egoisme yang menguasai dunia dan diri kita sendiri.

Jacobs (1987: 100) mengatakan: “Kemiskinan menuntut kita bekerja keras.

Penghayatan kemiskinan bersama menciptakan suasana di mana kemalasan tidak

mungkin dan pengangguran bikin malu”. Hal ini makin dipertegaskan lagi dalam

Konsili Vatikan II (PC, 1992 art 13) dikatakan: “Hendaknya dalam tugas mereka

masing-masing para anggota merasa diri terikat pada keharusan umum untuk

bekerja”. Para religius diharapkan mampu untuk bekerja keras. Apapun yang

diperoleh adalah hasil kerja sendiri bukan menunggu uluran tangan dari orang

(52)

kepada semua orang” (Gal 6:10). Tindakan solider dengan kaum miskin

mewujudkan nilai kesaksian di tengah masyarakat.

3. Kerelaan Berbagi

“Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, jualah segala milikmu dan

berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di

surga, kemudian datanglah kemari dan ikutilah Aku” (Mat 19:21). Gagasan pokok

yang terdapat di dalamnya adalah larangan menumpukkan harta di dunia,

melainkan rela untuk berbagi harta yang dimiliki kepada sesama saudara yang

menderita kekurangan.. Seandainya kita tidak dapat membantu secara materiil,

sumbangan kata-kata dapat sungguh merupakan bantuan yang besar nilainya.

Berbagi bukan hanya soal rejeki yang kita dapatkan tapi bakat, kemampuan dapat

juga kita bagikan. Kerelaan berbagi sangat erat hubungannya dengan mengikuti

Yesus. Hubungan ini dapat ditemukan dalam Konsili Vatikkan II (PC, 1992 art

13) yaitu: “Kemiskinan sukarela dan rela berbagi merupakan tanda mengikuti

Kristus, dan kemiskinan itu hendaknya dihayati para religius dengan tekun”. Di

sini Yesus ditampilkan sebagai teladan dan model untuk rela berbagi. Sebagai

mana Yesus rela menjadi miskin untuk memperkaya kita, demikianpun kita harus

rela berbagi untuk memperkaya sesama kita. Kerelaan berbagi dapat dilihat

sebagai tanda mengikuti Kristus. Mengikuti Kristus merupakan suatu anugerah,

inisiatifnya datang dari Kristus, karena Kristuslah yang mengundang ataupun

memanggil. Kristuslah yang memperkenalkan diri dan menganugerahkan

(53)

Yesus, maka tekad seseorang mengikuti Yesus mengakibatkan adanya sikap lepas

bebas. Santo Paulus, hidupnya sungguh dikuasai Kristus sehingga ia berani

berkata: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang

kuanggap rugi karena Kristus. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan

semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Flp

3:7-8). Bagi Santo Paulus hidup adalah Kristus. Santo Paulus merasa begitu

bahagia dan beruntung bahwa ia diperkenankan mengenal Kristus. Baginya

pengenalan akan Kristus lebih bernilai daripada apapun. Berdasarkan pengalaman

Santo Paulus yang bersikap lepas bebas karena relasinya dengan Kristus.

Harjawiyata (2003: 242) memberi penekanan mengenai kerelaan berbagi sebagai

berikut: “Pengenalan akan Kristus itu menjadikan orang lepas bebas dan

mendorongnya untuk rela berbagi. Sikap lepas bebas yang terungkap dalam

kerelaan berbagi diakibatkan oleh anugerah pengenalan akan Kristus. Bukan

kemiskinan, melainkan Kristuslah yang membebaskan”. Orang-orang miskin

patut dibantu dan diperhatikan karena sungguh membutuhkan pertolongan.

Berbagi dengan orang yang hina dina berarti berbagi dengan Kristus yang kita

(54)

BAB III

KEMISKINAN DALAM PELAYANAN DAN PERSAUDARAAN

BRUDER MARIA TAK BERNODA (MTB)

Setelah berbicara seputar hidup membiara dan kaul kemiskinan secara

umum dalam bab II, maka dalam bab III ini kaul kemiskinan akan dibicarakan

secara lebih khusus sehubungan dengan pelayanan dan persaudaraan Bruder

Maria Tak Bernoda (MTB).

A. Kemiskinan Dalam Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB)

Mengh

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Melalui tekad, keyakinan dan keinginan serta pangilan hati yang tulus kerjaku, ibadahku karna kita guru/tutor adalah hamba yang selalu harus berinovasi menjadi inspirasi

Strategi terdiri atas strategi korporasi menggambarkan arah perusahaan secara keseluruhan tentang sikap perusahaan terhadap arah pertumbuhan dan manajemen berbagai

Pengadaan Barang/Jasa di Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 yang tidak dapat dilaksanakan secara swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, dilaksanakan oleh

Adapun kelebihan-kelebihan pengujian test switch dengan menggunakan metode digital dibandingkan dengan metode analog terdapat dalam hal banyaknya tes sekuensial yang

Saya pikir menggunakan situs jejaring sosial untuk menyampaikan informasi keluhan ke perusahaan adalah.. ide

Sedangkan variabel yang tidak efektif adalah innovasi organisasi ( Organizational innovation ) diperoleh data Sig (2-tailed) sama dengan 0,064, hasil tersebut lebih dari 0,05 jadi

Fasilitas dan jasa yang dipergunakan oleh pengolahan ikan pada saat proses praproduksi yaitu dalam penyediaan bahan baku pengolahan dimana dalam hal ini berupa pasokan