• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAUL KEMISKINAN DALAM HIDUP MEMBIARA

C. Tantangan Dan Pergumulan Kemiskinan Dewasa Ini

3. Gaya Hidup Modern

Gaya hidup modern ternyata sangat berpengaruh terhadap kehidupan para religius. Dampak dari gaya modern ini karena ada perasaan takut kalau dikatakan ketinggalan zaman. Gaya hidup modern sebagai arus kecenderungan bagaimana orang bereaksi dan bersikap menghadapi perubahan zaman yang terus menerus

bergulir. Gaya hidup modern yang merupakan proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini disebut modernisasi. Lebih lanjut Drost (1997: 497) mengatakan: “ Usaha modernisasi dapat bermotifkan keinginan menyesuaikan diri dengan apa yang sekarang berlaku atau bermotifkan kesadaran akan keharusan meninggalkan barang yang sudah usang demi perbaikan hidup”. Hal ini dapat dipahami bahwa manusia berusaha sungguh untuk menyesuaikan diri dengan segala yang baru, misalkan saja dalam hal berpakaian, berbicara dan penggunaan sarana. Sikap yang mendasari keinginan menyesuaikan diri tersebut bukanlah modernisasi melainkan konformisme (ikut-ikutan). Gaya hidup modern dewasa ini juga sudah menjadi bagian dalam kehidupan para religius. Sudarminta (1997: 489) mengatakan:

Ciri-ciri gaya hidup modern adalah semakin sentralnya peran teknologi, khususnya teknologi transfortasi, telekomunikasi dan informasi dalam kehidupan manusia. Orang semakin tergantung pada teknologi. Teknolgi menjadi semacam lingkungan yang kedua tempat manusia hidup. Sistem ekonomi kapitalistik terus menerus merangsang orang melalui iklan untuk membeli produk-produk baru.

Hal ini mau menunjukkan bahwa gaya hidup modern merupakan suatu tantangan bagi penghayatan hidup religius yaitu sikap materialistik, hedonistik dan konsumtif. Menghadapi gaya hidup yang demikian, hidup religius ditantang untuk menegaskan kembali identitas diri dan misinya. Di satu pihak gaya hidup modern membawa arus sekularisasi ke biara, namun di lain pihak diharapkan dari biara dapat memberikan kesegaran rohani bagi orang-orang yang hidup di tengah dunia.

a) Materialisme

Muncul dalam benak kita ketika mendengar kata materialistik yang menunjukkan bahwa seseorang hanya mementingkan materi. Manusia sangat mudah terobsesi bagaimana untuk mendapatkan uang yang sebanyak-banyaknya sebagai pemuasan dalam hidupnya. Tantangan kemiskinan zaman sekarang yakni materialisme yang haus akan harta milik, tanpa mengindahkan keperluan-keperluan dan penderitaan-penderitaan rakyat yang paling lemah (PC, 1996 art 88). Untuk memenuhi sikap materialistik ini manusia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan yang diinginkannya bahkan sampai mengorbankan orang lain. Akhirnya orang akan mudah melupakan persaudaraan dengan orang lain karena mementingkan harta. Gaya hidup seperti ini akan mendapat tantangan untuk dapat hidup sederhana dalam arti yang secukupnya. Lebih jelas Darminta (1997: 61) mengatakan:

Melepaskan diri dari perbudakan dorongan pemilikkan barang dan uang sebagai tanda kualitas hidup baik dan terhormat itulah perjuangan rohani serta moral orang zaman sekarang. Dalam situasi seperti itu kaum religius harus berani mengatakan; kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Luk 16:13).

Para religius diharapkan untuk dapat memperhatikan kehidupan bersama dengan tidak mementingkan diri sendiri. Para religius berani bersikap sederhana bersama mereka yang hidup sederhana, semangat mau berbagi dengan orang lain, solidaritas sosial dengan mereka yang miskin dan menderita dalam arti yang sebenarnya.

b) Hedonisme

Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 302) dikatakan : “Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup”. Penganut paham hedonisme merupakan korban sekularisme yang meyakini ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hidup modern. Dengan sistem media komunikasi yang daya jangkaunya cepat menyebar, para pemilik modal berusaha mengeruk harta kekayaan dari orang yang bermodal lemah, misalnya saja iklan HP berhasil menguasai dunia bisnis komunikasi. Hal ini menjadi kepuasan tersendiri bagi para pemilik modal, sedangkan bagi mereka pemeran iklan merupakan kesenangan tersendiri karena telah dibayar tinggi dan penampilannya dapat dinikmati banyak orang. Selain itu yang paling marak terjadi dalam masyarakat sekarang ini adalah dunia hiburan. Media hiburan semakin berkembang baik berupa majalah maupun melalui film. Para redaktur majalah dan media hiburan merasa puas dengan usaha mereka, namun mereka lupa bahwa orang lain yang menjadi korban. Kaum wanita dan anak-anak di bawah umur dieksploitasi berlebihan. Inilah kenyataan hidup yang terjadi di dunia. Hal semacam ini sangat mungkin terjadi di kalangan para religius. Namun diharapkan para religius harus berani bersikap tegas agar tidak mudah terpengaruh dengan semuanya ini melainkan dengan kehadiran mereka dapat membawa kesaksian bagi orang-orang yang menjadi korban hedonisme.

c) Konsumerisme

Konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang sebagai ukuran kebahagiaan. Sikap konsumerisme yang dimiliki seseorang adalah akibat dari maraknya informasi iklan baik melalui televisi, radio, koran, ataupun majalah. Ini menunjukkan adanya ketergantungan kepada barang-barang hasil produksi seperti alat-alat teknologi. Dengan demikian tidaklah heran banyak orang berlomba ingin memiliki fasilitas yang lengkap dalam hidup. Sudarminta (1997: 492) menegaskan:

Mengenai ketergantungan pada alat-alat teknologi tengok saja misalnya bagaiman acara di TV cukup berpengaruh terhadap penentuan jadwal dan dinamika hidup berkomunitas di cukup banyak rumah biara. Demikian juga telepon dan fax rupanya sudah semakin menjadi kebutuhan banyak anggota komunitas, sehingga kadang jadi barang rebutan.

Gaya hidup modern telah berpengaruh besar pada kehidupan religius dewasa ini. Situasi ini dapat membawa dampak positif karena mempermudah untuk memenuhi karya pelayanan. Tapi juga ada dampak negatif karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki. Corak masyarakat konsumeristis berarti sikap masyarakat yang didorong untuk terus menerus menambah tingkat konsumsi, tidak lagi karena membutuhkan tapi demi status (Teguh Kusbiantoro, 1995: 205). Di kalangan para religius sekarang sering terjadi penumpukan harta. Lihat saja banyak para religius yang punya fasilitas lengkap seperti mengendarai mobil pribadi, komputer pribadi, telepon seluler, LCD, sepeda motor. Semua serba lengkap, padahal bukan hanya kelengkapan fasilitas yang menjamin besarnya produktivitas kerja dan kualitas pelayanan. Darminta (1997: 62) menegaskan: “Manusia yang bersikap konsumerisme adalah manusia pelahap

yang dibius secara halus melalui iklan sehingga manusia dibentuk menjadi manusia penyerap barang-barang konsumsi baik makanan maupun barang untuk dimiliki”. Untuk mendapatkan semuanya ini manusia akan mencari jalan pintas dengan menghalalkan segala cara.

Bagi kita para religius perlu dipertanyakan, “Sungguhkah kita memerlukan semuanya itu?”. Beranikah kita mengatakan: “Ini sudah cukup bagiku, tanpa memiliki itupun aku dapat bekerja dengan baik”. Dengan sikap seperti ini aspek kenabian dari penghayatan kaul kemiskinan akan sangat relevan, seperti yang diungkapkan oleh Sudarminta (1997: 492): “Kebebasan batin terhadap harta milik, kesederhanaan hidup, sikap ugahari, semangat mau berbagi dengan orang lain, solidaritas sosial dengan mereka yang miskin dan menderita merupakan sikap dan nilai yang relevan”. Para religius harus berani melihat hidupnya secara jujur, apakah dalam hidupnya ia menjadi manusia pelahap atau tidak khususnya lewat karya mereka. Kalau para religius dapat memberikan kesaksian nyata tentang nilai-nilai hidup, maka hidup religius tidak hanya berfungsi kritis dan korektif untuk Gereja, tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan.

Dokumen terkait